You are on page 1of 180

PENDEKATAN KEPEMIMPINAN DALAM SISTEM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA A.

LANDASAN TEORI Sebagai salah satu ilmu pengetahuan, kepemimpinan memiliki peranan penting dalam kerangka menajemen, sebab peranan seorang pemimpin pada dasarnya merupakan penjabaran serangkaian fungsi kepemimpinan. Dalam kepemimpinan ini terdapat hubungan antar manusia yaitu hubungan saling mempengaruhi (dari pimpinan), dan hubungan kepatuhan atau ketaatan para pengikut / bawahan karena dipengaruhi oleh kewibawaan pemimpin. Para pengikut terkena pengaruh kekuatan dari pimpinannya, dan bangkitlah secara spontan rasa ketaatan kepada pemimpin. Dari satu segi kepemimpinan dapat dilihat sebagai instrumen dalam organisasi, yang memiliki kekuasaan dan kekuatan tertentu untuk

melancarkan kegiatan organisasi mengejar tujuan bersama. Kepemimpinan juga dapat dilihat sebagai produk satu keadaan, yang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : 1) Pribadi pemimpin dengan cara hidup dan filsafat hidupnya. 2) Struktur kelompok dengan ciri-ciri khasnya. 3) Problema dan kejadian-kejadian yang berlangsung pada saat ini.

B. PENGERTIAN KEPEMIMPINAN Untuk mengerti kepemimpinan maka kita harus memahami lebih jauh teori-teori kepemimpinan. Berikut ini adalah petikan tentang pendapat para ahli mengenai definisi kepemimpinan.

Menurut C. N. Cooley (1902) Kepemimpinan merupakan titik pusat dari suatu kecendrungan, dan pada kesempatan lain, semua gerakan sosial kalau di amati secara cermat akan ditemukan kecendrungan yang memiliki titik pusat.

Menurut Ordway Tead (1929) Kepemimpinan sebagai perpaduan yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya.

Menurut G. U. Cleeton dan C. W. Mason (1934) Kepemimpinan menunjukan kemampuan mempengaruhi orang-orang dan mencapai hasil melalui himbauan emosional dan ini lebih baik di bandingkan dengan melalui penggunaan kekuasaan.

Menurut P. Pigors (1935) Kepemimpinan adalah suatu proses saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan-perbedaan individu, mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama.

Menurut Soekamto (2000:318), Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya) sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagai mana dikehendaki oleh pemimpin tersebut.

Rivai (2004:36) dalam bukunya berjudul Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain, baik didalam organisasi maupun diluar oraganisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam suatu situasi dan kondisi tertentu.

Menurut John Gage Allee dalam Kartono (2004:38) Leader a guide; a conductor; a commander (pemimpin itu ialah pemandu, penunjuk, penuntun, komandan).

Tead dalam bukunya The Art of Leadership, sebagaimana dikutip oleh Kartono (2004:57) mengemukakan bahwa Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

C. PENGERTIAN KEPEMERINTAHAN

Menurut D. G. A. Van Poelje (1953) Kepemerintahan adalah mengajarkan bagaimana dinas umum di susun dan di pimpin dengan sebaik-baiknya.

Menurut U. Rosenthal (1978) Ilmu Pemerintahan adalah ilmu yang menggeluti studi tentang

penunjukan cara kerja ke dalam dan keluar, struktur dan proses pemerintahan umum.

Menurut H. A. Brasz (1975) Ilmu Pemerintahan dapat di artikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang cara bagaimana lembaga pemerintahan umum itu di susun dan diungsikan baik secara kedalam maupun secara keluar terhadap warganya.

Menurut W. S. Sayre Pemerintahan adalah sebagai organisasi dari negara, yang

memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya.

Menurut C. F. Strong (1960) Pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan utnuk

memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan ke luar .

Menurut R. Mac Ivar (1947) Pemerintahan adalah sebagai suatu organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Ilmu Pemerintahan adalah sebuah ilmu tentang bagaimana manusia dapat di perintah (a science of how men are governed).

Menurut Samuel Edward Finer Pemerintahan adalah sebuah sistem yang mempunyai kegiatan yang terus menerus (process) wiayah negara tempat kegiatan itu

berlangsung (state), pejabanat yang memerintah (the duty), dan cara, metode serta sistem (manner, method and sistem) dari pemerintah terhadap masyarakatnya.

Menurut Bayu Surianingrat Disiplin ilmu yang tertua adalah ilmu pemerintahan karena sudah di pelajari sejak sebelum masehi oleh para filosof, dewasa ini ilmu pemerintah berjuang keras untuk menjadi ilmu yang berdiri sendiri.

Menurut Prajudi Atmosudirjo Tugas pemerintah antara lain adalah tata usaha negara, rumah tangga negara, pemerintahan, pembangunan dan penglestarian lingkungan hidup.

Menurut Sumendar Ilmu pemerintahan sebagai badan yang penting dalam rangka pemerintahannya, pemerintah mesti memperhatikan ketentraman dan ketertiban umum, tuntunan dan harapan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, serta pendpat rakyat, pengaruh lingkungan,

pengturan komunikasi, peran serta seluruh lapisan masyarakat serta keberadaan legitimasi.

Menurut Musanef Ilmu pemerintahan adalah suatu imu yang dapat menguasai dan memimpin serta menyelidiki unsur-unsur dinas berhubungan dengan

keserasian

kedalam hubungan antar dinas-dinas itu dengan

masyarakat yang kepentingannya diwakili dinas tersebut.

Menurut Inu Kencana Syafiie Ilmu pemerintahan adalah imu yang mempelajari pengaturan bagaimana (legislatif),

melaksanakan

pengurusan

(eksekutif),

Kepemimpinan dan koordinasi pemerintah (baik pusat dengan daerah maupun antara penguasa dengan rakyatnya) dalam berbagai peristiwa dan gejala poemerintahan yang dihrapkan secara baik dan benar.

D. KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN SEBAGAI ILMU Kepemimpinan secara umum masih berbagai titik pandang displin ilmu yang memilikinya seperti imu jiwa, imu administrasi, ilmu manajemen, ilmu politik maka karena kepemimpinan pemerntahan berbeda dengan

kepemimpinan swasta yang spesifik, maka kepemimpinan pemerintahan untuk sementara dapat di kaji secara khas obyek, subyek, sistematika, metode, keuniversalan, terminologi, filosofi, teori, prinsip, dalil, rumus dan cara mempelajarinya. Obyek formal kepemimpinan pemerintahn adalah hubungan antara

pemimpin dengan yang di pimpin dalam hal ini yang memimpin adalah rakyatnya sendiri, obyek materinya adalah manusia. Jadi berbeda dengan imu pemerintahan memiliki obyek materi manusia mengembangkan ilmu

baru ini akan bertumpah tindah dengan ilmu jiwa, ilmu administrasi , ilmu manajemen bahkan ilmu ekonomi. Kekuasaan di tunjuk untuk memusnahkan

dekadensi moral (nahi munkar) sedangkan pelayanan ditujukan hanya untuk yang baik dan benar (amar maruf). Bila sudah menjadi disiplin ilmu yang mandiri nantinya maka kepemimpinan pemerintahan akan mempunyai methode antara lain yaitu methode induksi yang menarik kesimpulan apakah kepemimpinan itu di

lahirkan atau dibentuk oleh lingkungan, methode deduksi yang menguraikan fakta dan data kepemimpinan pemerintahan.

E. PEMIMPIN PEMERINTAHAN SEBAGAI SENI Menurut George R. Terry (1964) Art is personal creative power plus skill in perormance (Maksudnya seni adalah kekuatan pribadi seseorang yang kreatif, ditambah dengan keahlian yang bersangkutan dalam menampilkan tugas

pekerjaannya. Jadi seni merupkan kemampuan seseorang untuk mewujudkan cipta, rasa dan karsa yang dimiliki yang bersangkutan sebagai seniman. Kepemimpinan seseorang pemerintahan sebagai seni berarti bagaimana dalam tugas dan fungsinya

pemimpin

pemerintahan

dengan

keahliannyamampu

menyelenggarakan pemerintahan secara indah. Misalnya membuat surat keputusan yang berpengaruh menjadikan pekerjaannya sebagai teater dan dirinya menjadi dalang sekaigus wayangnya, bagaimana yang bersangkutan menyampaikan kehalusan sastra rethorika yang menggugah, sehingga

tercapai pemerintah yang berdayungan dan berhasil guna.

Seni kepemimpinan pemerintah juga berkenan dengan bagaimana seni membujuk (persuasif) seni mendorong (motivati), seni menghubungkan (komunikatif), seni bagaimana memfasilitasi, seni bagaimana mematahkan hubungan seni bagaimana menjadi teladan yang di contohkan orang lain.

F. KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN SEBAGAI MORAL Dalam suatu daerah yang tidak ada kepemimpinan pemerintahan sama sekali tidak menutup kemungkinan terjadi berbagai dekadensi moral yang anarkis seperti perkosaan, perzinahan, pelecehan, pencurian,

perampokan, penindasan, perkelahian, pembunuhan dan berbagai jenis lainnya, untuk itu diperlukan seseorang pemegang kekuasaan yang memegang aturan dengan kekuasaannya di sebut dengan pemimpin pemerintahan, bayangkan apa jadinya bila pemimpin pemerintahan tersebut tidak memiliki moral.

Sebagai

penjaga

malam

pemimpin

pemerintahan

tersebut

mengendalikan masyarakatnya, antisipasi seperti ini di istilahkan dengan negatif, sedangkan kejadian yang terjadi juga diistilahkan dengan negatif, dengan begitu secara matematis antara negatif dikaikan dengan negatif akan menjadi positif, hal ini hanya boleh di perlakukan untuk pemimpin pemerintahan.

Sebaliknya untuk masyarakatnyanya yang berlaku baik dan benar pemerintahan harus melayani karena akan terjadi berbagai permohonan pertolongan bagi pelayanan publik, seperti fakir miskin dan anak terlantar,

orang tua jompo, bencana alam seperti banjir, kebakaran dan lain-lain, untuk ini pemimpin pemerintah memberikan pelayanan. Selanjutnya antara kekuasaan untuk kejahatan dan pelayanan untuk kebaikan seperti ini tidak boleh di balik perlakuannya, yaitu kekuasaannya digunakan orang-orang yang baik dan benar (disebut dengan dzalim) sedangkan pelayanan yang diberikan kepada pelaku kejahatan di sebut

dengan fasik. Seperti melayani lokasi pelacuran, perjudian dan sejenis lainnya. Itulah sebabnya pemimoin pemerintahan harus bermoral, artinya yang bersangkutan selain ulama (ruhaniawan) juga harus umara

(negarawan).

G. FILSAFAT KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN Negara dapat saja mengeksploitasi tenaga rakyat mereka yang membangkang terhadap pemerintahan negara di anggap pemberontak, separatis, pengacau keamanan, gerombolan dll. Kecuali pemberontak itu begitu besar lalu mampu mengganti pemerintah yang lama dalam suatu revolusi, reformasi, atau pengganti secara amai dalam sebuah pemilihan umum. Bersasarkan apa yang disampaikan ini maka pemerintahan suatu negara pada abad ini berjuang untuk menggeser paradigma kekasaan

menjadi paradigma pelayanan pemerintah dijadikan abdi masyarakat dengan ukuran bila rakyat menghendaki pelayanan kepengurusan sesuatu maka sebaiknya cepat bermutu, murah dan menimbulkan kepuasan kepada masyarakat.

Keepemimpinan pemerintahan harus berangkat dari pengkajian filsafat, apa yang baik dan benar bagi masyarakat dan pemerintahan itu

sendiri, jauh dari rasa fanatisme apalagi fundanmentalis. Landasan skriptualis adalah Dan hendaklah ada segolonbgan elit yang mengajak kepada kebaikan, mengajak kepada kebenaran, melarang perbuatan keburukan dan itulah orang yang beruntung (Q.S. 3 :104). Baik adalah ukuran moral bagi aparat pemerintah sedangkan kebenaran adalah ukuran logika kepemerintahan, mereka yang

mengandalkan logika tanpa moral cendrung tirani dalam kekuasaannya sedangkan mereka yang mengandalkan moral tanpa logika akan membiarkan masyarakatnya bertindak anarkis, karena segolongan ummat adalah

pemerintah itu sendiri, yang baik dan benar dalam pemerintahannya. Inilah yang kenudian berkembang menjadi good governance dan cleant

goverment.

BAB II JENIS KEPEMIMPINAN

BAB III GAYA KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN Gaya dalam baahasa inggris disebut dengan style berarti corak atau mode seseorang yang tidak banyak berubah dalam mengerjakan sesuatu, hal ini karena gaya merupakan kesanggupan, kekuatan, cara, iramaa,ragam, bentuk, lagu, metode yang khas dari seseorang untuk bergerak serta berbuat sesuatu, dengan demikian yang bersangkutan mendpat penghargaan untuk keberhasilannya dan kejatuhan nama bila mengaami kegagalan. Ada beberapa gaya dalam kepemimpinan pemerintahan akan di uraikan antaraalain sebagai berikut :

A. GAYA DEMOKRATIS DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Gaya demokratis dalam kepemimpinan pemerintahan adalah cara dan irama seseorang pemimpin pemerintahan dalam menghadapi bawahan dan masyarakatnya dengan memakai metode pembagian tugas dengan bawahan, begitu juga antar bawahan di anjurkan berdiskusi tentang keberadaanya untuk membahas tugasnya, baik bawahan yang terendah sekalipun boleh menyampaikan saran serta di akui haknya, dengan demikian imiliki persetujuan dan konsensus atas kesepakatan bersama. Oleh karena itu harus dibuat ketentuan tertentu dalam pendemokrasian ini karena kekuasaan berada ditangan bawahan, hal ini untuk mencegah anarkisme yang terjadi karena hak asasi di sanjung dalam organisasi pada gilirannya antara dan bawahan dan masyarakat diharapkan terjadi persaingan

keadilan, dalam kalangan idiologi islam dikenal dengan syura, dengan moto wa am ruhum syura bainahum (musyawarakan urusanmu) dengan begitu akan menjadi fastabiqul chairat (berlomba-lomba dalam amal kebaikan) msyawara seperti ini akan melahirkan kebijaksanaan (wisdom) disamping berbagai perintah yang turun darai atasan disebut kebijakan (policy), yang dapat di ubah sesuai kebutuhan sepanjang tidak menyalahi aturan (syariah).

B. GAYA BIROKRATIS DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Gaya birokratis dalam kepemerintahan adalah cara dan irama seorang pemimpin pemerintahan dalam menghadapi bawahan dan

masyarakatnya dengan memakai metode tanpa pandang bulu,artinya setiap bawahan haus di perlakukan sama ddisiplinnya, spesialisasi tugs yang khusus, kerja yang ketat paada aturan (rule), sehingga bawahan menjadi kaku tetapi sederhana (zakelijk). Dalam kepemimpinan pemerintahan seperti ini segala sesuatunya dilakukan secara resmi dikantor pada jam dinas tertentu dan denga tatacara formal, pengaturan dari atas kebawa sedangkan pertanggung jawaban dari bawa ke atas secara sentralistis, serta harus berdasarkan logika bukan perasaan (irasional), taat dan paatuh (obdience) kepada aturan (dicipline) serta terstruktur dalam kerjanya. Pakar yang banyak berceloteh tentang kepemimpinan pemerintahan yang birokrasi ini adalah Max Weber, tetapi kemudian dikolaborasi oleh Warren Benis sebagai berikut. 1. Perlu kebijaksanaan diluar aturan yang sudah berjalan.

2. 3. rasa 4. 5.

Tugas yang satu dengan yang lain harus dikordinasikan. Harus ada seni dalam menerapkannya yang berkonotasi

Bawahan di perkenankan memberi saran yang produktif. Pembagian tugas hendaknya lebih demokratis desentralistis.

Sedangkan Nicolas Henry memberikan kontribusi agar tidak terjadi kutuk ekstrim ketiranian atasan, yaitu sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Tugas rutin hanya dlam kondisi stabil. Harus ada spesialisasi tugas Penekana pada cara kerja Konflik di selasaikan dari atas Penekanan pada tanggungjawab Kesetiaan setiap orang pada uniknya Struktur hierarkis organisasi piramid Pimpinan dianggap mengetahui segalanya Mengutamakan kesetiaan pada organisasi

C. GAYA KEBEBASAN DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Gaya kebebasan dalam kepemimpinan pemeruntahan adalah cara daan irama seorang pemimpinan pemerintahan dalam menghadapi bawahan dam masyarakatnya dengan memakai metode pemberiaan keleluasaan pada bawahan seluas-luasnya, metode ini dikanal juga dengan laissez faire atau liberalism

Dengan begitau dalam gaya ini setiap bawahan bebas bersaing dalam berbagai strategi ekonomi, politik, hukum, administrasi. Jadi pimpinan pemerintahan memberikan peluang besar pada kegiatan organisasi. Hal ini hanya cocok pada daera yang sudah moderen dengan pola pikir bisa di pertanggung jawabkan, tetapi bila di daera tradisional akan membuat masyarakat semakin berada di alam keterbelakangan. Resiko kehidupan lamas dalam organisasi ini akan menimbulakan hubungan atasan dan bawahan seperti kekasih baik dalam pakaia suasana kantor maupun dalam tatakrama pergaulan. Dalam kepemimpinan pemerintahan bila memakai gaya bebas seperti ini tidak menuntut kemungkianan pemimpin pemerintahan akan membuka berbagai lokasi perjudian, lokasi pelacuran, lokasi mabuk-mabukan untuk menghasilkan pendapatan negara. Bahkan untuk mempertahankan diri masyarakat sipil diperkenankan memperdagangkan senjata api. Bila bagi masyarakat yang memilki selera hedonisme dan materialisme yang tinggi akan membuka pula bisnis filem cabul, bisnis duel saling menjaatuhkan (wreatling) menerbitkan majalah cabul, pers yang mengkritik pemerintah dengan kecapan pedas. Sudah barang tentu kebebasan pemerintahan seperti ini akan dimanfaatkan oleh pemilik modal yang berjaringan (konglomerat) untuk antara lain sebagai berikut : 1. 2. Memproduksi barang secara besar-besaran Menumpuk barang untuk kemudian dijual setelah mahal.

3.

Memberlakukan pasar bebas dengan permainan harga

monopoli. Apabila posisi pemerintahan menjadi lemah dalam menghadapi kaum borjuis kapitalis maka para pemilik modal menjadi kelompok menekan (plesure grop) dalam menerapkan pemilihan gubernur dan bupati bahkan presiden, begitu juga dalam mengatur tender, gaji jam kerja, pemberhentian, sangsi, bahkan terjadi pemerasan tenaga manusia oleh manusia (ekploitation der lhomme par lhomme)

D. GAYA OTOKRATIS DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Gaya otokratis dalam kepemimpinan pemerintahan adalah cara daan irama seorang pemimpin pemerintahan dalam menghadapi bawahan dan masyarakat dengan memakai metode paksaan kekuasaan (ceorcoive power) Cara ini cocok untuk mempercepat waktu dikalangan militer karena itu diterapkan sistem komando dengan on way trffic dalam komunikasi pemerintahannya sehingga efektif hasilnya. Sangat berakibat fatal bagi daerah-daerah yang sudah maju karena ketakutan bawahan hanya ketika pemimpinan pemerintahan sedang memiliki kekuasaan saja. Jadi gaya ini hanya di terpakan pada keadaan dan situai antara lain sebagai berikut dibawa ini : 1. Untuk menimbulkan rasa persatuan dan kesatuan 2. Untuk keseragaman antara bawahan 3. Agar pemimpin pemerintahan tidak di ganggu gugat

4. Agar menekan faham separatisme 5. Untuk meningkatkan pengawasan. 6. Untuk mempercepat mencapai tujuan

Dari uraian tersebut di atas maka pemimpin pemerintahan yang menerapkan gaya otokratis ini hanya cocok untuk negara-negara yang antara lain : 1. Negara yang sedang berperang dengan negara lain 2. Negara yang sedang bersengketa dalam daerahnya 3. Negara yang sedang membangun dengan cepat 4. Negara yang heterogen dan sulit di atur

BAB V VARIABEL KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Variabel

adalah

sesuatu

yang

dapat

berubah-rubah

dalam

kkepemimpinan pemerinyahan ada 3 variabel angsangat berpengaruh namun selalu berubah-rubah sehingga disebut variabel epemimpinann pemerintahan, yaitu sebagai berikut diuraikan dibawah ini :

A. VARIABEL SITUASI DAN KONDISI PEMERINTAHAN Ada tujuh situasi dan kondisi yang menyebabkan kondisi pemerintahan harus otokratis atau demokrasi yaitu : 1. Faktor sifat dan bentuk negara, bila situasi dan kondisi negara dalam keadaan bebentuk serikat atau federal, maka akan membuat pemimpin relatif pemerintahannya cenderung lebih melakukan demokratis,

pemerintahan

yang

sedangkan bila situasi dan kondisi negara kesatuan, maka akan membuat pemimpin pemmerintahannya relatif cenderung lebih otokratis 2. Faktor geograis, bila kondisi suatu negara berbentuk kepulauan maka pemimpin pemerintahan sebaiknya

melakukan demokrasi agar setiap daerah diurus oleh putra daerahnya sendirisedangkan bila geodrafisnya daratan

konntinental maka sebaiknya pemimpin pemerinyahannya melakukan otokratisasi. 3. Fakktor warga negara, bila kondisi suatu negara penduduknya homogen maka pemimpin pemerintahannya sebaiknya otokratis sedangkan bila bentuk pemerinntahannya heterogen maka sebaiknya pemimpin pemerintahannya

melakukan demokrat demokratisasi agar setiap aspirasi suku, agama, adat, kebiasaan tertampung. 4. Faktor berperang sejarah, bila situasi negara senantiasa

maka

sebaiknya

pemimpin

pemeintahannya

melakukan otokratisasi sedangkan bila situasi negara aman, maka sebaiknya pemimpin pemerintahannya melakukan

demokratisasi 5. Faktor efisiensi dan efektivitas, bila suatu negara menghendaki kondisi yang efisien maka sebaiknya pemimpin pemerintahan malakukan demokratisasi sedangkan bila suatu negara menghendaki kondisi yang efektif maka sebaiknya pemimpin pemerintahannya melakukan otokratisasi 6. Faktor Politik, bila negara menghendaki kondisi yang stabil dengan perekonomian yang kontrol maka sebaiknya pemimpin pemerintahan melakukan otokratisasi, sedangkan bila negara melakukan kondisi yang mendidik rakyatnya berpatisipasi, demokratisasi maka pemimpin pemerintahan melakukan

7.

Faktor Rezim yang berkuasa, bila rezim yang berkuasa seorang yang sulit dikritik dengan sendirinya mereka

melakukann ootoratisasi, sedangkan bila elot pemerintahann yang berkuasa seorang yang suka bermusyawarah, maka sebaiknya dilakukan demokratisasi. Dari uraian tersebut diatas terlihat bahwa situasi dan kondisi menentukan bagaimana seorang pemimpin dan pemerintahan seharusnya akan bertindak, bahkan pada siituasi dan kondisi tertentu dapat melahirkan pemimpin, ketika awal kemerdkaan bangssa Indonesia orang membutuhkan orator yang mampu menggugah semangat maka mucul Soekarno, ketika para jenderal terbunuh diawal Orde Baru, orang membutuhkan penebusan maka munncul Soeharto walaupun kemudiann orang bertanya akan kemungkinan pencetusnya adalah sang Arbiter sendiri. Itulah sebabnya terjadi kecelakan pesawat pilot mendominasi keadaan karena satu-satunya penyelamat, ketika kapal akan tenggelam orang begitu mendengar nasihat kapten kapal karena dianggap yang paling tahu soal laut, ketika tejadi perampokan maka polisi yang datang bagaikan dewa penyelamat karena yang bersangkutan seakan-akan mampu mengembalikan barang-barang yang hilang. Itulah sebabnya para dokter dapat sangat berkuasa di rumah sakit karena keinginan datang kerumah sakit tersebut adalah karena butuh pertolongan dokter.

B.

VARIABEL ORANG BANYAK SEBAGAI PENGIKUT Orang bayak yang dikenal sebagai rakyat jelata memang selama ini diam (silent) hanya saja jumlahnya sangat bayak (mayority), maksudnya bila

terjadinya demonstrasi maka karena jumlah orang banyak melebihi jumlah peluru maka kemarahan orang banyak sulit dibendung kita mengenal dengan keroyokan massa yang anarkis, orang banyak yang disebut dengan silent majority. Berikut ini berbagai kemarahan massa yang tidak dapat dibendung oleh pemimpin pemerintahan, kendatipun sebelumnya pemimpin pemerintahannya sangat tirani, kaku dan keras dalam pemerintahannya. 1. ketika massa mengumpul untuk menjatuhkan

Coucescu Di Rumania, kepala negara ini akhirnya diadili oleh massanya sendiri. 2. Ketika massanya mengamuk dipenjara Bastille dan

menuntut Raja Louis turun dari tahtanya. 3. Ketika kerumunan massa pabrik tebu yang mendukung

Corry Aquino mendemmonstrasi Ferdinand Marcos yang memiliki tank siap tembak 4. Ketika massa mahasiswa yang mendorong Amien Rais

untuk mejatuhkan Soeharto yang sudah 32 tahun berkuasa. Oleh karena itu massa dinegara kita sekalipun musti dikenali tuntutannya, dikenali budaya sehari-harinya, dikenali orang yang berada dibelakang layar, dan seberapa jauh lkesatuan tujuan dikenal seberapa kuat pengerahannya serta diprediksi dampak positif serta ekses negatifnya. Setelah itu diperlukan suara yang mantap, penguasaan medan, sumber suara (mick), lokasi strategis seperti podium, panggung dan ditengah lapangan. Kemudian baru dipengaruhi satu persatuan orang yang

berkerumun. Kesalahan bicara yang sedikit saja akan berakibat fatal dalam penguasaan massa seperti ini.

Dalam massa biasanya beredar isu, baik isu yang masuk akal dan diterima umum, tetapi ada pula isu fitnah bahkan konntra isu yang dibuat seseorang yang karena dituduh dibuat alibi. Oleh karena itu diperlukan opini, itulah sebabnya dipersiapkan departemen penerangan selama Orde Baru. Megawati saat ini juga mempersiapkan Undang-Undang penyiaran, untuk menngkebiri kebebasan pers yang dapat mmemmbentuk isu baik yang miring maupun yang baik. Antara kebebasan pers yang memberikan kesalahan pejabat pemerintahan dengan kebebasan pers dalam mmemuat foto porno hendaknya dibedakan karena kebebasab mamuat berita korupsi pejabat dianggap kritik, sedangkan kebebasan pers menyuguhkan ponografi adalah merusak generasi muda. Karena sulitnya membendung kekuatan pengikut dalam kepemimpinan pemerintahan ini, ada istilah yang mengatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Fox populey fox dey) bahkan dalam islam dikatakan bahwa tangan Tuhan diatas tangan orang banyak (dalam arti kekuasaan orang banyak dilindungi Tuhan karena ada hati nurani yangsedang diperjuangkan sebagai nasib wong cilik).

C.

VARIABEL PENGUASA SEBAGAI PEMIMPIN PEMERINTAHAN Pemeimpin pemerintah adalah penguasa tetapi perlu di ingat bahwa bagaimanapun ytang bersangkutan memiliki kekuasaan namun tetap saja sebagai manusia mempunyai jiwa, jiwa itulah yang memiliki rasa seperti

hibah, sayang, kasih benci, dendam, terharu, gembira, sedih, rindu, cemburu, susah senang dan gunda gulana. Oleh karena itu variabel ini perlu di kaji melalui berbagai disiplin ilmu seperti manajemen, politik, pemerintahan, adminstrasi, kejiwaan, bahkan juga kedokteran. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana bila seorang pemimpin pemerintahan itu hanya berbicara tentang kebenaran logikanya saja tetapi idak meniliki kebaikan moral, artinya, dalam menertibkan pedagang kaki lima yang bersangkutan main usir dalam upaya mencegah berkeliarannya pelcur yang bersangkutan melokalisasikannya, dalam menertibkan perjudian lalu dia mencarikan pulau tertentu agar tidak mengganggu para rohaniawan. Ini adalah yang disebut benar tetapi tidk baik. Kekuasaan itu harus diseimbangkan kekuasaan dengan pelayanan dalam arti

ditujukan kepada mereka yang melakukan dekadensi moral kepada

disebut dengan nahi munkar sedangkan kebaikan ditujukan

masyarkat yang secara aturan memang membutuhkan untuk di tolong tanpa melanggar aturan kesusilaan agama dan adat istiadat, inilah yang di sebut dengan amar maruf. Pemberian kasih yang berlebihan inilah yang melahirkan liberalisme kapitalisme sebagaimana dinyatakan oleh Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and The Spirit Of Capitalism, sedangkan pemusnahan kaum borjuis secara kasar dinyatkan oleh Karl Marx dalam Bukunya Das Capital, kendati Al-quran mengantisipasinya dalam keseimbangan (evenwichtingheid) yang trancendent (Q.S. 1 : 17).

D.

FILSAFAT MANUSIA Ketika seorang pejabat hanya ilmuan maka dia hanya membedakan benar dan salah saja kendati dia juga seharusnya seorang moralis yang membedakan baik dan buruk, bahkan sekaligus harus mampu menjadi seniman pemerintah yaitu mampu membuat , surat keputusan secara yang manis

berpwngaruh,

berpidato

secara

cantik

memimpin

sebagaimana seniman pemerintahan yang memiliki jiwa kepamongprajaan. Dengan demikian akan lahirlah manusia unggul dalam pemerintahan yang akan datang , bukan hanya sekedar memungut pajak dan retribusi saja. Tetapi pemerintah harus memiliki rasa betapa miskinnya rakyat saat ini, jadi bukanlah mempoecundangi rakyat, demi pendapatan asli daerah, sekarang yang hilang dari pemimpin pemerintahan ataupun aparay wakil rakyat adalah perasaan yang berasal dari rasa seni pemerintahan ataupun aparat sendiri, kemudian yang hilang adalah moral yang berasal dari etika pemerintahan itu sendiri, mereka hanya berlogika tetaoi tidak beretika dan tidak berestetika, artinya para pemimpin pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif hanya pintar tetapi tidak bermoral dan tidak berseni, itulah yang di sebut benar tetapi tidak baik dan tidak indah kepemimpinannya. Pemerintah daerah hendaknya menggali potensinya masing-masing dalam mengisi otonomi daerag dewasa ini, kalau perlu belajar dari daerah lain yang sudah maju bahkan negara lain bila memungkinkan, terutama potensi pariwisata yang memang sudah di ciptakan Yang Maha Kuasa adar menarik dengan keberadaannya masing-masing.

BAB 6 TEKNIK KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

E.

