You are on page 1of 34

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang mengandung protein 18 30%, akan tetapi ikan mudah mengalami kerusakan atau pembusukan. Pengolahan tradisional merupakan salah satu cara untuk mempertahankan ikan dari proses pembusukan. Terkadang pengolahan tradisonal kurang memperhatikan kondisi sanitasi dan higiene, pengemasan dan

penyimpanan yang tidak baik sehingga menyebabkan produk olahan trdisional sangat rentan mengalami kerusakan mikrobiologis. Kerusakan mikrobiologis disebabkan oleh bakteri maupun jamur. Jamur yang sering tumbuh pada kondisi aktivitas air atau kadar air rendah, selain menurunkan nilai estetika, juga potensial untuk menghasilkan racun. Ikan asin, ikan pindang, dan ikan asap paling sering ditumbuhi Aspergillus spp. dan Penicillium spp. Produk petis ikan juga dapat ditumbuhi jamur seperti Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus wentii, dan Penicillium citrinum. Jenis jamur yang dominan pada ikan asin adalah jamur Polypaecilum pisce dan Aspergillus niger (Wheeler et al., 1986 dalam Heruwati, 2002), namun jenis serofilik yang ditemukan pada ikan asin adalah jamur Aspergillus awamori, Aspergillus carbonarius, Aspergillus glaucus, serta Aspergillus tamarii, dan Eurotium glaucus. Jenis jamur yang potensial menghasilkan racun karsinogenik adalah Aspergillus flavus, yang menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin yang dihasilkan oleh beberapa jenis cendawan atau jamur didefinisikan sebagai senyawa organik beracun yang berasal dari sumber hayati

hasil metabolisme sekunder dari cendawan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa aflatoksin mempunyai kemampuan untuk menginduksi kanker pada hati ikan, burung, dan manusia dibandingkan dengan bahan kimia yang dapat menimbulkan kanker hati. Hal ini menunjukkan bahwa mengkomsumsi bahan pangan yang telah terkontaminasi aflatoksin sangat berbahaya. Antijamur yang biasa digunakan untuk mengatasi kerusakan produk ikan asin akibat jamur berasal dari bahan kimia seperti larutan asam sorbat dan masih jarang yang mengetahui potensi rumput laut sebagai antijamur. Rumput laut memiliki potensi yang besar di perairan Indonesia, dan selama ini banyak digunakan sebagai agar-agar, karaginan, dan asam alginat yang difungsikan dalam bidang pangan, maka perlu adanya informasi mengenai kajian atau potensi rumput laut sebagai antijamur alami. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa rumput laut marga Gelidium, Lurencia, Wrangelia, Caulerpa, Lyngbya memiliki potensi sebagai antijamur. Elsie dan Dhanarajan (2010) telah melakukan penelitian tentang aktivitas antimikroba dari rumput laut jenis Gelidium aerosa yang terbukti berpotensi sebagai antibakteri staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Micrococcus luteus dan sebagai antijamur Candida albicans, Aspergillus flavus, dan Aspergillus niger. Gelidium sp. merupakan jenis makro-alga di Indonesia yang telah banyak diketahui oleh masyarakat terutama masyarakat pesisir. Jenis-jenis Gelidium sp. tersebar di seluruh perairan Indonesia sehingga lebih mudah

untuk memanfaatkanya. Gelidium sp. memiliki komponen senyawa bioaktif

alkaloids, saponin, phytosterol, phenolic compounds, dan flavonoids yang diduga memiliki potensi sebagai antijamur.

1.2. Perumusan dan Pendekatan Masalah 1.2.1. Perumusan masalah Kerusakan produk perikanan hasil olahan tradisonal sering terjadi, baik kerusakan fisik maupun kerusakan mikrobiologis yang disebabkan oleh bakteri patogen dan jamur. Produk ikan asin sangat rentan terkontaminasi jamur karena sifat ikan asin yang memiliki kadar air dan aktivitas air yang rendah sehingga menyebabkan jamur dapat tumbuh. Jamur yang sering mengkontaminasi produk ikan asin yaitu Aspergillus flavus. Cara yang biasa dilakukan untuk menghilangkan kontaminasi jamur yaitu dengan menggunakan bahan kimia. Hal ini mendorong penelitian untuk menemukan senyawa alami baru yang dapat digunakan sebagai antijamur alami. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan menggunakan rumput laut yang diduga memiliki senyawa bioaktif sebagai antijamur. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diuji apakah rumput laut Gelidium sp. berpotensi menjadi antijamur alami dan apakah perbedaan konsentrasi pada pelarut polar berpengaruh pada aktivitas antijamurnya ? 1.2.2. Pendekatan masalah Berbagai penelitian dilakukan untuk mendapatkan senyawa baru dari alam baik berasal dari hewan maupun tumbuhan yang berpotensi sebagai antijamur. Salah satu tumbuhan alam yang memiliki senyawa bioaktif sebagai antijamur adalah rumput laut Gelidium sp. Rumput laut jenis ini banyak ditemukan di perairan tropis seperti di Indonesia terutama di pantai selatan Jawa.

Penelitian diawali dengan ekstraksi rumput laut menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran dan konsentrasi yang berbeda-beda. Kajian mengenai aktivitas antijamur Gelidium sp. terhadap Aspergillus flavus ini dilakukan dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui jenis pelarut yang terbaik, apakah pelarut non-polar (n-heksan), pelarut semi polar (aseton) atau pelarut polar (etanol) dan konsentrasi terbaik pada pelarut tersebut untuk menghasilkan senyawa bioaktif yang diduga berpotensi sebagai antijamur. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian tahap I yaitu 0 mg/ml, 5 mg/ml, 10 mg/ml, dan 25 mg/ml, dan 50 mg/ml. Waktu inkubasi yang digunakan yaitu selama 3 x 24 jam. Hal ini sesuai dengan penelitian yg dilakukan oleh Handajani dan Purwoko (2008) tentang aktivitas ekstrak rimpang lengkuas terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus sp. Pengujian dilanjutkan dengan menanam kultur Aspergillus flavus pada media Potato Dextrose Agar (PDA) kemudian diberi ekstrak Gelidium sp. lalu diukur zona hambatnya. Parameter pendukung yang diteliti yaitu uji skrinning fitokimia dan identifikasi senyawa bioaktif dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada ekstrak Gelidium sp.

