You are on page 1of 45

HUKUM INTERNASIONAL

KEDAULATAN ATAS WILAYAH


(Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional)

Disusun oleh :

Armi Anggara Liely Noor Qadarwati Lasma Natalia H. P. Mayang Kemulandari Yamin Vicky Veronika Aruan Gita Santika Amalia Trie Nurul Widia W. Saskia Wahyu Riani Mulyana

110110080085 110110080092 110110080096 110110080122 110110080128 110110080131 110110080134 110110080135 110110080138

Pembimbing :

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN 2010

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Putusan Mahkamah Internasional, International Court of Justice (ICJ)

tanggal 17 Desember 2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia. Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air. Pasca-kehilangan Sipadan-Ligitan, perhatian publik dan Pemerintah Indonesia pada nasib pulau-pulau terluar lainnya meningkat pesat.

"Pencaplokan" dua pulau di sisi timur Pulau Kalimantan itu oleh Malaysia jadi pelajaran penting bagi Pemerintah Indonesia, yang dituding tak sanggup menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Tak jarang trauma Sipadan-Ligitan membuat isu pencaplokan pulau terluar bergerak bak bola liar. Inilah yang terjadi pada isu pencaplokan Pulau Miangas oleh Filipina yang beredar di publik sepanjang pekan lalu. Desakan agar pemerintah bertindak cepat dan tegas pun mengemuka dari banyak kalangan, mulai wakil rakyat, pengamat politik, hingga masyarakat. Kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang

dipersatukan oleh lautan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa telah melahirkan suatu budaya politik persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam usaha mencapai kepentingan, tujuan dan

cita-cita nasional, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang harus ditanggulangi. Salah satu bentuk ancaman tersebut adalah masalah perbatasan NKRI yang mencuat beberapa pekan terakhir ini yaitu klaim Negara Philipina atas pulau Miangas yang secara posisi geografis kedudukannya lebih dekat dengan negara tetangga yang diindikasikan memiliki keinginan memperluas wilayah. Hal-hal yang pada dasarnya melatarbelakangi terjadinya tindakan klaim wilayah Indonesia oleh Negara lain pada dasarnya dilatar belakangi oleh hal-hal sebagai berikut : 1. Letak geografis di persimpangan jalan antara Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia dan Benua Asia dan Australia sehingga sering dilewati pelayaran Internasional. 2. Struktur negeri yang berbentuk kepulauan dengan panjang pantai lebih dari 80.000 km terpanjang didunia yang pada umumnya terbuka di kawasan sekitar 8 juta km
2

yang tersebar secara tidak teratur yang

didiami oleh penduduk secara tiadak merata bahkan masih banyak pulaupulau yang tak berpenduduk. 3. Isu-isu globalisasi terutama yang menyangkut demokratisasi hak asasi manusia ,liberalisasi ekonomi dan informasi telah meningkatkan

kerawanan-kerawanan di daerah perbatasan. 4. Masih ada batas-batas laut negara yang sudah dirundingkan dan disepakati secara bilateral ,belum memiliki pengakuan secara

Internasional dikarenakan batas-batas laut tersebut belum didepositkan di PBB. Kedaulatan territorial sangat penting bagi suatu negara, karena sebagaimana memiliki arti yaitu kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Didalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya.1
Hans Kelsen, Principles of International Law, New York : Rinehart & Co .,1956, hlm.212. Dikutip dari Huala Adolf Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional; Jakarta,2002,hlm 111.
1

Hakim Huber dalam kasus yang terkenal The Island of Palmas mengungkapkan bahwa dalam kaitannya dengan wilayah ini, kedaulatan mempunyai dua ciri yang sangat penting :2 1. Kedaulatan merupakan prasyarat hukum untuk adanya suatu negara 2. Kedaulatan menunjukan negara tersebut merdeka yang sekaligus juaga merupakan fungsi dari suatu negara. Sehingga apabila kita melihat pentingnya kedaulatan yang ada di suatu negara menjelaskan bahwa suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusifnya keluar dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah negara lain. Hal inilah yang membuat kami tertarik untuk mencari dan memahami teori-teori yang berkaitan dengan kedaulatan, terutama kedaulatan territorial perairan. Wilayah kedaulatan suatu negara mencakup pula ruang udara diatas wilayahnya, juga meliputi ruang angkasa. Hal ini menjadi penting sebab, sering terjadi pelanggaran-pelanggara terhadap kedua hal tersebut, seperti masuknya pesawat udara ke dalam suatu negara tanpa izin ke dalam wilayahnya, karena alasan itulah negara-negara menjadi semakin sadar akan peranan ruang udara dan ruang angkasa terhadap setiap pelanggaran terhadap kedua hal tersebut. Hal ini dapat berakibat fatal bagi negara tersebut.

1.2.

Rumusan Masalah Dalam membuat makalah ini, kami membatasi rumusan masalah yang

menjadi kajian landasan teori dan pembahasan kelompok kami yaitu pada hal-hal berikut : 1. Apakah yang dimaksud dengan kedaulatan atas wilayah : a. Laut territorial b. Zona tambahan c. Zona Ekonomi Ekslusif
2

Op cit. hlm 112

d. Laut Lepas e. Antartica dan Artic 2. Apakah yang dimaksud dengan kedaulatan atas ruang udara dan angkasa? 3. Apakah hubungan antara teori kedaulatan dan cara pendudukan wilayah jika dihubungkan dengan kasus : a. Island of Palmas Case (1928) b. Western Sahara Case (1975)

1.3.

Tujuan pembahasan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah : 1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional 2. Untuk dapat mengetahui dan memahami teori teori mengenai : y y y Kedaulatan atas wilayah Kedaulatan atas ruang udara dan angkasa Hubungan antara teori-teori kedaulatan tersebut dengan kasus Island of Plamas Case (1928) & kasus Western Sahara Case (1975).

BAB II KAJIAN TEORI

2.1. Kedaulatan Atas Wilayah Laut

Laut Teritorial

Pasal 2 konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya , termasuk ruang udara diatasnya dab dasar laut serta tanah dibawahnya. Dalam hukum laut baru ini pun kedaulatan negara tetap dibatasi dengan hak lintas damai bagi kapal asing (Pasal 7 dst). Disamping ketentuan mengenai garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial (garis air rendah, garis pangkal lurus dan garis penutup) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, konvensi memuat ketentuan yang lebih terperinsi mengenai beberapa keadaan khusus yang dapat memengaruhi penetapan garis pangkal, seperti instalasi pelabuhan, tempat berlabuh di tengah laut dan elevasi surut (pasal 11,12, dan 13). Dalam hal ini adalah adanya kenyataan dimana telah dicapai kesepakatan mengenai batas terluar laut territorial , yaitu 12 mil laut diukur dari garis pangkal (pasal 4) . dengan demikian, hal ini merupakan pemecahan terhadap suatu masalah yang belum terselesaikan pada konferensi hukum laut. Yang pertama dan kedua , yang diadakan pada tahun 1958 dan 1960. Untuk beberapa negara tertentu , batas 12 mil ini merupakan perluasan laut teritorialnya, sedangkan untuk beberapa negara lainnya hal ini diartikan sebagai kegagalan konvensi untuk mengesahkan tuntutan mereka yang lebih luas. Belanda termasuk kelompok pertama dan peraturan perundang-undangan yang memperluas laut teritorialnya hingga 12 mil telah disahkan dan mulai berlaku pada tahun 1958 Lebih jauh lagi , lebar laut territorial 12 mil ini mengakibatkan beberapa selat yang menurut hukum laut klasik termasuk pengaturan laut lepas, kini

tunduk pada pengaturan laut territorial; kebebasan berlayar yang dahulu dinikmati di laut lepas kini tidak diperoleh lagi di selat-selat tersebut . menegani hal ini , konvensi mencanntumkan beberapa ketentuan khusus untuk selat-selat tertentu , dimana hak lintas damai dianggap tidak mencukupi lagi . hal ini akan dibahas lebih lanjut secara terinci dalam hubungannya dengan rezim hukum tentang pelayaran. Akhirnya , konvensi memuat ketentuan-ketentua untuk penetapan batas laut territorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan dan berdampingan , apabila tidak ada persetujuan yang menyatakan sebaliknya, tidak satu negarapun yang berhak menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah , yaitu suatu garis yang titik-titiknya sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial masing-masing negara.

Zona Tambahan

Pada suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial, negara pantai dapat berusaha mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya sekaligus dapat menerapkan hukumnya (pasal 33). Dengan demikian, lebar jalur tambahan ini juga telah diperluas apabila dibandingkan dengan jalur tambahan ini juga telah diperluas apabila dibandingkan dengan jalur tambahan menurut hukum laut klasik. Dalam pasal 33 yang dibandingkan dengan pasal 24 konvensi 1958), menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangannya menyangkut bea cukai, fiscal, imigrasi, dan saniter di dalam wilayahnya atau laut teritorialnya , dan menghukum

setiap pelanggran demikian. Namun demikian , zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur .3

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Zee diartikan sebagai suatu daerah diluar laut territorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial (pasal 55 dan 57). Menurut pengertian pasal 56, negara pantai di zee dapat menikmati beberapa hal berikut.4 1. Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksploitasi , konservasi , dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah dibawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energy dari air, arus, dan angin). 2. Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan, serta perlindungan laut. 3. Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi. Indonesia meratifikasi konvensi Hukum laut internasional (UU nomor 17 tahun 1985) 5: y Sebagian merupakan terkodifikasi ketentuan-ketentuan hukum di laut lepas dan hak lintas damai laut internasional. y Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada , misalnya ketentuan mengenai lebar laut territorial menjadi maksimum 12 mil laut dengan kriteria landas kontinen.

