You are on page 1of 11

Lebih dari empat dekade terakhir, debat mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi (economic growth), ketimpangan (inequality),

dan kemiskinan (poverty) terus berlangsung. Pertanyaan yang kerapkali memicu debat, antara lain: betulkah pertumbuhan ekonomi sanggup memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan dan mereduksi kemiskinan; apakah pertumbuhan ekonomi dapat memberi manfaat secara luas bagi seluruh kelompok dalam masyarakat, termasuk kelompok miskin; adakah korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan perbaikan taraf hidup masyarakat; apakah terjadi trade-off antara strategi yang pro-pertumbuhan (pro-growth) dengan pro-kemiskinan (pro-poor); apakah kebijakan yang pro-pertumbuhan juga dapat diharapkan menjadi kebijakan terbaik bagi pengurangan kemiskinan; dan seterusnya. Fakta menarik yang diungkapkan oleh Bank Dunia dalam World Development Report 2003, telah memicu debat menjadi kian ekstensif. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa di berbagai belahan dunia, sejumlah negara telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan dan bahkan berlangsung secara konsisten dalam satudua dekade. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata tidak serta merta mereduksi kemiskinan. Kesenjangan distribusi pendapatan bahkan tetap tak terkoreksi. Disebutkan bahwa sedikitnya 3 (tiga) milyar penduduk bumi masih berada dalam kemiskinan (hanya memperoleh pendapatan kurang dari US$ 2 per hari). Oleh beberapa kalangan, fakta ini setidaknya dimaknai sebagai bentuk divergensi antara pertumbuhan ekonomi dengan perbaikan taraf hidup dan distribusi pendapatan. Berangkat dari debat dan fakta di atas, tulisan ini mencoba melakukan review atas berbagai hasil studi empiris yang telah dilakukan sebelumnya, baik yang bersifat lintas negara (cross-countries) maupun studi kasus (case-studies). Perkembangan dan keragaman hasil studi empiris yang dibahas dalam tulisan ini, diharapkan dapat membantu untuk memahami, bukan hanya pola relasi antara pertumbuhan, ketimpangan, dan kemiskinan, tetapi juga sejauh mana pertumbuhan ekonomi sanggup memperbaiki ketimpangan dan mereduksi kemiskinan di negara-negara berkembang (developing countries). 2. Pertumbuhan dan Ketimpangan Nampaknya tidak ada yang meragukan keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan. Namun terdapat berbagai macam pandangan mengenai pola keterkaitan tersebut. Sebagian ekonom memandang bahwa hubungan antara keduanya merupakan hubungan kausal secara timbal balik: ketimpangan mempengaruhi pertumbuhan, dan sebaliknya, pertumbuhan juga mempengaruhi ketimpangan (Kaldor, 1960; Jha, 1999; Barro, 2000; Svedberg, 2002; dan Bourguignon, 2004). Galor dan Zeira (1993), Alesina dan Rodrik (1994), Persson dan Tabellini (1994), Benabou (1996), Perotti (1996), Aghion dan Howitt (1997), Li dan Zou (1998), Forbes (2000), Afranca et. al. (2000), Banerjee dan Duflo (2000), dan Pardo-Beltran (2002), lebih mendukung pandangan yang mengatakan bahwa distribusi pendapatan-lah yang mempengaruhi pertumbuhan. Landasan teorinya adalah: distribusi pendapatan yang timpang akan berpengaruh terhadap jumlah investasi, baik fisik maupun manusia, dan selanjutnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Alesina dan Rodrik, Persson

dan Tabellini, Benabou, dan Perotti menemukan bahwa pengaruh ketimpangan terhadap pertumbuhan adalah negatif. Hasil ini berbeda dengan penemuan Aghion dan Howitt, Li dan Zou, dan Forbes, yang justru menemukan pengaruh yang positif. Aghion dan Howitt misalnya, telah mengestimasi pengaruh ketimpangan terhadap pertumbuhan dan menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara keduanya. Artinya, semakin tinggi ketimpangan, semakin besar kontribusinya terhadap pertumbuhan. Namun sebagian besar ekonom justru berpandangan sebaliknya. Mereka lebih percaya bahwa pertumbuhan ekonomi-lah yang menciptakan ketimpangan (Kuznets, 1955; Ravallion, 1995; Deininger dan Squire, 1996; Schultz, 1998; Bruno, Ravallion dan Squire, 1998; Dollar dan Kraay, 2001 dan 2002; Son dan Kakwani, 2003; dan Adams, 2004). Argumentasi teoritisnya adalah: pertumbuhan ekonomi menyebabkan setiap kelompok dalam masyarakat memperoleh keuntungan, namun kelompok yang