H. SIFAT-SIFAT KEPEMIMPINAN

Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu antara lain dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas / mutu perilakunya, yang dipakai sebagai suatu kriteria untuk menilai

kepemimpinannya. Ordway Tead dalam Kartono (2004:44) berpendapat bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat : 1) Energi jasmaniah dan mental (Physical and Nervous Energy) 2) Kesadaran akan tujuan dan arah (A sense of purpose and direction) 3) Antusiasme (entusiasme, semangat, kegairahan, kegembiraan yang besar). 4) Keramahan dan kecintaan (Friendliness and affection) 5) Integritas (Integrity, kejujuran, keutuhan, ketulusan) 6) Penguasaan teknis (Technical Mastery) 7) Ketegasan dalam mengambil keputusan (Decisiveness) 8) Kecerdasan (Inteligence) 9) Keterampilan mengajar (Teaching skill) 10) Kepercayaan (Fait)

Menurut Keith Davis dalam bukunya Human Behavior At Work dalam Thoha (1995:33) merumuskan empat sifat umum yang tampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi yaitu. 1)Kecerdasan. Hasil pada umunya membuktikan bahwa pemimpin memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari yang dipimpinnya. Namun yang menarik adalah pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya.

2)Kedewasaan dan keleluasaan hubungan sosial. Pemimpin cenderung lebih matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitasaktivitas sosial. Dia mempunyai mempunyai keinginan menghargai dan dihargai. 3)Motivasi diri dan dorongan berprestasi Para pemimpin relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan

penghargaan yang instrinsik dibanding dari ekstrinsik. 4)Sikap-sikap hubungan kemanusiaan. Pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.

Selanjutnya Terry dalam bukunya Principles of Management dalam Kartono (2004:47) menuliskan sepuluh sifat pemimpin yang unggul yaitu. 1) Kekuatan 2) Stabilitas emosi 3) Pengetahuan tentang relasi insani 4) Kejujuran 5) Objektif 6) Dorongan pribadi 7) Keterampilan berkomunikasi 8) Kemampuan Mengajar 9) Keterampilan sosial 10)Kecakapan teknis dan kecakapan manajerial

I. TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN Dalam diri setiap pemimpin. Hal ini menyebabkan munculnya bermacam-macam teori kepemimpinan Dalam pelaksanaan. kepemimpinan, seorang tentunya mempunyai seni tersendiri. Menurut Wahjosumidjo (1994:116) ada tiga sasaran utama dari teori kepemimpinan, yaitu : sifat, perilaku dan situasi, dan yang lainnya adalah pemimpin. 1) Teori Kepemimpinan

Teori ini didasarkan pendapat bahwa keberhasilan pemimpin karena disebabkan oleh adanya kelebihan dari sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin itu sendiri. Sifat-sifat itu dapat berupa sifat-

sifat fisik, seperti : tinggi badan, raut muka, stamina dan sebagainya. Di samping sifat fisik juga sifat kemampuan seperti : Kecerdasan dan cara berbicara. Sifat yang lain adalah sifat kepribadian, seperti halnya harga diri, kejujuran, keteladanan dan sebagainya.

2) Perilaku

Teori perilaku dan situasi. seorang pemimpin menurut teori ini mempunyai

kecendrungan pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan, yang dibagi menjadi dua yaitu : (1) Konsiderasi ialah kecenderungan pemimpin yang

menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. (2) Struktur Inisiasi, ialah kecenderungan seorang pemimpin dan peran bawahan dalam mencapai tujuan organisasi.

3)

Teori kewibawaan pemimpin. Kewibawaan sebagai suatu konsep kepemimpinan menyangkut semua aspek yang berkaitan dengan kepemimpinan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi kelompok lain.

Dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Syafiie (2003:15) mengemukakan TEORI-TEORI MENGENAI KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN itu adalah sebagai berikut. 1) Teori Otokratik Dalam Kepemimpinan Pemerintahan

Teori Otokratis dalam Kepemimpinan PemerintahanTeori otokratis dalam kepemimpinan pemerintahan adalah teori bagaimana seorang pemimpin pemerintahan dalam menjalankan tugasnya bekerja tanpa menerima saran dari bawahan. Perintah diberikan dalam satu arah saja artinya tidak diperkenankan membantah, mengkritik, bahkan bertanya. Teori ini biasanya terjadi pada organisasi militer terutama dalam keadaan darurat, dan memang namun tidak menutup bawahan. berakibat cepat serta efektif timbulnya keresahan seperti

kemungkinan Dalam

dikalangan

keadaan

darurat

penanggulangan bahaya, menghadapi musuh, terpepetnya waktu, dan rawan serta krisisnya situasi teori ini diperlukan karena organisasi tidak memiliki waktu untuk berdialog. Dalam pemerintahan, pejabat gubernur, bupati, walikota, camat kepala desa dan lurah yang sedang menghadapi gelombang demonstrasi, kebakaran, kecelakaan dan peristiwa kritis lainnya (Vorce Majur) atau kejadian alam yang tidak pernah dikehendaki oleh akal sehat manusia. Pertimbangan ruang dan waktu untuk teori kepemimpinan yang otokratis ini adalah di tempat yang cendrung relative terbelakang, ttradisional dan semakin lokasi cendrung lebih modernis maka teori ini harus senakin dikurangi.

2)

TEORI

SIFAT

DALAM

KEPEMIMPINAN

PEMERINTAHAN

Teori Sifat dalam Kepemimpinan PemerintahanTeori sifat dalam kepemimpinan pemerintahan adalah teori yang mengatakan bahwa pemimpinan tercipta dari seseorang berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki seseorang tersebut. Berarti yang bersangkutan sudah sejak lahir memilki ciri-ciri untuk menjadi pemimpin. Menurut teori ini seseorang memiliki bawaan bakat turunan, antara lain cukup terampil untuk mengurus orang lain memiliki kkepekaan insiati mempunyai rangsangan emosional untuk membela teman, dewasa dalam pemikiran, pandai membujuk dalam rayuan yang menghanyutkan, gampang berkomnikasi , percaya untuk tampil di depan umum, kreatif dalam

mengemukakan gagasan baru, mempunyai persepsi positif serta jalan keluar setiap masalah, dan selalu berpartisipasi daam setiap kegiatan orang lain. 3) TEORI MANUSIAWI DALAM KEPEMIMPINAN

PEMERINTAHAN Teori Manusiawi dalam Kepemimpinan Pemerintahan.Teori

manusiawi dalam kepemimpinan pemerintahan adalah teori yang pemimpinnya benar-benar merasakan bawahannya (baik rakyat maupun staf) sebagai manusia yang dapat dimotivasi

kebutuhanmnya sehingga menimbulkan kepuasan kerja. Untuk itu teori ini berkaitan dengan teori motivasi. Ada tiga pakar yang popular dengan teori motivasi.

a. Motivasi

Motivasi dalam kehidupan manusia sangat diperlukan, hal ini berkaitan dengan peningkatan kinerja manusia itu sendiri. Terutama dalam kelompok atau organisasi, dengan motivasi yang tinggi tentunya suatu pekerjaan akan dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Manusia bukan saja menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam kemampuan mereka untuk melakukan sesuatu, tetapi juga dalam keinginan mereka untuk motif, motivasi seseorang tergantung pada kekuatan motif-motif mereka, oleh karena itu sebelum kita mengetahui makna motivasi, terlabih dahulu kita ketahui

pengertian motif itu sendiri. Kartono (2004:174) Motivasi adalah kebutuhan, keinginan, dorongan atau impulsimpuls yang muncul dalam kondisi sadar atau tidak sadar.

Menurut Wadjosumidjo (1994:174) Motivasi adalah suatu proses psikologis yang mencermimkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor didalam diri manusia itu sendiri yang disebut intrinsik dan faktor ekstrinsik atau faktor dari luar.

b. Pola Motivasi David Mc. Clelland dalam Hasibuan (2003:97) mengemukakan pola motivasi sebagai berikut.

Achievement

Motivation,

adalah

suatu

keinginan

untuk

mengatasi atau mengalahkan suatu tantangan untuk kemajuan dan pertumbuhan. Affiliation Motivation, adalah dorongan untuk melakukan

hubungan-hubungan dengan orang lain. Competence Motivation, adalah dorongan untuk berprestasi baik dengan melakukan pekerjaan yang bermutu tinggi. Power Motivation, adalah dorongan untuk dapat mengendalikan suatu keadaan dan adanya kecendrungan mengambil resiko dalam menghancurkan rintangan-rintangan yang terjadi.

c. Teknik Motivasi Teknik motivasi adalah kemampuan seseorang atau pemimpin secara konseptual atau dengan berbagai sumber daya dan sarana dalam menciptakan situasi yang memungkinkan timbulnya motivasi pada setiap bawahan atau orang lain untuk berperilaku sesuai dengan tujuan organisasi. Menurut Steauss dan Sayles dalam Wahjosumidjo (1994:198) ada enam (6) macam teknik motivasi yaitu sebagai berikut.

Dengan Kekerasan (the strong approach)

pemimpin lebih menekankan wewenang yang dimilikinya, bentuk motivasi yang ada berupa pemaksaan orang untuk bekerja dengan ancaman. Pemimpin menyebutkan setiap aturan yang ada dan kurang memberi kebebasan pada bawahan.

Bersikap Baik

Pemimpin berusaha meningkatakan semangat bawahan dengan memberi kondisi kerja yang baik, berbagai tunjangan, servis, gaji yang tinggi dan sebagainya.

Melalui

Perundingan

secara

Implisit

(implicit

bergainning) Melalui persetujuan atasan dan bawahan mengenai imbalan yang akan diberikan oleh atasan terhadap hasil kerja.

Melalui Kompetisi (Competition)

Kompetisi merupakan sumber motivasi yang cukup baik, yang mengharuskan setiap orang bergantung pada dirinya sendiri untuk melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin. Internalisasi (ineternalized motivation)

Pemimpin selalu memperhatikan kebutuhan bawahan yang berupa keterampilan, kebebasan, prestasi, pengertian,

pengetahuan, posisi seseorang, pujian, penerimaan, perhatian dan rasa percaya diri, sehingga meningkatkan motivasi pegawai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya guna mencapai tujuan yang diinginkan.

4. TEORI PERILAKU PRIBADI DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Teori Perilaku Pribadi dalam kepemimpinan PemerintahanTeori perilaku dalam pemerintahan adalah teori dimana pemimpin melakukan pendekatan kepada bawahan melalui cara-cara non fomal yang tidak resmi. Dengan begitu perintah biasanya dilakukan secara lisan dan bukan tertulis. Jadi kalau teori otokratis dinilai cukup efisien hasilnya maka teori perilaku pribadi cukup efisien dalam tenaga dan biaya. Teori ini memerlukan bakat tersendiri dari pemimpin yang

melakukannya, dalam kepemimpinan pemerintahan biasanya atasan mengadakan arisan, undangn makan malam, kumpul reuni, kesukuan, keagamaan. Di Indonesia hal ini sangat

terdukung karena masyarakat Indonesia dari suku apapun selalu mendahulukan yang dianutnya. pemimpin pemerintahan karena paternalistik

5. TEORI LINGKUNGAN DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Teori Lingkungan dalam Kepemimpinan Pemerintahan.Teori kepemimpinan dalam pemerintahan adalah teori yang

memperhitungkan ruang dan waktu. Berbeda dengan teori sifat yang mengatakan pemimpin itu dilahirkan (Leader is born) maka dalam teori ini pemimpin dapat dibentuk.

Karena suasana kemerdekaan membutuhkan seorang politikus yang memiliki kemampuan orasi yang membakar semangat rakkyat. Soekarno tampil kepanggung kepemimpinan

pemerintahan. Begitu juga ketika PKI dipersalahkan melakukan pemberontakan dan pembantaian para jendral, maka diperlukan seorang jendral bernama Soeharto naik ke panggung

kepemimpinan pemerintahan

6. TEORI SITUASI DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN Teori Situasi dalam Kepemimpinan PemerintahanTeori situasi dalam kepemimpinan pemerintahan adalah teori dimana

pemimpin memanfaatkan situasi dan kondisi bawahannya dalam kepemimpinannya yaitu dengan memperhatikan dukungan

(supportif) dan mengarahkan (directif). Banyak sekali para pakar yang mendukung teori ini diantaranya adalah Hersey dan Blanchard. Kemudian menyusul Lippit dan White setelah itu juga ditambahkan oleh Martins Evans dan Robert Hause. Bila kepada bawahan tidak terlalu banyak diberikan dukungan dan pengarahan, berarti bawahan tersebut sudah matang artinya bawahan tersebut memang mampu bekerja dan yakin akan menyelesaikannya. Oleh karenanya pimpinan dapat

mendelegasikan wewenangnya, yang disebut delegating.

7. TEORI PERTUKARAN DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Teori pertukaran dalam Kepemimpinan PemerintahanTeori ini adalah dimana pemimpin pemerintahan dalam mempengaruhi bawahannya memakai strategi take and give. Dimana ketika atasan hendak memberikan perintah maka selalu diutarakan bahwa bila berhasil akan dinaikan gaji atau sebaliknya sebelum penerimaan suatu honor, lalu pimpinan mengutarakan bahwa selayaknya bawahan bekerja lebih rajin. Pemimpin yang memakai teori ini senantiasa dalam setiap penggajian dan pemberian apapun dijadikan semacam jasa yang ditanamkan organisasi yang saatt itu sedang di pimpin oleh yang bersangkutan

8. TEORI KONTIGENSI DALAM KEPEMIMPINAN KEPEMERINTAHAN Teori Kontingensi dalam Kepemimpinan Pemerintahan Teori kontingensi dalam kepemimpinan pemerintahan adalah teori yang berpatokkan kepada tiga hal yaitu hubungan atasan dengan bawahan(leader member relation), struktur/organisasi tugas (task structur) dan posisi/wibawa pemimpin (leader position power) yang dikemukakan oleh Fred Fiedler (1976) dalam bukunya A Theory of Leadership Effective

i. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Rivai mengatakan gaya kepemimpinan merupakan dasar

mengklasifikasikan tipe kepemimpinan. Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu: 1) Mementingkan pelaksanaaan tugas, 2) Mementingkan hubungan kerja sama, 3) Mementingkan hasil yang dapat dicapai.

Ada

dua

hal

yang

biasanya

dilakukan

pemimpin

kepada

bawahannya, yaitu perilaku mengarahkan dan perilaku mendukung. Pamudji (1989:122) memberikan gambaran tentang gaya kepemimpinan pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut : Gaya kepemimpinan adalah bicara tentang bagaimana pemimpin menjalankan yang tugas kepemimpinananya merencanakan, misalnya merumuskan, kepada gaya dan yang

digunakan

dalam

menyampaikan

perintah-perintah/ajakan-ajakan

diperintah, gaya kepemimpinan pemerintahan sangat dipengaruhi faham-faham yang dianut mengenai kekuasaan-kekuasaan dan wewenang sikap mana yang diambil terhadap hak dan martabat manusia.

ii. Tipe Kepemimpinan

Situasi dan kondisi yang berkembang didalam kelompok atau masyarakat sangat mempengaruhi tipe kepemimpinan yang akan

diterapkannya. Tentunya hal ini menjadi persoalan yang sangat penting. Apabila tipe kepemimpinan yang diterapkan tepat sasaran maka seorang pemimpin akan diterima dikalangan kelompoknya. Sebaliknya apabila dia menggunakan tipe yang berlawanan dengan kelompok atau masyarakat tersebut, maka akan sulit untuk dapat sepaham dengan bawahan. Rivai (2004:56) mengatakan tiga tipe pokok kepemimpinan yaitu. 1)Tipe Kepemimpinan Otoriter. Tipe ini menempatkan kekuasan ditangan satu orang. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukan dan tugas anak buah semata-mata hanya sebagai pelaksanan keputusan,

perintah dan bahkan kehendak pimpinan. 2)Tipe Kepemimpinan Kendali Bebas Tipe ini merupakan kebalikan dari tipe kepemimpinan otoriter. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol. Kepemimpinan

dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh pada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan dan melakukan kehendak dan kepentingan masing-masing, baik secara

perorangan maupun kelompok-kelompok kecil. Pemimpin hanya memfungsikan diri sebagai penasehat. 3)Tipe Kepemimpinan Demokratis Tipe ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap kelompok organisasi. Kepemimpinan

domokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan terarah. Kepemimpinan tipe ini dalam mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah yang diwujudkan pada setiap jenjang dan didalam unit masing-masing.

Kartono (2004:80) mengatakan ada kelompok sarjana lain yang membagi tipe kepemimpinan sebagai berikut. 1)Tipe Kharismatik. Tipe ini memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaaan yang luar biasa, untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bias dipercaya. 2) Tipe Paternalistis dan Meternalistis. Dalam tipe ini pemimpin bersikap kebapakan. Ia menganggap bawahannya sebagai manusia yang belum dewasa atau anaknya sendiri yang perlu dikembangkan, jarang memberi kesempatan untuk timbulnya inisiatif dari bawah, bahkan dalam tipe meternalistik terlalu over protective (terlalu melindungi). 3)Tipe Militeris. Hal yang paling menonjol dari tipe ini adalah sikap dari pemimpin yang sok kemiliter-meliteran, sangat menyenangi formalitas, garis perintahnya bersifat komando, atau

komunikasisatu arah, disiplin yang kaku dan tidak suka menerima kritikan dari bawahannya. 4) Tipe Otokratis/Otoritatif (autorative dominator) berasal dari kata autos yaitu sendiri, dan karatos yaitu kekuasaan. Jadi otokrat berarti penguasa absolut yaitu pemimpin selalu berperan sebagai

pemain tunggal one man show, jauh dari anggota kelompoknya/ eksklusivisme. Yang paling disukai adalah tipe pegawai dan buruh hamba nan setia. 5) Tipe Leisses Faire, yaitu pemimpin lebih sebagai simbol seluruh pekerjaan dan tanggungjawab dilakukan oleh bawahan sendiri. Hal ini dikarenakan biasanya kedudukannya diperoleh dengan cara menyogok, penyuapan, atau berkat sistem nepotisme. 6)Tipe Populistis. Kepemimpinan seperti ini mengutamakan penghidupan (kembali) nasionalisme, berpegang tuguh pada nilainilai masyarakat yang tradisional dan kurang mempercayai dukungan luar negeri. 7)Tipe Administratif dan Eksekutif. Kepemimpinan ini adalah tipe kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administratif secara efeketif. Pimpinannya terdiri dari para teknokrat dan administrator-administrator yang mampu

menyelenggarakan dinamika modernisasi dan pembangunan. 8)Tipe Demokratis. Kepemimpinan ini berorientsi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para

pengikutnya, terdapat koordinasi pekerjaan kepada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggungjawab internal (pada diri sendiri) dan bekerja sama dengan baik, kekuatannya terdapat pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompoknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

Bab dua ini berisi telaah pustaka yang digunakan sebagai landasan pengembangan kerangka teoritis dan perumusan hipotesis. Pertama akan dijelaskan berbagai kerangka teoritis yang membahas mengenai variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian. Kedua, berdasarkan uraian pada bagian pertama, akan dikembangkan suatu rumusan hipotesis penelitian yang didasarkan pada kerangka teoritis dan penelitianpenelitian terdahulu.

A. Kepemimpinan Ketika seorang individu berusaha mempengaruhi perilaku lainnya dalam suatu kelompok tanpa menggunakan bentuk paksaan, usaha ini dapat dikatakan sebagai kepemimpinan. Lebih spesifik lagi, buku Handbook of Leadership (Stogdill, 1974; pada Bass, 1985) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu interaksi antar anggota suatu kelompok. Selanjutnya, Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (1995) mengatakan bahwa pemimpin merupakan agen perubahan, orang yang perilakunya akan lebih mempengaruhi orang lain daripada perilaku orang lain yang

mempengaruhi mereka. Definisi kepemimpinan menyiratkan bahwa, kepemimpinan

melibatkan penggunaan pengaruh, dan bahwa semua hubungan dapat melibatkan kepemimpinan. Elemen kedua dalam definisi ini melibatkan pentingnya menjadi agen bagi perubahan, mampu mempengaruhi perilaku dan kinerja bawahannya. Terakhir, definisi ini memusatkan pada

pencapaian tujuan. Pemimpin yang efektif harus memusatkan pada tujuan-tujuan individu, kelompok, dan organisasi. Keefektifan pemimpin secara khusus diukur dengan pencapaian dari satu atau beberapa kombinasi tujuan-tujuan ini. Individu dapat memandang pemimpinnya efektif atau tidak, berdasarkan kepuasan yang mereka dapatkan dari pengalaman kerja keseluruhan. Pada kenyataannya, diterimanya arahan atau permintaan sang pemimpin sebagian besar tergantung pada harapan pengikutnya bahwa suatu respon yang tepat dapat mengarah pada hasil akhir yang menarik. Bagi Burns (1978; pada Yukl, 1994), kepemimpinan merupakan sebuah proses, bukan sejumlah tindakan yang mempunyai ciri-ciri sendiri. Burns (1978; pada Yukl, 1994) menjelaskan kepemimpinan sebagai sebuah arus antarhubungan yang berkembang dimana para pemimpin secara terus menerus membangkitkan tanggapan-tanggapan motivasional para pengikut dan memodifikasi perilaku mereka untuk mencapai tujuan bersama.

B. Kepemimpinan Transaksional Sependapat dengan Burns (1978; pada Yukl, 1994), Bass memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Dalam menggunakan gaya transaksi, pemimpin bersandar pada contingent reward leadership (imbalan) dan management by exception (hukuman).

Contingent reward leadership atau kepemimpinan berdasarkan pemberian imbalan merupakan suatu bentuk pertukaran aktif dan positif antara pemimpin dan bawahan, bawahan diberi imbalan atau dihargai atas tercapainya tujuan yang telah disepakati. Imbalan diberikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kepemimpinan berdasarkan imbalan ini pada umumnya dianggap berhubungan positif dengan kinerja. Hasil-hasil penelitian secara konsisten menemukan bahwa kepemimpinan berdasar imbalan berhubungan positif terhadap kinerja bawahan dan kepuasan

kerja (Hunt & Schuler, 1976; Klimoski & Hayes, 1980; Podsakoff & Schriesheim, 1985; Podsakoff et al., 1982; Sims & Szilagyi, 1975; Sims, 1977; Reitz, 1971; pada Howell & Avolio, 1993). Hubungan positif ini didasarkan pada asumsi bahwa dengan menjelaskan apa yang dikehendaki pemimpin dan selanjutnya memberi imbalan bila dilakukan dengan benar, maka pimpinan telah mengarahkan bawahan ke kinerja yang dikehendakinya. Selain itu, dalam kepemimpinan berdasarkan imbalan, tercakup kejelasan mengenai jenis-jenis pekerjaan untuk memperoleh imbalan sehingga mampu membangkitkan motivasi individu untuk mencapai dan meningkatkan kinerja. Hasil-hasil meta analisis menemukan bahwa perilaku kepemimpinan berdasarkan imbalan berhubungan positif dengan kinerja bawahan dan perilaku-perilaku pemimpin lainnya berhubungan signifikan dan negatif dengan kinerja, walau besarnya korelasi untuk non-contingent reward dan contingent punishment cukup kecil (Williams & Podsakoff, 1988; pada Williams, Podsakoff, & Huber, 1992).

Selain ditemukannya pengaruh positif, kepemimpinan berdasarkan imbalan juga berpengaruh negatif terhadap beberapa outcomes.

Penelitian Howell dan Merenda (1999) dengan menggunakan responden para manajer dan karyawan bank berusaha meneliti hubungan antara Leader Member Exchange, kepemimpinan transformasional dan

transaksional, dan prediksi jarak terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian mereka menemukan bahwa kepemimpinan berdasarkan

imbalan berhubungan negatif dengan kinerja karyawan selama lebih dari satu periode. Penelitian lain yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Bass & Avolio, 1990; Bass & Yammarino, 1991; Howell & Merenda, 1999), menyatakan bahwa kepemimpinan berdasarkan imbalan sering tidak berfungsi dan berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan yang sering kali dihubungkan dengan kinerja extra-role (organizational citizenship behavior/OCB). Dimensi kedua kepemimpinan transaksional adalah management by exception yang merupakan transaksi aktif dan pasif antara pemimpin dan bawahan (Hater & Bass, 1988). Perbedaan antara management by exception aktif dan pasif didasarkan pada timing intervensi pemimpin. Dalam bentuk yang aktif, pemimpin terus memonitor kinerja bawahan guna mengantisipasi kesalahan. Pemimpin secara aktif dan terus menerus mencari permasalahan dan penyimpangan serta menjelaskan standar kerja sejak permulaan. Pada umumnya pemimpin yang menggunakan management by exception aktif ini, bisa mendorong kinerja pengikutnya melalui kritik, menjelaskan standar kerja, atau memodifikasi kinerja yang

buruk dengan cara-cara yang bisa diterima untuk menghindarkan konsekuensi yang merugikan. Sedangkan dalam bentuk yang pasif, pemimpin melakukan intervensi dengan kritik dan mengoreksi setelah terjadinya kesalahan. Pemimpin menunggu setelah tugas selesai dikerjakan dan menjelaskan standarnya setelah terjadi kesalahan. Pada kepemimpinan transaksional yang didasarkan pada management by exception pasif ini, pemimpin

selalu mengandalkan pada kritik dan teguran sebagai pernyataan ketidaksetujuannya (Bass & Yammarino, 1991). Penelitian Howell dan Avolio (1993) menemukan bahwa

management by exception secara aktif maupun pasif akan berdampak negatif pada kinerja. Teguran atau ketidaksetujuan, seperti yang dicontohkan pada managemeny by exception, pada umumnya memiliki dampak negatif pada kepuasan dan kinerja karyawan, terutama bila pemimpin menunggu hingga muncul masalah dan baru menetapkan standar. Penelitian Howell dan Avolio (1993) dan Howell dan Merenda (1999) menyimpulkan bahwa management by exception berhubungan negatif dengan kinerja unit bisnis dan kinerja karyawan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Bass dan Avolio (1990) menyimpulkan bahwa tipe kepemimpinan transaksional merupakan resep yang tidak sepenuhnya dijalankan. Hal ini terutama terjadi bila pemimpin sangat mengandalkan pada management by exception secara pasif, melakukan intervensi hanya bila prosedur dan standar untuk menyelesaikan tugas tidak terpenuhi. Sudah jelas bahwa aspek-aspek tertentu dalam kepemimpinan transaksional seperti yang telah

dicontohkan di atas mungkin menjadi kontraproduktif terhadap tujuan pemimpin, pengikut dan organisasi dan akhirnya berdampak negatif pula terhadap kinerja karyawan khususnya oganizational citizenship behavior.

