You are on page 1of 136

PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG MENGGUNAKAN BIOFILM BAKTERI PEREDUKSI SULFAT

MUCHAMAD YUSRON

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI


Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan Biofilm Bakteri Pereduksi Sulfat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2009

Muchamad Yusron NRP P062050211

ii

ABSTRACT
MUCHAMAD YUSRON. Treatment of Acid Mine Drainage using Biofilm of Sulfate Reducing Bacteria. Under supervision of DWI ANDREAS SANTOSA, BIBIANA W. LAY and ANAS MIFTAH FAUZI. Many mining and mineral processing industries discharge sulfate and metal containing wastewater, which is called acid mine drainage. The formation of acid mine drainage is generally the result of uncontrolled oxidation of the sulfide minerals present in the terrain in which the drainage flows with concomitant leaching of the metals. The high sulfate content in acid mine drainage can be reduced through chemical neutralization or biological treatment. Active biological treatment has been widely applied by using sulfate reducing microorganisms. These microorganisms can sustain life in acid environment. The aims of the research were: (i) to isolate and identify sulfate reducing bacteria collected from acid environment, (ii) to study environmental factors that influence growth of sulfate reducing bacteria, (iii) to treat acid mine drainage using suspended cell reactor system of sulfate reducing bacteria, and (iv) to evaluate the effectiveness of biofilm of sulfate reducing bacteria reactor for acid mine drainage treatment. The research consists of several stages which started with exploration and identification of sulfate reducing bacteria. On the final stage, the effectiveness of biofilm of sulfate reducing bacteria for acid mine drainage treatment was studied. Four promising isolates of sulfate reducing bacteria which can sustain in acid environment were obtained from coal mining area at Muara Enim, South Sumatra. The bacteria are classified as Desulfovibrio sp., which is characterized as straight rods, motile, non spore- forming and able to grow in simple organic carbon. The activity of bacteria depends on environmental conditions. The optimum pH of Desulfovibrio sp. range between 5-7, and able to reduce sulfate content of about 82-90%. Rice straw can be used as a carbon organic source for bacterial growth. The application of freely suspended sulfate reducing bacteria cell reactor efficiently reduce sulfate and metal content of wastewaters, however operation still need long residence time. With 30 days residence time, 89% of sulfate content was reduced, 97% of dissolved Fe and Mn were reduced and pH increased to 7.5. The application of biofilm of sulfate reducing bacteria cell system reactor was found more efficient in reducing sulfate and metal content of acid mine drainage. With 144 hours residence time, 77.16% of sulfate content was reduced, 88.72% of dissolved Mn and 69.72% of dissolved Fe were reduced, and pH increased up to 7. By using biofilm of sulfate reducing bacteria cell system, sulfate and metal content can be reduced to a value that meet standard quality of industrial wastewaters within 68-80 hours residence time. Keywords : Acid mine drainage, biofilm, sulfate reducing bacteria

iii

RINGKASAN
MUCHAMAD YUSRON. Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan Biofilm Bakteri Pereduksi Sulfat. Dibawah bimbingan : DWI ANDREAS SANTOSA, BIBIANA W. LAY dan ANAS MIFTAH FAUZI. Air asam tambang merupakan limbah pencemar lingkungan yang terjadi akibat aktifitas pertambangan. Limbah ini terjadi karena adanya proses oksidasi bahan mineral pirit (FeS2 ) dan bahan mineral sulfida lainnya yang tersingkap ke permukaan tanah dalam proses pengambilan bahan mineral tambang. Proses kimia dan biologi dari bahan-bahan mineral tersebut menghasilkan sulfat dengan tingkat kemasaman yang tinggi. Secara langsung maupun tidak langsung tingkat kemasaman yang tinggi mempengaruhi kualitas lingkungan dan kehidupan organisme. Upaya untuk mengurangi dampak negatif air asam tambang ini telah dilakukan, baik melalui penggunaan bahan kimia maupun secara biologi. Penambahan bahan alkalin akan meningkatkan nilai pH, mempercepat laju oksidasi ion fero (Fe2+), serta mengendapkan logam terlarut dalam bentuk hidroksida dan karbonat. Teknologi lain adalah pembuatan lahan basah (wetland), baik yang aerob maupun anaerob. Adanya tanaman pada sistem lahan basah ini memberikan kontribusi dalam peningkatan kandungan bahan organik melalui zatzat hasil sekresi dan dekomposisi sisa tanaman. Cara lain yang diharapkan bisa memberikan keuntungan lebih besar adalah dengan memanfaatkan bakteri pereduksi untuk meningkatkan alkalinitas dan mengimobilisasi logam- logam berbahaya. Untuk meningkatkan daya kerja bakteri pereduksi sulfat dalam reaktor adalah dengan mengimobilisasi sel-sel bakteri pada suatu permukaan partikel padatan, sehingga terbentuk biofilm. Dengan adanya biofilm tersebut diharapkan akan meningkatkan efektivitas bakteri dalam meningkatkan pH dan mengendapkan logam berbahaya dalam limbah air asam tambang. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan : (i) mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri pereduksi sulfat yang mampu tumbuh dan beraktivitas pada kondisi masam, (ii) mengetahui faktor- faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat, (iii) mengolah air asam tambang dengan menggunakan bakteri pereduksi sulfat dalam reaktor sistem tersuspensi, dan (iv) mengetahui kinerja reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat untuk mereduksi air asam tambang. Penelitian ini terdiri dari 4 kegiatan, yaitu (1) Eksplorasi dan identifikasi bakteri pereduksi sulfat, (2) Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat pada berbagai kondisi lingkungan, (3) Pengolahan air asam t mbang dengan reaktor anaerob a bakteri pereduksi sulfat tersuspensi, dan (4) Pengolahan air asam tambang dengan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat. Kegiatan 1 dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif, kegiatan 2 sampai 4 menggunakan metode eksperimen di laboratorium. Bakteri pereduksi sulfat diisolasi dari kolam penampungan air asam tambang pertambangan batu bara PT Bukit Asam, Sumatera Selatan. Isolasi dilakukan menggunakan media cair Postgate B yang disederhanakan. Hasil isolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan metode pengenceran. Selanjutnya dilakukan seleksi untuk mendapatkan isolat yang mampu tumbuh pada pH rendah dengan kemampuan mereduksi sulfat dan meningkatkan pH media yang tinggi. iv

Identifikasi dilakukan hanya pada isolat yang dianggap unggul dengan media padat maupun media cair. Penentuan tipe morfologi, pewarnaan Gram dan pewarnaan spora dilakukan dari biakan media padat. Kegiatan kedua dilakukan untuk mempelajari faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat, antara lain pH, konsentrasi (kandungan) sulfat, dan sumber karbon. Pada kegiatan ketiga, pengolahan air asam tambang dilakukan dengan menggunakan kolom pengolahan pada kondisi anaerob bakteri pereduksi sulfat tersuspensi. Kolom dibuat dari kaca dengan ukuran diameter panjang 10 cm, lebar 15, dan tinggi 20 cm, sehingga total volume kolom 3000 cm3 . Limbah asam tambang dimasukkan ke dalam kolom dengan ditambahkan nutrisi starter berupa asam laktat sebanyak 10 mL/L limbah dan isolat bakteri pereduksi sulfat yang telah ditumbuhkan. Tiga isolat yang digunakan pada tahap ini adalah ICBB 8815, ICBB 8816, dan ICBB 8818. Pada kegiatan keempat, unit pengolahan air asam tambang menggunakan biofilm bakteri pereduksi sulfat terdiri dari 3 bak yang terbuat dari kaca, yakni bak pengisi, bak pengolah dan bak penampung. Bak pengolah yang merupakan reaktor anaerob dibuat dengan volume 6000 mL dan dimensi dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm dan tinggi 20 cm. Pada bak pengolah ini diisi 1500 g limbah jerami dan 4000 g batu vulkan (sebagai media tumbuh biofilm), sehingga volume efektif reaktor adalah 3000 mL. Pengolahan limbah dilakukan secara anaerob dengan menggunakan sistem curah (batch). Imobilisasi bakteri pereduksi sulfat dilakukan dengan membiarkan kolom dalam kondisi anaerob selama 14 hari sehingga terbentuk biofilm. Pengamatan pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat yang menempel pada permukaan batu vulkan dilakukan dengan menggunakan metode Scanning Electron Microscopy (SEM). Pengolahan limbah secara anaerob dilakukan dengan 3 perlakuan, yaitu (1) jerami padi (sebagai kontrol), (2) jerami padi dan ICBB 8815, dan (3) jerami padi dan ICBB 8818. Dari penelitian ini diperoleh bahwa kondisi kolam penampungan yang banyak mengandung sulfat dan pH rendah merupakan habitat yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Namun demikian kelompok bakteri tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda, dilihat dari waktu tumbuh dan kemampuan mereduksi sulfat. Dari kegiatan isolasi ini diperoleh empat solat i unggul bakteri pereduksi sulfat yang mampu tumbuh pada pH 3. Keempat isolat tersebut tergolong dalam kelompok Desulfovibrio sp., bakteri yang berbentuk batang, motil, tidak membentuk spora dan menggunakan laktat sebagai sumber organik. Aktivitas bakteri dalam mereduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Bakteri Desulfovibrio sp. dapat tumbuh pada pH rendah, namun pH optimum untuk pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat adalah 5-7, dan mampu mereduksi sulfat dengan tingkat efisiensi 82-90%. Kebutuhan laktat sebagai sumber organik untuk aktivitas bakteri dapat dipenuhi dari bahan organik yang mudah terlapuk. Penggunaan reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi mampu mengurangi kandungan sulfat dan logam terlarut limbah air asam tambang, namun diperlukan waktu yang lama. Dalam waktu 30 hari kandungan sulfat berkurang sebesar 89%, kandungan logam terlarut berkurang 97% dan pH meningkat menjadi 7. Pengolahan limbah air asam tambang menggunakan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat lebih efisien dibandingkan dengan reaktor bakteri pereduksi sulfat v

tersuspensi. Pengolahan limbah dengan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat selama 144 jam mampu menurunkan kandungan sulfat sebesar 77,16%; Mn terlarut berkurang sebesar 88,72% dan Fe terlarut berkurang sebesar 69,72%. Dengan kandungan sulfat awal sekitar 950 mg/L, untuk menurunkan kandungan sulfat dalam limbah air asam tambang sesuai dengan peraturan pemerintah diperlukan waktu sekitar 68-80 jam.

vi

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh kara tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepenttingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor

vii

PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG MENGGUNAKAN BIOFILM BAKTERI PEREDUKSI SULFAT

MUCHAMAD YUSRON

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 viii

Judul Disertasi Nama NRP Program Studi

: : : :

Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan Biofilm Bakteri Pereduksi Sulfat Muchamad Yusron P062050211 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa Ketua

Prof. Dr. drh. Bibiana W. Lay, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng Anggota

Diketahui : Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian : 16 Oktober 2009

Tanggal Lulus :

ix

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan keha dirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan Biofilm Bakteri Pereduksi Sulfat. Disertasi ini m erupakan salah satu syarat penyelesaian pendidikan program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, Prof. Dr. drh. Bibiana W. Lay, M.Sc. dan Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan sejak penyusunan proposal, pelaksanan penelitian hingga selesainya penyusunan disertasi ini. 2. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah banyak memberikan arahan, dorongan dan motivasi selama masa studi sampai penyusunan disertasi ini. 3. Ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa yang telah menyediakan bahan penelitian dan peralatan laboratorium sehingga penulis dapat menyelesaikan keseluruhan tahapan penelitian. 4. Perusahaan tambang batu bara PT. Bukit Asam, Muara Enim yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian selama di lapang dan menyediakan limbah air asam tambang. 5. Kepala Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Departemen Pertanian, yang telah memberikan kesempatan dan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 6. Seluruh staf dan teknisi pada Laboratorium Bioteknologi Lingkungan, Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB), Bogor yang telah banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian. x

7. Istri tercinta Erliza Noor yang selalu dengan sabar memberikan dorongan, semangat dan doa yang tiada hentinya. Untuk kedua anak saya Faisal Rifqi dan Raihan Rifqi terima kasih banyak atas pengertian, kesabaran dan doanya. Akhirnya penulis berharap agar karya ilmiah ini dapat bermanfaat yang yang membaca dan membutuhkan informasi yang berkaitan dengan disertasi ini.

Bogor, Oktober 2009

Muchamad Yusron

xi

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang, Jawa Timur pada tanggal 7 Oktober 1961, merupakan anak kelima dari sebelas bersaudara dari pasangan (Alm) Anang Bachrudin dan (Alm) Rahayu. Penulis menyelesaikan pendididikan menengah pada SMA Negeri 3 Malang pada tahun 1980, kemudian menyelesaikan pendidikan pada Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang pada tahun 1985. Pada tahun 1997 penulis menyelesaikan studi program S2 pada Faculty of Environmental Sciences, Griffith University, Australia. Pada tahun 2005 diterima sebagai mahasiswa S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Bogor.

xii

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kerangka Pemikiran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Hipotesis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Novelty . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Limbah Air Asam Tambang Bakteri Pereduksi Sulfat Teknologi Biofilm Pembentukan Biofilm METODE PENELITIAN ........................... .... ....................... Teknik Remediasi Air Asam Tambang xv xvi xviii 1 1 3 6 8 8 9 9 10 10 14 19 28 29 31 31 32 39 40 41 42 42 49 63

.................................. ....................................

.......................................

.....................................

Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pelaksanaan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Metode Analisa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Analisa Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Penyimpanan Biakan .....................................

HASIL DAN PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Eksplorasi dan Identifikasi Bakteri Pereduksi Sulfat . . . . . . . . . . . . . . Pertumbuhan Bakteri Pereduksi Sulfat pada Berbagai Kondisi Lingkungan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengolahan Air Asam Tambang dengan Reaktor Bakteri Pereduksi Sulfat Sistem Tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

xiii

Pengolahan Air Asam Tambang dengan Bioreaktor Biofilm Bakteri Pereduksi Sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . KESIMPULAN DAN SARAN .................................

69 82 84 92

DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

xiv

DAFTAR TABEL
Halaman 1. 2. 3. 4. Beberapa hasil studi penggunaan biofilm dalam pengolahan air asam tambang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Donor elektron dan sumber karbon bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . Data termodinamika oksidasi beberapa sumber karbon dan energi selama reduksi sulfat secara biologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Indikasi keberadaan bakteri pereduksi sulfat dari lumpur di kolam penampungan air asam tambang di pertambangan batu bara Muara Enim, Sumatera Selatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Nilai pH dan kandungan SO4 2- contoh air asam tambang di Muara Enim, Sumatera Selatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Isolat dan asal isolat yang telah dimurnikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kemampuan reduksi sulfat isolat bakteri pereduksi sulfat pada pada konsentrasi sulfat 500 mg/L dan pH awal 3, 4 dan 6 . . . . . . . . . . . . . Karakteristik empat isolat unggul bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . Pengaruh pH media terhadap waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat, konsentrasi sulfat 1000 mg/L . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengaruh pH terhadap efisiensi bakteri dalam mereduksi sulfat . . . . Tingkat kenaikan pH pada pH awal media yang berbeda . . . . . . . . . . Waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat pada beberapa level konsentrasi sulfat pada pH 4 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengaruh konsentrasi sulfat awal terhadap total sulfat yang tereduksi Waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat pada laktat dan limbah jerami padi sebagai sumber karbon organik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Karakteristik kimia limbah air asam tambang PIT-1, Bangko Barat, Muara Enim . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Jumlah koloni bakteri pereduksi sulfat terimobil pada batu vulkan . . 5 22 25 43

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

44 46 47 48 50 54 57 58 58 60 64 72

xv

DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. 2. 3. 4. 5. Perumusan masalah air asam tambang . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . Proses pelarutan mineral pirit oleh bakteri Thiobacillus sp. . . . . . . . . Proses oksidasi besi dan sulfur oleh bakteri Thiobacillus sp. . . . . . . . Skema proses metabolisme reduksi sulfat dan pemanfaatan sumber karbon . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Skema aliran elektron dalam sel Desulfovibrio, dimana H2 atau senyawa organik sebagai sumber energi dan sulfat sebagai akseptor elektron . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Skema mekanisme siklus hidrogen untuk menghasilkan energi pada Desulfovibrio yang tumbuh pada laktat sebagai sumber energi dan sulfat sebagai akseptor elektron . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Bagan pelaksanaan kegiatan penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Rancangan reaktor pengolahan air asam tambang secara anaerob .. . . Rancangan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat untuk pengolahan air asam tambang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Indikasi terjadinya reduksi sulfat oleh bakteri pereduksi sulfat hasil isolasi di kolam penampungan limbah air asam tambang di Muara Enim, Sumatera Selatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengaruh pH terhadap kecepatan tumbuh beberapa isolat bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengaruh pH terhadap pertumbuhan empat isolat bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kandungan sulfat pada akhir penelitian pada level pH yang berbeda . Total sulfida yang terbentuk pada akhir pengamatan pada level pH yang berbeda . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengaruh pH dan bakteri pereduksi sulfat terhadap nilai pH akhir . . . Pengaruh konsentrasi sulfat terhadap kemampuan bakteri dalam mereduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengaruh konsentrasi sulfat awal terhadap kandungan sulfida yang terbentuk . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengaruh sumber karbon organik terhadap pola pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat Desulfovibrio sp. ICBB 8818 . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengaruh sumber karbon terhadap kemampuan bakteri dalam mereduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengaruh sumber karbon terhadap total sulfida yang terbentuk . . . . . 7 13 13 21 22

6.

23

7. 8. 9. 10.

31 37 38 44

11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

50 52 54 55 56 59 59 62 63 63

xvi

21. 22. 23. 24 25. 26. 27. 28. 29. 30.

Pola pertumbuhan tiga isolat bakteri pereduksi sulfat pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Penurunan konsentrasi sulfat pada limbah air asam tambang pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Peningkatan sulfida yang terbentuk pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Peningkatan pH limbah air asam tambang pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Penurunan konsentrasi logam terlarut limbah air asam tambang pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Foto permukaan batu vulkan hasil pengamatan dengan scanning electron microscopy perbesaran 10.000x. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik penurunan konsentrasi sulfat dan produksi sulfida pada reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik kenaikan pH limbah air asam tambang pada reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik peningkatan COD limbah air asam tambang pada reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Grafik penurunan konsentrasi logam terlarut limbah air asam tambang dengan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat . . . . . . . . . .

65 66 67 68 69 71 74 75 76 78

xvii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Morfologi dan karakter fisiologi bakteri hasil isolasi dari lumpur kolam penampungan limbah air asam tambang PT Bukit Asam, Muara Enim . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Baku Mutu Air Limbah Kegiatan Penambangan Batu Bara, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 113 Tahun 2003 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Data pengamatan pengaruh pH terhadap waktu tumbuh BPS . . . . . . Data pengamatan pengaruh pH media pertumbuhan empat isolat BPS Data pengamatan pengaruh pH media terhadap sisa sulfat . . . . . . . . Data pengamatan pengaruh pH media terhadap persentase reduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . .. . . . . . . . . Data pengamatan pengaruh pH media terhadap pembentukan sulfida Data pengamatan pengaruh pH terhadap kenaikan pH . . . . . . . . . . . Data pengamatan pengaruh pH media terhadap delta kenaikan pH . . 92

2.

93

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

94 95 96 97 98 99 100

Data pengamatan pengaruh konsentrasi sulfat terhadap waktu 101 tumbuh BPS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . .. . . . . . Data pengamatan pengaruh konsentrasi sulfat terhadap reduksi sulfat 102 Data pengamatan pengaruh konsentrasi sulfat terhadap persentase 103 reduksi sulfat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Data pengamatan pengaruh konsentrasi sulfat terhadap pembentukan 104 sulfida . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Data pengamatan pengaruh laktat sebagai sumber karbon organik 105 terhadap waktu tumbuh BPS, kenaikan pH, sisa sulfat dan sulfida yang terbentuk . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Data pengamatan pengaruh jerami padi sebagai sumber karbon 106 organik terhadap waktu tumbuh BPS, kenaikan pH, sisa sulfat dan sulfida yang terbentuk . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Data pengamatan pengaruh sumber karbon organik terhadap 107 pertumbuhan BPS ICBB 8818 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Data pengamatan pola pertumbuhan tiga isolat BPS pada reaktor BPS tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Data pengamatan penurunan konsentrasi sulfat pada reaktor BPS tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 108 109

15.

16. 17. 18. 19. 20.

Data pengamatan peningkatan konsetrasi sulfida pada reaktor BPS 110 tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Data pengamatan peningkatan pH pada reaktor BPS tersuspensi . . . 111 xviii

21. 22. 23. 24. 25. 26.

Data pengamatan penurunan Fe dan Mn terlarut pada reaktor BPS 112 tersuspensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Data pengamatan penurunan konsentrasi sulfat dalam reaktor biofilm BPS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 113

Data pengamatan peningkatan konsentrasi sulfida dalam reaktor 114 biofilm BPS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Data pengamatan kenaikan pH dalam reaktor biofilm BPS . . . . . . . Data pengamatan penurunan Mn terlarut dalam reaktor biofilm BPS Data pengamatan penurunan Fe terlarut dalam reaktor biofilm BPS 115 116 117

xix

I.
1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN

Selama empat dekade terakhir industri tambang menjadi salah satu tulang punggung perkembangan ekonomi dan sosial di Indonesia. Hasil survei industri pertambangan Indonesia yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers tahun 2002 (Wahju, 2003) memperlihatkan bahwa total kontribusi industri

pertambangan terhadap ekonomi nasional tahun 2001 sebesar Rp. 14,3 triliun dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan regional dan masyarakat

sebesar Rp. 279 miliar. Pada tahun 2004 produksi batu bara Indonesia mencapai 127 juta ton dan meningkat menjadi 150 juta ton pada tahun 2005. Dengan

produksi sebesar itu pada tahun 2004 Indonesia mampu mengekspor batubara lebih dari 95 juta ton. Dari data yang ada saat ini, sumber batu bara (resources) sebanyak 57,8 milyar ton. Dari jumlah tersebut hanya 7 milyar ton yang

merupakan cadangan pasti. Sebagian besar cadangan tersebut hanya tersebar di Sumatera Selatan (37 persen), Kalimantan Timur (35 persen) dan Kalimantan Selatan (26 persen). Industri pertambangan merupakan industri yang mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menyebabkan perubahan lingkungan. Industri pertambangan mempunyai potensi besar untuk memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama untuk daerah terpencil. Industri pertambangan dikenal sebagai industri pionir karena investasi pertambangan memerlukan pembangunan infrastruktur yang mampu membuka suatu wilayah dari isolasi geografis. Disisi lain industri

pertambangan juga merupakan industri yang dapat menimbulkan perubaha n lingkungan secara drastis, sehingga dapat mengancam kelestarian fungsi lingkungan dan fungsi sosial kehidupan masyarakat. Banyak sekali bukti

pencemaran lingkungan sebagai akibat kegiatan pertambangan. Salah satu pencemaran lingkungan yang terjadi akibat aktifitas

pertambangan adalah air asam tambang. Air asam tambang terjadi karena adanya proses oksidasi bahan mineral pirit (FeS2 ) dan bahan mineral sulfida lainnya. Bahan mineral tersebut tersingkap ke permukaan tanah dalam proses pengambilan bahan mineral tambang. Proses oksidasi tersebut terjadi dengan adanya mineral

pirit, air dan oksigen. Seperti diketahui deposit mineral batubara mengandung 120 persen bahan pirit-sulfur dan sulfur organik (Johnson dan Hallberg, 2005). Proses kimia dan biologi dari bahan-bahan mineral pirit tersebut menghasilkan ion sulfat dengan tingkat kemasaman yang tinggi, atau yang lebih dikenal dengan air asam tambang ( cid Mine Drainage). Air asam tambang A tersebut kemudian menyebar masuk ke tanah-tanah di sekitarnya dan bahkan masuk ke aliran air sungai. Tingkat kemasaman yang tinggi pada limbah air asam tambang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas lingkungan dan kehidupan organisme. Sebagian besar tumbuhan dan hewan tidak mampu hidup pada pH rendah, sehingga merusak keragaman ekosistem, dan hanya mikroorganisme asidofil yang mampu bertahan dan hidup pada pH rendah (Ingledew, 1990). Tingkat kemasaman yang tinggi meningkatkan kelarutan logam- logam berbahaya, seperti As, Cd, Cr, dan Pb, yang sering berasosiasi dengan mineral pirit (Sobolewski, 1999). Meningkatnya kelarutan logam- logam tersebut sangat membahayakan organisme air, karena akan berakibat pada keracunan dan bahkan dapat menyebabkan kematian hewan air. Oleh karena itu, peningkatan kelarutan logam berbahaya tersebut akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Keberadaan logam terlarut sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan kelangsungan hidup di lingkungan. Walaupun pada konsentrasi yang sangat

rendah efek ion logam terlarut dapat berdampak langsung ataupun terakumulasi dalam rantai makanan (Suhendrayatna, 2001). Logam terlarut tersebut dapat

ditransfer dengan jangkauan yang sangat jauh di lingkungan, berpotensi mengganggu kehidupan biota lingkungan dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Sampai saat ini limbah tambang di Indonesia, baik dalam bentuk air asam tambang maupun limbah tailing, belum dikelola dengan baik, sehingga potensi pencemaran lingkungan tanah dan sistem perairan darat sangat besar. Pembentukan air asam tambang di Indonesia cukup tinggi, mengingat 95% tambang di Indonesia adalah tambang terbuka dan intensitas hujan sangat tinggi. Di daerah pertambangan batu bara di Kalimantan, walaupun tidak ada data yang pasti, namun kondisi di lapang memperlihatkan pencemaran limbah air asam

tambang yang cukup luas. Namun demikian, sampai saat ini belum ada data kuantitatif dampak kerusakan lingkungan sebagai akibat limbah air asam tambang.

1.2

Kerangka Pemikiran Upaya untuk mengurangi dampak negatif air asam tambang ini telah

dilakukan, baik melalui penggunaan bahan kimia maupun secara biologi. Salah satu proses pengolahan aktif adalah dengan menambahkan bahan kimia yang dapat menetralisir kemasaman limbah. Penambahan bahan alkalin akan meningkatkan nilai pH, mempercepat laju oksidasi ion fero (Fe2+), serta mengendapkan logam terlarut dalam bentuk hidroksida dan karbonat. Beberapa bahan penetralisir yang banyak digunakan antara lain adalah kalsium oksida, kalsium karbonat, sodium hidroksida, magnesium oksida dan magnesium hidroksida (Johnson dan Hallberg, 2005). Efektivitas masing- masing bahan tersebut sangat beragam. Sodium hidroksida (NaOH) jauh lebih efektif tetapi harganya sangat mahal. Penggunaan bahan kimia tersebut sangat efektif dalam mengolah air asam tambang, tetapi biaya operasionalnya sangat tinggi, serta menghasilkan lumpur limbah yang sangat banyak, terutama pada penggunaan senyawa kalsium. Teknologi lain yang juga banyak dikembangkan adalah pembuatan lahan basah (wetland), baik yang aerob ma upun anaerob. Adanya tanaman pada sistem lahan basah ini memberikan kontribusi meningkatkan kandungan bahan organik melalui zat- zat hasil sekresi dan dekomposisi sisa tanaman. Disamping itu,

pengurangan konsentrasi logam sebagian terjadi karena proses pengendapan logam dengan adanya reduksi sulfat secara biologi, dan sebagian kecil juga diserap oleh tanaman. Keuntungan dari sistem ini adalah biaya yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan dengan sistem penambahan bahan kimia alkalin. Namun demikian sistem ini juga mempunyai kelemahan, diantaranya adalah bahwa sistem ini
+ menurunkan nilai pH karena adanya pelepasan H selama proses pengendapan

logam.

Disamping itu, proses sistem lahan basah sangat lambat dan

membutuhkan lahan yang luas.

Strategi yang diharapkan bisa memberikan keuntungan lebih besar adalah dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk menghasilkan dan meningkatkan alkalinitas dan mengimobilisasi logam- logam berbahaya. Beberapa

mikroorganisme mampu tumbuh dan hidup di lingkungan yang banyak mengandung sulfat, dan memanfaatkan ion sulfat sebagai terminal akseptor elektron dan memanfaatkan bahan organik sebagai donor elektron (Moosa et al., 2002), atau yang banyak dikenal sebagai bakteri pereduksi sulfat. Beberapa genus bakteri pereduksi sulfat antara lain adalah Desulfobacter, Desulfococcus, Desulfotomaculum, Desulfomonas, Desulfomena, Desulbacterium, Desulfovibrio, Desulfosarcina, Desulfomonile, Thermodesulfofhabdus dan Desulfocinum. Pemanfaatan bakteri pereduksi sulfat untuk mengolah air asam tambang telah banyak diteliti, namun sebagian besar masih dalam bentuk sel bebas. Kelemahan dari pendekatan ini adalah bahwa sel bebas bakteri bisa tercuci oleh aliran air, sehingga mengurangi efektifitas daya kerjanya. Salah satu cara untuk meningkatkan daya kerja bakteri pereduksi sulfat adalah dengan mengimobilisasi sel-sel bakteri pada suatu permukaan partikel padatan, sehingga terbentuk biofilm. Dengan adanya biofilm tersebut diharapkan akan meningkatkan efektivitas bakteri dalam meningkatkan pH dan mengendapkan logam berbahaya dalam limbah air asam tambang. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan biofilm bakteri pereduksi sulfat mampu mengurangi kandungan sulfat (Tabel 1). Penelitian tersebut menggunakan berbagai jenis bakteri, matriks pembawa (carrier matrix) dan sumber karbon organik. Chen et al. (1994) menggunakan bakteri Desulfovibrio desulfuricans, dan memanfaatkan pasir sebagai matriks pembawa dan laktat sebagai sumber karbon organik. Metode berbeda digunakan oleh Jong dan Parry (2003), yakni dengan menggunakan bakteri kultur campuran, pasir sebagai matriks pembawa dan laktat sebagai sumber karbon organik. Dengan menerapkan metode yang berbeda, laju reduksi sulfat juga bervariasi 0,005 sampai 0,271 g/L/jam. Berdasarkan hasil- hasil penelitian tersebut, pada penelitian ini dibuat reaktor dengan menggunakan bakteri pereduksi sulfat,

matriks pembawa dan sumber karbon organik yang berbeda, dengan tujuan untuk meningkatkan la ju reduksi dan efisiensi reduksi sulfat.