1.3. Tujuan dan Manfaat 1.3.1. Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. 2. Mengetahui ada tidaknya potensi antijamur ekstrak Gelidium sp.; Mengetahui pengaruh tingkat konsentasi yang berbeda pada pelarut polar terhadap aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp.

1.3.2. Manfaat Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. terhadap jamur

Aspergillus flavus sehingga dapat menjadi suatu alternatif sumber antijamur alami.

1.4. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari-April 2012. Rumput laut diambil dari perairan pantai Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Pengeringan sampel dan ekstraksi sampel di Laboratorium Teknologi Pangan, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Pengujian aktivitas antijamur dilakukan di Laboratorium Kesehatan, Semarang. Sedangkan untuk uji Kromatografi Lapis Tipis dan uji skrinning fitokimia dilakukan di Laboratorium Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Permasalahan 1. Produk ikan asin sering ditumbuhi jamur Aspergillus flavus yang memabahayakan kesehatan. 2. Penggunaan bahan kimia digunakan untuk menghilangkan jamur pada produk. 3. Gelidium sp. belum banyak dimanfaatkan sebagai antijamur alami.

Input

Potensi Gelidium sp. sebagai antijamur dengan studi pustaka

Penelitian Tahap I 1. Penanganan sampel dan proses ekstraksi. 2. uji aktivitas antijamur dengan pelarut yang berbeda (n-heksan, aseton, etanol). 3. uji kontrol negatif. Proses Evaluasi data penelitian tahap I

Penelitian Tahap II Parameter utama : Uji aktivitas antijamur dengan pelarut terbaik Parameter pendukung : Uji kontrol negatif, uji skrining fitokimia, uji KLT, uji aktivitas air ekstrak Gelidium sp.

Data Output Analisis Data

Kesimpulan

Gambar 1. Skema Pendekatan Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi dan Klasifikasi Gelidium sp. Gelidium sp. adalah salah satu jenis alga merah (Rhodophyta) yang memiliki sebaran geografis sangat luas. Gelidium sp. di Indonesia memiliki berbagai nama menurut daerah, misalnya kades dan intip kembang karang (Jawa Barat), bulung merak dan bulung ayam (Bali) dan sayur laut (Ambon). Habitat dan sebaran Gelidium sp. di Indonesia pada umumnya di perairan pantai berbatu dan terbuka yang kebanyakan di daerah pantai Samudra India. Pengaruh alam yang banyak menentukan sebarannya adalah macam substrat, kadar garam (salinitas), ombak, arus, dan pasang surut. Substrat dasar tempat melekatnya biasanya berupa batu karang mati, gamping, dan batu vulkanik. Kisaran salinitas perairan 13 37 permil. Ciri-ciri umum rumput laut ini adalah berukuran kecil sampai sedang (panjang kurang lebih 20 cm dan lebar 1,5 mm), batang utama tegak dengan percabangan yang biasanya menyirip, thallinya berwarna merah, coklat, hijau-coklat atau pirang, membentuk jumbaian yang rimbun, dan organ reproduksinya berukuran mikroskopis (Aslam,1995).

Gambar 2. Rumput Laut Gelidium sp.

Klasifikasi Gelidium sp. menurut Armisen dalam Phillips dan Williams (2000) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Gelidiales : Gelidiaceae : Gelidium : Gelidium sp.

2.2. Kandungan dan Manfaat Gelidium sp. Menutut Zaneveld (1955) dalam Rosulva (2008), komposisi kimia rumput Laut Gelidium sp. dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Gelidium sp. Berdasarkan Berat Kering No. Parameter Kadar (%) Nitrogen Protein kasar Galaktan Pentosan Serat Abu Gula pereduksi Metil pentosan Magnesium Kalsium Sumber: http://www.fao.org/ (2008) Berbagai jenis Gelidium sp. di Indonesia dan negara lain dimanfaatkan sebagai bahan baku pabrik agar-agar dalam negeri dan sebagai komoditas ekspor. 2.01 12,5 23,7 2,03 17,89 4,23 23,2 0,93 0,52 0,28

Kandungan agar-agarnya berkisar antara 12% - 48%, tergantung jenisnya. Sedangkan kadar agar-agarnya di Indonesia (Sulawesi) mencapai 30%. Status produksinya di negara kita masih tergantung pada sediaan alami (Aslam,1995). Atmadja (2004) menambahkan bahwa rumput laut Gelidium sp. memiliki senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai antijamur, antibakteri, antivirus, dan mengatasi gangguan organ dalam. Rumput laut memiliki komponen utama karbohidrat (gula atau vegetable gum), protein, lemak, dan abu yang merupakan mineral. Gelidium sp. juga mengandung beberapa pigmen (pikoeritrin r, klorofil a, karoten b, pikosianin r) yang terkandung dalam dinding selnya. Selain itu Gelidium mempunyai kandungan vitamin B12, kolesterol dan beberapa sterol, protein sebagai antikoagulan dan ektrak lipid larut air sebagai anti-inflamatori (Yunizal 2002). Berdasarkan penelitian Hebsibah dan Dhanarajan (2010), ekstrak Gelidium sp. memiliki kandungan senyawa biaoktif yang beraneka ragam. Senyawa bioaktif tersebut terdiri dari alkaloid, karbohidrat, saponin, phytosterol, phenolic compounds, flavonoid, terpenoid, dan tannins. Kandungan phenolic compounds dengan pelarut metanol, etanol, dan aseton memiliki peran yang paling besar terhadap aktivitas antibakteri dan antijamur dari ekstrak Gelidium sp.