C. Kepemimpinan Transformasional Transformasi diartikan sebagai suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, seorang pemimpin yang reformis adalah seorang pemimpin yang mampu melakukan perubahan-perubahan di dalam organisasi yang dipimpinnya guna mendapatkan atau mencapai kinerja organisasi yang lebih baik. Seorang pemimpin yang reformis adalah juga seorang pemimpin transformasional. Kepemimpinan transformasional merupakan perluasan dari

kepemimpinan transaksional yang mencakup unsur yang lebih luas dari kepemimpinan transaksional (Waldman, Bass, & Einstein, 1985). Bass (1985; pada Yukl, 1994) mengusulkan sebuah teori kepemimpinan transformasional (transformational leadership) yang dibangun dari gagasan-gagasan Burns. Tingkat sejauh mana seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para bawahannya. Para bawahan seorang pemimpin transformasional merasakan adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin dan termotivasi untuk melakukan lebih dari yang awalnya diharapkan terhadap mereka. Pemimpin transformasional berusaha mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan: (a) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, (b) meminta individu mementingkan kepentingan

tim di atas kepentingan pribadi, dan (c) mengubah tingkat kebutuhan (Hirarki Maslow) bawahan atau memperluas kebutuhan bawahan. Pemimpin yang transformasional mendapatkan komitmen lebih besar dari bawahan dan mendorong mereka mendahulukan kepentingan organisasi di atas

kepentingan pribadi bukan saja dengan kharismanya tapi juga dengan berperan sebagai pelatih, guru atau mentor (Bass, 1985; Yukl, 1989; Keller, 1992). Pada kepemimpinan transformasional menerapkan lebih dari sekedar pertukaran dan selalu berusaha meningkatkan perhatian, memberi stimulasi intelektual dan memberi inspirasi pada bawahan untuk lebih mementingkan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi. Jenis kepemimpinan ini lebih dari sekedar transaksi konstruktif dan korektif. Formulasi asli teori kepemimpinan transformasional mencakup tiga komponen: idealized influence (karisma), stimulasi intelektual (intelectual stimulation), dan perhatian individual (individualized consideration) (Bass, 1985). Sebuah revisi baru dari teori kepemimpinan transformasional, menambahkan perilaku transformasional lain yang disebut motivasi inspirasi (inspirational motivation) (Bass & Avolio, 1990). Sehingga secara keseluruhan terdapat 4 (empat) dimensi dalam kepemimpinan transformasional, yaitu: 1. Karisma (idealized influence/charisma). Pemimpin yang karismatik akan mampu menumbuhkan antusiasme dan loyalitas di kalangan para anggota organisasi, mendorong mereka untuk mengemukakan pendapat dan pandangan mereka secara bebas serta mampu mengarahkan perhatian mereka ke visi yang mengantisipasi situasi dan kondisi di masa datang. 2. Rangsangan intelektual (intelectual stimulation). Pemimpin yang memiliki intelektualitas mengajak para anggota organisasi untuk berpikir secara

rasional serta menggunakan data dan fakta dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Para bawahan juga didorong untuk berpikir dengan cara

mereka sendiri, menghadapi tantangan, dan mempertimbangkan caracara yang kreatif untuk mengembangkan diri mereka sendiri. 3. Perhatian individual (individualized consideration). Pemimpin selalu memberikan perhatian pada persoalan yang dihadapi dan kebutuhan para anggota organisasi serta mau membantu memecahkan persoalan dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Para bawahan diperlakukan secara berbeda-beda tetapi adil dengan dasar perhatian satu per satu. Bukan saja kebutuhan mereka dikenali dan perspektif mereka

ditingkatkan, tetapi pemimpin juga menyediakan sarana untuk mencapai tujuan secara lebih efektif, dan pekerjaan yang menantang juga diberikan kepada bawahan. Dengan perhatian individual, tugas-tugas diberikan kepada bawahan untuk memberikan kesempatan belajar. 4. Motivasi inspirasi (inspirational motivation), sering tumpang tindih dengan pengertian karisma, tergantung pada seberapa besar bawahan berusaha mengidentifikasikan diri mereka dengan pemimpin. Menetapkan simbolsimbol dan menyederhanakan himbauan-himbauan emosional untuk meningkatkan kesadaran dan pengertian mengenai tujuan bersama. Perilaku-perilaku dimensi dari kepemimpinan transformasional tersebut saling berhubungan untuk mempengaruhi perubahan-perubahan pada para pengikut. Besarnya inspirasi yang ditimbulkan oleh pemimpin

transformasional pada pengikutnya untuk menyelesaikan tujuan-tujuan yang lebih sulit, mendekati dan memecahkan masalah dengan cara-cara baru, dan

meningkatkan kemampuan mereka, akan berhubungan langsung dengan prosentase sasaran yang akan dicapai oleh perusahaan. Dengan

menggunakan inspirasi, karismatik, perhatian individual atau rangsangan intelektual, para pemimpin transformasional membantu pengikut menjadi lebih percaya untuk mencapai sasaran-sasaran yang ada dan bekerja sesuai dengan arah yang akan mengarah ke pencapaian sasaran yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Para pemimpin transformasional juga cenderung memperhatikan bawahan secara individual, berbagi rasa dan memperlakukan masing-masing sebagai individu. Para manajer yang memberi rangsangan intelektual mengubah cara pandang bawahan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada dengan membantu mereka memandang permasalahan-

permasalahan lama dengan cara kreatif. Lebih lanjut Tichy dan Devana (1986; pada Yukl, 1994) berusaha mengidentifikasikan dan menganalisis proses-proses yang khas yang terjadi bila para pemimpin mengubah dan menghidupkan kembali organisasi, perilaku-perilaku yang memudahkan proses tersebut, serta karakteristikkarakteristik dari ciri-ciri dan ketrampilan-ketrampilan para pemimpin

transformasional. Proses tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari tahap-tahap: (1) dimulai dengan pengakuan akan kebutuhan perubahan, (2) mengelola transisi perubahan, (3) menciptaan sebuah visi yang baru, dan (4) melembagakan perubahan-perubahan tersebut. Pada setiap tahap dari proses transformasional tersebut, keberhasilan pemimpin sebagian akan tergantung kepada sikap, nilai, dan ketrampilan pemimpin tersebut. Para pemimpin transformasional yang efektif mempunyai

atribut-atribut sebagai berikut: (1) mereka melihat diri mereka sendiri sebagai agen-agen perubahan, (2) mereka adalah para pengambil resiko yang berhati-hati, (3) mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka, (4) mereka mampu mengartikulasikan

sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku mereka, (5) mereka fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dari pengalaman, (6) mereka mempunyai ketrampilan kognitif, dan yakin pada pemikiran yang berdisiplin dan kebutuhan akan analisis masalah yang hati-hati, dan (7) mereka adalah orang-orang yang mempunyai visi dan mempercayai intuisi mereka. Karena besarnya dampak kepemimpinan transformasional pada keinginan bawahan untuk berkinerja dengan baik, bila dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, kepemimpinan transformasional akan lebih berhubungan dengan rating kinerja. Faktor-faktor transaksional dan

transformasional akan berhubungan dengan cara yang berlainan dengan berbagai aspek kepuasan bawahan dengan sistem pengukuran kinerja organisasi. Beberapa bukti penelitian yang telah terakumulasi menyimpulkan, bahwa jenis kepemimpinan transformasional mempengaruhi kinerja karyawan dalam banyak cara yang secara kuantitatif dan kualitatif berbeda dengan jenis kepemimpinan lainnya contohnya kepemimpinan transaksional. Bass (1985; pada Waldman, Bass & Einstein, 1987) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional akan memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan kepemimpinan transaksional pada kinerja bawahan. Dengan memperjelas sasaran kerja dan imbalan-imbalan yang terkait pada para bawahan, para pemimpin transaksional meningkatkan usaha dan kinerja untuk mencapai

sasaran. Di sisi lain, karena membangun inspirasi dan kepercayaan diri yang berhubungan dengan kepemimpinan transformasional, bisa diduga adanya usaha dan kinerja yang melebihi apa yang telah ditetapkan atasan. Hal ini akan tercermin pada evaluasi kinerja yang lebih tinggi yang diberikan kepada bawahan yang menganggap para pemimpin mereka transformasional. Di samping itu Bass (1985; pada Koh, Steers, & Terborg, 1995) juga berpendapat bahwa pemimpin transformasional dapat menggunakan tiga komponennya (charisma, individualized consideration, dan intellectual stimulation) untuk mengubah motivasi karyawan dan meningkatkan kinerja unit lebih dari yang telah diharapkan. Bukti-bukti empiris juga menyimpulkan bahwa kepemimpinan

transformasional dan komponen-komponennya berhubungan positif dengan kinerja pada area penelitian yang berbeda-beda yaitu pada: studi lapangan (Curphy, 1992; Hater & Bass, 1988; pada Howell & Merenda, 1999; Howell & Avolio, 1993; Keller, 1992), penelitian historis (House, Spangler, & Woycke, 1991; pada Howell & Merenda, 1999), penelitian laboratorium (Howell & Frost, 1989; Kirkpatrick & Lacke, 1996; pada Howell & Merenda, 1999), dan penelitian meta analisis ( Lowe, Kroeck, & Sivasubramaniam, 1996; pada Howell & Merenda, 1999). Lebih dari 35 penelitian mengenai pengaruh kepemimpinan

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dan kinerja karyawan (Kirkpatrick & Locke, 1996). Sedangkan Shamir, House, dan Arthur (1993) berpendapat bahwa lebih dari 20 penelitian menemukan adanya hubungan positif pemimpin kharismatik atau kepemimpinan transformasional terhadap kinerja, sikap, dan persepsi

karyawan.

Hasil

meta

analisis

mengenai

penelitian

kepemimpinan

transaksional dan transformasional menemukan bahwa baik pemimpin transaksional maupun pemimpin transformasional berhubungan positif dengan kinerja karyawan, meskipun pemimpin transformasional mempunyai hubungan positif yang lebih kuat dibanding pemimpin transaksional terjadap kinerja karyawan. Penelitian Sosik, Avolio, dan Kahai (1997) yang mengevaluasi mengenai pengaruh gaya kepemimpinan (transaksional dan transformasional) dan anonymity level terhadap potensi dan keefektifan kelompok, menemukan bahwa pengaruh gaya kepemimpinan (transaksional dan transformasional) terhadap potensi dan keefektifan kelompok adalah positif. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Howell dan Avolio (1993), bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dan kinerja

perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk kinerja unit bisnis terkonsolidasi. Begitu juga, penelitian Keller (1992) menyatakan bahwa pemimpin yang

efektif dalam kelompok proyek R & D cenderung memberikan inspirasi dan menekankan pentingnya pelaksanaan tugas, merangsang cara-cara berpikir baru dan pemecahan masalah dan mendorong anggota kelompok bekerja lebih banyak dibanding yang ditentukan sehingga dapat meningkatkan kualitas proyek. Sedangkan beberapa penelitian lainnya walaupun tidak secara langsung mengkaitkan hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja karyawan, namun berusaha mengkaitkannya dengan: kinerja unit bisnis (Howell & Avolio, 1993); keefektifan kepemimpinan, upaya ekstra

bawahan, dan kepuasan kerja (Bass & Seltzer, 1990); dan komitmen organisasi (Bycio, Hackett, & Allen, 1995; Koh, Steers, & Terborg, 1995). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa para manajer yang berperilaku seperti pemimpin transformasional lebih berkecenderungan dipandang oleh para teman kerja dan karyawannya sebagai pemimpin yang memuaskan dan efektif dibanding mereka yang berperilaku seperti pemimpin transaksional, sesuai dengan respon dari para teman kerja, supervisor, dan karyawan pada Multifactor Leadership Questionaire (MLQ). Hasil yang sama ditemukan diberbagai setting organisasi. Para pemimpin yang diteliti berasal dari berbagai bagian organisasi: chief executive officers, senior manajer, dan manajer level menengah di perusahaan-perusahaan bisnis dan industri di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan India; pemimpin-pemimpin proyek riset dan

pengembangan; para pejabat militer angkatan darat di Amerika, Kanada, dan Inggris; pejabat senior angkatan laut di Amerika Serikat; taruna angkatan laut di Annapolis; penyelenggara pendidikan; dan para pemimpin agama.

D. Pemberdayaan Psikologis (Psychological Empowerment) Pemberdayaan (empowerment) menjadi isu manajemen dan bisnis yang telah menjadi bahasa sehari-hari di kalangan praktisi manajemen dan sumber daya manusia. Bagi perusahaan integral berskala dalam global, kegiatan

pemberdayaan

bahkan

menjadi

bagian

manajerialnya. Perusahaan menerapkan pemberdayaan sebagai bagian dari upaya pengembangan keunggulan kompetitif di tengah persaingan global. Dalam penerapannya, pemberdayaan memerlukan pendekatan

baik dari pihak manajemen/pimpinan untuk rela memberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang kepada karyawan disertai kepercayaan maupun dari pihak karyawan untuk terus mengembangkan potensi diri guna menjalankan tugas/tanggungjawab yang dipercayakan. Pilihan manajemen untuk menerapkan pemberdayaan amat tepat sebab situasi dan perubahan pasar menuntut inovasi, kemampuan, dan kecepatan perubahan untuk beradaptasi. Pemberdayaan didefinisikan sebagai keyakinan pengikut akan kemampuan mereka sendiri, atau kemampuan organisasi atau unit tempat mereka bekerja, untuk mengatasi hambatan dan mengontrol peristiwa (Behling & McFillen, 1996). Pemberdayaan melebihi delegasi wewenang. Karyawan

diperlakukan sebagai mitra kerja sehingga ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab atas aset perusahaan. Dengan pemberdayaan, karyawan diberi kemampuan dan kesempatan untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan mengendalikan implementasi dari rencana pekerjaan yang menjadi tanggung jawab karyawan atau tanggung jawab kelompok (Nangoi, 2001). Pemberdayaan harus disertai dengan

pemberian kekuasaan (power) dan tanggung jawab yang lebih besar kepada karyawan dan berimplikasi positif bagi peningkatan

kompetensi/kapasitas mereka. Dengan pemberdayaan, tenaga kerja diharapkan dapat melakukan pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan atasan/pimpinan secara baik. Pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan atasan/pimpinan jelas perlu diimbangi dengan tingkat kemampuan dan pengetahuan karyawan akan tugas yang harus dijalankannya. Dalam pemberdayaan, karyawan

harus dipastikan: (1) memiliki pengetahuan (knowledge) yang memadai dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka, (2) memahami visi yang akan dituju organisasi, (3) memiliki komitmen terhadap visi organisasi, dan (4) memanfaatkan smart technologies untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam pembuatan produk dan penyediaan jasa bagi konsumen. Para peneliti dan praktisi organisasi telah mengidentifikasikan

pemberdayaan psikologis (psychological empowerment) sebagai konstruk yang perlu memperoleh perhatian kritis. Meluasnya minat terhadap masalah pemberdayaan psikologis muncul pada saat persaingan global dan berbagai perubahan yang terjadi sehingga mengharuskan anggota organisasi untuk lebih memiliki inisiatif dan inovatif (Drucker, 1988; pada Spreitzer, 1995). Thomas & Velthouse (1990) telah mengusulkan pandangan-

pandangan alternatif tentang pemberdayaan yang dibedakan antara atribut situasional (contohnya: praktek-praktek manajemen) dengan kognisi

pekerjaan dari atribut-atribut tersebut (contohnya: pemberdayaan psikologis). Conger dan Kanungo (1988; pada Spreitzer, 1995) menyatakan bahwa praktek-praktek manajemen hanyalah merupakan satu rangkaian kondisi dan praktek tersebut tidak selalu berhasil untuk memperkuat keinginan para pegawai tanpa dilengkapi dengan pemberdayaan psikologis dari karyawan tersebut. Conger dan Kanungo (1988; pada Spreitzer, 1995) mendefiniskan pemberdayaan pemenuhan diri, psikologis sebagai konsep motivasional tentang

yang secara lebih spesifik dapat dinyatakan sebagai yang

meningkatnya motivasi tugas intrinsik (intrinsic task motivation)

terwujud dalam serangkaian kognisi yang mencerminkan orientasi individu pada peran kerjanya yang terwujud dalam empat dimensi: arti (meaning), kompetensi (comptence), pemenuhan diri (self-determination), dan

pengaruh (impact). Motivasi tugas intrinsik (intrinsic task motivation) dapat diartikan sebagai apa yang dirasakan oleh individu yang secara langsung dirasakan dari tugas atau kerjanya. Penjelasan dari masing-masing dimensi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Arti (meaning), adalah nilai dari suatu tujuan kerja yang dinilai dalam kaitannya dengan tujuan atau standar individu yang bersangkutan (Thomas & Velthouse, 1990). Arti mencakup suatu kesesuaian antara persyaratan dari suatu peran kerja dan keyakinan, nilai, dan perilaku (Brief & Nord, 1990; Hackman & Oldham, 1980; pada Spreitzer, 1995). 2. Kompetensi (competence), mempunyai arti yang sama dengan selfefficacy, yaitu keyakinan individu atas kemampuannya dalam

melaksanakan kegiatan-kegiatan dengan keahlian yang dimilikinya (Gist, 1987; pada Spreitzer, 1995). Kompetensi merupakan keyakinan,

penguasan pribadi, atau pengharapan yang berkaitan dengan usaha dan hasil kerja (Bandura, 1989; pada Spreitzer, 1995). Kompetensi lebih memfokuskan pada kemampuan dalam melaksanakan peran kerja tertentu, bukan peran kerja secara luas yang sering kali diistilahkan dengan self-esteem. 3. Penentuan diri (self-determination), adalah perasaan individu yang berkaitan dengan pilihan dalam mengawali dan mengatur tindakan (Deci, Connell, & Ryan, 1989; pada Spreitzer, 1995). Penentuan diri

merefleksikan otonomi dalam mengawali dan melaksanakan perilaku dan

proses kerja, misalnya mengenai pembuatan keputusan tentang metode kerja, kecepatan, dan usaha yang dilaksanakan (Bell & Staw, 1989; Spector, 1986; pada Spreitzer, 1995). 4. Pengaruh (impact), adalah tingkat dimana individu dapat mempengaruhi hasil-hasil strategik, administratif, dan operasional dari hasil kerja (Ashforth, 1989; pada Spreitzer, 1995). Lebih jauh lagi, pengaruh berbeda dari locus of control, dimana pengaruh dipengaruhi oleh lingkup kerja, sedangkan internal locus of control merupakan karakteristik kepribadian global yang berlaku dalam semua situasi (Wolfe & Robertshaw, 1982; pada Spreitzer, 1995). Secara bersama-sama, keempat dimensi tersebut merefleksikan orientasi terhadap suatu peran kerja secara aktif. Orientasi aktif yang dimaksudkan di sini adalah orientasi dimana individu berkeinginan dan merasa mampu melaksanakan peran dalam konteks kerjanya. Keempat dimensi di atas tergabung membentuk keseluruhan konstruk

pemberdayaan psikologis, atau dengan kata lain, apabila salah satu dimensi tidak ada, maka tingkat pemberdayaan yang diperoleh juga tidak maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan psikologis meliputi variabel individual (locus of control) dan variabel struktural sosial (desain kerja, iklim kerja, dan sistem reward) (Spreitzer, 1995). Sejumlah asumsi umum tentang definisi pemberdayaan perlu dijelaskan lebih jauh. Pertama, pemberdayaan bukanlah karakteristik kepribadian yang tahan lama dan bisa digeneralisasikan dalam semua situasi, namun lebih merupakan serangkaian kognisi yang terbentuk oleh lingkungan kerja (Thomas & Velthouse, 1990). Dengan demikian,

pemberdayaan mencerminkan persepsi individu tentang dirinya dalam kaitannya dengan lingkungan kerja (Bandura, 1989; pada Thomas & Velthouse, 1990). Kedua, pemberdayaan merupakan variabel yang kontinyu, individu bisa dilihat sebagai individu yang memperoleh pemberdayaan besar atau kecil, bukan individu yang memperoleh pemberdayaan pemberdayaan dan bukan tidak memperoleh pemberdayaan. global yang Ketiga, bisa

merupakan

konstruk

digeneralisasikan dalam berbagai peran dan situasi kehidupan, namun hanya terbatas pada bidang kerja. Studi mengenai pemberdayaan psikologis didasarkan pada lingkungan kerja, bukan didasarkan pada penilaian global.

E. Substitut Kepemimpinan (Substitutes for Leadership) Kerr dan Jermier (1978; pada Yukl 1994) telah mengembangkan sebuah model untuk mengidentifikaskan aspek-aspek situasi yang mengurangi pentingnya kepemimpinan bagi para manajer dan para pemimpin formal lainnya. Teori tersebut membuat perbedaan antara dua jenis variabel situasional: substitute (substitusi/pengganti) dan neutralizer (penetral). Substitute membuat perilaku pemimpin itu tidak perlu dan berkelebihan. Substitute mencakup setiap karakteristik dari bawahan,

tugas, dan organisasi yang memastikan agar para bawahan dengan jelas memahami peran mereka, pengetahuan mengenai cara melakukan tugasnya, sangat termotivasi, dan puas dengan pekerjaan mereka. Sedangkan neutralizer adalah setiap karakteristik dari tugas atau

organisasi yang menghalangi seorang pemimpin untuk bertindak dalam suatu cara spesifik atau yang menghapus efek-efek tindakan-tindakan pemimpin tersebut. Misalnya, kurangnya kekuasan seorang pemimpin untuk memberi imbalan bagi kinerja yang efektif, merupakan suatu hambatan situasional yang bertindak sebagai suatu neutralizer,

sedangkan kurangnya minat terhadap suatu insentif yang ditawarkan pemimpin tersebut merupakan sebuah kondisi yang membuat perilaku tersebut menjadi tidak ada artinya. Seperti dikatakan oleh Howell, Bowen, Dorfman, Kerr, dan Podsakoff (1990; pada Yukl, 1994),..substitut kepemimpinan

berfokus kepada apakah para bawahan menerima bimbingan mengenai tugas serta insentif untuk berbuat tanpa menganggap selalu benar bahwa pemimpin formal tersebut adalah pemasok yang utama. Sebenarnya, substitute adalah aspek-aspek situasi yang

menyebabkan variabel-variabel intervensi berada pada tingkat optimal, sedangkan neutralizer merupakan hambatan-hambatan yang mencegah atau mengecilkan hati pemimpin tersebut untuk melakukan hal-hal untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang sekarang terdapat pada variabel-variabel intervensi. Dalam praktiknya substitute dan neutralizer sangat sulit untuk dibedakan, dan istilah substitutes for leadership (substitusi kepemimpinan) seringkali digunakan sebagai istilah umum bagi keduanya. Pada substitut kepemimpinan tercakup 3 (tiga) karakteristik utama dan 12 (duabelas) dimensi. Penjelasan dari masing-masing karakteristik dan dimensi dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Karakteristik Bawahan (characteristics of subordinates), terdiri dari 4 dimensi: a. Kemampuan, pengalaman, pelatihan, dan pengetahuan (ability,

experience, training, and knowledge) Bila para bawahan mempunyai kemampuan, pengalaman, pelatihan, dan pengetahuan sebelumnya yang ekstensif, maka sedikit saja pengarahan yang dibutuhkan karena mereka sudah mempunyai ketrampilan dan pengetahuan untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Mereka mempunyai kompetensi untuk bekerja secara independen atau tidak tergantung pada atasan mereka dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Mereka tidak tergantung pada atasan dalam hal memperoleh data, informasi, maupun nasehat. b. Orientasi profesional (professional orientation) Para profesional yang secara internal termotivasi oleh nila-nilai,

kebutuhan-kebutuhan, dan etika, mereka tidak perlu dorongan dari pemimpin tersebut untuk melakukan pekerjaan yang berkualitas tinggi. Para profesional mempunyai perhatian lebih pada proses kerja yang sesuai dengan disiplin ilmunya dan bukan pada evaluasi kerja nantinya. c. Tidak tergantung terhadap imbalan yang ditawarkan organisasi

(indifference toward organizational rewards). Pada tingkat tertentu penghargaan akan memotivasi individu, tergantung pada apakah: 1. Kompensasi yang ditawarkan perusahaan berarti atau penting bagi individu. 2. Kenaikan kompensasi tergantung pada kinerja.

3. Bawahan yakin bahwa usaha yang lebih akan menghasilkan imbalan yang lebih tinggi. Namun kadangkala bawahan bersikap acuh terhadap imbalan yang ditawarkan organisasi. Misalnya, bawahan yang menginginkan lebih banyak waktu untuk berada dengan keluarganya tidak akan termotivasi oleh tawaran uang yang lebih banyak agar mau bekerja lebih banyak beberapa jam. d. Keinginan karyawan untuk mandiri (subordinate need for independence) Para bawahan menginginkan otonomi lebih di tempat kerjanya. Mereka menginginkan kontrol lebih pada bagaimana pekerjaan harus dilakukan melalui beberapa program yang fleksibel.

2. Karakteristik tugas (characteristics of tasks), teridir dari 3 dimensi: a. Kejelasan, kerutinan, dan metodologi dari riset (unambiguous, routine, methodologically invariant tasks). Substitut lain bagi kepemimpinan instrumental adalah sebuah tugas sederhana dan yang diulang-ulang. Para bawahan dapat dengan cepat belajar ketrampilan yang sesuai bagi jenis pekerjaan tanpa pelatihan dan instruksi yang ekstensif dari pemimpin. b. Adanya umpan balik dari tugas (task provided feedback concerning accomplishment). Bilamana tugas atau pekerjaan memberi umpan balik (feedback) secara otomatis tentang bagaimana baiknya pekerjaan dilaksanakan, maka pemimpin tidak perlu lagi memberikan umpan balik. Misalnya, sebuah studi

telah menemukan bahwa para pekerja dalam sebuah perusahaan yang mempunyai networked computer system dan computer integrated manufacturing tidak membutuhkan banyak supervisi karena mereka mampu untuk memperoleh arus balik mengenai produktivitas serta kualitas secara langsung dari sistem informasi tersebut, dan mereka dapat memperoleh bantuan dalam memecahkan masalah-masalah dengan memintanya kepada orang lain dalam jaringan kerja tersebut (Lawler, 1988; pada Yukl, 1994). c. Tugas yang secara intrinsik memuaskan (intrinsically satisfying tasks). Jika pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan menarik dan menyenangkan, maka para bawahan dapat cukup termotivasi oleh pekerjaan itu sendiri tanpa bantuan apa pun dari pemimpin dalam mendorong dan memberi mereka inspirasi. Sebagai tambahan, sebuah pekerjaan yang sangat menarik dan menyenangkan dapat digunakan sebagai sebuah substitut bagi kepemimpinan yang mendukung dalam kaitannya dengan

memastikan suatu tingkat kepuasan kerja yang tinggi.

3. Karakteristik organisasi (characteristics of organization) terdiri dari 6 dimensi: a. Tingkat formalitas dari organisasi (organizational formalization) Dalam organisasi-organisasi yang mempunyai peraturan, pengaturan, dan kebijakan-kebijakan tertulis, sedikit saja pengarahan yang dibutuhkan segera setelah peraturan-peraturan serta kebijakan-kebijakan tersebut dipahami oleh para bawahan.

b.

Tingkat kekakuan dari organisasi (organizational inflexibility) Peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan dapat membantu sebagai suatu neutralizer maupun sebagai suatu substitute bila peraturan atau kebijakan tersebut tidak fleksibel (kaku) sehingga menghalangi seorang pemimpin untuk membuat perubahan-perubahan dalam penugasan pekerjaan atau dalam prosedur-prosedur untuk memudahkan usaha-usaha para bawahan. c. Dukungan dari penasehat dan staf (advisory and staff support) Dukungan dan kerjasama dari penasehat maupun staf di luar departemen atau unit kerja merupakan substitut bagi kepemimpinan. Para bawahan cukup melakukan kerjasama dengan staf lain untuk mendapatkan informasi, data, dan laporan guna melengkapi pekerjaan tanpa bantuan pemimpin. d. Tingkat kohesivitas dari kelompok kerja (closely-knit, cohesive,

interdependent work groups) Substitut lain bagi kepemimpinan yang mendukung adalah sebuah kelompok yang sangat kohesif (cohesive) atau solider, yang di dalamnya para bawahan memperoleh dukungan psikologis satu sama lainnya bilamana diperlukan. Solidaritas kelompok (group cohesiveness) dapat mensubstitusi usaha-usaha kepemimpinan untuk memotivasi para

bawahan bila tekanan-tekanan sosial terjadi bagi masing-masing anggota, untuk membuat kontribusi yang signifikan kepada tugas kelompok. Sebaliknya, solidaritas dapat digunakan sebagai suatu neutralizer bila hubungan dengan manajemen itu jelek, dan tekanan sosial dilakukan untuk membatasi produksi.

e. Penghargaan

organisasi

yang

berada

di

luar

kontrol

pemimpin

(organizational rewards not within the leadersubstitutes for leadership control) Sebuah sistem imbalan otomatis seperti komisi atau bagi hasil dapat mensubstitusi penggunaan imbalan dan hukuman oleh seorang pemimpin untuk memotivasi para bawahan. Position power yang terbatas atau serikat kerja yang kuat cenderung akan mentralisir penggunaan imbalan dan hukuman oleh seorang pemimpin untuk memotivasi para bawahan. f. Jarak atau ruang antara pemimpin dan karyawan (spatial distance between superior and subordinate). Perilaku pemimpin yang mendukung dan yang instrumental dinetralisir bila para bawahan secara geografis terpencar dan tidak sering mempunyai kontak dengan pemimpin mereka.

F. Organizational Citizenship Behavior Meskipun Katz (1964, pada Williams & Anderson, 1991) telah membedakan antara perilaku in-role dan extra-role lebih dari 25 tahun yang lalu, hal ini belum membuktikan bahwa pengukuran perilaku extrarole yang dilaksanakan oleh supervisor benar-benar berbeda dari pengukuran perilaku in-role. Perbedaan yang mendasar antara perilaku in-role dengan perilaku extra-role adalah pada reward. Pada in-role biasanya dihubungkan dengan reward dan sanksi (hukuman), sedangkan pada extra-role biasanya terbebas dari reward dan perilaku yang dilakukan oleh individu tidak diorganisir dalam reward yang akan mereka

terima (Morrison, 1994). Tidak ada insentif tambahan yang diberikan ketika individu berperilaku extra-role. Organizational citizenship behavior (OCB) dilihat secara luas sebagai faktor yang memberikan sumbangan pada hasil kerja organisasi secara keseluruhan. Pemimpin memainkan peran penting dalam

mendorong pencapaian OCB dengan cara meningkatkan sikap positif karyawan (misalnya: melalui kepuasan kerja, keadilan, dan komitmen organisasi). Organizational citizenship behavior oleh peneliti OCB didefinisikan terpisah dari kinerja in-role (bekerja sesuai dengan tugas dan deskripsi kerja), dan menekankan OCB sebagai kinerja extra- role (Bateman & Organ, 1983; Smith et al., 1983; pada Van Dyne, Graham, & Dienesch, 1994). Organizational citizenship behavior seringkali

didefinisikan sebagai perilaku individu yang mempunyai kebebasan untuk memilih, yang secara tidak langsung atau secara eksplisit diakui oleh sistem reward, dan memberi kontribusi pada keefektifan dan keefisienan fungsi organisasi (Organ, 1988; pada Williams & Anderson, 1991). Sedangkan Organ (1988; pada Williams & Anderson, 1991)

mendefinisikan OCB sebagai perilaku dan sikap yang menguntungkan organisasi yang tidak bisa ditumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal maupun dengan bentuk kontrak atau rekompensasi. Contohnya meliputi bantuan pada teman kerja untuk meringankan beban kerja mereka, tidak banyak beristirahat, melaksanakan tugas yang tidak diminta, dan membantu orang lain untuk menyelesaikan masalah.

Peran penting OCB adalah mampu memperbaiki dan meningkatkan keefektifan dan keefisienan organisasi melalui transformasi sumberdaya, proses inovasi, dan proses adaptasi. Beberapa bentuk dari OCB adalah:
1. Mengutamakan kepentingan orang lain, misalnya dengan membantu

rekan kerja dalam suatu proyek


2. Bekerja dengan teliti, termasuk di dalamnya menggunakan waktu kerja

yang ada tanpa membuang waktu


3. Civic virtue, misalnya: selalu mencari informasi baru. 4. Sportif, termasuk bekerja tanpa mengeluh 5. Berusaha menghindari masalah dengan melakukan pengecekan terlebih

dahulu, tidak mudah dipengaruhi saat diprovokasi Secara konseptual OCB dapat dibedakan menjadi dua kategori: OCBO dan OCBI. OCBO adalah perilaku-perilaku yang bermanfaat bagi organisasi pada umumnya (misal: kehadiran di tempat kerja melebihi norma yang berlaku dan mentaati peraturan-peraturan informal yang ditetapkan untuk memelihara ketertiban). Sedangkan OCBI adalah perilaku-perilaku yang secara langsung bermanfaat bagi individu itu sendiri dan tidak secara langsung juga bermanfaat bagi organisasi (misal: membantu orang lain yang tidak masuk kerja dan bersedia membantu karyawan baru). G. Perilaku Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan

Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior Berbagai studi telah menguji bagaimana perilaku kepemimpinan seperti yang dilukiskan oleh para bawahan pada MLQ berhubungan

dengan berbagai kriteria tentang efektifitas kepemimpinan seperti penilaian kinerja oleh para atasan dan tingkat komitmen terhadap pekerja seperti yang dilaporkan oleh para bawahan (Avolio & Howell, 1992; Bass, Avolio, & Goodheim, 1987; Waldman, Bass, & Einstein, 1987; Waldman, Bass, & Yammarino, 1990; Yammarino & Bass, 1990; pada Yukl, 1994; Hater & Bass, 1998; Seltzer & Bass, 1990). Dalam studi-studi tersebut, perilaku-perilaku dari kepemimpinan transformasional biasanya

berkorelasi lebih kuat dengan beberapa variabel kriteria daripada perilakuperilaku kepemimpinan transaksional, tetapi beberapa perilaku

kepemimpinan transaksional (misal: contingent reward dan management by exception active) adalah juga relevan bagi efektifitas dari pemimpin. Hasil-hasil dari penelitian tersebut mendukung konklusi bahwa para pemimpin yang efektif menggunakan dan sebuah campuran perilaku

kepemimpinan transaksional. Selain itu,

transformasional

perilaku

kepemimpinan

beberapa

penelitian

empiris

dan

meta

analisis

menyimpulkan bahwa kepemimpinan transaksional dan transformasional mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap OCB. Walaupun beberapa penelitian secara konsisten menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepemimpinan transaksional dan kinerja karyawan, Hater dan

Bass (1988) menyatakan bahwa kepemimpinan transaksional (contingent reward dan management by exception) sebenarnya mempunyai hubungan positif dengan kepuasan oleh kerja dan keefektifan penilaian yang

dipersepsikan

bawahan.

