You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Gangguan obsesif-kompulsif merupakan gangguan kepribadian
cemas atau takut yang ditandai oleh pola terjebak dengan keteraturan yang
sangat kuat, perfeksionisme, dan kontrol mental serta interpersonal dengan
mengorbankan fleksibilitas, keterbukaan dan efisiensi. Obsesif kompulsif
ditandai dengan adanya obsesi dan kompulsi. (Sumber)
Obsesi adalah pikiran-pikiran, bayangan-bayangan atau dorongan-
dorongan intrusive dan kebanyakan tidak masuk akal yang dicoba ditolak atau
dieliminasi oleh individu. Sedangkan kompulsi adalah pikiran-pikiran atau
tindakan-tindakan yang digunakan untuk menekan obsesi dan membuat
individu merasa lega. Gangguan obsesif kompulsif dapat dianggap sebagai
gangguan yang menyebabkan ketidakberdayaan, karena obsesi dapat
menghabiskan waktu dan mengganggu rutinitas normal seseorang, fungsi
pekerjaan, aktivitas sosial yang biasanya, atau hubungan dengan teman atau
anggota keluarga.(Durand & Barlow, 2005)
Menurut APA & Taylor, gangguan obsesif-kompulsif dialami 2 %
sampai 3 % masyarakat umum pada suatu saat dalam kehidupan mereka
(Nevid, et all.,2005). Menurut Skoog, suatu studi di Swedia menemukan
bahwa meskipun kebanyakan pasien OCD menunjukkan perbaikan, banyak
juga yang terus berlanjut mempunyai simtom gangguan hidup ini sepanjang
hidup mereka (Nevid, et all.,2005). DSM IV membuat diagnosis gangguan
obsesif kompulsif bila orang terganggu oleh obsesi atau kompulsi yang
berulang, atau keduanya sedemikian rupa sehingga menyebabkan distress
yang nyata, memakan waktu lebih dari satu jam dalam sehari, atau secara
signifikan mengganggu hal-hal rutin yang normal, mengganggu fungsi kerja
atau sosial.
Menurut Jenike, et all., sebagaimana dikutip oleh Durand &
Barlow (2006) mengatakan bahwa obsesi yang paling banyak dijumpai
dalam sampel 100 pasien adalah kontaminasi (55%), impuls agresif (50%),
seks (32%), ketakutan somatis (35%), dan need for symmetry (37%). Enam
puluh persen sampel memperlihatkan obsesi multiple atau majemuk.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah seminar
klinis dengan segaja memfokuskan pada salah satu topik klinis yaitu
gangguan Obsesif Kompulsif (OCD).























