You are on page 1of 11

Qawaid Fiqhiyyah

Sejarah Perkembangan dan Penyusunan Qawaid Fiqhiyyah

Al-Fauzi Hasrul
Dosen Pembimbing: Wahyu Widajana, SQ, M. Ag
Tahun Akademik 2011/2012

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PENYUSUNAN QAWAID FIQHIYYAH

Fakultas Ushuluddin Semester III

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA SELATAN

2011/2012

: .
Artinya: Sesungunya prinsip semua ilmu itu ada 10 macam: (1) batasannya, definisinya, tarifnya; (2) objeknya; (3) buahnya, hasilnya, manfaatnya; (4) keutamaannya, kelebihannya; (5) relavansinya dengan ilmu lain; (6) penemunya, penggalinya, pembangunnya; (7) nama ilmunya; (8) sandaran ilmu tersebut (9) hukum mempelajarinya; (10) contohcontoh masalah di dalamya. Barangsiapa yang mengetahui kesepuluh hal tersebut, akan memiliki kehormatan.

Pendahuluan
Segala Puji hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam yang telah menurunkan Al-Kitab kepada hamba-Nya sebagai bimbingan yang lurus. Kitab yang berisi tuntunan dalam kehidupan dunia serta membimbing kepada jalan yang lurus menuju kehidupan Akhirat. Slawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Sang reformasi dalam sejarah kehidupan ummat manusia. Memberikan tauladan yang baik terhadap sesama serta kepada seluruh makhluk hidup berdasarkan nilai-nilai yang termuat dalam kitab Suci Al-Quran. Salah satu kekayaan peradaban Islam di dalam bidang hukum yang masih jarang ditulis adalah Kaidah Fiqih. Adapun yang sudah diperkenalkan antara lain tafsir, hadis, ushul fiqih dan fiqih, ilmu kalam dan tasawuf. Walaupun dibidang ini pun masih terus perlu dikoreksi, dielaborasi, dan dikembangkan sebagai alat dalam mewujudkan islam sebagai rahmatan li al-alamin. Kaidah-kaidah fiqih merupakan kaidah yang menjadi titk temu dari masalah-masalah fiqih. Mengetahui kaidah-kaidah fiqih akam memudahkan akan memberikan kemudahan untuk menerapkan fiqih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah dalam memberi solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dengan tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan hikmah yang terkandung di dalam fiqih. Mengigat kaidah Fiqih merupakan salah satu cabang keilmuan dalam islam yang biasa disebut Ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah atau dalam terminolgi lain dikenal al-Asybah wa al-Nazhair. Ilmu ini juga memenuhi prasyarat sebagai ilmu yang independen dan memiliki teori-teori seperti pada khasanah keilmuan pada umumnya serta ruang lingkup yang sangat luas. Adapun dalam makalah ini, kami hanya memaparkan sekilas Sejarah Perkembangan dan Penyusunan Qawaid Fiqhiyyah. Semoga dapat menjadi sebuah bahan bacaan dalam memahami sisi keilmuan ini khusunya mengenai sejarah perkembangannya hingga saat ini. Akhirnya, kami memaklumi bahwa makalah ini belum sepenuhya jauh dari kekeliruan. Oleh kerena itu, saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat diharapkan.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 18 oktober 2011