Dengan

menggunakan

hierarchical

regression analysis, hasil penelitian menemukan bahwa kepemimpinan

transformasional

memberikan

tambahan

pengaruh

melebihi

kepemimpinan transaksional yang dinyatakan dengan peningkatan F ratio dari 87,88 menjadi 141,62. Hal ini didukung oleh penelitian Koh, Steers, dan Terborg (1995) yang menguji pengaruh langsung perilaku pemimpin transformasional dan kepemimpinan transaksional yang dihubungkan dengan komitmen

organisasi, OCB, kepuasan terhadap pemimpin, dan kinerja objektif (produktivitas, turnover, dan absensi). Hasil analisis dengan menggunakan hierarchical regression analysis yang terdiri dari 864 pengajar di Singapura, menemukan bahwa kepemimpinan transformasional secara signifikan menambah pengaruh kepemimpinan transaksional dalam memprediksi komitmen organisasi, OCB, kepuasan, dan kinerja obyektif para pengajar. Sebenarnya salah satu teori kepemimpinan yang paling sesuai untuk memahami OCB adalah teori kepemimpinan transformasional (Bass, 1997; pada Sekiguchi, 2000). Bryman (1992; pada Fuller et al., 1999) berpendapat bahwa perilaku pemimpin transformasional

berhubungan positif dengan sejumlah outcomes organisasi termasuk extra effort, OCBs, dan kepuasan kerja. Podsakoff, Mac Kenzie, Moorman, dan Fetter (1990; pada Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer, 1996) berpendapat bahwa meskipun pengaruh pemimpin transformasional terhadap kinerja in-role adalah penting namun tidak sepenting

pengaruhnya pada kinerja extra-role (OCBs). Pada OCB, pemimpin transformasional memotivasi bawahan untuk bekerja melebihi tugas formalnya sehingga memberikan kontribusi pada keefektifan organisasi. Di

bawah kepemimpinan transformasional, karyawan merasa percaya dan respect kepada pemimpin dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan oleh pemimpin mereka. Hipotesis 1: Perilaku kepemimpinan transformasional secara signifikan menjelaskan variansi OCB melebihi yang dapat dijelaskan oleh perilaku kepemimpinan transaksional.
H. Pemberdayaan Psikologis sebagai Variabel Pemoderasi Perilaku

Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior Salah satu variabel yang secara signifikan mampu meningkatkan pengaruh positif perilaku terhadap kepemimpinan berbagai khususnya kepemimpinan adalah

transformasional

outcomes

organisasi

pemberdayaan psikologis (Spreitzer, 1995; Thomas & Velthouse, 1990; pada Fuller et al., 1999). Pemberdayaan psikologis sebagai salah satu variabel situasional diyakini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap berbagai outcomes diantaranya adalah terhadap kepuasan kerja. Penelitian Liden, Wayne, dan Sparrowe (2000) menggunakan variabel pemberdayaan psikologis sebagai variabel mediating yang memediasi hubungan antara karakteristik kerja, Leader Member Exchange (LMX), Team Member Exchange (TMX), dan outcomes (kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan kinerja karyawan). Hasil penelitian menemukan bahwa dimensi arti (meaning) dan kompetensi (competence) dari dimensi-dimensi pemberdayaan psikologis memediasi hubungan antara karakteritik kerja dan kepuasan kerja, sedangkan dimensi

arti (meaning) itu sendiri juga memediasi hubungan antara karakteristik kerja dan komitmen organisasi. Sebaliknya, pemberdayaan psikologis tidak memediasi hubungan antara LMX, TMX, dan variabel outcomes. LMX dan TMX berhubungan langsung dengan komitmen organisasional, sedangkan TMX berhubungan langsung dengan kinerja tanpa dimediasi oleh

pemberdayaan psikologis. Pemberdayaan psikologis berhubungan signifikan dengan kepemimpinan. Pendapat ini dibuktikan oleh penelitian Spreitzer, DeJanasz, dan Quinn (1999) yang menguji hubungan antara pemberdayaan psikologis dan kepemimpinan (lebih berfokus pada kepemimpinan yang berorientasikan pada perubahan). Alat analisis LISREL digunakan untuk menguji hipotesishipotesis yang menyatakan bahwa pemberdayaan berhubungan positif

terhadap perilaku inovatif, berpengaruh, dan memberikan inspirasi pada bawahan serta berhubungan negatif dengan status quo. Pengujian dilakukan pada supervisor level menengah dari beberapa organisasi yang tergabung dalam Fortune 500. Hasil penelitian menemukan bahwa supervisor yang mempunyai pemberdayaan psikologis yang tinggi adalah supervisor yang innovatif, berpengaruh, dan penuh dengan inspirasi. Tipe kepemimpinan lain yang berkorelasi kuat dengan OCB ditemukan pada tipe kepemimpinan transformasional. Penelitian Graham (1988; pada Koh, Steers, & Terborg, 1995) menemukan bukti adanya hubungan konseptual antara kepemimpinan trasformasional dan OCB melalui proses pemberdayaan kepemimpinan bawahan. Selanjutnya mampu Graham menjelaskan bahwa

transformasional

memfasilitasi

pemberdayaan

bawahan melalui beberapa dimensinya: perhatian individual (individualized

consideration) dengan menciptakan kesempatan-kesempatan bagi bawahan dan rangsangan intelektual (stimulation intelectual) dengan mendorong bawahan untuk berpikir dan berperilaku inovatif. Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Fuller et al. (2000), dengan menguji variabel pemberdayaan psikologis sebagai variabel

moderator. Penelitian Fuller et al. (1999) dengan menggunakan sampel 230 perawat, meneliti mengenai pengaruh kerja perilaku yang kepemimpinan oleh

transformasional

terhadap

kepuasan

dimoderasi

pemberdayaan psikologis. Moderated Regression Analysis dilakukan untuk menguji pengaruh interaksi antara kepemimpinan transformasional dan pemberdayaan (empowerment) terhadap kepuasan kerja. Hasil penelitian menemukan bahwa pemberdayaan psikologis memoderasi hubungan antara tiga dari empat dimensi kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja. Meskipun belum cukup tersedia bukti-bukti empiris mengenai hubungan perilaku kepemimpinan terhadap OCB yang dimoderasi oleh pemberdayaan psikologis, dari hasil-hasil korelasi pada beberapa penelitian yang telah diuraikan di atas, menunjukkan bahwa pemberdayaan psikologis mampu memoderasi perilaku kepemimpinan terhadap berbagai outcomes. Sehingga hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah: Hipotesis 2: Pemberdayaan psikologis memoderasi pengaruh perilaku kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan

transformasional terhadap OCB.

I. Subsitutes For Leadership sebagai Variabel Pemoderasi Perilaku

Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior Howell, Dorfman, dan Kerr (1986; pada Bass 1985) telah

mengklasifikasikan beberapa variabel moderator dari kinerja kepemimpinan dan pengaruh-pengaruhnya sebagai: penetral (neutralizer), peningkat

(enhacers), pelengkap (supplement), dan subsitut kepemimpinan (substitutes for leadership). Namun dari beberapa penelitian mengenai variabel moderator kepemimpinan, yang paling banyak mendapat perhatian adalah substitut kepemimpinan. Semenjak satu setengah dekade yang lalu, model substitut

kepemimpinan dari Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff & MacKenzie, 1994) telah mendorong menculnya perhatian besar dari kalangan peneliti seperti dalam bidang perilaku organisasional, pendidikan, pemasaran, manajemen lintas budaya, dan manajemen pegawai profesional. Dalam hal ini, presentasi teori dari Kerr dan Jermier dianggap oleh banyak pihak sebagai teori klasik yang dibahas dalam hampir semua teks tentang perilaku dan kepemimpinan organisasional yang ada saat ini.. Seperti yang telah dicatat oleh beberapa penulis (Yukl, 1989; Podsakoff, MacKenzie, & Fetter, 1993; Podsakoff, Niehoff, MacKenzie, & Williams, 1993; Williams et al., 1988; pada Podsakoff& MacKenzie, 1994), model substitut kepemimpinan dari Kerr dan Jermier keuntungan potensial dibandingkan dengan memiliki sejumlah

pendekatan-pendekatan

situasional lainnya. Pertama, model ini mempresentasikan hal yang paling komprehensif dalam mengidentifikasikan faktor-faktor yang bisa memoderasi

pengaruh perilaku pemimpin pada sikap, perilaku, dan persepsi bawahan, sehingga secara potensial bisa sangat membantu dalam menjelaskan mengapa sejumlah perilaku pemimpin tertentu efektif dalam situasi tertentu, namun tidak efektif dalam situasi yang lainnya. Kedua, model substitut kepemimpinan juga lebih memfokuskan pada faktor-faktor organisasional yang mungkin berpengaruh pada efektifitas perilaku pemimpin. Terakhir, model ini memberikan sejumlah pandangan tentang situasi yang dihadapi dimana pemimpin mungkin ingin membentuk substitut kepemimpinan yang dalam lingkungan tersebut mampu meningkatkan efektifitas organisasi. Pada dasarnya, model substitut kepemimpinan mengasumsikan bahwa terdapat berbagai variabel situasional yang bisa mengganti (substitutes), menetralkan (neutralizers), atau meningkatkan (enhacers) pengaruh-

pengaruh dari perilaku pemimpin. Dengan demikian, substitut kepemimpinan tersebut bisa menghapuskan atau mengganti kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi hasil kerja dan sikap kerja para karyawan. Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) mendefinisikan substitut kepemimpinan sebagai sesuatu yang dapat bertindak atau dapat dipergunakan sebagai pengganti pemimpin, sehingga menjadikan kepemimpinan tidak mungkin dibentuk atau tidak diperlukan lagi. Dengan demikian, substitut kepemimpinan adalah sesuatu yang mengurangi kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi variabel-variabel kriteria

bawahan dan menggantikan pengaruh pemimpin. Sebagai tambahan, dalam konsep substitut kepemimpinan (substitutes for leadership) dan penetral (neutralizers) mengasumsikan bahwa segala sesuatu dalam lingkungan

seorang pemimpin juga berperan dalam meningkatkan hubungan antara

perilaku-perilaku tertentu dari pemimpin dengan variabel-variabel kriteria dari bawahan. Selanjutnya dalam prakteknya, istilah substitut kepemimpinan (substitutes for leadership) digunakan untuk mengacu kedua istilah substitut dan penetral. Secara lebih jelasnya, substitut kepemimpinan adalah variabel yang membuat pemimpin menjadi tidak diperlukan. Apabila pengganti pemimpin ada, maka pemimpin tersebut secara otomatis diperkirakan hanya akan sedikit atau tidak memberikan pengaruh sama sekali pada kepuasan dan hasil kerja para bawahan. Secara logis dan empiris, substitut kepemimpinan berpengaruh secara langsung pada hasil kerja bawahan, sementara pemimpin tidak berpengaruh. Substitut kepemimpinan berperan seperti penetral yang meniadakan pengaruh pemimpin atas hasil kerja bawahan atau dilihat sebagai penetral khusus yang mengurangi kemampuan pemimpin dalam mempengaruhi sikap, persepsi, dan hasil kerja bawahan, serta secara efektif menggantikan pengaruh perilaku pemimpin (Howel, Dorfman, & Kerr, 1986; pada Bass, 1985). Variabel-variabel yang diidentifikasikan sebagai substitut

kepemimpinan adalah: karakteristik bawahan (kemampuan, pengalaman, pelatihan, atau pengetahuan bawahan; orientasi profesional; keinginan untuk mandiri; dan sikap terhadap penghargaan organisasional), karakteristik tugas (tugas yang secara intrinsik memuaskan, tugas yang rutin dan metodologis; dan masukan atau umpan balik tugas), dan karakteristik organisasional (tingkat formalisasi organisasional; tingkat kohesivitas kelompok kerja; jumlah staf dan/atau dukungan atasan; penghargaan organisasional di luar kontrol pemimpin; dan jarak spesial antara pemimpin dengan bawahan).

Kerr dan Jermier (1978; pada Posakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) mengusulkan serangkaian variabel substitut kepemimpinan yang mereka yakini bisa secara umum memoderasi pengaruh perilaku pemimpin terhadap variabel-variabel kriteria bawahan. Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer (1996) mengadakan pengujian meta analisis guna memperkirakan secara lebih tepat hubungan bivariate antara perilaku pemimpin dan substitut kepemimpinan terhadap beberapa variabel kriteria karyawan yang terdiri dari: kepuasan, komitmen organisasi, role ambiguity, role conflict, kinerja in-role, dan OCB. Hasil temuan dengan menggunakan alat analisis LISREL menunjukkan bahwa gabungan antara variabel-variabel substitut

kepemimpinan dan perilaku pemimpin menjelaskan sebagian besar varian dalam sikap dan persepsi peran para karyawan serta sebagian besar varian dari hasil kerja di dalam dan di luar peran kerja; serta rata-rata substitut

kepemimpinan menjelaskan lebih banyak varian dalam variabel-variabel kriteria dibandingkan dengan perilaku pemimpin itu sendiri. Secara empiris model substitut kepemimpinan ini masih belum banyak diterapkan pada bentuk kepemimpinan transaskional maupun kepemimpinan transformasional, namun lebih banyak diterapkan pada tipe kepemimpinan yang lainnya. Sebagai contoh, dalam spesifikasi model mereka, Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) secara eksplisit menyatakan bahwa substitut kepemimpinan haruslah memoderasi pengaruh perilaku pemimpin yang supportif, yang selanjutnya oleh banyak peneliti dianggap sebagai bentuk kepemimpinan transformasional (Avolio & Bass, 1988; Bass, 1985; Bass, Avolio, & Goodheim, 1987; Bass, Waldman,

Avolio, & Bebb, 1987; Conger & Kanungo, 1987; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996). Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer (1996) dalam penelitiannya tentang pengaruh pemimpin transformasional terhadap kepuasan,

komitmen, kepercayaan, kinerja in-role dan OCB yang dimoderasi oleh substitut kepemimpinan telah membedakan kinerja karyawan menjadi kinerja in role dan kinerja extra role atau sering disebut dengan istilah OCB. Dalam penelitiannya, Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer (1996) menguji mengenai pengaruh perilaku kepemimpinan transformasional dalam konteks substitut kepemimpinan yang dikembangkan oleh Kerr dan Jermier. Data dikumpulkan dari 1539 karyawan berasal dari berbagai industri organisasi dan tingkatan level kerja yang berbeda. Hasil analisis data dengan menggunakan hierarchical moderated regression

menunjukkan bahwa hanya sedikit variabel-variabel dari substitut kepemimpinan yang memoderasi perilaku kepemimpinan transformasional terhadap perilaku karyawan, role perceptions, kinerja in-role, dan OCB. Selain itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa: (1) perilaku kepemimpinan transformasional dan substitut kepemimpinan masingmasing mempunyai pengaruh yang unik terhadap beberapa variabel kriteria dari karyawan, dan (2) dimensi-dimensi perilaku kepemimpinan transformasional secara signifikan berhubungan dengan dimensi-dimensi substitut kepemimpinan. Di samping daya tarik intuitif yang sangat luas, dukungan empiris atas model substitut kepemimpinan ini bisa dikatakan belum memadai. Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996)

berpendapat bahwa satu-satunya cara yang paling sesuai untuk menguji pandangan bahwa variabel-variabel substitut kepemimpinan akan

mengubah atau mengganti pengaruh perilaku pemimpin adalah dengan mempelajari apakah variabel-variabel substitut kepemimpinan tersebut memoderasi hubungan antara perilaku pemimpin dengan variabel-variabel kriteria bawahan. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mengajukan hipotesis kedua sebagai berikut:

Gambar

1.

Pengaruh

Perilaku

Kepemimpinan

Transaksional

dan

Kepemimpinan

Transformasional

Terhadap

Organizational

Citizenship Behavior Dengan Pemberdayaan Psikologis dan Substitut Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi

Perilaku Kepemimpinan Transaksional Pemberdayaan Organizational Citizenship Behavior Perilaku Kepemimpinan Transformasional Subsitut Kepemimpinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

Bab dua ini berisi telaah pustaka yang digunakan sebagai landasan pengembangan kerangka teoritis dan perumusan hipotesis. Pertama akan dijelaskan berbagai kerangka teoritis yang membahas mengenai variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian. Kedua, berdasarkan uraian pada bagian pertama, akan dikembangkan suatu rumusan hipotesis penelitian yang didasarkan pada kerangka teoritis dan penelitianpenelitian terdahulu.

B. Kepemimpinan Ketika seorang individu berusaha mempengaruhi perilaku lainnya dalam suatu kelompok tanpa menggunakan bentuk paksaan, usaha ini dapat dikatakan sebagai kepemimpinan. Lebih spesifik lagi, buku Handbook of Leadership (Stogdill, 1974; pada Bass, 1985) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu interaksi antar anggota suatu kelompok. Selanjutnya, Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (1995) mengatakan bahwa pemimpin merupakan agen perubahan, orang yang perilakunya akan lebih

mempengaruhi

orang

lain

daripada

perilaku

orang

lain

yang

mempengaruhi mereka. Definisi kepemimpinan menyiratkan bahwa, kepemimpinan

melibatkan penggunaan pengaruh, dan bahwa semua hubungan dapat melibatkan kepemimpinan. Elemen kedua dalam definisi ini melibatkan pentingnya menjadi agen bagi perubahan, mampu mempengaruhi perilaku dan kinerja bawahannya. Terakhir, definisi ini memusatkan pada pencapaian tujuan. Pemimpin yang efektif harus memusatkan pada tujuan-tujuan individu, kelompok, dan organisasi. Keefektifan pemimpin secara khusus diukur dengan pencapaian dari satu atau beberapa kombinasi tujuan-tujuan ini. Individu dapat memandang pemimpinnya efektif atau tidak, berdasarkan kepuasan yang mereka dapatkan dari pengalaman kerja keseluruhan. Pada kenyataannya, diterimanya arahan atau permintaan sang pemimpin sebagian besar tergantung pada harapan pengikutnya bahwa suatu respon yang tepat dapat mengarah pada hasil akhir yang menarik. Bagi Burns (1978; pada Yukl, 1994), kepemimpinan merupakan sebuah proses, bukan sejumlah tindakan yang mempunyai ciri-ciri sendiri. Burns (1978; pada Yukl, 1994) menjelaskan kepemimpinan sebagai sebuah arus antarhubungan yang berkembang dimana para pemimpin secara terus menerus membangkitkan tanggapan-tanggapan motivasional para pengikut dan memodifikasi perilaku mereka untuk mencapai tujuan bersama.

B. Kepemimpinan Transaksional Sependapat dengan Burns (1978; pada Yukl, 1994), Bass memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Dalam menggunakan gaya transaksi, pemimpin bersandar pada contingent reward leadership (imbalan) dan management by exception (hukuman). Contingent reward leadership atau kepemimpinan berdasarkan pemberian imbalan merupakan suatu bentuk pertukaran aktif dan positif antara pemimpin dan bawahan, bawahan diberi imbalan atau dihargai atas tercapainya tujuan yang telah disepakati. Imbalan diberikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kepemimpinan berdasarkan imbalan ini pada umumnya dianggap berhubungan positif dengan kinerja. Hasil-hasil penelitian secara konsisten menemukan bahwa kepemimpinan berdasar imbalan berhubungan positif terhadap kinerja bawahan dan kepuasan

kerja (Hunt & Schuler, 1976; Klimoski & Hayes, 1980; Podsakoff & Schriesheim, 1985; Podsakoff et al., 1982; Sims & Szilagyi, 1975; Sims, 1977; Reitz, 1971; pada Howell & Avolio, 1993). Hubungan positif ini didasarkan pada asumsi bahwa dengan menjelaskan apa yang dikehendaki pemimpin dan selanjutnya memberi imbalan bila dilakukan dengan benar, maka pimpinan telah mengarahkan bawahan ke kinerja yang dikehendakinya. Selain itu, dalam kepemimpinan berdasarkan imbalan, tercakup kejelasan mengenai jenis-jenis pekerjaan untuk memperoleh imbalan sehingga mampu membangkitkan motivasi individu untuk mencapai dan meningkatkan kinerja. Hasil-hasil meta analisis menemukan bahwa perilaku kepemimpinan berdasarkan imbalan

berhubungan positif dengan kinerja bawahan dan perilaku-perilaku pemimpin lainnya berhubungan signifikan dan negatif dengan kinerja, walau besarnya korelasi untuk non-contingent reward dan contingent punishment cukup kecil (Williams & Podsakoff, 1988; pada Williams, Podsakoff, & Huber, 1992). Selain ditemukannya pengaruh positif, kepemimpinan berdasarkan imbalan juga berpengaruh negatif terhadap beberapa outcomes.

Penelitian Howell dan Merenda (1999) dengan menggunakan responden para manajer dan karyawan bank berusaha meneliti hubungan antara Leader Member Exchange, kepemimpinan transformasional dan

transaksional, dan prediksi jarak terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian mereka menemukan bahwa kepemimpinan berdasarkan

imbalan berhubungan negatif dengan kinerja karyawan selama lebih dari satu periode. Penelitian lain yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Bass & Avolio, 1990; Bass & Yammarino, 1991; Howell & Merenda, 1999), menyatakan bahwa kepemimpinan berdasarkan imbalan sering tidak berfungsi dan berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan yang sering kali dihubungkan dengan kinerja extra-role (organizational citizenship behavior/OCB). Dimensi kedua kepemimpinan transaksional adalah management by exception yang merupakan transaksi aktif dan pasif antara pemimpin dan bawahan (Hater & Bass, 1988). Perbedaan antara management by exception aktif dan pasif didasarkan pada timing intervensi pemimpin. Dalam bentuk yang aktif, pemimpin terus memonitor kinerja bawahan guna mengantisipasi kesalahan. Pemimpin secara aktif dan terus menerus

mencari permasalahan dan penyimpangan serta menjelaskan standar kerja sejak permulaan. Pada umumnya pemimpin yang menggunakan management by exception aktif ini, bisa mendorong kinerja pengikutnya melalui kritik, menjelaskan standar kerja, atau memodifikasi kinerja yang buruk dengan cara-cara yang bisa diterima untuk menghindarkan konsekuensi yang merugikan. Sedangkan dalam bentuk yang pasif, pemimpin melakukan intervensi dengan kritik dan mengoreksi setelah terjadinya kesalahan. Pemimpin menunggu setelah tugas selesai dikerjakan dan menjelaskan standarnya setelah terjadi kesalahan. Pada kepemimpinan transaksional yang didasarkan pada management by exception pasif ini, pemimpin

selalu mengandalkan pada kritik dan teguran sebagai pernyataan ketidaksetujuannya (Bass & Yammarino, 1991). Penelitian Howell dan Avolio (1993) menemukan bahwa

management by exception secara aktif maupun pasif akan berdampak negatif pada kinerja. Teguran atau ketidaksetujuan, seperti yang dicontohkan pada managemeny by exception, pada umumnya memiliki dampak negatif pada kepuasan dan kinerja karyawan, terutama bila pemimpin menunggu hingga muncul masalah dan baru menetapkan standar. Penelitian Howell dan Avolio (1993) dan Howell dan Merenda (1999) menyimpulkan bahwa management by exception berhubungan negatif dengan kinerja unit bisnis dan kinerja karyawan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Bass dan Avolio (1990) menyimpulkan bahwa tipe kepemimpinan transaksional merupakan resep yang tidak sepenuhnya dijalankan. Hal ini terutama terjadi bila

pemimpin sangat mengandalkan pada management by exception secara pasif, melakukan intervensi hanya bila prosedur dan standar untuk menyelesaikan tugas tidak terpenuhi. Sudah jelas bahwa aspek-aspek tertentu dalam kepemimpinan transaksional seperti yang telah

dicontohkan di atas mungkin menjadi kontraproduktif terhadap tujuan pemimpin, pengikut dan organisasi dan akhirnya berdampak negatif pula terhadap kinerja karyawan khususnya oganizational citizenship behavior.

J. Kepemimpinan Transformasional Transformasi diartikan sebagai suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, seorang pemimpin yang reformis adalah seorang pemimpin yang mampu melakukan perubahan-perubahan di dalam organisasi yang dipimpinnya guna mendapatkan atau mencapai kinerja organisasi yang lebih baik. Seorang pemimpin yang reformis adalah juga seorang pemimpin transformasional. Kepemimpinan transformasional merupakan perluasan dari

kepemimpinan transaksional yang mencakup unsur yang lebih luas dari kepemimpinan transaksional (Waldman, Bass, & Einstein, 1985). Bass (1985; pada Yukl, 1994) mengusulkan sebuah teori kepemimpinan transformasional (transformational leadership) yang dibangun dari gagasan-gagasan Burns. Tingkat sejauh mana seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para bawahannya. Para bawahan seorang pemimpin transformasional merasakan adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin

dan termotivasi untuk melakukan lebih dari yang awalnya diharapkan terhadap mereka. Pemimpin transformasional berusaha mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan: (a) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, (b) meminta individu mementingkan kepentingan tim di atas kepentingan pribadi, dan (c) mengubah tingkat kebutuhan (Hirarki Maslow) bawahan atau memperluas kebutuhan bawahan. Pemimpin yang transformasional mendapatkan komitmen lebih besar dari bawahan dan mendorong mereka mendahulukan kepentingan organisasi di atas

kepentingan pribadi bukan saja dengan kharismanya tapi juga dengan berperan sebagai pelatih, guru atau mentor (Bass, 1985; Yukl, 1989; Keller, 1992). Pada kepemimpinan transformasional menerapkan lebih dari sekedar pertukaran dan selalu berusaha meningkatkan perhatian, memberi stimulasi intelektual dan memberi inspirasi pada bawahan untuk lebih mementingkan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi. Jenis kepemimpinan ini lebih dari sekedar transaksi konstruktif dan korektif. Formulasi asli teori kepemimpinan transformasional mencakup tiga komponen: idealized influence (karisma), stimulasi intelektual (intelectual stimulation), dan perhatian individual (individualized consideration) (Bass, 1985). Sebuah revisi baru dari teori kepemimpinan transformasional, menambahkan perilaku transformasional lain yang disebut motivasi inspirasi (inspirational motivation) (Bass & Avolio, 1990). Sehingga secara keseluruhan terdapat 4 (empat) dimensi dalam kepemimpinan transformasional, yaitu: 5. Karisma (idealized influence/charisma). Pemimpin yang karismatik akan mampu menumbuhkan antusiasme dan loyalitas di kalangan para anggota

organisasi, mendorong mereka untuk mengemukakan pendapat dan pandangan mereka secara bebas serta mampu mengarahkan perhatian mereka ke visi yang mengantisipasi situasi dan kondisi di masa datang. 6. Rangsangan intelektual (intelectual stimulation). Pemimpin yang memiliki intelektualitas mengajak para anggota organisasi untuk berpikir secara rasional serta menggunakan data dan fakta dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Para bawahan juga didorong untuk berpikir dengan cara

mereka sendiri, menghadapi tantangan, dan mempertimbangkan caracara yang kreatif untuk mengembangkan diri mereka sendiri. 7. Perhatian individual (individualized consideration). Pemimpin selalu memberikan perhatian pada persoalan yang dihadapi dan kebutuhan para anggota organisasi serta mau membantu memecahkan persoalan dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Para bawahan diperlakukan secara berbeda-beda tetapi adil dengan dasar perhatian satu per satu. Bukan saja kebutuhan mereka dikenali dan perspektif mereka

ditingkatkan, tetapi pemimpin juga menyediakan sarana untuk mencapai tujuan secara lebih efektif, dan pekerjaan yang menantang juga diberikan kepada bawahan. Dengan perhatian individual, tugas-tugas diberikan kepada bawahan untuk memberikan kesempatan belajar. 8. Motivasi inspirasi (inspirational motivation), sering tumpang tindih dengan pengertian karisma, tergantung pada seberapa besar bawahan berusaha mengidentifikasikan diri mereka dengan pemimpin. Menetapkan simbolsimbol dan menyederhanakan himbauan-himbauan emosional untuk meningkatkan kesadaran dan pengertian mengenai tujuan bersama.

Perilaku-perilaku dimensi dari kepemimpinan transformasional tersebut saling berhubungan untuk mempengaruhi perubahan-perubahan pada para pengikut. Besarnya inspirasi yang ditimbulkan oleh pemimpin

transformasional pada pengikutnya untuk menyelesaikan tujuan-tujuan yang lebih sulit, mendekati dan memecahkan masalah dengan cara-cara baru, dan meningkatkan kemampuan mereka, akan berhubungan langsung dengan prosentase sasaran yang akan dicapai oleh perusahaan. Dengan

menggunakan inspirasi, karismatik, perhatian individual atau rangsangan intelektual, para pemimpin transformasional membantu pengikut menjadi lebih percaya untuk mencapai sasaran-sasaran yang ada dan bekerja sesuai dengan arah yang akan mengarah ke pencapaian sasaran yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Para pemimpin transformasional juga cenderung memperhatikan bawahan secara individual, berbagi rasa dan memperlakukan masing-masing sebagai individu. Para manajer yang memberi rangsangan intelektual mengubah cara pandang bawahan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada dengan membantu mereka memandang permasalahan-

permasalahan lama dengan cara kreatif. Lebih lanjut Tichy dan Devana (1986; pada Yukl, 1994) berusaha mengidentifikasikan dan menganalisis proses-proses yang khas yang terjadi bila para pemimpin mengubah dan menghidupkan kembali organisasi, perilaku-perilaku yang memudahkan proses tersebut, serta karakteristikkarakteristik dari ciri-ciri dan ketrampilan-ketrampilan para pemimpin

transformasional. Proses tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari tahap-tahap: (1) dimulai dengan pengakuan akan kebutuhan perubahan, (2)

mengelola transisi perubahan, (3) menciptaan sebuah visi yang baru, dan (4) melembagakan perubahan-perubahan tersebut. Pada setiap tahap dari proses transformasional tersebut, keberhasilan pemimpin sebagian akan tergantung kepada sikap, nilai, dan ketrampilan pemimpin tersebut. Para pemimpin transformasional yang efektif mempunyai atribut-atribut sebagai berikut: (1) mereka melihat diri mereka sendiri sebagai agen-agen perubahan, (2) mereka adalah para pengambil resiko yang berhati-hati, (3) mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka, (4) mereka mampu mengartikulasikan

sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku mereka, (5) mereka fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dari pengalaman, (6) mereka mempunyai ketrampilan kognitif, dan yakin pada pemikiran yang berdisiplin dan kebutuhan akan analisis masalah yang hati-hati, dan (7) mereka adalah orang-orang yang mempunyai visi dan mempercayai intuisi mereka. Karena besarnya dampak kepemimpinan transformasional pada keinginan bawahan untuk berkinerja dengan baik, bila dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, kepemimpinan transformasional akan lebih berhubungan dengan rating kinerja. Faktor-faktor transaksional dan

transformasional akan berhubungan dengan cara yang berlainan dengan berbagai aspek kepuasan bawahan dengan sistem pengukuran kinerja organisasi. Beberapa bukti penelitian yang telah terakumulasi menyimpulkan, bahwa jenis kepemimpinan transformasional mempengaruhi kinerja karyawan dalam banyak cara yang secara kuantitatif dan kualitatif berbeda dengan jenis kepemimpinan lainnya contohnya kepemimpinan transaksional. Bass (1985;

pada Waldman, Bass & Einstein, 1987) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional akan memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan kepemimpinan transaksional pada kinerja bawahan. Dengan memperjelas sasaran kerja dan imbalan-imbalan yang terkait pada para bawahan, para pemimpin transaksional meningkatkan usaha dan kinerja untuk mencapai sasaran. Di sisi lain, karena membangun inspirasi dan kepercayaan diri yang berhubungan dengan kepemimpinan transformasional, bisa diduga adanya usaha dan kinerja yang melebihi apa yang telah ditetapkan atasan. Hal ini akan tercermin pada evaluasi kinerja yang lebih tinggi yang diberikan kepada bawahan yang menganggap para pemimpin mereka transformasional. Di samping itu Bass (1985; pada Koh, Steers, & Terborg, 1995) juga berpendapat bahwa pemimpin transformasional dapat menggunakan tiga komponennya (charisma, individualized consideration, dan intellectual stimulation) untuk mengubah motivasi karyawan dan meningkatkan kinerja unit lebih dari yang telah diharapkan. Bukti-bukti empiris juga menyimpulkan bahwa kepemimpinan

transformasional dan komponen-komponennya berhubungan positif dengan kinerja pada area penelitian yang berbeda-beda yaitu pada: studi lapangan (Curphy, 1992; Hater & Bass, 1988; pada Howell & Merenda, 1999; Howell & Avolio, 1993; Keller, 1992), penelitian historis (House, Spangler, & Woycke, 1991; pada Howell & Merenda, 1999), penelitian laboratorium (Howell & Frost, 1989; Kirkpatrick & Lacke, 1996; pada Howell & Merenda, 1999), dan penelitian meta analisis ( Lowe, Kroeck, & Sivasubramaniam, 1996; pada Howell & Merenda, 1999).