2.3. Senyawa Biaoktif Gelidium sp. Berdasarkan penelitian Hebsibah dan Dhanarajan (2010), ekstrak Gelidium sp. memiliki kandungan senyawa bioaktif yang beraneka ragam. Senyawa bioaktif tersebut terdiri dari alkaloid, karbohidrat, saponin, phytosterol, phenolic compounds, flavonoid, terpenoid, dan tannins. Kandungan phenolic compounds

dengan pelarut metanol, etanol, dan aseton memiliki peran yang paling besar terhadap aktivitas antibakteri dan antijamur dari ekstrak Gelidium sp. 2.3.1. Senyawa fenolik Senyawa fenolik terdiri atas molekul-molekul besar dengan beragam struktur, karakteristik utamanya adalah adanya cincin aromatik yang memiliki gugus hidroksil. Kebanyakan senyawa fenolik termasuk ke dalam kelompok flavonoid. Produk yang mula-mula terbentuk pada biosintesis senyawa fenolik adalah shikimat. Fenol bersifat asam, karena sifat gugus OH yang mudah melepaskan diri. Karakteristik lainnya adalah kemampuan membentuk senyawa kelat dengan logam, mudah teroksidasi dan membentuk polimer yang menimbulkan warna gelap. Timbulnya warna gelap pada bagian tumbuhan yang terpotong atau mati disebabkan oleh reaksi ini, hal ini sekaligus menghambat pertumbuhan tanaman ( Pratt dan Hudson, 1990). Menurut Lenny (2006), sifat-sifat kimia dari senyawa fenol adalah sama, akan tetapi dari segi biogenik senyawa-senyawa ini dapat dibedakan atas dua jenis utama, yaitu: 1. 2. Senyawa fenol yang berasal dari asam shikimat atau jalur shikimat; dan Senyawa fenol yang berasal dari jalur asetat-malonat.

Senyawa-senyawa fenol ditemukan dalam berbagai organisme, mulai dari mikroorganisme sampai pada tumbuhan tinggi dan hewan. Walaupun kapang merupakan sumber yang kaya akan senyawa fenol yang bearsal dari jalur asetatmalonat, tetapi senyawa fenol yang berasal dari jalur ini ditemukan pula pada tumbuhan tinggi.

2.3.2. Alkaloid Alkaloid adalah basa organik yang mengandung amina sekunder, tersier atau siklik. Diperkirakan ada 5500 alkaloid telah diketahui. Alkaloid merupakan golongan senyawa metabolit sekunder terbesar dari tanaman, umumnya mencakup senyawa-senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Banyak alkaloid adalah terpenoid di alam dan beberapa adalah steroid. Lainnya adalah senyawa-senyawa aromatik, contohnya colchicine. Diketahui bahwa senyawa alkaloid yang berasal baik dari tanaman maupun hewan menunjukkan beragam aktivitas biologi. Kebutuhannya senantiasa meningkat setiap tahun sehingga mendorong para peneliti

mengembangkan penelitian terkait terutama di bidang pertanian dan bidang obatobatan (Makkar, et.al. (1993) dalam Utami dan Robara (2009). Hampir semua alkaloid yang ditemukan dialam mempunyai keaktifan

biologis tetentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Misalnya kuinin, morfin, dan stiknin adalah alkaloid yang terkenal dan mempunyai efek fisiologis dan psikologis. Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting, dan kulit batang. Alkaloid umumnya ditemukan dalam kadar yang kecil dan harus dipisahkan dari campuran senyawa yang rumit dari jaringan tumbuhan (Lenny, 2006). 2.3.3. Flavonoid Senyawa flavonoida adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuhtumbuhan. Flavonoida mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15

atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6 -C3-C6 (Lenny, 2006). 2.3.4. Saponin Saponin merupakan jenis glikosida. Glikosida adalah senyawa yang terdiri daro glikon (Glukosa, fruktosa,dll) danaglikon (senyawa bahan aalam lainya). Saponin umumnya berasa pahit dan dapatmembentuk buih saat dikocok dengan air. Selain itu juga bersifat beracun untuk beberapa hewan berdarah dingin. Saponin merupakan glikosida yang memiliki aglikon berupa steroid dan triterpen. Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul karbohidrat. Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat. Dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin. Masing-masing senyawa ini banyak dihasilkan di dalam tumbuhan (Sulistiono,2007). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun. Berdasarkan strukturnya, saponin ada dua yaitu steroid dan triterpenoid. Saponin steroid terdapat dalam tumbuhan monokotil, dan saponin triterpenoid terdapat dalam tumbuhan dikotil (Puryanto, 2009).

2.4. Jamur Aspergillus flavus Fardiaz (1989) dalam Rochani (2009) menyebutkan bahwa jamur sebagai suatu mikroorganisme eukariotik yang mempunyai ciri-ciri spesifik yaitu mempunyai inti sel, memproduksi spora, tidak mempunyai klorofil, dapat berkembang biak secara aseksual dan beberapa jamur mempunyai bagian tubuh berbentuk filamen-filamen dan sebagian lagi bersifat uniseluler. Beberapa jamur meskipun saprofitik, dapat juga menyerbu inang yang hidup lalu tumbuh dengan