J.G Starke Pengantar Hukum Internasional Sinar grafika, jakarta 1997. Hal. 351 Hlm.11 Heru Prijanto Hukum Laut Internasional Bayumedia publishing. 2007 Malang 5 P Joko Subagyo ,SH. Hukum laut Indonesia 1993, jakarta halm. 58
4

Sebagian merupakan rejim-rejim hukum baru , seperti asas negara kepulauan , ZEE dan penambangan di dasar laut internasional.

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)6 Wilayah perekonomian yang merupakan zoa laut dengan kewenangan sebatas di bidang perekonomian saja masing-masing memberikan

kemudahan-kemudahan lain sepanjang berkaitan dengan lintas damai. ZEEI sebagai perkembangan pengaturan maslaah kelautan yang erat kaitannya dengan pembudidayaan dan pengawasan sumber daya alam hayati maupun non hayati. Lahirnya UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEEI merupakan realisasi juridis perluasan wilayah laut utamanya yang menyangkut keadaan ekonomi dalam pengelolaan , pengawasan dan pelestariannya, sehingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. ZEE peraturan yang dalam UU No. 5 tahun 1983, sebagai tibdak lanjut atas peluang yang diberikan oleh konvensi tahun 1982 dimana rejim hukum laut dan rejim hukum negara kepulauan telah mendapatkan pengakuan secara internasional. Rejim hukum internasional tentang ZEEI yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasional dimaksudkan untuk : 1. Melindungi negara pantai dari bahaya kemungkinan dihabiskannya sumber daya alam hayati di dekat pantainya oelh kegiatan negaranegara lain dalam mengelola perikanan berdasarkan rejim laut bebas. 2. Melindungi kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang

pelestarian lingkunagn laut serta penelitian ilmiah kelautan dengan upaya pemanfaatan sumber daya alam di zona tersebut. Definisi ZEE dalam pasal 55 dan 57 sebagai suatu wilayah diluar dan beradampingan dengan laut territorial, yang tidak melebihi jarak 200 mil laut

P Joko Subagyo; Hukum ., Op.cit.. Hlm 62

dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur (yaiut , 200 mil laut yang diukur dari batas laut terluar dari laut territorial). Kedua di dalam zona ini, negara yang berdampingan tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan kedaulatan territorial , tetapi hak-hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi.

Laut Lepas

Ketentuan mengenai laut lepas dalam konvensi Jenewa 1958 berlaku pada semua bagian laut yang tidak termasuk Zona ekonomi ekslusif, laut territorial, perairan pedalaman, maupun perairan kepulauan (pasal 86) . Dengan demikian ketentuan ini menunjukan bahwa zee tidak termasuk rezim laut lepas . Namun demikian, pasal 86 juga mengatakan bahwa ketentuan ini tidak mempengaruhi beberapa kebebasan yang dinikmati oleh negara-negara di zee sesuai dengan pasal . Oleh karena itu , hal ini tampaknya bukan merupakan alasan yang cukup untuk menegaskan bahwa zee membentuk bagian dari laut lepas . Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa mungkin lebih baik jika zee dianggap sebagai rezim yang sui generis, dimana hanya beberapa aspek tertentu saja dari kebebasan di laut lepas yang diterapkan . Selain itu, peristilahan laut lepas diartikan sebagai perairan yang berada diluar batas 200 mil laut zee. Laut lepas terbuka bagi semua negara, baik negara yang berpantai maupun yang tidak berpantai. Kebebasan dilaut lepas ini antara lain (a) kebebasan berlayar ; (b) kebebasan untuk terbang diatasnya ; (c) kebebasan meletakan kabel dan pipa di bawah laut ; (d) Kebebasan membuat pulaupulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya. ; (e) Kebebasan menangkap ikan dan (f) kebebasan melakukan riset ilmiah. Kebebasan-kebebasan ini harus dilaksanakan oleh negara-negara dengan mempertmbangkan kepentingan-kepentingan negara lain, serta hakhak yang tercantum dalam konvensi mengenai eksploitasi kawasan dasar

laut dalam (pasal 87) . Laut lepas harus digunakan hanya untuk maksudmaksud damai dan tidak ada satu negara pun dapat menyatakan kedaulatannya terhadap bagian dari laut lepas ini ( pasal 88 dan 89) Secara material konvensi hukum laut tahun 1982 dengan konvensi sebelumnya ada beberapa perbedaan:7 y Tentang landas kontinen Dimana pada konvensi hukum laut di Jenewa tahun 1958 dalam penentuan landas kontinen adalah kedalaman air 200 meter atau kemampuan dalam melakukan eksplorasi , sedang dalam konvensi hukum laut tahun 1982 dengan menggunakan kriteria sebagai berikut : 1. Jarak sampai 200 mil laut , jika tepian laut kontinen tidak tercapai jarak 200 mil laut. 2. Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut, diukur dari garis dasar laut territorial jika diluar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan. Dan jika memenuhi kriteria kedalaman sendimentasi yang ditetapkan dalam konvensi. 3. Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobat) 2500 meter.

Tentang laut territorial Dalam konvensi hukum laut tahun 1958 dan tahun 1960 tidak dapat memcahkan persoalan lebar laut territorial yang dapat digunakan sebagai patokan secara umum karena tidak ada

keseragaman penentuan lebar laut territorial dan masing-masing negara memperhatikan kepentingannya sendiri ,, sedang dalam konvensi hukum laut tahun 1982 ditentukan lebar laut territorial

P Joko Subagyo; Hukum ., Op.cit.. Hlm 60

maksimum 12 mil laut dan untuk tambahan maksimum 24 mil laut yang diukur dari garis dasar territorial.

Tentang laut lepas Dalam konvensi Jenewa tahun 1958 wilayah laut lepas dimulai dari batas terluar laut territorial , sedangkan dalam konvensi tahun 1982 bahwa laut lepas tidak mencakup zee, laut territorial perairan pedalaman dan perairan kepualauan . dalam konvensi tahun 1958 masalah ekses negara tanpa pantai diatur dalam salah satu passal sdangkan dalam konvensi tahun 1982 diatur lebih terinci dalam satu bab tersendiri. Mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta kebebasan kebebasan yang melekat di laut lepas. Demikian pula masalah konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di laut lepas. Dengan adanya konvensi hukum laut III tahun 1982 selain mempunyai dampak positif terutama bagi negara-negara yang memperoleh kepentingan dari konvensi tersebut, juga mempunyai dampak negative bagi negara yang berunding dengan konvensi tersebut untuk negaranegara yang tidak berpantai. Mengingat konvensi ini bersifat internasioanal, keberadaan maupun berlakunya telah menjadi

kesepakatan oleh negara-negara yang hadir pada konvensi itu , maka segala konsekuensi yang timbul dengan segala dampaknya menjadi tanggung jawab bersama.

Antartica dan Artic

a. Antartica

Antartica atau Kutub Selatan banyak diperebutkan oleh negara-negara yang mengklaim kedaulatannya atas wilayah ini. Antartika adalah wilayah

yang luas dan tidak ada penduduk aslinya. Berbagai landasan yang digunakan dalam mengklaim : y y Pendudukan(Occupation) Kontiguitas (Contiguity) Suatu kedaulatan negara dibenarkan untuk menduduki suatu wilayah karena negara tersebut adalah negara yang secara geografis berada paling dekat dengan wilayah yang diklaimnya itu. y Kontinuitas (Continuity) Suatu pendudukan di suatu wilayah (antartica) dibenarkan guna memperluas kedaulatan negara yang mendudukinya sepanjang diperlukan untuk pengembangan alam dan keamanannya y Teori Sektor Teori ini mirip dengan teori kontiguitas , tetapi teori ini khusus diterapkan untuk wilayah kutub . Menurut teori ini negara yang terletak dekat dengan wilayah kutub memiliki hak untuk mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut.8

Wilayah Antartica diklaim oleh Argentina, Australia,Inggris, dan Chili, Perancis,Selandia Baru, dan Norwegia. Menghadapi banyaknya klaim tsb, atas inisiatif Amerika Serikat, negara-negara yang berkepentingan dengan antartica mengadakan

perjanjian Antartica tahun 1959. Perjanjian ini telah diratifikasi oleh semua negara yang berkepentingan langsung dengan antartica. Ada tiga prinsip yang mendasari perjanjian Antartica :9 1. Bahwa segala kegiatan yang dilakukan di Antartica hanya untuk maksud-maksud damai saja (pasal 1)antartica shall be used for peacefull purpose only .

Parry and Grant, Encyclopedia Dictionary of International Law, New York : Oceana,1986,hlm 360. Dikutip dari Huala Adolf Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional; Jakarta,2002,hlm 157. 9 Huala Adolf Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional; Jakarta,2002,hlm 159.