Lebih dari

35

penelitian

mengenai

pengaruh kepemimpinan

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dan kinerja karyawan (Kirkpatrick & Locke, 1996). Sedangkan Shamir, House, dan Arthur (1993) berpendapat bahwa lebih dari 20 penelitian menemukan adanya hubungan positif pemimpin kharismatik atau kepemimpinan transformasional terhadap kinerja, sikap, dan persepsi karyawan. Hasil meta analisis mengenai penelitian kepemimpinan

transaksional dan transformasional menemukan bahwa baik pemimpin transaksional maupun pemimpin transformasional berhubungan positif dengan kinerja karyawan, meskipun pemimpin transformasional mempunyai hubungan positif yang lebih kuat dibanding pemimpin transaksional terjadap kinerja karyawan. Penelitian Sosik, Avolio, dan Kahai (1997) yang mengevaluasi mengenai pengaruh gaya kepemimpinan (transaksional dan transformasional) dan anonymity level terhadap potensi dan keefektifan kelompok, menemukan bahwa pengaruh gaya kepemimpinan (transaksional dan transformasional) terhadap potensi dan keefektifan kelompok adalah positif. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Howell dan Avolio (1993), bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dan kinerja

perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk kinerja unit bisnis terkonsolidasi. Begitu juga, penelitian Keller (1992) menyatakan bahwa pemimpin yang

efektif dalam kelompok proyek R & D cenderung memberikan inspirasi dan menekankan pentingnya pelaksanaan tugas, merangsang cara-cara berpikir baru dan pemecahan masalah dan mendorong anggota kelompok bekerja

lebih banyak dibanding yang ditentukan sehingga dapat meningkatkan kualitas proyek. Sedangkan beberapa penelitian lainnya walaupun tidak secara langsung mengkaitkan hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja karyawan, namun berusaha mengkaitkannya dengan: kinerja unit bisnis (Howell & Avolio, 1993); keefektifan kepemimpinan, upaya ekstra bawahan, dan kepuasan kerja (Bass & Seltzer, 1990); dan komitmen organisasi (Bycio, Hackett, & Allen, 1995; Koh, Steers, & Terborg, 1995). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa para manajer yang berperilaku seperti pemimpin transformasional lebih berkecenderungan dipandang oleh para teman kerja dan karyawannya sebagai pemimpin yang memuaskan dan efektif dibanding mereka yang berperilaku seperti pemimpin transaksional, sesuai dengan respon dari para teman kerja, supervisor, dan karyawan pada Multifactor Leadership Questionaire (MLQ). Hasil yang sama ditemukan diberbagai setting organisasi. Para pemimpin yang diteliti berasal dari berbagai bagian organisasi: chief executive officers, senior manajer, dan manajer level menengah di perusahaan-perusahaan bisnis dan industri di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan India; pemimpin-pemimpin proyek riset dan

pengembangan; para pejabat militer angkatan darat di Amerika, Kanada, dan Inggris; pejabat senior angkatan laut di Amerika Serikat; taruna angkatan laut di Annapolis; penyelenggara pendidikan; dan para pemimpin agama.

K. Pemberdayaan Psikologis (Psychological Empowerment) Pemberdayaan (empowerment) menjadi isu manajemen dan bisnis yang telah menjadi bahasa sehari-hari di kalangan praktisi manajemen dan sumber daya manusia. Bagi perusahaan integral berskala dalam global, kegiatan

pemberdayaan

bahkan

menjadi

bagian

manajerialnya. Perusahaan menerapkan pemberdayaan sebagai bagian dari upaya pengembangan keunggulan kompetitif di tengah persaingan global. Dalam penerapannya, pemberdayaan memerlukan pendekatan baik dari pihak manajemen/pimpinan untuk rela memberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang kepada karyawan disertai kepercayaan maupun dari pihak karyawan untuk terus mengembangkan potensi diri guna menjalankan tugas/tanggungjawab yang dipercayakan. Pilihan manajemen untuk menerapkan pemberdayaan amat tepat sebab situasi dan perubahan pasar menuntut inovasi, kemampuan, dan kecepatan perubahan untuk beradaptasi. Pemberdayaan didefinisikan sebagai keyakinan pengikut akan kemampuan mereka sendiri, atau kemampuan organisasi atau unit tempat mereka bekerja, untuk mengatasi hambatan dan mengontrol peristiwa (Behling & McFillen, 1996). Pemberdayaan melebihi delegasi wewenang. Karyawan

diperlakukan sebagai mitra kerja sehingga ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab atas aset perusahaan. Dengan pemberdayaan, karyawan diberi kemampuan dan kesempatan untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan mengendalikan implementasi dari rencana pekerjaan yang menjadi tanggung jawab karyawan atau tanggung jawab kelompok (Nangoi, 2001). Pemberdayaan harus disertai dengan

pemberian kekuasaan (power) dan tanggung jawab yang lebih besar kepada karyawan dan berimplikasi positif bagi peningkatan

kompetensi/kapasitas mereka. Dengan pemberdayaan, tenaga kerja diharapkan dapat melakukan pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan atasan/pimpinan secara baik. Pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan atasan/pimpinan jelas perlu diimbangi dengan tingkat kemampuan dan pengetahuan karyawan akan tugas yang harus dijalankannya. Dalam pemberdayaan, karyawan harus dipastikan: (1) memiliki pengetahuan (knowledge) yang memadai dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka, (2) memahami visi yang akan dituju organisasi, (3) memiliki komitmen terhadap visi organisasi, dan (4) memanfaatkan smart technologies untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam pembuatan produk dan penyediaan jasa bagi konsumen. Para peneliti dan praktisi organisasi telah mengidentifikasikan

pemberdayaan psikologis (psychological empowerment) sebagai konstruk yang perlu memperoleh perhatian kritis. Meluasnya minat terhadap masalah pemberdayaan psikologis muncul pada saat persaingan global dan berbagai perubahan yang terjadi sehingga mengharuskan anggota organisasi untuk lebih memiliki inisiatif dan inovatif (Drucker, 1988; pada Spreitzer, 1995). Thomas & Velthouse (1990) telah mengusulkan pandangan-

pandangan alternatif tentang pemberdayaan yang dibedakan antara atribut situasional (contohnya: praktek-praktek manajemen) dengan kognisi

pekerjaan dari atribut-atribut tersebut (contohnya: pemberdayaan psikologis). Conger dan Kanungo (1988; pada Spreitzer, 1995) menyatakan bahwa

praktek-praktek manajemen hanyalah merupakan satu rangkaian kondisi dan praktek tersebut tidak selalu berhasil untuk memperkuat keinginan para pegawai tanpa dilengkapi dengan pemberdayaan psikologis dari karyawan tersebut. Conger dan Kanungo (1988; pada Spreitzer, 1995) mendefiniskan pemberdayaan pemenuhan diri, psikologis sebagai konsep motivasional tentang

yang secara lebih spesifik dapat dinyatakan sebagai yang

meningkatnya motivasi tugas intrinsik (intrinsic task motivation)

terwujud dalam serangkaian kognisi yang mencerminkan orientasi individu pada peran kerjanya yang terwujud dalam empat dimensi: arti (meaning), kompetensi (comptence), pemenuhan diri (self-determination), dan

pengaruh (impact). Motivasi tugas intrinsik (intrinsic task motivation) dapat diartikan sebagai apa yang dirasakan oleh individu yang secara langsung dirasakan dari tugas atau kerjanya. Penjelasan dari masing-masing dimensi tersebut adalah sebagai berikut: 5. Arti (meaning), adalah nilai dari suatu tujuan kerja yang dinilai dalam kaitannya dengan tujuan atau standar individu yang bersangkutan (Thomas & Velthouse, 1990). Arti mencakup suatu kesesuaian antara persyaratan dari suatu peran kerja dan keyakinan, nilai, dan perilaku (Brief & Nord, 1990; Hackman & Oldham, 1980; pada Spreitzer, 1995). 6. Kompetensi (competence), mempunyai arti yang sama dengan selfefficacy, yaitu keyakinan individu atas kemampuannya dalam

melaksanakan kegiatan-kegiatan dengan keahlian yang dimilikinya (Gist, 1987; pada Spreitzer, 1995). Kompetensi merupakan keyakinan,

penguasan pribadi, atau pengharapan yang berkaitan dengan usaha dan

hasil kerja (Bandura, 1989; pada Spreitzer, 1995). Kompetensi lebih memfokuskan pada kemampuan dalam melaksanakan peran kerja tertentu, bukan peran kerja secara luas yang sering kali diistilahkan dengan self-esteem. 7. Penentuan diri (self-determination), adalah perasaan individu yang berkaitan dengan pilihan dalam mengawali dan mengatur tindakan (Deci, Connell, & Ryan, 1989; pada Spreitzer, 1995). Penentuan diri

merefleksikan otonomi dalam mengawali dan melaksanakan perilaku dan proses kerja, misalnya mengenai pembuatan keputusan tentang metode kerja, kecepatan, dan usaha yang dilaksanakan (Bell & Staw, 1989; Spector, 1986; pada Spreitzer, 1995). 8. Pengaruh (impact), adalah tingkat dimana individu dapat mempengaruhi hasil-hasil strategik, administratif, dan operasional dari hasil kerja (Ashforth, 1989; pada Spreitzer, 1995). Lebih jauh lagi, pengaruh berbeda dari locus of control, dimana pengaruh dipengaruhi oleh lingkup kerja, sedangkan internal locus of control merupakan karakteristik kepribadian global yang berlaku dalam semua situasi (Wolfe & Robertshaw, 1982; pada Spreitzer, 1995). Secara bersama-sama, keempat dimensi tersebut merefleksikan orientasi terhadap suatu peran kerja secara aktif. Orientasi aktif yang dimaksudkan di sini adalah orientasi dimana individu berkeinginan dan merasa mampu melaksanakan peran dalam konteks kerjanya. Keempat dimensi di atas tergabung membentuk keseluruhan konstruk

pemberdayaan psikologis, atau dengan kata lain, apabila salah satu dimensi tidak ada, maka tingkat pemberdayaan yang diperoleh juga tidak

maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan psikologis meliputi variabel individual (locus of control) dan variabel struktural sosial (desain kerja, iklim kerja, dan sistem reward) (Spreitzer, 1995). Sejumlah asumsi umum tentang definisi pemberdayaan perlu dijelaskan lebih jauh. Pertama, pemberdayaan bukanlah karakteristik kepribadian yang tahan lama dan bisa digeneralisasikan dalam semua situasi, namun lebih merupakan serangkaian kognisi yang terbentuk oleh lingkungan kerja (Thomas & Velthouse, 1990). Dengan demikian, pemberdayaan mencerminkan persepsi individu tentang dirinya dalam kaitannya dengan lingkungan kerja (Bandura, 1989; pada Thomas & Velthouse, 1990). Kedua, pemberdayaan merupakan variabel yang kontinyu, individu bisa dilihat sebagai individu yang memperoleh pemberdayaan besar atau kecil, bukan individu yang memperoleh pemberdayaan pemberdayaan dan bukan tidak memperoleh pemberdayaan. global yang Ketiga, bisa

merupakan

konstruk

digeneralisasikan dalam berbagai peran dan situasi kehidupan, namun hanya terbatas pada bidang kerja. Studi mengenai pemberdayaan psikologis didasarkan pada lingkungan kerja, bukan didasarkan pada penilaian global.

L. Substitut Kepemimpinan (Substitutes for Leadership) Kerr dan Jermier (1978; pada Yukl 1994) telah mengembangkan sebuah model untuk mengidentifikaskan aspek-aspek situasi yang mengurangi pentingnya kepemimpinan bagi para manajer dan para pemimpin formal lainnya. Teori tersebut membuat perbedaan antara dua

jenis variabel situasional: substitute (substitusi/pengganti) dan neutralizer (penetral). Substitute membuat perilaku pemimpin itu tidak perlu dan berkelebihan. Substitute mencakup setiap karakteristik dari bawahan,

tugas, dan organisasi yang memastikan agar para bawahan dengan jelas memahami peran mereka, pengetahuan mengenai cara melakukan tugasnya, sangat termotivasi, dan puas dengan pekerjaan mereka. Sedangkan neutralizer adalah setiap karakteristik dari tugas atau organisasi yang menghalangi seorang pemimpin untuk bertindak dalam suatu cara spesifik atau yang menghapus efek-efek tindakan-tindakan pemimpin tersebut. Misalnya, kurangnya kekuasan seorang pemimpin untuk memberi imbalan bagi kinerja yang efektif, merupakan suatu hambatan situasional yang bertindak sebagai suatu neutralizer,

sedangkan kurangnya minat terhadap suatu insentif yang ditawarkan pemimpin tersebut merupakan sebuah kondisi yang membuat perilaku tersebut menjadi tidak ada artinya. Seperti dikatakan oleh Howell, Bowen, Dorfman, Kerr, dan Podsakoff (1990; pada Yukl, 1994),..substitut kepemimpinan

berfokus kepada apakah para bawahan menerima bimbingan mengenai tugas serta insentif untuk berbuat tanpa menganggap selalu benar bahwa pemimpin formal tersebut adalah pemasok yang utama. Sebenarnya, substitute adalah aspek-aspek situasi yang

menyebabkan variabel-variabel intervensi berada pada tingkat optimal, sedangkan neutralizer merupakan hambatan-hambatan yang mencegah atau mengecilkan hati pemimpin tersebut untuk melakukan hal-hal untuk

memperbaiki kekurangan-kekurangan yang sekarang terdapat pada variabel-variabel intervensi. Dalam praktiknya substitute dan neutralizer sangat sulit untuk dibedakan, dan istilah substitutes for leadership (substitusi kepemimpinan) seringkali digunakan sebagai istilah umum bagi keduanya. Pada substitut kepemimpinan tercakup 3 (tiga) karakteristik utama dan 12 (duabelas) dimensi. Penjelasan dari masing-masing karakteristik dan dimensi dapat diuraikan sebagai berikut: 2. Karakteristik Bawahan (characteristics of subordinates), terdiri dari 4 dimensi: e. Kemampuan, pengalaman, pelatihan, dan pengetahuan (ability,

experience, training, and knowledge) Bila para bawahan mempunyai kemampuan, pengalaman, pelatihan, dan pengetahuan sebelumnya yang ekstensif, maka sedikit saja pengarahan yang dibutuhkan karena mereka sudah mempunyai ketrampilan dan pengetahuan untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Mereka mempunyai kompetensi untuk bekerja secara independen atau tidak tergantung pada atasan mereka dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Mereka tidak tergantung pada atasan dalam hal memperoleh data, informasi, maupun nasehat. f. Orientasi profesional (professional orientation) Para profesional yang secara internal termotivasi oleh nila-nilai,

kebutuhan-kebutuhan, dan etika, mereka tidak perlu dorongan dari pemimpin tersebut untuk melakukan pekerjaan yang berkualitas tinggi.

Para profesional mempunyai perhatian lebih pada proses kerja yang sesuai dengan disiplin ilmunya dan bukan pada evaluasi kerja nantinya. g. Tidak tergantung terhadap imbalan yang ditawarkan organisasi

(indifference toward organizational rewards). Pada tingkat tertentu penghargaan akan memotivasi individu, tergantung pada apakah: 4. Kompensasi yang ditawarkan perusahaan berarti atau penting bagi individu. 5. Kenaikan kompensasi tergantung pada kinerja. 6. Bawahan yakin bahwa usaha yang lebih akan menghasilkan imbalan yang lebih tinggi. Namun kadangkala bawahan bersikap acuh terhadap imbalan yang ditawarkan organisasi. Misalnya, bawahan yang menginginkan lebih banyak waktu untuk berada dengan keluarganya tidak akan termotivasi oleh tawaran uang yang lebih banyak agar mau bekerja lebih banyak beberapa jam. h. Keinginan karyawan untuk mandiri (subordinate need for independence) Para bawahan menginginkan otonomi lebih di tempat kerjanya. Mereka menginginkan kontrol lebih pada bagaimana pekerjaan harus dilakukan melalui beberapa program yang fleksibel.

2. Karakteristik tugas (characteristics of tasks), teridir dari 3 dimensi: g. Kejelasan, kerutinan, dan metodologi dari riset (unambiguous, routine, methodologically invariant tasks).

Substitut lain bagi kepemimpinan instrumental adalah sebuah tugas sederhana dan yang diulang-ulang. Para bawahan dapat dengan cepat belajar ketrampilan yang sesuai bagi jenis pekerjaan tanpa pelatihan dan instruksi yang ekstensif dari pemimpin. h. Adanya umpan balik dari tugas (task provided feedback concerning accomplishment). Bilamana tugas atau pekerjaan memberi umpan balik (feedback) secara otomatis tentang bagaimana baiknya pekerjaan dilaksanakan, maka pemimpin tidak perlu lagi memberikan umpan balik. Misalnya, sebuah studi telah menemukan bahwa para pekerja dalam sebuah perusahaan yang mempunyai networked computer system dan computer integrated manufacturing tidak membutuhkan banyak supervisi karena mereka mampu untuk memperoleh arus balik mengenai produktivitas serta kualitas secara langsung dari sistem informasi tersebut, dan mereka dapat memperoleh bantuan dalam memecahkan masalah-masalah dengan memintanya kepada orang lain dalam jaringan kerja tersebut (Lawler, 1988; pada Yukl, 1994). i. Tugas yang secara intrinsik memuaskan (intrinsically satisfying tasks). Jika pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan menarik dan menyenangkan, maka para bawahan dapat cukup termotivasi oleh pekerjaan itu sendiri tanpa bantuan apa pun dari pemimpin dalam mendorong dan memberi mereka inspirasi. Sebagai tambahan, sebuah pekerjaan yang sangat menarik dan menyenangkan dapat digunakan sebagai sebuah substitut bagi kepemimpinan yang mendukung dalam kaitannya dengan

memastikan suatu tingkat kepuasan kerja yang tinggi.

3. Karakteristik organisasi (characteristics of organization) terdiri dari 6 dimensi: d. Tingkat formalitas dari organisasi (organizational formalization) Dalam organisasi-organisasi yang mempunyai peraturan, pengaturan, dan kebijakan-kebijakan tertulis, sedikit saja pengarahan yang dibutuhkan segera setelah peraturan-peraturan serta kebijakan-kebijakan tersebut dipahami oleh para bawahan. e. Tingkat kekakuan dari organisasi (organizational inflexibility) Peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan dapat membantu sebagai suatu neutralizer maupun sebagai suatu substitute bila peraturan atau kebijakan tersebut tidak fleksibel (kaku) sehingga menghalangi seorang pemimpin untuk membuat perubahan-perubahan dalam penugasan pekerjaan atau dalam prosedur-prosedur untuk memudahkan usaha-usaha para bawahan. f. Dukungan dari penasehat dan staf (advisory and staff support) Dukungan dan kerjasama dari penasehat maupun staf di luar departemen atau unit kerja merupakan substitut bagi kepemimpinan. Para bawahan cukup melakukan kerjasama dengan staf lain untuk mendapatkan informasi, data, dan laporan guna melengkapi pekerjaan tanpa bantuan pemimpin. j. Tingkat kohesivitas dari kelompok kerja (closely-knit, cohesive,

interdependent work groups)

Substitut lain bagi kepemimpinan yang mendukung adalah sebuah kelompok yang sangat kohesif (cohesive) atau solider, yang di dalamnya para bawahan memperoleh dukungan psikologis satu sama lainnya bilamana diperlukan. Solidaritas kelompok (group cohesiveness) dapat mensubstitusi usaha-usaha kepemimpinan untuk memotivasi para

bawahan bila tekanan-tekanan sosial terjadi bagi masing-masing anggota, untuk membuat kontribusi yang signifikan kepada tugas kelompok. Sebaliknya, solidaritas dapat digunakan sebagai suatu neutralizer bila hubungan dengan manajemen itu jelek, dan tekanan sosial dilakukan untuk membatasi produksi. k. Penghargaan organisasi yang berada di luar kontrol pemimpin

(organizational rewards not within the leadersubstitutes for leadership control) Sebuah sistem imbalan otomatis seperti komisi atau bagi hasil dapat mensubstitusi penggunaan imbalan dan hukuman oleh seorang pemimpin untuk memotivasi para bawahan. Position power yang terbatas atau serikat kerja yang kuat cenderung akan mentralisir penggunaan imbalan dan hukuman oleh seorang pemimpin untuk memotivasi para bawahan. l. Jarak atau ruang antara pemimpin dan karyawan (spatial distance between superior and subordinate). Perilaku pemimpin yang mendukung dan yang instrumental dinetralisir bila para bawahan secara geografis terpencar dan tidak sering mempunyai kontak dengan pemimpin mereka.

M. Organizational Citizenship Behavior Meskipun Katz (1964, pada Williams & Anderson, 1991) telah membedakan antara perilaku in-role dan extra-role lebih dari 25 tahun yang lalu, hal ini belum membuktikan bahwa pengukuran perilaku extrarole yang dilaksanakan oleh supervisor benar-benar berbeda dari pengukuran perilaku in-role. Perbedaan yang mendasar antara perilaku in-role dengan perilaku extra-role adalah pada reward. Pada in-role biasanya dihubungkan dengan reward dan sanksi (hukuman), sedangkan pada extra-role biasanya terbebas dari reward dan perilaku yang dilakukan oleh individu tidak diorganisir dalam reward yang akan mereka terima (Morrison, 1994). Tidak ada insentif tambahan yang diberikan ketika individu berperilaku extra-role. Organizational citizenship behavior (OCB) dilihat secara luas sebagai faktor yang memberikan sumbangan pada hasil kerja organisasi secara keseluruhan. Pemimpin memainkan peran penting dalam

mendorong pencapaian OCB dengan cara meningkatkan sikap positif karyawan (misalnya: melalui kepuasan kerja, keadilan, dan komitmen organisasi). Organizational citizenship behavior oleh peneliti OCB didefinisikan terpisah dari kinerja in-role (bekerja sesuai dengan tugas dan deskripsi kerja), dan menekankan OCB sebagai kinerja extra- role (Bateman & Organ, 1983; Smith et al., 1983; pada Van Dyne, Graham, & Dienesch, 1994). Organizational citizenship behavior seringkali

didefinisikan sebagai perilaku individu yang mempunyai kebebasan untuk memilih, yang secara tidak langsung atau secara eksplisit diakui oleh sistem reward, dan memberi kontribusi pada keefektifan dan keefisienan

fungsi organisasi (Organ, 1988; pada Williams & Anderson, 1991). Sedangkan Organ (1988; pada Williams & Anderson, 1991)

mendefinisikan OCB sebagai perilaku dan sikap yang menguntungkan organisasi yang tidak bisa ditumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal maupun dengan bentuk kontrak atau rekompensasi. Contohnya meliputi bantuan pada teman kerja untuk meringankan beban kerja mereka, tidak banyak beristirahat, melaksanakan tugas yang tidak diminta, dan membantu orang lain untuk menyelesaikan masalah. Peran penting OCB adalah mampu memperbaiki dan meningkatkan keefektifan dan keefisienan organisasi melalui transformasi sumberdaya, proses inovasi, dan proses adaptasi. Beberapa bentuk dari OCB adalah:
6. Mengutamakan kepentingan orang lain, misalnya dengan membantu

rekan kerja dalam suatu proyek


7. Bekerja dengan teliti, termasuk di dalamnya menggunakan waktu kerja

yang ada tanpa membuang waktu


8. Civic virtue, misalnya: selalu mencari informasi baru. 9. Sportif, termasuk bekerja tanpa mengeluh 10. Berusaha menghindari masalah dengan melakukan pengecekan terlebih

dahulu, tidak mudah dipengaruhi saat diprovokasi Secara konseptual OCB dapat dibedakan menjadi dua kategori: OCBO dan OCBI. OCBO adalah perilaku-perilaku yang bermanfaat bagi organisasi pada umumnya (misal: kehadiran di tempat kerja melebihi norma yang berlaku dan mentaati peraturan-peraturan informal yang ditetapkan untuk memelihara ketertiban). Sedangkan OCBI adalah perilaku-perilaku yang secara langsung bermanfaat bagi individu itu

sendiri dan tidak secara langsung juga bermanfaat bagi organisasi (misal: membantu orang lain yang tidak masuk kerja dan bersedia membantu karyawan baru). N. Perilaku Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan

Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior Berbagai studi telah menguji bagaimana perilaku kepemimpinan seperti yang dilukiskan oleh para bawahan pada MLQ berhubungan dengan berbagai kriteria tentang efektifitas kepemimpinan seperti penilaian kinerja oleh para atasan dan tingkat komitmen terhadap pekerja seperti yang dilaporkan oleh para bawahan (Avolio & Howell, 1992; Bass, Avolio, & Goodheim, 1987; Waldman, Bass, & Einstein, 1987; Waldman, Bass, & Yammarino, 1990; Yammarino & Bass, 1990; pada Yukl, 1994; Hater & Bass, 1998; Seltzer & Bass, 1990). Dalam studi-studi tersebut, perilaku-perilaku dari kepemimpinan transformasional biasanya

berkorelasi lebih kuat dengan beberapa variabel kriteria daripada perilakuperilaku kepemimpinan transaksional, tetapi beberapa perilaku

kepemimpinan transaksional (misal: contingent reward dan management by exception active) adalah juga relevan bagi efektifitas dari pemimpin. Hasil-hasil dari penelitian tersebut mendukung konklusi bahwa para pemimpin yang efektif menggunakan dan sebuah campuran perilaku

kepemimpinan transaksional. Selain itu,

transformasional

perilaku

kepemimpinan

beberapa

penelitian

empiris

dan

meta

analisis

menyimpulkan bahwa kepemimpinan transaksional dan transformasional

mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap OCB. Walaupun beberapa penelitian secara konsisten menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepemimpinan transaksional dan kinerja karyawan, Hater dan

Bass (1988) menyatakan bahwa kepemimpinan transaksional (contingent reward dan management by exception) sebenarnya mempunyai hubungan positif dengan kepuasan oleh kerja dan keefektifan penilaian yang

dipersepsikan

bawahan.