subur sebagai parasit dan menimbulkan penyakit pada tumbuhan, hewan, termasuk manusia, tidakkurang dari 100 spesies yang patogen terhadap manusia. Jamur biasanya bersifat multiseluler, setiap pertumbuhan jamur terdiri atas lebih dari satu sel. Namun demikian tiap-tiap sel memiliki kemampuan untuk tumbuh sendiri dan oleh karenanya jamur dapat diklasifikasikan sebagai mikroorganisme. Jamur terdiri atas untaian seperti benang tipis disebut hife (tunggal:hifa). Hife tumbuh sebagai massa di permukaan atau menembus medium tempat jamur tersebut tumbuh. Maasa hifa ini disebut miselium. Pada dasarnya terdapt dua macam jamur, yaitu jamur tidak bersepta dan jamur bersepta. Jamur tidak bersepta yaitu jamur yang tidak memiliki dinding pemisah (septa), hifanya merupakan tabung memanjang berisi inti yang banyak dan terdispersi ke seluruh sitoplasma, oleh karena itu diberi nama multiseluler. Jamur bersepta memiliki septa atau dinding pemisah yang membagi hifa menjadi sel yang terpisah, masingmasing berisi sel berisi inti (Gaman dan Sherrington, 1992). Apergillus tersebar luas di alam, dan kebanyakan spesies sering menyebabkan kerusakan makanan, tetapi beberapa spesies bahkan digunakan dalam fermentasi makanan. Jenis ini dibedakan atas 18 grup aspergilli yang terdiri dari lebih dari 100 spesies. Jamur ini tumbuh baik pada substrat dengan konsentrasi gula dan garam tinggi. Oleh karena itu dapat tumbuh pada mkanan dengan kdar air rendah (Fardiaz, 1992). Aspergillus flavus merupakan jamur saprofit di tanah yang umumnya memainkan peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Jamur tersebut juga ditemukan pada bijibijian yang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain menyerang segala jenis

substrat organik dimana saja dan kapan saja jika kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang tinggi. Sifat morfologis Aspergillus flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam. Koloni dari Aspergillus flavus umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari. Jamur ini memiliki warna permulaan kuning yang akan berubah menjadi kuning kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat keemasan atau tidak berwarna, sedangkan koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua (Hedayati dalam Afiandi, 2011).

Gambar 3. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus Sumber: Hedayati et al.( 2007)

Klasifikasi Aspergillus flavus menurut Frazier dan Westhoff dalam Afiandi (2011) adalah sebagai berikut: Divisi Sub divisi Ordo Famili Genus Spesies : Tallophyta : Deuteromycotina : Moniliales : Moniliaceae : Aspergillus : Aspergillus flavus

Aspergillus sp. umumnya mampu tumbuh pada suhu 6 - 60C dengan suhu optimum berkisar 35-38C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum 80% (aw minimum=0.80) dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw minimum pembentukan aflatoksin=0.83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%. Kenaikan suhu, pH, dan persyaratan lingkungan lainnya akan menyebabkan aw minimum bertambah tinggi (Makfoeld 1993). Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus dikenal sebagai jamur yang sangat berbahaya karena tidak hanya merusak makanan tetapi juga menghasilkan toksin yang sangat berbahaya bagi manusiadan hewan. Aspergillus flavus dapat memproduksi aflatoksin B1 dan B2 serta asam siklopiazonat dan hanya sebagian isolat alamim yang bersifat toksigenik. Aspergillus parasiticus selain

menghasilkan aflatoksin B1 dab B2, juga memproduksi aflatoksin G1 dan G2 namun tidak menghasilkan asam siklopiazonat dan hampir seluruh isolat bersifat toksigenik (Bhatnagar dalam Raharjanti, 2006).

2.5. Aflatoksin Toksin jamur atau cendawan yang disebut aflatoksin dihasilkan oleh jamur yang umum dijumpai, yaitu genus Aspergillus. Toksin ini dapat menyebabkan peracunan akut pada hewan, termasuk manusia, bila makanan yang tercemari jamur tersebut termakan. Toksisitas racun itu dapat membawa kerusakan pada hati dan juga merangsang pertumbuhan tumor. Kini diketahui bahwa aflatoksin merupakan sekumpulan senyawa yang sekerabat. Cara kerjanya yang tepat terhadap struktur dan metabolisme sel masih belum jelas (Irianto, 2007). Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu. Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan sejenis kapang. Toksin tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut. Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin.(Yu et al. dalam Afiandi, 2011). Aflatoksin adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang sering mengkontaminasi produk pangan maupun pakan. Kontaminasi Aflatoksin di Indonesia tergolong cukup tinggi dan sulit dihindari, iklim tropis di Indonesia dengan tingkat

kelembapan, curah hujan dan suhu yang tinggi sangat menunjang pertumbuhan dan perkembangbiakan kapang penghasil aflatoksin (Raharjanti, 2006). Aflatoksin yang dihasilkan oleh beberapa jenis jamur didefinisikan sebagai senyawa organik beracun yang berasal dari sumber hayati berupa hasil metabolisme sekunder dari jamur. Jamur penghasil aflatoksin, tergantung pada komposisi kimia yang dikandung bahan pangan. Racun aflatoksin seperti ochratoksin, Sterigmatosistis, dan asam panisilat diproduksi lebih aktif pada bahan yang mengandung karbohidrat tinggi (jagung, gandum, dan beras), kemudian diikuti oleh bahan yang kaya lipid dan protein. Ada empat macam aflatoksin yang dikenal yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Istilah B dan G berasal dari warna biru (blue) dan hijau (green) sinar fluoresens di bawah lampu UV pada plat Kromatografi Lapis Tipis. Angka 1 dan 2 menunjukkan perbedaan antara senyawa utama dan minor. Aflatoksin B2 merupakan derivat dari

dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan derivat dari dihidroaflatoksin G1 (Syarief et al., 2003). Tabel 3. Krakteristik Berbagai Jenis Aflatoksin Aflatoksin Rumus Molekul Berat molekul B1 B2 G1 G2 M1 M2 B2A G2A C17H12O6 C17H14O6 C17H12O7 C17H14O7 C17H12O7 C17H14O7 C17H14O7 C17H14O8 312 314 328 330 328 330 330 346 Titik leleh (oC) 268 - 269 286 289 244- 246 237 240 299 293 240 190

Sumber: http://www.icrisat.org/aflatoxin/aflatoxin.asp (2010).