Tabel 1. Beberapa hasil studi penggunaan biofilm dalam pengolahan air asam tambang
Bakteri Tipe reaktor *) Carrier matrix/sumber organik Pasir/laktat Pasir + pirit + bahan organik Keramik berpori /etanol Batuan lava /methanol Pupuk kandang /methanol Pasir/laktat Pasir/laktat Suhu (oC) pH Laju alir (mL/jam) Konsentrasi sulfat awal (g/L) 2,5 3,66 2,0 1,97 0,9 1,484 0,9 Waktu tinggal (jam) 16,2 12,0 4,2 6,6 21,8 6,5 Laju pengisian (g/L/jam) 0,155 0,167 0,469 0,136 0,068 0,138 Laju reduksi (g/L/jam) 0,02 0,005 0,132 0,271 0,072 0,031 0,015

Pustaka

Kultur campuran Campuran mulsa dan limbah gergaji Campuran Campuran Pupuk kandang Campuran Desulfovibro desulfuricans

UPBR (4,78 L) UPBR (0,785 L) UPBR (0,85 L) UPBR (3,9 m3 ) UPBR (7,85 L) UPBR (2,515 L) UPBR (1,18 L)

25 23-26 25

4,5 6,46 2,9 3,2 2,9 3,2 4,2 4,5 7

156,6 180 36 65

Jong dan Parry, 2003 Waybrant et al., 2002 Glombitza, 2001 Glombitza, 2001 Tsukamoto dan Miller, 1999 Elliot et al., 1998 Chen et al., 1994

*) UPBR = Up-flow packed bed bioreactor

1.3

Perumusan Masalah Limbah air asam tambang merupakan permasalahan lingkungan yang

dihadapi di seluruh industri tambang di dunia. Melihat permasalahan lingkungan yang ditimbulkan, beberapa tindakan telah dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak negatif tersebut. Salah satu langkah adalah langkah Prinsip

preventif, yakni menghindari terjadinya limbah air asam tambang.

langkah preventif ini adalah menghindari terjadinya proses oksidasi bahan mineral pirit dan sulfida lainnya (Johnson dan Hallberg, 2005), yakni dengan menyimpan batuan mineral pirit dalam kondisi anaerob. Upaya preventif ini cukup sulit untuk diterapkan, sehingga langkah yang bisa dilakukan adalah meminimalkan dampak negatif limbah air asam tambang terhadap aliran dan ekosistem sungai, serta dampak negatif tersebut terhadap lingkungan yang lebih luas. Ada beberapa teknik yang telah dikembangkan untuk mengurangi dampak negatif limbah asam tambang. Teknik remediasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi remediasi abiotik dan biologi (Johnson dan Hallberg, 2005). Teknik remediasi abiotik yang telah dikembangkan antara lain dengan cara menetralisir sifat masam tersebut yakni dengan menambahkan bahan kimia (Coulton et al., 2003). Teknik ini dikenal dengan perlakuan aktif. Penambahan bahan-bahan alkalin pada limbah asam tambang akan meningkatkan pH, mempercepat laju oksidasi kimia dari ion Fe2+ dan mengendapkan logam- logam yang ada pada larutan dalam bentuk hidroksida atau karbonat. Strategi remediasi secara biologi (bioremediasi) didasarkan pada

kemampuan beberapa mikroorganisme untuk menghasilkan dan meningkatkan alkalinitas dan mengimobilisasi logam- logam berbahaya. Pendekatan penting dalam pengolahan air asam tambang adalah meningkatkan pH dan mengurangi konsentrasi sulfat, yang merupakan faktor penting untuk menghilangkan logam beracun dari limbah air asam tambang. Oleh karena itu, Suyasa (2002) mencoba meningkatkan pH dan mengurangi logam terlarut dengan memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat. Untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang cukup sesuai, beberapa mikroorganisme membentuk suatu koloni yang menempel di permukaan padatan, yang dikenal dengan biofilm (Watnik dan Kolter, 2000). Pembentukan biofilm ini

sering terjadi pada saat substrat sumber energi mikroorganisme berada dalam jumlah yang kurang mencukupi (Marshal, 1998), sehingga mampu memanfaatkan keterbatasan tersebut secara efisien. Donian (2002) mendefinisikan biofilm

sebagai sekumpulan sel mikrob yang berasosiasi dan menempel pada matriks padatan terutama bahan-bahan polisakarida, serta bahan-bahan lain seperti partikel batuan, mineral kristal, dan lain- lain. Pembentukan biofilm tersebut menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi aktivitas mikrob (Santegoeds, et al., 1998). Oleh karena itu, pembentukan dan pemanfaatan biofilm bakteri pereduksi sulfat akan meningkatkan efektivitas bakteri dalam meningkatkan pH dan mengendapkan logam berbahaya dalam limbah air asam tambang. Berdasarkan permasalahan, secara ringkas permasalahan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif limbah air asam tambang disajikan pada Gambar 1.

AIR ASAM TAMBANG

REMEDIASI

BAHAN KIMIA

MIKROB

BAKTERI PEREDUKSI SULFAT REMEDIASI ABIOTIK REMEDIASI BIOLOGI

BIOFILM BAKTERI PEREDUKSI SULFAT

LIMBAH RAMAH LINGKUNGAN

Gambar 1. Perumusan masalah air asam tambang

Dari uraian tersebut, permasalahan yang dipecahkan dalam penelitian ini adalah : 1. Ada mikrob di alam yang mampu tumbuh dan berkembang pada kondisi asam. Seberapa jauh mikrob tersebut dapat dimanfaatkan dalam pengolahan limbah air asam tambang ? 2. Faktor lingkungan apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan mikrob bakteri pereduksi sulfat ? 3. Apakah bakteri pereduksi sulfat yang terimobilisasi dalam bentuk biofilm lebih efektif dalam mereduksi sulfat dan logam- logam terlarut dibandingkan dalam bentuk sel bebas ?

1.4

Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah menghasilkan teknologi pengolahan

limbah air asam tambang dengan memanfaatkan teknik biofilm bakteri pereduksi sulfat. Untuk mendapatkan hasil tersebut, maka tujuan masing- masing kegiatan penelitian adalah sebagai berikut, 1. Mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri pereduksi sulfat yang mampu tumbuh dan beraktivitas pada kondisi masam, 2. Mengetahui faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat, 3. Mengolah air asam tambang dengan menggunakan bakteri pereduksi sulfat dalam reaktor sistem tersuspensi, 4. Mengetahui kinerja reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat untuk mereduksi air asam tambang

1.5

Hipotesis Sesuai dengan tujuan masing- masing tahapan kegiatan, maka hipotesis

penelitian secara keseluruhan adalah : 1. Kolam penampungan limbah air asam tambang di daerah pertambangan batu bara merupakan habitat yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat.

2.

Pertumbuhan dan aktifitas bakteri pereduksi sulfat dipengaruhi faktor lingkungan

3.

Efisiensi mikrob dalam mereduksi sulfat dalam air asam tambang lebih tinggi dalam kondisi terimobilisasi (biofilm) dibandingkan dengan kondisi tersuspensi.

4.

Efisiensi mikrob dalam mereduksi kandungan logam dalam air asam tambang lebih tinggi dalam kondisi terimobilisasi (biofilm) dibandingkan dengan kondisi tersuspensi.

1.6. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1. Bakteri pereduksi sulfat yang diisolasi dari ekosistem spesifik di Indonesia mampu menambah penge tahuan dan kekayaan sumberdaya hayati 2. Teknologi biofilm bakteri pereduksi sulfat ini mampu dimanfaatkan secara lebih luas dalam praktek di lapangan, sehingga dapat mengurangi dampak negatif limbah asam tambang terhadap lingkungan.

1.7. Novelty Teknik pengolahan limbah air asam tambang dengan menggunakan biofilm bakteri pereduksi sulfat, dengan memanfaatkan batu vulkan sebagai matriks pembawa dan limbah jerami padi sebagai sumber karbon organik.

10

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Limbah Air Asam Tambang Limbah air asam tambang merupakan permasalahan lingkungan yang dihadapi di seluruh industri tambang di dunia. Di Amerika Serikat pencemaran limbah air asam tambang di seluruh wilayah pertambangan mencakup area sekitar 25.000 hektar dan mencemari wilayah aliran air permukaan yang cukup luas (Durkin dan Herrmann, 1994). Di Indonesia di wilayah industri pertambangan limbah air asam tambang menjadi permasalahan lingkungan yang krusial. Hasil monitoring limbah pertambangan batu bara di Kalimantan, atau pertambangan tembaga di Nusa Tenggara dan Papua, memperlihatkan bahwa limbah air bua ngan tambang masih melebihi ambang batas mutu air. Hal ini yang menyebabkan kondisi lingkungan di sekitar limbah buangan tersebut mengalami kerusakan. Air asam tambang adalah limbah yang mengancam kelestarian lingkungan yang terbentuk akibat kegiatan p ertambangan. Johnson dan Hallberg (2005)

mengemukakan bahwa pada tahun 1989 diperkirakan 19.300 km badan sungai dan 72.000 hektar danau dan bendungan di berbagai belahan di dunia mengalami kerusakan karena limbah air asam tambang, walaupun tingkat kerusakan tersebut sulit untuk diukur secara tepat. Proses terjadinya air asam tambang telah diuraikan secara rinci oleh Johnson (2003). Air asam tambang merupakan hasil reaksi oksidasi batuan

tambang yang kaya akan mineral sulfida. Banyak jenis mineral sulfida yang ada di alam, seperti pyrrhotite (FeS), arsenopirit (FeAsS), chalcopirit (CuFeS2 ), dan pirit (FeS2 ). Pirit merupakan mineral sulfida yang banyak dijumpai pada Batuan sulfida tersebut mengalami oksidasi dengan pertambangan batu bara.

adanya air dan oksigen, yang dikatalis oleh bakteri pengoksida besi dan sulfur, seperti Thiobacillus ferrooxidans, Leptospirillum ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans (Schipper, 2004; Cohen, 2005; Johnson dan Halberg, 2005). Reaksi oksidasi pirit merupakan reaksi y ang kompleks, sehingga Lizama dan Suzuki (1989) membagi proses oksidasi pirit menjadi tiga reaksi utama, yakni (i) reaksi spontan yang terjadi saat mineral pirit tersingkap ke permukaan tanah, (ii) reaksi dipercepat dengan adanya ion Fe3+, dan (iii) reaksi biologi yang mengikutsertakan aktivitas oksidasi bakteri pengoksida besi dan sulfur.

11

Reaksi oksidasi pirit (FeS2 ) dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut: FeS2 (s) + 7/2 O2 + H2O Fe2+ + 1/4 O2 + H+ FeS2 (s) + 14Fe3+ + 8H2O Fe3+ + 3H2 O Fe2+ + 2SO4 2- + 2H+ Fe3+ + H2 O 15 Fe2+ + 2SO4 2- + 16 H+ Fe(OH)3 (s) + 3H+ (1) (2) (3) (4)

Secara keseluruhan oksidasi pirit mengikuti persamaan berikut, FeS2 (s) + 15/4 O2 + 7/2 H2 O Fe(OH)3 (s) + 2SO4 2- + 4H+ + energi (5) Reaksi (1) dan (2) menunjukkan oksidasi mineral sulfida pirit membentuk ion Fe3+, sulfat dan beberapa proton pembentuk kemasaman, sehingga kondisi lingkungan menjadi lebih asam. Ion Fe3+ merupakan pengoksida yang cukup kuat, sehingga mempercepat oksidasi mineral sulfida membentuk ion sulfat (Fowler dan Crundwell, 1998). Penurunan kemasaman lingkungan merupakan kondisi yang cukup sesuai bagi pertumbuhan mikrob asidofilik pengoksida besi dan sulfur. Proses oksidasi pirit menjadi Fe2+ dan SO42- sangat dipengaruhi oleh konsentrasi Fe3+ dan pH lingkungan. Peningkatan konsentrasi Fe3+ akan

mempercepat laju oksidasi pirit, sedangkan peningkatan nilai pH lingkungan akan menghambat laju oksidasi pirit (Williamson dan Rimstidt, 1994). Hossner dan Doolittle (2003) mengemukakan bahwa pada nilai pH di bawah 4, ion Fe3+ akan mudah larut dan menjadi pengoksida kuat bagi mineral sulfida. Pada kondisi demikian laju oksidasi FeS2 berubah sesuai dengan perubahan waktu tergantung pada konsentrasi FeS2 . Pada nilai pH lebih dari 4, laju oksidasi FeS2 akan konstan sepanjang waktu, dan pada nilai pH di atas 4,5, oksidasi FeS2 lebih banyak terjadi dengan adanya oksigen, sedang bakteri T. ferrooxidans kurang aktif. Vaughan et al. (2001) mengemukakan bahwa reaksi oksidasi mineral sulfida dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia mineral sulfda, diantaranya adalah perbandingan stoikiometri kandungan logam dan sulfur dalam mineral sulfida dan ukuran permukaan mineral. Dikemukakan bahwa ukuran permukaan mineral

akan menentukan reaksi kimia yang terjadi, seperti interaksi antara mineral pirit dengan beberapa logam tertentu (Cu dan Cd), dan reaksi redoks.

12

Proses oksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+ dipercepat dengan adanya mikrob pengoksida besi, seperti T. ferrooxidans dan L. ferrooxidans. T. ferrooxidans mampu memanfaatkan Fe3+ untuk mengoksidasi senyawa sulfur, tetapi laju oksidasi sulfur tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan oksidasi Fe2+ (Lizama dan Suzuki, 1989). Laju oksidasi FeS2 akan dipercepat dengan adanya Fe3+ dan bakteri T. ferrooxidans (Fowler et al., 1999). Hossner dan Doolittle (2003) mengemukakan bahwa dengan adanya aktivitas bakteri pengoksida, laju oksidasi meningkat sampai 106 kali lipat, sedang Schrenk et al. (1998) mengemukakan bahwa percepatan laju pelarutan pirit ole h bakteri mencapai 10-5 mol Fe per sel per hari pada pH 0,7 dan suhu 42o C. Keberadaan bakteri pengoksida Fe dan sulfur sangat mempengaruhi laju oksidasi mineral pirit. Sand dan Gehrke (2006) mengemukakan bahwa bakteri pengoksida T. ferrooxidans tidak ha nya mampu meningkatkan laju oksidasi pirit melebihi laju oksidasi yang terjadi secara kimia, tetapi bakteri T. ferrooxidans juga mampu berinteraksi langsung dengan mineral melalui sekresi ektraselular atau melalui oksidasi dengan enzim spesifik mineral sulfida yang ada di permukaan dinding sel, dengan mengikuti persamaan seperti di bawah ini FeS2 + H2 O + 7/2O2
bakteri

Fe2+ + 2SO4 2- + 2H+

Proses pelarutan dan oksidasi mineral oleh bakteri terjadi melalui singgungan langsung bakteri dengan permukaan partikel mineral. Naveke (1986) menggambarkan pentingnya peran bakteri dalam proses pelarutan dan oksidasi pirit seperti pada Gambar 2. FeS2 akan terurai menjadi Fe2+ dan S2-. Selanjutnya bakteri T. ferrooxidans akan berperan dalam mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ seperti disajikan pada Gambar 3(a). T. ferrooxidans mengoksidasi Fe2+ untuk menghasilkan energi yang kemudian dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan sel bakteri. Sedangkan S2- atau S0 dioksidasi menjadi SO4 2- oleh T. ferrooxidans bersama-sama denga n T. thiooxidans, seperti pada Gambar 3. Proses oksidasi S2- menjadi SO4 2- mengikuti reaksi berikut, S2- So S2O32- S4 O6 2- SO32- SO42-

13

Gambar 2. Proses pelarutan mineral pirit oleh bakteri Thiobacillus sp.

(a)

(b) Gambar 3. Proses oksidasi besi dan sulfur oleh bakteri Thiobacillus sp.

Bakteri T. ferrooxidans mengoksidasi sulfida menjadi sulfat untuk mendapatkan energi bagi pertumbuhannya. Melalui proses tersebut, T.

ferrooxidans mampu melarutkan logam dari senyawa sulfida secara langsung maupun tidak langsung seperti reaksi berikut (Lizama dan Suzuki, 1987), MS + 2O2 MS + 2Fe2+ M2+ + SO42 M2+ + S0 + 2Fe2+ (secara langsung) (secara tidak langsung)

14

dimana MS adalah logam sulfida dan M2+ adalah ion logam bervalensi 2. Ion Fe2+ dan S0 akan teroksidasi oleh T. ferrooxidans membentuk Fe3+ dan SO4 2-. Terbentuknya ion sulfat sangat mempengaruhi kemasaman lingkungan. Pada pH 2.5 sampai 3.5, sulfat akan melarutkan ion- ion logam dari bentuk karbonat dan oksidanya dan relatif rendah terhadap logam sulfida (Greenberg et al., 1992). Disamping itu, adanya ion Fe3+ yang merupakan pengoksida kuat mampu melarutkan mineral- mineral logam sulfida, seperti timbal, tembaga, seng dan kadmium, seperti persamaan berikut : MS + 2Fe3+ M2+ + S2- + 3Fe2+

Melalui reaksi tersebut, logam- logam berat dalam mineral sulfida akan teroksidasi menjadi ion logam yang terlarut (Leduc dan Ferroni, 1994). Dengan adanya kandungan sulfat dan logam yang terlarut menyebabkan limbah air asam tambang sangat berbahaya bagi kehidupan flora dan fauna, serta ekosistem secara keseluruhan (Downing, 2002). Tingkat kemasaman yang tinggi meningkatkan kelarutan logam- logam berbahaya, seperti As, Cd, Cr, Pb, dan Se. Meningkatnya kelarutan logam- logam tersebut akan sangat membahayakan organisme air, karena akan berakibat pada keracunan dan bahkan dapat menyebabkan kematian hewan air. Dengan demikian, peningkatan kelarutan logam berbahaya tersebut akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Tingkat kemasaman yang tinggi pada limbah air asam tambang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas lingkungan dan kehidupan organisme. Sebagian besar tumbuhan dan hewan tidak mampu hidup pada pH rendah, dan hanya mikroorganisme asidofil yang mampu bertahan dan hidup pada pH rendah (Ingledew, 1990). Sampai saat ini limbah air asam

tambang ini belum dikelola dengan baik, sehingga mencemari sistem perairan darat, dan bahkan mencemari perairan pesisir dan laut.

2.2. Teknik Remediasi Air Asam Tambang Cukup banyak teknologi yang telah dikembangkan untuk mengolah air asam tambang. Berdasarkan proses pengolahannya, teknologi pengolahan air asam

tambang dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu (1) proses aktif dan (2)

15

proses pasif, s edang Johnson dan Halberg (2005) mengelompokkan teknologi tersebut berdasarkan pada bahan yang digunakan, yakni remediasi abiotik dan remediasi biologi. Proses aktif lebih sering kali dimaksudkan sebagai aplikasi penambahan bahan alkalis secara terus menerus untuk menetralkan limbah air asam tambang, sedangkan istilah proses pasif adalah penggunakan ekosistem lahan basah (wetland) baik secara alami maupun buatan. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa kelebihan dari proses pasif adalah biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan lahan basah lebih sedikit dibandingkan proses aktif.

2.2.1. Strategi remediasi abiotik Berdasarkan prosesnya, strategi remediasi abiotik dapat dikelompokkan menjadi teknologi aktif dan teknologi pasif.

2.2.1.1. Teknologi aktif Teknologi yang banyak berkembang untuk mengurangi dampak negatif air asam tambang adalah proses pengolahan aktif, termasuk didalamnya penambahan bahan kimia yang dapat menetralisir kemasaman limbah. Penambahan bahan alkalin akan meningkatkan nilai pH, mempercepat laju oksidasi ion fero (Fe2+), serta mengendapkan logam terlarut dalam bentuk hidroksida dan karbonat. Berbagai bahan penetralisir telah banyak digunakan seperti kalsium oksida, kalsium karbonat, sodium hidroksida, magnesium oksida dan magnesium hidroksida. Efektivitas masing- masing bahan tersebut sangat beragam. Sodium hidroksida (NaOH) jauh lebih efektif tetapi harganya sangat mahal. Penambahan bahan kimia tersebut sangat efektif dalam mengolah air asam tambang, tetapi biaya operasionalnya sangat tinggi, serta meghasilkan lumpur limbah yang sangat banyak, terutama pada penggunaan senyawa kalsium. Untuk meningkatkan

efisiensi penggunaan bahan kimia, dan untuk mengurangi limbah yang dihasilkan, beberapa peneliti telah melakukan perbaikan teknik pengendalian limbah air asam tambang. Aube dan Payant (1997) mencoba memperbaiki teknik pengolahan limbah melalui penambahan bahan kimia secara bertahap dan mempertahankan nilai pH, mampu membersihkan beberapa logam seperti arsenik dan molibdenum.

16

2.2.1.2. Teknologi pasif Salah satu cara penambahan bahan alkalin pada limbah air asam tambang adalah dengan menggunakan anoxic limestone drains (ALD). Teknik ini dimaksudkan untuk menambahkan bahan alkalin (kapur) dalam kondisi anoksik sehingga dapat mempertahankan ion Fe2+ dalam bentuk tereduksi dan mengendapkan Fe(OH)3 dalam kapur. Penambahan bahan kapur akan

meningkatkan nilai pH pada kisaran 6-7 yang akan mendorong pengendapan logam. Dibandingkan lahan basah kompos buatan (constructed compost wetlands), biaya yang dibutuhkan dalam penerapan teknik ALD jauh lebih sedikit, namun teknik ini tidak dapat diterapkan pada semua limbah air asam tambang. Pada kondisi dimana air asam tambang mengandung ion ferri atau aluminium yang tinggi, penerapan teknik ALD akan memberikan hasil yang cukup baik. Namun dengan adanya endapan hidroksida akan mengurangi permeabilitas drainase, dan hal ini sering terjadi sekitar 6 bulan setelah pembuatan ALD. Oleh karena itu, teknik ALD ini diterapkan dan merupakan bagian dari pengolahan pasif, yang diterapkan bersama-sama dengan lahan basah aerob atau lahan basah kompos. Kleinmann et al. (1998) melaporkan bahwa penambahan ALD pada lahan basah buatan mampu mengolah air asam tambang dengan efektif.

2.2.2. Strategi remediasi biologi 2.2.2.1. Proses biologi

Dasar pengembangan pengolahan air asam tambang secara biologi adalah memanfaatkan kemampuan mikroorganisme menghasilkan alkalinitas dan mengikat logam, sehingga pada dasarnya bioremediasi merupakan reaksi kebalikan dari pembentukan air asam tambang (Johnson dan Hallberg, 2005). Proses mikrobiologi untuk menghasilkan alkalinitas umumnya merupakan proses reduksi dan mencakup beberapa proses biologi seperti denitrifikasi,

methanogenesis, reduksi sulfat, serta reduksi Fe dan Mn. Amonifikasi, yakni proses pelepasan ammonium dari senyawa organik mengandung N, juga merupakan proses penghasil alkalin. Namun karena keterbatasan bahan yang

17

direduksi, seperti nitrat, proses ini tidak banyak berpengaruh terhadap proses pembentukan dan pengolahan air asam tambang. Mikroorganisme yang mampu melakukan fotosintesis akan memanfaatkan basa lemah (bikarbonat) dan menghasilkan basa kuat (ion hidroksil) seperti persamaan berikut ini, 6HCO3 - + 6H2O C6 H12 O6 + 6O2 + 6OHReduksi ion Fe3+ yang terlarut tidak menurunkan kemasaman larutan, sedangkan reduksi senyawa Fe3+ dalam bentuk padatan akan mempengaruhi kemasaman larutan, dengan mengikuti persamaan di bawah ini, Fe(OH)3 + 3H+ + e- Fe2+ + 3H2 O dimana e- adalah donor elektron yang diperoleh dari bahan organik. Bakteri yang mengkatalisis proses reduksi sulfat menjadi sulfida akan menghasilkan kondisi alkalin dengan mengubah asam kuat (H2 SO4 ) menjadi asam yang lebih lemah (H2 S) seperti persamaan berikut ini, SO42- + 2CH2 O + 2H+ H2 S + 2H2 CO3 H2 S dan 2H2 CO3 yang terbentuk selama proses reduksi SO4 2- dalam larutan akan berkeseimbangan dengan senyawa H2 S, HS -, S2-, CO2 , HCO3 - dan CO32-. Senyawa tersebut merupakan penyangga sehingga kemasaman larutan menjadi netral atau agak basa. Peningkatan nilai pH memperbaiki kondisi air asam tambang. Disamping itu, proses reduksi SO4 2- merupakan mekanisme penting untuk menghilangkan logam dari air asam tambang. Zn2+ + H2 S ZnS + 2H+ Dari semua teknik bioremediasi sistem pasif, lahan basah buatan dan bioreaktor kompos merupakan dua teknik yang telah digunakan dalam sistem pengolahan air asam tambang skala besar. Kelebihan utama dari sistem Logam- logam tersebut akan bereaksi dengan

sulfida membentuk logam sulfida yang tidak larut, seperti persamaan berikut,

pengolahan pasif adalah biaya pemeliharaan relatif murah, dan limbah padat dari proses remediasi berupa endapan yang ada dalam sistem lahan basah. Namun demikian sistem ini juga mempunyai kelemahan seperti membutuhk an lahan yang cukup luas dan hasil yang terkadang tidak pasti seperti pada sistem pengolahan secara kimiawi (Johnson dan Hallberg, 2005).

18

2.2.2.2. Sistem biologi pasif : lahan basah aerob Pada dasarnya lahan basah aerob adalah buatan manusia yang dibentuk dengan menggali tanah dan mengisinya dengan tanah dan liat sebagai media tumbuh bagi tanaman lahan basah. Air asam tambang kemudian dialirkan dalam lahan basah tersebut. Laju aliran air asam tambang yang lambat menghasilkan waktu tinggal yang tinggi. Pada proses ini logam akan dihilangkan melalui proses oksidasi dan mengendapkannya dalam bentuk logam oksihidroksida atau logam hidroksida. Sebagai ilustrasi dari reaksi tersebut dapat digambarkan reaksi ion Fe sebagai contoh, seperti pada reaksi di bawah ini, Fe2+ + 1/4 O2 + H+ Fe3+ + 1/2 H2 O Fe3+ + 2H2 O FeOOH + 3H+ 4Fe3+ + 12H2 O 4Fe(OH)3 + 12H+ Proses oksidasi Fe masih menjadi perdebatan, apakah oksidasi tersebut murni oksidasi abiotik, atau dipercepat dengan adanya aktivitas mikroorganisme (Johnson dan Hallberg, 2005). Tanaman lahan basah memberikan kontribusi meningkatkan kandungan bahan organik melalui zat-zat hasil sekresi dan dekomposisi sisa tanaman. Disamping itu, pengurangan konsentrasi logam sebagian terjadi karena proses pengendapan logam dengan adanya reduksi sulfat secara biologi, dan sebagian kecil juga diserap oleh tanaman. Keuntungan dari sistem ini adalah biaya yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan dengan sistem aktif. Namun demikian sistem ini juga mempunyai kelemahan, diantaranya adalah bahwa sistem ini menurunkan nilai pH karena adanya pelepasan H+ selama proses pengendapan logam. Disamping itu, proses sistem lahan basah sangat lambat dan membutuhkan lahan yang luas.