A. PROSES MUNCULNYA QAWAID FIQHIYYAH Sejarah qawaid fiqhiyyah sebenarnya tidak terlepas dari masa terdahulu, yaitu pada masa Nabi Muhammad SAW, masa Sahabat, dan masa Tabiin. Pada masa-masa ini keberadaan sebuah ilmu masih dalam bentuk bakunya yang bersumber dalam Al-Quran maupun keterangan-keterangan Nabi Muhammad yang dikenal dengan Sunnah. Konteks keilmuan secara umum pada abad-abad pertama belum memiliki sistematika dan metodologi khusus. Hal ini disebabkan segala persoalan yang dihadapai ketika itu dijelaskan secara langsung oleh Nabi Muhammad. Akibatnya ijtihad yang masih berada diantara benar atau salah tidak diperlukan. Akan tetapi, benih-benih kaidah sebenarnya sudah ada semenjak masa Nabi.1 Beliau adalah penjelas utama dari kandungan ayat-ayat al-Quran dalam menghadapi problematika kehidupan yang memerlukan hukum baru. Di sisi lain, Rasululah akan menggali hukum dengan beristinbat terhadap ayat-ayat al-Quran apabila keterangannya masih global. Prosesnya inilah yang selanjutnya melahirkan proses pembentukan hukum-hukum Islam termasuk Qawaid Fiqhiyyah. Atas Keterangan di atas dapat dipahami bahwa keberadaan Qawaid fiqhiyyah pada periode awal masih dalam tunas perkembangan. Pada proses munculnya Qawaid Fiqhiyyah fase, yaitu:2 a) Periode Nabi Muhammad SAW Pada periode ini, tidak ada spesialisasi ilmu tertentu yang dikaji dari al-Quran dan al-Hadis. Semangat Sahabat sepenuhnya dicurahkan kepada jihad dan mengaplikasikannya apa yang diperoleh dari Nabi berupa ajaran al-Quran dan al-Hadis. Ilmu pengetahuan hanya berkisar pada masalah qiraah dan mendengarkan hadis-hadis Nabi serta mengaplikasikan dan mengembangkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi ketika menghadapi persoalan-persoalan yang baru. Artinya pada masa Nabi ini setiap ada permasalahan yang muncul, oleh sahabat langsung ditanyakan kepada Nabi. Hadis-hadis Nabi yang membicarakan tentang hukum, banyak memaki pola qaidah umum yang artinya dapat mencakup dan menempuh seluruh persoalan-persoalan fiqih (Jawami al Kalim). Seperti hadis yang berbunyi:3 Tidak boleh berbuat madhorat terhadap diri sendiri dan orang lain. Luka hewan ternak adalah sia-sia. Bukti dibebankan kepada pendakwa sedangkan sumpah dibebankan kepada terdakwa. Menurut para ahli fiqih, hadis-hadis diatas berbentuk ungkapan yang berpola qaidah fiqih. Walaupun hadis tersebut secara formal belum disebut kaidah tetapi tetap sebagai hadis saat itu, seperti:
1 2 3

dapat dikelompokan

dalam tiga

Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal.1 Ibid, hal. 1-12 Al-Allamah Jalal Al-Faqih Mustafa Dziraq, Qawaid Fiqhiyyah (Jiddah: Dar al-Basyir, 2000), hal. 90

Pinjaman adalah amanah Hutang harus dibayar Orang yang menjamin adalah penanggung Hadis-hadis diatas memiliki arti umum yang mencakup beberapa aspek hukum dan merangkul masalah-masalah yang bersifat subordinatif. Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa dari sekian ribu hadis terdapat hadis-hadis yang memiliki karakter yang sama dengan kaidah fiqih yang keberadaannya sangat penting dalam ilmu fiqih. Lafash-lafash diatas dihubungkan dengan kata yang jelas atau kata ganti (dhamir), tetapi yang demikian tidak disyaratkan. 4 b) Periode Sahabat Pada periode ini pola pikir sahabat mulai mengalami transformasi kearah ijtihad, dimana dalam pengambilan hukumnya itu merujuk pada al-Quran dan Sunnah. Hal ini disebabkan karna banyaknya persoalan baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi. Kemudian pada periode inilah juga mencul penggunaan rayu, qiyas, ijma. c) Periode Tabiin Mengenai keberadaan qawaid fiqhiyyah pada masa tabiin, bisa dikatakan pada masa ini adalah masa awal perkembangan fiqih. Dimana hal yang menonjol pada masa ini yaitu dimulai pendasaran terhadap ilmu fiqih. Pada periode ini juga ditandai dengan munculnya para ulama-ulama fiqih atau para pembesar dan murid-muridnya yang memberikan pengarahan-pengarahan kepada kelompok masarakat yang mengkaji fiqih ketika itu. Kelompok kajian ini pada setiap daerah biasanya di kepalai oleh para tabiin seperti: 5 Said bin Musayyab di Madinah, Atha bin Abi Rabah di Makah, An-Nakahi di Kuffah, Hasan al basri di Basrah, Makhul di Syam, dan Thawus di Yaman.