menguasai faktor produksi dan modal biasanya mendapatkan keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya (para buruh). Jika ditelusuri kebelakang, debat mengenai hubungan antara pertumbuhan dan ketimpangan, awalnya dipicu oleh sebuah hipotesis yang dikemukakan oleh Kuznets (1955) - dikenal dengan Kuznets Hypothesis -, yang menyatakan bahwa keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan seperti U-shaped terbalik: pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung buruk dan tidak akan meningkat sampai negara tersebut mencapai status berpendapatan menengah (middle-income). Namun sesudah fase tersebut, distribusi pendapatan akan terus membaik atau ketimpangan akan terus menurun. Implikasi lain dari temuan ini, menurut Adams (2003), adalah bahwa pada tahap awal proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan butuh waktu beberapa tahun untuk menjadi berkurang di negara-negara berkembang. Hipotesis Kuznets di atas didasarkan pada data cross-sectional dengan mengobservasi sejumlah negara dengan tahap pembangunan yang bervariasi. Tentu saja, penggunaan jenis data seperti ini dianggap memiliki kelemahan, sebab bagaimanapun, tujuan untuk memahami dampak pertumbuhan terhadap ketimpangan lebih dimungkinkan jika menggunakan data time-series, karena dapat menunjukkan perubahan ketimpangan dalam suatu negara akibat pertumbuhan dari waktu ke waktu. Dalam dekade terakhir, dengan menggunakan data time-series telah dilakukan beberapa studi empiris, diantaranya Ravallion (1995), Deininger dan Squire (1996), Schultz (1998), dan Bruno, Ravallion dan Squire (1998). Temuan empiris semua studi tersebut cenderung menolak Hipotesis Kuznets. Ravallion misalnya, mengatakan bahwa: The rejection of the inverted U hypothesis (of the Kuznets curve) could not be more convincing... The data do not suggest that growth tends to either increase or decrease inequality. Saat ini, kebanyakan para ekonom berpikir bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai dampak besar terhadap perbaikan ketimpangan, karena distribusi pendapatan secara umum tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Menurut Deininger dan Squire (1996), Gross Domestic Product (GDP) per kapita meningkat 26% di negara-negara berkembang antara

tahun 1985-1995, namun koefisien Gini hanya berubah 0,28% per tahun selama periode tersebut. Sebagai misal, di Taiwan pendapatan per kapita riil meningkat lima kali lipat antara tahun 1964-1990, akan tetapi koefisien Gini hanya mengalami penurunan yang relatif kecil, yaitu dari 32,2 ke 30,1. Hasil studi Ravallion dan Chen (1997) terhadap 67 negara berkembang dan transisi, cenderung mendukung temuan Deininger dan Squire (1996). Dengan menggunakan data survey rumah tangga selama periode 1981-1994, ia menemukan bahwa perubahan ketimpangan tidak memiliki kaitan dengan perubahan standar hidup rata-rata. Bahkan pertumbuhan seringkali justru memperburuk distribusi pendapatan. Beberapa studi kasus (case studies) juga menunjukkan gejala yang sama bahwa distribusi pendapatan tidak banyak mengalami perubahan meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi selama periode analisis. Kasus Brazil seringkali dijadikan sebagai illustrasi yang baik. Menurut studi yang dilakukan oleh Ferreira dan Barros (1998), ketimpangan di Brazil tidak berubah antara tahun 1976 dan 1996, meskipun pendapatan per kapita secara keseluruhan meningkat beberapa persen. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi di Brazil tidak mempunyai dampak terhadap perbaikan distribusi pendapatan. Apa yang diungkapkan oleh Bank Dunia dalam World Development Indicators 1998 (dikutip dalam Todaro, 2003), sebagian cenderung mendukung temuan di atas. Dalam laporan tersebut nampak agak sulit untuk menarik kesimpulan apakah pertumbuhan ekonomi dapat memperbaiki distribusi pendapatan, setidaknya dalam kurun waktu lebih dari tiga dekade (1965-1996). Di Amerika Latin dan di Afrika misalnya, pertumbuhan nampak berjalan beriringan dengan perbaikan distribusi pendapatan: pertumbuhan nampak meningkat dan koefisien Gini cenderung menurun. Namun, gambaran tersebut tidak berlangsung di Asia Timur. Meskipun pertumbuhan di Asia Timur nampak mengalami peningkatan yang amat signifikan (rata-rata di