2.2.2.3. Sistem biologi pasif : Lahan basah anaerob Seperti juga lahan basah aerob, sistem ini juga dibuat oleh manusia, dimana batu kapur diletakkan pada bagian dasar lahan basah kemudian dilapisi bahan organik, atau dicampur dengan bahan organik (Collins et al., 2004). Batuan kapur akan memberikan kondisi alkalin pada air asam tambang, sedang bahan organik

19

menjadi media tumbuh bagi tanaman lahan basah dan sumber energi bagi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Bakteri tersebut juga menghasilkan kondisi alkalin melalui proses oksidasi bahan organik dan memanfaatkan energi yang dihasilkan untuk reduksi sulfat. Reaksi pelepasan alkalin oleh bahan kapur dan reduksi sulfat dengan adanya asetat sebagai senyawa organik digambarkan pada persamaan reaksi berikut ini, CaCO3 + H+ Ca2+ + HCO3 SO42- + CH3 COO - H2 O + CO2 + HCO3- + S2Dengan adanya aliran air asam tambang melalui bahan organik menyebabkan kondisi anoksik. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat dan menghasilkan sulfida. Pada kondisi tidak ada oksigen bebas , oksidasi logam akan berjalan lebih lambat sehingga pembentukan logam oksihidroksida juga lambat dibandingkan dengan kondisi aerob. Hilangnya logam terjadi melalui pengendapan dalam bentuk logam sulfida, sebagian diserap oleh tanaman, dijerap dalam bentuk bahan organik dan dalam bentuk logam hidroksida dan logam oksihidroksida (Wouls dan Ngwenya, 2004). Kelemahan dari sistem ini adalah terjadinya pelapisan batu kapur oleh logam hidroksida dan logam oksihidroksida yang mengendap. Disamping itu, sistem ini membutuhkan area yang cukup luas.

2.2.2.4. Sistem biologi pasif : Successive alkalinity producing system Successive alkalinity producing system (SAPS) merupakan suatu teknik yang mengkombinasikan teknologi lahan basah kompos dengan anoxic limestone drains (ALD). Pada sistem ini batu kapur diletakkan di bagian dasar, sedangkan bahan organik berada di atas batu kapur. Air asam tambang dilewatkan dan keluar dari sistem melalui bagian dasar sistem. Kandungan oksigen dalam air asam tambang akan berkurang dengan adanya bahan organik, yang kemudian akan melewati batu kapur yang bersifat alkalin (Johnson dan Hallberg, 2005).

2.3. Bakteri Pereduksi Sulfat Bakteri yang mampu menggunakan sulfat sebagai akseptor dalam respirasi dikenal sebagai bakteri pereduksi sulfat. Bakteri pereduksi sulfat memanfaatkan

20

sulfat (SO4 2-), tiosulfat (S2 O32-) dan sulfit (SO3 2-) sebagai akseptor elektron terminal dalam respirasi metabolismenya, yang kemudian direduksi menjadi sulfida. Disamping itu, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bakteri pereduksi sulfat juga memerlukan susbtrat organik umumnya asam organik rantai pendek seperti asam laktat dan piruvat, yang dihasilkan oleh aktivitas fermentasi bakteri anaerob lainnya. Bakteri pereduksi sulfat merupakan heterotrof anaerob. Sampai saat ini telah dikenal lebih dari 10 genus bakteri pereduksi sulfat. Bakteri

pereduksi sulfat yang dikenal dan ditemukan secara luas di alam antara lain adalah Desulfovibrio dan Desulfotomaculum (Moodie dan Ingledew, 1991). Berdasarkan cara penguraian asam organik, bakteri pereduksi sulfat dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok (Kleikemper et al., 2002). Kelompok pertama mengoksidasi senyawa donor secara tidak sempurna, dan menghasilkan senyawa asetat. Kelompok Desulfotomaculum yang membentuk spora dan

Desulvofibrio yang tidak membentuk spora merupakan bakteri yang mengoksidasi senyawa organik secara tidak sempurna. Kelompok kedua mampu tumbuh

menggunakan alkohol, asetat, asam lemak berbobot molekul tinggi, dan benzoat, seperti Desulfotomaculum acetoxidans, Desulfobacter, Desulfococcus,

Desulfosacrina dan Desulfonema (Detmers et al., 2001). Beberapa spesies dan genus bakteri anaerob dapat bertahan sementara dengan adanya oksigen, namun membutuhkan lingkungan anaerob (tanpa oksigen) untuk pertumbuhannya.

2.3.1. Sumber Karbon dan Energi Bakteri Pereduksi Sulfat Ada beberapa tipe sumber karbon dan energi yang digunakan oleh bakteri pereduksi sulfat. Lens et al., (1998) mengemukakan bahwa bakteri pereduksi sulfat mampu memanfaatkan berbagai macam sumber karbon. Karbon tersebut merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan kehidupan

mikroorganisme. Reaksi reduksi sulfat oleh bakteri pereduksi sulfat mengikuti persamaan seperti berikut, SO42- + 8e- + 4H2 O S2- + 8OHPada reaksi tersebut, elektron yang dibutuhkan diperoleh dari aktivitas oksidasi bahan organik (laktat, asetat, propionat, dan lain- lain) yang dilakukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Disamping sebagai donor elektron, sumber karbon

21

juga berfungsi sebagai sumber energi. Skema proses metabolisme reduksi sulfat dan pemanfaatan sumber karbon disajikan pada Gambar 4. Pada tahap awal sumber karbon akan dioksidasi dan menghasilkan ATP, kemudian ATP tersebut dimanfaatkan untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida. Pada kondisi dimana

hidrogen dipergunakan sebagai donor elektron, maka CO2 akan dimanfaatkan sebagai sumber karbon. Beberapa sumber karbon yang dapat dipergunakan oleh bakteri pereduksi sulfat disajikan pada Tabel 2.

Sumber karbon
ADP ADP ATP

SO4 2- + H2 O
ADP

Menghasilkan elektron Flovoproteins, sitochrome C3, dll.


ATP

menghasilkan ATP

ATP

CO2 +H2 O+CH3 COOH atau CO2 , H2 O Oksidasi Transpor elektron

S2- + OH-

Reduksi

Gambar 4. Skema proses metabolisme reduksi sulfat dan pemanfaatan sumber karbon (Postgate, 1984)

Banyak teori yang membahas mekanisme reduksi sulfat oleh bakteri pereduksi sulfat, salah satunya yang dikemukakan oleh Matias et al., (2005). Pada mekanisme ini, energi yang diperoleh dari oksidasi laktat ditransfer ke hidrogenase yang berada di sitoplasma dan menghasilkan H2 . H2 kemudian dioksidasi kembali untuk menghasilkan elektron, dan melepaskan proton H+ yang dipergunakan untuk mendorong pembentukan ATP. ATP kemudian dipergunakan dalam proses bertahap reduksi sulfat menjadi S2-(Gambar 5).

22

Tabel 2.

Donor elektron dan sumber karbon bakteri pereduksi sulfat (Hansen, 1988)
Sumber karbon dan energi Hidrogen, karbon dioksida Format, asetat, propionat, isobutarat, 2- dan 3- metilbutirat, asam lemak C tinggi (sampai C20 ), piruvat, laktat Suksinat, fumarat, malat, oksalat, maleinat, glutarat, pimelat Metanol, etanol, propanol, butanol, glikol etilen, 1, 2 dan 1,3 propenediol, gliserol Lisin, serin, sistin, treonin, valin, leusin, isoleusin, aspartat, glutamat, fenolalanin Kolin, furfural, oksamat, fruktosa, benzoat, 2-, 3-, dan 4-OHbenzoat, sikloheksan karbonat, hipurat, asam nikotin, indol, antranilat, quinolin, fenol, p-cresol, katechol, resorcinol, hidroquinin, protokatechuat, floroglusinol, pirogalol, 4-OHfenilasetat, 3-fenilpropionat, 2-aminobenzoat, dihydroksiaseton

Kelompok Senyawa Anorganik Asam monokarboksilat Asam dikarboksilat Alkohol Asam amino Lain-lain

Gambar 5. Skema aliran elektron dalam sel Desulfovibrio, dimana H2 atau senyawa organik sebagai sumber energi dan sulfat sebagai akseptor elektron (Matias et al., 2005; Dikutip atas ijin Carrondo, 2009)

23

Mekanisme lain adalah yang diusulkan oleh Odom dan Peck (1981). Mekanisme ini merupakan model siklus hidrogen yang dimanfaatkan oleh bakteri yang hidup dengan laktat sebagai sumber karbon organik (Gambar 6). Elektron dari laktat akan digunakan oleh hidrogenase sitoplasma untuk menghasilkan hidrogen yang dapat melewati membran sel dan digunakan oleh dehidrogenase periplasma. Proton yang dihasilkan akan tetap berada di periplasma, sedangkan elektron ditransfer keluar membran sel untuk mereduksi sulfat.

Gambar 6. Skema mekanisme siklus hidrogen untuk menghasilkan energi pada Desulfovibrio yang tumbuh pada laktat sebagai sumber energi dan sulfat sebagai akseptor elektron (Odom dan Peck, 1981; Dikutip atas ijin Carrondo, 2009).

Desulfotomaculum

thermocisternum

merupakan

bakteri

yang

memanfaatkan hidrogen sebagai donor elektron dalam mereduksi sulfat (Nielsen et al., 1996). Beberapa spesies bakteri pereduksi sulfat dilaporkan mampu

mengoksidasi bahan organik seperti alkana (C 13 sampai C18 ), 1-alkena (C 15 dan C16 ) dan 1-alkanol (C 15 dan C16 ), toluene, o-xylen, m- xylen, o-etiltoluen, m-

24

etiltoluen, p-xylen, naftalena, etilbenzen dan benzen (Perez-Jimenez et al., 2001; Elshahed dan McInerney, 2001; Morash et al., 2001; Harms et al., 1999; So dan Young, 1999; Nakagawa et al., 2002), sedangkan Widdel (1992) dan Dhillon et al. (2003) melaporkan bahwa Desulfobacterium memanfaatkan dan menguraikan asam lemak rantai pendek, etanol dan laktat. Berdasarkan kemampuannya dalam mengoksidasi sumber karbon, bakteri pereduksi sulfat dibagi menjadi dua kelompok, yakni (1) kelompok yang mengoksidasi sumber karbon secara sempurna menjadi CO2 , dan (2) kelompok yang mengoksidasi sumber karbon tidak sempurna menghasilkan asetat dan CO2 . Beberapa spesies dari genus Desulfobacter, Desulfosarcina, Desulfococcus, Desulfobacterium, Desulfoorculus, Desulfomonile dan Desulfonema termasuk dalam kelompok yang mengoksidasi sumber karbon secara sempurna, termasuk beberapa spesies diantaranya adalah Desulfotomaculum acetoxidans,

Desulfotomaculum sapomandens dan Desulfovibrio baarsii (Postgate, 1984; Colleran et al., 1995). Spesies bakteri pereduksi sulfat yang mengoksidasi

sumber karbon secara tidak sempurna antara lain adalah Desulfovibrio thermophilus, Desulfovibrio sapovarans, Desulfomas pigra,

Thermodesulfobacterium commune, dan sebagian besar spesies dari genus Desulfotomaculum, Desulfomonas dan Desulfobulbus (Colleran et al., 1995). Tabel 3 menyajikan standar energi yang dibutuhkan (? Go ) dalam proses oksidasi beberapa sumber karbon yang berbeda. Postgate (1984) mengemukakan bahwa laktat merupakan sumber karbon yang paling banyak dimanfaatkan oleh bakteri pereduksi sulfat. Kelemahan

penggunaan laktat adalah bahwa hanya sebagian dari laktat yang dioksidasi menjadi asetat dan CO2 , sehingga jumlah laktat yang dibutuhkan untuk mereduksi sulfat lebih banyak. Disamping itu, dengan adanya asetat yang dihasilkan menyebabkan peningkatan COD pada sistem perairan. Mekanisme penting bagi aktivitas bakteri pereduksi sulfat adalah proses reduksi sulfat tersebut berlangsung dalam kondisi anaerob dan kondisi faktor lingkungan yang optimal bagi pembentukan sulfida yang maksimal. Secara ringkas reaksi metabolik bakteri pereduksi sulfat dengan laktat sebagai sumber karbon utama adalah sebagai berikut (Bayoumy et al., 1998) :

25

Tabel 3. Data termodinamika oksidasi beberapa sumber karbon dan energi selama reduksi sulfat secara biologi (Postgate, 1984).
? Go Reaksi (Kcal/reaksi; Kcal/mole SO4 2-) 4H2 (hidrogen) + SO4 2- 4H2 O + S2CH3 COO- (asetat) + SO4 2- H2 O + CO2 + HCO3 - + S24HCOO- (format) + SO4 2- 4HCO3 - + S24CH3 COCOO- (piruvat) + SO4 2- 4CH3 COO- + 4CO2 + S22 CH5 COCOO- (laktat) + SO4 2- 2CH3 COO- + 2CO2 + 2H2 O + S22C4 H4 O5 2- (malat) + SO4 2- 2CH3 COO- + 2CO2 + 2 HCO3 - + S22C4 H2 O4 2- (fumarat) + H2 O + SO4 2- 2CH3 COO- + 2CO2 + 2 HCO3 - + S24C4 H4 O4 2- (suksinat) + 3SO4 2- 4CH3 COO- + 4CO2 + 4 HCO3 - + 3S2- 29,66 - 2,97 - 43,70 - 79,20 - 33,60 Oksidasi tidak sempurna - 43,30 - 45,50 - 36,00 Oksidasi Sempurna Tipe

? Go : Standar energi yang dibutuhkan

26

2 C3 H5O3- + SO4 2- 2 CH3 COO - + 2 CO2 + 2 H2 O + S2(laktat) (asetat)

Reduksi sulfat dapat terjadi pada kisaran pH, tekanan, suhu dan salinitas yang lebar, namun ketersediaan senyawa karbon sebagai donor elektron dan molekul hidrogen dapat menjadi pembatas. Disamping itu, reduksi sulfat juga dihambat oleh kehadiran oksigen, nitrat, dan ion Fe (III), dan kehadiran bakteri metanogenik yang juga memanfaatkan donor elektron (Bratcova et al., 2002).

2.3.2. Peranan Bakteri Pereduksi Sulfat Bakteri pereduksi sulfat adalah bakteri yang memanfaatkan sulfat (SO4 2-), tiosulfat (S2 O3 2-), sulfit (SO3 2-) sebagai penerima elektron di dalam respirasi metabolismenya (Hockin dan Gadd, 2003). Dalam respirasinya bakteri pereduksi sulfat memerlukan substrat organik sebagai donor elektron. Substrat organik tersebut umumnya berupa asam-asam organik rantai pendek seperti asam laktat, piruvat, dan asam organik lainnya. Di alam substrat tersebut dihasilkan dari

aktivitas fermentasi bakteri anaerob lainnya. Bakteri pereduksi sulfat juga menggunakan H2 sebagai sumber donor elektron yang utama, seperti yang terjadi pada reaktor laju tinggi. Bakteri pereduksi sulfat akan menggunakan senyawa karbon jika ketersediaan sulfat melebihi ketersediaan hidrogen yang dapat dioksidasi, yakni 4 mol hidrogen per mol sulfat (Tsukamoto dan Miller, 1999). Oksidasi asam laktat oleh bakteri pereduksi sulfat menjadi asam piruvat berlangsung dengan bantuan enzim dehidrogenase. Piruvat kemudian dikonversi menjai asetil fosfat dan karbondioksida dengan melepaskan ion hidrogen. Rangkaian transformasi laktat ini melibatkan enzim piruvat dehidrogenase, fosfotransasetilase dan sitoplasmik hidrogenase yang dimiliki oleh kelompok bakteri pereduksi sulfat ( Ogata dan Yagi, 1986; Czechowski dan Rossmoore, 1990). Kelompok bakteri pereduksi sulfat mengoksidasi bahan organik dan H2 dengan menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron, menghasilkan hidrogen sulfida dan bikarbonat, seperti rekasi berikut :

27

2 CH2 O + SO425 H2 + SO42-

H2 S + 2 HCO3 H2 S + 4 H2 O + 2e

(x) (y)

Pembentukan bikarbonat mengindikasikan kemampuan bakteri pereduksi sulfat dalam mengontrol pH di sekitar lingkungan mikronya (Cohen, 2005). Ion bikarbonat yang dihasilkan selama proses reduksi sulfat akan membentuk kesetimbangan antara CO2 , HCO3 -, dan CO 32-. Meskipun demikian, ion

bikarbonat merupakan bentuk utama yang terdapat pada pH optimal dimana respirasi secara desimilasi sulfat oleh bakteri pereduksi sulfat berlangsung. Peningkatan pH tersebut akan meningkatkan proses hidrolisa dan pengendapan beberapa ion logam dalam bentuk hidroksida dan oksida (Stumm dan Morgan, 1981). Proses reaksi ion sulfida juga dipengaruhi oleh pH lingkungan dimana reaksi berlangsung. Bentuk kesetimbangannya seperti pada persamaan berikut,
a pKa(7.0)

H2 S (g)

H2 S (l)

HS-

pKa(12.9)

S2- (Lens et al., 1998)

dimana HS - terbentuk pada pH netral, S2- terbentuk pada pH tinggi dan bersifat terlarut, sedang H2 S terbentuk pada pH rendah dan bersifat tidak terlarut. Ion sulfida (S2-) yang terbentuk akan bereaksi dengan ion logam terlarut untuk membentuk lo gam sulfida yang tidak larut mengikuti persamaan berikut, M2+ + S22+

MS (s)

dimana M adalah kation logam bervalensi dua. Proses reduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh beberapa kondisi, antara lain waktu tinggal, pH, suhu, oksigen terlarut, dan potensial redoks. Bakteri pereduksi sulfat adalah bakteri anaerob obligat yang membutuhkan lingkungan mikro anaerob dengan nilai potensial redoks < -100 mV. Willow dan Cohen (2003) mengemukakan bahwa pH optimal bagi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat berkisar antara 5 sampai 8, sedang Suyasa (2002) memperoleh bahwa bakteri pereduksi sulfat yang diisolasi dari ekosistem air hitam Kalimantan mampu menyesuaikan diri pada pH 2.5, dan menunjukkan pertumbuhan yang pesat pada kisaran pH antara 4 dan 7.

28

2.4. Teknologi Biofilm Biofilm adalah sekumpulan sel mikroorganisme yang melekat erat ke suatu permukaan sehingga berada dalam keadaan diam, tidak mudah lepas atau berpindah tempat. Pelekatan ini disertai dengan penumpukan bahan organik yang diselubungi oleh matrik polimer ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri tersebut (Donian, 2002). Pembentukan biofilm tersebut menciptakan kondisi

lingkungan yang optimal bagi aktivitas mikrob (Santegoeds et al., 1998). Biofilm terbentuk karena adanya interaksi antara bakteri dan permukaan yang ditempeli. Interaksi ini terjadi sangat ditentukan oleh beberapa faktor seperti kelembaban permukaan, ketersediaan makanan, pembentukan matrik ektraseluler, serta faktor fisiko-kimia lainnya seperti interaksi muatan permukaan dan bakteri, ikatan ion, ikatan van der Walls, pH, dan tegangan permukaan (Donian, 2002). Waktu yang diperlukan untuk membentuk biofilm sangat beragam, tergantung dari jenis mikrob, permukaan bahan penempelan dan kondisi lingkungan. Bakteri pereduksi sulfat mulai membentuk biofilm antara 1-2

minggu setelah inkubasi. Santegoeds et al. (1998) melaporkan bahwa bakteri pereduksi sulfat mulai membentuk biofilm satu minggu setelah inokulasi, sedang Beyenal dan Lewandowski (2004) mendapatkan bahwa pada media hematit biofilm bakteri pereduksi sulfat mulai terbentuk 2 minggu setelah inkubasi. Acinetobacter calcoaceticus mulai terimobilisai membentuk biofilm 24 jam setelah inokulasi (Hrenovic et al., 2005). Selanjutnya dikemukakan bahwa

kecepatan pembentukan biofilm juga ditentukan oleh tipe permukaan dan ukuran partikel. Kelebihan mikrob yang membentuk biofilm antara lain adalah sel mikrob mampu bertahan pada kondisi makanan yang terbatas (Marshal, 1998). Disamping itu, Watnik dan Kolter (2000) mengemukakan bahwa sel dalam bentuk biofilm mempunyai kemampuan bertahan yang lebih baik pada kondisi yang tidak menguntungkan. Pada mikrob patogen, sel mempunyai laju transfer gen yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada sel plankton. Imobilisasi bakteri untuk membentuk biofilm dilakukan untuk menghasilkan kepadatan populasi sel dalam bioreaktor yang lebih tinggi, sehingga dihasilkan ukuran bioreaktor yang lebih kecil, waktu tinggal yang lebih pendek dan laju

29

aliran yang lebih tinggi (Hrenovic et al., 2005). Kondisi ini yang memungkinkan bahwa teknologi biofilm mampu meningkatkan efisiensi bioremediasi. Masak et al. (2003) membuktikan bahwa dengan menggunakan teknik biofilm laju penghilangan meningkat secara signifikan. Melihat keunggulan biofilm, teknologi ini telah banyak diterapkan pada pengendalian pencemaran lingkungan, terutama untuk menguraikan senyawa organik menjadi senyawa anorganik, seperti penguraian pentan dengan menggunakan Arthrobacter sp. (Ionata et al., 2005), penguraian limbah toluen

(Di Lorenzo et al., 2005), remediasi limbah merkuri (von Canstein et al., 2001), serta dalam pencemaran lingkungan lainnya.

2.5.

Pembentukan Biofilm Pada kondisi yang memungkinkan, secara alami mikroorganisme akan

membentuk biofilm. Lingkungan yang ideal untuk membentuk biofilm adalah jika ada kontak antara permukaan benda padat dengan cairan. Menurut Donian (2002), pembentukan biofilm diawali dengan pengkondisian permukaan padatan, yakni dengan penempelan molekul bahan organik pada permukaan padatan. Hal ini terjadi segera setelah terjadi kontak antara permukaan benda padat dengan cairan. Pada tahapan berikutnya, sel bakteri akan melekat ke permukaan dengan adanya daya tarik elektrostatis dan fisik. Sel bakteri tersebut selanjutnya

menempel pada permukaan padatan dengan adanya extracellular polymeric substances (EPS). OToole (2003) mengemukakan bahwa EPS tersebut tidak hanya berfungsi sebagai bahan pengikat antara sel dengan permukaan padatan, tetapi berperan dalam sistem pertukaran ion untuk mengikat nutrisi dalam air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sel. Pada saat ketersediaan nutrisi mencukupi, sel bakteri berkembang dan sel baru membentuk EPS tersendiri. Perkembangan semacam ini terus berlanjut, sehingga membentuk kelompok koloni yang saling terkait. Kecepatan pelekatan bakteri pada permukaan padatan pertama ditentukan oleh karakteristik sel bakteri. Hidrofobisitas permukaan sel, keberadaan fimbriae dan flagela, serta produksi EPS, merupakan beberapa karakteristik bakteri yang menentukan kecepatan pelekatan bakteri (Donian, 2002). Hidrofobisitas

30

permukaan sel sangat mempengaruhi proses adhesi karena permukaan yang hidrofobik meningkatkan interaksi dengan permukaan padatan. Keberadaan

fimbirae dan flagela juga mempengaruhi kecepatan pelekatan sel ke permukaan dengan cara mengurangi pengaruh daya tolak yang terjadi antar permukan. Proses pembentukan biofilm juga dipengaruh oleh faktor lingkunga n, diantaranya adalah permukaan bahan padatan, luas area permukaan, kecepatan laju alir dan ketersediaan nutrisi. Karakteristik permukaan bahan padatan menjadi faktor kunci yang menentukan proses penempelan sel bakteri (Donian, 2002). Penempelan koloni bakteri lebih mudah terjadi pada permukaan yang kasar. Hal ini dikarenakan pada permukaan yang kasar, pemukaan padatan semakin luas. Karakateristik fisiko-kimia permukaan juga sangat menentukan laju penempelan. Sel bakteri lebih cepat menempel pada permukaan hidrofobik dan non polar dari permukaan yang bersifat hidrofilik. Bakteri pada umumnya mempunyai muatan negatif, tetapi masih mempunyai komponen permukaan hidrofobik. Cordas et al. (2008) karakteristik tersebut akan menentukan elektroaktif permukaan sehingga menentukan kecepatan penempelan sel bakteri pereduksi sulfat pada permukaan padatan.

31

III. METODE PENELITIAN


3.1. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari 4 kegiatan. Kegiatan 1 dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif, kegiatan 2 sampai 4 menggunakan metode eksperimen di laboratorium.

3.1.1. Tahapan Kegiatan Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam empat tahapan seperti pada bagan berikut : Kegiatan Pertama Eksplorasi dan identifikasi bakteri pereduksi sulfat

Kegiatan Kedua Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat pada berbagai kondisi lingkungan

Kegiatan Ketiga Pengolahan air asam tambang dengan reaktor anaerob bakteri pereduksi sulfat tersuspensi

Kegiatan Keempat Pengolahan air asam tambang dengan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat Gambar 7. Bagan pelaksanaan kegiatan penelitian

3.1.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Pelaksanaan kegiatan penelitian dilakukan di beberapa laboratorium. Kegiatan isolasi bakteri pereduksi sulfat sampai pengolahan air asam tambang pada reaktor biofilm dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan, Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB), Bogor. Identifikasi bakteri hasil isolasi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

32

Kedokteran Hewan IPB, sedangkan pengamatan pembentukan biofilm pada batu vulkan menggunakan Scanning Electron Microscopy dilakukan di Laboratorium Pengujian Material, Pusat Penelitian Metalurgi, LIPI Serpong. Analisa kimia dilakukan di Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Penelitian Obat dan Aromatik Bogor. Penelitian secara keseluruhan dilaksanakan selama 24 bula n, mulai

Februari 2007 sampai Februari 2009.

3.2. Pelaksanaan Penelitian 3.2.1. Eksplorasi dan Identifikasi Bakteri Pereduksi Sulfat 3.2.1.1. Isolasi Bakteri pereduksi sulfat diisolasi dari ekosistem air asam di kolam penampungan air asam tambang indus tri batu bara PT Bukit Asam, Sumatera Selatan. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di beberapa titik pada kolam penampungan air asam tambang. Sebanyak 26 sampel tanah diambil dari sedimen (bagian bawah) perairan, sesuai dengan metode pengambilan sampel mikrobiologi tanah. Sampel diambil sebanyak 100-200 g tanah, dimasukkan ke dalam tabung berwarna gelap, kemudian diisi air hingga penuh dan dikemas dalam kondisi anaerob dengan cara ditutup rapat. Isolasi bakteri pereduksi sulfat dilakukan menggunakan metode Atlas (1993) dengan komposisi media cair Postgate B yang disederhanakan. Komposisi untuk satu liter media cair terdiri dari komponen utama yaitu natrium laktat (8 mL), magnesium sulfat (1,0 g), ammonium klorida (0,5 g), kalium dihidrogen fosfat (1,0 g), besi fosfat (0,1 g) dan asam askorbat (0,5 g), glukosa (0,1 g), kalsium klorida (0,1 g), natrium sulfat (0,5 g), dan ekstrak khamir (0,1 g). Pengaturan pH 4 dilakukan dengan penambahan asam sulfat sebelum disterilisasi. Suspensi sampel dibuat dengan cara dimasukkan 1 g sampel tanah ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan larutan garam fisiologis (0,85%) steril hingga 10 mL, kemudian dihomogenisasi dengan vorteks. Suspensi sampel tersebut dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan larutan garam fisiologis hingga 10 mL, lalu dihomogenisasi. Selanjutnya dilakukan pengenceran hingga 103 , dan diambil 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 1/3 media yang telah disterilkan, kemudian ditambahkan media steril

33

secara perlahan- lahan sampai penuh dan ditutup rapat. Media tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 35 o C. Tumbuhnya bakteri pereduksi sulfat ditandai dengan berubahnya media menjadi berwarna hitam (dengan terbentuknya sulfida) yang menunjukkan aktivitas bakteri pereduksi sulfat. Pengamatan dilakukan saat perubahan warna hingga seluruh media berwarna hitam. Isolat yang tumbuh diberi skor tingkat kepekatan wana hitamnya.

3.2.1.2. Pemurnian Pemurnian isolat dilakukan dengan metode pengenceran (Tauro et al., 1986). Isolat yang diperoleh dikocok dengan vorteks hingga terbentuk suspensi. Tingkat pengenceran sepuluh kali dilakukan dengan memindahkan secara aseptik 1 mL suspensi mikrob ke dalam tabung yang berisi 9 mL larutan fisiologi 0,85% lalu dihomogenisasi. Suspensi tersebut diencerkan lebih lanjut dengan cara yang sama hingga pada tingkat pengenceran 1012 . Suspensi pada tingkat pengenceran terakhir dipindahkan secara aseptik sebanyak 1 mL ke dalam tabung ulir yang telah berisi media cair steril 1/3 bagian, lalu media ditambahkan secara perlahanlahan hingga penuh dan ditutup rapat dan diinkubasi pada suhu 35
o

C.

Pengamatan dilakukan terhadap waktu pertumbuhan biakan mulai dari munculnya warna hitam hingga seluruh tabung menghitam. Isolat yang tumbuh pada tingkat pengenceran terakhir diindikasikan sebagai biakan dengan satu jenis sel bakteri pereduksi sulfat.

3.2.1.3. Seleksi Seleksi dilakukan dengan pembiakan isolat murni dalam media cair dengan kandungan sulfat masing- masing 500 mg/L dengan variasi pH dari 6, 4, dan 3. Sebanyak 1 mL suspensi mikrob dipindahkan secara aseptik ke dalam tabung ulir yang telah berisi 1/3 bagian media cair (500 mg/L sulfat dengan pH 6), kemudian ditambahkan media perlahan-lahan hingga penuh dan diinkubasi pada suhu 35 o C. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap semua isolat yang dikarakterisasi

dengan variasi pH. Pada hari ke 21 dilakukan pengukuran sisa sulfat dan pH

34

larutan. Isolat yang dipilih adalah yang mampu tumbuh pada pH rendah dengan kemampuan mereduksi sulfat dan meningkatkan pH media yang tinggi.