BAB II
ISI

A. Definisi
Menurut Davison & Neale, gangguan obsesif kompulsif adalah
gangguan cemas, dimana pikiran seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan
yang menetap dan tidak terkontrol, dan ia dipaksa untuk melakukan tindakan
tertentu berulang-ulang, sehingga menimbulkan stress dan mengganggu
fungsinya dalam kehidupan sehari-hari (Fausiah & Widury, 2007).
Obsesi kompulsi adalah suatu kondisi heterogen yang melibatkan
pikiran distress yang tidak diinginkan dan ritual kompulsif mengenai satu atau
beberapa tema-tema umum seperti kontaminasi, agama, simetri. Temuan
penelitian umumnya bergabung untuk menyarankan bahwa pasien dengan
OCD dipercaya dapat dikelompokkan menjadi subkelompok berdasarkan
gejala konten. Beberapa telah menyarankan bahwa skala klasifikasi tersebut
mungkin telah digunakan dalam memahami fenomenologi OCD dan
meramalkan respon pengobatan .
Dalam DSM-IV TR obsesi didefinisikan sebagai berikut :
1. Pikiran, impuls, atau bayangan yang berulang-ulang dan menetap yang
dialami, pada suatu saat selama gangguan, dirasakan mengganggu dan
tidak sesuai, dan menyebabkan kecemasan dan penderitaan yang jelas.
2. Pikiran, impuls, atau bayangan tidak hanya kekhawatiran berlebihan
tentang masalah kehidupan yang nyata
3. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau
bayangan tersebut untuk menetralkannya dengan pikiran atau tindakan
lain.
4. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan obsesional adalah
hasil dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan
pikiran)
Pengertian obsesi menurut Kaplan, et all., adalah pikiran, ide atau
sensasi yang muncul secara berulang-ulang. Menurut Davison &Neale, hal-hal
tersebut muncul tanpa dapat dicegah, dan individu merasakannya sebagai hal
yang tidak rasional dan tidak dapat dikontrol (Fausiah &Widury, 2007).
Sedangkan kompulsi menurut Davison & Neale adalah perilaku atau
tindakan mental yang berulang, dimana individu merasa didorong untuk
menampilkannya agar mengurangi stres. (Fausiah & Widury, 2007).
Dalam DSM-IV TR mendefinisikan kompulsi sebagai berikut :
1. Perilaku berulang (misalnya, mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa)
atau tindakan mental (misalnya berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata
dalam hati) yang dirasakannya mendorong untuk melakukan sebagai
respon terhadap suatu obsesi, atau menurut dengan aturan yang harus
dipenuhi secara kaku.
2. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau mengurangi
penderitaan atau mencegah suatu kejadian atau situasi yang menakutkan,
akan tetapi, perilaku atau tindakan mental tersebut tidak dihubungkan
dengan cara yang realistik dengan apa yang mereka maksudkan untuk
menetralkan atau mencegah, atau secara jelas berlebihan.
Sejalan dengan Fa, dkk; Steketee & Barlow (Durand & Barlow,
2006), kompulsi dapat berbentuk perilaku (misalnya mencuci tangan,
memeriksa keadaan) atau mental (memikirkan tentang kata-kata tertentu
dengan urutan tertentu, menghitung, berdoa dan seterusnya).
Dari beragam definisi, penulis cenderung menyepakati definisi yang
dibuat Davison & Neale, gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan cemas,
dimana pikiran seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan yang menetap dan
tidak terkontrol, dan ia dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu berulang-
ulang, sehingga menimbulkan stress dan mengganggu fungsinya dalam
kehidupan sehari-hari (Fausiah & Widury, 2007).
B. Sebab-sebab
1. Aspek Biologis
Davison & Neale (Fausiah & Widury, 2007) menjelaskan bahwa
salah satu penjelasan yang mungkin tentang gangguan obsesif-kompulsif
adalah keterlibatan neurotransmitter di otak, khususnya kurangnya jumlah
serotonin. Keterlibatan serotonin ini belum sebagai penyebab individu
mengalami gangguan obsesif kompulsif, melainkan sebagai pembentuk
dari gangguan ini.
Fungsi serotonin di otak ditentukan oleh lokasi system
proyeksinya. Proyeksi pada konteks frontal diperlukan untuk pengaturan
mood, proyeksi pada ganglia basalis bertanggung jawab pada gangguan
obsesi kompulsi (Pinzon, 2006).
2. Psikologis
Menurut Salkovskis, dkk; Steketee dan Barlow, klien-klien OCD
menyetarakan pikiran dengan tindakan atau aktifitas tertentu yang
dipresentasikan oleh pikiran tersebut. Ini disebut thought-action fusion
(fusi pikiran dan tindakan). Fusi antara pikiran dan tindakan ini dapat
disebabkan oleh sikap-sikap tanggung jawab yang berlebih-lebihan yang
menyebabkan timbulnya rasa bersalah seperti yang berkembang selama
masa kanak-kanak, dimana pikiran jahat diasosiasikan dengan niat jahat
(Durand & Barlow, 2006).
3. Faktor Psikososial
Menurut Sigmund Freud, gangguan obsesif-kompulsif bisa
disebabkan karena regresi dari fase anal dalam perkembangannya.
Mekanisme pertahanan psikologis mungkin memegang peranan pada
beberapa manifestasi pada gangguan obsesif-kompulsif. Represi perasaan
marah terhadap seseorang mungkin menjadi alasan timbulnya pikiran
berulang untuk menyakiti orang tersebut.