atas 5% per tahun), akan tetapi ketimpangan justru kian membesar (ditunjukkan oleh koefisien Gini yang semakin meningkat). Hasil serupa juga ditunjukkan oleh Cornia dan Kiiski (2001) yang mengamati kecenderungan distribusi pendapatan sesudah Perang Dunia Kedua, atau dari tahun 1960an sampai dengan tahun 1990-an. Dari 73 negara yang diamati (17 negara maju, 34 negara berkembang, dan 22 negara transisi), 48 negara diantaranya (dua pertiga dari populasi) mengalami ketimpangan yang semakin meningkat. Ini cukup menarik, sebab fenomena ini justru terjadi di negara-negara maju (12 dari 17 negara yang diamati) dan di negara-negara transisi (21 dari 22 negara yang diamati). Terdapat 16 negara yang menunjukkan ketimpangan yang relatif konstan, namun beberapa negara diantaranya, seperti Brasil, India, Banglades, dan Indonesia menunjukkan kenaikan ketimpangan dalam 2-3 tahun terakhir periode pengamatan. Hanya 9 negara yang mencatat adanya perbaikan dalam distribusi pendapatan. Ini sebagian besar terjadi di negara-negara kecil (small nations) seperti Honduras, Jamaika, Tunisia, Norwegia, dan negara-negara berukuran sedang (medium-sized nations) seperti Perancis, Korea Selatan, dan Malaysia. Salah satu temuan penting studi ini adalah bahwa ketimpangan yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan, dan bahkan dapat memberikan dampak buruk bagi kehidupan sosial dan politik.

Dibandingkan dengan berbagai temuan di atas, beberapa ekonom bahkan memiliki pandangan yang lebih ekstrim, bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung menaikkan ketimpangan pendapatan (dan asset), dan pada tingkat ketimpangan yang lebih tinggi, hampir dapat dipastikan bahwa pertumbuhan hanya akan memberi manfaat bagi kaum kaya daripada kaum miskin. Forsyth (2000) misalnya, dengan lugas menulis: there is plenty of evidence that current patterns of (economic) growth and globalization are widening income disparities and thus acting as brake on poverty reduction. Jika argumentasi ini benar, maka cara terbaik untuk mengurangi kemiskinan di negaranegara berkembang adalah dengan pertama kali memperbaiki atau memperkecil ketimpangan pendapatan dan asset. Namun, studi yang dilakukan oleh Ravallion dan Datt (2000) di India justru menunjukkan hasil yang agak berbeda. Dengan menggunakan logaritma (log) produk domestik riil per kapita sebagai proksi dari pendapatan per kapita dan indeks Gini dari konsumsi per orang (dalam persen) sebagai proksi dari tingkat ketimpangan, mereka menunjukkan bahwa selama periode 1950-an hingga 1990-an, pendapatan rata-rata per kapita meningkat dan tingkat ketimpangan memperlihatkan trend yang menurun. Demikian pula hasil studi Ranis et al. (1977) di Cina juga menunjukkan adanya suatu korelasi negatif antara pendapatan dan ketimpangan: ketimpangan menurun jika pendapatan meningkat. Sebuah analisis lengkap yang dilakukan oleh Banerjee dan Duflo (2001), juga menemukan adanya hubungan antara ketimpangan dan pertumbuhan di banyak negara, meskipun bersifat non-linear. Chen (2003) dengan menggunakan data lintas negara, juga menemukan terjadinya U-shaped terbalik hubungan antara distribusi pendapatan dan pertumbuhan dalam jangka panjang, meskipun tidak dalam jangka pendek. Untuk kasus Indonesia, hasil studi Deininger dan Squire (1996) yang menyajikan estimasi koefisien Gini dari berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, juga menarik untuk diamati. Secara parsial, hasil studi tersebut memberi indikasi bahwa hipotesis U-shaped terbalik dari Kuznets berlaku untuk kasus Indonesia. Pada tahun 1970-an misalnya, tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia relatif rendah (0,31), tahun 1980-an tinggi (0,36), dan kemudian tahun 1990-an kembali rendah (0,32), padahal laju pertumbuhan meningkat secara konsisten selama periode tersebut. Berbagai fakta empiris di atas menunjukkan bahwa pada beberapa kasus, memang kerapkali pertumbuhan dan perbaikan distribusi pendapatan bergandengan tangan. Namun pada sejumlah kasus lainnya, tidaklah demikian. Divergensi yang besar antara pertumbuhan dan perbaikan distribusi pendapatan timbul bila pertumbuhan bersifat volatil dan tidak berkesinambungan. 3. Pertumbuhan dan Kemiskinan Dari berbagai studi empiris yang telah dilakukan, nampaknya terdapat hasil yang beragam mengenai dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan. Secara garis besar, hasil