Berbeda dengan masa khulafa al-rasyidun, pada masa ini kajian fiqih masuk dan lebih condong pada wilayah teori. Banyak hukum fiqih yang di produksi oleh proses penalaran terhadap teori di bandingkan hukum fiqih yang di hasilkan dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya yang disamakan dengan kasus baru. Sehingga, fiqih tidak hanya mampuh menjelaskan persoalan-persoalan waqiiyyah (aktual) namun lebih dari itu.

4 5

Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal. 9 Ibid, hal. 12-13

B. PERKEMBANGAN DAN PEMBENTUKAN QAWAID FIQHIYYAH Uraian mula-mula metode ini diberi nama atau di kenal dengan al-Qowaid atau ad-Dhawabid, al-Faruq, al-Alghaz, Muthorohat al- Afrad, Maarif al-Afrad dan al-Khiyal.6 Melalui proses yang panjang dalam masa perkembangan dan pembentukan akhirnya melahirkan nama baku untuk kajian keilmuan ini yaitu Ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) atau dalam terminolgi lain dikenal al-Asybah wa al-Nazhair (hal yang serupa dan sebanding).7 a) Masa Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah Perkembangan Qawaid fiqhiyyah terjadi pada masa tabiin. Pada periode ini adalah adalah masa awal perkembangan fiqh karena pada masa inilah dimulai pendasaran terhadap ilmu fiqih. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa ada masa pendasaran ini adalah awal dari kecenderungan fiqih untuk berada pada wilayah teori. Hal ini berbeda dengan masa khulafa al-rasyidun yang menjadikan fiqih berada dalam wilayah praktek sebagaimana yang ada pada masa Nabi. Dengan masuknya fiqih pada wilayah teori, banyak hukum fiqih yang di produksi oleh proses penalaran terhadap teori di bandingkan hukum fiqih yang di hasilkan dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya yang disamakan dengan kasus baru. Sehingga, fiqih tidak hanya mampuh menjelaskan persoalan-persoalan waqiiyyah (aktual) namun lebih dari itu. Disamping itu juga, periode ini merupakan awal perubahan fiqih dari sifatnya yang waqiiyah (aktual) menjadi nazariyyah (teori).8 Setelah melewati masa pendasarannya ilmu fiqh mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang diantaranya adalah madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafii dan Madzhab Ahmad) sebagaimana yang telah kita ketahui. Perkembangan berikutnya mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dari menulis, pembukuan, hingga penyempurnaannya pada akhir abad ke-13 H. b) Masa Pembentukan Qawaid Fiqhiyyah Sulit diketahui siapa pembentuk pertama kaidah fiqih yang jelas dengan meneliti kitab-kitab kaidah fiqih dan masa pembentukannya secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam. Walaupun demikian, dikalangan ulama di bidang fiqih menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi yang hidup diakhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 H telah mengumpulkan Kaidah fiqih mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. 9

6 7

Al-Allamah Jalal Al-Faqih Mustafa Dziraq, Qawaid Fiqhiyyah (Jiddah: Dar al-Basyir, 2000), hal. 134 Prof. H. A. Djazuli, Kidah-Kaidah Fiqih : Kidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010) hal. 7 8 Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal. 9 Prof. H. A. Djazuli, Kidah-Kaidah Fiqih : Kidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010) hal. 12

Kemudian Abu Saad Al-Harawi, seorang ulama mazhab Syafii mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah fiqih yang dihafalkan oleh Abu Thahir. Setelah kurang lebih seratus tahun kemudian, datang Ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi yang kemudian menambah kaidah fiqih dari Abu Thahir menjadi 37 kaidah. Keterangan diatas menerangkan bahwa kaidah-kaidah fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriah. Ketika itu, tantangan dan masalah-masalah yang harus dicarikn solusinya bertambah beriringan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslim. Maka para Ulama membutuhkan metode yang mudah untuk menyelesaikan masalah kemudian muncullah kaidah-kaidah fiqih. Dalam buku kaidah-kaidah fiqih karangan
Prof. H. A. Djazuli digambarkan bahwa skema pembentukan kaidah fiqih adalah sebagai berikut: 10