3.2.1.4. Identifikasi Identifikasi dilakukan hanya pada isolat yang dianggap unggul. Identifikasi dilakukan dengan media padat maupun media cair. Untuk penentuan tipe

morfologi, pewarnaan Gram dan pewarnaan spora isolat diambil dari biakan media padat. Masing- masing isolat ditumbuhkan pada media selektif pada

dengan komposisi hara yang sama dengan media cair. Sebanyak 1 mL suspensi mikrob dipindahkan secara aseptik dengan mikropipet ke dalam cawan petri yang telah berisi media padat steril. Suspensi mikrob disebar secara merata di
o

permukaan media, kemudian dimasukkan ke dalam tabung anaerob yang dilengkapi dengan gaspak dan indikator. Biakan diinkubasi pada suhu 35 selama lebih dari 7 hari. Setiap koloni yang tumbuh dipindahkan secara aseptik ke dalam agar miring dan diinkubasi secara anaerob. Koloni yang tumbuh dibiakkan lagi ke dalam media cair dengan cara yang sama. Isolat tersebut diidentifikasi lebih lanjut dengan uji fisiologis dan biokimia. Karakterisasi fisio logis dan biokimia C

dilakukan dengan berpedoman pada Bergeys Manual of Determinative Bacteriology (Holt et al., 1994). Identifikasi bakteri dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut : a. Pewarnaan Gram Bakteri dari isolat yang diuji dioleskan pada kaca obyek. Olesan difiksasi panas secara hati- hati, selanjutnya diwarnai dengan pewarna ungu kristal selama satu menit lalu dibilas dengan akuades. Pewarnaan selanjutnya adalah dengan yodium selama dua menit sebelum dibilas dengan etanol 95% selama 30 detik dan dicuci dengan aquades. Selanjutnya olesan

diwarnai dengan safranin selama 30 detik, kemudian kelebihan warna dibilas sebelum diamati di bawah mikroskop. Gram positif akan berwarna biru atau ungu, sedang Gram negatif akan berwarna merah muda.

35

b.

Pewarnaan spora Olesan isolat yang diuji disiapkan pada kaca obyek, lalu difiksasi panas. Selanjutnya diakukan pewarnaan dengan hijau malakit dan dipanasi secara hati-hati selama 10 menit. Olesan didinginkan dan dibilas dengan aquades sebelum diwarna i dengan safranin selama satu menit. Sisa air kemudian ditiriskan dan diamati di bawah mikroskop. Jika biakan membentuk spora akan berwarna hijau dan sel vegetatif berwarna merah muda.

c.

Pengujian karakter fisiologi dan biokimia Untuk menentukan genus bakteri pereduksi sulfat dari isolat yang diperoleh dilakukan pengujian karakter fisiologis dan biokimia dengan berpedoman pada Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. Pemanfaatan bahan organik oleh bakteri ditentukan dengan pembiakan isolat pada media dengan kandungan bahan organik tertentu untuk melihat kemampuan bakteri memanfaatkan bahan organik. Pengamatan dilakukan dengan melihat

kemampuan tumbuh bakteri pada media tersebut.

3.2.2.

Pertumbuhan Bakteri Pereduksi Sulfat pada Berbagai Kondisi Lingkungan Kegiatan ini dilakukan untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat, antara lain pH, konsentrasi (kandungan) sulfat, dan sumber karbon.

3.2.2.1. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat Untuk melihat tingkat pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat pada kondisi pH yang berbeda, masing- masing 1 mL suspensi mikrob dimasukkan ke dalam tabung ulir yang telah berisi 1/3 bagian media cair steril dengan pH 3, dan secara perlahan- lahan diisi sampai penuh dan ditutup rapat. Dengan cara yang sama dilakukan dengan variasi pH 4, 5, 6, dan 7, dan diinkubasi pada suhu 28 o C. Enam isolat yang diuji dalam percobaan ini adalah isolat yang mempunyai kemampuan reduksi sulfat tinggi hasil seleksi pada kegiatan pertama. Pengamatan dilakukan terhadap kecepatan pertumbuhan bakteri, kenaikan pH, kemampuan mereduksi sulfat dan produksi sulfida.

36

3.2.2.2. Pengaruh konsentrasi (kandungan) sulfat terhadap reduksi sulfat Untuk mengetahui kemampuan mereduksi sulfat, isolat bakteri yang diperoleh ditumbuhkan pada media cair dengan kandungan sulfat divariasikan dengan konsentrasi dasar sesuai dengan yang ada di lokasi penelitian. Sebanyak 1 mL suspensi mikrob dipindahkan secara aseptik ke dalam tabung ulir yang berisi 1/3 bagian media cair dengan kandungan sulfat 1000, 1500, 2500, dan 3500 mg/L. Kemudian media ditambahkan secara perlahan-lahan hingga penuh dan ditutup rapat. Media tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 28 o C selama 21 hari. Empat isolat yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah isolat yang mampu tumbuh pada pH 3 dan mempunyai kemampuan reduksi sulfat tinggi. Pengamatan dilakukan terhadap kecepatan pertumbuhan bakteri dan kemampuan mereduksi sulfat. Pengukuran terhadap sulfat yang tereduksi dilakukan secara

spektrofotometri.

3.2.2.3. Pengaruh kompos sebagai sumber karbon terhadap pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat Pada kegiatan ini digunakan tiga jenis bahan organik sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat, yaitu (1) limbah kulit kayu, (2) limbah jerami padi, dan (3) laktat. Bahan organik tersebut bersama-sama dengan media cair tanpa laktat dimasukkan ke dalam kolom dan 10 mL suspensi bakteri pereduksi sulfat hingga 1/3 bagian, kemudian ditambahkan media sampai penuh dan ditutup rapat. Isolat tersebut diinkubasi pada suhu ruang. Empat isolat yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah isolat yang mampu tumbuh pada pH 3 dan mempunyai kemampuan reduksi sulfat tinggi. Perlakuan yang sama diaplikasikan pada isolat yang diuji lainnya. Pengamatan dilakukan terhadap kecepatan tumbuh bakteri pereduksi sulfat, kenaikan pH, kandungan sulfat, dan kerapatan optik.

3.2.3.

Pengolahan Air Asam Tambang dengan Reaktor Anaerob Bakteri Pereduksi Sulfat Tersuspensi Pada kegiatan ini pengolahan air asam tambang dilakukan dengan

menggunakan kolom pengolahan pada kondisi anaerob bakteri pereduksi sulfat

37

tersuspensi seperti pada Gambar 8.

Kolom dibuat dari kaca dengan ukuran

panjang 10 cm, lebar 15, dan tinggi 20 cm, sehingga total volume kolom 3000 mL. Limbah asam tambang dimasukkan ke dalam kolom bersama-sama dengan ditambahkan nutrisi starter berupa asam laktat sebanyak 10 mL/L limbah dan isolat bakteri pereduksi sulfat yang telah ditumbuhkan. Tiga isolat yang

digunakan dalam percobaan ini adalah isolat yang mampu tumbuh pada pH 3 dan mempunyai kemampuan reduksi sulfat tinggi.

Bak Pengisi

Keran

Penampung gas

Reaktor anaerob Bak penampung

Gambar 8. Rancangan reaktor pengolahan air asam tambang secara anaerob

Parameter-parameter yang diukur dalam rangkaian pengolahan air asam tambang dengan bakteri pereduksi sulfat skala laboratorium ini adalah: 1. Kemampuan bakteri pereduksi sulfat dalam mereduksi sulfat 2. Total sulfida yang terbentuk 3. Peningkatan pH limbah 4. Kemampuan mereduksi logam- logam yang terkandung dalam air asam tambang, terutama Fe dan Mn

3.2.4. Pengolahan Air Asam Tambang dengan Reaktor Biofilm Bakteri Pereduksi Sulfat Unit pengolahan air asam tambang menggunakan biofilm bakteri pereduksi sulfat terdiri dari 3 bak yang terbuat dari kaca, yakni bak pengisi, bak pengolah dan bak penampung. Bak pengisi dibuat dengan dimensi panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 25 cm, sehingga volume sebesar 10.000 mL. Bak pengolah yang

38

merupakan reaktor anaerob dibuat dengan volume 6000 mL dan dimensi dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm dan tinggi 20 cm. Pada bak pengolah ini diisi 1500 g limbah jerami dan 4000 g batu vulkan, sehingga volume efektif reaktor adalah 3000 mL, seperti pada Gambar 9.

Bak Pengisi

Keran

Penampung gas Jerami padi Batu vulkan Bak penampung Reaktor anaerob

Gambar 9. Rancangan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat untuk pengolahan air asam tambang Sebagai media berkembangnya bakteri ( acterial carrier) digunakan batu b vulkan dengan ukuran 3-5 cm. Untuk menghilangkan senyawa toksik potensial, batu vulkan dicuci beberapa kali dengan menggunakan etanol 100%, aquades, kemudian dikeringkan dan disterilisasi menggunakan autoklaf dengan suhu 200
o

C selama 15 menit. Pengolahan limbah dilakukan secara anaerob dengan menggunakan sistem

curah (batch). Limbah asam tambang dimasukkan ke dalam kolom bersama-sama dengan ditambahkan media cair sebagai nutrisi starter sebanyak 10-15% dari volume kolom dan isolat bakteri pereduksi sulfat yang telah ditumbuhkan. Isolat diambil dari kultur bakteri pereduksi sulfat pada awal fase pertumbuhan eksponensial. Imobilisasi bakteri pereduksi sulfat dilakukan dengan membiarkan kolom dalam kondisi anaerob selama 14 hari, sesuai hasil penelitian Beyenal dan Lewandowski (2004), sehingga terbentuk biofilm. Setelah 14 hari cairan dalam reaktor dialirkan keluar untuk mengeluarkan bakteri yang tidak terikat pada batu vulkan. Pengamatan pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat yang menempel pada permukaan batu vulkan dilakukan dengan menggunakan metode Scanning Electron Microscopy (SEM).

39

Untuk mengetahui efektifitas isolat bakteri pereduksi sulfat, pengolahan limbah secara anaerob dilakukan dengan 3 perlakuan, yaitu (1) jerami padi (sebagai kontrol), (2) jerami padi dan ICBB 8815, dan (3) jerami padi dan ICBB 8818. Pengamatan dilakukan selama 6 hari dengan perbedaan waktu tinggal antara 1-144 jam, yakni 1, 2, 3, 4, 5, 10, 15, 24, 48, 72, 96, 120 dan 144 jam. Parameter yang diukur dalam rangkaian pengolahan air asam tambang dengan teknik biofilm bakteri pereduksi sulfat skala laboratorium ini adalah: 1. Kemampuan biofilm bakteri dalam mereduksi sulfat 2. Produksi sulfida (total) 3. Peningkatan pH limbah 4. Kemampuan mereduksi logam- logam yang terkandung dalam air asam tambang, yakni Fe dan Mn.

3.2.5. Penentuan Jumlah Sel Terimobilisasi pada Batu Vulkan Pelepasan sel yang melekat pada batu vulkan dilakukan dengan menggunakan metode Taoufik et al. (2004). Sebanyak 25 g batu vulkan yang telah ditumbuhi biofilm bakteri pereduksi sulfat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 mL akuades steril dan divorteks selama 5 menit. Langkah ini dilakukan sebanyak dua kali. Cairan yang dihasilkan kemudian

digabung dan diambil sebanyak 1 mL dan dilakukan pengenceran sampai 10 kali. Sel bakteri yang terlarut kemudian ditumbuhkan pada media agar menggunakan cawan petri dan diinkubasi selama 7-10 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dalam media agar dihitung menggunakan metode total plate count.

3.3. Metode Analisa Analisa yang dilakukan terhadap limbah air asam tambang yang telah diperlakukan adalah kandungan sulfida, sulfat, pH, kandungan asam-asam organik, dan kandungan logam terlarut (Fe dan Mn). Data pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat dari hasil isolasi berupa waktu tumbuh (hari) dan tingkat kepekatannya diukur secara visual dengan memberikan skor berupa tanda + yang didefinisikan sesuai tingkat kepekatan. Sedangkan pada proses pemurnian

40

diukur dari pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat yang ditandai dengan perubahan warna media (hitam).

3.3.1. Pengukuran Sulfat Konsentrasi sulfat diukur menggunakan metode turbidimetri (Adams, 1990). Barium klorida (BaCl2 ) ditambahkan pada larutan yang mengandung sulfat. Pada 0,9 mL bahan kondisioning (0,85 mL gliserol, 0,5 mL HCl, 1.3 g NaCl, 17 mL etanol dan 1000 mL aquades) ditambahkan 0,1 mL sampel standar, kemudian ditambahkan BaCl2 . Larutan tersebut dikocok menggunakan vorteks selama 1 menit sehingga BaSO4 membentuk koloid dan larutan menjadi keruh. Absorbance larutan kemudian diukur dengan spektrofotometer pada 430 nm.

3.3.2. Pengukuran Sulfida Kandungan sulfida diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri, dengan menambahkan kuprisulfat (CuSO4 ) pada sisa limbah yang mengandung sulfida, sehingga terbentuk kuprisulfida (CuS). Sebanyak 0,1 mL larutan standar sodium sulfida ditambahkan ke dalam 0.9 mL larutan asam kuprisulfat, kemudian absorbance larutan tersebut diukur dengan spektrofotometer pada 480 nm. Dengan cara yang sama dilakukan pengukuran pada larutan sampel.

3.3.3. Pengukuran Kandungan Logam Terlarut Pengukuran ion logam terlarut sebelum dan sesudah proses pengolahan dilakukan dengan metode spektrofotometri serapan atom (SSA).

3.4. Analisa Data Data yang diperoleh direkapitulasi dan ditabulasi disajikan dalam bentuk tabel. Untuk melihat adanya perbedaan perlakuan dilakukan dengan analisa sidik ragam. Analisa statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, sedangkan perbedaan kemaknaan dilakukan dengan uji beda nyata. Perhitungan efisiensi hasil pengolahan ditentukan dengan mengukur parameter tersebut sebelum dan pada waktu tertentu seama dan sesudah proses.

41

Efisiensi masing- masing isolat diuji pada tiap-tiap pengamatan didasarkan pada masa inkubasi sebagai berikut : (A B) Efisiensi = A A = nilai sebelum proses B = nilai sesudah proses Dari hasil pengamatan efektivitas dilakukan analisis sidik ragam dan uji Duncan. Perbandingan parameter yang ditetapkan ditunjukkan dengan kurva dan diagram. x 100%

3.5. Penyimpanan Biakan Penyimpanan biakan dimaksudkan untuk preservasi jangka panjang koleksi isolat murni bakteri pereduksi sulfat. Untuk tujuan tersebut, isolat murni bakteri pereduksi sulfat disimpan dengan menggunakan dua teknik, yaitu (1) Penyimpanan dalam tanah/kompos steril, dan (2) Penyimpanan dalam gliserol. Cara penyimpanan dalam tanah/kompos steril adalah sebagai berikut: Tanah/kompos kering dimasukkan ke dalam botol hingga penuh, kemudian diautoklaf pada suhu 121 o C selama 1 jam. Selanjutnya botol dioven kering pada suhu 105 o C selama 1 jam. Suspensi kultur bakteri diambil dengan pipet steril sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam botol. Pada cara penyimpanan dalam biakan gliserol, 1 mL gliserol steril dimasukkan ke dalam ampul dan ditambahkan 1 mL suspensi kultur bakteri, kemudian dikocok sampai merata dengan vortex, dan segera disimpan dalam freezer (- 20o C - - 70o C).

42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Eksplorasi dan Identifikasi Bakteri Pereduksi Sulfat 4.1.1. Isolasi Bakteri Pereduksi Sulfat Hasil isolasi bakteri pereduksi sulfat dari 26 contoh lumpur di kolam penampungan limbah air asam tambang di area pertambangan PT. Bukit Asam Muara Enim memperlihatkan bahwa bakteri pereduksi sulfat ditemukan di semua kolam penampungan (Tabel 4). Kondisi kolam penampungan yang banyak

mengandung sulfat dan pH rendah merupakan habitat yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Namun demikian kelompok bakteri tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda, dilihat dari waktu tumbuh dan kemampuan mereduksi sulfat. Beberapa kelompok bakteri mampu tumbuh cepat, yakni antara 6-8 hari setelah inkubasi, namun demikian ditemukan pula kelompok bakteri yang membutuhkan waktu 21 hari untuk tumbuh. Kemampuan kelompok bakteri untuk mereduksi sulfat juga berbeda. Kemampuan mereduksi sulfat diind ikasikan dengan tingkat kepekatan larutan dan warna hitam pada tabung reaksi. Sesuai dengan reaksi reduksi sulfat, SO4 2direduksi oleh bakteri pereduksi sulfat menjadi S2-, dan bereaksi dengan ion logam membentuk logam sulfida yang berwarna hitam dan tidak larut. Oleh

karena itu, makin banyak logam sulfida yang terbentuk, larutan dalam tabung akan semakin hitam pekat (Gambar 1 0). Keragaman karakteristik kelompok

bakteri pereduksi sulfat tersebut disebabkan perbedaan ekosistem tempat tumbuhnya, seperti pH, konsentrasi sulfat dan ketebalan lumpur dalam kolam. Hasil pengukuran pH dan kandungan sulfat di beberapa titik pengamatan memperlihatkan adanya perbedaan tersebut (Tabel 5). Nilai pH bervariasi antara 2,92 4,05, sedang kandungan SO4 2- berkisar antara 800 1150 mg/L. Perbedaan kondisi ekosistem mikro kolam penampungan limbah menyebabkan perbedaan isolat bakteri yang tumbuh dan beradaptasi pada kondisi ekosistem tersebut. Keragaman karakteristik bakteri pereduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, kemasaman lingkungan, kedalaman sedimen, ketersediaan energi dari bahan organik, dan kandungan sulfat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian lain yang mengemukakan bahwa faktor lingkungan mempengaruhi

43 Tabel 4. Indikasi keberadaan bakteri pereduksi sulfat dari lumpur di kolam penampungan air asam tambang di pertambangan batu bara Muara Enim, Sumatera Selatan
Kode Contoh PIT G 1-1 PIT G 3-1 PITG 3-2 ALP1 ALP2 ALP3 SALURAN ALP KPL 4-1 KPL 4-2 TOWER 4-1 TOWER 4-2 KTU-1 KTU-2 TUPAK 1 TUPAK 2 TUPAK 3 LINTANG 1 LINTANG 2 KANDIS 1 KANDIS 2 KANDIS 3 KANDIS 4 KPL MERE 1 KPL MERE 2 LIMAU TEMBE 1 LIMAU TEMBE 2 Waktu Tumbuh (hari) 20 20 12 21 13 9 20 13 7 6 7 6 22 19 21 9 9 9 18 18 16 19 14 8 12 9 +++ ++++ = hitam merata = hitam pekat merata Tingkat Kepekatan + + ++ + ++ +++ + ++ ++++ ++++ +++ ++++ + + + +++ ++ ++ + + + + + ++ + +++

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.

Keterangan : + = hitam tipis di bagian bawa ++ = hitam tipis hampir merata

44 Tabel 5. Nilai pH dan kandungan SO4 2- contoh air asam tambang di Muara Enim, Sumatera Selatan
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kode Contoh PIT G ALP KPL TOWER KTU TUPAK LINTANG KANDIS KPL MERE LIMAU TEMBE - 034211.2 - 034344.1 - 034141.8 - 034198.1 - 034288.9 - 034175.4 - 034142.1 - 034393.9 - 034277.0 - 034129.2 Posisi + 1034640.9 + 1034719.0 + 1034577.9 + 1034775.7 + 1034732.4 + 1034728.3 + 1034599.0 + 1034739.1 + 1034765.8 + 1034781.0 pH 2,92 2,95 2,92 3,41 3,48 3,24 3,56 3,97 4,05 3,75 SO42- (mg/L) 1050 925 1150 980 875 825 850 840 800 905

Gambar 10. Indikasi terjadinya reduksi sulfat oleh bakteri pereduksi sulfat hasil isolasi di kolam penampungan limbah air asam tambang di Muara Enim, Sumatera Selatan : (a) kontrol, (b) hitam tipis hampir merata dan (c) hitam pekat merata. Warna hitam menunjukkan endapan logam sulfida yang terbentuk dari hasil reduksi sulfat menjadi sulfida.

45 keragaman jenis dan karakteristik bakteri pereduksi sulfat, antara lain

kemasaman lingkungan (Bractova et al., 2002), kedalaman sedimen (Hoehler et al., 2001; Jorgensen, 1982), ketersediaan energi dari bahan organik (Hoehler et al., 2001; Liamleam dan Annachhtre, 2007), dan kandungan sulfat (Icgen dan Harrison, 2006). Icgen dan Harrison (2006) melaporkan bahwa kandungan sulfat menentukan kelompok bakteri pereduksi sulfat yang dominan tumbuh pada suatu ekosistem. Perbedaan karakteristik bakteri pereduksi sulfat mungkin juga disebabkan oleh perbedaan kedalaman contoh yang diambil. Contoh lumpur diambil pada kedalaman antara 50 cm sampai 150 cm. Perbedaan kedalaman lumpur tersebut akan mempengaruhi jumlah oksigen yang terlarut, sehingga mempengaruhi jenis dan aktivitas bakteri yang tumbuh. Beberapa kelompok bakteri pereduksi sulfat mampu tumbuh pada kondisi oksik, sedangkan kelompok bakteri lain membutuhkan kondisi yang betul-betul anoksik. Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat yang anaerob obligat terganggu dengan adanya oksigen terlarut. Risatti et al. (1994) mengemukakan bahwa kelompok Desulfovibrio lebih dominan di bagian atas dari sedimen, sedangkan Jorgensen (1982) melaporkan bahwa jumlah dan aktivitas bakteri pereduksi sulfat meningkat dengan ketebalan lapisan sedimen.

4.1.2. Pemurnian Bakteri Pereduksi Sulfat Dari 26 kelompok bakteri yang telah diiolasi, diperoleh 15 isolat murni bakteri pereduksi sulfat (Tabel 6). Isolat murni ini merupakan bakteri yang

mampu tumbuh pada salah satu tabung pada tingkat pengenceran terakhir. Hasil ini memperlihatkan bahwa tidak semua bakteri pereduksi sulfat mampu tumbuh pada kondisi spesifik. Dari hasil permurnian ini terlihat bahwa isolat yang tidak dapat dimurnikan adalah kelompok bakteri yang mempunyai kemampuan mereduksi sulfat rendah.

46 Table 6. Isolat dan asal isolat yang telah dimurnikan


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Kode Contoh PITG 3-2 ALP2 ALP3 KPL 4-1 KPL 4-2 TOWER 4-1 TOWER 4-2 KTU-1 TUPAK 3 LINTANG 1 LINTANG 2 KANDIS 3 KPL MERE 1 LIMAU TEMBE 1 LIMAU TEMBE 2 Kode Isolat ICBB 8811 ICBB 8812 ICBB 8813 ICBB 8814 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8817 ICBB 8818 ICBB 8819 ICBB 8820 ICBB 8821 ICBB 8822 ICBB 8823 ICBB 8824 ICBB 8825 Asal Sedimen Bangko Barat Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya Air Laya - 034211.2 - 034344.1 - 034344.1 - 034141.8 - 034141.8 - 034198.1 - 034198.1 - 034288.9 - 034175.4 - 034142.1 - 034142.1 - 034393.9 - 034277.0 - 034129.2 - 034129.2 Posisi + 1034640.9 + 1034719.0 + 1034719.0 + 1034577.9 + 1034577.9 + 1034775.7 + 1034775.7 + 1034732.4 + 1034728.3 + 1034599.0 + 1034599.0 + 1034739.1 + 1034765.8 + 1034781.0 + 1034781.0

4.1.3. Karakteristik Isolat Murni Bakteri Pereduksi Sulfat Beberapa karakteristik isolat bakteri pereduksi sulfat yang telah dimurnikan disajikan pada Tabel 7. Karakteristik isolat murni beragam dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan kemampuan mereduksi sulfat. Hasil

pengujian pada media dengan konsentrasi sulfat sebesar 500 mg/L, dari 15 isolat murni, hanya 8 isolat yang mampu tumbuh pada pH 3. Tujuh isolat murni lainnya hanya mampu tumbuh pada pH di atas 4. Kemampuan bakteri pereduksi sulfat beradaptasi dengan kondisi masam berkaitan dengan karakteristik sel bakteri. Kemampuan isolat bakteri pereduksi sulfat juga beragam, namun efisiensi reduksi sulfat semua isolat meningkat dengan peningkatkan nilai pH. Pada pH 6 efisiensi reduksi sulfat berkisar antara 74,75% sampai 91,79%. Kemampuan

terendah diperole h isolat ICBB 8820, sedangkan isolat ICBB 8818 mempunyai kemampuan mereduksi sulfat paling tinggi, yakni sebesar 91,79%. Penurunan pH menurunkan kemampuan bakteri mereduksi sulfat. Pada pH 6, isolat ICBB 8820 mampu mereduksi sebesar 74,75%, berkurang menjadi 72,77% pada pH 4, dan tidak mampu tumbuh pada pH 3. Berbeda dengan kemampuan reduksi isolat

47 ICBB 8818 yang mencapai 91,79% pada pH 6, tetapi hanya sebesar 84,28% pada pH 3. Pada pH 3 total sulfat yang tereduksi oleh 6 isolat yang mampu tumbuh berkisar antara 71,47% sampai 84,28%. Tabel 7. Kemampuan reduksi sulfat isolat murni bakteri pereduksi sulfat pada konsentrasi sulfat 500 mg/L dan pH awal 3, 4 dan 6
pH 6 Isolat pH SO42(mg/L) ICBB 8818 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8813 ICBB 8819 ICBB 8825 ICBB 8817 ICBB 8811 ICBB 8814 ICBB 8812 ICBB 8823 ICBB 8824 ICBB 8822 ICBB 8821 ICBB 8820 8,32 8,15 7,91 7,90 7,80 7,75 7,70 7,70 7,60 7,60 7,50 7,30 7,20 7,20 7,20 41,06 43,25 44,89 45,32 45,06 57,80 62,40 60,58 90,26 78,29 95,25 100,85 113,25 120,21 126,25 % Reduksi 91,79 91,35 91,02 90,94 90,99 88,44 87,52 87,88 81,95 84,34 80,95 79,83 77,35 75,96 74,75 pH pH 4 SO42(mg/L) 7,65 7,60 7,22 7,10 7,40 7,10 7,00 7,00 7,0 7,00 7,05 7,00 6,90 6,90 7,00 68,54 69,44 70,12 70,24 90,64 89,50 112,58 92,58 120,25 108,11 115,28 125,58 133,12 140,25 136,15 % Reduksi 86,29 86,11 85,98 85,95 81,87 82,10 77,48 81,48 75,95 78,38 76,94 74,88 73,38 71,95 72,77 pH pH 3 SO42(mg/L) 6,74 6,57 6,68 6,59 6,40 6,59 6,40 tt 6,00 tt tt tt tt tt tt 78,58 80,24 84,64 106,08 106,82 115,26 142,67 140,28 % Reduksi 84,28 83,95 83,07 78,78 78,64 76,95 71,47 71,94 -

Keterangan : tt = tidak tumbuh

4.1.4. Identifikasi Bakteri Pereduksi Sulfat Karakteristik 4 isolat unggul bakteri pereduksi sulfat disajikan pada Tabel 8. Identifikasi ini dilakukan berdasarkan Bergeys Manual of Determinative Bacteriology, yang didasarkan pada beberapa karakteristik antara lain pewarnaan Gram, bentuk sel, bentuk koloni, warna koloni, motilitas, kondisi lingkungan tumbuh, pembentukan spora dan sumber karbon. Berdasarkan Bergeys Manual of Determinative Bacteriology, hasil identifikasi 8 isolat unggul, diperoleh bahwa semua isolat tersebut termasuk dalam kelompok Desulfovibrio sp. Desulfovibrio sp. adalah bakteri pereduksi sulfat dengan karakteristik antara lain bersifat mesofil, gram negatif, batang, tidak

48 Tabel 8. Karakteristik empat isolat unggul bakteri pereduksi sulfat


Karakteristik ICBB 8813 Pewarnaan Gram Bentuk Sel Bentuk Koloni Ukuran Sel Panjang (m) Lebar (m) Warna Koloni Motilitas Anaerob Endospora Sumber karbon Suhu pertumbuhan o C Penghasil sulfida Species 1,12-1,75 0,70-1,03 Putih krem + + Laktat 25-40 + Desulfovibrio sp. 1,09-2,22 0,69-1,01 Putih krem + + Laktat 25-40 + 1,07-1,86 0,68-1,00 Putih krem + + Laktat 25-40 + 1,07-1,72 0,71-1,05 Putih krem + + Laktat 25-40 + Negatif Batang Bulat tak beraturan ICBB 8815 Negatif Batang Bulat tak beraturan Isolat ICBB 8816 Negartif Batang Bulat tak beraturan ICBB 8818 Negatif Batang Bulat tak beraturan