Dengan

menggunakan

hierarchical

regression analysis, hasil penelitian menemukan bahwa kepemimpinan transformasional memberikan tambahan pengaruh melebihi

kepemimpinan transaksional yang dinyatakan dengan peningkatan F ratio dari 87,88 menjadi 141,62. Hal ini didukung oleh penelitian Koh, Steers, dan Terborg (1995) yang menguji pengaruh langsung perilaku pemimpin transformasional dan kepemimpinan transaksional yang dihubungkan dengan komitmen

organisasi, OCB, kepuasan terhadap pemimpin, dan kinerja objektif (produktivitas, turnover, dan absensi). Hasil analisis dengan menggunakan hierarchical regression analysis yang terdiri dari 864 pengajar di Singapura, menemukan bahwa kepemimpinan transformasional secara signifikan menambah pengaruh kepemimpinan transaksional dalam memprediksi komitmen organisasi, OCB, kepuasan, dan kinerja obyektif para pengajar. Sebenarnya salah satu teori kepemimpinan yang paling sesuai untuk memahami OCB adalah teori kepemimpinan transformasional (Bass, 1997; pada Sekiguchi, 2000). Bryman (1992; pada Fuller et al., 1999) berpendapat bahwa perilaku pemimpin transformasional

berhubungan positif dengan sejumlah outcomes organisasi termasuk extra effort, OCBs, dan kepuasan kerja. Podsakoff, Mac Kenzie, Moorman, dan Fetter (1990; pada Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer, 1996) berpendapat bahwa meskipun pengaruh pemimpin transformasional terhadap kinerja in-role adalah penting namun tidak sepenting

pengaruhnya pada kinerja extra-role (OCBs). Pada OCB, pemimpin transformasional memotivasi bawahan untuk bekerja melebihi tugas formalnya sehingga memberikan kontribusi pada keefektifan organisasi. Di bawah kepemimpinan transformasional, karyawan merasa percaya dan respect kepada pemimpin dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan oleh pemimpin mereka. Hipotesis 1: Perilaku kepemimpinan transformasional secara signifikan menjelaskan variansi OCB melebihi yang dapat dijelaskan oleh perilaku kepemimpinan transaksional.
O. Pemberdayaan Psikologis sebagai Variabel Pemoderasi Perilaku

Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior Salah satu variabel yang secara signifikan mampu meningkatkan pengaruh positif perilaku terhadap kepemimpinan berbagai khususnya kepemimpinan adalah

transformasional

outcomes

organisasi

pemberdayaan psikologis (Spreitzer, 1995; Thomas & Velthouse, 1990; pada Fuller et al., 1999). Pemberdayaan psikologis sebagai salah satu variabel situasional diyakini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap berbagai outcomes

diantaranya adalah terhadap kepuasan kerja. Penelitian Liden, Wayne, dan Sparrowe (2000) menggunakan variabel pemberdayaan psikologis sebagai variabel mediating yang memediasi hubungan antara karakteristik kerja, Leader Member Exchange (LMX), Team Member Exchange (TMX), dan outcomes (kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan kinerja karyawan). Hasil penelitian menemukan bahwa dimensi arti (meaning) dan kompetensi (competence) dari dimensi-dimensi pemberdayaan psikologis memediasi hubungan antara karakteritik kerja dan kepuasan kerja, sedangkan dimensi arti (meaning) itu sendiri juga memediasi hubungan antara karakteristik kerja dan komitmen organisasi. Sebaliknya, pemberdayaan psikologis tidak memediasi hubungan antara LMX, TMX, dan variabel outcomes. LMX dan TMX berhubungan langsung dengan komitmen organisasional, sedangkan TMX berhubungan langsung dengan kinerja tanpa dimediasi oleh

pemberdayaan psikologis. Pemberdayaan psikologis berhubungan signifikan dengan kepemimpinan. Pendapat ini dibuktikan oleh penelitian Spreitzer, DeJanasz, dan Quinn (1999) yang menguji hubungan antara pemberdayaan psikologis dan kepemimpinan (lebih berfokus pada kepemimpinan yang berorientasikan pada perubahan). Alat analisis LISREL digunakan untuk menguji hipotesishipotesis yang menyatakan bahwa pemberdayaan berhubungan positif

terhadap perilaku inovatif, berpengaruh, dan memberikan inspirasi pada bawahan serta berhubungan negatif dengan status quo. Pengujian dilakukan pada supervisor level menengah dari beberapa organisasi yang tergabung dalam Fortune 500. Hasil penelitian menemukan bahwa supervisor yang

mempunyai pemberdayaan psikologis yang tinggi adalah supervisor yang innovatif, berpengaruh, dan penuh dengan inspirasi. Tipe kepemimpinan lain yang berkorelasi kuat dengan OCB ditemukan pada tipe kepemimpinan transformasional. Penelitian Graham (1988; pada Koh, Steers, & Terborg, 1995) menemukan bukti adanya hubungan konseptual antara kepemimpinan trasformasional dan OCB melalui proses pemberdayaan kepemimpinan bawahan. Selanjutnya mampu Graham menjelaskan bahwa

transformasional

memfasilitasi

pemberdayaan

bawahan melalui beberapa dimensinya: perhatian individual (individualized consideration) dengan menciptakan kesempatan-kesempatan bagi bawahan dan rangsangan intelektual (stimulation intelectual) dengan mendorong bawahan untuk berpikir dan berperilaku inovatif. Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Fuller et al. (2000), dengan menguji variabel pemberdayaan psikologis sebagai variabel

moderator. Penelitian Fuller et al. (1999) dengan menggunakan sampel 230 perawat, meneliti mengenai pengaruh kerja perilaku yang kepemimpinan oleh

transformasional

terhadap

kepuasan

dimoderasi

pemberdayaan psikologis. Moderated Regression Analysis dilakukan untuk menguji pengaruh interaksi antara kepemimpinan transformasional dan pemberdayaan (empowerment) terhadap kepuasan kerja. Hasil penelitian menemukan bahwa pemberdayaan psikologis memoderasi hubungan antara tiga dari empat dimensi kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja. Meskipun belum cukup tersedia bukti-bukti empiris mengenai hubungan perilaku kepemimpinan terhadap OCB yang dimoderasi oleh pemberdayaan psikologis, dari hasil-hasil korelasi pada beberapa penelitian yang telah

diuraikan di atas, menunjukkan bahwa pemberdayaan psikologis mampu memoderasi perilaku kepemimpinan terhadap berbagai outcomes. Sehingga hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah: Hipotesis 2: Pemberdayaan psikologis memoderasi pengaruh perilaku kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan

transformasional terhadap OCB.

P. Subsitutes For Leadership sebagai Variabel Pemoderasi Perilaku

Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior Howell, Dorfman, dan Kerr (1986; pada Bass 1985) telah

mengklasifikasikan beberapa variabel moderator dari kinerja kepemimpinan dan pengaruh-pengaruhnya sebagai: penetral (neutralizer), peningkat

(enhacers), pelengkap (supplement), dan subsitut kepemimpinan (substitutes for leadership). Namun dari beberapa penelitian mengenai variabel moderator kepemimpinan, yang paling banyak mendapat perhatian adalah substitut kepemimpinan. Semenjak satu setengah dekade yang lalu, model substitut

kepemimpinan dari Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff & MacKenzie, 1994) telah mendorong menculnya perhatian besar dari kalangan peneliti seperti dalam bidang perilaku organisasional, pendidikan, pemasaran, manajemen lintas budaya, dan manajemen pegawai profesional. Dalam hal ini, presentasi teori dari Kerr dan Jermier dianggap oleh banyak pihak sebagai teori klasik yang dibahas dalam hampir semua teks tentang perilaku dan kepemimpinan organisasional yang ada saat ini..

Seperti yang telah dicatat oleh beberapa penulis (Yukl, 1989; Podsakoff, MacKenzie, & Fetter, 1993; Podsakoff, Niehoff, MacKenzie, & Williams, 1993; Williams et al., 1988; pada Podsakoff& MacKenzie, 1994), model substitut kepemimpinan dari Kerr dan Jermier keuntungan potensial dibandingkan dengan memiliki sejumlah

pendekatan-pendekatan

situasional lainnya. Pertama, model ini mempresentasikan hal yang paling komprehensif dalam mengidentifikasikan faktor-faktor yang bisa memoderasi pengaruh perilaku pemimpin pada sikap, perilaku, dan persepsi bawahan, sehingga secara potensial bisa sangat membantu dalam menjelaskan mengapa sejumlah perilaku pemimpin tertentu efektif dalam situasi tertentu, namun tidak efektif dalam situasi yang lainnya. Kedua, model substitut kepemimpinan juga lebih memfokuskan pada faktor-faktor organisasional yang mungkin berpengaruh pada efektifitas perilaku pemimpin. Terakhir, model ini memberikan sejumlah pandangan tentang situasi yang dihadapi dimana pemimpin mungkin ingin membentuk substitut kepemimpinan yang dalam lingkungan tersebut mampu meningkatkan efektifitas organisasi. Pada dasarnya, model substitut kepemimpinan mengasumsikan bahwa terdapat berbagai variabel situasional yang bisa mengganti (substitutes), menetralkan (neutralizers), atau meningkatkan (enhacers) pengaruh-

pengaruh dari perilaku pemimpin. Dengan demikian, substitut kepemimpinan tersebut bisa menghapuskan atau mengganti kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi hasil kerja dan sikap kerja para karyawan. Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) mendefinisikan substitut kepemimpinan sebagai sesuatu yang dapat bertindak atau dapat dipergunakan sebagai pengganti pemimpin, sehingga

menjadikan kepemimpinan tidak mungkin dibentuk atau tidak diperlukan lagi. Dengan demikian, substitut kepemimpinan adalah sesuatu yang mengurangi kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi variabel-variabel kriteria

bawahan dan menggantikan pengaruh pemimpin. Sebagai tambahan, dalam konsep substitut kepemimpinan (substitutes for leadership) dan penetral (neutralizers) mengasumsikan bahwa segala sesuatu dalam lingkungan

seorang pemimpin juga berperan dalam meningkatkan hubungan antara perilaku-perilaku tertentu dari pemimpin dengan variabel-variabel kriteria dari bawahan. Selanjutnya dalam prakteknya, istilah substitut kepemimpinan (substitutes for leadership) digunakan untuk mengacu kedua istilah substitut dan penetral. Secara lebih jelasnya, substitut kepemimpinan adalah variabel yang membuat pemimpin menjadi tidak diperlukan. Apabila pengganti pemimpin ada, maka pemimpin tersebut secara otomatis diperkirakan hanya akan sedikit atau tidak memberikan pengaruh sama sekali pada kepuasan dan hasil kerja para bawahan. Secara logis dan empiris, substitut kepemimpinan berpengaruh secara langsung pada hasil kerja bawahan, sementara pemimpin tidak berpengaruh. Substitut kepemimpinan berperan seperti penetral yang meniadakan pengaruh pemimpin atas hasil kerja bawahan atau dilihat sebagai penetral khusus yang mengurangi kemampuan pemimpin dalam mempengaruhi sikap, persepsi, dan hasil kerja bawahan, serta secara efektif menggantikan pengaruh perilaku pemimpin (Howel, Dorfman, & Kerr, 1986; pada Bass, 1985). Variabel-variabel yang diidentifikasikan sebagai substitut

kepemimpinan adalah: karakteristik bawahan (kemampuan, pengalaman,

pelatihan, atau pengetahuan bawahan; orientasi profesional; keinginan untuk mandiri; dan sikap terhadap penghargaan organisasional), karakteristik tugas (tugas yang secara intrinsik memuaskan, tugas yang rutin dan metodologis; dan masukan atau umpan balik tugas), dan karakteristik organisasional (tingkat formalisasi organisasional; tingkat kohesivitas kelompok kerja; jumlah staf dan/atau dukungan atasan; penghargaan organisasional di luar kontrol pemimpin; dan jarak spesial antara pemimpin dengan bawahan). Kerr dan Jermier (1978; pada Posakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) mengusulkan serangkaian variabel substitut kepemimpinan yang mereka yakini bisa secara umum memoderasi pengaruh perilaku pemimpin terhadap variabel-variabel kriteria bawahan. Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer (1996) mengadakan pengujian meta analisis guna memperkirakan secara lebih tepat hubungan bivariate antara perilaku pemimpin dan substitut kepemimpinan terhadap beberapa variabel kriteria karyawan yang terdiri dari: kepuasan, komitmen organisasi, role ambiguity, role conflict, kinerja in-role, dan OCB. Hasil temuan dengan menggunakan alat analisis LISREL menunjukkan bahwa gabungan antara variabel-variabel substitut

kepemimpinan dan perilaku pemimpin menjelaskan sebagian besar varian dalam sikap dan persepsi peran para karyawan serta sebagian besar varian dari hasil kerja di dalam dan di luar peran kerja; serta rata-rata substitut

kepemimpinan menjelaskan lebih banyak varian dalam variabel-variabel kriteria dibandingkan dengan perilaku pemimpin itu sendiri. Secara empiris model substitut kepemimpinan ini masih belum banyak diterapkan pada bentuk kepemimpinan transaskional maupun kepemimpinan transformasional, namun lebih banyak diterapkan pada tipe kepemimpinan

yang lainnya. Sebagai contoh, dalam spesifikasi model mereka, Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) secara eksplisit menyatakan bahwa substitut kepemimpinan haruslah memoderasi pengaruh perilaku pemimpin yang supportif, yang selanjutnya oleh banyak peneliti dianggap sebagai bentuk kepemimpinan transformasional (Avolio & Bass, 1988; Bass, 1985; Bass, Avolio, & Goodheim, 1987; Bass, Waldman, Avolio, & Bebb, 1987; Conger & Kanungo, 1987; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996). Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer (1996) dalam penelitiannya tentang pengaruh pemimpin transformasional terhadap kepuasan,

komitmen, kepercayaan, kinerja in-role dan OCB yang dimoderasi oleh substitut kepemimpinan telah membedakan kinerja karyawan menjadi kinerja in role dan kinerja extra role atau sering disebut dengan istilah OCB. Dalam penelitiannya, Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer (1996) menguji mengenai pengaruh perilaku kepemimpinan transformasional dalam konteks substitut kepemimpinan yang dikembangkan oleh Kerr dan Jermier. Data dikumpulkan dari 1539 karyawan berasal dari berbagai industri organisasi dan tingkatan level kerja yang berbeda. Hasil analisis data dengan menggunakan hierarchical moderated regression

menunjukkan bahwa hanya sedikit variabel-variabel dari substitut kepemimpinan yang memoderasi perilaku kepemimpinan transformasional terhadap perilaku karyawan, role perceptions, kinerja in-role, dan OCB. Selain itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa: (1) perilaku kepemimpinan transformasional dan substitut kepemimpinan masingmasing mempunyai pengaruh yang unik terhadap beberapa variabel

kriteria dari karyawan, dan (2) dimensi-dimensi perilaku kepemimpinan transformasional secara signifikan berhubungan dengan dimensi-dimensi substitut kepemimpinan. Di samping daya tarik intuitif yang sangat luas, dukungan empiris atas model substitut kepemimpinan ini bisa dikatakan belum memadai. Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) berpendapat bahwa satu-satunya cara yang paling sesuai untuk menguji pandangan bahwa variabel-variabel substitut kepemimpinan akan

mengubah atau mengganti pengaruh perilaku pemimpin adalah dengan mempelajari apakah variabel-variabel substitut kepemimpinan tersebut memoderasi hubungan antara perilaku pemimpin dengan variabel-variabel kriteria bawahan. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mengajukan hipotesis kedua sebagai berikut: Hipotesis 3: Substitut kepemimpinan memoderasi pengaruh perilaku kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional terhadap OCB.

Q. Rerangka Penelitian Rerangka Penelitian dalam penelitian ini dapat ditunjukkan pada gambar 1.

Gambar

1.

Pengaruh

Perilaku

Kepemimpinan

Transaksional

dan

Kepemimpinan

Transformasional

Terhadap

Organizational

Citizenship Behavior Dengan Pemberdayaan Psikologis dan Substitut Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi

Perilaku Kepemimpinan Transaksional Pemberdayaan Organizational Citizenship Behavior Perilaku Kepemimpinan Transformasional Subsitut Kepemimpinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hubungan Teori Kepemimpinan dengan Manajemen Pemerintahan.

Manajemen pemerintahan (Public Manajemen) dikemukakan oleh Ramto, 1997;23) adalah faktor utama dalam suatu administrasi publik (Public Administration) untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan sarana dan prasarana yang ada termasuk organisasi serta sumber dana dan sumber daya yang tersedia. Jika demikian halnya, maka manajemen pemerintahan, tidak lain adalah faktor utama dalam organisasi Kristiadi (1994:23). Upaya tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan pemerintahan yang mencakup berbagai aspek kehidupan dan dan penghidupan warga negara dan masyarakatnya. Lebih lanjut Kristiadi (1994 ; 23) menyebutkan bahwa, tugas

pemerintahan yang paling dominan adalah menyediakan barang-barang publik (public Utility) dan memberikan pelayanan (public service) misalnya dalam bidang-bidang pendidikan, pertanian, keamanan dan sebaginya. Suradinata Ermaya, 1996;67) Terminologi manajemen, sangat erat hubungannya dengan usaha untuk mencapai tujuan dengan tujuan menggunakan sumber-sumber yang tersedia dalam organisasi dengan cara yang seefesien mungkin, sedangkan istilah pemerintahan seperti dijelaskan lebih lanjut oleh Suradinata Ermaya (1996 ; 68) dapat

diartikan sebagai kegiatan lembaga-lembaga dalam mencapai tujuan negara. Secara konsepsional dari dua istilah di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen pemerintahan mengandung arti sebagi suatu kegiatan atau

usaha untuk mencapai tujuan-tujuan negara dengan menggunakan sumber-sumber yang dikuasai oleh negara. Diskusi mengenai manajemen pemerintahan, ternyata tidak sengaja manyangkut masalah kelembagaan, tetapi secara lebih luas berkenaan dengan penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan, termasuk di dalamnya usaha-usaha menjalankan kekuasaan pemerintah dalam negara. Lynn (1996 ; 20) menjelaskan bahwa, manajemen pemerintah yang biak dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari proses dan dari hasilnya. Manajemen pemerintah sebagai proses, harus lebih mengutamakan proses yang demokratis di atas segala rencana dan tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan manejemen pemerintahan sebagai hasil (Ramto,1997;16) akan menggambarkan kesungguhan hati, pemakaian secara efeien akan sumber-sumber yang terbatas dengan menggunakan administrasi yang baik atau proses yang ada. Lebih lanjut Ramto (1997 ; 16) menjelaskan bahwa, manajemen pemerintahan yang baik tercermin dari proses pengambilan keputusan yang demokratis. Kaitannya dengan pengambilan keputusan yang dilakukan dalam manajemen pemerintahan, maka hal tersebut tidak terlepas dari kepemimpinan dari orang-orang yang menjadi pengendali dalam organisasi pemerintah tersebut. hal tersebut menurut Ramto (1997 ; 16) akan mampu mewujudkan manejemen yang baik yang tercermin dari

keterkaitan masyarakat.

dan

komitmen yang berwenang

kepada

kepentingan

Lebih lanjut Osborn & Algore (1997 ; 16) mengemukakan bahwa untuk mengelola pemerintahan secara baik dan dapat memperkecil biaya operasioal pemerintah (Cost of Government) maka ada beberapa hal yang perlu diperbaiki oleh seorang pemimpin pemerintahan yaitu : Mereduksi ukuran dan jumlah lembaga pemerintahan, program dan staf (down sizing). Mempermudah prosedur (steamilining). Memformasi lembaga secara struktural agar dapat menjalankan misinya dengan baik (re-structuring). Melimpahkan fungsi kepada sektor swasta yang lebih piawai (privatizing).

Lebih

lanjut

dikatakan

bahwa

dalam

kepemimpinannya,

suatu

pemerintahan yang menginginkan organisasinya tertata baik maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melakukan tindakan enterprizing sebagaimana layaknya perusahaan manapun, jika ingin misinya berjalan lancar, pemerintah perlu mengukur kemajuan yang tercapai. Bila pendekatan tersebut digunakan dalam praktek pengelolaan

pemerintahan, maka efesiensi pembiyaan akan tercapai dan produktivitas birokrasi pemerintahan akan semakin teratur.

Tetapi terdapat hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam manejemen pemerintahan sehubungan dengan perubahan paradigma peran

pemerintahan tersebut, yaitu : Sifat pendekatan tugas lebih baik ke arah pengayoman dan pelayanan masyarakat sehingga terkesan pada pendekatan kekuasaan dan kewenangan. Persepsi baru tersebut harus diimbangi dengan penyempurnaan organisasi, sehingga berciri organisasi modern yang ramping, efektif dan efesien serta mampu membedakan tugas mana yang perlu ditangani birokrasi serta tugas mana yang sudah dapat diserahkan kepada masyarakat, dengan demikian produksi barang-barang publik (public goods) bukan menjadi monopoli pemerintah saja. Sistem dan produksi kerja harus sesuai dengan ciri organisasi modern, yakni cepat, tepat dan akurat dengan mempertahankan kualitas (quality), biaya (cost) dan ketepatan waktu dalam menghasilkan produk-produk pelayannya (delivery). Dalam kaitan ini, Ramto (1997;15) menjelaskan bahwa, suatu

pemerintahan yang baik, dimana mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis, transparan dan berkeadilan, serta

mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan. Munculnya fenomena yang baru mengenai perubahan peran pemerintah dari pelaksana menjadi motivator, dinamisator dan fasilitator

pembangunan (Kristiadi,1997;50) menumbuhkan pemikiran dikalangan aparatur dalam mengelola pemerintahan dengan memperhatikan : Pemerintah sudah waktunya meningalkan peranan tradisionalnya sebagai pemungut pajak dan mediator antar sektor publik dan sektor swasta atau sesama sektor swasta. Menciptakan organisasi pemerintahan yang ramping tetapi kuat dan efesien. Pemisahan yang lebih luas antara fungsi pengarahan dan fungsi penyelenggaran. Menciptakan oraganisasi yang berfungsi mengerakan. Dalam pelayanan kepada masyarakat, lebih memberikan peranan yang lebih besar kepada organisasi non profit dibanding sektor pemerintah atau swasta yang berorientasi bisnis. Swastanisasi sebagai salah satu alternatif tetapi bukan satu satunya keputusan. Rasjid (1997;50) memberikan penjelasan bahwa, pemerintah yang baik akan terus memperkuat legitimasinya dengan cara memberi inspirasi kepada rakyat tentang bagaimana mengejar kemajuan, memberikan pelayanan yang adil dan menyelesaikan konflik-konflik kepentingan yang besar, serta memberi arahan tentang cara-cara terbaik untuk

mempercepat terwujudnya cita cita kemasyarakatan yang sejahtera lahir dan batin. Hal ini senada dikemukakan Ramto (1997;16) bahwa, manajement pemerintahan yang baik itu dapat tercermin dari proses pengambilan keputusan yang demokratis, pemberdayaan masyarakat

umum untuk berpartisipasi dalam pertimbangan pendapat umum demi kualitas kebijakan publik. Manajemen pemerintahan yang baik dikemukakan oleh (Ramto,1997;16), tercermin dari keterkaitan dan komitmen yang berwenang kepada kepentingan rakyat serta kesungguhan hati dan konsntrasi dari pihak eksekutif dengan penuh rasa tanggung jawab (resfonsibility) dan tanggung urai (accountability). Dkumara, (1997;17) Adanya pergeseran dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan yang berorientasi kepada kualitas pelayanan kepada masyarakat, adalah merupakan tantangan bagi pemerintah. Proses pergeseran manajemen pemerintah yang bercirikan kepekaan, prestatif, tidak lamban serta efesien, dan memiliki semangat untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat serta resfonsif akan berbagai perubahan dan profesional. Ciri ciri dari manajemen pemerintahan yang dikemukakan di atas sejalan dengan pendapat Rasjid (1997;17) bahwa mekanisme

penyelenggaraan

pemerintahan

modern

selalu

mengorientasikan

tindakan-tindakannya pada pencapaian suatu hasil yang nyata (Result Oriented) pengertian dimaksud mengandung pengertian bahwa

manejemen pemerintah (pemimpin pemerintahan) diarahkan agar terlebih dahulu mendefinisikan hasil apa yang ingin dicapai dengan modal (uang, peralatan, keahlian dan tenaga kerja) yang dikerahkan. Berkaitan dengan adanya kebutuhan pelaksanaan manjemen

pemerintahan, maka kepemimpinan adalah merupakan salah satu faktor

yang

dibutuhkan

Rasyid

(1997;118)

berdasarkan

prinsif

prinsif

manejemen modern, dalam hubungannya kedalam, kepemimpinan pemerintahan bertanggung jawab dalam mengembangkan kemampuan staf yang serba bisa / membangun hubungan kerja vertikal dan horizontal yang saling mendukung, serta menciptakan suasana kerja yang bergairah, sehingga kreatifitas pemerintah dalam lembaga pemerintahan dapat dipacu. Pada gilirannya hal tersebut akan menjamin

berlangsungnya inovasi yang terus menerus. Dalam hubungannya keluar, maka kepemimpinan pemerintahan yang bertanggung aparat jawab yang terhadap untuk

pembinaan

kemampuan

disiplin

ada

menyelenggarakan fungsi fungsi utama pemerintah melalui pekerjaan yang diemban masing masing. Untuk melihat keberhasilan kepemimpinan dalam pelaksanaan

manajemen pemerintahan, Rasyid (1997;118) mengemukakan bahwa terdapat dua faktor untuk mengukur keberhasilan kepemimpinan penyelenggaraan pemerintah di daerah adalah : Pertama, kemampuan pemimpin dan para pendukungnya mengidentifikasikan kebutuhan berbagai kebutuhan dan peluang yang terbuka bagi pencapaian tujuan. Ini mencakup kualitas motivasi dari seluruh sumber daya manusia yang dimiliki organisasi. Kedua, tingkat efektifitas dan efesiensi yang dicapai dalam gerak organisasi disepakati. membawakan Ini berkenan peranan-peranan dengan cara yang sudah

pengorganisasian,

kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan, jaringan sistem yang terbangun (baik dalam artian manajerial maupun

operasioanl) melalui mana perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian berlangsung.

2.2. Hubungan Teori Kepemimpinan dan Partisipasi. Partisipasi anggota dari suatu kelompok atau organisasi merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam upaya mencapai

keberhasilan organisasi untuk mewujudkan partisipasi maka diperlukan adanya kepemimpinan. Kepemimpinan dari seorang Kepala Dinas akan meningkatkan partisipasi para pegawai di dalam dinas daerah agar dapat mencapai produktivitas dari pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Menurut Wang (1981;92) mengemukakan bahwa partisipasi adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok kelompok untuk mengembangkan tenaga dan sumber daya lainnya kepada instansi atau sistem yang mengatur kehidupan mereka. Davis (1981;177) memberikan uraian yang lebih jelas mengenai partisipasi bahwa Participation can be defined as mental and emotional involvement of a person in a grouf situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them hal tersebut berarti partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan

sumbangan kepada tujuan-tujuan kelompok dan berbagi tanggung jawab

dalam usaha yang bersangkutan. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Gordon W-Allporto (dalam sastropoetro, (1998:12) mengemukakan : Seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya / egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugasnya saja. dengan keterlibatan dirinya berarti keterlibatan pikiran dan perasaanya. Atau anda misalnya

berpartisipasi (dapat anda rasakan sendiri), maka anda melakukan kegiatan itu karena menurut pikiran anda perlu dan bahwa perasaan andapun menyetujui / berkenan untuk melakukan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sastropoetro (1980;39) partisipasi adalah keterlibatan yang bersipat spontan yang disertai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Batasan pengertian tentang partisipasi dari pendapat di atas, memberikan gambaran tentang adanya beberapa hal pokok yang terkandung dalam partisipasi, yaitu : 1. Partisipasi berati berarti keterlibatan mental dan emosi yang

lebih banyak daripada fisik. Partisipasi yang didorong oleh mental dan emosi akan menimbulkan kesadaran yang menumbuhkan partisipasi sukarela, bukan ikut ikutan atau tertekan dan terpaksa untuk keikutsertaan karena paksaan bukan partisipasi, tapi mobilisasi 2. Partisipasi mendorong orang untk menyumbang atau

mendukung (to Contribute) kepada kehidupan kelaompok atau intitusi kehidupan bersama bukan menyumbang (hadiah) kepada sesorang,

sehingga

adanya

sumbangan

(dukungan)

kepada

kehidupan

kelompok dari anggota kelompok, jelas akan memberikan pengaruh yang sangat menentukan kepada kelangsungan kehidupan kelompok. 3. Partisipasi mendorong orang untuk ikut bertanggungjawab

dalam suatu kegiatan untuk kepentingan bersama. Karena apa yang disumbangkan itu adalah berdasarkan sukarela, sehingga

menimbulkan rasa self involved kepada organisasi. 2.3. Teori Kepemimpinan dan Efektivitas Kepemimpinan. Mengenai dimensi kepemimpinan (Reddin,1970:223) dikemukakan adalah :

Oriented

Tugas

(Task

Oriented)

menunjukan

sejauhmana

sesorang pemimpin memperhatikan hubungan tugas yang ada dalam organisasinya dengan bawahan dirinya sendiri, dengan upaya upaya yang dilakukan , seperti mengorganisasi dan memberi petunjuk. Orientasi Hubungan (Managerial Orientation), dapat menunjukan

sejauhmana

seseorang

pemimpin

memperhatikan

hubungan kerja antara dirinya dengan para bawahannya yang ada di dalam organisasi, upaya-upaya yang dilakukan antara lain seperti : memberikan kepercayaan membangkitkan semangat. Efektif (Managerial Efektivenes), menunjukan sejauhmana

seorang pemimpin dapat mempengaruhi bawahan sehingga keberhasilan merupakan persayaratan dari pencapaian hasil dalam sesuai organisasi, dengan perhatian

keberhasilan jabatannya.

bersama Reddin

memberikan

khusus terhadap dimensi efektivitas, karena dimensi ini paling menentukan dalam gaya kepemimpinan dari suatu organisasi. Reddin (1970:225) membedakan kedalam tiga kategori : efektivitas manajemen (Manajemen Effektiveness), Efektivitas semu (Apparent Effektiveness), dan efektivitas pribadi (personal Effektiveness). Efektivitas manajemen adalah merupakan sejauhmana sesoerang pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya sehingga dapat

mencapai

keberhasilan

dari

organisasi,

adalah

merupakan

keberhasilan bersama. Efektivitas semu adalah merupakan penialaian yang diberikan kepada pemimpin yang hanya didasarkan atas pengamatan

terhadap perilakunya saja, tanpa menilai hasilnya, misalnya : cepat mengambil keputusan, tepat waktu, segera menjawab pertanyaan yang ada. Efefktivitas pribadi merupakan upaya pemimpin dalam pencapaian sasaran yang memenuhi kebutuhan pribadi dari pada untuk memenuhi kepentingan organisasi. Kemungkinan-kemungkinan

semacam ini banyak terjadi pada sesorang pemimpin yang mempunyai ambisi yang sangat besar . Memperhatikan tentang konsep kepemimpinan yang efektif yang dikemukakan oleh Reddin, maka efektif merupakan salah satu ukuran untuk menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan dalam organisasi. Pengertian efektifitas, banyak dikemukakan oleh para ahli. Antara lain The Liang Gie (1989 ; 147) mengemukakan, bahwa : efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki. Kalau sesorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang mungkin dikehendaki, maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulakn akibat sebagimana yang dikehendaki

dengan demikian dikatakan bahwa pengertian efektivitas adalah terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dari suatu perbuatan . Campbell (dalam Steers, 1984:45) mengemukakan bahwa : mengenai berbagai ukuran yang digunakan untuk menentuakan efektivitas organisasi menghasilkan pengenalan sembilan belas variabel yang digunakan secara luas yang paling menonjol diantaranya adalah : (1) keseluruhan prestasi ; (2) produktivitas ; (3) kepuasan kerja pegawai ; (4) laba atau tingkat penanaman modal ; (5) keluarnya karyawan berkaitan dengan pendapat Campbell tentang efektivitas organisasi Rensisi Likert dalam tiga (Hersey variabel dan yang Blanchard, menentukan 1992:133), efektivitas

mengidentifikasi organisasi, yakni :

Pertama, Variabel Awal (Casual Variabel) yang merupakan faktor - faktor yang mempengaruhi arah perkembangan organisasi dan hasilnya. Kedua, Variabel Antara (Intervening Variabel).yang merupakan strategi kepemimpinan yang mempengaruhi perilaku sumber daya manusia dalam organisasi. Ketiga, Variabel keluaran atau Hasil (Output or Order Result Variable) yakni variabel tergantung yang mencerminkan

keberhasilan variabel organisasi.