Al-Quran Al-Hadis (1)

Ushul Fiqih (2)


mandally

Fiqih (3)

Kaidah Fiqih (4)


mandally

Kaidah Fiqih (6)

Fiqih (3)

Qanun (8)

Pengujian Kaidah (5) Sumber hukum Islam: al-Quran dan Hadis; (1) Kemudian Muncul Ushul Fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan hukum. (2) Dengan metodologi Ushul Fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fiqih; (3) Fiqih ini banyak materinya. Dari materi fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama diteliti persamaaanya dengan menggunakan pola pikkir induktif, kemudian dikelompokan dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa akhirnya disimpulkan menjadi kaidah fiqih; (4). Selanjunya kaidah-kaidah fiqih tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan hadis terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat alQuran dan hadis Nabi; (5) apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi, kaidah fiqih itu akan menjadi kaidah fiqih yang mapan; (6) setelah itu, kaidah ini diterapkan untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat dalam segala bidang dan akhirnya memunculkan fiqih-fiqih baru; (7) oleh karena itu tidak mengherankan apabila ulama memberi fatwa terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah fiqih bahkan kekhalifaan Turki menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-undang muamalah dengan 1851 pasal; (8).
10

Prof. H. A. Djazuli, Kidah-Kaidah Fiqih : Kidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010) hal. 13-14

C. MASA KEMATANGAN DAN PEMBUKUAN QAWAID FIQHIYYAH Menurut. data sejarah bahwa ahli fiqih yang pertama kali menekuni kaidah dan memperluas sampai pada furunya untuk dijadikan kaidah adalah ahli fiqih dari kalangan mazhab Hanafi seperti yang dilakukan oleh Imam Muhammad dalam kitab al-Ashal. Adapun orang yang pertama kali memberikan informasi tentang pengumpulan kaidah fiqhiyyah dalam mazhab Hanafi adalah Imam al-Alai al-Ayafii, as-Suyuti dan Ibnu Nujaim.11 Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dari mazhab syafii ialah Abu Saad Al-Harawi yang mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah fiqih yang dihafalkan oleh Abu Thahir. Setelah kurang lebih seratus tahun kemudian, datang Ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi yang kemudian menambah kaidah fiqih dari Abu Thahir menjadi 37 kaidah. Pada abad ke-5, Imam Abu Zaid al-Dabusi menambah jumalah kaidah imam karakhi. Oleh sebab itu, diperkirakan abad ke-4 H adalah tahap kedua dari periode kemunculan dan awal penulisan kaidah fiqhiyyah. Hal ini terbukti dengan ditemukan kitab tentang qaidah pada abad ini.12 Yaitu kitab Tasir al-Nadlar karya al-Dabusi. Setelah ini, baru pada abad ke-6 muncul satu kitab yang ditulis oleh Alauddin Muhammad bin ahmad al-Samarqandi dengan judul Idhah al-Qaidah. Pada abad ke-7 H qaidah fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab qaidah pada abad ini adalah Al Allamah bin Ibrohim AL Jurjani al Sahlaki (W. 613 H) dengan karyanya al-qawaid fi furuI al Syafiiyyah, Imam Izzudin Abdul as Salam (w. 660 H) dengan karyanya Qawaid al-Ahkam fi mashalih al Anam, Muhammad bin Abdullah bin Rasyid al Bakri al Qafshi (w. 685 H) dengan karyanya Al Mudzhab fi Qawaid al Madzhab. Abad ke-8 H adalah masa perkembangan dan dan kemajuan dari qoidah fiqih. Para ulama fiqih ikut andil besar dalam kemajuan ini. Urutan kitab-kitab qaidah terkenal yang ditulis pada abad ini sebagai berikut: 1) Al-asybah wa al nazair, karya ibnu wakil as-syafii (w.716 H), 2) Kitab al-qawaid, karya maqori al-maliki (w.758 H), 3) Al-maju al-mudzhab fi dlabti qawaidi al-mazhab, karya al-lai Al-Ayafii. (w.761 H), 4) Al-Sybah wa al-Nazair, karya Tajuddin al-subkhi al-Syafii (w.771 H), 5) Al-Sybah wa al-Nazair, karya jamaluddin Al-isnawi Al-syafi i(w.772 H), 6) Al-Mantsur fi al-qawaid, karya bahruddin al-Zarkasyi al-SyafiI (w.794 H), 7) Al- Qawaid fi al-fiqhi, karya ibnu rajab al-hambali (w.795), dan 8) Al-Qawaid fi al-Furu, karya Ali bin Utsman al-Ghazi (w.799).