2. Berlakunya kebebasan untuk melekukan penelitian dan kerjasama ilmiah di antartica (pasal 2). 3. Pemeliharan lingkungan antartica (pasal 9)

Selain itu para pihak juga sepakat tidak menggunakan antartica untuk maksud-maksud militer, didalamnya dilaang segala macam peledakan bom nuklir dan pembuangan sampah-sampah radioaktiff . Perjanjian inipun tidak mengakui klaim-klaim kedaulatan terhadap antartica.

b. Artic (Kutub Utara)

Artic adalah Kutub Utara , dimana sebagaimana mempunyai kesamaan dengan kutub selatan , sehingga teori yang digunakan sama sebagaimana teori-teori yang dijelaskan di atas , artic diklaim antara lain oleh Uni Soviet dan Kanada. Kutub Utara memiliki berbagai keunikan, dan kekayaan alam yang diperebutkan , terutama yang secara jelas menginginkannya adalah Rusia yang pada tahun 2007 yang lalu menyatakan ingin menguasai wilayah Kutub Utara. Pada kedalaman sekitar empat kilometer di bawah Kutub Utara, ditanam bendera Rusia dan Rusia juga mengambil contoh tanah wilayah itu. Menurut pakar hukum laut Belanda Alex Oude Elferink, tuntutan Rusia ini tidak banyak berarti. Menurut Amerika Serikat, menanam bendera di dasar laut sama sekali tidak ada artinya. Selama ini sudah ada prosedur mengenai tata-cara pengakuan wilayah laut, yang terletak di luar zone 200 mil negara yang bersangkutan. Menurut teori, dasar laut Kutub Utara mengandung kekayaan berlimpah: minyak, gas dan berbagai bahan tambang lainnya. Dengan demikian, pengakuan Rusia sebagai pemilik kekayaan tersebut, tentu saja membuat marah banyak pihak. Beberapa waktu lalu, telah terjadi tarik-

menarik geo-politik untuk memperebutkan minyak dan gas di Kaukasus dan Asia Tengah. c. Kasus Klaim Artic dan Antartica Berapa bulan teraknir, media massa internasional membicarakan tentang klaim berbagai negara terhadap Kutub Utara maupun Kutub Selatan (Antartika). Isu ini mencuat ketika Rusia melakukan ekspedisi ke Kutub Utara pada bulan Juli-Agustus 2007. Rusia memberangkatkan puluhan ilmuwannya ke Kutub Utara untuk melakukan penelitian perihal klaimnya atas wilayah tak bertuan ini, termasuk menempatkan kapsul dengan bendera Rusia di dasar laut. Aksi yang dilakukan oleh Rusia ini tentu saja menimbulkan reaksi yang beragam. Sebagian besar menilai bahwa tindakan ini merupakan langkah kontroversial. Sementara itu, keempat negara Kutub Utara lainya yaitu Denmark, Kanada, Norwegia dan tentu Saja Amerika Serikat tidak ketinggalan. Kanada bahkan sudah menyatakan niatnya untuk mengklaim sebagian wilayah dasar laut Kutub Utara. Sementara itu untuk Antartika, Australia sudah menyatakan klaimnya tahun 2004. Kini Inggris dan Argentina juga menyusul dengan keingingannya untuk mengusai sebagian dasar laut Antartika. Tidak ketinggalan, Chile pun meununjukkan niat yang sama. Beberapa negara memang sedang berlombalomba untuk menguasai Kutub Utara dan Antartika. Reaksi yang muncul dari berbagai kalangan terutama di luar negara yang melakukan klaim bisa diduga, umumnya tidak setuju. Cukup masuk akal jika mereka tidak membiarkan Kutub Utara dan Antartika menjadi milik beberapa negara saja. Reaksi negatif muncul di mana mana, terutama di Amerika. Misalnya, ada yang memprediksi ini adalah langkah nyata dari Rusia untuk membangun kembali kejayaannya. Apakah memang benar ini akan berujung pada perang dingin seperti masa lalu? Apapun alasannya, satu hal yang bisa disimpulkan bahwa sumberdaya alam laut merupakan

alasan utama klaim ini. Dugaan cadangan migas di Kutub Utara yang berlimpah salah satu motivasi bagi negara-negara ini. Apa sesungguhnya yang terjadi dengan klaim wilayah ini? Benarkah seperti yang diberitakan media bahwa beberapa negara tersebut memang mengklaim Kutub Utara dan Antartika? Jika ya, apakah ini benar-benar adalah tindakan expansif dan tanpa dasar atau didasari atas keserakahan semata? Mari kita lihat duduk perkaranya dari sudut pandang yang lain. Apa yang sedang dibicarakan di berbagai media, terutama luar negeri, adalah klaim yurisdiksi maritim oleh suatu negara pantai yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Sampai saat ini terdapat 154 negara pantai (termasuk Indonesia) dan satu Uni Eropa yang meratifikasi UNCLOS 1982. Dalam UNCLOS dinyatakan bahwa negara pantai berhak atas laut territorial (12 mil laut, M), zona tambahan (24 M), zona ekonomi eksklusif (200 M) dan landas kontinen (LK). LK adalah wilayah dasar laut yang padanya sebuah negara berhak melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam (hak berdaulat, sovereign right), tetapi tidak menguasai secara penuh (kedaulatan, sovereignty). Setiap negara pantai berhak atas LK hingga ujung terluar tepian kontinennya (continental margin) atau hingga 200 M diukur dari garis pangkal (biasanya garis pantai) jika ujung terluar tepian kontinen tidak mencapai 200 M. Selain itu, UNCLOS (pasal 76) juga memberi peluang bagi negara pantai untuk memberlakukan hak berdaulatnya terhadap LK lebih dari 200 M dari garis pangkal yang dikenal juga dengan landas kontinen ekstensi (LKE). Untuk ini negara pantai tersebut harus mengajukan batas terluar LK kepada Commission on the Limits of Continental Shelf (CLCS) dengan semua data pendukung. Dengan kata lain, LK melebihi 200 mil laut perlu mendapat rekomendasi dari Komisi PBB sebelum ditetapkan oleh sebuah negara yang akhirnya bersifat tuntas dan mengikat. Komisi ini terdiri dari 21 orang ahli di bidang geodesi, geologi, hydrografi, dan geofisika yang keanggotaannya

merupakan representasi negara anggota UNCLOS yang terdisitribusi adil secara geografis. Anggota terbaru CLCS terpilih bulan Juni 2007 lalu. Pengajuan LKE ini tentu saja bukan hal yang mudah. Klaim yang memenuhi syarat harus menyertakan setidaknya data yang menunjukkan posisi kaki lereng dasar laut (foot of the continental slope) dan ketebalan batuan endapan (sedimentary rock thickness) di dasar laut yang dimaksud. Tepi terluar landas kontinen yang diajukan harus mengikuti ketebalan sediment 1% dari kaki lereng atau mengikuti garis berjarak 60 mil laut dari kaki lereng. Selain itu, UNCLOS juga menyatakan bahwa tepi terluar ini tidak boleh melebihi jarak 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak boleh melebihi jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter isobath. Gambar 1 mungkin bisa membantu pembaca dalam memahami ini secara teknis. Bagi yang tidak menekuni bidang keilmuan terkait, mungkin tidak mudah memahami ini. Meski demikian, setidaknya bisa dimengerti bahwa untuk bisa mengajukan LKE, diperlukan pembuktian yang tidak sederhana. Menancapkan bendera titanium di dasar laut jelas tidak ada kaitannya dengan penguasaan atas LK, walaupun bukan berarti tidak boleh dilakukan. Hal ini sama halnya dengan pengibaran bendera Amerika di Bulan Tahun 1969 yang tidak serta merta berarti Amerika memiliki Bulan. Bagi yang tidak menekuni bidang keilmuan terkait, mungkin tidak mudah memahami ini. Meski demikian, setidaknya bisa dimengerti bahwa untuk bisa mengajukan LKE, diperlukan pembuktian yang tidak sederhana. Menancapkan bendera titanium di dasar laut jelas tidak ada kaitannya dengan penguasaan atas LK, walaupun bukan berarti tidak boleh dilakukan. Hal ini sama halnya dengan pengibaran bendera Amerika di Bulan Tahun 1969 yang tidak serta merta berarti Amerika memiliki Bulan. Kembali ke kasus kasus Klaim atas Kutub Utara dan Antartika, negaranegara itu, dalam perspektif UNCLOS, sedang mencoba mengajukan LKE. Secara legal, usaha ini memang dibenarkan oleh UNCLOS. Rusia sendiri sudah pernah melakukan pengajuan tahun 2001 tetapi nampaknya tidak

mendapat rekomendasi positif dari CLCS karena dianggap tidak memenui ketentuan UNCLOS. Sementara itu, pengajuan LKE juga sudah dilakukan oleh Brazil; Australia; Irlandia; Selandia Baru; Norgwegia; Prancis dan pengajuan bersama oleh Inggris, Irlandia Utara, Prancis dan Spanyol. Pengajuan LKE yang hingga Kutub Utara dan Antartika, secara ilmiah dan teknis harus didukung dengan data dan bukti yang memadai. Peran ilmu kebumian (geodesi, geofisika, geologi dan hidrografi) sangat penting dalam hal ini. Intinya, negara-negara tersebut harus berhasil menunjukkan bukti seperti yang dijelaskan sebelumnya. Meski demikian, tentu saja masih ada hal lain yang harus dipertimbangkan seperti adanya ketentuan hukum tertentu seperti Traktat Antartika, misalnya, yang tidak memungkinkan suatu negara melakukan klaim. Seperti halnya berbagai negara yang ingin melebarkan wilayah maritimnya hingga Kutub Utara dan Selatan, Indonesia pun berpeluang untuk memberluas landas kontinennya di beberapa wilayah. Tenggat waktu untuk Indonesia adalah 13 Mei 2009. Sementara itu, isu klaim atas Kutub Utara dan Antartika setidaknya merangsang kesadaran di kalangan politisi Amerika untuk segera menandatangani UNCLOS. Amerika memang belum

meratifikasi UNCLOS. Walaupun Bill Clinton dan George W. Bush telah menyetujui ratifikasi ini, Senat belum merestui. Seorang senator yang menyetujui ide ratifikasi, Richard Lugar, menyatakan bahwa dengan menjadi anggota UNCLOS, setidaknya Amerika, akan bisa berkata ?gtidak?h secara legal atas klaim yang dipandang eksesif oleh negara lain. Manuver berbagai negara yang menginginkan Kutub Utara dan Antartika ini, dalam beberapa hal, bisa memotivasi Indonesia untuk mempercepat pengajuan dokumen kepada PBB. Meskipun tidak untuk menunjukkan kejayaan, setidaknya ada potensi ekonomi dan penegasan hak berdaulat bagi Indonesia di masa depan yang menjadi pertimbangan. Kita tunggu apa yang akan terjadi. (Penulis: I Made Andi Arsana. Sumber: www.beritaiptek.com)