tersebut dapat diklasifikasi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: Pertama, di masa lalu, beberapa ekonom menganggap bahwa pertumbuhan tidak cukup menurunkan kemiskinan di negara-negara berkembang. Sebagai contoh, Chenery and Ahluwalia. (1974) mengatakan: It is now clear that more than a decade of rapid growth in underdeveloped countries has been of little or no benefit to perhaps a third of their population. Demikian pula, Adelman dan Morris (1973) mengatakan bahwa: Development is accompanied by an absolute as well as a relative decline in the average income of the very poor... The frightening implication (of this) is that hundreds of millions of desperately poor people... have been hurt rather than helped by economic development. Kedua, Ravallion (1997), Son dan Kakwani (2003), dan Bourguignon (2004) melakukan review hubungan antara pertumbuhan dengan kemiskinan dan ketimpangan, dan mencatat bahwa dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan hanya terjadi ketika ketimpangan relatif tinggi (high inequality). Dengan kata lain, negara-negara yang mempunyai tingkat ketimpangan yang sedang, apalagi rendah, dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan relatif tidak signifikan. Hasil ini dapat pula diintrepretasi bahwa untuk tingkat pertumbuhan berapapun, semakin turun ketimpangan, semakin besar terjadinya penurunan dalam kemiskinan. Namun ketika ketimpangan pendapatan cenderung tetap stabil sepanjang waktu, pertumbuhan tetap diharapkan dapat mengurangi kemiskinan, setidaknya sampai pada taraf tertentu. Bagaimana pertumbuhan secara aktual mengurangi kemiskinan, menurut Adams (2003), sedikitnya tergantung pada 2 (dua) faktor, yaitu: pertama, tingkat pertumbuhan itu sendiri. Dengan menggunakan garis kemiskinan internasional US$ 1 per orang per hari, Squire (1993) melakukan studi ekonometrik dengan meregresi antara tingkat penurunan kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan. Hasilnya, jika terjadi kenaikan 1% dalam pertumbuhan, akan mengurangi kemiskinan 0,24%. Bruno, Ravallion, dan Squire (1998) juga melakukan studi ekonometrik serupa terhadap 20 negara berkembang selama periode 1984-1993, dengan meregresi antara tingkat proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (US$ 1 per orang per hari) dengan tingkat pertumbuhan (perubahan pendapatan rata-rata). Hasilnya, signifikan secara statistik dengan koefisien regresi -2,12. Artinya, jika terjadi kenaikan pertumbuhan sebesar 1%, maka proporsi penduduk miskin akan menurun sebesar 2,12%. Kedua, tingkat ketimpangan. Dengan statistik secara langsung, pertumbuhan dapat diharapkan menurunkan kemiskinan jika ketimpangan turun, dibanding jika sebaliknya. Ekspektasi ini dipertegas oleh studi yang dilakukan oleh Bruno, Ravallion dan Squire (1998). Mereka meregresi tingkat perubahan kemiskinan terhadap perubahan pertumbuhan dan perubahan ketimpangan (diukur dengan koefisien Gini) di 20 negara berkembang. Mereka memperoleh koefisien regresi yang signifikan secara statistik, yaitu -2,28 untuk variabel pertumbuhan dan 3,86 untuk variabel ketimpangan. Artinya, perubahan yang kecil pada ketimpangan distribusi pendapatan, dapat mendorong kearah

perubahan yang cukup besar timbulnya kemiskinan. Sedangkan untuk tingkat pertumbuhan berapapun, semakin turun ketimpangan, semakin besar terjadinya penurunan dalam kemiskinan. Temuan di atas juga dipertegas oleh hasil studi Bourguignon (2004). Dengan membandingkan antara negara-negara berpendapatan menengah dengan tingkat ketimpangan yang tinggi (middle income country with high inequality) dan negara-negara berpendapatan rendah dengan tingkat ketimpangan yang sedang (low income country with middle inequality) namun masing-masing memiliki tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang sama, yaitu rata-rata 3% per tahun ia menemukan fakta bahwa penurunan angka kemiskinan ternyata lebih cepat terjadi di negara-negara berpendapatan menengah dengan tingkat ketimpangan yang tinggi daripada di negara-negara berpendapatan rendah dengan tingkat ketimpangan yang sedang. Atas temuan itulah, Bourguignon (2004) selanjutnya