Steers (1984:206), menyimpulkan bahwa kriteria yang paling banyak dipergunakan sebagai lata pengukur efektivitas, meliputi : Kemampuan penyesuaian diri keluwesan. Produktivitas. Kepuasan kerja. Kemampuan laba. Pencarian sumber daya Berdasarkan keseluruhan penjelasan di atas, (siagian, 1991:24-25) memberikan gambaran tentang efektivitas kepemimpinan, yaitu : Pertama, adanya penerimaan orang terhadap kepemimpinan yang baik karena pengalaman, pendidikan, prestasi atau karena faktor genetik Kedua, menuntut adanya kemahiran membaca situasi seperti yang berkaitan dengan iklim kerja yang ada dalam organisasi. Ketiga, adanya kemauan setiap anggota organisasi untuk bertindak yang tidak melakukan perilaku yang egois. Efektivitas organisasi mempunyai kaitan yang tidak dapat

dipisahkan dengan efektivitas gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi. Bass (dalam Hersey Blanchard, 1992;131-132).mengemukakan bahwa dalam suatu

organisasi dapat dibedakan secara jelas antara kepemimpinan yang berhasil dan kepemimpinan yang efektif. Seorang pemimpin

dikatakan mempunyai gaya kepemimpinan yang berhasil apabila dia dapat mempengaruhi orang orang yang ada dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Hasil yang dicapai belum dapat dikatakan efektif secara keseluruhan, apabila gaya kepemimpinan tidak sesuai dengan harapan bawahan. Bawahan hanya melakukan pekerjaan karena kekuasaan dari posisis pemimpin. Apabila gaya kepemimpinan seorang pemimpin dapat

mempengaruhi bawahan melakukan pekerjaan karena ia ingin melakukan dan merasa ada hasil yang diperolehnya, merasa konsisten dengan tujuan pribadinya, inilah yang dikatakan dengan gaya kepemimpinan yang efektif. Setelah memperhatikan keseluruhan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa efektivitas kepemimpinan dalam suatu organisasi menunjuk kemampuan sesorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya, sehingga terjalin rasa kebersamaan antar pemimpin dan yang dipimpin dalam mencapai tujuan organisasi. 2.4. Efektivitas Kepemimpinan dalam Mencapai Dinas dan Lembaga Teknis Daerah. Sebelum membahas lebih lanjut tentang Dinas dan Lembaga Teknis Daerah sebagai organisasi, maka dapat dilihat definisi organisasi secara umum. Frochoch (dalam Riwukaho, 1991;206) menjelaskan bahwa ditinjau dari tujuannya organisasi dapat dirumuskan sebagi sistem kerjasama sekelompok orang untuk mencapi tujuan bersama, selanjutnya Sutarto (1984:36) secara proses organisasi adalah sistem kerjasama

yang

saling

mempengaruhi

antar

orang

dalam

kelompok

yang

bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa unsur unsur di dalam organisasi meliputi : 1. 2. Adanya sekelompok orang. Adanya tujuan bersama yang hanya dapat

diselenggarakan. 3. Adanya kerjasama atau usaha bersama antar anggota-

anggota. 4. 5. Adanya pembagian kerja. Adanya pemimpin.

Struktur organisasi Dinas-Dinas atau Lembaga Teknis Daerah adalah merupakan struktur kerjasama antar hubungan satuan-satuan kerja yang didalamnya terdapat pejabat, tugas, serta wewenang yang masingmasing mempunyai peranan tertentu dalam kesatuan yang utuh. Untuk mewujudkan suatu organisasi Dinas Daerah yang baik dan efektif dan agar struktur organisasi Dinas Daerah yang dapat sehat dan efesien, maka harus diterapkan asas-asas organisasi. Dengan demikian asas organisasi merupakan sarana untuk dapat menciptakan kondisi yang baik guna mewujudkan tujuan organisasi dinas. Oleh karena itu, maka penugasan dan penerapan asas-asas organisasi dalam dinas daerah merupakan suatu syarat mutlak yang harus benar-benar difahami dan dihayati oleh pejabat dan pegawai dinas tersebut.

Sebagai sebuah lembaga yang identik dengan organisasi, dinasdinas daerah sudah harus melaksanakan sistem manejemen modern seperti organisasi swasta lainnya. Rasyid (1997:118), manajemen pemerintah dalam Dinas Daerah harus menganut prinsip-prinsip : efektivitas, efesiensi, dan inovasi dalam proses menghimpun dan menggerakan orang, memperoleh dan menggunakan uang. Mengadakan, menggunakan dan memelihara peralatan dan berbagai sumber daya demi terciptanya tujuan organisasi Dinas Daerah. Berkaitan dengan adanya kebutuhan pelaksanaan manajeman modern dalam manajemen pemerintahan pada Dinas Daerah, maka kepemimpinan adalah merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan. Rasyid (1997:118) berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern, dalam hubungannya kedalam, kepemimpinan pemerintahan

bertanggungjawab dalam mengembangkan kemampuan staf yang serba bisa, membangun hubungan kerja vertikal dan horisontal yang saling mendukung, serta menciptakan suasana kerja yang bergairah, sehingga kreativitas setiap aparat dalam lembaga pemerintahan dinas daerah dapat dipacu. Pada gilirannya hal tersebut akan menjamin

berlangsungnya inovasi yang terus menerus.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang. Sepanjang perjalanan manusia, tidak jarang seseorang mengalami saat-saat kritis guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Untuk memecahkan masalah situasi demikian itu dituntut sikap yang tegas dan cara penyelesaian yang cepat dan tepat. Masalah itu datang kehidupan keluarga, masyarakat bangsa dan Negara. Keadaan yang seperti yang diharapkan kehadiran seorang pemimpin. Mereka adalah orang-orang yang paham tentang apa yang harus dikerjakan pada saat seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai menyangkut

kecakapan dan kemampuan untuk mempengaruhi, mengajak, mengumpulkan dan menggerakkan orang lain untuk menangani masalah yang ada pada saat itu. Mereka adalah orang-orang yang mampu membina orang lain untuk membentuk satu kesatuan kerja bersama-sama bekerja, bahkan kadangkadang seorang pemimpin rela berkorban demi suksesnya pekerjaan itu. Mereka inilah yang disebut pemimpin. Pemimpin merupakan agen primer untuk menentukan desain

organisasi yang dipimpinnya, menetukan sasaran dan target pencapaian tujuan organisasi, singkatnya pemimpin merupakan inisiator, motivator, stimulator, dinamisator dan inovator dalam organisasi. Kualitas pribadi pemimpin sangat tergantung pada faktor dan merupakan disposisi psikopositif/jasmani rohani yang hederiter sifatnya, yaitu berupa intelegensi, energi, kekuatan tubuh, kelenturan mental dan keteguhan moral. Sebagian lagi dipengaruhi oleh lingkungan sosial kultur dan kondisi zamannya. Sehingga pemimpin itu adalah produk interaksi antara sifat-sifat karakteristik individual dengan tempaan dan tuntutan situasi zaman. Asumsi umum mengatakan bahwa tujuan organisasi tidak dapat tercapai tanpa kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan kunci utama dari seluruh kegiatan organisasi dan suatu organisasi berhasil atau gagal sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, semangat, serta moral yang kreatif dan mampu mempengaruhi anggotanya untuk mengubah sikap sehingga mereka konfron dengan keinginan pemimpin. Tingkah laku organisasi menjadi searah dengan kemauan pemimpin. Tingkah laku organisasi menjadi searah dengan kemauan pemimpin oleh pengaruh

interpersonal pemimpin terhadap bawahannya, khusunya dalam pencapaian tujuan bersama, dan pada proses pemecahan masalah yang harus dihadapi secara kolektif. Jadi tidak diperlukan pemaksaan, pendesakan, penekanan, intimidasi, dan ancaman tertentu. Kepemimpinan merupakan fenomena kompleks yang terencana, teratur, berkelanjutan dan berkesinambungan yang harus ditanamkan dan dibina sepanjang masa. Oleh karena itu titik sentral bagi sebuah organisasi adalah unsur kepemimpinan didalamnya. Untuk menjalankan tugas manajerial, pemimpin atau manajer perlu mengembangkan staff sehingga mengasilkan tingkat produktivitas yang tinggi, pada saat itu juga perlu memikirkan gaya kepemimpinannya untuk menjadi salah satu faktor penentu dalam pencapaian tujuan suatu organisasi Berbagai peran kepemimpinan mempengaruhi efektifitas dalam pendekatan perilaku yang

kepemimpinan yaitu mereka sebut dengan

perhatian dan pengambilan inisiatif. Berbagai penelitian yang dilakukan guna mempelajari gaya

kepemimpinan dengan pendekatan perilaku. Ohio Universitiy misalnya menemukan dua kelompok perilaku yang memepengaruhi efektifitas

kepemimpinan yaitu mereka sebut dengan

perhatian (consideration) dan

pengambilan inisiatif (initiating structur). Sementara di Michigan University, hasilnya menemukan adanya pemimpin yang berorientasi pada pekerjaan (Job oriented) serta studi kepemimpinan managerial grid dan beberapa penelitian lainnya, selain hasil penelitian diatas, secara umum dan berbagai literatur gaya kepemimpinan situsional, (Mamduh M. Hanafi)

Indikator keberhasilan seorang pemimpin adalah keberhasilan pegawai dalam menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan sekalipun tidak dipungkiri bahwa untuk bekerja produktif tentunya tidak terlepas dari diri pegawai (personality). Yang menarik sekarang ini kita simak adalah kondisi rill ditengah masyarakat utamanya disektor pendidikan yang tidak terlepas dari tenaga pendidik, dan staff di Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kabupatn Gowa

yang tetap membuat manufer untuk tetap eksis dalam pemerintahaan ditengah krisis multi dimensi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Kabupaten Gowa yang dikenal dengan kultur masyarakat plural menjadikan kabupaten berpeluang untuk tetap eksis dan bertahan ditengah persaingan globalisasi. Uraian diatas menunjukkan peran seorang pemimpin dapat

memberikan dampak atau pengaruh terhadap bawahannya, sehingga penulis tertarik untuk memilih judul sebagai berikut : Pengaruh Produktivitas Kerja Kabupaten Gowa Gaya Kepemimpinan Dalam Peningkatan

Pegawai Pada

Dinas Perndidikan Nasional

B. Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan

sebelumnya maka menjadi masalah pokok dalam penulisan ini adalah Apakah Gaya Kepemimpinan Kerja Pegawai Berpengaruh Pada Dinas Dalam Peningkatan Nasional

Produktivitas

Pendidikan

Kabupaten Gowa.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian. Adapun tujuan dan kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui gambaran tentang gaya kepemimpinan yang

diterapkan oleh Dinas Pendidikan Nasional Kabupetn Gowa. 2. Untuk mengetahui tingkat produktivitas kerja pegawai pada Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Gowa.

Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Sebagai bahan informasi bagi Pemerintah Derah Kabupaten Gowa tentang pentingnya peran pemimpin dalam peningkatan sumber daya manusia. 2. Sebagai bahan informasi kepada pihak-pihak yang ingin mengadakan kajian empiris dalam pengembangan manajemen sumber daya manusia khususnya gaya kepemimpinan dan pengaruhnya terhadap produktivitas kerja pegawai. 3. Melalui penelitian ini memperoleh kesempatan untuk menambah wawasan berfikir dan pengetahuan serta pengalaman dalam memecahkan

permasalahan metode ilmiah.

D. Hipotesis Adapun hipotesis sebagai jawaban sementara atas masalah pokok yang telah dikemukakan sebelumnya adalah gaya kepemimpinan sangat

berpengaruh dalam peningkatan produktivitas kerja pegawai pada Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Gowa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemimpin Dan Kepemimpinan. 1. Pengertian Pemimpin Dan Kepemimpinan Secara etimologi pemimpin dan kepemimpinan berasal dari kata pimpin (to lead) kemudian dengan penambahaan imbuhan (konjugasi) berubah menjadi pemimpin (leader) dan kepemimpinan (leadership). Dalam kepemimpinan teradapat hubungan antara manusia yaitu hubungan

mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuhan/ketaatan para bawahan karena dipengaruhi oleh kewibaan pemimpin, (Permadi, cetakan pertama, 1996) Pemimpin dan kepemimpinan tersebut bersifat universal, artinya selalu ada dan senatiasa diperlukan setiap usaha bersama manusia dalam segenap aktivitas organisasi mulai dari tingkat yang paling kecil atau intim yaitu

keluarga, sampai nasional dan internasional, dimanapun dan kapanpun juga, (kutipan Winardi, 1983). Secara terminology telah banyak konsep yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang pengertian pemimpin dan kepemimpinan. Diantranya Filley dalam Moeftie (1987, hal.87) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah proses menggunakan pengaruh kemasyarakatan terhadap para anggota suatu kelompok lainnya. Sedangkan pemimpin adalah seseorang dengan daya kekuatan terhadap orang lain melakukan wewenang untuk tujuan mempengaruhi tingkah laku mereka. Pendapat Hanry Prat Faireccild dalam kutipan Kartini (1994, hal. 34) mengemukakan seorang peribadi yang dimiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan disuatu bidang sehingga mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktifitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Kepemimpinan itu sifatnya spesifik, khas diperlukan bagi satu situasi yang harus sesuai dan bisa diterima bagi kelompok yang bersangkutan serta sesuai dengan situsi zamannya. Lebih jauh lagi, pemimpin dalam pengertian yang luas adalah seorang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial,

megatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha orang lain melalui prestise, kekuasan atau posisi. Dalam pengertian terbatas ialah

orang membimbing dengan kemampuan persuasif dan akseptasi secara sukarela oleh para pengikutnya. Dari pendapat para ahli yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah seorang yang mampu mempengruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan menurut Stogdill dalam kutipan

Permadi kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas orang lain atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Proses kepemimpinan terjadi jika didalamnya terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1. Ada orang atau pihak yang mempengaruhi atau

mengarahkan (yang memimpin). 2. Ada orang-orang atau pihak dipengaruhi/digerakkan untuk mencapai tujuan (yang dipimpin atau bawahan). Menurut Permadi, (1996) pengertian kepemimpinan mempunyai ruang lingkup yang luas, artinya bisa saja terjadi diluar organisasi, yaitu manakala seseorang mampu mempengaruhi orang lain kearah pencapaian suatu tujuan. Apabila dihubungkan dengan tatakrama organisasi. Dengan kata lain bahwa manajemen/manajer merupakan jenis pemikiran yang khusus dari kepemimpinan. Dalam proses kepemimpinan, manajemen dijalankan oleh para manejer pada seluruh tingkatan manajemen. Seorang manajer bisa sebagai pemimpin yaitu pada saat manajer tersebut mampu mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan tertentu, tapi seorang pemimpin belum tentu seorang manajer, kutipan Permadi. 2. Fungsi Pemimpin Dan Kepemimpinan Seorang pemimpin pada umumnya ingin merefleksikan sifat-sifat kepemimpinannya dalam upaya pencapaian tujuan dari kelompoknya. Selanjutnya dipaparkan beberapa pendapat dari beberapa penulis tentang tugas dan fungsi kepemimpinan antara lain Kartini (1994, hal.81) menyatakan fungsi kepemimpinan ialah memandu, menuntut, membimbing, membangun, memberi atau membangunkan motivasi-motivasi kerja, mengemudikan

organisasi, menjalin jaringan-jaringan komunikasi yang baik, memberikan supervisi/pengawasan yang efesien, dan membawa para pengikutnya pada sasaran yang ingin dituju sesuai dengan ketentuan waktu perencanaan. Menurut Sondang P, Siagian, tugas kepemimpinan tercakup pada

pemberian insentif sebagai motivasi untuk bekerja lebih giat. Insentif material dapat berupa: uang, sekuritas fisik, jaminan sosial, premi bonus kondisi kerja yang baik, juga berupa insentif sosial seperti : Promosi jabatan, status sosial yang tinggi martabat diri, prestise sosial, respek dan lain-lain. Sondang P. Siagian (1989, 47-48) menyatakan fungsi-fungsi

kepemimpinan yang hakiki yaitu : a. Pemimpin selaku penentu arah yang akan

ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan, b. Wakil dan juru bicara organisasi dalam

hubungan dengan pihak-pihak luar organisasi, c. d. Pemimpin selaku komunikator yang efektif, Mediator yang hebat, khususnya dalam

hubungan kedalam, terutama mengenai situasi konflik, e. Pemimpin selaku integrator yang efektif,

rasional, objektif, dan netral. Dengan menelaah beberapa pendapat diatas tentang tugas dan fungsi pimpinan dapat dikatakan bahwa keberhasilan pemimpin dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya. Salah satu tugas dan fungsi pemimpin yang sangat strategis adalah menjalankan fungsi-fungsi sehingga

menciptakan suasana kerja yang proaktif dalam upaya pencapaian organisasi.

3. Teori Kepemimpinan. Banyak studi ilmiah dilakukan orang mengenai kepemimpinan, dan hasilnya berupa teori-teori tentang kepemimpinan, seperti yang dikemukakan oleh G.R Terry yang dikutip oleh Kartini (1994, hal. 61) antara lain : a. Teori otokratis dan pemimpin otokratis.

Kepemimpinan menurut teori ini didasarkan atas perintah-perintah paksaan dan tindakan-tindakan yang arbiter (sebagai wasit). Ia melakukan pengawasan yang ketat, agar semua pekerjaan berlansung secara efesien. Kepemimpinan berorientasi pada struktur organisasi dan tugastugas. b. Teori ini Teori pisikologis. menyatakan, bahwa fungsi seorang pemimpin adalah

memunculkan dan mengembangkan sistem motivasi terbaik, untuk merangsang kesediaan bekerja dari pada pengikut dan anak buah. Pemimpin merangsang bawahan agar mereka mau bekerja guna memenuhi sasaran-sasaran organisasi maupun untuk memenuhi tujuan pribadi. Kepemimpinan yang mampu memotivator aspek-aspek psikis manusia seperti : pengakuan (recognizing), martabat, status sosial, emosional, memperhatikan keinginan dan kebutuhan pegawai, kegairahan kerja minat dan suasana hati, dan lain-lain. c. Teori sosiologis.

Kepemimpinan dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan antar relasi dalam organisasi dan sebagai usaha untuk menyelesaikan tiap konflik organisasi antara para pengikutnya, agar tercapai kerjasama yamg

baik. Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan, dengan menyertakan para pengikut dalam pengambilan keputusan terakhir. Selanjutnya

mengidentifikasi tujuan, dan kerap kali memberikan tujuan yang diperlukan bagi para pengikut untuk melakukan setiap tindakan yang

berkaitan dengan kepentingan kelompoknya. Setiap anggota mengetahui hasil apa, keyakinan apa dan kelakuan apa yang diharapkan dan mereka oleh pemimpin dan kelompoknya. Pemimpin yang diharapkan dapat mengambil tindakan kolektif apabila terdapat kepincangan dan

penyimpangan dalam organisasi. d. Teori sportif.

Menurut teori ini, pengikut harus berusaha sekuat mungkin dan bekerja dengan penuh gairah, sedang pemimpin akan membimbing sebaikbaiknya. Untuk maksud ini perlu menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan, dan bisa membantu mempertebal keinginan setiap pengikutnya untuk melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin, sanggup bekerjasama dengan pihak lain. Mau mengembangkan bakat dan skiilnya, dan menyadari benar keinginan sendiri untuk maju. Ada pihak yang menamakan teori sportif ini sebagai teori partisipatif, dan ada juga yang menamakan sebagai teori kepemimpinan demokratis. e. Teori laisesz faire.

Kepemimpinan laissez fair ditampilkan oleh seorang tokoh Ketua Dewan yang sebenarnya tidak becus mengurus dan dia menyatakan semua tanggung jawab serta pekerjaan dilimpahkan kepada bawahan atau kepada semua anggotanya. Dia adalah seorang ketua yang bertindak sebagai simbol dengan macam-macam hiasan atau ornament yang

mentereng. Biasanya ia tidak memiliki keterampilan teknis sedangkan kedudukan sebagai pemimpin dimungkinkan oleh sistem nepotisme atau lewat praktek penyuapan. Dia mempunyai sedikit keterampilan teknis, namun disebabkan oleh karakternya yang lemah, tidak berpendirian serta tidak berprinsip, maka semua hal itu tidak ada kewibawaan juga tidak mampu

mengkoordinasikan semua jenis pekerjaan, tidak berdaya menciptakan suasana yang kooperatif, sehingga lembaga atau perusahaan menjadi kacau balau, kocar kacir, dan pada hakikatnya organisasi mirip dengan seekor belut tanpa kepala. f. Teori kelakuan pribadi.

Kepemimpinan jenis ini muncul berdasarkan kualitas pribadi atau polapola para pemimpinnya. Teori ini manyatakan bahwa seorang pemimpin itu selalu berkelakuan kurang lebih sama yaitu ia tidak melakukan tindakan-tindakan yang identik sama dalam situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, dia harus mampu bersikap fleksibel, luwes, bijaksana, tahu glegat dan mempunyai daya lenting yang tinggi, karena dia hanya mampu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk sesuatu masalah. Pola tingkah laku pemimpin tersebut serta kaitannya dengan bakat dan kemampuannya, kondisi dan situasi yang dihadapi, goodwill atau

keinginan untuk memutuskan dan memecahkan permasalahan yang timbul, derajat pengawasan dan ketajaman evaluasinya. g. Teori sifat orang-orang besar (traits of great men)

Sudah banyak usaha yang dilakukan orang yang mengidentifikasi sifatsifat unggul dan kualitas superior serta unik, yang diharapkan ada pada

seorang pemimpin untuk meramalkan kesuksesan kepemimpinannya. Ada beberapa ciri unggul sebagai predisposisi yang diharapkan akan dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu memiliki intelegensia tinggi, daya persuasif dan keterampilan, komunikatif, memiliki kepercayaan diri, peka, kreatif, mau memberikan partisipasi sosial yang tinggi. h. Teori situasi.

Teori ini menjelaskan, bahwa harus terdapat daya lenting yang tinggi/fleksibelitas pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi, lingkungan sekitar dan zamannya. Faktor lingkungan itu harus dijadikan tantangan untuk diatasi sehingga pemimpin harus mampu menyelasaikan masalah-masalah aktual. Kepemimpian harus bersifat multidimensional agar ia mampu melibatkan diri dan menyesuaikan diri terhadap masyarakat dan dunia bisnis yang cepat berubah. Teori ini beranggapan bahwa kepemimpinan itu terdiri atas tiga elemen dasar yaitu pemimpin, pengikut, dan situasi, dari ketiga elemen ini, situasi dianggap sebagai elemen penting karena memiliki paling banyak variabel dan kemungkinan yang bisa terjadi. i. Teori humanistik/populasi

Fungis kepemimpinan menurut teori ini ialah merealisasi kebebasan manusia dan memenuhi segenap kebutuhan insani yang dicapai melalui interaksi pemimpin dengan rakyat. Pada teori ini ada tiga variabel pokok, yaitu : kepemimpinan, organisasi dan interaksi. Fokus dari teori ini ialah rakyat dengan segenap harapan dan kebutuhan harus diperhatikan, pemerintah harus mau mendengar suara hati nurani rakyat agar tercapai negara yang makmur adil dan sejahtera.

B. Pendekatan Pendekatan Dalam Study Kepemimpinan. 1. Ohio Studi ini didasarkan pada pemikirann dasar efektifitas kepemimpinan seseorang dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya terlihat pada dua jenis perilaku. Pertama, sejauh mana seorang pemimpin memberikan penekanan pada peranannya selaku pemerakarsa struktur yang akan dilaksanakan oleh para bawahannya. Kedua, sampai sejauh mana dan dalam bentuk seorang pemimpin perhatian kepada bawahannya. Hasil dari penelitian ini ditentukan dua dimensi utama yang selalu muncul yaitu perhatian (consideration) dan struktur pengambilan inisiatif (initiation struktur), (kutipan Mamduh M. Hanafi). 2. Michigan. Studi ini dilakukan oleh pusat penelitian survey Universitas Michigan pada tahun 1974 di New Jersey pada perusahaan asuransi prudential. Studi ini bertujuan untuk menentukan prinsip-prinsip yang mempengaruhi Studi Kepemimpian Universitas Studi Kepemimpinan Universitas

produktivitas kelompok kerja dan kepuasan anggota kelompok atas dasar partisipasi yang mereka berikan.

Hasil dari studi ini menemukan adanya perilaku kelompok pemimpin yang berorietasi kapada bawahannya (employed oriented) dan perilaku kelompok yang berorientasi kepada pekerja (kutipan Mamduh M. Hanafi) 3. girld Pendekatan perilaku kepemimpinan managerial grid ini dikembangkan oleh Robert R Blake dan James S. Mounton dalam kutipan Thoha (2002, hal. 286). Dalam pendekatan ini dikenal ada dua macam perilaku pemimpin, yaitu perilaku pimpinan yang beriorientasi pada produksi (concern for production) dan perilaku yang berorientasi pada orang (concern for people). Studi Kepemimpinan Managerial

C.

Gaya Kepemimpinan Dari uraian sebelumnya diketahui kepemimpinan berperan sangat penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Oleh karena itu kita akan membicarakan beberapa gaya atau style kepemimpinan yang banyak mempengaruhi keberhasilan seseorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya. Pada saat bagaimanapun jika seseorang berusaha untuk

mempengaruhi perilaku orang lain, dimuka telah diterangkan bahwa kegiatan semacam itu telah melibatkan seseorang kedalam aktivitas kepemimpinan. Jika kepemimpinan tersebut terjadi dalam suatu organisasi tertentu, dan seseorang tadi perlu mengembangkan organisasi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang tinggi. Maka orang tersebut perlu memikirkan kepemimpinannya. Kepemimpinan merupakan norma perilaku yang

digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi

perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan orang yang perilakunya akan mempengaruhi menjadi sangat penting

kedudukannya. Keating (1993, hal. 189) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan dapat dibedakan :

a.

Gaya Otokratis.

Pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan otokratis atau otorarium biasanya merasa bahwa mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung mempresepsikan kebutuhan-kebutuhan itu sebagai perintah-perintah langsung kepada para bawahannya. Pemimpin otokratis biasanya menyimpan keputusan pengendalian bagi diri sendiri, karena mereka menganggap bertanggung jawab penuh untuk

pengambilan keputusan. Pemimpin otokrasi biasanya menyusun seluruh situasi kerja untuk pekerja-pekerja mereka. Walaupun pada umumnya bentuk kepemimpinan otokrasi dianggap sebagai negatif, sekali lagi, segala sesuatu tidaklah seluruhnya hitam atau putih dalam dunia nyata dalam dunia organisasi. Banyak pemimpin otokrasi harus memiliki latar belakang yang luas dan beragam. Mereka juga harus memiliki bawahan yang mengharapkan dan menginginkan para pemimpin mereka memberikan arah yang kuat kepada mereka. Bawahan yang agak patut atau lebih menyukai tidak bertanggung jawab untuk berperan serta dalam merencanakan dan mengambil keputusan

cenderung menggapai positif kepemimpinan yang berpusat majikan.

Demikian pula suatu pemimpin yang bersifat memerintah sering disebut baik oleh para pekerja yang bertanggung jawab pekerjaanya tidak jelas dinyatakan atau cukup mempunyai pengetahuan dan pendidikan untuk melaksanakan pekerjaanya tanpa bantuan. Beberapa situasi pemimpin mungkin tidak banyak mempunyai pilihan lain kecuali menggunakan kepemimpinan otokrasi. Selama suatu keadaan darurat atau kritis, misalnya terdapat hampir tidak cukup waktu guna mengumpulkan kelompok untuk mengadakan pertemuan tanya jawab. Bila bangunan sedang terbakar, sangat diragukan seorang pemimpin yang efektif akan berkata pada bawahannya : saudara-saudara, kita ada masalah. Seluruh pabrik kita terbakar, loteng, kamar akan musnah dalam 5 menit. Apa saran saudara-saudara mengenai pemecahan masalah ini? sebaliknya, sang pemimpin barangkali berteriak : Hai! Gedung terbakar. Semua orang keluar dari gedung ini sekarang juga!. Pastilah bahwa pendekatan yang demikian otokrasi tidak akan menimbulkan banyak perlawanan/protes dari pada bawahannya. Gaya kepemimpinan otokratis, pemimpin cenderung merasa bahwa bawahan konstruktif. tidak memiliki kemampuan otokratis memberikan masukan yang

Kepemimpinan

sering

menimbulkan

masalah-

masalah moral dan biasanya gagal menghasilkan para pekerja pada sasaran-sasaran organisasi. Para bawahan yang menerima

kepemimpinan otokrasi sering kurang informasi tentang fungsi-fungsi mereka dan takut menggunakan inisiatif mereka sendiri dalam pekerjaan mereka. Selanjutnya pertumbuhan individu sulit tercapai didalam suatu kerangka otokratis.

b.

Gaya Partisipatif Atau Demokratis.

Gaya kepemimpinan ini diasumsikan bahwa para anggota individual dari suatu kelompok yang ambil bagian secara peribadi dalam proses pengambilan keputusan akan lebih memungkinkan sebagai suatu akibat. Mempunyai komitmen yang jauh lebih besar pada sasaran dan tujuan organisasi. Pendekatan partisipatif tidak harus mengasumsikan bahwa para pemimpin tidak membuat keputusan. Sebaliknya, para pemimpin seharusnya memahami lebih dulu, apakah menjadi sasaran organisais sehingga mereka dapat mempergunakan pengetahuan para anggotanya. Pemimpin yang efektif yang menggunakan pendekatan partisipatif dalam merencanakan, mempengaruhi perubahaan, atau menyampaikan pada mereka sepenuhnya masalah, keperluan serta, sasaran organisasi. Kemudian pemimpin yang partisipatif akan menanyakan gagasangagasan kelompok dalam melaksanakan amanah organisasi. Pendekatan partisipatif cenderung menjadi luar biasa efektif dalam banyak situasi. Para pekerja juga menghasilkan perasaan harga diri yang lebih besar. Sering pengetahuan yang disatukan dan pengalaman para anggota suatu kelompok melebihi pengetahuan atau pengalaman sang pemimpin. Selanjutnya masalah-masalah yang dikerjakan secara kolektif sering melahirkan gagasan-gagasan baru,yang dihasilkan sebagai hasil

pertukaran antar pribadi. Implikasi atau dampak negatif yang biasa ditimbulkan oleh gaya kepemimpinan partisipasi adalah asumsi bahwa kebersamaan merupakan modal dasar dari teori ini sehingga apabila ada individu/kelompok yang tidak berkepentingan dalam pekerjaan, terutama mereka yang

menganggap kedudukan mereka semata-mata sebagai alat tujuan lain yang lebih memuaskan. Maka mereka lebih suka untuk menggunakan setiap energi pada pengambilan keputusan yang partisipatif. Selanjutnya para bawahan dalam organisasi haruslah selektif terhadap pendekatan partisipatif. sementara bawahan mungkin merasa para pimpinan tidak

becus bila mereka harus berunding dengan pekerja rendahan. Para bawahan mungkin merasa pendekatan partisipatif sebagai upaya untuk mengambil mereka. Dampak lain dengan pendekatan partisipatif adalah bahwa para anggota kelompok yang ide-idenya telah ditolak mungkin terasa asing. Pendekatan tersebut mungkin juga mendorong para pekerja untuk mengaharapkan partisipasi dalam semua keputusan masa depan, terlepas dari kerumitan suatu perkiraan yang mungkin manajemen tidak sanggup memenuhinya atau bila pekerja merasa bahwa merekan digunakan atau dipermainkan, mereka boleh menggunakan kekuatan kelompok terhadap manajemen. Partisipatif mungkin juga memakan waktu yang dapat merupakan sumber kekecewaan bagi seorang pemimpin yang tidak sabar. Beberapa pemimpin merasa tidak enak menggunakan partisipatif, terutama para pemimpin yang tidak mengembangkan iklim terbuka dari kepercayaan dari keyakinan dalam kelompok kerja mereka. Seorang pemimpin biasanya khawatir menggunakan kepemimpinan partisipatif takut akan kehilangan kekuasaan atas para pengikut mereka. Tetapi partisipasi oleh para pekerja sering menghilangkan rasa pemusuhan dan perlawanan, sebaliknya menciptakan iklim sikap kerja sama yang cenderung meningkatkan pengaruh para pemimpin atas bawahan mereka.

