You are on page 1of 4

Mahliani Devinta Saputri 0906631944 Filsafat 2009 A Thousand Plateaus Deleuze and Guattari Buku ini menceritakan tentang

subjek yang mempunyai otoritas atas dirinya dalam kedudukannya di fungsi sosial. Karya Deleuze dan Guattari sebetulnya sangatlah kompleks dan bervariasi. Untuk dapat memulainya kita dapat melihat dari suatu peristiwa empiris seperti di bawah ini: 1. Korupsi terhadap APBN Negara lewat kolusi-kolusi politik 2. Si penyeleweng tersebut mengadakan pesta dengan mengundang para praktisi hukum dengan memakai hasil uang korupsi tersebut 3. Setelah para koruptor tersebut ditindak lanjuti lewat jalur hukum, mereka dapat dengan santai menanggapinya, karena mereka telah menyeret para praktisi hukum sebelumnya dengan menikmati hasil uang korupsi juga 4. Alhasil, para koruptor bisa bebas atas dakwaannya, dan malah para praktisi hukum yang mendapat hukuman penjaranya. Inilah yang membuktikan bahwa ada sesuatu dalam diri manusia yang tidak bisa ditindas, karena semakin ditindas semakin mempunyai kekuatan yang mendorong untuk bisa bebas, yang disebut sebagai hasrat. Dari peristiwa di atas, sesuatu yang tadinya tidak masuk akal, dalam hal itu adalah memasukkan praktisi hukum ke dalam penjara, padahal yang melakukan korupsi bukanlah mereka, menjadi sangat masuk akal. Hubungannya dengan pemikiran Deleuze dan Guattari sekarang adalah kekuasaan yang berbahaya itu muncul ketika menindas, karena akan membuat mereka semakin berkembang. Misalnya dilihat pada koruptor yang ditindas oleh hukum yang semakin ketat, malah mereka semakin memutar otaknya untuk menghindar dari hukum yang telah dibuat tersebut. Hal tersebut yang dilihat Deleuze dan Guattari sebagai intrapsikis dalam individu. Dan mereka memetaforakannya sebagai rhizoma. Rhizoma adalah tanaman yang menjalar seperti akar yang berjalan kemana-mana dan berkembang serta mempunyai banyak cabang yang tak terarah dan tak bisa diduga. Rhizoma menghubungkan setiap titik ke titik lain, dan tidak

Mahliani Devinta Saputri 0906631944 Filsafat 2009 mempunyai karakteristik sifat yang sama di setiap titiknya. Walaupun ia mempunyai karakteristik yang berbeda, mereka tetap satu kesatuan dalam arah gerakannya dan tidak seperti struktur yang mempunyai tingkatan dan posisi. Tetapi ketika secara tradisional hasrat sering dikaitkan dengan kekurangan, Deleuze dan Guattari melihat sisi lebih positif dari hasrat, yaitu bahwa hasrat juga terkait pada produktivitas dan keterhubungan. Kita dapat melihat arah gerakan potensi hasrat tersebut dalam suatu event. Di dalamnya, event selalu mengalir dan berproses menjadi sehingga mengalami transformasi dari potensi ke aktualisasi. Intensitas ini selalu berhubungan dengan intensitas yang lain. Event dalam keberadaanya berbentuk penyebaran dari dirinya. Sama seperti kesadaran, bahwa kesadaran adalah sesuatu yang mengalir dan hadir dalam durasi waktu. Kesadaran merupakan segala sesuatu yang berjalan kemudian menggelembung dan tiba-tiba secara sadar meledak bertanya tentang tindakannya terhadap eventnya tersebut. Jadi manusia itu selalu mempunya event dalam dirinya akibatnya manusia adalah makhluk yang kontradiktif dalam melihat meaning of life-nya. Hasrat terkait dengan sesuatu yang harus diproduksi, dibangun, dan dimodifikasi, dalam hal ini kapitalis yang melihat ini semua untuk mempertahankan keberadaannya. Aliran dari hasrat itu dapat diarahkan melalui suatu kekuatan dan aturan-aturan. Dan ketika aliran itu hadir maka terciptalah hubungan-hubungan dengan yang lain sehingga terbentuklah mesin hasrat. Lewat mesin hasrat inilah kapitalisme membuat kelas-kelas, dimana hasratnya dapat diatur oleh masyarakat. Aliran hasrat ini sudah diintimidasi sejak lahir ke dunia, dimulai dari bentuk keluarga. Manusia akan ditindas dalam keluarga lewat filiasi dan aliansi, sehingga pada akhirnya mereka merasa berhutang kepada keluarganya, dan hutang ini pun tidak akan terbayarkan sampai akhir hayatnya. Jadi manusia itu sudah dikodekan lewat nilai, norma, dan tradisi. Permasalahannya menjadi sangat kompleks karena persoalan di ranah sosial di transfromasikan ke dalam wilayah individual, sehinga keduanya menjadi tak terbedakan. Dalam hal ini psikoanalisa tidak memasuki mesin hasrat setiap individu, karena hanya terfokus pada peran oedipal saja. Untuk itu, Deleuze dan Guattari sangat Anti-Oedipus, karena Oedipalisasi merupakan kekurangan psikoanalisa sebagaimana ia mengakar pada kapitalisme dan gagal menyerap dasar skizofreniknya sendiri. Deleuze dan Guattari mengkritik pemikiran Freud dan Marx bahwa jika konsep hasrat berfiliasi seperti yang diungkapkan Freud dan konsep produksi berafiliasi seperti yang diungkapkan Marx, maka konsep mesin diciptakan Deleuze dan Guattari