menyatakan bahwa strategi pembangunan untuk menurunkan kemiskinan terletak pada hubungan antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan, dan bukan pada hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan ataupun antara kemiskinan dan ketimpangan. Melalui konsep Poverty-Growth-Inequality (PGI) Triangle yang diperkenalkannya, Bourguignon (2004) merekomendasikan sedikitnya dua strategi untuk mengentaskan kemiskinan: (i) mendorong pertumbuhan tingkat pendapatan aggregat; dan (ii) melakukan perbaikan distribusi pendapatan secara progressif. Ketiga, pertumbuhan mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Dollar dan Kraay (2002) dengan menggunakan data dari 80 negara berkembang selama kurun waktu 40 tahun, menyimpulkan bahwa growth is good for the poor. Mereka mengklaim bahwa: (since) average incomes of the poorest fifth of society rise proportionately with average incomes... (economic) growth generally does benefit the poor as much as every one else. Lebih jauh Dollar dan Kraay (2002) mengatakan bahwa pertumbuhan akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar bagi si-miskin jika pertumbuhan tersebut disertai dengan berbagai kebijakan seperti penegakan hukum, disiplin fiskal, keterbukaan dalam perdagangan internasional, dan strategi pengentasan kemiskinan. Pendapat ini nampaknya mempertegas pendapat Bigsten dan Levin (2000) sebelumnya yang menyatakan bahwa negara-negara yang berhasil dalam pertumbuhan kemungkinan besar juga akan berhasil dalam menurunkan kemiskinan, apalagi jika terdapat dukungan kebijakan dan lingkungan kelembagaan (institutional environment) yang tepat. Studi terbaru mengenai hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan dilakukan oleh Adams (2003). Dengan menggunakan data-data terbaru dari 50 negara berpendapatan rendah dan menengah rendah (low income and lower-middle income countries) yang terdiri atas 13 negara di Afrika Sub-Sahara, 4 negara di Asia Timur, 12 negara di Eropa dan Asia Tengah, 10 negara di Amerika Latin, 5 negara di Asia Tenggara, 6 negara di Timur Tengah dan Afrika Utara, Adams melakukan pengujian dampak pertumbuhan terhadap kemiskinan.

Ia menemukan fakta bahwa pertumbuhan secara meyakinkan dapat mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang. Ketika pertumbuhan diukur berdasarkan pendapatan ratarata (konsumsi), terdapat hubungan yang kuat secara statistik antara pertumbuhan dan penurunan kemiskinan. Elastisitas kemiskinan dalam kaitannya dengan pertumbuhan mencatat angka -2,59. Artinya, secara rata-rata, jika pertumbuhan meningkat sebesar 1%, maka akan mengakibatkan penurunan 2,59% proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan (US$1 per orang per hari). Bahkan ketika pertumbuhan diukur berdasarkan GDP per kapita, juga masih menunjukkan hubungan (meski tidak kuat) secara statistik antara pertumbuhan dan penurunan kemiskinan. Sejumlah studi kasus di berbagai negara juga memperlihatkan hasil serupa. Studi yang dilakukan oleh Wodon (1999) di Bangladesh, dengan memakai data panel regional dengan 14 wilayah geografis dan lima titik waktu antara tahun 1983 sampai 1996, menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi tingkat kemiskinan, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Begitu pula studi Demombynes dan Hoogeveen (2004) di Tanzania, juga menemukan bahwa pertumbuhan GDP per kapita yang relatif cepat selama periode 1992-2001, signifikan secara statistik menurunkan kemiskinan. Danielson (2002) di Jamaika, juga menemukan bahwa pertumbuhan per kapita yang berlangsung selama 1988-1998 mempunyai dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan. Ini dimungkinkan, menurut Danielson, sebab selama periode tersebut tidak terjadi peningkatan yang besar dalam ketimpangan. Dari gambaran di atas, nampak jelas bahwa meskipun terdapat beberapa hasil studi yang meragukan dampak positif pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan, namun beberapa studi terbaru dengan cakupan negara yang lebih luas dan rentang waktu data yang lebih panjang, menunjukkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak yang signifikan terhadap penurunan kemiskinan di negara-negara berkembang. 4. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal: Pertama, nampaknya tidak ada yang meragukan pentingnya pertumbuhan bagi penurunan kemiskinan. Negara-negara yang secara historis mengalami pertumbuhan yang berlangsung dalam rentang waktu atau periode yang panjang, nampaknya juga mengalami penurunan kemiskinan yang relatif besar. Konsep kemiskinan yang digunakan dalam temuan ini adalah: (i) proporsi penduduk miskin terhadap total populasi, biasanya klas pendapatan terendah dalam populasi (Dollar dan Kraay, 2002; Foster dan Szekely, 2000); (ii) kemiskinan absolut yang diukur berdasarkan tingkat pendapatan, misalnya US$ 1 per orang per hari (Adams, 2003); dan (iii) garis kemiskinan yang dihitung berdasarkan biaya hidup minimum (Ravallion dan Chen, 1997). Kedua, perubahan distribusional secara progressif akan berdampak positif bagi penurunan kemiskinan. Sulit untuk membantah bahwa pengurangan kemiskinan dapat dicapai melalui kebijakan redistributif (redistributive policies) meskipun tanpa adanya pertumbuhan. Namun pertumbuhan yang disertai dengan perubahan distribusional yang progresif akan

mempunyai dampak yang lebih besar terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan dengan pertumbuhan tanpa perubahan distribusional. Ravallion (1997), Bourguignon (2004), dan Son dan Kakwani (2003) yang mereview hubungan antara pertumbuhan, ketimpangan, dan kemiskinan, mencatat bahwa dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan hanya terjadi ketika ketimpangan relatif tinggi (high inequality). Hasil ini dapat pula diintrepretasi bahwa untuk tingkat pertumbuhan berapapun, semakin turun ketimpangan, semakin besar terjadinya penurunan dalam kemiskinan. Ketiga, tidak ada bukti kuat secara empiris yang menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pertumbuhan berjalan paralel dengan perbaikan distribusi pendapatan. Dollar dan Kraay (2002) menemukan bahwa, secara rata-rata, pendapatan masyarakat paling miskin (klas kelima dalam populasi) meningkat secara proporsional dengan pendapatan rata-rata. Namun studi lainnya menunjukkan bahwa perubahan dalam pendapatan dan perubahan dalam ketimpangan sama sekali tidak memiliki kaitan, seperti dikemukakan oleh Deininger dan Squire (1996), Ravallion dan Chen (1997), dan Easterly (1999). Menurut mereka, pertumbuhan adalah baik bagi si-miskin, atau setidaknya baik bagi setiap orang yang ada dalam masyarakat. Keempat, dalam tahun-tahun terakhir, penelitian maupun debat lebih fokus pada seberapa besar manfaat yang diperoleh kaum miskin dari pertumbuhan ekonomi (Ravallion 1998 dan 2001, Ravallion dan Chen 1997, Ravallion dan Datt 2000, dan Quah, 2001). Pada satu titik ekstrim, dinyatakan bahwa manfaat potensial pertumbuhan terhadap kaum miskin berkurang akibat kebijakan distributif yang tidak adil dan peningkatan ketimpangan yang menyertai pertumbuhan tersebut. Pada titik ekstrim yang lain, dikatakan bahwa meskipun ketimpangan meningkat akibat kebijakan ekonomi yang liberal dan pasar yang kian terbuka, namun pendapatan setiap orang dalam masyarakat, termasuk yang miskin, menunjukkan peningkatan, dan bahkan secara proporsional mengurangi timbulnya kemiskinan (Heshmati, 2004). Kelima, secara pragmatis, beragamnya temuan empiris semua studi di atas telah menimbulkan kesulitan tersendiri dalam merumuskan program dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang tepat dan efektif. Hingga saat ini, kebijakan dan program anti-kemiskinan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi donor (Bank Dunia, USAID, DFID) di negaranegara berkembang, lebih fokus pada upaya mendorong pertumbuhan ekonomi secara luas (broad-based economic growth), daripada mengatasi ketimpangan pendapatan dan asset (Adams, 2003). Ini memberi indikasi bahwa organisasi-organisasi donor masih meyakini keampuhan pertumbuhan ekonomi untuk mereduksi kemiskinan di negara-negara berkembang. Tentu saja, keyakinan ini tidak sepenuhnya benar, apalagi jika kita merujuk pada berbagai hasil studi terbaru yang justru menekankan perlunya melakukan perubahan distribusional secara progresif untuk mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang. Daftar Bacaan Adams, Richard H. Jr, 2003. Economic Growth, Inequality, and Poverty: Finding from a New Data Set, Policy Research Working Paper #2972, World Bank, February.