Desulfovibrio sp. Desulfovibrio sp. Desulfovibrio sp.

membentuk spora dan hanya menunjukkan pertumbuhan pada kondisi anaerob (Widdel dan Bak, 1994). Bakteri ini tergolong bakteri yang mengoksidasi karbon organik secara tidak sempurna. Desulfovibrio sp. terutama memanfaatkan laktat sebagai sumber karbon, dan mengoksidasinya menjadi asetat. Rzeczycka dan Blaszczyk (2005) dan Cord-Ruwisch, et al. (1986) melaporkan bahwa

Desulfovibrio tumbuh lebih baik dengan laktat sebagai sumber karbon. Namun demikian kelompok bakteri ini juga dapat memanfaatkan sumber karbon la in, seperti malat, pyruvat, propionat, butyrat, dalam mereduksi sulfat (Postagate dan Campbell, 1966). Desulfovibrio sp. memanfaatkan sumber karbon antara lain

laktat, dan mengoksidasinya menjadi asetat. Desulfovibrio sp. merupakan kelompok bakteri pereduksi sulfat yang paling banyak ditemui di alam, dan paling banyak ditemui sedimen lingkungan air Hasil isolasi dan pemurnian bakteri

tawar (Holmer dan Storkholm, 2001).

pereduksi sulfat yang tumbuh di lingkungan pertambangan batu bara

49 menunjukkan bahwa Desulfovibrio sp. merupakan bakteri pereduksi sulfat yang paling dominan. Hal ini sesuai dengan hasil temuan Icgen dan Harrison (2006), dimana Desulfovibrio sp. ditemui lebih dominan pada ekosistem dengan kandungan sulfat yang tinggi dibandingkan dengan kelompok bakteri pereduksi sulfat lainnya. Desulfovibrio sp. merupakan bakteri pereduksi sulfat yang mampu hidup pada kondisi yang sedikit oksik. Karakteristik ini berkaitan dengan kemampuan bakteri menghasilkan enzim yang mampu melindungi sel dari stres oksigen (Dolla et al., 2006; Fournier et al., 2006). Berkaitan dengan kemampuan Desulfovibrio sp. hidup dalam kondisi sedikit oksik, Fournier et al., (2003) mengemukakan bahwa dalam sel Desulfovibrio sp. terdapat enzim superoxide reductase (Sor) yang berperan dalam mereduksi oksigen. Oleh karena itu kelompok bakteri ini Walaupun

sering ditemukan di bagian atas sedimen (Risatti et al., 1994).

demikian Desulfovibrio sp. tetap membutuhkan kondisi anaerob untuk dapat mempertahankan perkembangan selnya. Bakteri ini hanya mampu tumbuh

dengan baik pada kondisi oksik selama tidak lebih dari 24 jam, setelah itu pertumbuhannya akan turun drastis (Cypionka et al., 1985). 4.2. Pertumbuhan Bakteri Pereduksi Sulfat pada Berbagai Kondisi Lingkungan 4.2.1. Pengaruh pH terhadap Pertumbuhan Bakteri Pereduksi Sulfat Pada tahap penelitian ini digunakan enam isolat bakteri pereduksi sulfat, yaitu ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8818, ICBB 8819 dan ICBB 8825. Keenam isolat ini dipilih karena mampu tumbuh pada pH 3 dan

mempunyai kemampuan reduksi sulfat tinggi. Kondisi kemasaman media secara nyata mempengaruhi kecepatan tumbuh (Tabel 9 dan Gambar 11) dan pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat (Gambar 12). Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat semakin cepat dengan kenaikan pH. Pada pH rendah waktu awal pertumbuhan bakteri lebih dari 8 hari setelah inkubasi, tetapi membutuhkan waktu lebih cepat pada pH tinggi. Isolat ICBB 8813

membutuhkan waktu 12 hari untuk tumbuh pada pH 3, tetapi hanya butuh waktu 3 hari untuk tumbuh pada pH 7. Dua isolat, yaitu ICBB 8819 dan ICBB 8825,

50 bahkan tidak tumbuh pada pH 3, tetapi pada pH netral kedua isolat tersebut tumbuh lebih cepat, yakni antara 1-3 hari. Pada pH di atas 5, ICBB 8818 mampu tumbuh 3 hari setelah inkubasi. ICBB 8818 tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan ketiga isolat bakteri pereduksi sulfat lainnya. Tabel 9. Pengaruh pH media terhadap waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat, konsentrasi sulfat 1000 mg/L
Isolat pH 3 pH 4 pH 5 hari ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818 ICBB 8819 ICBB 8825 12 11 10 8 tt tt 5 6 5 4 5 7 4 3 4 3 3 5 4 3 3 1 2 5 3 3 3 1 2 5 pH 6 pH 7

Catatan :
14

tt = tidak tumbuh

Waktu tumbuh (hari)

12 10 8 6 4 2 0 ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Isolat pH3 pH4 pH5 pH6 pH7

Gambar 11. Pengaruh pH terhadap kecepatan tumbuh beberapa isolat bakteri pereduksi sulfat Pertumbuhan dan aktivitas bakteri pereduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh pH lingkungan. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri dapat melalui dua cara, yakni melalui (1) fungsi sistem enzimatis dalam sel bakteri dan (2)

pembentukan energi dalam sel. Perubahan pH secara langsung mempengaruhi

51 struktur enzim dan protein lain dalam sel, karena aktivitas fisiologis intraselular selalu berada dalam kondisi mendekati netral. Oleh karena itu, sel bakteri perlu melakukan penyesuaian apabila kondisi lingkungan di luar sel terlalu masam atau terlalu basa. Kemasaman lingkungan juga mempengaruhi pembentukan energi dalam sel. Kondisi pH yang terlalu masam atau terlalu basa akan menghambat pembentukan ATP, sedangkan kondisi pH netral pembentukan ATP berjalan lebih cepat (Garland, 1977; Mitchell, 1961). ATP adalah protein penghasil energi yang

dipergunakan dalam pertumbuhan sel. Kondisi demikian yang menyebabkan pada pH rendah waktu tumbuh bakteri lebih lama dibandingkan dengan pH mendekati netral (Tabel 9). Hal ini sejalan dengan hasil beberapa penelitian lain (Elliot et al., 1998; Johnson et al., 1993; Kolmert dan Johnson, 2001). Untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik bakteri membutuhkan kond isi kemasaman media yang optimum. Umumnya bakteri pereduksi sulfat m embutuhkan kemasaman optimum pada pH 5-6 (Elliot et al., 1998; Bratcova et al., 2002). Dikemukakan pula bahwa pada kondisi kemasaman di bawah atau di atas nilai pH tersebut pertumbuhan dan aktivitas bakteri pereduksi sulfat akan terhambat. Pada tingkat kemasaman yang terlalu tinggi, beberapa isolat bakteri bahkan tidak mampu tumbuh. Pada penelitian ini, dua isolat, yaitu ICBB 8819 dan ICBB 8825, tidak dapat tumbuh pada pH 3. Respon masing- masing isolat bakteri pereduksi sulfat terhadap kondisi kemasaman lingkungan berbeda. Sebagai contoh, isolat ICBB 8819 tidak mampu tumbuh pada pH 3, tetapi pada pH optimum (pH antara 5-7) mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan isolat ICBB 8813, ICBB 8816 dan ICBB 8818. Pada suhu optimum isolat ICBB 8819 tumbuh 2-3 hari setelah inokulasi, sedangkan isolat ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818 tumbuh 3-4 hari setelah inkubasi. Kondisi kemasaman lingkungan juga menentukan pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Secara kualitatif pertumbuhan biomassa bakteri ditunj ukkan dengan kerapatan optik (Gambar 12). Metode ini merupakan cara yang baik untuk melihat pertumbuhan bakteri tanpa harus mengganggu kultur bakteri (Black, 2005). Pada penelitian ini kerapatan optik diukur 21 hari setelah inkubasi.

52

Kerapatan Optik (Abs 620 nm)

0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Isolat pH3 pH4 pH5 pH6 pH7

Gambar 12. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan empat isolat bakteri pereduksi sulfat Dari Gambar 12 terlihat bahwa empat isolat yang diuji mampu tumbuh pada pH 3, tetapi pertumbuhannya agak terhambat, yang ditunjukkan dengan nilai kerapatan optik lebih kecil dari 0,61. Pada pH 4 dan pH 5 pertumbuhan bakteri meningkat, dimana kerapatan optik berkisar antara 0,75-0,81, tetapi menurun pada pH 6 dan pH 7. Pada pH 7 kerapatan optik sekitar 0,65. Penurunan biomassa bakteri pada pH 6 dan pH 7 berkaitan dengan pembentukan sulfida. Pada pH 6 dan pH 7 bakteri mulai tumbuh pada hari 1-3 setelah inkubasi, sedangkan pada pH rendah bakteri mulai tumbuh pada hari 8-12 setelah inkubasi, sehingga pada hari ke 21 jumlah sulfida yang terbentuk pada pH 6 dan pH 7 lebih banyak diband ingkan dengan pada pH lebih rendah. Sulfida merupakan faktor yang dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri dan kematian bakteri. Postgate (1984) melaporkan bahwa sulfida terserap ke dalam sel dan merusak protein sehingga sel tersebut tidak aktif. Barathi et al. (1990)

mengemukakan bahwa yang lebih berperan dalam aktivitas sel bakteri pereduksi sulfat adalah dalam bentuk logam sulfida, sedangkan OFlaherty dan Colleran (1998) melaporkan bahwa pertumbuhan bakteri dipengaruhi baik oleh H2 S maupun sulfida total, tergantung pada pH . Pada pH di bawah 7,2, pengaruh H2 S akan lebih dominan, sedangkan apabila nilai pH di atas 7,2, pertumbuhan bakteri lebih dipengaruhi oleh sulfida total.

53 Faktor lain yang menyebabkan penurunan biomassa bakteri adalah adanya asam asetat sebagai hasil proses oksidasi laktat. Desulfovibrio sp. merupakan kelompok bakteri yang mengoksidasi sumber karbon secara tidak sempurna menjadi asetat dan CO2 (Colleran, et al., 1995). Dalam proses reduksi sulfat, bakteri pereduksi sulfat membutuhkan energi yang diperoleh dari proses oksidasi laktat, seperti reaksi berikut, 2 C3 H5O3- + SO4 2- 2 CH3 COO - + 2 CO2 + 2 H2 O + S2dimana dalam reaksi tersebut 2 mol laktat dibutuhkan untuk mengoksidasi 1 mol sulfat, dan menghasilkan 2 mol asetat. Pembentukan asetat tersebut

mempengaruhi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Rzeczycka dan Blaszczyk (2005) melaporkan bahwa bakteri pereduksi sulfat sangat sensitif pada asam asetat. Adanya akumulasi produksi asetat tersebut akan menghambat pertumbuhan bakteri. Perbedaan pertumbuhan sel bakteri pada masing- masing nilai pH berdampak langsung pada kemampuan bakteri mereduksi sulfat dan jumlah sulfat yang tereduksi (Gambar 13). Pada media dengan pH awal 4, efisiensi bakteri dalam mereduksi sulfat adalah 82,16%, 87,78%, 87,38% dan 88,99%, berturut-turut untuk ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818, sedang pada pH 7 reduksi sulfat mencapai 88,99%, 89,59%, 89,39% dan 90,80% (Tabel 10). Isolat ICBB 8818 memperlihatkan kemampuan mereduksi sulfat yang paling menonjol dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya. Kemampuan bakteri dalam mereduksi sulfat meningkat dengan

meningkatnya pH media (Tabel 10 dan Gambar 13). Tabel 10 memperlihatkan bahwa solat ICBB 8818 mampu mereduksi sulfat sebesar 85,17% pada pH 4, i meningkat menjadi 90,19% pada pH 5. Pada pH 6 dan pH 7 persentase sulfat yang tereduksi sama, yakni 90,80%. Pola kemampuan reduksi sulfat yang sama juga ditemukan isolat ICBB 8813, ICBB 8815 dan ICBB 8816, perbedaan persentase reduksi antara pH 6 dan pH 7 sebesar 0,20%; 0,51% dan 0,48%, berturut-turut untuk ICBB 8813, ICBB 8815 dan ICBB 8816.

54 Tabel 10. Pengaruh pH terhadap efisiensi bakteri dalam mereduksi sulfat


Isolat pH awal ICBB 8813 Sisa Sulfat (mg/L) 212,26 178,41 172,39 110,13 110,13 % Reduksi 77,87 82,16 82,76 88,43 88,99 ICBB 8815 Sisa Sulfat (mg/L) 168,38 122,18 116,16 108,12 104,10 % Reduksi 83,16 87,78 88,38 89,18 89,59 ICBB 8816 Sisa Sulfat (mg/L) 166,38 126,19 120,17 112,14 106,11 % Reduksi 83,36 87,38 87,98 88,79 89,39 ICBB 8818 Sisa Sulfat (mg/L) 148,29 110,13 98,08 92,05 92,05 % Reduksi 85,17 88,90 90,19 90,80 90,80

pH3 pH4 pH5 pH6 pH7

250 Kandungan Sulfat (mg/L) 200 150 100 50 0 ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Isolat pH3 pH4 pH5 pH6 pH7

Gambar 13. Kandungan sulfat pada akhir penelitian pada level pH yang berbeda

Proses reduksi sulfat menghasilkan sulfida, seperti reaksi kimia berikut : 2 C3 H5O3- + SO4 2- 2 CH3 COO - + 2 CO2 + 2 H2 O + S2Oleh karena itu penurunan konsentrasi sulfat diikuti dengan peningkatan konsentrasi sulfida, dimana 1 mol SO4 2- yang tereduksi menghasilkan 1 mol S2- . Total sulfida yang terbentuk pada akhir percobaan untuk masing- masing isolat disajikan pada Gambar 14. Total sulfida yang terbentuk meningkat dengan

meningkatnya pH media. Pada akhir pengamatan, total sulfida yang terbentuk pada isolat ICBB 8818 sebesar 283,12 mg/L, 291,67 mg/L, 296,80 mg/L, 296,80

55 mg/L dan 301,93 mg/L berturut-turut untuk pH 3, 4, 5, 6 dan 7. Hal ini sejalan dengan persentase reduksi sulfat, dimana makin tinggi pH larutan, makin banyak sulfat yang tereduksi (Tabel 10). Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa sulfida yang dihasilkan oleh isolat ICBB 8818 lebih tinggi dibandingkan dengan isolat lainnya. Hal ini sejalan dengan total sulfat yang mampu direduksi oleh isolat

ICBB 8818, yakni sebesar 90,72%, sedang total sulfat yang direduksi oleh ketiga isolat lainnya kurang dari 90%.

Kandungan Sulfida (mg/L)

300 280 260 240 220 ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Isolat pH3 pH4 pH5 pH6 pH7

Gambar 14. Total sulfida yang terbentuk pada akhir pengamatan pada level pH yang berbeda Penurunan kandungan sulfat berakibat langsung pada kenaikan pH pada akhir percobaan, seperti yang ditampilkan pada Gambar 15. Pada pH awal 4, nilai pH akhir meningkat menjadi 7,09, 7,60, 7,22 dan 7,65, masing- masing untuk isolat ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818. Kenaikan nilai pH tersebut berkaitan dengan proses reduksi SO4 2- menjadi H2 S. Proses reduksi sulfat secara biologi oleh bakteri melibatkan aktivitas enzim hidrogenase dan pembentukan ATP (Matias et al., 2005; Odom dan Peck, 1981), tetapi secara sederhana SO4 2- direduksi menjadi S2-, melalui reaksi kimia : 2 C3 H5O3- + SO4 2- 2 CH3 COO - + 2 CO2 + 2 H2 O + S2CO2 + 2 H2O + S2- H2 S + 2H2 CO3 (1) (2)

56

10

pH akhir

4 ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Isolat pH3 pH4 pH5 pH6 pH7

Gambar 15. Pengaruh pH dan bakteri pereduksi sulfat terhadap nilai pH akhir Proses reduksi sulfat menjadi sulfida akan menurunkan tingkat kemasaman karena konsentrasi H2 SO4 yang merupakan asam kuat berkurang dan berubah menjadi asam lemah. Disamping itu, bikarbonat yang terbentuk merupakan senyawa yang bersifat alkalin, dan mengikat ion H+ yang merupakan sumber kemasaman limbah. Dengan demikian, makin banyak ion SO4 2- yang tereduksi, makin tinggi pH larutan. Peningkatan pH awal media meningkatkan jumlah sulfat yang tereduksi (Tabel 10), tetapi jumlah sulfat yang tereduksi tidak berbanding lurus dengan ?pH. Tabel 11 memperlihatkan bahwa ?pH antara pH awal dan akhir percobaan cenderung menurun. Pada pH awal 3, ?pH pada awal dan akhir percobaan lebih besar dari 3,5, tetapi ?pH menurun dengan semakin tingginya pH awal. Pada pH awal 7, ?pH berkisar antara 0,88 1,36. Dari data tersebut terlihat adanya pH akhir tertinggi yang dapat dihasilkan, yakni sekitar 8. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh kemampuan bakteri untuk menghasilkan senyawa penyangga, sehingga pH lingkungan tidak terlalu tinggi. Hal ini terjadi karena selama proses reduksi sulfat, bakteri pereduksi sulfat menghasilkan bikarbonat sehingga mampu mengontrol pH di sekitar lingkungan mikronya (Cohen, 2005). antara CO2 , HCO3-, dan CO32-. Ion bikarbonat

yang dihasilkan selama proses reduksi sulfat akan membentuk kesetimbangan

57 Tabel 11. Tingkat kenaikan pH pada pH awal media yang berbeda


Isolat pH 3 ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818 3,59 3,57 3,68 3,74 pH 4 3,09 3,60 3,22 3,65 ?pH pH 5 2,31 2,56 2,22 3,30 pH 6 1,75 2,15 1,91 2,32 pH 7 0,88 1,25 0,97 1,36

4.2.2. Pengaruh

Konsentrasi

Sulfat

terhadap

Pertumbuhan

Bakteri

Pereduksi Sulfat Empat isolat bakteri pereduksi sulfat digunakan dalam tahap percobaan ini. Keempat isolat tersebut adalah ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, dan ICBB 8818. Keempat isolat tersebut dipilih karena mempunyai kemampuan reduksi sulfat tinggi. Pengaruh konsentrasi sulfat terhadap pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat ditampilkan pada Tabel 12. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi sulfat tidak berpengaruh terhadap waktu tumbuh empat isolat bakteri pereduksi sulfat yang diuji. Pada konsentrasi sulfat antara 1000-3500 mg/L dan pada pH 4, waktu tumbuh keempat isolat yang diuji berkisar antara 4-8 hari. Isolat ICBB 8813 membutuhkan waktu 5 hari untuk tumbuh pada konsentrasi sulfat 1000 mg/L, 1500 mg/L, 2500 mg/L dan 3500 mg/L. Konsentrasi ion sulfat hanya berpengaruh terhadap persentase sulfat yang tereduksi. Berbeda dengan isolat ICBB 8818, pada konsentrasi sulfat 1000 mg/L waktu tumbuh 2 hari, tetapi membutuhkan waktu 6 hari untuk tumbuh pada konsentrasi sulfat 1500 mg/L, 2500 mg/L dan 3500 mg/L. Total sulfat yang tereduksi meningkat dengan peningkatan kosentrasi sulfat awal (Tabel 13). Rata-rata total sulfat yang tereduksi pada kosentrasi sulfat awal 1000 mg/L, 1500 mg/L, 2500 mg/L dan 3500 mg/L berturut-turut adalah 856,96 mg/L, 1079,56 mg/ L, 1335,64 mg/L dan 1518,92 mg/L. Namun demikian,

efisiensi reduksi sulfat menurun dengan peningkatan konsentrasi sulfat awal (Gambar 16). Persentase reduksi pada konsentrasi sulfat awal 1000 mg/L

mencapai 85,70%, menurun menjadi 43,40% jika konsentrasi sulfat awal sebesar

58 Tabel 12. Waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat pada beberapa level konsentrasi sulfat pada pH 4
Konsentrasi SO4 2- (mg/L) 1000 1500 hari ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818 5 6 5 2 5 4 5 6 5 8 6 6 5 7 6 6 2500 3500

Isolat

Tabel 13. Pengaruh konsentrasi sulfat awal terhadap total sulfat yang tereduksi
Isolat 1000 Konsentrasi SO4 2- (mg/L) 1500 (mg/L) ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818 818,79 875,03 871,01 887,08 987,17 1095,63 1077,55 1210,11 1294,47 1375,81 1351,71 1372,80 1538,50 1532,48 1529,46 1559,59 2500 3500

3500 mg/L. Efisiensi reduksi sulfat tidak ditentukan oleh konsetrasi sulfat awal, tetapi lebih ditentukan oleh sumber organik yang tersedia. Dalam reaksi reduksi, untuk mereduksi 1 mol sulfat diperlukan 2 mol laktat. Oleh karena itu, walaupun sulfat yang tersedia meningkat, tetapi karena jumlah sumber organik yang tersedia terbatas membatasi proses reduksi sulfat. Isolat ICBB 8818 mempunyai

kemampuan mereduksi sulfat lebih tinggi dibandingkan ketiga isolat lainnya. Penurunan kandungan sulfat diikuti dengan peningkatan kandungan sulfida yang terbentuk (Gambar 17). Total sulfida yang terbentuk meningkat dengan meningkatnya kandungan sulfat awal. Pada kandungan sulfat awal 1000 mg/L, total sulfida yang terbentuk adalah 286,96 mg/L, meningkat menjadi 511,90 mg/L dengan peningkatan konsentrasi sulfat awal 3500 mg/L. Isolat ICBB 8818

menunjukkan kecenderungan membentuk sulfida lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya. Hal ini sejalan dengan kemampuan isolat bakteri

59 pereduksi sulfat dalam mereduksi sulfat, dimana isolat ICBB 8818 mampu mereduksi sulfat lebih banyak dibandingkan ketiga isolat lainnya.
100

Reduksi Sulfat (%)

75

50

25

0 8813 8815 8816 8818

Isolat 1000 mg/L 1500 mg/L 2500 mg/L 3500 mg/L

Gambar 16. Pengaruh konsentrasi sulfat terhadap kemampuan bakteri dalam mereduksi sulfat

600 Kandungan Sulfida (mg/L) 500 400 300 200 100 0 8813 8815 8816 8818

Isolat 1000 mg/L 1500 mg/L 2500 mg/L 3500 mg/L

Gambar 17. Pengaruh konsentrasi sulfat awal terhadap kandungan sulfida yang terbentuk

60 4.2.3. Pengaruh sumber karbon organik terhadap pertumbuhan bakteri dan laju reduksi sulfat Pada tahap percobaan ini digunakan isolat bakteri pereduksi sulfat yaitu ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, dan ICBB 8818. Keempat isolat tersebut dipilih karena mempunyai kemampuan reduksi sulfat tinggi. Pertumbuhan keempat isolat bakteri pereduksi sulfat pada sumber karbon organik yang berbeda disajikan pada Tabel 14. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh sumber karbon organik. Isolat bakteri pereduksi sulfat tumbuh lebih cepat pada media dengan laktat sebagai sumber karbon organik dibandingkan dengan jerami padi dan kulit kayu. Pada media laktat sebagai sumber karbon, bakteri tumbuh pada 4-6 hari setelah inkubasi, sedangkan pada media jerami padi waktu tumbuh bakteri berkisar antara 6-10 hari. Hal ini terjadi karena laktat langsung tersedia bagi pertumbuhan bakteri. Pada media dengan jerami padi sebagai sumber karbon, perlu waktu beberapa hari untuk menguraikan jerami padi sehingga laktat tersedia bagi pertumbuhan bakteri. Tabel 14. Waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat pada laktat, limbah jerami padi dan limbah kulit kayu sebagai sumber karbon organik
Isolat Laktat ICBB 8813 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818 5 6 5 4 Waktu tumbuh (hari) Jerami padi 8 10 9 6 Kulit kayu tt tt tt tt

Keterangan : tt = tidak tumbuh Salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat adalah ketersediaan karbon organik. Karbon organik merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan kehidupan mikroorganisme. Reaksi reduksi sulfat oleh bakteri pereduksi sulfat mengikuti persamaan seperti berikut, SO42- + 8e- + 4H2 O S2- + 8OHPada reaksi tersebut, elektron yang dibutuhkan diperoleh dari aktivitas oksidasi senyawa organik (laktat, asetat, propionat, dan lain- lain) yang dilakukan oleh

61 bakteri pereduksi sulfat. Disamping sebagai donor elektron, sumber karbon juga berfungsi sebagai sumber energi. Pada tahap awal sumber karbon akan dioksidasi dan menghasilkan ATP, kemudian ATP tersebut dimanfaatkan untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida. Penggunaan jerami padi sebagai sumber karbon mampu menyediakan karbon sesuai kebutuhan bakteri pereduksi sulfat. Jerami padi merupakan sumber bahan organik yang mudah terurai, sehingga akan melepaskan senyawa organik yang dibutuhkan dalam aktivitas bakteri. Gotoh dan Onikura (1971) melaporkan bahwa pada kondisi anaerob, jerami padi akan mengalami fermentasi dan melepaskan laktat, asetat, format, dan propionat. Wang et al. (2008)

mengemukakan bahwa senyawa tersebut mulai terlepas 3 hari setelah inkubasi. Senyawa-senyawa organik tersebut masih dilepaskan sampai 16 minggu setelah inkubasi. Penggunaan limbah kulit kayu tidak mampu mendukung pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat. Dalam percobaan ini, tidak ada satupun isolat yang

tumbuh pada media yang menggunakan limbah kulit kayu sebagai sumber karbon. Hal ini mungkin berkaitan dengan komposisi kimia kulit kayu. Richard (1998) melaporkan bahwa komposisi utama kulit kayu adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Dikemukakan bahwa kandungan lignin pada kayu berkisar antara 26-27%, sedangkan kandungan lignin pada jerami padi adalah 7% (Antongiovanni dan Sargentini, 1991). Lignin merupakan komplek polimer fenilpropane sehingga sulit didekomposisi (Richard, 1998; McCrady, 1991; Haug, 1993). Oleh karena itu, tingginya kandungan lignin pada baha n organik menjadi penghambat fisik proses pelapukan. Van Soest (1994) mengemukakan bahwa pada kondisi

lingkungan anaerob, lignin dapat bertahan pada rentang waktu yang sangat lama. Perbedaan sumber karbon organik menyebabkan perubahan kurva

pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat (Gambar 18). Kurva pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat mengalami pergeseran pada perlakuan jerami sebagai sumber karbon organik. Pada perlakuan ini, laktat tidak langsung tersedia bagi aktivitas bakteri, tetapi beberapa hari kemud ian. Hal ini yang menyebabkan fase awal pertumbuhan terjadi lebih lambat. Pada media dengan laktat sebagai sumber

karbon, bakteri tumbuh dengan cepat, dan mencapai puncaknya pada hari ke 18-

62

Kerapatan Optik (Abs 620nm)

0,8 0,6 0,4 0,2 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30

Waktu (hari ke) Laktat Jerami padi

Gambar 18. Pengaruh sumber karbon organik terhadap pola pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat Desulfovibrio sp. ICBB 8818 20 setelah inkubasi. Kondisi berbeda diperoleh pada media dengan jerami padi sebagai sumber karbon. Pertumbuhan bakteri lebih lambat dan mencapai

puncaknya 24 hari setelah inkubasi. Keterlambatan tumbuh tersebut disebabkan ketersediaan laktat, dimana pada jerami padi perlu diuraikan terlebih dahulu sebelum tersedia bagi aktivitas bakteri. Pada hari ke 30 setelah inkubasi, aktivitas bakteri yang tumbuh pada media laktat telah mengalami penurunan, diindikasikan dengan penurunan kerapatan optik, yakni di bawah 0,40. Hal berbeda ditunjukkan dengan bakteri yang tumbuh pada media jerami padi, dimana pada hari ke 30 kerapatan optik masih tinggi, yakni sekitar 0,65. Perbedaan pertumbuhan bakteri sebagai akibat perbedaan sumber karbon menyebabkan perbedaan kemampuan bakteri dalam mereduksi sulfat. Jumlah

sulfat yang tereduksi oleh bakteri yang tumbuh pada jerami padi lebih tinggi dibandingkan dengan laktat sebagai sumber karbon (Gambar 19). Total sulfat yang tereduksi pada media laktat adalah 86,53%, sedangkan pada media jerami padi, total sulfat yang tereduksi sebesar 89,59%. Isolat ICBB mampu mereduksi sulfat paling tinggi, yakni 88,79% pada media laktat dan 90,39% pada media jerami padi. Penurunan kandungan sulfat diikuti dengan peningkatan kandungan sulfida yang terbentuk (Gambar 20). Rata-rata sulfida yang terbentuk pada media laktat adalah 286,96 mg/L dan 298,08 mg/L pada media jerami padi.

63

90

Reduksi Sulfat (%)

80

70

60

8813

8815 Isolat Laktat

8816

8818

Jerami padi

Gambar 19.