2.2. Kedaulatan atas Ruang Udara dan Ruang Angkasa

Kedaulatan Negara atas Ruang Udara Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara diatas wilayahnya. Sebelum abad ke-19, perhatian negara terhadap wilayah praktis belum ada sama sekali. Namun, setelah berhasil ditemukannya pesawat terbang oleh Wright, ruang udara mulai diperhitungkan dalam masyarakat internasional. Pada masa permulaan perkembangannya, wilayah udara belum begitu penting. Pada masa sekarang pun, konsep kedaulatan negara di ruang udara belum begitu penting. Pesawat-pesawat terbang yang cukup banyak pada waktu itu, yaitu balon-balon udara, bebas diterbangkan dari satu negara dan mendarat di negara lain atau kemana saja pesawat tadi kebetulan terbawa oleh angin. Misalnya, seorang penerbang bangsa Perancis, yaitu Bleroit yang telah melakukan penerbangan yang

menggemparkan pada tahun 1909, Bleroit dari Perancis menyebrang melalui selat Calais untuk kemudian mendarat di Inggris tanpa adanya keberatan apapun dari pihak Inggris. Namun, pada waktu meletusnya Perang Dunia I yang melibatkan pula pesawat-pesawat udara dengan teknik yang lebih maju, pesawat ini telah membuat keamanan negara terancam melalui pemboman udara dan spionase oleh musuh. Karena itu pula, negara-negara secara sepihak mulai menerapkan kedaulatannya di ruang udara diatas wilayahnya. Tindakantindakan negara ini ditegaskan dalam pasal 1 Konvensi Paris (Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation) yang ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 yang memberikan kepada suatu negara kedaulatan komplit dan eksklusif di atas wilayahnya, termasuk perairan teritorialnya. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 itu berbunyi sebagai berikut : The High Contracting States recognise that every Power has complete and exclusive sovereignty over the air space above its territoryand the territorial waters adjacent thereto

Konvensi Paris tahun 1919 ini diganti oleh konvensi Chicago tahun 1944 (Convention on International Civil Aviation) yang diterima secara universal. Dalam pasal 1 konvensi ini ditegaskan kembali bahwa setiap negara memiliki juridiksi eksklusif dan wewenang untuk mengontrol ruang udara diatas wilayahnya. Kapal-kapal negara lain, baik pesawat sipil ataupun militer tak punya hak untuk memasuki ruang udara atau mendarat di wilayahnya tanpa persetujuannya. Pada waktu itu, negara-negara telah masuk dalam Perang Dunia II. Dalam masa itu, negara-negara menyaksikan serangan-serangan pesawat udara, salah satunya adalah pemboman nuklir melalui pesawat-pesawat bomber Amerika Serikat atas Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Sejak peristiwa itu, negara-negara menjadi semakin sadar akan peranan ruang udara terhadap setiap pelanggaran terhadapnya, seperti masuknya pesawat udara tanpa izin ke dalam wilayahnya. Hal ini dapat berakibat fatal. Sebagai contoh adalah ditembaknya pesawat-pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat RB-47 oleh Uni Soviet pada Juli 1960 diaas daerah lepas pantai sejauh 3 mil dari pantai Uni Soviet sebelah utara. Hal yang cukup penting diutarakan disini yaitu diaturnya tentang adanya hak lintas damai (The right of innocent passage) sebagaimana diatur dalam pasal 5 Konvensi Chocago 1944. Akan tetapi, ketentuan itu tidak diterima oleh banyak negara, karena sensitifnya wilayah ruang udara yang dari hari ke hari dengan kemajuan teknologi pesawat udara, wilayah udara menjadi sasaran peka dari pihak lawan. Namun demikian, masuknya pesawat asing tanpa izin kedalam wilayah suatu negara tidak selalu bersifat fatal, jika masuknya pesawat asing tersebut disebabkan karena kehabisan bahan bakar, kerusakan mesin, cuaca buruk atau karena adanya pembajakan, maka hal tersebut biasanya tidak membawa masalah

keamanan atau pelanggaran yang signifikan. Di Konverensi Chicago tahun 1944, beberapa negara mengusulkan memasukkan lima kebebasan udara (Five Freedoms of The Air) di dalam

konvensi. Namun, usul ini ditolak oleh beberapa negara. Oleh sebab itu, ada dua perjanjian yang ditandatangani di Chocago pada 7 Desember 1944, yaitu International Air Services Transit Agreement dan International Air Transport Agreement. Kelima kebebasan udara tersebut diatur dalam perjanian yang kedua, kelima kebebasan tersebut adalah sebagai berikut : y Fly across foreign territory without landing atau terbang melintasi wilayah negara asing tanpa mendarat y y Land for non-traffic purpose atau mendarat untuk tujuan komersial Disembark in a foreign country traffic orginating in the state of origin of the aircraft atau menurunkan penumpang di wilayah negara asing yang berasal dari negara asal pesawat udara y Pick-up in a foreign country traffic destined for the state of origin of the aircraft atau mengangkut penumpang pada lalu-lintas negara asing yang bertujuan ke negara asal pesawat udara y Carry traffic between two foreign countries atau mengangkut angkutan udara dua negara asing Perjanjian yang pertama, yaitu International Air Services Transit Agreement hanya memasukkan kebebasan pada pin a dan b saja. Pada kenyataannya, praktek negara-negara menunjukkan bahwa hanya sedikit negara yang mau menerapkan kebebasan ini. Negara-negara lebih suka untuk mengadakan perjanjian bilateral atau perjanjian khusus dengan negara-negara lain.

Kedaulatan Negara atas Ruang Angkasa Meskipun Konvensi Paris 1915 dan Konvensi Chocago 1944 mengatur tentang kedaulatan negara di ruang udara, namun batasan ruang udaranya serta ketinggiannya tidaklah dapat ditentukan. Beberapa sarjana

mendefinisikan ruang udara sebagai bagian dari ruang yang berada diatas permukaan bumi yang berisi udara untuk mengangkat pesawat udara. Sarjana lainnya mendefinisikan ruang udara sebagai ruang udara yang berisi

gas. Ada pula sarjana lainnya yang tidak memberikan batasannya karena kesulitan praktis dalam menetapkan batas atap ruang udara. Akibatnya, batas-batas antara ruang udara dan ruang angkasa tidak berhasil ditentukan. Sekedar untuk membedakannya saja, definisi ruang angkasa adalah ruang yang berada diatas ruang udara. Satelit pertama Sputnik diluncurkan pada 4 Oktober 1957. Sejak saat itu, ruang angkasa menjadi subur untuk satelitsatelit lainnya, terutama milik Amerika Serikat dan Uni Soviet. Samapai tahun 1985, tercatat bahwa 12000 satelit telah diluncurkan. Dewasa ini, frekuensi peluncuran-peluncuran satelit semakin

meningkat. Negara-negara bersaing keras meluncurkan satelit-satelit ke angkasa. Indonesia dengan bantuan Amerika Serikat telah meluncurkan satelit komunikasi pertamanya, yaitu PALAPA A-1 pada tahun 1970-an. Hal ini menandakan bahwa Indonesia sejak tahun 1970-an telah turut serta dalam era serta pemanfaatan ruang angkasa. PBB adalah badan yang berkepentingan serta berperan banyak dalam perkembangan hukum angkasa. Melalui organnya, yaitu Majelis Umum PBB telah mengembangkan bidang hukum angkasa ini dengan dibentuknya Komisi Pemanfaatan Damai Ruang Angkasa (Committee on Peaceful Uses of Space). Hasil karya penting dari Majelis Umum PBB adalah dikeluarkannya Resolusi Nomor 1962 (XVIII) pada tanggal 13 Desember 1963 yang diterima oleh negara-negara dengan suara bulat. Resolusi ini mengandung beberapa prinsip penting dalam pemanfaatan ruang angkasa. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut : y Eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa untuk semua umat manusia berdasarkan kesamaan (equality) y y Benda-benda ruang angkasa tidak dapat dimiliki oleh sesuatu negara Setiap kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa harus sesuai dengan Hukum Internasional dan Piagam PBB y Negara bertanggungjawab atas kegiatan-kegiatan ruang angkasa, baik negara-negara sponsor ataupun sebaliknya

Pelaksanaan yuridiksi terhadap pesawat ruang angkasa adalah oleh negara tempaat pesawat itu didaftarkan

Kewajiban negara-negara untuk menolong dan menyelamatkan astronot yang berada dalam keadaan bahaya Majelis Umum juga mengeluarkan Resolusi Nomor 1884 (XVIII) pada

tanggal 17 Oktober 1962 yang melarang penempatan senjata nuklir di pesawat angkasa. Resolusi penting lainnya yaitu Resolusi Majelis Umum Nomor 2222 (XXI) pada tanggal 14 Desember 1966 yang melahirkan suatu perjanjian terpenting dalam Hukum Angkasa yang ditandatangani secara serentak di London, Moscow, dan Whashington pada tanggal 27 Januari 1967. Perjanjian yang dimaksud adalah Perjanjian tentang Prinsip-Prinsip tentang Kegiatan-Kegiatan Negara dalam Eksplorasi dan Pemanfaatan Ruang Angkasa, termasuk Bulan dan Benda-Benda Angkasa Lainnya (Treaty on Principles Governing The Activities of States in The Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and other Celestial Bodies). Perjanjian ini memuat 17 pasal. Pasal-pasal terpenting dari perjanjian tersebut adalah sebagai berikut : Pasal 1, menyatakan bahwa eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa harus menguntungkan dan untuk kepentingan semua negara. Ruang Angkasa bebas untuk dieksplorasi dan dimanfaatkan oleh semua negara, tanpa memandang tingkat perkembangan ekonominya. Pasal 2, menyatakan bahwa benda-benda angkasa tidak untuk dimiliki oleh suatu negara. Pasal 3, menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan ruang angkasa harus sesuai dengan hukum internasional dan Piagam PBB, serta harus selalu memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan memajukan kerja sama dan saling pengertian internasional. Pasal 4 membatasi pasal-pasal diatas, yaitu bahwa negara-negara dilarang untuk menempatkan senjata-senjata nuklir di pesawat atau stasiun ruang

angkasa. Disebutkan pula bahwa bulan dan benda-benda angkasa lainnya harus dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan damai saja. Pasal 6 dan pasal 7, menetapkan bahwa negara peluncur dan negara sponsor bertanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan di angkasa dan setiap kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan tersebut. Perjanjian ini diikuti dan dilengkapi oleh perjanjian Internasional lainnya. Kelima perjanian itu adalah sebagai berikut : y y y y Rescue Agreement tahun 1968 Liability Convention tahun 1972 Registration Convention tahun 1975 Moon Agreement tahun 1980