Aflatoksin menyebabkan nekrosis akut, cirrhosis dan carcinoma pada hati hewan. Pada manusia diduga menimbulkan karsinogenik. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek racun dari aflatoksin, demikian juga manusia. Untuk kebanyakan hewan nilai LD50 0,5 10 mg/kg berat badan hewan. Pada tahun 1982 di Kenya dilaporkan orang yang keracunan aflatoksin 60% meninggal. Setelah diteliti kadar aflatoksin pada jagung yang merupakan makanan utama mereka berkisar antara 0,25 15 mg/kg jagung (FDA, 2006).

III. MATERI DAN METODE

3.1. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga bahwa konsentrasi yang berbeda pada satu jenis pelarut dari ekstrak rumput laut Gelidium sp. berpengaruh terhadap daya hambat jamur Aspergillus flavus, sehingga dapat diketahui aktivitas antijamur terbaik.

3.2. Perumusan Hipotesis Perumusan hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: H0 : Perbedaan konsentrasi ekstrak Gelidium sp. tidak memberikan pengaruh terhadap daya hambat Aspergillus flavus pada pengujian sensitivitas antijamur. H1 : Perbedaan konsentrasi ekstrak Gelidium sp. memberikan pengaruh terhadap daya hambat Aspergillus flavus pada pengujian sensitivitas antijamur. Kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: Fhitung < Ftabel (taraf uji : 1% dan 5%) maka terima H0 tolak H1 Fhitung Ftabel (taraf uji : 1% dan 5%) maka terima H1 tolak H0

3.3. Materi Penelitian 3.3.1. Bahan Bahan yang digunakakan adalah rumput laut Gelidium sp. yang diambil dari perairan Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Bahan lain yang digunakan pada penelitian ini terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Bahan yang Digunakan pada Penelitian No Bahan Fungsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Gelidium sp. n-heksan (teknis) Aseton (teknis) Etanol (teknis) Aquadest Potato Dextores Agar (PDA) Nutrient Broth (NB) Kultur jamur Alumunium foil Sebagai bahan baku Sebagai pelarut Sebagai pelarut Sebagai pelarut Untuk membuat media agar Sebagai media tumbuh jamur Sebagai media tumbuh jamur Sebagai jamur uji Untuk menutup erlenmeyer saat ekstraksi dan sterilisasi 10. 11. 12. Kertas tisu Kertas saring Paper disc Untuk membersihkan alat Menyaring ekstrak setelah maserasi Sebagai indikator pengamatan diameter zona hambat jamur 13. 14. 15. Kapas Plastik wrap Kertas label Menutup tabung dan Erlenmeyer Untuk membungkus petridish Untuk menulis keterangan pada sampel ataupun perlakuan 3.3.2. Alat Alat yang digunakan pada penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 5. Alat yang Digunakan pada Penelitian No Alat Ketelitian Fungsi 1 Autoclave 1 atm Untuk sterilisasi alat gelas dan media agar 2 3 4 5 Petridish Gelas ukur Inkubator Jangka sorong 1 ml 0,5 C 0,05 mm
o

Sebagai tempat pembiakan jamur Mengukur pelarut Menginkubasi biakan Untuk mengukur zona hambat jamur

Lanjutan Tabel 5. 6 Labu Erlenmeyer

10 ml

Untuk tempat merendam sampel dan membuat media agar Tempat sampel saat evaporasi

Labu Round bottom Flask Magnetic stirrer -

Untuk mengaduk saat pemasakan media agar Mengambil ekstrak Untuk menguapkan pelarut Kultur isolate Untuk menimbang sampel Tempat untuk inokulasi Untuk menghomogenkan sampel Tempat ekstrak Untuk meratakan bakteri uji pada media agar Meletakkan paperdish pada ekstrak Sebagai pengering sampel Sebagai tempat sampel

9 10 11 12 13 14 15 16

Mikropipet Rotary evaporator Tabung reaksi Timbangan analitik Laminary air flow Vortex mixer Vial Gelas rod

1 L 0,0001 g -

17 18 19

Pinset Solar Tunnel Dryer Cool box

3.4. Prosedur Penelitian Prosedur kerja yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Tahap penanganan bahan baku yang meliputi penanganan sampel dan proses ekstraksi dengan menggunakan tiga pelarut yaitu n-heksan, aseton, dan etanol. Proses ekstraksi menggunakan rotary evaporator. 2. Penelitian tahap I yang meliputi uji kontrol negatif dan uji aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. dari tiga pelarut yaitu n-heksan, aseton, dan etanol.

3.

Penelitian tahap II yang meliputi uji kontrol negatif, dan uji aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. dari pelarut yang merupakan hasil terbaik dari penelitian tahap I.

4.

Uji skrining fitokimia yang meliputi senyawa fenolik, flavonoid, saponin, triterpenoid, steroid, dan alkaloid; uji Kromatografi Lapis Tipis; dan uji aktivitas air ekstrak Gelidium sp. Secara ringkas diagram alir prosedur penelitian disajikan pada diagram alir

sebagai berikut: Penanganan sampel

Proses ekstraksi menggunakan rotary evaporator

1. Uji kontrol negatif pelarut (nheksan, aseton, dan etanol) 2. Uji aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. dari 3 pelarut yaitu n-heksan, aseton, dan etanol

Penelitian pendahuluan

Penelitian utama

1. Uji kontrol negatif pelarut terbaik pada penelitian pendahuluan 2. Uji aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. dengan pelarut yang merupakan pelarut terbaik pada penelitian pendahuluan 3. Uji skrinning fitokimia, uji KLT, uji kadar Aw