Adelman, Irma, 1975. Growth, Income Distribution, and Equity-Oriented Development Strategies, World Development 3 (2 and 3): 67-76. Adelman, Irma and Cynthia T. Morris, 1973. Economic Growth and Social Equity in Developing Countries, Stanford University Press. Aghion, P. and P. Howitt, 1997. Endogenous Growth Theory, The MIT Press. Cambridge, Mass. Agussalim, 2005. The Quality of Growth dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pembangunan, Majalah Simpul Perencana, Pusbindiklatren BAPPENAS, ISSN 1656-4229, Volume 5, Tahun 3, Juni 2005, Hal. 28-32. Agussalim, 2003. KTI, Konsepsi Pembangunan, dan Upaya Pencerahan. Makalah yang Disampaikan pada One Day Seminar Marketing Places: A New Approach for Sustainable Development in Era of Regional Autonomy, Dilaksanakan oleh Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Sulsel, Hotel Sahid Jaya Makassar, 12 April. Ahluwalia, M. S., 1976. Inequality, Poverty, and Development, Journal of Development Economics 3(4). Alesina, A. and D. Rodrik, 1994. Distributive Policies and Economic Growth, Quarterly Journal of Economics 109. Alfranca, Oscar et al., 2000. Economic Growth and Income Distribution in the OECD Countries, Retrieved October 20, 2004 from http://rru.worldbank.org/PaperLinks/ Anand, Sudhir and Ravi Kanbur, 1993. Inequality and Development: A Critique, Journal of Development Economics 41(1): 19-43. Barro, R., 2000. Inequality and Growth in a Panel of Countries, Journal of Economic Growth 5: 5-32. Benabou, Roland, 1996. Inequality and Growth, In B. Bernake and J. Rotemberg, NBER Macroeconomics Annual, Cambridge, MIT Press 11-74. Benerjee, A. and E. Duflo, 2001. Inequality and Growth: What Can the Data Say?, Paper presented at the WIDER Conference on Growth and Poverty, Helsinki, 25-26 May. Bigsten, Arne and Jorgen Levin, 2000. Growth, Income Distribution, and Poverty: A Review, Working Paper in Economics No. 32. Departement of Economics, Goteborg University. Bourguignon, Francois, 2004. Poverty-Growth-Inequality Triangle, Paper was presented at the Indian Council for Research on International Economic Relations, New Delhi, on February 4, 2004. Bourguignon, F. and C. Morrison, 1990. Income Distribution, Development and Foreign Trade: A Cross Section Analysis, European Economic Review 34. Bruno, M., M. Ravallion, and L. Squire, 1998. Equity and Growth in Developing Countries: Old and New Pespective on the Policy Issues, In Vito Tani and Ke-Young Chu (Eds), Income Distribution and High Growth, Cambridge, MA, MIT Press. Chen, B-L., 2003. An Inverted-U Relationship Between Inequality and Long-Run Growth, Economics Letters 78: 205-212. Chenery, Hollis and Ahluwalia, 1974. Redistribution with Growth, Published for the World Bank and the Institute of Development Studies, Sussex, Oxford U.P. Cornia, Giovanni A. and Sampsa Kiiski, 2001. Trends in Income Dsitribution in the PostWorld War II Period: Evidence and Intrepretation, WIDER Discussion Paper No. 89, UNU/WIDER: Helsinki. Danida, 2000. Poverty Patters of Economics Growth and Income Distribution, Review of

the Issues, Retrieved from internet October 20, 2004. Danielson, Anders, 2002. Poverty, Inequality, and Growth in Jamaica, 1988-1998, and Beyond, Paper was presented at the IIIrd CEISEL conference, Amsterdam, July 3-7, 2002. Deininger, Klaus and Lyn Squire, 1996. A New Data Set Measuring Income Inequality, World Bank Economic Review 10(3): 565-91. Demombynes, Gabriel and Johannes G. Hoogeveen, 2004. Growth, Inequality and Simulated Poverty Paths for Tanzania, 1992-2002, The World Bank, Policy Research Working Paper #3432, October. Dollar, David and Aart Kraay, 2002. Growth is Good for the Poor, Journal of Economic Growth 7(3): 195-225. Easterly, W, 1999. Life during Growth, Journal of Economic Growth 4: 239-276. Ferreira, Francisco and Ricardo Paes de Barros, 1998. Climbing a Moving Mountain: Explaining the Decline of Income Inequality in Brazil from 1976 to 1996, Inter-American Development Bank, Washington, D.C. Forbes, Kristin J., 2000. A Reassessment of the Relationship Between Inequality and Growth, American Economic Review 40(4): 869-887. Forsyth, Justin, 2000. Letter to the Editor, The Economics, June 20, p. 6. Foster, J. and M. Szekely, 2000. How Good is Growth, Asian Development Review 18: 5973. Galor, Oded and J. Zeira, 1993. Income Distribution and Macroeconomics, Review of Economic Studies 60: 35-52. Heshmati, Almas. 