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Island of Palmas Case (1928)

Pulau Miangas ini adalah salah satu pulau terluar Indonesia yang memiliki luas 3, 15 km2 dan masuk dalam desa Miangas, Kecamatan Nanusa Kabupaten Talaud Propinsi Sulawesi Utara. Palmas atau yang biasa dikenal sebagai Pulau Miangas, adalah sebuah pulau yang bernilai ekonomis dan berlokasi strategis. Pulau ini memiliki panjang 2 mil, dengan lebar mil, dan berpopulasi sekita 750 jiwa pada saat keputusan arbitrase mengenai sengketa perebutan pulau ini diturunkan. Pulau ini terletak diantara Mindanao, Filipina dan yang paling utara yaitu pulau Nanusa. Pada tahun 1898, Spanyol menyerahkan Filipina ke Amerika Serikat dalam sebuah Perjanjian Paris (1898) dan Palmas ikut diserahkan ke Amerika Serikat. Pertikaian perebutan status kepemilikan pulau ini muncul pada tahun 1906 antara Amerika Serikat dan Belanda. Amerika Serikat beranggapan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Kepulauan Filipina (the Phillippine Archipelago) yang diserahkan oleh Spanyol kepadanya berdasarkan perjanjian Paris tersebut seusai pengakhiran perang kedua negara. Sedangkan pihak Belanda mengklaim kepemilikan atas pulau tersebut berdasarkan pendudukan atau pelaksanaan otoritas (pemerintahan) yang terus menerus, berlangsung lama dan selama itu tidak ada gangguan atau klaim dari pihak lain. Demi menyelesaikan kasus ini, kedua pihak setuju untuk tunduk kepada keputusan arbitrase yang mengikat pada 23 Januari 1928. Arbitrator dalam kasus ini adalah Max Huber, seseorang yang berwarga Negara Swiss. Persoalan yang ingin diselesaikan oleh arbitrator adalah untuk menyelesaikan apakah Pulau Miangas secara keseluruhan merupakan bagian dari wilayah Amerika Serikat atau Belanda.

Masalah hukum yang hadir adalah apakah wilayah tersebut dimiliki oleh si Penemu pertama walaupun mereka tidak menjalankan wewenangnya atas wilayah tersebut atau dimiliki oleh Negara yang secara nyata menjalankan kedaulatan atas Negara tersebut.

Proses Arbitrase Amerika dalam argumennya menyatakan Pulau Palmas adalah miliknya berdasarkan perjanjian yang sah dari penemu pertamanya yakni Spanyol. Amerika Serikat menyatakan bahwa Spanyol memiliki wewenang yang sah atas Palmas karena Palmas ditemukan oleh Spanyol ketika pulau tersebut dalam keadaan terra nullius yaitu wilayah yang tidak dikuasai oleh pihak manapun. Spanyol menyatakan memiliki wewenangnya atas pulau tersebut dikarenakan pulau tersebut adalah bagian dari Filipina dan telah diserahkan kepada Amerika Serikat dalam Perjanjian Paris (1898) setelah Spanyol kalah dalam Perang antara Spanyol dan Amerika. Arbitrator mencatat bahwa tidak ada hukum internasional yang baru yang menyatakan tidak berlakunya penyerahan legal suatu wilayah dengan cara penyerahan. Bagaimanapun juga, arbitrator mencatat bahwa Spanyol tidak dapat memberikan apa yang tidak ia miliki dan Perjanjian Paris kepada Amerika Serikat jika Spanyol tidak memiliki wewenang yang sah atasnya. Arbitrator menyimpulkan bahwa Spanyol sebagai pihak penemu memiliki kedaulatan sah atas pulau Palmas bahkan dengan cara yang sederhana seperti sekedar menancapkan benderanya di pantai. Akan tetapi klaim yang diberikan Spanyol atas Palmas memang merupakan klaim yang lemah karena ia tidak pernah mengelola pulau tersebut, hanya menemukannya saja. Argument kedua dari Amerika Serikat adalah ia menyatakan bahwa dirinya memiliki wewenang atas Palmas karena letak Palmas lebih dekat dengan Filipina (yang saat itu dimiliki oleh Amerika Serikat) daripada dengan Indonesia (yang saat itu dijajah Belanda). Max Huber menyatakan bahwa tidak ada satupun hukum positif Internasional pada saat itu yang mendukung

pendekatan terra firma yang didkemukakan Amerika Serikat, dimana status kepemilikan suatu pulau/wilayah diberikan kepada daerah yang terdekat dengan pulau/wilayah tersebut. Di lain pihak, Belanda dalam pendiriannya menyatakan memiliki kedaulatan atas Palmas Karena ia telah menjalankan kewenangannya di pulau tersebut semenjak tahun 1677. Belanda berhasil membuktikan bahwa Dutch East India Company telah melakukan negosiasi dengan Pemimpin Lokal pulau tersebut sejak abad ke-17 atas kedaulatannya termasuk dalam bentuk mengembangkan agama Protestan dan melarang kebangsaan lain di pulau tersebut. Arbitrator mencatat bahwa Amerika gagal membuktikan kedaulatan Spanyol atas pulau tersebut kecuali dokumen yang secara spesifik menyebutkan bahwa Spanyol adalah pihak penemu tersebut.

Keputusan Arbitrase Akhirnya, menurut kajian Weter (1979), DR. Max Huber

memperkenalkan konsep hukum intertemporal dalam menangani sengketa dimana kaidah-kaidah hukum internasional diterapkan berdasarkan periode dan kasus tertentu, yaitu klaim dari pihak lawan harus dinyatakan sesuai dengan hukum yang berlaku ketika wilayah tersebut di temukan. Dalam hal ini bukanlah menyangkut pilihan hukum melainkan karena tidak adanya penerapan secara historis. Arbitrator, Max Huber. Mendukung posisi Belanda dan menyatakan bahwa Pulau Palmas secara nyata adalah milik Belanda. Untuk alasan ini, arbitrator sesuai dengan Pasal 1 dari Sebuah Perjanjian Khusus pada tanggal 23 Januari 1928 memutuskan bahwa Pulau Palmas atau Miangas secara keseluruhan adalah bagian dari wilayah Negara Belanda.

Kasus Island of Palmas saat ini Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas (Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut

antara P. Balut (Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil. Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag tahun 1928. Setelah Indonesia merdeka, kehidupan di Kepulauan Nanusa ini tidak berubah. Di masa Soekarno menjadi Presiden, hampir tak ada pembangunan di daerah itu. Terutama untuk fasilitas umum, seperti sekolah. Sekolah di pulau-pulau ini paling banyak dijalankan Yayasan Pendidikan Kristen. daerah perbatasan tampaknya selalu berarti wilayah terisolasi, tertinggal. Ini merupakan dampak kebijakan pembangunan nasional di masa lalu. Potensi sumber daya laut yang dapat menjadi sumber kemakmuran masyarakat kepulauan, tidak mendapat perhatian. Sebanyak 16 pulau di Talaud sendiri telah membentuk kabupaten. Dari jumlah itu, sembilan pulau belum didiami dan tujuh pulau lainnya sudah berpenghuni. Pembentukan kabupaten ini tidak lepas lantaran rendahnya tingkat pengembangan daerah perbatasan selama ini.

Analisis Kasus Salah satu kriteria utama dari kedaulatan adalah dimilikinya suatu wilayah yang dapat diidentifikasikan dengan jelas. Wilayah yang dimiliki oleh negara sehingga secara ekslusif tata aturan dan tindakan kepemerintahan lainnya dapat dijalankan. Melihat dari kasus Island of Palmas, maka ada beberapa istilah-istilah berikut yang berhubungan dengan cara-cara

tradisional mendapatkan wilayah Palmas melaui sengketa yang terjadi antara Amerika Serikat dan Belanda.

Occupation/Pendudukan Occupation adalah cara memperoleh suatu wilayah yang tidak pernah dikuasai oleh negara lain atau ditelantarkan oleh penguasa sebelumnya. Untuk itu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:

1. Wilayah tersebut harus terra nullius, yaitu wilayah yang tidak dikuasai oleh pihak manapun. Pada masa kolonialisme, penguasa asli seringkali diabaikan sehingga penguasa di sini lebih diartikan sebagai bangsa Eropa saja 2. Kekuasaan terhadap wilayah tersebut harus berada dalam posisi terbuka, terus menerus, efektif dan damai. Lihat kasus Island of Palmas Case (1928) 2 RIAA 829. Disebutkan pula bahwa kekuasaan terhadap wilayah tersebut haruslah aktual/nyata dan bukan hanya nominal/klaim saja. 3. Negara yang menduduki wilayah tersebut harus menunjukkan adanya niatan untuk melakukan penguasaan atau animus occupandi (the intention and will to act as sovereign). Hal ini biasanya ditunjukkan dengan melakukan tindakan-tindakan administratif terhadap wilayah tersebut. Lihat the Legal Status of Eastern Greenland Case (1933) PCIJ Reports, Series A/B, No. 53 disebutkan bahwa: A claim to sovereignty based ...upon a continued display of authority, involves two elements each of which must be shown to exist; the intention and will to act as a sovereign; and some actual exercise or display of such authority. Dari sisi lain, bagi negara yang merelakan wilayahnya diambil oleh negara lain harus menunjukkan animus relinquendi (with intention to return).