Gambar 4. Diagram Alir Prosedur Penelitian

3.4.1. Prosedur penelitian tahap I Penelitian tahap I merupakan penelitian pendahuluan untuk menentukan pelarut dan konsentrasi yang paling baik untuk aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. terhadap Aspergillus flavus. Prosedur yang digunakan dalam penelitian tahap I adalah penanganan sampel, ekstraksi sampel, uji kontrol negatif, dan uji aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. dengan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol. a. Penanganan sampel Sampel Gelidium sp. berasal dari perairan Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Setelah diambil, biomassa kemudian dicuci dengan air mengalir sampai bersih. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran baik berupa pasir atau tanaman lain yang menempel pada sampel. Rumput laut kemudian dikemas dalam plastik polibag dan dimasukkan dalan cool box untuk digunakan pada tahap selanjutnya. Rumput laut yang telah bersih mula-mula ditimbang untuk mengetahui berat awal kemudian dikeringkan dengan menggunakan STD (Solar Tunnel Dryer). Pengeringan dengan STD menggunakan energi sinar matahari tetapi tidak secara langsung sehingga sinar radiasi matahari tidak secara langsung mengenai produk yang dikeringkan. b. Ekstraksi ampel Ekstraksi sampel mengacu pada prosedur ekstraksi oleh Nuraini (2007) dengan modifikasi. Ekstraksi sampel dilakukan dengan metode maserasi. Metode maserasi yang digunakan adalah maserasi bertingkat yaitu maserasi satu sampel dengan tiga jenis pelarut secara berurutan. Tiga jenis pelarut yang digunakan adalah n-heksan, aseton, etanol.

Sampel rumput laut Gelidium sp. kering ditimbang dan dipotong kecil-kecil 5 mm, direndam dengan masing-masing pelarut dengan perbandingan 1:10 (w/v), kemudian dilakukan sonikasi selama 10 menit dan dilanjutkan dengan maserasi selama 24 jam pada suhu ruang (28oC). Langkah selanjutnya yaitu disaring setelah dihasilkan ekstrak yang ditandai perubahan warna pada larutan menjadi kehijauan. Perendaman dengan pelarut bertujuan untuk menarik senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung dalam Gelidium sp. Proses

perendaman diulangi kembali hingga larutan ekstrak tidak mengalami perubahan warna. Tidak adanya perubahan warna menunjukkan bahwa bahan bioaktif telah terekstrak sempurna, kemudian filtrat disaring sehingga didapatkan filtrat hasil dari masing-masing jenis pelarut yang akan dianalisa potensi bioaktifnya. Filtrat dipindahkan dari erlenmeyer ke dalam flask, kemudian dievaporasi dalam rotary evaporator pada suhu 37 oC selama 7 jam hingga pelarut teruapkan sempurna yaitu sampai filtrat berbentuk pasta dan sudah tidak tercium bau pelarut. Hasil ekstrak ditempatkan dalam vial kosong selanjutnya dilakukan penimbangan ekstrak. Ekstrak dalam vial disimpan dalam lemari pendingin. Ekstrak Gelidium sp. digunakan untuk uji aktivitas antijamur. c. Uji kontrol negatif pelarut n-heksan, aseton, dan etanol Uji kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelarut pada ekstrak Gelidium sp. terhadap daya hambat jamur Aspergillus flavus. Prosedur dalam uji kontrol negatif adalah pelarut ekstrak dengan kuantitas 20 l diteteskan pada paper disc kemudian diletakkan pada biakan jamur uji dan diinkubasi selama 48 jam. Idealnya pelarut tidak boleh mempunyai pengaruh terhadap jamur uji.

Apabila kontrol negatif membentuk zona hambat maka hasil pengukuran diameter zona hambat pada perlakuan dikurangi dengan zona hambat dari pelarut tersebut. d. Uji aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. dengan pelarut n-heksan, aseton, dan etanol

 Sterilisasi alat dan bahan Dalam uji aktivitas antijamur harus menggunakan alat dan bahan steril. Sterilisasi alat dan bahan dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang aseptis. Adapun tahapan sterilisasi alat dan bahan sebagai berikut : 1. Alat-alat yang akan disterilisasi dibersihkan dengan alkohol dan dibungkus dengan menggunakan kertas payung; 2. Air secukupnya dituang kedalam autoclave, kemudian alat yang dibungkus kertas dimasukkan kedalam autoclave dan ditutup rapat dengan

mengencangkan baut secara silang; 3. Kemudian disterilisasi dilakukan dengan suhu 1210 C, tekanan 1 atm, selama 15 menit; 4. Autoclave dimatikan dan katup dibuka untuk mengurangi tekanan. Tunggu beberapa saat sampai termometer dan monometer menunjukkan angka nol lalu buka penutup autoclave; dan 5. Alat yang sudah disterilkan diambil dari autoclave.  Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA) Media yang digunakan untuk pembiakan kultur jamur Aspergillus flavus yaitu Potato Dextores Agar (PDA). Adapun prosedur pembuatannya adalah sebagai berikut:

1. Rebus kentang dalam akuades selama sampai lunak, kemudian diambil ekstraknya dengan menyaring dan memerasnya menggunakan kertas saring lalu ditampung di Beaker glass baru; 2. Agar dilarutkan dengan Hot Plate Stirrer dalam 50 ml akuades lalu setelah larut dapat ditambahkan dekstrosa dan dihomogenkan lagi; 3. Setelah semua larut, ekstrak kentang dan agar-dekstrosa dicampur dan dihomogenkan; 4. Atur pH media menjadi 5-6 dengan meneteskan HCl/NaOH; dan 5. Media dituang ke erlenmeyer atau tabung reaksi,siap untuk disterilisasi.  Pembuatan Media Nutrien Broth (NB) Media NB merupakan media dalam bentuk cair yang digunakan untuk kultur jamur, adapun tahapan dalam pembuatan media NB adalah sebagai berikut: 1. Untuk membuat 100 ml larutan NB dibutuhkan 1,3 gram NB kering; 2. NB kering dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan selanjutnya dicampur dengan aquades sehingga volume larutan menjadi 100 ml; 3. Larutan NB dipanaskan di atas hot plate dan distirer sehingga didapatkan larutan yang homogen. Pemanasan dihentikan jika larutan NB sudah larut sempurna dan berwarna bening; 4. Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan alumunium foil kemudian disterilkan dalam autoclave dengan suhu 121 oC, tekanan 1 atm, selama 15 menit; 5. Larutan NB yang akan dipakai didinginkan terlebih dahulu hingga mencapai suhu 30 oC, bakteri akan mati jika diinokulasikan pada Nutrien Broth yang

masih panas;