2004. Growth, Inequality and Poverty Relationship, Discussion Paper Series. IZA DP No. 1338, Institute for the Study of Labor, October. Jha, Sailesh, 1999. Fiscal Policy, Income Distribution and Growth, Economic & Development Resources Center No.67, ADB. Kaldor, N, 1960. Essays on Economics Stability and Growth, Economic Journal: 258-300. Kraay, Aart, 2004. When Is Growth Pro-Poor? Evidence from a Panel of Countries, The World Bank, Washington DC., December. Kuznets, Simon, 1955. Economic Growth and Income Inequality, American Economic Review 45(1): 1-28, March. Li H. and H. Zou, 1998. Income Inequality is not Harmful for Growth: Theory and Evidence, Review of Development Economics, 2(3). Lopez, J. Humberto, 2004. Pro-Growth, Pro-Poor: Is There a Tradeoff?, The World Bank, Policy Research Working Paper #3378. Pardo-Beltran, 2002. Effects of Income Distribution and Growth, Center for Economics Policy Analysis Working Paper No.16. Perotti, R., 1996. Growth, Income Distribution and Democracy: What the Data Say, Journal of Economic Growth 1(3): 149-187. Persson, T. and G. Tabellini, 1994. Is Inequality Harmful for Growth?, American Economic Review 84(3): 600-621. Quah, D., 2001. Some Simple Arithmetic on How Income Inequality and Economic Growth Matter, Paper presented at WIDER conference om Growth and Poverty, 25-26 May 2001, Helsinki. Ranis, G. et. al., 1977. Growth and the Family Distribution of Income by Factor Components, Quarterly Journal of Economics, February. Ravallion, Martin, 1995. Growth and Poverty: Evidence for Developing Countries in the

1980s, Economics Letters 48: 411-417. Ravallion, M and S. Chen, 1997. What Can New Survey Data Tell us about Recent Changes in Distribution and Poverty?, The World Bank Economic Review 11: 357-382. Ravallion, Martin, 1998. Does Aggregation Hide the Harmful Effects of Inequality on Growth?, Economics Letter 61: 73-77. Ravallion, M. and G. Datt., 2000. When Growth is Pro-Poor? Evidence from the Diverse Experience of Indian States, The World Bank, Policy Research Working Paper #2263. Ravallion, Martin, 2001. Growth, Inequality and Poverty: Looking Beyond the Averages, World Bank Policy Research Working Paper #2558, World Bank, Januari. Schultz, T. Paul, 1998. Inequality in the Distribution of Personal Income in the World: How Is It Changing and Why?, Journal of Population Economic, Vol. 11, No. 3 (June): 307-344. Sen, Amartya, 1988. The Concept of Development, dalam Chenery and Srinivasan, eds., Handbook of Development Economics, Vol. 1, New York: Elsevier Scince Publishers. Son, H. and N. Kakwani, 2003. Poverty Reduction: Do Initials Conditions Matter?, Mimeo, The World Bank. Svedberg, Peter, 2002. Lecture 7: Income Distribution and Growth: The Two-Way Relationship, Retrieved October 20, 2004 from http://rru.worldbank.org/ PaperLinks/. Thomas, Vinod et. al., 2000. The Quality of Growth, The World Bank, Washington D.C. Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith, 2003. Economic Development, Eighth Edition, The Addison-Wesley. Wodon, Quentin T., 1999. Growth, Poverty, and Inequality: A Regional Panel for Bangladesh, The World Bank, Policy Reasearch Working Paper #2070, March. World Bank, 2001. Indonesia: Constructing a New Strategy for Poverty Reduction, Report No. 23028-IND, October. World Bank, 2003. Sustainable Development In A Dinamic World: Transforming Institutions, Growth, and Quality of Life, World Development Report 2003, Oxford University Press. Diposkan oleh agussalim di 19:32

You might also like