Prescription/Preskripsi Metode ini adalah proses perolehan wilayah yang tadinya dikuasai oleh negara lain namun karena satu dan lain hal maka penguasaan tersebut menjadi tidak efektif atau daluwarsa. Ada dua cara untuk memperoleh wilayah melalui metode ini:

1. Immemorial Possession: dimana negara mendapatkan kedaulatannya atas suatu wilayah setelah menguasainya sampai sangat lama sehingga penguasa sebelumnya tidak bisa diketahui lagi. 2. Adverse Possession: kondisi dimana penguasa sebelumnya diketahui namun, karena penguasa baru telah secara efektif melakukan pemerintahannya sehingga penguasa lama seperti telah kehilangan kekuasaan Penguasa untuk baru menjalankan dalam hal ini fungsinya di wilayah tersebut. semacam

harus mendapatkan

pembiaran atas tindakan dan kebijakan yang dilakukan dari penguasa sebelumnya. (acquiescence principle). Hal ini terjadi dalam kasus Palmas. Akan tetapi dalam praktek sangat susah membedakan antara occupation dan prescription sehingga biasanya hanya

mengandalkan putusan yang dikeluarkan oleh badan arbitrasi atau badan pengadilan internasional lainnya.

Cession Metode ini adalah pengalihan kedaulatan suatu wilayah dari satu negara ke negara lainnya dengan melalui suatu perjanjian. Dalam perjanjian itu disebutkan secara tegas, adanya satu negara sebagai pihak yang melepaskan kedaulatan dan pihak negara lainnya menerima kedaulatan atas suatu wilayah tertentu. Jika akibat dari penyerahan kedaulatan tersebut berimbas kepada pihak ketiga, maka hak yang selama ini dinikmati oleh pihak ketiga harus dipertahankan sampai kemudian terjadi perjanjian baru antara pihak ketiga dan pihak penguasa baru tersebut. Contoh Cession yaitu penyerahan atas Palmas Island dari Spanyol ke Amerika Serikat melalui perjanjian Paris (1898).

Doktrin Intertemporal Law Dalam Island of Palmas Arbitration (1928) menyatakan bahwa klaim dari pihak lawan harus dinyatakan sesuai dengan hukum yang berlaku ketika wilayah tersebut di temukan.

Melalui kasus Palmas tersebut, maka 3 aturan utama dalam menyelesaikan perkara sengketa wilayah dalam Hukum Internasional adalah: 1. Klaim wilayah berdasarkan jarak dekat suatu wilayah dengan wilayah lain tidak memiliki legal standing di hukum Internasional. 2. Klaim wilayah atas dasar penemuan (discovery) hanyalah suatu kedaulatan yang tidak lengkap. 3. Klaim wilayah berdasarkan wewenang nyata yang dijalankan lebih kuat daripada hanya berdasarkan dasar penemuan.

3.2. Western Sahara Case (1975) Sahara Barat merupakan sebuah daerah di bagian barat laut Afrika di tepi pantai Atlantik. Wilayah Sahara Barat adalah bekas wilayah koloni Spanyol yang berbatasan dengan Aljazair di sebelah timur laut, Maroko di sebelah utara dan dengan Mauritania di sebelah timur dan selatan. Luas wilayah Sahara Barat adalah 284.000 km2. Tanahnya kaya akan fosfat terutama di Bou Craa. Penduduk asli daerah ini menamakan diri Sahrawi. Daerah ini menjadi sengketa antara tiga Negara tetangganya, Maroko, Aljazair, dan Mauritania, sementara rakyat Sahrawi sendiri melalui gerakan pembebasan Polisario berjuang untuk mendirikan Negara merdeka dan independen. Seperti wilayah lain di benua Afrika, konflik Sahara Barat atau Western Sahara juga dianalisa sebagai masalah peninggalan kolonialisme. Sahara Barat adalah kasus decolonisasi yang terakhir di Afrika, namun sampai saat ini peace-building, peace-making, dan peace-keeping masih menjadi wacana yang terus diperjuangkan sehubungan dengan territorial dispute atas wilayah

tersebut yang belum menemukan titik akhir. Territorial Dispute adalah konflik yang terjadi ketika kedua belah pihak/negara/kelompok mengklaim

wilayahnya atau bagian dari wilayahnya, biasanya berdasarkan sejarah atau kepentingan geografis, seperti keamanan nasional. Territorial dispute atas Sahara Barat melibatkan tiga pihak yaitu Maroko, Aljazair, dan front Polisario. Polisario dideklarasikan pada 10 Mei tahun 1973. Organisasi ini adalah gerakan pembebasan Sahara Barat yang bertujuan untuk

memperjuangkan kemerdekaan kawasan Sahara Barat dari koloni Spanyol. Gerakan polisario mendapat dukungan yang sangat besar dari rakyat setempat. Kuatnya dukungan masyarakat atas organisasi ini menyebabkan tentara Spanyol angkat kaki dari Sahara Barat dua tahun berikutnya, yaitu tahun 1975. Pada Desember 1975, Spanyol mengumumkan untuk

meninggalkan Sahara Barat, daerah jajahannya sejak tahun 1884. Dengan demikian, berakhir sudah perjuangan kaum gerilyawan Sahara Barat yang tergabung dalam gerakan pembebasan Polisario. Polisario kemudian memproklamirkan berdirinya Republik Demokratik Arab Sahara atau Sahrawi(SADR). Sahara Barat sebagai territorial dispute antara Maroko,

Aljazair, dan front Polisario Dengan berdirinya SADR, ternyata belum mengakhiri masalah yang harus dihadapi Sahara Barat. Sebab dalam masamasa genting itu, rezim diktator Spanyol mengadakan kesepakatan rahasia dengan tetangga koloni yang ditinggalkan. Spanyol yang telah terusir dari Sahara Barat menyerahkan koloni tersebut pada Maroko dan Mauritania dengan imbalan tertentu termasuk mengeksploitasi ikan di lepas pantai dan menambang fosfat. Rakyat yang tidak mau bergabung dengan Maroko kemudian terpaksa mengungsi di area yang dikuasai Polisario, tentara gerilya pengungsi. Mereka adalah orang-orang Sahrawi. Penduduk asli yang selama puluhan tahun menjadi warga kelas dua di tanahnya sendiri. Kesepakatan rahasia tersebut menjadi alasan Maroko menganeksasi Sahara Barat dan mengklaim bahwa kawasan itu adalah bagian dari wilayahnya. Meskipun Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, menyatakan bahwa invasi

Maroko itu melanggar hukum, namun Maroko tetap tidak bersedia mundur dari wilayah itu. Akhirnya kembali pecah perang di Sahara Barat. Puluhan ribu orang melarikan diri dari kekerasan perang. Bahkan 170 ribu orang Sahrawi, sampai kini masih tinggal di kamp pengungsi di Aljazair dalam kondisi buruk. Pada 1991, sebagian besar kawasan ini dikuasai oleh kerajaan Maghribi(Maroko), dan SADR di bagian-bagian yang lain. Kemudian apakah daerah ini merupakan bagian dari Maroko atau milik Republik Demokratis Arab Sahrawi masih dipertentangkan. Saat ini Sahara Barat diduduki oleh Maroko, namun klaim ini tidak diakui secara global. Organisasi pembebasan Polisario masih berjuang untuk kemerdekaan daerah ini. Adapun Mauritania, akibat tekanan sejumlah pihak luar menarik diri dari Sahara Barat pada tahun 1979. Sedangkan Aljazair yang juga tertarik atas Sahara Barat mulai melihat kemungkinan intervensi ketika banyaknya pengungsi daerah itu yang mengungsi ke wilayah Aljazair. Aljazair memberikan dukungan pada SADR namun tetap menghindari konflik dengan Maroko, Walaupun selanjutnya hubungan Aljazair dan Maroko menjadi cukup tegang. Upaya resolusi konflik, misi perdamaian dan kemanusiaan

Tahun 1991, PBB datang menengahi konflik antara Maroko dan Polisario, dan kedua pihak sepakat untuk menyerahkan nasib kawasan Sahara Barat pada sebuah referendum. Akan tetapi, kesepakatan itu juga tidak bisa diimplementasikan karena kedua pihak berselisih pendapat secara tajam mengenai syarat-syarat peserta referendum. Hingga kini, referendum itu masih belum bisa dilaksanakan. Status Sahara Barat pun masih

mengambang, meskipun sejumlah besar negara mengakui kemerdekaan Sahara Barat dan menyebut Polisario sebagai representasi sah rakyat di kawasan itu. Minurso adalah misi perdamaian pertama dibawah PBB yang masuk ke Sahara Barat. The United Nations Mission for the Referendum in Western Sahara (MINURSO) atau misi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk

Referendum di Sahara Barat (MINURSO) dibentuk oleh resolusi Dewan

Keamanan no.690 pada 29 April 1991, saat pertama kali PBB masuk ke Sahara Barat guna menengahi sengketa antara Maroko dan front Polisario atas Sahara Barat. Kedatangan PBB dan MINURSO atas undangan kedua pihak yang bertikai yang menginginkan penyeleseian konflik secara damai disamping misi perdamaian dan kemanusiaan PBB sendiri Mandat yang diemban MINURSO di Sahara Barat antara lain : y y Mengawasi berjalannya gencatan senjata Melakukan verifikasi atas kesepakatan pengurangan pasukan Maroko di wilayah sengketa y Mengawasi pembatasan pasukan Maroko dan Polisario di lokasi-lokasi yang telah ditentukan y y Memastikan pelepasan tahanan-tahanan politik Sahara Barat Mengatur pertukaran tawanan perang yang ditentukan oleh

International Commetee of The Red Cross (ICRC) y y Memulangkan pengungsi-pengungsi Sahara Barat mengidentifikasi dan mendaftarkan penduduk Sahara Barat untuk persiapan referendum y mengorganisir dan memastikan sebuah referendum adil dan bebas dan mengumumkan hasilnya y mengurangi ancaman dari ranjau-tambang serta ranjau dan artileriartileri yang belum meledak.