6. Selanjutnya sebanyak 4 ml larutan NB masing-masing dimasukkan kedalam 4 tabung reaksi dengan menggunakan pipet volume; 7. Biakan jamur diambil sebanyak 5 ose ke dalam masing-masing tabung yang telah berisi larutan NB. Supaya homogen biakan bakteri di dalam tabung reaksi dihomogenkan dengan vortex mixer; dan 8. Setelah homogen biakan bakteri dimasukkan ke dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 370 C.  Uji aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. dengan pelarut n-heksan, aseton, dan etanol Uji aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. dengan pelarut n-heksan (non-polar), aseton (semi polar), etanol (polar) dilakukan dengan metode difusi agar, prosedurnya adalah sebagai berikut: 1. Pada uji aktivitas antijamur ini menggunakan konsentrasi yaitu 0, 5, 10, 25, dan 50 mg/ml; 2. Jamur yang sudah ditumbuhkan dalam larutan NB, masing-masing diambil dengan menggunakan mikropipet ukuran 100 l kemudian disebarkan secara merata ke dalam petridish yang berisi PDA dengan menggunakan gelas rod; 3. 4. Setiap petridish diisi sebanyak 5 buah paper disc; Paper disc pertama ditetesi larutan ekstrak masing-masing sebanyak 20 l dengan menggunakan mikropipet dengan konsentrasi 0 sebagai kontrol negatif, konsentrasi 5 mg/ml pada paper disc kedua, 10 mg/ml pada paper disc ketiga, 25 mg/ml pada paper disc keempat, dan 50 mg/ml pada paper disc kelima;

5.

Petridish tersebut diinkubasi selama 3x24 jam, setiap 24 jam dilakukan pengamatan dan pengukuran diameter dengan menggunakan jangka sorong untuk melihat diameter daya hambat sampel terhadap jamur.

3.4.2. Prosedur penelitian tahap II Penelitian tahap II atau yang disebut penelitian utama terdiri dari uji aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. dengan pelarut terbaik hasil penelitian tahap I, dan uji kontrol negatif. Prosedur uji aktivitas antijamur ekstrak Gelidium sp. adalah sebagai berikut: 1. Pada uji aktivitas antijamur ini menggunakan konsentrasi terbaik diambil dari penelitian tahap I; 2. Jamur yang sudah ditumbuhkan dalam larutan NB, masing-masing diambil dengan menggunakan mikropipet ukuran 100 l kemudian disebarkan secara merata ke dalam petridish yang berisi PDA dengan menggunakan gelas rod; 3. 4. Setiap petridish diisi sebanyak 4 buah paper disc; Paper disc pertama ditetesi larutan ekstrak masing-masing sebanyak 20 l dengan menggunakan mikropipet dengan konsentrasi 0 sebagai kontrol negatif (pelarut terbaik), konsentrasi untuk masing-masing paper disc berbeda sesuai hasil dari penelitian tahap I; dan 5. Petridish tersebut diinkubasi selama 3x24 jam, setiap 24 jam dilakukan pengamatan dan pengukuran diameter dengan menggunakan jangka sorong untuk melihat diameter daya hambat sampel terhadap jamur.

3.4.3. Uji skrinning fitokimia Metode skrining fitokimia digunakan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder, makromolekul serta penggunaan data yang diperoleh untuk menggolongkan tumbuhan. Pemeriksaan secara kualitatif senyawa flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid, fenol, dan alkaloid adalah sebagai berikut: a. Uji senyawa flavonoid pada ekstrak Gelidium sp. 1. Sebanyak 1 ml lapisan air dari tahap preparasi diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi; 2. Ditambahkan 1-2 butir logam magnesium dan 3 tetes asam klorida pekat; dan 3. Sampel positif mengandung senyawa flavonoid jika terbentuk warna orange hingga merah. b. Uji senyawa saponin ekstrak Gelidium sp. 1. Sebanyak 1 ml lapisan air dari tahap preparasi diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi; 2. Larutan dikocok kuat-kuat; dan 3. Sampel positif mengandung senyawa saponin apabila terbentuk busa yang permanen yang tidak hilang dalam waktu 15 menit. c. Uji senyawa alkaloid ekstrak Gelidium sp. 1. Sebanyak 1 ml lapisan kloroform diambil dan dimasukkan tabung reaksi; 2. Ditambahkan 10 tetes asam sulfat dan dikocok perlahan, biarkan sampai terbentuk lapisan asam; 3. Lapisan asam diambil dan ditambah setetes pereaksi meyer; dan 4. Reaksi positif ditandai dengan kabut putih hingga gumpalan putih atau endapan.

d. Uji senyawa steroid dan triterpenoid ekstrak Gelidium sp. 1. Pipet pasteur yang didalamnya telah dimasukkan arang sebanyak 5 g disiapkan; 2. Lapisan kloroform diambil dan dimasukkan dalam pipet pasteur; 3. Filtrat yang keluar dari pipet pasteur dimasukkan dalam 3 buah lubang pada plat tetes dan dibiarkan sampai kering; 4. Tiap-tiap lubang pada plat tetes ditambahkan satu tetes asam asetat anhidrat dan satu tetes asam sulfat pekat; dan 5. Terbentuknya warna biru hingga ungu menunjukkan sampel positif mengandung senyawa steroid sedangkan warna merah menunjukkan sampel positif mengandung senyawa triterpenoid. e. Uji senyawa fenolik ekstrak Gelidium sp. 1. Sebanyak 1 ml lapisan air diambil dan dimasukkan ke dalam plat tetes; 2. Ditambahkan ferri klorida pada tiap plat tetes yang telah diberi sampel; dan 3. Terbentuknya warna biru atau ungu menandakan adanya senyawa fenolik. 3.4.4. Uji kadar aktivitas air Aktivitas air bahan pakan adalah air bebas yang terkandung dalam bahan pakan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Pengukuran aktivitas air menggunakan alat Aw meter. Aw meter sebelum digunakan terlebih dahulu dikalibrasi menggunakan larutan barium klorida (BaCl2). Larutan dibiarkan selama 3 menit setelah itu jarum Aw meter ditera sampai menunjukkan angka 0,9 karena BaCl2 mempunyai kelembaban garam jenuh sebesar 90%. Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan cara memasukkan pelet ke dalam Aw

meter sampai menutupi permukaan kemudian ditutup dan dibiarkan selama 3 menit, setelah itu pembacaan dapat segera dilakukan.