Pengaruh sumber karbon terhadap kemampuan bakteri dalam mereduksi sulfat

Kandungan Sulfida (mg/L)

300 250 200 150 100 8813 8815 8816 8818

Isolat Laktat Jerami padi

Gambar 20. Pengaruh sumber karbon terhadap total sulfida yang terbentuk 4.3. Pengolahan Air Asam Tambang dengan Reaktor Bakteri Pereduksi Sulfat Sistem Tersuspensi 4.3.1. Karakteristik Limbah Air Asam Tambang Limbah air asam tambang yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kolam penampungan limbah PIT-1 Banko Barat, pertambangan batu bara PT. Bukit Asam, Muara Enim, Sumatera Selatan. Karakteristik kimia limbah air asam

64 tambang disajikan pada Tabel 15. pH air limbah sangat masam, yakni antara 2,92-3,30. Kondisi ini terjadi karena kandungan ion SO4 2- tinggi (925-950 mg/L). Tingginya tingkat kemasaman limbah menyebabkan logam terlarut cukup tinggi, terutama untuk Fe dan Mn, berturut-turut 6,99-7,22 mg/L dan 11,31-11,77 mg/L. Kualitas air limbah ini jauh melebihi baku mutu air limbah, seperti yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Menurut

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003, baku mutu air limbah bagi usaha kegiatan pertambangan batu bara mempunyai pH antara 6-9, kandungan Fe total tidak lebih dari 7 mg/L, kandungan Mn total tidak lebih dari 4 mg/L, dan residu tersuspensi tidak lebih dari 400 mg/L. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, batas maksimal kandungan sulfat yang masih diperbolehkan adalah 400 mg/L. Oleh karena itu, limbah air asam tambang tersebut perlu diolah sebelum dapat dibuang ke air permukaan. Tabel 15. Karakteristik kimia limbah air asam tambang PIT-1, Bangko Barat, Muara Enim
PIT-1 pH SO4 2- (mg/L) Fe (mg/L) Mn (mg/L) Zn (mg/L) Pb (mg/L) Co (mg/L)
1) 2)

Ambang Batas 6-9 2) < 400 1) < 7 2) < 4 2) -

2,92-3,30 925-950 6,99-7,22 11,31-11,77 0,99-1,99 0,28-0,32 0,26-0,27

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003

4.3.2. Pertumbuhan Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat pada Reaktor Bakteri Tersuspensi Bakteri yang digunakan dalam pengolahan limbah air asam tambah pada bioreaktor adalah isolat ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818. Ketiga isolat ini dipilih didasarkan hasil penelitian tahap ke dua, dimana ketiga isolat tersebut

65 memiliki kemampuan mereduksi sulfat lebih unggul dibandingkan dengan isolat lainnya. Pertumbuhan isolat ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818 dalam reaktor selama waktu inkubasi 35 hari disajikan pada Gambar 21. Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat diamati secara turbidimetri. Secara umum pola pertumbuhan

bakteri dikelompokkan menjadi 4 fase, yaitu (1) fase lag, yaitu fase adaptasi terhadap lingkungan, (2) fase eksponensial dimana bakteri tumbuh dengan cepat dan membutuhkan banyak nutrisi dan energi, (3) fase stasioner dimana perbanyakan sel berhenti, dan (4) fase kematian yang ditunjukkan dengan

penurunan jumlah sel yang aktif. Secara umum isolat ICBB 8818 menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik, diikuti dengan isolat ICBB 8815 dan ICBB 8816. Pola pertumbuhan ketiga isolat menunjukkan pola yang hampir sama. Pada awal pertumbuhannya, ketiga isolat tidak menunjukkan perbedaan, tetapi pada hari ke 10 dimana pertumbuhan bakteri memasuki fase eksponensial, ketiga isolat menunjukkan laju pertumbuhan yang berbeda. Ketiga isolat yang diuji menunjukkan pertumbuhan eksponensial antara hari ke 10 20 setelah inkubasi, sedang fase stasionari terjadi antara hari ke 20 30 setelah inkubasi. Pada puncak pertumbuhannya, yakni pada hari ke 25,

kerapatan optik tertinggi adalah 0,77; 0,72 dan 0,79 berturut-turut untuk isolat
Kerapatan Optik (Abs 620 nm)

0,8 0,6 0,4 0,2 0 5 10 15 20 25 30 35

Waktu (hari ke) ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Gambar 21. Pola pertumbuhan tiga isolat bakteri pereduksi sulfat pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi

66 ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818. Populasi bakteri mulai menurun setelah 25 hari. Pada akhir percobaan, 35 hari setelah inkubasi, kerapatan optik hanya berkisar antara 0,29 dan 0,34. Dari data tersebut terlihat bahwa fase kematian bakteri mulai terjadi 30 hari setelah inkubasi.

4.3.3. Kemampuan Isolat Bakteri Mereduksi Sulfat dan Logam Terlarut pada Reaktor Bakteri Pereduksi Sulfat Tersuspensi Penurunan konsentrasi sulfat limbah air asam tambang pada reaktor bakteri pereduksi sulfat ditampilkan pada Gambar 22. Efisiensi reduksi sulfat untuk

isolat ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICBB 8818 berturut-turut adalah 89,60%, 88,21% dan 90,44%. inkubasi 30 hari. Pada awal inkubasi, proses reduksi sulfat berjalan lambat. Proses reduksi sulfat berjalan cepat pada inkubasi hari ke 5 sampai 20, kemudian melandai pada hari ke 20 30. Kecepatan laju reduksi ini sejalan dengan perkembangan Efisiensi reduksi sulfat tersebut terjadi dalam waktu

populasi bakteri. Populasi bakteri berkembang dengan cepat pada hari ke 10-20, seperti terlihat pada grafik kerapatan optik (Gambar 21). Pada saat populasi bakteri berkembang dengan cepat, jumlah sulfat yang tereduksi semakin tinggi.

1000 Kandungan Sulfat (mg/L) 800 600 400 200 0 0 5 10 15 20 25 30

Waktu (hari ke) ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Gambar 22. Penurunan konsentrasi sulfat pada limbah air asam tambang pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi

67 Pada 20 hari setelah inkubasi, perkembangan bakteri memasuki fase stasionari dimana perkembangan sel mulai terhenti. Kondisi ini menyebabkan jumlah sulfat yang tereduksi sedikit. Penurunan sulfat tersebut diikuti dengan peningkatan sulfida (Gambar 23). Peningkatan sulfida sejalan dengan penurunan sulfat. Pembentukan sulfida mulai terukur setelah hari ke 5, dan menujukkan peningkatan yang nyata antara hari ke 10 dan 20 saat pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat berada pada fase eksponensial. Penurunan kandungan sulfat dan peningkatan sulfida menyebabkan pH limbah meningkat. Pada akhir percobaan, pH limbah mencapai 7, seperti yang ditampilkan pada Gambar 24.

300 Kandungan Sulfida (mg/L)

200

100

0 0 5 10 15 20 25 30

Waktu (hari ke) ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Gambar 23. Peningkatan sulfida yang terbentuk pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi Reaktor bakteri pereduksi sulfat juga mampu menurunkan logam terlarut secara signifikan (Gambar 25). Logam tersebut bereaksi dengan S2- membentuk logam sulfida yang tidak larut, seperti reaksi berikut: M2+ + S2- MS Pada penelitian ini logam terlarut yang diukur adalah Fe dan Mn karena berdasarkan hasil analisa limbah air asam tambang, konsentrasi yang terlarut kedua logam ini cukup tinggi, yakni 6,99-7,22 mg/L dan 11,31-11,77 mg/L. Pada akhir inkubasi selama 30 hari, total terlarut dari kedua logam ini adalah 0,15-0,17

68

pH

4 2

0 0 5 10 15 20 25 30

Waktu (hari ke) ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Gambar 24. Peningkatan pH limbah air asam tambang pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi

mg/L dan 0,23-0,28 mg/L, masing- masing untuk Fe dan Mn.

Logam tersebut

bereaksi dengan S2- membentuk logam sulfida yang tidak larut (mengendap). Hasil ini memperlihatkan bahwa penggunaan reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi secara nyata mampu mengurangi kandungan sulfat dan logam terlarut dalam limbah air asam tambang dengan tingkat efisiensi antara 88-90%, dan reduksi logam terlarut sekitar 97%, serta mampu meningkatkan pH dari sekitar 3 menjadi 7. Namun demikian, untuk mendapatkan tingkat efisiensi tersebut Bahkan untuk

diperlukan waktu yang cukup lama, yakni sekitar 30 hari.

memperoleh kandungan sulfat yang diperbolehkan (400 mg SO4 2-/L) diperlukan waktu lebih dari 21 hari. Hal ini dianggap terlalu lama untuk pengolahan limbah di lapang. Disamping itu, dengan sistem sel bakteri tersuspensi, masih ada

kemungkinan terjadinya bakteri yang terbuang (wash out) ke lingkungan bersamasama dengan pembuangan air limbah. Oleh karena itu, untuk mempertahankan jumlah populasi bakteri yang optimum, diperlukan penambahan bakteri ke dalam reaktor.

69

12

Konsentrasi (mg/L)

9 6 3 0 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8818

Isolat Mn Awal Mn Akhir Fe Awal Fe Akhir

Gambar 25. Penurunan konsentrasi Fe dan Mn terlarut limbah air asam tambang pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi 4.4. Pengolahan Air Asam Tambang dengan Reaktor Biofilm Bakteri Pereduksi Sulfat 4.4.1. Rancangan Reaktor Pembuatan rancangan reaktor biofilm yang menggunakan jerami padi sebagai sumber karbon organik dan batu vulkan sebagai media pelekatan bakteri didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan yang memperlihatkan bahwa jerami padi tidak dapat dipergunakan sebagai media pelekatan media. Setelah dilakukan imobilisasi bakteri pereduksi sulfat dengan cara membiarkan reaktor dalam kondisi anaerob selama 14 hari, reaktor tidak mampu menurunkan kandungan sulfat dalam air asam tambang. Hasil ini membuktikan bakteri pereduksi sulfat tidak dapat tumbuh melekat pada jerami padi. Hal ini sejalan dengan temuan Tampion dan Tampion (1987). Tampion dan Tampion (1987) mengemukakan bahwa bahan organik yang dapat dipergunakan sebagai media tumbuh biofilm harus tidak mudah dirombak oleh mikrob, banyak mengandung selulose, dan

banyak berpori. Oleh karena itu pada percobaan ini digunakan batu vulkan sebagai media tumbuh biofilm bakteri pereduksi sulfat. Berdasarkan hasil

beberapa penelitian (Benedict et al., 1998; Basu dan Baldwin, 2000) menunjukkan

70 bahwa batu vulkan merupakan media yang cukup sesuai untuk pelekatan dan pertumbuhan biofilm bakteri.

4.4.2. Pertumbuhan Biofilm Bakteri Media yang dipergunakan untuk pelekatan dan pertumbuhan biofilm bakteri pereduksi sulfat adalah batu vulkan. Batu vulkan mempunyai permukaan yang kasar dan banyak berongga, sehingga dapat mempermudah proses pelekatan bakteri dan pertumbuhan biofilm. Gambar 26[a] merupakan penampakan

permukaan batu vulkan tanpa penambahan bakteri. Secara alami bakteri akan menempel pada permukaan yang kasar dan tumbuh membentuk biofilm. Proses awal penempelan bakteri pada permukaan batu vulkan terjadi karena adanya pergerakan bakteri mendekati permukaan batu vulkan, dan kemudian terjadi proses penjerapan. Bakteri tersebut selanjutnya menempel pada permukaan batu dan mengalami kolonisasi. Penempelan tersebut terjadi karena bakteri menghasilkan bahan polimer (extracellular polymeric substrate - EPS). Bahan polimer tersebut merupakan komponen utama biofilm (50-90%), yang terdiri dari campuran senyawa karbon organik antar lain polisakarida, mucopolisakarida dan protein yang diproduksi oleh bakteri (Bridge et al., 1999). Pembentukan EPS memperkokoh pelekatan bakteri pada permukaan batu vulkan sehingga dapat menjaga stabilitas populasi dalam reaktor. Penampakan visual pertumbuhan bakteri dalam bentuk biofilm diamati dengan metode Scanning Electron Microscopy (SEM). Hasil pengamatan pertumbuhan bakteri terimobilisasi menggunakan metode SEM ditampilkan pada Gambar 26. Pada Gambar 26[a] yang merupakan

permukaan batu vulkan yang tidak diperlakukan tidak terlihat adanya bakteri pereduksi sulfat yang tumbuh. Hasil serupa juga terlihat pada perlakuan kontrol (tanpa penambahan kultur bakteri), tidak ada pertumbuhan bakteri terimobilisasi pada permukaan batu vulkan (Gambar 26[b]). Hal ini membuktikan bahwa tidak ada bakteri pereduksi sulfat yang tumbuh di jerami padi. Pada perlakuan

penambahan kultur bakteri, bakteri pereduksi sulfat isolat ICBB 8815 dan ICBB 8818 tumbuh terimbolisasi dengan baik pada permukaan batu vulkan, seperti yang terlihat pada Gambar 26[c] dan 26[d]. Secara visual terlihat bahwa populasi isolat

71

[a]

[b]

[c]

[d]

Gambar 26. Foto permukaan batu vulkan hasil pengamatan dengan scanning electron microscopy perbesaran 10.000x. (a) Permukaan batu vulkan tanpa perlakuan (blanko), (b) Perlakuan jerami padi, (c) Perlakuan jerami padi dan ICBB 8815, dan (d) Perlakuan jerami padi dan ICBB 8818. Lingkaran dan tanda panah menunjukkan bakteri pereduksi sulfat yang tumbuh menempel pada permukaan batu vulkan

ICBB 8818 lebih tinggi dibandingkan dengan ICBB 8815.

Hasil

perhitungan populasi dengan metode total plate count juga memperlihatkan bahwa populasi isolat ICBB 8818 lebih tinggi 8815, seperti dibandingkan dengan ICBB

ditampilkan pada Tabel 16. Jumlah koloni bakteri pereduksi

sulfat yang tumbuh pada permukaan batu vulkan adalah 1,6-4,1 x 109 cfu/g untuk isolat ICBB 8815 dan 2,1-7,6 x 109 cfu/g untuk isolat ICBB 8818.

72 Tabel 16. Jumlah koloni bakteri pereduksi sulfat terimobil pada batu vulkan
No. Isolat Batu vulkan (g) 25 25 25 25 Jumlah koloni terhitung Petri 1 40x109 53x109 Petri 2 103x109 190x109 Petri 3 52x109 153x109 Jumlah koloni (cfu/g) 1,6-4,1 x 109 2,1-7,6 x 109

1 2. 3. 4.

Blanko Kontrol ICBB 8815 ICBB 8818

Berdasarkan perhitungan populasi tersebut, dengan volume limbah air asam tambang sebanyak 3000 mL dan jumlah batu vulkan yang dipergunakan adalah 4000 g, maka diperkirakan jumlah total bakteri yang ada di reaktor adalah 6,4 30,4 x 1012 cfu, atau sekitar 2,1 - 10,1 x 109 cfu/mL limbah. Populasi tersebut diperoleh 14 hari setelah masa inkubasi. Hal serupa juga diperoleh oleh Kuo dan Shu (2004), dimana populasi bakteri pereduksi sulfat pada kondisi terimobilisasi mencapai 109 cfu/mL pada masa inkubasi 15 hari. Dengan populasi tersebut dianggap cukup memadai untuk mereduksi sulfat dengan tingkat efisiensi 7098%. 4.4.3. Efisiensi Reduksi Sulfat pada Reaktor Biofilm Bakteri Pereduksi Sulfat Gambar 27 memperlihatkan penurunan konsentrasi sulfat dalam limbah air asam tambang dalam reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat. Konsentrasi sulfat dalam larutan mengalami penurunan cepat 24 jam pertama. Pada 24 jam pertama, konsentrasi sulfat dalam limbah air asam tambang sebesar 577,54 mg/L dan 554,62 mg/L, masing- masing untuk isolat ICBB 8815 dan ICBB 8818. Pada waktu pengamatan 144 jam, konsentrasi sulfat yang tertinggal dalam limbah air asam tambang adalah 211,32 mg/L dan 182,45 mg/L, masing- masing untuk isolat ICBB 8815 dan ICBB 8818, atau dengan tingkat efisiensi sebesar 77,72% dan 80,76%. Perbedaan efisiensi reduksi sulfat dari kedua isolat tersebut berkaitan dengan kemampuan isolat untuk melekat dan tumbuh dalam bentuk biofilm. Hasil analisa SEM dan perhitungan populasi bakteri (Gambar 26 dan Tabel 16) memperlihatkan

73 bahwa isolat ICBB 8818 mampu tumbuh pada kondisi biofilm dengan populasi lebih tinggi dibandingkan dengan isolat ICBB 8815. Perbedaan populasi tersebut secara langsung akan mempengaruhi kemampuan bakteri dalam mereduksi sulfat. Pengolahan limbah air asam tambang dengan menggunakan reaktor bakteri pereduksi sulfat yang terimobilisasi menghasilkan efisiensi penurunan sulfat lebih tinggi dibandingkan dengan reaktor bakteri tersuspensi. Efisiensi reduksi sulfat sebsar 77,72-80,76% pada reaktor bakteri terimobilisasi diperoleh pada waktu tinggal 6 hari. Pada reaktor bakteri tersuspensi, tingkat efisiensi reduksi sulfat tersebut dicapai pada hari ke 21 (Gambar 22). Hal ini disebabkan dengan

melekatnya bakteri pada permukaan batu, membentuk struktur dan lingkungan mikro yang menguntungkan untuk mempertahankan kehidupan sel bakteri. Penempelan sel bakteri pada batu vulkan meningkatkan jumlah sel bakteri per volume tertentu, sehingga meningkatkan efisiensi reduksi sulfat. Disamping itu, dalam kondisi terimobilisasi sel bakteri lebih toleran terhadap bahan beracun (toksik) konsentrasi tinggi dari pada kondisi tersuspensi. Dalam proses reduksi sulfat dihasilkan sulfida, dimana senyawa ini bersifat racun terhadap sel bakteri pereduksi sulfat. Hal ini dapat dilihat dari proses reduksi sulfat yang terus terjadi pada konsentrasi sulfida yang terus meningkat. Penurunan konsentrasi sulfat diikuti dengan peningkatan konsentrasi sulfida dalam limbah air asam tambang (Gambar 27). Dalam proses reduksi sulfat, sulfida yang terbentuk kemungkinan dapat bereaksi dengan logam dan mengendap dalam reaktor, sebagian menguap dalam bentuk gas. Oleh karena itu, total sulfida yang teruk ur adalah sulfida yang terlarut dalam limbah air asam tambang. Dari hasil pengukuran tersebut diperoleh bahwa pada akhir pengamatan (144 jam), total sulfida yang terbentuk adalah 251,89 mg/L dan 243,33 mg/L, masing- masing untuk isolat ICBB 8818 dan ICBB 8815. Penggunaan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat mampu meningkatkan pH air limbah dari sekitar 3,05 me njadi pH 7 (Gambar 28). Kenaikan pH menjadi lebih dari 6 dicapai dengan waktu tinggal 2 jam. Kenaikan pH tersebut juga terjadi pada perlakuan kontrol tanpa inokulasi bakteri pereduksi sulfat. Peningkatan yang sangat tajam ini kemungkinan bukan disebabkan oleh penurunan sulfat, tetapi disebabkan oleh hasil penguraian lebih lanjut dari

74
ICBB 8818
1000

800

Konsentrasi (mg/L)

600 y = -143,15Ln(x) + 1004,2 2 R = 0,9619 400 y = 47,395Ln(x) - 19,512 2 R = 0,9592

200

0 0 20 40 60 80 100 120 140

Waktu (jam)

ICBB 8815
1000

800

Konsentrasi (mg/L)

600 y = -139,22Ln(x) + 1010,8 R 2 = 0,9635 400 y = 46,085Ln(x) - 22,026 200 R = 0,9623


2

0 0 20 40 60 80 100 120 140

Waktu (jam) Sulfat Log. (Sulfat) Sulfida Log. (Sulfida) Sulfat Kontrol

Gambar 27.

Grafik penurunan konsentrasi sulfat dan produksi sulfida pada reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat : ICBB 8818 (Atas) dan ICBB 8815 (Bawah)

75
KONTROL
8 7 6 5

y = 0,3512Ln(x) + 5,3206 R = 0,3748


2

pH

4 3 2 1 0 0 20 40 60 80 100 120 140

Waktu (jam)

ICBB 8818
8 7 6 5

y = 0,4949Ln(x) + 4,9172 R = 0,6381


2

pH

4 3 2 1 0 0 20 40 60 80 100 120 140

Waktu (jam)

ICBB 8815
8 7 6 5

y = 0,4379Ln(x) + 5,2015 R = 0,5105


2

pH

4 3 2 1 0

20

40

60

80 Waktu (jam)

100

120

140

Gambar 28.

Grafik kenaikan pH limbah air asam tambang pada reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat : Kontrol (Atas), ICBB 8818 (Tengah), ICBB 8815 (Bawah)

76 senyawa organik yang terbentuk hasil fermentasi jerami padi. Pada kondisi

anaerob jerami padi mengalami fermentasi membentuk senyawa organik, seperti asam laktat, asam asetat, alkohol dan gliserol. Hasil penelitian Wang et al. (2008) dan Mostafa et al. (2001) membutikan bahwa jerami padi mengalami fermentasi menghasilkan berbagai macam senyawa organik, termasuk diantaranya adalah etanol, asam asetat, asam laktat dan gliserol. Hasil serupa juga ditunjukkan dari penelitian Kumari et al. (2008), dimana pengamatan pada akhir percobaan menunjukkan pH larutan tabil pada kondisi alkalin. Pembentukan senyawa organik ini dalam reaktor ditandai dengan peningkatan COD limbah (Gambar 29). Parameter COD (Chemical Oxygen

Demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi menjadi CO2 dan H2 O. Makin tinggi senyawa organik yang terbentuk, makin tinggi COD limbah. COD limbah air asam tambang adalah 15,13 mg/L, dan mengalami peningkatan dengan meningkatnya waktu tinggal. COD pada waktu tinggal 144 jam adalah 280,00 mg/L. Nilai COD tersebut masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP51/MENLH/10/1995.
300 250

COD (mg/L)

200 150 100 50 0 0 20 40 60 80

y = 43,435Ln(x) + 66,167 R2 = 0,8782

100

120

140

Waktu (jam)

Gambar 29. Grafik peningkatan COD limbah air asam tambang pada reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat

77 Kandungan logam terlarut pada limbah air asam tambang menurun dengan peningkatan waktu tinggal dalam reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat (Gambar 30). Dengan waktu tinggal 144 jam, logam Mn dan Fe terlarut mengalami

penurunan masing- masing sebesar 88,70% dan 69,70%. Logam tersebut bereaksi dengan ion sulfida membentuk logam sulfida yang tidak larut. Reaksi dan

pengendapan logam sulfida tersebut ditentukan oleh konstanta kelarutan (KSp) masing- masing senyawa, makin rendah nilai KSp makin cepat senyawa tersebut mengendap. Senyawa FeS dan MnS berkeseimbangan dalam larutan mengikuti reaksi : FeS (s) ? Fe2+ + S2MnS (s) ? Mn2+ + S2KSp = 3,7 x 10-19 KSp = 10-22

Pada kondisi homogen, MnS akan mengendap lebih cepat sebelum FeS mengendap. Namun demikian larutan dalam reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat bukan larutan homogen, sehingga proses pengendapan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti transport massa, reaksi pengikatan oleh bahan organik, atau pengikatan dengan bahan polimer ekstraseluler yang diproduksi oleh bakteri. Kondisi demikian menyebabkan Fe terlarut berkurang bersamaan dengan penurunan kandungan Mn terlarut. Hal serupa terjadi pada pengendapan Pb dan Fe dalam biofilm bakteri pereduksi sulfat seperti yang ditunjukkan oleh Beyenal dan Lewandoski (2004). Penurunan konsentrasi sulfat dalam reaktor ini mengikuti persamaan logaritmik sebagai berikut: Y = - 143,15 Ln [X] + 1004,2 (R2 = 0,9619) untuk isolat ICBB 8818 dan persamaan Y = - 139,22 Ln [X] + 1010,8 (R2 = 0,9635) untuk isolat ICBB 8815, dimana Y adalah konsentrasi sulfat dan X adalah waktu tinggal. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang

Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, batas maksimal kandungan sulfat yang masih diperbolehkan adalah 400 mg/L. Pada percobaan ini, konsentrasi sulfat awal dalam limbah air asam tambang adalah 925-950 mg/L. Dengan menggunakan persamaan tersebut, untuk mendapatkan konsentrasi sulfat sesuai dengan peraturan pemerintah tersebut, maka waktu yang diperlukan untuk

78 ICBB 8818
12

Konsentrasi (mg/L)

y = -1,1235Ln(x) + 8,6606 R2 = 0,8039

y = -1,5173Ln(x) + 8,1233 R2 = 0,8363

0 0 20 40 60 80 100 120 140

Waktu (jam)

ICBB 8815
12

Konsentrasi (mg/L)

8 y = -1,0093Ln(x) + 8,4112 R = 0,798 4


2

y = -1,5627Ln(x) + 8,7256 R = 0,8848


2

0 0 20 40 60 80 100 120 140

Waktu (jam) Mn Fe Log. (Mn) Log. (Fe)

Gambar 30.

Grafik penurunan konsentrasi logam terlarut limbah air asam tambang dengan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat: ICBB 8818 (Atas) dan ICBB 8815 (Bawah)

mengolah limbah air asam tambang adalah 80 jam untuk isolat ICBB 8815 dan 68 jam untuk isolat ICBB 8818. Penurunan logam terlarut juga mengikuti persamaan logaritmik, seperti pada Gambar 30. Konsentrasi awal Mn dan Fe terlarut dalam limbah air asam tambang masing- masing adalah 11,31-11,77 mg/L dan 6,99-7,22 mg/L. Dengan

menggunakan persamaan logaritmik tersebut, dengan waktu pengolahan antara

79 68-80 jam, maka kandungan Mn dan Fe terlarut berkurang menjadi 1,72-1,88 mg/L dan 3,92-4,00 mg/L. Nilai tersebut di bawah ambang batas baku mutu limbah bagi usaha kegiatan pertambangan batu bara. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003, kandungan Mn terlarut dalam limbah tidak lebih dari 4 mg/L dan kandungan Fe terlarut tidak lebih dari 7 mg/L. Hasil percobaan ini membuktikan bahwa reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat jauh lebih efisien dalam memperbaiki kualitas limbah air asam tambang dibandingkan dengan reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi. Dengan reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi dibutuhkan waktu sekitar 21 hari unt uk menghasilkan mutu limbah yang sesuai dengan peraturan pemerintah dan aman terhadap lingkungan. Sedangkan dengan menggunakan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat diperlukan waktu antara 68-80 jam, atau sekitar 3 hari.

4.4.4. Perkiraan Penggunaan Reaktor Biofilm di Lapang : Kasus PT Bukit Asam Hasil penelitian tingkat laboratorium ini dapat diaplikasikan ke lapang melalui pendekatan peningkatan skala (scale up). Untuk aplikasi reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat ke lapang, hal yang perlu diperhatikan dalam peningkatan skala pada tingkat lapang antara lain adalah jumlah populasi bakteri dalam biofilm, volume dan dimensi reaktor, dan waktu tinggal. Pertambangan batu bara PT Bukit Asam merupakan pertambangan batu bara terbesar di Indonesia. Pertambangan di wilayah ini dilakukan dengan pola

pertambangan terbuka, sehingga pembentukan air asam tambang terjadi tanpa dapat dikendalikan. Untuk mengurangi dampak negatif dari limbah tersbut, saat ini pengolahan air asam tambang dilakukan secara aktif dengan penambahan batu kapur sebelum limbah tersebut ditampung pada kolam penampungan. Cara ini membutuhkan biaya mahal karena penambahan bahan kapur harus dilakukan secara terus menerus, dan membutuhkan kolam penampungan yang luas. Disamping itu, hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa cara ini kurang efektif dalam menurunkan pH limbah. Dalam penerapan reaktor biofilm, volume reaktor tingkat lapang disesuaikan volume limbah air asam tambang yang terbentuk di areal pertambangan pada

80 periode waktu tertentu. Pada areal pertambangan batu bara PT Bukit Asam tidak ada data pasti berapa volume limbah yang terbentuk dalam periode waktu tertentu,
3 namun diperkirakan sekitar 3000 m air asam tambang terbentuk dalam waktu

satu bulan.

Dengan volume limbah tersebut, ukuran reaktor biofilm bakteri

pereduksi sulfat yang sesuai adalah 300 m3 dengan dimensi panjang 100 m, lebar 3 m dan tinggi 2 m. Reaktor dirancang kondisi anaerob, sehingga rancangan yang mudah adalah dibuat di bawah tanah dalam bentuk gorong-gorong (Gambar 31). Dengan bentuk dan dimensi tersebut, diharapkan air limbah dapat mengalir lebih merata sehingga meningkatkan waktu kontak dengan permukaan biofilm.