Dalam masalah Sahara Barat, terdapat pihak asing yang juga ikut mempengaruhi kelanjutan nasib wilayah tsb. Terkait dengan upaya penyelesaian konflik beberapa negara seperti Perancis, Spanyol, AS, Italia, meksiko dan Portugal telah mendukung upaya mencari solusi dari konflik berkepanjangan itu dalam kerangka kerja PBB. Negara besar seperti Amerika Serikat memainkan peran yang cukup penting dibalik misi perdamaian yang dibawa bersama PBB. Apapun itu, PBB atau pihak asing yang masuk ke Sahara Barat menyerukan kepada kedua pihak

yang bertikai untuk mengatasi konflik secara diplomatik. SADR mendapat dukungan dari 45 negara dan Kesatuan Afrika, sementara Maroko didukung oleh 25 negara, termasuk Liga Arab. Sejak masuknya PBB dan dalam masa gencatan senjata telah dilakukan beberapa perundingan yang belum mampu membuahkan hasil yang berarti. Namun semangat dan keinginan penyeleseian konflik secara damai tidak pernah padam. Di tahun 2007, dibawah kontrol PBB diadakan perundingan lagi yang berlangsung di Manhasset, New York, AS. Dalam putaran kelima perundingan Manhasset tsb, Maroko mengajukan usulan yaitu rencana untuk memberikan otonomi luas kepada Sahrawi atau Sahara Barat (West Sahara). Maroko menegaskan rencana itu

merupakan salah satu upaya menyelesaikan perselisihan panjang yang terjadi antara Aljazair dan Maroko secara damai dan politik. Usulan otonomi itu termasuk win-win solution. Pemerintah Maroko tidak memberikan kemerdekaan dan tidak pula memaksakan integrasi. Dalam usulan Maroko itu, Sahara Barat boleh membentuk pemerintahan mandiri lengkap dengan parlemen yang dipilih rakyat. Amerika Serikat (AS) dan Prancis mendukung usulan pemerintah Maroko ini. Pemerintah AS berharap Front Polisario dapat menerima usulan otonomi luas bagi wilayah Sahara Barat sesuai usulan pemerintah Kerajaan Maroko guna mengakhiri konflik yang telah terjadi selama 32 tahun di wilayah tersebut. Namun, Aljazair dan Polisario menolak usulan otonomi dan tawaran negosiasi Maroko. Sejauh ini, Maroko bersikeras pada pendiriannya bahwa Sahara Barat berstatus otonom di bawah pemerintahan Maroko. Di lain sisi, Aljazair yang mendukung front Polisario bersikeras untuk diadakannya referendum apakah memilih Maroko atau independen. Sehingga untuk saat ini gencatan senjata masih menjadi pilihan terbaik.

Analisis Kasus Dari beberapa artikel yang kami temukan, artikel tersebut secara nyata mengungkapkan bahwa Maroko tidak menyetujui dan tetap bersikukuh menyatakan Sahara Barat adalah bagian dari Negara mereka. Dalam hukum Internasional, kedaulatan Negara untuk dapat dinyatakan berdaulat harus memiliki faktor territorial dan yuridiksi. Maroko melihat sisi historis Negara mereka pada saat sebelum kolonisasi Spanyol, Sahara Barat adalah wilayah Maroko. Untuk menguji kedaulatan secara yuridiksi yang dimiliki Maroko, Maroko mengutip pada saat penjajahan Spanyol, beberapa suku Sahrawi dibayar untuk setia kepada tahta Maroko

Atas dasar ini, Maroko mengklaim bahwa bukan Spanyol yang memiliki klaim yang sah untuk kedaulatan atas wilayah Sahara Barat. Selain itu mengkalim bahwa prinsip possidetis iuris ISK yang menyatakan batas colonial tidak dapat diubah pada kemerdekaan atau dekolonisasi, berlaku untuk wilayah tersebut. Mahkamah Internasional telah mempelajari dokumen yang diserahkan Maroko, Mauritania, Spanyol dan Aljazair namun, Sahrawis tidak dijinkan untuk muncul karena Mahkamah Internasional (ICJ) hanya dapat mendengar bukti dari serikat. Dan pada hasilnya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Sahara Barat tidak nullius tera saat Spanyoln menyatakan prorektorat di atasnya pada tahun 1884 karena dihuni oleh orang-orang Nomaden, secara sosial dan politik terorganisir dalam suku dan dibawah pimpinan yang kompeten mewakili mereka. Dan pengadilan member kesimpulan mengenai hubungan hukum antara Sahara barat, Maroko dan Mauritania:

Material dan informasi yang disajikan tidak membuat atau menjelaskan kedaulatan territorial Sahara Barat kepada Maroko atau Maurtitania. Pengadilan tidak menemukan hubungan hukum seperti alam sebagai mana mungkin mempengaruhi aplikasi resolusi 1514 (XV) dalam dekolonisasi Sahara Barat dan khususnya, prinsip penentuan nasib sendiri melalui ekspresi bebas dan asli dari kehendak bangsa-bangsa yang ada pada

wilayah tersebut. Jadi, keputusannya adalah populasi Sahrawi berhak untuk menentukan nasib sendiri dalam batas-batas dari entitas colonial yang ada. Maka dari itu, keputusan ICJ adalah penolakan atas klaim kedaulatan Maroko atas Sahara Barat. Namun demikian, upaya perdamaian yang diajukan yang awalnya disetujui Maroko melalui OAU-PBB yang mana member referendum atas pemberian hak kepada populasi Sahrawi untuk menentukan nasib sendiri dengan cara yang bebas dan adil ternyata prosesnya rapuh. Hal ini dikarenakan pihak Maroko yang sepertinya tetap tidak rela atas keputusan Mahkamah Internasional. Hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri tertuang dalam deklarasi PBB dan organisasi Kesatuan Afrika. Putusan Mahkamah Internasional ditegakkan bahwa orang-orang Sahrawi berhak untuk melaksanakan hak ini. Oleh karena itu, invasi dan pendudukan Sahara Barat sejak 1975 adalah pelanggaran terhadap hukum internasional. Sayangnya, agresi maroko tidak menarik masyarakat internasional untuk menghadapinya, sama halnya dengan invasi Irak ke Kuwait atau perang di Kosovo. Apa yang dilakukan Mahkamah Internasional dan putusannya untuk membebaskan Sahara Barat untuk menentukan nasib sendiri dan tidak menyetujui klaim Maroko atas wilayah territorial Sahara Barat sangatlah penting dan sangat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Namun demikian, usaha tersebut telah gagal dalam usahanya karena kurangnya kekuatan utama di masyarakat internasional politik dan terbuka mendukung referendum. Hal ini bertolak belakang dengan apaa yang pernah terjadi di Indonesia mengenai referendum pembebasan Timor timur, yang telah memetik manfaat dari keterlibatan actor regional maupun internasional. Rencana perdamaian Kecuali Sahara ada belum menarik perhatian di masyarakat yang tipis. masih

Internasional. memungkinkan Hingga saat

tekanan di

internasional Barat

Maroko, sangat Barat

referendum ini kontroversi

Sahara atas

menjadi Sahara

perdamaian

dipermasalahkan dan belum menemukan titik terang. Semakin banyaknya

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Setiap laporan tahunannya, Amnesty Internasional mencatat bahwa beberapa anggota pasukan

keamanan Maroko di Sahara Barat yang terlibat dalam beberapa kasus penyiksaan ditangkap dan diadili. Namun, organisasi juga mencatat bahwa dalam sebagaian besar kasus investigasi yang baik tidak dibuka ke pengadilan dan adanya dukungan penyiksaan atau dibuka tapi dipecat tanpa investigasi yang memadai. Sejumlah Sahrawis pun disiksa dan ditangkap oleh pihak pemerintahan Maroko karena mereka mendukung aksi

perdamaian. Para penjajah telah menyerang rakyat, mencuri kekayaan alam negeri tersebut serta memisahkan banyak keluarga dengan membangun tempok pasir sepanjang 2700 km. dan disekitar tembok tersebut terdapat ranjau dan pos tentara. Dan banyak orang-orang dinyatakan hilang karena melawan pemerintahan Maroko karena memilih untuk mendukung aksi referendum perdamaian yang mulanya telah dijadwalkan.

Hingga saat ini diperlukannlah tugas masyarakat internasional untuk memastikan proses dekolonisasi abadi dan hasil dicapai di Sahara Barat. Sangat diperlukannya alternative solusi damai akan kembalinya permusuhan dan destabilisasi seluruh wilayah, sesuatu yang populasi Sahwaris ingin hindari. Bagaimana cara mendorong rasa kepercayaan bagi bangsa Sahwaris untuk berani menentukan masa depan mereka sendiri.