11 12

Dr. Ahmad Sudirman Abbas, Ma, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2009), hal. 33-34 Ibid, Hal. 36

Pada abad ke-9 H bermunculan karya-karya baru yang masih menggunakan metode lama. seperti ibnu mulaqqin(804 H) menulis kitab Qaidah dengan mengikuti pola kitab subkhi.kitab-kitab lainnya adalah:13 1) Asman al-Maqhasaid fi tahrir al-Qawaid, karya Muhammad bin Muhammad Al-Zubairiy(w.707 H), 2) Al-qawaid; karya ibnu Haaim al-Mqdisi (w.713 H). di samping itu, dia juga menyeleksi kitab, Al-majmuu Al- Muhadzab fi Qawaidi Al-Mazhab, karya al-Alai. kitab itu ia beri nama; Tahriru Al-Qawaidi al-Alayyah wa Tamhidu al-Masaliki Al-fiqhiyyah, 3) Al-Qawaid, karya Taqiyuddin al-Hisniy (W.829 H), 4) Nazmu al-dakhoir fi al-asybah wa al-Nazair; karya Abdurrahman bin ali al muquddasi yang biasa di panggil dengan;syuqair (w.876 H), dan 5) Al-Qawaid wa al-dlawaabid karya abdul hadi (w.880 H). D. MASA PENYEMPURNAAN QAWAID FIQHIYYAH Setelah melewati masa pertumbuhan, masa perkembangan dan masa kodifikasi akhirnya tibalah pada penyempurnaan qaidah fiqih yang dilakukan oleh para pengikut dan pendukungnya. Periode ini ditandai dengan munculnya kitab Majallah al Ahkam al Adliyyah. Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqih yang kemudian di bukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hukum di beberapa Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi Abdul Aziz Khan al Utsmani pada akhir abad ke-13 H.14 E. KESIMPULAN Menurut kami (pemakalah) bahwa qawaid fiqihiyyah adalah sebuah metamorfosa ilmu hukum yang tumbuh dan berkembang hingga sempurna itu tidak terlepas dari para pendahulu kita yang berawal dari Nabi Muhammad SAW, Para sahabat Nabi, Tabiin, dan hingga tabiin at-tabiin yang sangat berjasa dalam pengadaan dan penyempurnaannya. Kaidah fiqih ini tumbuh dan berkembang setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Jika pada masa Nabi suatu masalah yang terjadi waktu itu, oleh para sahabat langsung di hadapkan pada beliau akan tetapi setelah beliau wafat, banyak bermunculan persoalan-persoalan baru yang tidak ada pada masa Nabi. Disinilah mulai muncul Ijtihad dan penalaran-penalaran para mujtahid dalam memecahkan persoalan hukum yang tentu dalam metode pengambilan hukumnya disandarkan kepada al-Quran dan Al Sunnah.

13 14

Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal.38 Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal.49-50

Daftar Pustaka
A. Djazuli, Prof. H. Kidah-Kaidah Fiqih : Kidah-kaidah dalam Hukum Islam

Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Fajar

Interpratama Offset, 2010, Cet. V Abbas MA, Dr. Ahmad Sudirman, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004, Cet. II Dziraq, Al-Allamah Jalal Al-Faqih Mustafa, Qawaid Fiqhiyyah, Jeddah: Dar alBasyir, 2000, Edisi Pertama, Cet III

You might also like