Jerami padi Batu vulkan

Gambar 31. Sketsa rancangan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat untuk pengolahan air asam tambang di lapang

Faktor lain yang menentukan efisiensi reduksi sulfat dalam reaktor adalah populasi bakteri yang tumbuh dalam biofilm. Untuk mendapatkan jumlah

populasi yang diharapkan, reaktor yang telah diisi dengan jerami padi, batu vulkan dan kultur murni bakteri pereduksi sulfat dibiarkan dalam kondisi anaerob selama 2 minggu atau lebih. Hasil penelitian skala laboratorium menunjukkan bahwa dengan waktu tersebut populasi bakteri yang tumbuh cukup memadai untuk mereduksi sulfat dengan tingkat efisiensi sekitar 80%. Hal selanjutnya yang perlu diperhitungkan adalah waktu tinggal. Dari hasil penelitian tingkat laboratorium diperoleh waktu tinggal 68-80 jam untuk menurunkan konsentrasi sulfat sampai memenuhi baku mutu limbah air asam tambang. Apabila menggunakan sistem curah ( atch), pengolahan limbah air b

asam tambang akan lebih mudah, yakni dengan membiarkan limbah dalam

81 kondisi anaerob selama 68-80 jam sebelum limbah tersebut dialirkan ke badan sungai. Apabila menggunakan sistem aliran sinambung (continous flow), maka diperlukan perhitungan lanjutan untuk menentukan laju alir. Dengan volume reaktor 300 m3 dan waktu tinggal 68-80 jam, maka laju alir yang diperlukan adalah 1,04-1,23 L/detik.

82

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. KESIMPULAN 1. Bakteri pereduksi sulfat yang berhasil diisolasi adalah kelompok bakteri Desulfovibrio sp. Ada 15 isolat murni yang diisolasi, tetapi mempunyai karakteristik yang berbeda, baik dalam kemampuan mereduksi sulfat maupun dalam beradaptasi dengan kemasaman lingkungan. Empat isolat bakteri pereduksi sulfat dianggap unggul dibandingkan isolat lainnya, yait u ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816 dan ICB 8818. 2. Aktivitas bakteri dalam mereduksi sulfat sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Bakteri Desulfovibrio sp. dapat tumbuh dengan baik pada pH 5-7, dan mampu mereduksi sulfat dengan tingkat efisiensi 82-90%. Kebutuhan laktat sebagai sumber organik untuk aktivitas bakteri dapat dipenuhi dari bahan organik yang mudah terlapuk. 3. Penggunaan reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi mampu

memperbaiki mutu limbah air asam tambang.

Dalam waktu 30 hari

kandungan sulfat awal sebesar 925-950 mg/L dapat direduksi 89%, kandungan logam terlarut berkurang 97% dan pH meningkat menjadi 7. Untuk menghasilkan mutu limbah air asam tambang sesuai dengan peraturan pemerintah diperlukan waktu sekitar 21 hari. 4. Pengolahan limbah air asam tambang menggunakan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat lebih efisien dibandingkan dengan reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi. Dengan kandungan sulfat awal 925-950 mg/L,

pengolahan limbah dengan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat selama 144 jam mampu menurunkan kandungan sulfat dengan tingkat efisiensi 77,16%; Mn terlarut 88,72% dan Fe terlarut 69,72%. Untuk menghasilkan mutu limbah air asam tambang sesuai dengan peraturan pemerintah diperlukan waktu sekitar 68-80 jam.

5.2. SARAN 1. Penggunaan reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat dalam mengolah limbah air asam tambang ini masih dalam skala laboratotium. Oleh karena itu perlu

83 dilakukan penelitian skala lapang untuk melihat dan memperbaiki efisiensi reduksi sulfat. 2. Perlu dilakukan penelitian penggunaan bahan organik lain untuk mendapatkan teknik pengolahan dengan reaktor yang lebih efektif dan efisien.

84

VI. DAFTAR PUSTAKA


Adams, V.G. 1990. Water and Wastewater Examination Method. Publishers. p.153-154. Lewis

Antongiovanni, M. and C. Sargentini. 1991. Variability in chemical composition of straws. Options Mediterranennes. Serie Seminaires No. 16:49-53. Atlas, R.M. 1993. Handbook of Microbiological Media. Third Edition. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. Aube, B.C. and S. Payant. 1997. The Geo process: a new high density sludge treatment for acid mine drainage. Proc. of the Fourth International Conference on Acid Rock Drainage, May 30-June 6, 1997. Vancouver BC. Vol 1. p.165-180. Barathi, P.A.L., V. Sathe and D. Chandramohan. 1990. Effect of lead, mercury and cadminum on sulphate-reducing bacteria. Envi. Pollut. 67:361-374. Basu, O. and S.A. Baldwin. 2000. Attachment and growth of sulphate-reducing bacteria on different support materials. Envi. Techn. 21: 1293-1300 Bayoumy, E.L., A. Mahmoud, J.K. Bewtra, H.I. Ali and N. Biswas. 1999. Sulfide production by sulfate reducing bacteria with lactate as feed in an upflow anaerobic fixed film reactor. Water, Air and Soil Pollut. 112:85106. Benedict, S.W., T. Ahmed and K. Jahan. 1998. Autotrophic denitrification using hydrogen oxidizing bacteria in continuous flow biofilm reactor. Toxicol. Envi. Chem. 67:197-214. Beyenal, H. And Z. Lewandowski. 2004. Dynamics of lead immobilization in sulfate reducing biofilms. Water Res. 38:2726-2736. Black, J.G. 2005. Microbiology. Principles and Explorations. Sixth Edition. John Wiley and Sons, Inc. p.150. Bractova, S., S. Groudev and P. Georgiev. 2002. The effect of some essential environmental factors on microbial dissimilatory sulphate reduction. Annual of the University of Mining and Geology St Ivan Ritski, Vol 4445, Part II, Mining and Mineral Processing. pp. 123-127. Bridge, T.A., C. White and G.M. Gadd. 1999. Extracellular metal-binding activity of the sulphate-reducing bacterium Desulfococcus multivorans. Microbiol. 145:2987-2995. Chen, C.L., R.F. Mueller, and T. Griebe. 1994. Kinetic analysis of microbial sulphate reduction by Desulfovibrio desulfuricans in an up flow porous media biofilm reactor. Biotech. and Bioengin, 43:257-274. Cohen, R.R.H. 2005. Use microbes for cost reduction of metal removal from metals and mining industry waste streams. J. Cleaner Prod. 5:1-2. Colleran, E., S. Finnegan and P. Lens. 1995. Anaerobic treatment of sulphatecontaining waste streams. Antonie van Leeuwenhoek 67:29-46

85 Collins, B., J.V. McArthur and R.R. Sharitz. 2004. Plant effects on microbial assemblages and remediation of acidic coal pile runoff in mesocosm treatment wetlands. Ecol. Engin. 23 :107-115. Cordas, C.M., L.T. Guerra, C. Xavier and J.J.G. Moura. 2008. Electroactive biofilms of sulphate reducing bacteria. www.elsevier.com/locate/electacta Cord-Ruwisch, R., B. Ollivier and Garcia, J.L. 1986. Fructose degradation by Desulfovibrio sp. in pure culture and in coculture with Methanospirillum hungatei. Current Microbiol. 13 : 285-289. Coulton R., C. Bullen, C. Hallet, J. Wright and C. Marsden. 2003. Wheal Jane mine water active treatment plant-design, construction and operation. Land Contam. Reclam. 11:245-252. Cypionka, H., F. Widdel and N. Pfenning. 1985. Survival of sulfate-reducing bacteria after oxygen stress, and growth in sulfate-free oxygen sulfide gradients. FEMS Microbiol. Ecol. 31:39-45. Czechowski, M.H. and H.W. Rossmoore. 1990. Purification and partial characterization of a D(-)-lactate dehydrogenase from Desulfovibrio desulfuricans (ATCC 7757). J. Indust. Microb. 6: 117-122. Detmers, J., V. Bruchert, K.S. Habicht and J. Kuever. 2001. Diversity of sulfur isotope fractionations by sulfate reducing Prokaryotes. Appl. Envi. Microb. 67: 888-894. Dhillon A., A. Teske, J. Dillon, A.D. Stahl and L.M. Sogin. 2003. Molecular characterization of sulfate-reducing bacteria in the Guayamas Basin. Appl. Envi. Microb. 69:2765-2772. Di Lorenzo, A., M. Varcamonti, P. Parascandola, R. Vignola, A. Bernardi, P. Sacceddu, R. Sisto and E de Alteriis. 2005. Characterization and performance of a toluene-degrading biofilm developed on pumice stones. Microb. Cell Fact. 4: 4-10 Dolla, A., M. Fournier and Z. Dermoun. 2006. Oxygen defense in sulfate reducing bacteria. J. Biotech. 126: 87-100. Donian, R.M. 2002. Biofilms: Microbial life on surfaces. Emerging Infectious Diseases 8:881-890. Downing, B.W. 2002. Acid rock generation/drainage in mineral deposit throughout time. www.Enviromine.com Durkin, T.V. and J.G. Herrmann. 1994. Focusing on the problem of mining wastes: An introduction to acid mine drainage. EPA Seminar Publication no. EPA/625/R-95/007. Elliott, P., S. Ragusa and D. Catcheside. 1998. Growth of sulfate-reducing bacteria under acidic conditions in and upflow anaerobic bioreactor as a treatment system for acid mine drainage. Water Res. 32:3724-3730. Elshahed S.M. and J.M. McInerney. 2001. Is interspecies hydrogen transfer needed for toluene degradation under sulfate-reducing conditions?. FEMS Microb. Ecol. 35:163-169.

86 Fournier, M., C. Aubert, Z. Dermoun, M. Durand, D. Moinier and A. Dolla. 2006. Response of the anaerobe Desulfovibrio vulgaris Hildenborough to oxidative conditions: Proteome and transcript analysis. Biochimie 88: 8594. Fournier, M., Y. Zhang, J.D. Wildschut, A. Dolla, J.K. Voordouw, D.C. Schriemer and G. Voordouw. 2003. Function of oxygen resistance proteins in the anaerobic sulfate-reducing bacterium Desulfovibrio vulgaris Hildenborough. J. Bacteriol. 185:71-79. Fowler, T.A. and F.K. Crundwell. 1998. Leaching of zinc sulfide by Thiobacillus ferrooxidans: Experiments with a controlled redox potential indicate no direct bacterial mechanism. Appl. Envi. Microbiol. 64: 35703575. Fowler, T.A., P.R. Holmes and F.K. Crundwell. 1999. Mechanism of pyrite dissolution in the presence of Thiobacillus ferrooxidans. Appl. Envi. Microbiol. 65: 2987-2993. Garland, P.B. 1977. Energy transduction in microbial systems. Symp. Soc. Gen. Microbiol. 27:1. Glombitza, F. 2001. Treatment of acid lignite mine flooding water by means of microbial sulfate reduction. Waste Mana g., 21: 197-203. Gotoh, S. and Y. Onikura. 1971. Organic acids in a flooded soil receiving added rice straw and their effect on the growth of rice. Japan. Soc. Soil Sci. and Plant Nut. 17: 1-8 Greenberg, A.E., L.S. Clesceri, A.D. Eaton, and M.A.H. Franson. 1992. Ion and sulfur bacteria. In Standard Methods for Examination of Water and Wastewater (18th ). Am. Public Health Association, Washington DC. Hansen, T.A. 1988. Physiology of sulphate reducing bacteria. Microbiol. Sci. 5:81-94. Harms, G., K. Zengler, R. Rabus, F. Aeckersberg, D. Minz, R. Rossello-Mora and F. Widdel. 1999. Anaerobic oxidation of o-xylene, m- xylene and homologous alkylbenzenes by new types of sulfate-reducing bacteria. Appl. Envi. Microbiol. 65:999-1004. Haug, R.T. 1993. The Practical Handbook of Compost Engineering. Lewis Publisher, Boca Raton, Fl. 717pp. Hockin, S.L. and G.M. Gadd. 2003. Linked redox precipitation of sulfur and selenium under anaerobic conditions of sulfate-reducing bacterial biofilms. Appl. Envi. Microbiol. 60: 7063-7072. Hoehler, T.M., M Alperin, D.B. Albert and C.S. Martens. 2001. Apparent .J. minimum free energy requirements for methanogenic Archaea and sulfatereducing bacteria in an anoxic marine sediment. FEMS Microbiol. Ecol. 38 : 33-41. Holmer, M and P. Storkholm. 2001. Sulphate reduction and sulphur cycling in lake sediments: a review. Freshwater Biol. 46:431-451

87 Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Staley and S.T. Williams. 1994. Bergeys manual of Determinative Bacteriology. Williams and Wilkins. Baltimore, USA. Hossner, L.R. and J.J. Doolittle. 2003. Iron sulfide oxidation as influenced by calcium carbonate application. J. Envi. Qual. 32:773-780. Hrenovic, J., D. Tibijas, Y. Orhan and H. Buyukgungor. 2005. Immobilization of Acinetobacter calcoaceticus using natural carriers. Tawrre SA Vol. 31:261-266. Icgen, B. and S. Harrison. 2006. Identification of population dynamics in sulfatereducing consortia on exposure to sulfate. Res. Microbiol. 157 : 922-927. Ingledew, W.J. 1990. Acidophiles (Chapter 2). In C. Edwards (Ed). Microbiology of Extreme Environments. Open University Press, Milton Keynes. 33-54. Ionata, E., P. De Blasio and F. La Cara. 2005. Microbiological degradation of pentane by immobilized cells of Arthrobacter sp. Biodegrad. 16:1-9. Johnson, D.B. 2003. Chemical and microbiological characteristics of mineral spoils and drainage waters at abandoned coal and metal mines. Water Air Soil Pollut. Focus 2003; 3: 47-66. Johnson, D.B. and K.B. Hallberg. 2005. Acid mine drainage remediation options: a review. Science of the Total Environment 338: 3-14. www.elsevier.com/locate/scitotenv Johnson, D.B., M.A. Ghauri and S. McGinness. 1993. Biogeochemical cycling of iron and sulphur in leaching environments. FEMS Microbiol. Rev. 11:63-70. Jong, T. and D.L. Parry. 2003. Removal of sulfate and heavy metals by sulfate reducing bacteria in short-term bench scale upflow anaerobic packed bed reactor runs. Water Res. 35:3379-3389. Jorgensen, B.B. 1982. Mineralization of organic matter in sea bed: the role of sulphate reduction. Nature 296:643-645. Kleikemper, J., M.H. Schroth, W.V. Siegler, M. Schmucki, S.M. Bernasconi and J. Zeyer. 2002. Activity and diversity of sulfate-reducing bacteria in a petroleum hydrocarbon-contaminated aquifer. Appl. Envi. Microb. 68: 1516-1523. Kleinmann, R.L.P., R.S. Hedin and R.W. Naim. 1998. Treatment of acid mine drainage by anoxic limestone drains and constructed wetlands. In Geller A., H. Klepper and W. Salomons. (Eds) Acidic Mine Lakes: Acid Mine Drainage, Limnology and Reclamation. Berlin: Springer p. 3303-3319. Kolmert, A. dan D.B. Johnson. 2001. Remediation of acid waste waters using immobilised, acidophillic sulphate-reducing bacteria. J. Chem. Tech. Biotech. 76:836-843.

88 Kumari, A. , K.K. Kapoor, B.S. Kundu, and R.K. Mehta. 2008. Identification of organic acids produced during rice straw decomposition and their role in rock phosphate solubilization. Plant Soil Environ., 54: 7277 Kuo, W. and T. Shu. 2004. Biological pre-treatment of wastewater containing sulfate using anaerobic immobilized cell. J. Hazard. Mat. B113: 147-155. Leduc, L.G. and Ferroni, G.D. 1994. The chemolithotrophic bacterium Thiobacillus ferrooxidans. FEMS Microb. Rev. 14: 103-120. Lens, P.N.L., A. Visser, A.J.H. Jansen, L.W. Hulshoff-Pol, and G. Lettiga. 1998. Biotechnological treatment of organic sulphate-rich wastewaters. Critical Rev. Envi. Sci. Technol. 28:41-88. Liamleam, W. and A.P. Annachhatre. 2007. Electron donors for biological sulfate reduction. Biotech. Adv. 25 : 452-463. Lizama, H.M. and I. Suzuki. 1989. Rate equations and kinetic parameters of the reaction involved in pyrite oxidation by Thiobacillus ferrooxidans. Appl. and Envi. Microbiol. 55:2918-2923. Lizama, H.M. and I. Suzuki. 1987. Bacterial leaching of sulfide ore by Thiobacillus ferrooxidans and T. thiooxidans. Shake flask studies. Biotech. Bioengin. V:110-116 Marshal, K.C. 1998. Colonization, adhesion, and biofilm. In C.J. Hurst (Eds). Manual of Environmental Microbiology. ASM Press, Washington D.C. 358-365. Masak, J., A. Cejkova, M. Siglova, D. Kotrba, V. Jirku and P. Hron. 2003. Biofilm formation : A tool increasing biodegradation activity. Dept. of Fermentation Chemistry and Bioengineering, Institute of Chemical Technology, Prague, Czech Republic. Matias, P.M., I.A.C. Pereira, C.M. Soares, and M.A. Carrondo. 2005. Sulphate respiration from hydrogen in Desulfovibrio bacteria: a structural biology review. Prog. Biophyis. Molec. Biol. 89:292-329. McCrady, E. 1991. The Nature of lignin. Alkaline Paper Advocate, Vol. 4, No. 4. http://cool-palimpsest.stanford.edu/byorg/abbey/ap/ap04/ap04-4/ap04402.html Mitchell, P. 1961. Coupling of phosphorylation to electron and hydrogen transfer by a chemiosmotic type of mechanism. Nature 191:144. Moodie, A.D and W.J. Ingledew. 1991. Microbial anaerobic respiration. In Rose, A.H and D.W. Tempest (Eds). Advances in Microbial Physiology. Vol. 31. Academic Press Limited Moosa, S., M. Nemati and S.T.L. Harrison. 2002. A kinetic study on aerobic reduction of sulphate. Part I: Effect of sulphate concentration. Chem. Engin. Sci. 57:2773-2780. Morash, B., E.J. Anweiler, R.J. Warthmann and R.U. Meckenstock. 2001. The use of solid adsorber resin for enrichment of bacteria with toxic substrates

89 and to identify metabolites: Degradation of naphthalene, o-, and m-xylene by sulfate-reducing bacteria. J. Microbiol. Methods. 44:183-191. Mostafa, Y.S., A. Laszio and F.I. El- hawary. 2001. Cellulase production and conversion of rice straw to lactic acid by simultaneous saccharification and fermentation. Acta Alimentaria. 30: 281-295. Nakagawa, T., S. Sato Y. Yamamoto and M. Fukui. 2002. Successive changes in community structure of an ethylbenzene-degrading sulfate-reducing consortium. Water Res. 36:2813-2823. Naveke, R. 1986. Bacterial leaching of ores and other materials. Institut fr Mikrobiologie, Technische Universitt, Braunschweig, Germany. Nielsen, R.K., T. Torsvik and T. Lien. 1996. Desulfotomaculum thermocisternum sp. nov., a sulfate reducer isolated from a hot North Sea oil reservoir. Intern. J. System. Bacteriol. 46:397-402. Odom J.M. and H.D. Peck Jr. 1981. Hydrogen cycling as a general mechanism for energy coupling in the sulfate-reducing bacteria, Desulfovibrio sp. FEMS Microbiol. Let. 12:47-50. OFlaherty, V. and E. Colleran. 1998. Effect of sulphate addition on volatile fatty acid and ethanol degradation in an anerobic hybrid reactor. I: Process disturbance and remediation. Bioresource Tech. 68:101-107. Ogata, M and T. Yagi. 1986. Pyruvate dehydrogenase and the path of lactate degradation in Desulfovibrio vulgaris Miyazaki F. J. Biochem. 100: 311318. OToole, G.A. 2003. To build a biofilm. J. Bacteriol. 185: 2687-2689. Perez-Jimenez, J.R., L.Y. Young and L.J. Kerkhof. 2001. Molecular characterization of sulfate-reducing bacteria in anaerobic hydrocarbondegrading consortia and pure cultures using the dissimilatory sulfite reductase (dsrAB) genes. FEMS Microbiol. Ecol. 35:145-150. Postgate, J.R. 1984. The Sulphate Reducing Bacteria. 2nd Edition. University Press, Cambridge, UK. Postgate J.R. and L.L. Campbell. 1966. Classification of Desulfovibrio Species, the nonsporulating sulfate-reducing bacteria. Bactiorol. Rev. 30: 732-738. Richard, T. 1998. The effect of lignin on biodegradability. http://www.css.cornell.edu/compost/calc/lignin.html (2 Februari 2009). Risatti, J.B., W.C. Capman and D.A. Stahl. 1994. Community structure of a microbial mat: the phylogenetic dimension. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 10173-10177. Rzeczycka, M. and B. Blaszczyk. 2005. Growth and activity of sulphatereducing bacteria in media containing phosphogypsum and different source of carbon. Polish J. Envi. Studies 14: 891-895. Sand, W. and T. Gehrke. 2006 Extracellular polymeric substances mediate bioleaching/biocorrosion via interfacial processes involving iron (III) ions and acidophilic bacteria. Res. in Microb. 157: 49-56.

90 Santegoeds, C.M., T.G. Ferdelman, G. Muzyer and D. de Beer. 1998. Structural and functional dynamics of sulfate-reducing population in bacterial biofilms. Appl. Envi. Microbiol. 64:3731-3739. Schipper, A. 2004. Biogeochemistry of metal sulfide oxidation in mining environments, sediment and soils. In Amend, J.P., K.J. Edwards, T.W. Lyons (Eds). Sulfur Biogeochemistry Past and Present. Geological Soc. of America. Special Paper 379:49-62. Schrenk, M.O., K.J. Edwards, R.M. Goodman, R.J. Hamers and J.F. Banfield. 1998. Disrtibution of Thiobacillus ferrooxidans and Leptospirillum ferrooxidans: Implications for generation of acid mine drainage. Science 279. www.sciencemag.org. Sobolewski, A. 1999. A review of processes responsible for metal removal in wetlands treating contaminated mine drainage. Intern. J. Phytoremed.. 1:19-51. So, M.C. and L.Y. Young. 1999. Isolation and characterization of sulphatereducing bacterium that anaerobically degrades alkanes. Appl. Envi. Microbiol.. 65:2969-2976. Stumm, W. and J.J. Morgan. 1981. Aquatic Chemistry: An Introduction Emphasizing Chemical Equilibria in Natural Waters. Wiley-Intersience, New York. 780p. Suhendrayatna. 2001. Bioremoval logam berat dengan menggunakan mikroorganisme: Suatu kajian kepustakaan. Disampaikan pada Seminar tentang Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21. 9pp. Suyasa, I.W.B. 2002. Peningkatan pH dan Pengendapan Logam Berat Terlarut Air Asam Tambang (AAT) dengan Bakteri Pereduksi Sulfat dari Ekosistem Air Hitam Kalimantan Tengah. Disertasi IPB. Tampion, J. and M.D. Tampion. 1987. Immobilized Cells: Principles and Applications. Cambridge Studies in Biotechnology 5. Cambridge University Press. p.156 Taoufik, J., Y. Zeroual, A. Moutaouakkil, S. Moussaid, F.Z. Dzairi, M. Talbi, A. Hammoumi, K. Belghmi, K. Lee, M. Loutfi and M. Blaghen. 2004. Aromatic hydrocarbons removal by immobilized bacteria (Pseudomonas sp., Staphylococcus sp.) in fluidized bed bioreactor. Annals of Microbiol. 54:189-200. Tauro, P., K.K. kapoor, and K.S. Jadav. 1986. An Introduction to Microbiology. New Age International Publishers. Tsukamoto, T.K. and G.C. Miller. 1999. Methanol as a carbon source for microbiological treatment of acid mine drainage. Water Res., 33: 13651370. Van Soest, P.J. 1994. The Nutritional Ecology of the Ruminant, 2nd edition. Cornell Univ. Press. Ithaca, NY, 476pp.

91 Vaughan, D.J., M. Farquhar, L. Moyes, F.R. Livens, R.A.D. Patrick and R.A. Wogelius. 2001. Sulfide mineral surfaces: A key role in environmental geochemistry. 11th Annual V.M. Goldschmidt Conference. von Canstein, H.F., Y. Li, A. Felske and L. Wagner-Dobler. 2001. Long-term stability of mercury-reducing biofilm communities analyzed by 16S-rDNA interspacer region polymorphism. Microb. Ecol 42: 624-634. Wahju, B.N. 2003. Current status of the Indonesian Mining Industry. Presented at The Future of Oil and Gas, Mining Industry Investment in Indonesia, Bandung, 3rd May 2003. Wang, W.D., X.F. Wang, C.L. Liu, Y.H. Li, Y.C. Lu and Z.J. Cui. 2008. Production analysis and pH dynamics during rice straw degradation by the lignocellulose degradation bacteria system WSC-6. Huan Jing Ke Xue 29: 219-224. Watnick P and R. Kolter. 2000. Biofilm, city of microbe. J. Bacteriol. Vol 182: 2675-2679. Waybrant, K.R., C.J. Ptacek and D.W. Blowes. 2002. Treatment of mine drainage using permeable reactive barriers: Column experiments. Envi. Sci. Technol. 36: 1349-1356. Widdel, F. 1992. The genus Desulfotomaculum. In Balows, A. H.G. Trper M. Dworkin, W. Harder and K.H. Schleifer (Eds). The Prokaryotes, 2nd Edition. Springer Verlag, New York. 1793-1799. Widdel, F. and F. Bak. 1994. Gram- negative mesophilic sulfate-reducing bacteria. In Balows A. et al. (Eds). The Prokaryotes. Second Edition. A Handbook on the Biology of Bacteria: Ecophysiology, Isolation, Identification, Application. Springer-Verlag, New York. p. 3352-3378. Williamson, M.A. and J.D. Rimstidt. 1994. The kinetics and electrochemical rate-determining step of aqueous pyrite oxidation. Geochim. Cosmochim. Acta 58:5443-5454. Willow, M.A. and R.R. H. Cohen. 2003. pH, dissolved oxygen, and adsorption effects on metal removal in anaerobic bioreactors. J. Envi. Qual. 32:12121221. Wouls, C. and T.B. Ngwenya. 2004. Geochemical process governing the performance of a contsructed wetland treating acid mine drainage, Central Scotland. Appl. Geochem., 19:1773-1783.

92 Lampiran 1. Morfologi dan karakter fisiologi bakteri hasil isolasi dari lumpur kolam penampungan limbah air asam tambang PT Bukit Asam, Muara Enim
Isolat Pewarnaan Gram Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Bentuk Sel Batang Batang Batang Batang Batang Batang Batang Batang Bentuk Koloni Warna Koloni Putihkrem Putihkrem Putihkrem Putihkrem Putihkrem Putihkrem Putihkrem Putihkrem Motilitas Anaerob Endospora Sumber Karbon Laktat Laktat Laktat Laktat Laktat Laktat Laktat Laktat Suhu Pertumbuhan oC 25-40 25-40 25-40 25-40 25-40 25-40 25-40 25-40 Penghasil Sulfida + + + + + + + + Species

ICBB 8813 ICBB 8814 ICBB 8815 ICBB 8816 ICBB 8817 ICBB 8818 ICBB 8819 ICBB 8825

Bulat tak beraturan Bulat tak beraturan Bulat tak beraturan Bulat tak beraturan Bulat tak beraturan Bulat tak beraturan Bulat tak beraturan Bulat tak beraturan

+ + + + + + + +

+ + + + + + + +

Desulfovibrio sp. Desulfovibrio sp. Desulfovibrio sp. Desulfovibrio sp. Desulfovibrio sp. Desulfovibrio sp. Desulfovibrio sp. Desulfovibrio sp.

Ciri-ciri umum bakteri Desulfovibrio sp. : Gram negatif, bentuk batang, tidak berspora, motilitas motil, tumbuh dalam kondisi anaerob, menghasilkan H2 S, dapat tumbuh pada suhu 25-40 oC, habitat : air tawar, air payau, dan laut.