Dalam menangani penyalahgunaan hak asasi manusia yang terjadi di Sahara Barat, beberapa diplomat menyatakan bahwa Dewan keamanan PBB mungkin akan mengubah mandate MINURSO yang didalamnya mencakup pengawasan hak asasi manusia. Namun, pada akhir desemberr 2009, sekjen PBB beserta Menteri Luar Negeri Amerika Serikat bermaksud mengadakan kembali referendum perdamaian untuk Maroko dan Sahara barat. Hal ini dimaksudkan untuk member kemerdekaan Sahara Barat dari kecaman politik pemerintahan Maroko. Semoga saja, titik terang ini berbuah manis untuk Sahara barat.

Walaupun kasus Western Sahara diatas belum selesai hingga saat ini, namun dapat kita lihat lagi-lagi tindakan klaim wilayah terjadi. Biasanya alasan yang mendasar yang menunjang terjadinya tindakan klaim wilayah adalah dikarenakan factor sejarah ataupun letak territorial yang dekat. Meskipun begitu mendapat banyak tekanan dari Mauritania, Maroko, dan Aljazair, termasuk Spanyol yang kerap berusaha menduduki penuh wilayah Sahara Barat, namun masyarakat melalui gerakan Front Polisario tidak gentar berusaha untuk kemudian memproklamirkan berdirinya Republik Demokratik Arab Sahara atau Sahrawi (SADR). Self Determination yang merupakan salah satu prinsip dalam Declaration of principles of international law concerning friendly relations and cooperation among state in accordance with the charter of united nations (PERNYATAAN TENTANG PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL TENTANG HUBUNGAN FRIENDLY DAN CO-OPERASI DI ANTARA NEGARA sesuai dengan Piagam OF THE UNITED NATIONS) merupakan hak dan kewajiban Setiap Negara untuk mempromosikan, melalui tindakan bersama dan terpisah, realisasi dari prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Piagam, dan untuk memberi bantuan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam

melaksanakan tanggung jawab dipercayakan kepadanya oleh Piagam mengenai pelaksanaan prinsip, dalam rangka: (a) Untuk meningkatkan hubungan persahabatan dan kerjasama antara Serikat; dan (b) Untuk membawa cepat mengakhiri kolonialisme, setelah memperhatikan dengan kehendak bebas dari orang-orang yang bersangkutan;

Hal diatas terlihat jelas dalam tindakan yang diambil masyarakat Syahrawi demi mendapatkan kemerdekaan atas negaranya yang independen tanpa ada tekanan dari Negara manapun. Namun hingga saat ini Sahara masih berjuang mempertahankan negaranya dari Maroko. Sebab meskipun

rakyat Sahara tunduk dan percaya pada pemerintahan SADR namun Maroko tetap tidak mau meninggalkan wilayah tersebut yang telah berusaha didudukinya sejak lama. Dan pengakuan dari Negara-negara lain belum cukup untuk menyelesaikan perkara ini.

BAB IV PENUTUP

4.1.

Simpulan Kedaulatan wilayah atas laut merupakan hal yang penting, terutama

untuk negara Indonesia, dimana Indonesia merupakan negara kepulauan. Sebagaimana ketentuan dalam kedaulatan wilayah laut yang sudah dijelaskan sebelumnya, perlulah kiranya kita menjaga kekayaan laut dengan kedaulatan yang dimiliki sehingga negara lain tidak dapat dengan mudah mengklaim wilayah perairan Indonesia yang terkenal kaya sebagai negara Zamrud khatulistiwa. Kedaulatan wilayah atas ruang udara dan ruang angkasa dirasa sangat penting bagi suatu negara. Hal ini dikarenakan, pelanggaran yang menyangkut kedaulatan wilayah atas ruang udara dan ruang angkasa akan berakibat fatal bagi negara itu sendiri. Oleh sebab itu, setiap negara memberi pengaturnnya mengenai ruang udara dan ruang angkasa.

4.2. Saran Masalah klaim bagian wilayah oleh Negara lain hendaknya disikapi serius, mengingat kerentanan dan kompleksitas tantangan yang ada. Untuk mencegah terjadinya kehilangan wilayah Indonesia seperti Sipadan-Ligitan, dan demi memperkuat kedudukan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia maka diperlukan : 1. Sekolah Menegah Atas dan Sekolah Kejuruan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Potensi Akademi Maritim Indonesia di Bitung dan Sekolah Tinggi Kelautan dan Perikanan di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan harus ditingkatkan dengan membuka kelas bagi para pelajar dan siswasiswa di daerah perbatasan. Hal ini telah menjadi Program Menteri Negara PPKTI (Kabinet Pemerintahan yang lalu) dalam membuka

sekolah kejuruan di Perbatasan NTTTimor Leste demikian juga Sarana Perpustakaan Budaya dan Pengetahuan yang akan

dikembangkan di Sekolah-Sekolah Perbatasan Papua dan Papua New Guinea. Di samping itu, di wilayah Barat terutama di Batam rencananya akan dibangun Universitas Maritim Indonesia yang berkelas internasional dengan 16 program studi tentang kelautan, navigasi, hukum laut dan sebagainya. Hal ini belum terlihat di bagian Timur Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan usaha

Departemen Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Pemda Kabupaten Kepulauan Talaud untuk merealisasi hal tersebut, setidaknya pembangunan Sekolah

Menengah Umum dan Sekolah Kejuruan Maritim. 2. Kebijakan regulasi yang tumpang-tindih harus diwaspadai sebagai kelemahan hukum nasional. Apabila terjadi perbenturan UndangUndang Perairan Nasional dengan Undang-Undang Otonomi Daerah tentang hak Pemerintah Daerah Kota atau Kabupaten tentang pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil maka disarankan kepada DPR Kabupaten Talaud untuk membuat Ranperda dan nantinya dijadikan Perda diantaranya mengatur tentang hak-hak nelayan lokal di daerah perbatasan laut dan di wilayah ZEE. Hal ini berfungsi ganda yakni sebagai kekuatan politis-administratif dan yurisdiksi pengamanan di laut. Mengapa hal ini berfungsi sebagai kekuatan politis-administratif? Dalam konteks pengelolaan pemerintahan di daerah perbatasan, harus diberlakukan asas efektivitas dan uti-posidetis. Sebagaimana kasus Pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah Hukum Internasional lebih menerima klaim Malaysia berdasarkan pemberlakuan kewenangan dan pengelolaan terus menerus sehingga walaupun Indonesia berpatokan pada 13 peta kuno tentang wilayah tersebut, tetap klaim Malaysia yang dimenangkan. Hal lainnya adalah yurisdiksi keamanan di laut, apabila telah disusun Peraturan Daerah Tentang Pemanfaatan

dan

Pengelolaan

Lingkungan

Laut,

maka

akan

lebih

mudah

menertibkan nelayan asing dan meningkatkan kebutuhan ekonomi nelayan lokal. 3. Pembangunan landasan pacu saat ini pada tahap pembayaran ganti rugi kepada hak tanah adat dan tanah milik rakyat. Apabila pembangunan instalasi pendukung militer ini selesai, apakah akan membawa peningkatan ekonomi bagi masyarakat setempat? sangat

Sesungguhnya,

penyediaan

sarana-prasarana

umum

dibutuhkan masyarakat daerah tersebut berupa dermaga untuk menunjang lalu-lintas jasa kapal dan tempat penjualan hasil bumi. Disarankan apabila dibangun sarana militer sebaiknya didahului oleh sarana fasilitas umum berupa Tempat Pelelangan Ikan, Jalur Jasa Laut dan moda angkutan laut. Hal ini untuk menjaga kesenjangan sosial yang nanti akan timbul manakala pembangunan dilaksanakan dan rakyat tak dapat menikmati pertumbuhan ekonomi sesudahnya. 4. Sebagai kawasan transit point yang diduga menjadi jalur kelompok teroris, satuan pengamanan di laut harus ditingkatkan dengan mengadakan tindakan polisional berupa sweeping laut. Hal ini harus didukung oleh sarana yang canggih berupa satelit yang mampu memancarkan sonar ke radar yang mendeteksi kapal-kapal asing atau lokal yang secara khusus telah dipasang pin untuk pelayaran internasional. Hal demikian telah dilakukan dalam pemantauan satelit di Kepulauan Arafura. Apabila sistem penginderaan jarak jauh tersebut berfungsi maka alasan ketersediaan kapal patroli akan berkurang karena dengan mengetahui titik kapal yang melewati batas perairan tanpa ijin, dokumen tidak lengkap dan tidak memiliki pin register, akan dengan mudah dapat ditangkap berdasarkan hukum yang berlaku. 5. Penyediaan fasilitas militer di perbatasan dapat didukung dengan Pembentukan Koramil di Pulau Miangas dan Marore mengingat pada hasil Sidang Sub Komite antara Delegasi Indonesia dan Delegasi

Filipina pada 27-30 September 2004 di Hotel Gran Puri Manado, dalam Sidang Sub. Komite A banyak membahas tentang Pos Lintas Batas (PLB) dan Patroli selain kegiatan intelejen. Penempatan fasilitas militer tersebut sangat strategis mengingat situasi dan kondisi Pulau Marore dengan Tabukan Utara tempat kedudukan Koramil 1301-07 sekitar 69 mil dengan jarak tempuh angkutan laut sekitar 7 s/d 8 jam. Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa tempat kedudukan Koramil 1301-15/Nanusa sekitar 75 mil, dengan jarak tempuh angkutan laut sekitar 8 s/d 9 jam. 6. Koordinasi pengamanan di laut hendaknya ditingkatkan. Menyangkut pengelolaan dan pemanfaatan hasil laut dilakukan oleh pihak berwenang sesuai undang-undang, maupun kewenangan menjaga yurisdiksi dan kedaulatan di laut demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

http://bennysetianto.blogspot.com/2006/04/kedaulatan-wilayah.html. http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/1881037-sengketa-pulau miangas-bagian/. http://imran.ngeblogs.com/2009/12/20/544/. http://www.sulutlink.com/mar%2028d.htm. www.wikipedia.com

You might also like