Mahliani Devinta Saputri 0906631944 Filsafat 2009 sebagai ketidaksadaran skizofrenik. Jadi ketidaksadaran itu adalah mesin yang tidak memiliki bentuk figurative dan saling mengendalikan satu mesin dengan mesin lainnya. Kita dapat melihat perbedaan pemikirannya dengan Freud dan Marx, jika Freud mendekodekan hasrat pada libido, maka Marx dalam analisis masyarakatnya mendeteritorialisasi hasrat pada produksi, bagi Deleuze dan Guattari justru membalikkan pemahaman hasrat yang demikian, hasrat dipandang sebagai ketidaksadaran dan produktif yang tidak dapat dibatasi oleh represi keluarga dan sosial. Oleh karena itu mereka memahami hasrat bukan sebagai libido dan produksi, melainkan mesin-mesin hasrat. Namun demikian hasrat selalu berhubungan dengan produksi dimana semua produksi adalah hasrat produktif di ranah individual dan sosial produktif di ranah sosial. Dengan menjelma menjadi ketidaksadaran, hasrat memproduksi dirinya sendiri. Hasrat mencukupi kebutuhan dan menciptakan dirinya sendiri disini ia menciptakan objeknya sendiri sampai memproduksi realitasnya sendiri. Disini dapat dilihat bahwa subjektivitas sebagai penggabungan unsur-unsur kreatif sehingga menjadi kesatuan koheren. Kekuatan-kekuatan itu menyatu sesuai dengan hubungan-hubungan konektif sementara yang diatur secara sosial. Maka struktur pertama yang menentukan subyek adalah medan sosial yang mensituasikan subyek tersebut. Keluarga termasuk di dalamnya, namun hanya sebagai perantara. Identitas subyek selalu dalam proses, yang senantiasa beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan. Struktur sosial selalu mengatur kekuatan-kekuatan hasrat, dan dengan itu membatasi interaksi individu dan kreativitas. Hal terpenting bahwa masyarakat perlu selalu menganalisis bagaimana institusi mereka mengkodifikasi dan menekan hasrat, agar dengan itu transformasi kreatif individu lebih dimungkinkan. Dan yang kini perlu diwaspadai, menurut Deleuze dan Guattari adalah bagaimana kapitalisme global menyeragamkan segala kemungkinan subyektivasi dan mesin hasrat partikular ke dalam ukuran ekonomi universal. Kapitalisme yang berbahaya adalah bahwa aliran hasrat dibebaskan demi terwujudnya ekuivalensi. Manusia dibuat masuk ke dalam permainan hasrat dengan dibuat berfikir bebas, padahal mereka selalu dituntun kapitalisme dalam berfikir tersebut. Meskipun dalam sebuah masyarakat dimana individunya memiliki potensi kreatif yang menguntungkan untuk kehidupan bersama, tetapi jika tidak sesuai tata aturannya tetap tidak diperbolehkan untuk mengaktualisasikan potensinya tersebut. Deteritorialisasi terjadi ketika hasrat dibuat mengalir sehingga terlihat bebas namun sudah diarahkan. Kemudian hal ini dimodifikasi sedemikian rupa untuk membatasi kemungkinan yang

Mahliani Devinta Saputri 0906631944 Filsafat 2009 akan terjadi. Manusia selalu dibuat tidak pernah puas akan kebutuhannya secara terus menerus sehingga terjadilah tindakan reteritorialisasi. Kapitalisme membuat fungsi-fungsi bagian tubuh selalu dibatasi dalam mengembangkan kemampuannya. Deleuze dan Guattari mencermati, setiap bagian aktual dari tubuh yang memiliki konstruksi pemikiran yang dilekatkan oleh budaya. Tetapi masing-masing bagian aktual tubuh tersebut juga memiliki dimensi lain mengenai potensi, koneksi, pengaruh, gerak dan sebagainya, di luar konstruksi berpikir yang telah dilazimkan. Dimensi lain ini memiliki kemungkinan sangat luas yang bahkan tak terpikirkan sebelumnya. Inilah Body without Organs. Lini pelarian ini adalah sebuah tujuan di mana seseorang mampu menarik keluar potensi dalam diri melampaui konstruksi berpikir yang telah distandarisasikan Dalam konsep Body without Organs, dijelaskan bahwa manusia memang di satu sisi terjerat dalam alur yang memberinya eksistensi. Alur-alur inilah yang membuat manusia dan kehidupan nampak teratur atau terorganisasi. Namun, sebenarnya alur-alur ini bekerja dengan mekanisme kecemasan, karena orang menjadi cemas ketika ia tidak berjalan sesuai alur yang dilazimkan. Menurut Deleuze dan Guattari pada sisi itu kita harus belajar pada orang-orang schizo dan membebaskan segala kelaziman yang dilekatkan pada tubuh kita yang membuat kita selalu terbatasi. Kita harus mempunyai keunikan kita sendiri. Keunikan di mana kita bisa melihat sesuatu yang kontekstual dengan diri kita tanpa terpengaruh kelaziman yang dilekatkan orang lain atas diri kita. Deleuze dan Guattari mempunyai batu loncatan bahwa manusia yang becoming adalah manusia Body without Organs yaitu sebuah kondisi di mana manusia tidak berakhir, melainkan terus bergerak menuju sesuatu. Manusia adalah mahluk yang hidup dengan segala keterbatasan, kecemasan dan keinginan-keinginan. Tapi yang lebih penting dari itu semua, kita harus selalu ingat bahwa dalam diri kita tersimpan kekuatan luar biasa dan kita harus selalu kembali pada kekuatan itu agar hidup kita berkembang dan tak terbatasi kelaziman yang dilekatkan budaya atas diri kita.

You might also like