Melalui partisipasi, pemimpin memang menyerahkan sebagian dari otoritas mereka, tetapi lebih banyak memperoleh kekuasaan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan positif dalam kelompok.

c.

Gaya Kendali Bebas Atau Laissez Faire

Pendekatan ini tidak berarti tidak adanya sama sekali pimpinan,. Ini hanya berarti tidak adanya pimpinan langsung. Tentu saja pimpinan kendali bebas harus bekerja sesuai tujuan organisasi. Tetapi dengan pendekatan ini suatu tugas disajikan kepada anggota. Tetapi dengan pendekatan ini suatu tugas disajikan kepada anggota kelompok biasanya menetukan teknik mereka sendiri guna mencapai tujuan tersebut dalam kerangka sasaran-sasaran dan kebijaksanaan organisasi. Intinya sang pemimpin bertindak sebagai penghubung antara sumber luar dan kelompok serta menegaskan bahwa sumber daya yang diperlukan bagi mereka. Dalam beberapa hal, suatu pendekatan kendali bebas terhadap kepemimpinan merosot menjadi kekacauan, dalam hal-hal ini tidak adanya pimpinan langsung adalah wajar. Kendali bebas sering juga terdapat dalam pelataran pendidikan. Seseorang dekan jarang memberitahukan kepada profesor bagaimana melaksanakan pekerjaan mereka. Dekan biasanya memberitahukan subyek-subyek apa yang akan mereka beri. Dari penjelasan beberapa gaya kepemimpinan yang ada, tidak perlu ada suatu gaya kepemimpinan yang terbaik. Dalam beberapa hal bawahan seharusnya didorong untuk turut serta dalam membuat beberapa keputusan yang mempengaruhi tercapinya cita-cita organisasi. Tetapi dalam hal lain suatu pendekatan yang menentukan langsung disukai karena tekanan-

tekanan waktu atau sifat kelompok kerja. Gaya kepemimpinan terbaik bagi situasi tertentu tergantung pada faktor situasi, tipe pengikut, tipe pemimpin. Oleh karena itu untuk menjadi pemimpin yang efektif, seorang permimpin harus menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan variabel-variabel tersebut. Gaya kepemimpinan ini kalanya disebut sebgai manajemen kemungkinan atau situsional. Dari berbagai penjelasan tentang gaya kepemimpinan yang telah diuraikan sebelumnya,maka sebagai landasan teori yang utama dalam penelitian ini akan diuraikan lebih khusus mengenai teori kepemimpinan situasional yang dikemukakakn oleh Paul Heresy dan Kenneth H. Blanchard. Kepemimpinan situasional menurut Blanchard seperti dalam kutipan Thoha (2002,hal.278) adalah didasarkan pada saling berhubungan diantara hal-hal berikut ini : 1. Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh

pemimpin.(prilaku tugas/pengarahan). 2. Jumlah dukungan sensasional yang diberikan oleh

pemimpin (prilaku hubungan/dukungan. 3. Tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut/bawahan

yang tunjukan dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi atau tujuan tertentu. Dengan demikian walaupun terdapat banyak variabel situasional seperti yang telah dikemukakan diatas, akan tetapi yang paling utama dalam kepemimpinan situasional hanyalah pada prilaku pemimpin dan bawahan saja. Dalam hubungannya dengan prilaku pemimpin terhadap bawahan terhadap dua hal, yaitu : Prilaku pengarahan dan prilaku menunjang.

Prilaku pengarahan adalah sejauh mana pemimpin melibatkan diri dalam komunikasi satu arah, memberitahukan dan menetapkan apa dan bagaimana serta peranan yang seharusnya dikerjakan atau dilaksanakan oleh pengikut, melakukan pengawasan secara ketat kepada bawahannya. Sedangkan perilaku menunjang adalah sejauh mana seorang pemimpin melibatkan diri dalam komunikasi dua arah misalnya: mendengarkan, menyediakan dukungan, dan dorongan interaksi dan melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan Perpaduan atau kombinasi dari kedua perilaku utama dari pemimpin ini menghasilkan empat dasar kepemimpinan, keempat gaya kepemimpinan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Gaya 1 : Intruksi yaitu seorang mpemimpin menunjukkan perilaku yang banyak memberikan pengarahan (dalam perilaku tugas) dan sedikit dukungan (dalam perilaku hubungan). Pemimpin memberikan instruksi yang spesifik tentang peranan dan tujuan para pengikutnya,dan secara ketat mengawasi pelaksanaan tugas mereka secara dicirikan dengan komunikasi satu arah. Inisiatif pemecahan masalah dan pembuatan keputusan semata-mata dilakukan oleh pemimpin. Pimpinan memberikan batasan peranan pengikut dan memberitahukan mereka tentang apa, bagaimana, bilamana dan dimana melaksanakan tugas. 2. Gaya 2 : Konsultasi yaitu pemimpin menunjukkan perilaku yang banyak mengarahkan dan banyak memberikan dukungan. Pemimpin dengan gaya ini mau menjelaskan dengan keputusan dan kebijaksanaan yang diambil dan mau menerima pendapat dari pengikutnya, tetapi pemimpin masih harus tetap terus memberikan pengawasan dalam

menyelesaikan

tugas-tugas

pengikutnya

atau

bawahanya

serta

pengambilan keputusan tetap pada pemimpin. 3. Gaya 3 : Partisipasi yaitu pengarahan, pemimpin menyusun keputusan bersama dengan bawahan dan saling bertukar ide/gagasan serta mendukung usaha-usaha mereka dalam menyelesaikan tugas. Posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dipegang secara berganti. Komunikasi dua arah ditingkatkan dan peranan pemimpin secara arif mendengarkan. Hal ini wajar karena bawahan telah memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas. 4. Gaya 4 : Delegasi yaitu perilaku pemimpin yang memberikan sedikit dukungan dan sedikit pengarahan. Pemimpin dengan gaya ini

mendelegasikan secara keseluruhan keputusan-keputusan dan tanggung jawab pelaksanaan tugas kepada bawahannya. Sehingga bawahan hanyalah yang memiliki control untuk memutuskan tentang bagaimana cara pelaksanaan tugas. Pemimpin memberikan kesempatan yang luas bagi bawahan untuk melaksanakan petunjuk bagi mereka sendiri karena mereka memiliki kemauan dan keyakinan untuk memikul tanggung jawab dalam pengarahan perilaku mereka sendiri. Salah satu bentuk perhatian dalam kepemimpinan situsional adalah memperhatikan tingkat

kematangan bawahan. Kematangan (maturity) bawahan dalam hal ini adalah kemampuan dan keamanan dari orang-orang untuk bertanggung jawab dalam mengarahkan perilakunya. Menurut Sondang P. Siagian salah satu bentuk perhatian dalam kepemimpinan situasional adalah memperhatikan tingkat kematangan

bawahan. Kematangan (maturity) bawahan dalam hal ini kemampuan dan

kemauan dari orang-orang untuk bertanggung jawab dalam mengarahkan perilakunya. Sutarto 1995, berpendapat bahwa tingkat kematangan terdiri dari dua dimensi, job Naturity (kematangan kerja) dalam phsycological maturity (kemanpuan jiwa). Kematangan jiwa berhubungan dengan ability

(kemanpuan) sedangkan kematangan jiwa berhubungan dengan willingnes (kemauan). Lebih jauh mereka mengatakan tingkat kematangan bawahan dapat diperinci menjadi empat serta hubungannya dengan gaya

kepemimpinan yang digunakan, yaitu : 1. Tingkat kematangan rendah (M1) dengan ciri ; tidak mampu dan tidak mau atau tidak menatap. Gaya kepemimpinan yang digunakan untuk mempengaruhi perilaku bawahan pada tingkat ini adalah gaya

kepemimpinan intruksi (G1). 2. Tingkat kematangan rendah ke tingkat kematangan madya (M2). Dengan ciri ; tidak mampu tetapi mau dan yakin. Gaya kepemimpinan yang sesuai digunakan adalah partisipasi (G3). 3. Tingkat kematangan madya ke tingkat kematangan tinggi (M3), dengan ciri ; mampu tetapi tidak mau atau tidak mantap. Gaya kepemimpinan yang tepat digunakan adalah partisipasi (G3). 4. Tingkat kematangan tinggi (M4), dengan ciri : mampu/cakap dan mau atau yakin. Delegasi (G4) menjadi gaya kepemimpinan yang cocok untuk mempengaruhi perilaku yang tingkat kematangan tinggi. Keempat gaya kepemimpinan diatas tidak ada yang lebih baik atau yang lebih buruk. Hal ini tergantung dari situasi kelompok yang dipimpin. Variabel-variabel dari faktor situasi lainnya yang turut berpengaruh antara lain

: waktu, tuntutan tugas, organisasi, harapan-harapan dan kemauan atasan/pimpinan, teman sejawat dan bawahan. Walaupun variabel-variabel ini tidak memberikan kemungkinan bagi pemimpin untuk menguji ketepatan bagi semua variabel diatas sebelum menemukan gaya mana yang diterapkan. Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan situasi tertentu. Teori tentang gaya kepemimpinan situasional yang dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard diatas, disebut sebagai lifecycle (teori siklus hidup). Kedua ilmuwan ini berpendapat bahwa pemimpin perlu merubah gaya kepemimpinan pada tiap tahap tertentu sesuai tingkat hubungan atasan atau pimpinan dengan bawahan atau tingkat kematangan bawahan. Dengan memperaktekkan teori siklus kehidupan diatas maka akan melahirkan pemimpin yang dinamis, pemimpin yang secara terus menerus mengamati perkembangan kemampuan, kemauan, motivasi, pengalaman dan prestasi bawahannya guna memilih dengan tepat gaya kepemimpinan yang akan diterapkan sehingga tingkat produktivitas organisasi dapat tercapai.

D. Produktivitas Kerja. Sumber-sumber ekonomi yang digerakkan secara efektif memerlukan keterampilan dan teknis sehingga mempunyai tingkat hasil guna yang tinggi. Artinya, hasil yang diperoleh seimbang dengan masukan yang diolah. Melalui berbagai perbaikan cara kerja, pemborosan waktu, tenaga dan berbagai input lainnya akan bisa. Yang jelas, waktu tidak terbuang sia-sia, tenaga dikerahkan secara efektif dan pencapaian tujuan usaha biasa terselenggara dengan baik, efektif dan efesien, (di kutip dalam bukunya Komaruddin).

Hal inilah yang dimaksud dengan produktivitas. Ruang lingkup pengertian dan penghayatan produktivitas perlu kita lihat secara mendalam. Kita tidak bisa memandang sepotong-potong atau apriori karena dibalik pengertian sederhana dibalik produktivitas, terkandung sesuatu kekuatan besar yang dapat mempercepat proses pertumbuhan suatu bangsa. Pada dasarnya produktivitas mencakup sikap mental patriotik yang memandang hari depan secara optimis dengan berakar pada keyakinan diri bahwa kehidupan hari ini adalah lebih baik dari hari kemarin dan hari esok adalah lebih baik dari hari ini. 1. Pengertian Produktivitas Secara umum produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik dengan masukan yang sebenarnya, misalnya,

produktivitas adalah ukuran efesiensi dengan produktif. Suatu perbandingan antara hasil keluaran dan masukan out put : input. Masukan sering dibatasi dengan tenaga kerja pegawai, sedangkan keluaran diukur dalam kesatuan fisik bentuk dan nilai. Nitisemito (1996) mengatakan bahwa produktivitas adalah

perbandingan antara out put dengan input. Pengertian ini ditunjukan kepada suatu bentuk perusahaan yang berorientasi laba. Sehingga produktivitas harus dihitung antara nilai jasa atau nilai jual dengan biaya yang dikeluarkan dalam nilai tersebut. Semetara Susilo (1990) mengatakan bahwa bahwa produktivitas merupakan hubungan antara keluaran berupa barang dan jasa dengan masukan dalam proses produksi. Pengertian ini juga diperuntukkan bagi organisasi profit, dimana penjualan yang dilakukan harus mampu meraih

keuntungan lebih besar dari apa yang dikeluarkan, sehingga hal ini juga menunjukkan bahwa perusahaan telah menciptakan produktivitas. Dalam doktrin Konferensi Oslo, yang dikutip oleh Sinungan, 1984 tercantum defenisi umum produktivitas, yaitu suatu konsep yang bersifat universal yang bertujuan untuk menyediakan lebih banyak barang dan jasa untuk banyak manusia dengan menggunakan sumber-sumber rill yang semakin sedikit. Lebih lanjut kutipan Sinungan tersebut dalam bukunya produktivitas apa dan bagaimana dikatakan bahwa produktivitas adalah suatu pendekatan interdisipliner untuk menetukan tujuan yang efektif, pembuatan rencana, aplikasi perencanaan, aplikasi penggunaan cara yang produktif atau efektif, pembuatan rencana, aplikasi perencanaan, aplikasi penggunaan cara yang produktif untuk menentukan sumber-sumber lain menuju pada pengembangan dan peningkatan standar hidup untuk seluruh masyarakat melalui konsep produktivitas total. Berbagai referensi dan penjelasan sebelumnya banyak sekali

pengertian produktivitas, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : a. Rumusan tradisional bagi keseluruhan produktivitas tidak lain ialah ratio dari pada apa yang dihasilkan (output) terhadap keseluruhan peralatan produksi yang dipergunakan (input). b. Produktivitas pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini lebih baik dari pada kemarin.

c.

Produktivitas merupakan interaksi terpadu secara serasi dari tiga faktor esensial, yaitu : investasi termasuk penggunaan pengetahuan dan teknologi serta riset, manajemen dan tenaga kerja. 2. Pengertian Kerja Adapun pengertian kerja dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah

kegiatan melakukan sesuatu yang dilakukan mencari nafkah, hal ini sejalan dengan pernyataan Kartini (1994, hal. 18) bahwa kerja atau bekerja adalah suatu hal yang penting untuk menghidupi kehidupan sendiri, sekaligus untuk menjamin rasa berguna, dikehendaki, dibutuhkan dan yang pasti memberikan promosi, persahabatan, komunikasi sosial yang terbuka, berkedudukan terbuka, kedudukan sosial, prestise dan status. Dari penjelasan tentang kerja diatas maka dipahami bahwa kerja adalah suatu kegiatan atau aktifitas untuk melakukan sesuatu yang mendorong dan mengerakkan orang lain maupun diri sendiri guna memenuhi atau memuaskan kebutuhan sehingga tergerak untuk melakukan aktifitas atau kegiatan kerja dalam rangka pencapaian tujuan. Sehubungan dengan hal diatas maka aktifitas kerja adalah merupakan latar belakang bentuk perilaku seseorang. Terkhusus untuk perilaku kerja bawahan maka hal tersebut dapat dipengaruhi atau dirangsang oleh pimpinan melalui perilaku kepemimpinannya. Dalam hal ini pemimpin mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha membangkitkan, meningkatkan, dan mempertahankan produktivitas kerja bawahannya maupun atasan kesemuanya adalah merupakan hal yang sangat penting dalam pencapaian tujuan suatu organisasi, terkhusus untuk pemenuhan kebutuhan personal.

Sedikit

berbicara

tentang

kebutuhan,

maka

penulis

akan

mengemukakan beberapa teori kebutuhan yang dipandang relevan dengan penelitian ini, antara lain dikemukakan oleh Abraham Maslow dan Clynton P. P. Aldelfer. Dengan asumsi bahwa teori ini mempunyai penjelasan yang sederhana dan sistematis serta disamping itu juga penulis menganggap bahwa dari pembahasan tersebut sangat identik dengan sebagian besar kebutuhan para pegawai dalam organisasi yang berimplikasi pada

peningkatan produktivitas kerja pegawai tersebut. Bahkan teori yang dikemukakan oleh Aldelfer mendekati kenyataan hidup sehari-hari. Menurut Siagian (1989) bahwa pengalaman banyak manajer

membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa kebutuhan manusia yang kompleks harus diusahakan pemuasannya secara simultan, meskipun sudah barang tentu dengan tingkat intesitas yang berbeda-beda. Manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai mahkluk sosial mempunyai berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan material maupun kebutuhan nonmaterial. Menurut Maslow dalam kutipan

Wahyusumidjo (1987) menyusun hirarki kebutuhan yang didasarkan pada prinsip sebagai berikut : a. b. Manusia adalah binatang yang berkeinginan Setelah salah satu kebutuhan terpenuhi, maka kebutuhan lain

akan muncul. c. Kebutuhan manusia nampak diorganisir kedalam kebutuhan

yang bertingkat.

d.

Segera

setelah

kebutuhan

itu

terpenuhi,

maka

mereka

mempunyai pengaruh yang dominan dan kebutuhan yang lain lebih meningkat mulai mendominasi. Adapun jenjang kebutuhan atau hirarki kebutuhan yang dikemukan oleh Maslow meliputi lima jenjang yaitu : a. Kebutuhan mempertahankan hidup (phisicological need), meliputi 3 hal yaitu ; sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer untuk memenuhi kebutuahan pisikologis dan biologis. b. Kebutuhan rasa aman (safety needs), meliputi kebutuhan akan keamanan jiwa, dimana manusia berada, kebutuhan keamanan harta, perlakuan yang adil, dan jaminan hari tua. c. Kebutuhan sosial (social needs) meliputi kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain (sense of belonging), kebutuhan maju tidak gagal (sense of achiment), dan kebutuhan untuk ikut serta (sense participation). d. Kebutuhan akan penghargaan/prestise (esteem needs), semakin tinggi status semakin tinggi pula prestisenya. Prestise dan status ini dimanifestasikan dalam banyak hal misalnya, tingkat keamanan, mobil mewah, kamar kerja, dan lain-lainnya. e. Kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja (self acyualization),. Kebutuhan ini tampak pada keinginan mengembangkan kapasitas mental dan kapasitas kerja melalui on the job trainer, seminar, konferensi, pendidikan akademis, dan lain-lain. Selain pendapat Maslow, Alderfer memadatkan teori kebutuhan Maslow menjadi 3 (tiga) bentuk kebutuhan kebutuhan yaitu : eksistensi,

kekerabatan, dan perkembangan). Teori kebutuhan Alderfer ini dikenal dengan teori ERG (eksistensi need, related needs, grwth need) yaitu : a. Eksistensi needs atau pemenuhan yang dapat menjamin kelangsunagn hidup manusia, seperti makanan, minuman, penghasilan, yang dapat memenuhi kebutuhan pokok pegawai dan keluarga serta kondisi fisik dan mental pisikologis pekerja yang menyenangkan. b. Relateness needs atau pemenuhan kebutuhan untuk diterima oleh semua pihak dalam pergaulan sosial, seperti keluarga, atasan atau pimpinan, teman sejawat, bawahan bahkan dengan lawan politik sekalipun. c. Growth needs atau pemenuhan kebutuhan untuk

memenuhi kebutuhan citra yang baik sebagi bukti kreatifitas pribadi yang berpengaruh terhadap diri dan semua pihak dalam lingkungannya. Adapun penelitian yang menganggap bahwa teori ERG adalah penyederhanaan dari teori Abraham Maslow. Memang secara sepintas ada persamaan antara keduanya namun sesungguhnya ada perbedaan

konseptual dan mendasar, yaitu bahwa Alderfer menekankan ketiga jenis kebutuhan pemuasannya secara simultan tidak berdasarkan tingkat

kebutuhan seperti yang dikemukakan oleh Maslow.

E. kerja

Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan Dengan Produktivitas

Kepemimpinan merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam pencapaian tujuan organisasi. Kemampuan seseorang pemimpin untuk menggerakkan dan mempengaruhi bawahan agar bekerja lebih produktif dipengaruhi oleh faktor gaya kepemimpinan. Secara individu, manusia mempunyai karakteristik khusus dan tiap-tiap manusia mempunyai

pendekatan tersendiri untuk mau dipengaruhi dan mempengaruhi orang lain. Dengan kata lain perilaku atau gaya kepemimpinan yang tepat meyebabkan pemimpin dapat menggerakkan bawahan untuk dapat berbuat kearah tercapainya tujuan organisasi (Sondang P. Siagian). Sekalipun kepemimpinan adalah faktor penentu dalam pencapaian tujuan organisasi tidak bisa dipungkiri bahwa peran aktif para bawahan sebagai pelaksana kegiatan organisasi juga menjadi salah satu faktor yang sangat penting. Bawahan yang bekerja dengan tanggung jawab mampu meningkatkan produktivitas organisasi. Begitu pula sebaliknya seorang pemimpin yang mau sukses harus mampu melihat dan mengatasi karakter bawahan sehingga mendorong bawahan bekerja dengan baik. Pemimpin mempunyai tugas utama untuk mengetahui apa-apa yang dapat mendorong orang yang dipimpin agar bersedia untuk mencapai tujuan yang telah dikemukakan sebelumnya, (dikutip dalam bukunya Winardi). Begitupun para bawahan cenderung bekerja dengan semangat tinggi apabila apa yang didapatkan sesuai dengan keinginan. Hal ini sesuai dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa pada dasarnya alasan seseorang bekerja dengan semangat tinggi adalah karena pekerjaan tersebut

memberikan apa yang dicapainya.

Akhirnya jelaslah bahwa salah satu unsur atau faktor yang dapat meningkatkan produktivitas kerja pegawai atau bawahan adalah gaya kepemimpinan yaitu perilaku pemimpin yang ditampilkan dalam usahanya mempengaruhi bawahan untuk lebih produktif. Jika gaya kepemimpinan yang diterapkan sesuai dengan kondisi rill yang terjadi pada suatu organisasi maka akan tercipta produktivitas organisasi khususnya produktivitas kerja pegawai atau bawahan yang berimplikasi pada pencapaian tujuan bersama.

BAB III METODE PENELITIAN

A.

Tempat Dan Waktu Penelitian Adapun lokasi dijadikan sebagai obyek dalam penelitian ini adalah

pada kantor Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Gowa. Sedangkan waktu penelitian yang direncanakan kurang lebih dua bula mulai dari bulan Juli sampai Agustus 2007

B.

Metode Penarikan Sampel Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

pegawai pada Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Gowa. Berdasarkan data skunder dari bagian Humas, tahun 2007 berjumlah 93 orang, antara lain : Kepala Dinas, Wakil Kepala Dinas, Kepala Bagian, kepala sub dinas, kepala seksi, Staff dan dibantu beberapa tenaga honorer. Memperhatikan besarnya jumlah populasi pada kantor Dinas

Pendidikan Nasional Kabupaten Gowa sebanyak 93 orang, maka peneliti menetapkan sampel sebanyak 15 % dari 93 yaitu 13,95 = 13 sampel, dengan pengambilan sampel melalui teknik strafied random sampling, berarti penulis menetukan berapa sampel tiap strata dalam kepemimpinan atau

pengambilan sampel secara proporsional.

C.

Metode Pegumpulan Data. Adapun metode pengumpulan data yang dilaksanakan oleh penulis

adalah :

1. Observasi (pengamatan), yaitu pengumpulan data dengan cara mengamati obyek penelitian secara lansung mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penulisan ini. 2. Intervew (wawancara), yaitu pengumpulan data dengan tanya jawab langsung kepada responden yang dilakukan secara sistematis. 3. Angket (kuisioner), yaitu pengumpulan data melalui penyebaran angket kepada sejumlah pegawai yang menjadi sampel yang berisi pertanyaanpertanyaan tentang identitas responden. 4. Tinjauan kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan menelaah literaturliteratur maupun dokumen yang erat hubungannya dengan penulisan ini.

D.

Jenis Dan Sumber Data. Untuk memudahkan pengelolaan dan menjamin kemurnian data yang

digunakan maka jenis dan sumber data adalah sebagai berikut : 1. Jenis data. a. Data kualitatif, yaitu data yang berupa keterangan-keterangan atau informasi tentang kondisi Kantor Dinas Pendidikan Nasional

Kabupaten Gowa. b. Data kuantitatif, yakni seperangkat data yang diperoleh pada Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Gowa.

2.

Sumber data. a. Data primer, yaitu data yang sifatnya baku dan belum diolah, bersumber dari observasi, wawancara, dan kuisioner.

b. Data sekunder, yaitu data yang bersumber dari pihak lain yang relevan dengan penulisan ini.

E.

Metode Analisis Karena dalam penelitian ini menggunakan teknik angket. Dengan cara

ini diharapkan sebagian besar data yang dibutuhkan dapat diperoleh. Angket yang diedarkan kepada responden berisi pertanyan-pertanyaan tentang variabel-variabel yang akan diukur atau ingin diketahui. Setiap item pertanyaan diberi 4 (empat) alternative jawaban, masingmasing jawaban diberi bobot sebagai berikut : a. b. c. d. Alternatif jawaban SL (selalu) Alternatif jawaban SR (sering). Alternatif jawaban KK (kadang-kadang) Alternatif jawaban TP (tidak pernah). bobot nilai = 4 bobot nilai = 3 bobot nilai = 2 bobot nilai = 1

Khusus untuk mengukur variabel gaya kepemimpinan yang ditentukan dalam angket ditetapkan dalam kriteria-kriteria seperti dijelaskan dalam tabel dibawah ini :

Tabel 1 Kriteria Penentuan Gaya Kepemimpinan

Alternatif Jawaban Item Selalu pertanyaan (SL)

Sering (SR)

Kadang-

Tidak Pernah

Kadang (KK) (TP)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Keterangan :

G3 G1 G3 G3 G1 G4 G4 G2 G1 G1 G1 G1 G1

G4 G2 G2 G2 G2 G3 G3 G3 G2 G2 G2 G2 G2

G2 G3 G4 G4 G3 G2 G2 G4 G3 G3 G3 G3 G3

G1 G4 G1 G1 G4 G1 G1 G1 G4 G4 G4 G4 G4

G1 = Gaya kepemimpinan intruksi (tinggi pengarahan, rendah dukungan) G2 = Gaya kepemimpinan konsultasi (tinggi pengarahan, tinggi dukungan) G4 = Gaya kepemimpinan partisipasi (rendah pengarahan, tinggi dukungan) G4 = Gaya kepemimpinan delegasi (rendah pengarahan, rendah dukungan) Sedangkan untuk pengukuran variabel tingkat produktivitas kerja digunakan kriteria tertentu yaitu : jika nilai total point dari jawaban mengenai produktivitas kerja berada dalam interval sebagai berikut : 13 s/d 23 berarti sangat rendah 24 s/d 33 berarti rendah/sedang. 34 s/d 45 berarti tinggi . 46 s/d 56 berarti sangat tinggi. Untuk menilai gaya kepemimpinan yang diterapkan dan tingkat produktivitas kerja pegawai digunakan analisa statistik prosentase menurut Husaini Usman, dengan rumusan sebagai berikut : Fi Fi % = n X 100 %

Dimana : Fi = Frekuensi banyaknya n = Jumlah sampel

Sedangkan

untuk

menjawab

permasalahan

utama

dan

untuk

kepentingan yang diajukan dalam penelitian ini digunakan analisa regresi dan korelasi menurut Husaini Usman, dengan formula sebagai berikut : Y = a + bX

Dimana : Y = Produktivitas kerja X = Gaya Kepemimpinan a = Konstanta b = Koefisien regresi

untuk mencari nilai a dan b, digunakan metode least square parameter regresi sebagai berikut : ( Y) (X2) (X) (XY) a= n (X2) (X2)

nilai b dihitung dengan rumus : n Y (X) (XY) b=

n (X2) (X2)

Setelah mengetahui persamaan regresi, maka selanjutnya untuk mengetahui kuat tidaknya hubungan variabel yang diteliti diukur dengan menggunakan teknik analisis korelasi produk moment dari Person. Analisis ini untuk menguji Dugaan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja pegawai pada Dinas Pendidikan

Nasional Kabupaten Gowa. Sebagai langkah awal adalah mengetahui apakah ada hubungan antara variabel Gaya Kepemimpinan (X) dengan variabel produktivitas kerja pegawai (Y) yaitu dengan rumus sebagai : berikut

{ n X ( ( X)Y Y)( }
r=

{n X {} n X ( Y) }
2 2 2

Untuk mengetahui besarnya nilai r secara kualitatif, maka digunakan patokan interpretasi nilai r seperti yang tertera pada tabel dibawah ini : Tabel 2 Interpertasi Nilai r Besarnya nilai r 0,800 s/d 1,000 0,600 s/d 0,799 0,400 s/d 0,399 0,200 s/d 0,399 0,001 s/d 0.199 Interpretasi Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah

Langkah terakhir adalah mencari berapa besar pengaruh variabel X terhadap variabel Y yaitu dengan cara mencari koefisien determinasi dengan rumus : KD = r2 Dimana : KD = Koefisien Determinasi. r = Koefisien korelasi

DAFTAR PUSTAKA Hanafi M. Mamduh. Yohyakarta. 1997. Manajemen , Penerbit UPP AMP YKPN,

Kartini Kartono. 1994. Pemimpin Dan Kepemimpinan : Apakah pemimpin Banormal itu? , Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Keating. 1993. kepemimpinan : Kanisius, Yogyakarta. Teori Pengembangannya, Penerbit

Komaruddin. Analisa Organisasi Manajemen Modern, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta Martoyo. S, 1992. Manajemen Sumber Daya Manusia, edisi kedua Penerbit BPFE, Yoyakarta. Moeftie. W. 1987. Dimensi Kepemimpinan Dalam Manajemen. Penerbit balai Pustaka, Jakarta. Nitisemito, Alex S. (1996), Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia), penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Permadi, (1996). Pemimpin Dan Kepemimpinan Dalam Manajemen. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta. Susilo, Martoyo. (1990). Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit BPFE. Yogyakarta. Sinungan, Murdarsyah, (2003). Pruduktivitas Apa Dan Bagaimana, cetakan kelima. Penerbit PT. Bumi Aksara, Jakarta. Sutarto, (1995). Dasar-Dasar Kepemimpinan Administrasi, penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Siagian, S.P. (1989). Teori Motivasi Dan Praktek Kepemimpinan, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. Thoha, Miftah, 2002. Kepemimpinan Dalam Manajemen, kedelapan Penerbit Raja Grafindo Persada Jakarta. Cetakan

.., 2002. Perilaku Organisasi ; Konsep Dasar dan Aplikasinya, Cetakan Ketigabelas, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Usman Husaini, (1995). Pengantar Statistika. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara.

Wahyusumdjo, 1987. Kepemimpinan Dan Motivasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Winardi, (1983). Pemimpin Dan Kepemimpinan Dalam Manajemen. Penerbit Alumni Bandung. Bandung

You might also like