3.5. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode experimental laboratories yaitu suatu metode yang digunakan untuk mendapatkan data-data yang dilakukan

dengan percobaan dilaboratorium dan pengamatan secara langsung, sistematis terhadap kejadian-kejadian obyek yang diteliti (Sudjana, 1989). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi yang efektif dari Gelidium sp. Rancangan dasar yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Empat macam konsentrasi yang berbeda dan masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Jamur uji yang digunakan adalah Aspergillus flavus. Rancangan penelitian uji aktivitas antibakteri Gelidium sp. tersaji pada tabel berikut ini: Tabel 6. Matrix Rancangan Penelitian Konsentrasi 1 0 mg/ml (K1) 5 mg/ml (K2) 10 mg/ml (K3) 25 mg/ml (K4) 50 mg/ml (K5) Keterangan: K1 : Konsentrasi 0 mg/ml K2 : Konsentarsi 5 mg/ml K3 : Konsentrasi 10 mg/ml K4 : Konsentrasi 25 mg/ml K5 : Konsentrasi 50 mg/ml K11 K21 K31 K41 K51 K12 K22 K32 K42 K52

Ulangan 2 K13 K23 K33 K43 K53 3

3.6. Analisa Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisa dengan sidik ragam atau analysis of varian (ANOVA). Berdasar analisis tersebut, diperoleh hasil uji F untuk mengetahui pengaruh sumber keragaman dan perbedaan variabel-variabel yang diamati karena perlakuan yang berbeda. Berdasarkan analisis tersebut maka diperoleh hasil uji F dengan rumus: KTS F hitung = KTE Keterangan : KTS = Kuadrat Tengah Perlakuan KTE = Kuadrat Tengah Galat F hitung digunakan untuk mengetahui pengaruh sumber keragaman dan perbedaan variabel-variabel yang diamati karena perlakuan yang berbeda. Jika analisis tersebut menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan bantuan tabel Q pada taraf uji 99%, untuk mengetahui perbedaan antar nilai tengah perlakuan dan menentukan perlakuan yang terbaik. Formula uji BNJ adalah sebagai berikut: KTG r BNJ = qa x (p, n2) Keterangan: KTG = nilai kuadrat tengah galat (error) r = jumlah ulangan p = jumlah perlakuan n2 = derajat bebas galat acak

DAFTAR PUSTAKA

Afiandi, N. 2011. Uji Potensi Isolat Lokal Aspergillus flavus Sebagai Penghasil Aflatoksin. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 79 hlm. Aslam, L. 1995. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta. Atmadja, W. S. 2004. Rumput laut sebagai Obat. Oseana Volume XVII. 1:1-8. Fardiaz, s. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. FDA. 2006. Aflatoxins. Food borne and pathogenic microorganism and natural toxins handbook. U.S Food and Drug Administration FDA Home page. mow@cfsan.fda.gov. Elsie, B.H dan M.S. Dhanarajan. 2010. Evaluation of Antimicrobial Activity and Phytochemical Screening of Gelidium acerosa. Research and Development Centre, Bharathiar University, India Gaman dan K. B. Sherrington. 1992. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi Edisi Kedua. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Hedayati, M. T., Pasqualotto, Warn, Bowyer, Denning. 2007. Aspergillus flavus:human pathogen, allergen, and mycotoxin producer. Microbiology 153:1677-1692. Heruwati, E. S. 2002. Pengolahan Ikan Secara Tradisioanl: Prospek dan Peluang Pengembangan. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Irianto, K. 2007. Menguak DuniaMikroorganisme Jilid 2. Yrama Widya, Bandung. Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenolpropanoida dan Alkaloida. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Makfoeld, D. Mikotoksin Pangan. 1993. Jakarta: Penerbit Kanisius. Nuraini, A. D. 2007. Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens Willd). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 94 hlm. Phillips GO, Williams PA. 2000. Handbook of Hydrocolloids. Cambridge England: Woodhead Publishing Limited.

Pratt, D. E. Dan B. J. R. Hudson. 1990. Natural Antioxidants Not Exploited Commercially. Di dalam Hudson, B. J. F. (ed). Food Antioxidants. Hal. 171-192. Elsevier Applied Science, New York. Raharjanti, D.S. 2006. Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus Parasiticus dan Reduksi Aflatoksin oleh Kapang dan Khamir Ragi Tape. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rochani, N. 2009. Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steen) Terhadap Candida albicans Serta Skrining Fitokimianya. [Skripsi]. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Rosulva, I. 2008. Pembuatan Agar Bakt dari Rumput Laut Gelidium sp dengan Khitosan Sebagai Absorben. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 55 hlm. Utami, N Dan M. Robara. 2009. Identifikasi Senyawa Alkaloid Dari Ekstrak Heksana Daun Ageratum conyzoides. Linn. Universitas Lmpung Press, Lampung. Sudjana, 1989. Desain dan Analisis Eksperimen Edisi Ketiga. Tarsito, Bandung. 273 hlm. Syarief, R., Ega, Nurwiti. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB Press, Bogor. Yunizal. 2002. Teknologi Ekstraksi Agar-agar dari Rumput Laut Merah (Rhodophyceae). Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Pusat Riset Kelautan dan Perikanan.Departemen Kelautan dan Perikanan; Jakarta.

You might also like