93 Lampiran 2: Baku Mutu Air Limbah Kegiatan Penambangan Batu Bara Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2003, Tanggal : 10 Juli 2003
Parameter pH Residu Tersuspensi Besi (Fe) Total Mangan (Mn) Total mg/l mg/l mg/l Satuan

Nomor : 113

Kadar Maksimum 6-9 400 7 4

94 Lampiran 3 Data hasil pengukuran terhadap waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat pada beberapa level pH media Isolat ICBB 8813 Ulg i ii iii pH 3 11 12 13 12 1,00 11 11 11 11 0,00 11 10 10 10 0,58 8 9 8 8 0,58 Waktu tumbuh (hari) pH4 pH5 pH6 5 4 4 6 4 4 5 4 4 5 4 4 0,58 0,00 0,00 6 3 3 7 3 4 6 3 3 6 3 3 0,58 0,00 0,58 5 4 3 5 4 3 6 4 4 5 4 3 0,58 0,00 0,58 4 3 1 4 2 1 3 3 1 4 3 1 0,58 0,58 0,00 5 1 2 5 1 2 6 1 2 5 1 2 0,58 0,00 0,00 7 5 5 7 5 5 7 4 6 7 5 5 0,00 0,58 0,58

pH7 3 4 3 3 0,58 3 3 3 3 0,00 3 3 3 3 0,00 1 1 1 1 0,00 2 2 2 2 0,00 5 5 5 5 0,00

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8819

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8825

i ii iii

Rata2 StDev

95 Lampiran 4 Data hasil pengukuran kepadatan populasi (kerapatan optik) bakteri pereduksi sulfat pada beberapa level pH media Isolat ICBB 8813 Ulg i ii iii pH 3 0,57 0,58 0,57 0,57 0,01 0,6 0,6 0,6 0,60 0,00 0,59 0,6 0,59 0,59 0,01 0,62 0,61 0,61 0,61 0,01 Kerapatan Optik (Abs 620 nm) pH4 pH5 pH6 0,75 0,75 0,70 0,76 0,75 0,70 0,76 0,74 0,70 0,757 0,747 0,70 0,01 0,01 0,00 0,81 0,8 0,70 0,81 0,79 0,68 0,81 0,8 0,67 0,81 0,80 0,68 0,00 0,01 0,02 0,81 0,79 0,70 0,81 0,79 0,68 0,8 0,8 0,71 0,81 0,79 0,70 0,01 0,01 0,02 0,82 0,8 0,72 0,81 0,8 0,70 0,81 0,8 0,70 0,81 0,80 0,71 0,01 0,00 0,01

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

pH7 0,66 0,66 0,66 0,66 0,00 0,65 0,64 0,65 0,65 0,01 0,65 0,67 0,66 0,66 0,01 0,66 0,67 0,65 0,66 0,01

96 Lampiran 5 Data hasil pengukuran sisa SO4 2- pada beberapa level pH media Isolat ICBB 8813 Ulg i ii iii pH 3 200,51 216,15 220,12 212,26 10,37 164,36 164,36 176,41 168,38 6,96 164,36 170,38 164,36 166,37 3,48 152,31 146,28 146,28 148,29 3,48 SO42- (mg/L) pH4 pH5 170,38 170,38 182,43 164,36 182,43 182,43 178,41 172,39 6,96 9,20 122,19 122,18 116,15 110,13 128,2 116,15 122,18 116,15 6,03 6,03 128,2 110,13 116,15 122,18 134,23 128,2 126,19 120,17 9,21 9,20 104,1 98,08 110,13 98,08 116,15 98,08 110,13 98,08 6,03 0,00

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

pH6 115 116,15 116,15 110,13 0,66 110,13 104,1 110,13 108,12 3,48 110,13 116,15 110,13 112,14 3,48 92,05 86,03 98,08 92,05 6,03

pH7 116,15 104,1 110,13 110,13 6,03 110,13 104,1 98,08 104,10 6,03 104,1 104,1 110,13 106,11 3,48 92,05 92,05 92,05 92,05 0,00

97 Lampiran 6. Data hasil perhitungan persentase reduksi sulfat pada beberapa level pH media Isolat ICBB 8813 Ulg i ii iii pH 3 79,95 78,38 77,99 78,77 1,04 83,56 83,56 82,36 83,16 0,69 83,56 82,96 83,56 83,36 0,35 84,77 85,37 85,37 85,17 0,35 % reduksi sulfat pH4 pH5 82,96 82,96 81,76 83,56 81,76 81,76 82,16 82,76 0,69 0,92 87,78 87,78 88,38 88,99 87,18 88,38 87,78 88,38 0,60 0,61 87,18 88,99 88,38 87,78 86,58 87,18 87,38 87,98 0,92 0,92 89,59 90,19 88,99 90,19 88,38 90,19 88,99 90,19 0,61 0,00

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

pH6 88,5 88,39 88,39 88,43 0,06 88,99 89,59 88,99 89,19 0,35 88,99 88,39 88,99 88,79 0,35 90,8 91,4 90,19 90,80 0,61

pH7 88,39 89,59 88,99 88,99 0,60 88,99 89,59 90,19 89,59 0,60 89,59 89,59 88,99 89,39 0,35 90,8 90,8 90,8 90,80 0,00

98 Lampiran 7. Data hasil pengukuran sulfida yang terbentuk pada beberapa level pH media Isolat ICBB 8813 Ulg i ii iii pH 3 257,87 257,87 255,31 257,02 1,48 274,56 269,43 269,43 271,14 2,96 279,70 274,56 279,70 277,99 2,96 282,83 286,83 279,70 283,12 3,57 sulfida (mg/L) pH4 pH5 268,14 274,56 265,57 274,56 265,57 269,43 266,43 272,85 1,48 2,96 289,96 289,96 284,83 289,96 289,96 289,96 288,25 289,96 2,96 0,00 284,83 295,09 289,96 284,83 289,96 289,96 288,25 289,96 2,96 5,13 295,09 301,22 289,96 295,09 289,96 296,09 291,67 297,47 2,96 3,29

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

pH6 295,09 284,83 289,96 289,96 5,13 295,09 295,09 295,09 295,09 0,00 295,09 289,96 300,22 295,09 5,13 300,22 295,09 295,09 296,80 2,96

pH7 289,96 295,09 289,96 291,67 2,96 295,09 300,22 295,09 296,80 2,96 295,09 295,09 300,22 296,80 2,96 301,22 299,72 304,85 301,93 2,64

99 Lampiran 8. Data pengukuran pH akhir pada beberapa level pH media Isolat ICBB 8813 Ulg i ii iii pH 3 6,61 6,58 6,59 6,59 0,02 6,58 6,55 6,57 6,57 0,02 6,66 6,68 6,70 6,68 0,02 6,73 6,76 6,72 6,74 0,02 pH4 7,10 7,05 7,12 7,09 0,04 7,62 7,60 7,58 7,60 0,02 7,12 7,25 7,28 7,22 0,09 7,68 7,68 7,58 7,65 0,06 pH akhir pH5 7,37 7,28 7,29 7,31 0,05 7,63 7,58 7,48 7,56 0,08 7,26 7,24 7,15 7,22 0,06 8,37 8,27 8,26 8,30 0,06

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

pH6 7,80 7,89 7,56 7,75 0,17 8,22 8,10 8,12 8,15 0,06 7,93 7,92 7,89 7,91 0,02 8,39 8,29 8,29 8,32 0,06

pH7 7,90 7,89 7,85 7,88 0,03 8,20 8,25 8,31 8,25 0,06 8,00 7,92 7,98 7,97 0,04 8,39 8,25 8,45 8,36 0,10

100 Lampiran 9. Data hasil perhitungan delta kenaikan pH pada beberapa level pH media

Isolat ICBB 8813

Ulg i ii iii pH 3 3,61 3,58 3,59 3,59 0,02 3,58 3,55 3,57 3,57 0,02 3,66 3,68 3,70 3,68 0,02 3,73 3,76 3,72 3,74 0,02 pH4 0,90 0,89 0,85 0,88 0,03 1,20 1,25 1,31 1,25 0,06 1,00 0,92 0,98 0,97 0,04 1,39 1,25 1,45 1,36 0,10

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

delta pH pH5 2,37 4,91 2,38 3,22 1,46 4,32 3,26 4,22 3,93 0,58 2,79 4,45 2,70 3,31 0,99 5,15 3,12 5,14 4,47 1,17

pH6 1,37 1,28 1,29 1,31 0,05 1,63 1,58 1,48 1,56 0,08 1,26 1,24 1,15 1,22 0,06 2,37 2,27 2,26 2,30 0,06

pH7 0,90 0,89 0,85 0,88 0,03 1,20 1,25 1,31 1,25 0,06 1,00 0,92 0,98 0,97 0,04 1,39 1,25 1,45 1,36 0,10

101 Lampiran 10. Data pengukuran waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat pada beberapa level pH media Konsentrasi SO4 2- (mg/L) 1000 1500 2500 Waktu tumbuh (hari) 5 5 5 6 5 6 5 6 5 5 5 5 0,58 0,58 0,58 6 4 8 7 4 8 6 5 7 6 4 8 0,58 0,58 0,58 5 5 7 5 5 6 6 6 5 5 5 6 0,58 0,58 1,00 2 7 5 2 5 7 2 6 6 2 6 6 0,00 1,00 1,00

Isolat ICBB 8813

Ulg i ii iii

3500 5 6 5 5 0,58 8 7 6 7 1,00 6 6 7 6 0,58 6 6 6 6 0,00

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

102 Lampiran 11. Data pengukuran total reduksi sulfat pada beberapa level konsentrasi sulfat Konsentrasi SO4 2- (mg/L) 1500 2500 Reduksi SO4 (mg/L) 963,06 1306,52 1017,3 1288,44 981,14 1288,44 987,17 1294,47 22,55 8,52 1107,68 1378,82 1089,6 1396,9 1089,6 1351,71 1095,63 1375,81 10,44 22,74 1089,6 1351,71 1089,6 1360,75 1053,45 1342,67 1077,55 1351,71 20,87 9,04 1234,21 1378,82 1198,06 1378,82 1198,06 1360,75 1210,11 1372,80 20,87 10,43

Isolat ICBB 8813

Ulg i ii iii

1000 822,81 822,81 810,76 818,79 5,68 871,01 883,06 871,01 875,03 6,96 871,01 871,01 871,01 871,01 0,00 895,11 895,11 871,01 887,08 13,91

3500 1541,51 1550,55 1523,44 1538,50 11,27 1532,48 1541,51 1523,44 1532,48 9,04 1523,44 1541,51 1523,44 1529,46 10,43 1577,67 1559,59 1541,51 1559,59 18,08

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

103 Lampiran 12. Data hasil perhitungan persentase reduksi sulfat pada beberapa level konsentrasi sulfat Ulg Isolat ICBB 8813 i ii iii 1000 82,28 82,28 81,08 81,88 0,69 87,1 88,31 87,1 87,50 0,70 87,1 87,1 87,1 87,10 0,00 89,51 89,51 87,1 88,71 1,39 Konsentrasi SO4 2- (mg/L) 1500 2500 % Reduksi SO4 64,20 52,26 67,82 51,54 65,41 51,54 65,81 51,78 1,84 0,42 73,85 55,15 72,64 55,88 72,64 54,07 73,04 55,03 0,70 0,91 72,64 54,07 72,64 54,43 70,23 53,71 71,84 54,07 1,39 0,36 82,28 55,15 79,87 55,15 79,87 54,43 80,67 54,91 1,39 0,42

3500 44,04 44,30 43,53 43,96 0,39 43,79 44,04 43,53 43,79 0,26 43,53 44,04 43,53 43,70 0,30 45,08 44,56 44,04 44,56 0,52

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

104 Lampiran 13. Data pengukuran sulfida yang terbentuk pada beberapa level konsentrasi sulfat Ulg Isolat ICBB 8813 i ii iii Konsentrasi SO4 2- (mg/L) 1000 1500 2500 Sulfida (mg/L) 274,56 346,41 428,51 274,56 331,01 423,38 269,43 341,28 420,82 272,85 339,57 424,24 2,96 7,84 3,92 289,96 361,80 451,60 295,09 366,93 451,60 289,96 364,37 449,04 291,67 364,37 450,75 2,96 2,57 1,48 289,96 369,50 449,04 289,96 361,80 454,17 289,96 351,54 446,47 289,96 360,95 449,89 0,00 9,01 3,92 295,09 410,55 464,43 295,09 397,72 459,30 289,96 397,72 456,74 293,38 402,00 460,16 2,96 7,41 3,92

3500 515,75 513,18 505,49 511,47 5,34 510,62 513,18 505,49 509,76 3,92 505,49 513,18 505,49 508,05 4,44 523,45 518,32 513,18 518,32 5,14

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

105 Lampiran 14. Data pengukuran waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat, kenaikan pH, sisa sulfat dan sulfida yang terbentuk pada media dengan laktat sebagai sumber karbon organik Laktat pH SO42(mg/L) 7,10 170,38 7,05 182,43 7,12 182,43 7,09 178,41 0,04 6,96 7,62 122,18 7,60 116,15 7,58 128,2 7,60 122,18 0,02 6,03 7,12 128,2 7,25 122,18 7,28 128,2 7,22 126,19 0,09 3,48 7,68 104,1 7,68 110,13 7,58 122,18 7,65 112,14 0,06 9,21

Isolat ICBB 8813

Ulg i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

Waktu tumbuh (hari) 5 6 5 5 0,58 6 7 6 6 0,58 5 5 6 5 0,58 4 4 3 4 0,58

Sulfida (mg/L) 274,56 269,43 269,43 271,14 2,96 295,09 289,96 289,96 291,67 2,96 289,96 295,09 289,96 291,67 2,96 295,09 295,09 289,96 293,38 2,96

106 Lampiran 15. Data pengukuran waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat, kenaikan pH, sisa sulfat dan sulfida yang terbentuk pada media dengan jerami padi sebagai sumber karbon organik Laktat pH 6,70 6,68 6,78 6,72 0,05 6,90 7,05 6,95 6,97 0,08 6,88 6,92 6,94 6,91 0,03 7,17 7,24 7,20 7,20 0,04

Isolat ICBB 8813

Ulg i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8815

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8816

i ii iii

Rata2 StDev ICBB 8818

i ii iii

Rata2 StDev

Waktu tumbuh (hari) 8 8 7 8 0,58 9 10 10 10 0,58 9 9 8 9 0,58 6 6 5 6 0,58

SO42(mg/L) 122,18 116,15 122,18 120,17 3,48 104,10 98,08 98,08 100,09 3,48 104,10 98,08 98,08 100,09 3,48 98,08 98,08 92,05 96,07 3,48

Sulfida (mg/L) 295,09 295,09 289,96 293,38 2,96 295,09 300,22 300,22 298,51 2,96 300,22 295,09 300,22 298,51 2,96 300,22 300,22 305,35 301,93 2,96

107 Lampiran 16. Data pengukuran pola pertumbuhan (kerapatan optik) bakteri pereduksi sulfat ICBB 8818 pada media dengan laktat dan jerami padi sebagai sumber karbon organik Sumber C organik Laktat Ulg i ii iii 3 0 0 0 0,00 0,000 0 0 0 0,00 0,000 6 0,15 0,16 0,16 0,16 0,006 0,09 0,08 0,08 0,08 0,006 9 0,43 0,49 0,47 0,46 0,031 0,13 0,15 0,15 0,14 0,012 12 0,71 0,7 0,71 0,71 0,006 0,43 0,43 0,42 0,43 0,006 Kerapatan Optik, hari ke 15 18 21 0,79 0,82 0,82 0,79 0,81 0,82 0,8 0,81 0,83 0,79 0,81 0,82 0,006 0,006 0,006 0,53 0,61 0,79 0,54 0,63 0,79 0,53 0,64 0,79 0,53 0,63 0,79 0,006 0,015 0,000

Rata2 StDev Jerami padi

i ii iii

Rata2 StDev

24 0,82 0,69 0,68 0,73 0,078 0,82 0,82 0,81 0,82 0,006

27 0,57 0,54 0,56 0,56 0,015 0,82 0,81 0,83 0,82 0,010

30 0,4 0,39 0,38 0,39 0,010 0,66 0,65 0,65 0,65 0,006

108 Lampiran 17. Data pengamatan pola pertumbuhan tiga isolat bakteri pereduksi sulfat pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi Isolat ICBB 8815 Ulg i ii iii Rata2 StDev i ii iii Rata2 StDev i ii iii Rata2 StDev 5 0 0 0 0 0,000 0 0 0 0 0,000 0 0 0 0 0,000 10 0,055 0,067 0,062 0,061 0,006 0,052 0,049 0,05 0,050 0,002 0,069 0,067 0,067 0,068 0,001 Kerapatan Optik - hari ke 15 20 25 0,31 0,69 0,76 0,29 0,73 0,78 0,29 0,71 0,77 0,30 0,71 0,77 0,012 0,020 0,010 0,28 0,69 0,71 0,27 0,66 0,73 0,27 0,67 0,71 0,27 0,67 0,72 0,006 0,015 0,012 0,32 0,71 0,81 0,31 0,74 0,77 0,31 0,73 0,78 0,31 0,73 0,79 0,006 0,015 0,021

ICBB 8816

ICBB 8818

30 0,69 0,71 0,7 0,7 0,010 0,69 0,66 0,67 0,67 0,015 0,74 0,73 0,73 0,73 0,006

35 0,31 0,34 0,32 0,32 0,015 0,29 0,29 0,29 0,29 0,000 0,35 0,32 0,34 0,34 0,015

109 Lampiran 18. Data pengukuran penurunan konsentrasi sulfat pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi Isolat ICBB 8815 Ulg i ii iii Rata2 StDev i ii iii Rata2 StDev i ii iii Rata2 StDev Awal 949,34 949,34 949,34 949,34 0,00 949,34 949,34 949,34 949,34 0,00 949,34 949,34 949,34 949,34 0,00 5 943,32 937,29 943,32 941,31 3,48 943,32 937,29 937,29 939,30 3,48 943,32 937,29 937,29 939,30 3,48 SO42- (mg/L) - hari ke 10 15 846,91 563,71 846,91 563,71 846,91 563,71 846,91 563,71 0,00 0,00 840,88 569,74 840,88 581,79 834,86 569,74 838,88 573,75 3,48 6,96 858,96 539,61 864,99 551,66 858,96 545,63 860,97 545,63 3,48 6,03

ICBB 8816

ICBB 8818

20 260,77 254,74 257,75 257,75 3,01 284,87 278,84 281,86 281,86 3,01 230,64 227,63 227,63 228,63 1,74

25 158,33 158,33 152,31 156,32 3,48 194,49 182,43 191,47 189,46 6,27 128,20 128,20 128,20 128,20 0,00

30 98,08 98,08 98,08 98,08 0,00 116,15 110,13 92,05 106,11 12,54 89,04 92,05 89,04 90,04 1,74

110 Lampira n 19. Data pengukuran peningkatan konsetrasi sulfida pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi Isolat ICBB 8815 Ulg i ii iii Rata2 StDev i ii iii Rata2 StDev i ii iii Rata2 StDev Awal 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,000 0,00 10 33,37 34,65 34,65 34,22 0,74 37,22 34,65 39,78 37,22 2,57 30,80 29,52 29,52 29,95 0,74 Sulfida (mg/L) - hari ke 15 20 127,02 228,37 128,30 230,93 128,30 230,93 127,87 230,08 0,74 1,48 125,74 221,95 123,17 221,95 125,74 223,24 124,88 222,38 1,48 0,74 137,28 239,91 130,87 239,91 134,72 241,20 134,29 240,34 3,23 0,74

ICBB 8816

ICBB 8818

25 264,30 264,30 261,74 263,45 1,48 251,47 254,04 251,47 252,33 1,48 272,00 274,56 272,00 272,85 1,48

30 282,26 284,83 282,26 283,12 1,48 277,13 279,70 284,83 280,55 3,92 289,96 284,83 287,39 287,39 2,57

111 Lampiran 20. Data pengukuran peningkatan pH pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi Isolat ICBB 8815 Ulg i ii iii Rata2 StDev i ii iii Rata2 StDev i ii iii Rata2 StDev Awal 3,02 3,04 3,03 3,03 0,01 3,04 3,02 3,03 3,03 0,01 3,05 3,01 3,04 3,03 0,02 5 3,46 3,40 3,45 3,44 0,03 3,45 3,48 3,48 3,47 0,02 3,62 3,56 3,61 3,597 0,03 10 4,04 4,04 4,05 4,04 0,01 4,02 4,03 4,04 4,03 0,01 4,06 4,08 4,09 4,08 0,02 pH - hari ke 15 20 5,50 5,62 5,48 5,60 5,50 5,62 5,49 5,61 0,01 0,01 5,40 5,50 5,39 5,54 5,42 5,55 5,40 5,53 0,02 0,03 5,52 5,62 5,50 5,61 5,56 5,65 5,53 5,63 0,03 0,02

25 6,40 6,50 6,48 6,46 0,05 6,20 6,40 6,35 6,32 0,10 6,40 6,50 6,40 6,43 0,06

30 6,98 6,97 6,98 6,98 0,01 6,98 7,01 7,05 7,01 0,04 6,90 7,20 7,10 7,07 0,15

ICBB 8816

ICBB 8818

112 Lampiran 21. Data pengukuran penurunan Fe dan Mn terlarut pada reaktor bakteri pereduksi sulfat tersuspensi Isolat ICBB 8815 Ulg i ii iii Rata2 StDev i ii iii Rata2 StDev i ii iii Rata2 StDev Fe terlarut (mg/L) Awal Akhir 7,05 0,18 7,23 0,17 7,35 0,17 7,21 0,17 0,151 0,003 7,05 0,15 7,23 0,17 7,35 0,16 7,21 0,16 0,151 0,009 7,05 0,15 7,23 0,15 7,35 0,15 7,21 0,15 0,151 0,002 Mn terlarut (mg/L) Awal Akhir 11,10 0,26 11,77 0,27 12,25 0,27 11,71 0,27 0,578 0,005 11,10 0,28 11,77 0,27 12,25 0,28 11,71 0,28 0,578 0,005 11,10 0,23 11,77 0,24 12,25 0,23 11,71 0,23 0,578 0,002

ICBB 8816

ICBB 8818

113 Lampiran 22. Data pengukuran penurunan konsentrasi sulfat dalam reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat

Waktu (Jam) 0 1 2 3 4 5 10 15 24 48 72 96 120 144

1 945,54 919,22 883,06 846,91 816,78 780,63 750,50 672,17 587,81 507,81 423,45 357,17 296,92 221,60

ICBB 8815 2 3 Rata2 2Konsentrasi SO4 (mg/L) 945,54 945,54 945,54 943,32 931,27 931,27 907,16 907,16 899,13 871,01 858,96 858,96 840,88 834,86 830,84 804,73 798,71 794,69 768,58 756,53 758,54 684,22 678,20 678,20 611,91 593,84 597,85 507,81 507,81 507,81 453,58 441,53 439,52 378,26 369,23 368,22 318,01 308,97 307,97 242,69 233,65 232,65

StDev 0,00 12,05 13,92 12,05 12,54 12,54 9,20 6,03 12,54 0,00 15,16 10,58 10,58 10,58

1 945,54 913,19 895,11 864,99 822,81 762,55 732,42 636,02 580,12 501,79 429,48 327,05 296,92 224,61

ICBB 8818 2 3 Rata2 2Konsentrasi SO4 (mg/L) 945,54 945,54 945,54 931,27 931,27 925,24 883,06 895,11 891,10 834,86 858,96 852,94 834,86 822,81 826,82 774,60 774,60 770,59 744,48 726,40 734,43 672,17 654,09 654,09 568,07 577,11 575,10 510,82 501,79 504,80 429,48 441,53 433,50 333,07 333,07 331,06 266,79 278,84 280,85 176,41 200,51 200,51

StDev 0,00 10,44 6,96 15,94 6,96 6,96 9,20 18,08 6,27 5,22 6,96 3,48 15,16 24,10

114 Lampiran 23. Data pengukuran peningkatan konsentrasi sulfida yang terbentuk dalam reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat ICBB 8815 2 3 Rata2 Konsentrasi sulfida (mg/L) 0,00 0,00 0,00 0,00 14,12 4,71 14,12 14,12 16,26 24,39 26,95 27,81 34,65 34,65 37,64 44,91 47,48 48,33 57,74 60,31 60,31 85,97 88,53 88,10 109,06 116,76 114,62 144,98 144,98 144,98 162,94 165,51 166,79 188,60 191,16 191,59 206,56 209,12 210,41 232,22 234,78 235,64 ICBB 8818 2 3 Rata2 Konsentrasi sulfida (mg/L) 0,00 0,00 0,00 0,00 12,84 8,99 21,82 16,69 18,40 34,65 28,24 29,95 34,65 39,78 38,07 55,18 55,18 56,89 65,44 70,57 68,86 88,53 96,23 95,37 124,45 121,89 122,74 144,98 147,55 145,83 170,64 168,07 170,21 203,99 203,99 203,99 224,52 220,67 220,24 252,74 247,61 246,76

Waktu (Jam) 0 1 2 3 4 5 10 15 24 48 72 96 120 144

1 0,00 0,00 20,54 32,08 43,63 52,61 62,87 89,81 118,04 144,98 171,92 195,01 215,54 239,91

StDev 0,00 8,15 3,70 3,92 5,18 3,92 2,57 1,96 4,86 0,00 4,63 3,23 4,63 3,92

1 0,00 14,12 16,69 26,95 39,78 60,31 70,57 101,36 121,89 144,98 171,92 203,99 215,54 239,91

StDev 0,00 7,81 2,96 4,12 2,96 2,96 2,96 6,46 1,48 1,48 1,96 0,00 4,51 6,46

115 Lampiran 24. Data pengukuran kenaikan pH dalam reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat ICBB 8815 3 Rata2 pH 3,05 3,05 6,10 6,11 6,24 6,23 6,30 6,31 6,42 6,40 6,58 6,55 6,54 6,53 6,62 6,59 6,58 6,60 6,82 6,81 6,92 6,91 7,05 6,99 7,09 7,06 7,13 7,10 ICBB 8818 3 pH 3,05 5,69 5,95 6,15 6,19 6,22 6,30 6,35 6,58 6,82 6,92 7,05 7,09 7,13

Waktu (Jam) 0 1 2 3 4 5 10 15 24 48 72 96 120 144

1 3,05 6,17 6,25 6,32 6,40 6,56 6,56 6,60 6,60 6,82 6,89 6,92 7,05 7,08

2 3,05 6,07 6,20 6,31 6,39 6,52 6,50 6,56 6,62 6,78 6,92 6,99 7,05 7,10

StDev 0,00 0,05 0,03 0,01 0,02 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,02 0,07 0,02 0,03

1 3,05 5,68 5,97 6,12 6,21 6,25 6,35 6,40 6,50 6,82 6,89 6,92 6,99 7,10

2 3,05 5,70 5,95 6,08 6,20 6,24 6,31 6,41 6,62 6,78 6,92 6,99 7,05 7,10

Rata2 3,05 5,69 5,96 6,12 6,20 6,24 6,32 6,39 6,57 6,81 6,91 6,99 7,04 7,11

StDev 0,00 0,01 0,01 0,04 0,01 0,02 0,03 0,03 0,06 0,02 0,02 0,07 0,05 0,02

116 Lampiran 25. Data pengukuran penurunan Mn terlarut dalam reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat ICBB 8815 3 Rata2 Mn terlarut (mg/L) 11,30 11,30 7,10 6,97 6,10 6,05 5,75 5,80 5,35 5,40 5,10 5,12 4,80 4,84 4,75 4,73 4,60 4,64 2,50 2,45 1,81 1,85 1,65 1,69 1,40 1,47 1,35 1,25 ICBB 8818 2 3 Rata2 Mn terlarut (mg/L) 11,30 11,30 11,30 6,75 6,58 6,66 6,05 5,85 5,95 5,24 4,95 5,10 4,68 4,35 4,52 4,28 4,02 4,15 4,06 3,90 3,98 3,95 3,70 3,83 3,75 3,60 3,68 2,05 1,70 1,87 1,70 1,55 1,62 1,51 1,45 1,48 1,45 1,34 1,39 1,38 1,24 1,30

Waktu (Jam) 0 1 2 3 4 5 10 15 24 48 72 96 120 144

1 11,30 6,97 6,05 5,79 5,41 5,12 4,83 4,73 4,63 2,45 1,85 1,68 1,45 1,25

2 11,30 6,85 6,00 5,85 5,45 5,15 4,90 4,70 4,70 2,40 1,90 1,75 1,56 1,15

StDev 0,00 0,13 0,05 0,05 0,05 0,03 0,05 0,03 0,05 0,05 0,05 0,05 0,08 0,10

1 11,30 6,66 5,95 5,10 4,53 4,15 3,98 3,83 3,68 1,85 1,62 1,48 1,38 1,28

StDev 0,00 0,09 0,10 0,15 0,17 0,13 0,08 0,13 0,08 0,18 0,08 0,03 0,06 0,07

117 Lampiran 26. Data pengukuran penurunan Fe terlarut dalam reaktor biofilm bakteri pereduksi sulfat ICBB 8815 3 Rata2 Fe terlarut (mg/L) 7,10 7,10 7,00 7,01 7,00 7,65 7,00 7,05 6,90 6,97 6,75 6,85 6,70 6,75 6,35 6,44 6,35 6,38 5,70 5,68 4,00 3,97 3,30 3,15 2,80 2,72 2,35 2,23 ICBB 8818 2 3 Rata2 Fe terlarut (mg/L) 7,10 7,10 7,10 7,25 7,10 7,15 7,98 7,95 7,99 7,10 7,06 7,07 6,98 6,95 6,98 6,90 6,95 6,93 6,89 6,98 6,91 6,58 6,68 6,59 6,35 6,42 6,34 5,35 5,45 5,34 3,56 3,59 3,50 3,06 3,05 2,99 2,14 2,20 2,16 2,10 2,05 2,07

Waktu (Jam) 0 1 2 3 4 5 10 15 24 48 72 96 120 144

1 7,10 7,05 7,95 7,05 6,95 6,95 6,80 6,45 6,34 5,59 3,90 3,05 2,65 2,15

2 7,10 6,98 8,01 7,10 7,05 6,85 6,75 6,51 6,45 5,75 4,02 3,10 2,70 2,20

StDev 0,00 0,04 0,57 0,05 0,08 0,10 0,05 0,08 0,06 0,08 0,06 0,13 0,08 0,10

1 7,10 7,10 8,05 7,05 7,00 6,95 6,86 6,50 6,25 5,21 3,35 2,85 2,15 2,05

StDev 0,00 0,09 0,05 0,03 0,03 0,03 0,06 0,09 0,09 0,12 0,13 0,12 0,03 0,03

You might also like