C. Perspektif menurut aliran-aliran
1. Perspektif psikoanalisis
Menurut pandangan psikoanalisa, obsesif-kompulsif timbul dari
daya-daya instinktif seperti seks dan agresivitas, yang tidak berada di
bawah kontrol individu karena toilet-training yang kasar (Fausiah &
Widury, 2007). Sedangkan Adler (dalam Fausiah & Widury, 2007)
memandang obsesif kompulsif sebagai hasil dari perasaan tidak kompeten.
2. Perspektif behavioristik
Para ahli tingkah laku mengemukakan bahwa obsesif kompulsif
adalah perilaku yang dipelajari, dan diperkuat dengan berkurangnya rasa
takut (Davison & Neale, 2001). Teori Behavioral menganggap kompulsi
sebagai perilaku yang dipelajari yang dikuatkan oleh redukasi yang kuat.
3. Perspektif kognitif
Ide lain yang muncul adalah kompulsi memeriksa terjadi karena
defisit ingatan. Ketidakmampuan untuk mengingat beberapa tindakan
dengan akurat, atau untuk membedakan antara perilaku yang benar-benar
dilakukan dan imajinasi seseorang memeriksa berkali-kali. Sedangkan
pemikiran obsesif muncul karena ketidakmampuan atau kesulitan untuk
mengabaikan stimulus (Davison & Neale, dalam Fausiah & Widury,
2007).
4. Teori belajar (Learning theory)
Gabungan dari teori dan pengalaman dalam aplikasi terapi perilaku
timbul beberapa konsep terjadinya gangguan obsesi kompulsi (Mahajudin,
1995).
a. Mowres two stage theory
Mowrer mengajukan teori ini di tahun 1939 dan dikembangkan
oleh Dollard dan Miller di tahun 1950. Gangguan obsesi kompulsi ini
didapat secara dua tahap. Tahap pertama adalah adanya rangsangan
yang menimbulkan kecemasan. Reaksi yang timbul adalah
menghindari (escape) atau menolak (avoidance). Respon-respon ini
menimbulkan negative reinforcement akibat berkurangnya rasa cemas.
Tahap berikutnya adalah upaya menetralisasi kecemasan yang masih
ada dengan rangkaian kata-kata, gagasan-gagasan atau bayangan-
bayangan bahkan objek-objek lain. Penyebarluasan ini mengaburkan
asal-usul rangsangan tadi. Kecemasan terhadap suatu objek tadi sudah
meluas menjadi perasaan tidak enak atau tidak menentu. Sebagai
kompensasinya penderita menentukan strategi perilaku yang enak
baginya dan perilaku ini menetap menjadi kompulsif akibat negative
reinforcement.
Tahap kedua, banyak berkurangnya tetapi sedikitnya dapat
menerangkan kenapa kompulsi bertahan sebagai alat mengurangi rasa
cemas.
b. Cognitive behavior therapy
Oleh Carr tahun 1971 dan dikembangkan oleh McFall dan
Wollensheim tahun 1979. Teori ini mengatakan bahwa gangguan
obsesi kompulsif pada oran-orang tertentu di kreasi oleh dirinya
sendiri.
Prinsip yang salah, menimbulkan persepsi yang keliru dan
menakutkan, akhirnya menambahkan kecemasan. Pencetusnya bisa
disebabkan oleh kejadaian sehari-hari.

D. Gejala
Gejala-gejala obsesif-kompulsif menurut PPDGJ-III, harus mencakup
hal-hal sebagai berikut :
1. Harus disadari sebagai pikiran atau implus dari diri sendiri.
2. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan,
meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
3. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal
yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari
ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti
dimaksud di atas).
4. Gagasan, bayangan pikiran, atau implus tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).

E. Onset
Umumnya usia rata-rata penderita obsesif-kompulsif adalah antara 22-
36 tahun. Hanya 15 % yang muncul pada usia diatas 35 tahun
(www.tanyadokter.com). Onset rata-rata adalah kira-kira 20 tahun. Walaupun
laki-laki memiliki onset yang lebih awal (rata-rata 19 tahun) dibandingkan
wanita (rata-rata 22 tahun). Secara keseluruhan, kira-kira per tiga dari pasien
memilki onset gejala sebelum 25 tahun. Gangguan obsesif-kompulsif dapat
memiliki onset pada masa remaja atau masa anak-anak
(ningrumwahyu.wordpress.com).

F. Prevalensi
Prevalensi penderita gangguan ini adalah sekitar 1-2 % dari populasi,
dengan jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Umumnya gangguan terjadi pada masa dewasa muda, dan seringkali
mengikuti serangkaian peristiwa yang menimbulkan stres besar (Kringlen
dalam Fausiah & Widury, 2007). Pada laki-laki berhubungan dengan kompulsi
memeriksa, sedangkan pada perempuan berhubungan dengan kompulsi
membersihkan (Norshivani dalam Fausiah & Widury, 2007).
Sedangkan menurut Ingram (Jayalangkara, 2005), melaporkan bahwa
kehamilan adalah pencetus terbanyak terjadinya gangguan obsesif kompulsif.
Prevalensi gangguan obsesif kompulsif selama hidup adalah 2-3 %.
Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif kompulsif pada populasi
umum diperkirakan adalah 2 samai 3 persen. Beberapa peneliti telah
memperkirakan bahwa gangguan obsesif kompulsif ditemukan sebanyak 10
persen pasien rawat jalan di klinik psikiatri. Angka tersebut menyebabkan
gangguan obsesif kompulsif sebagai diagnosis psikiatri tersering yang
keempat adalah fobia, gangguan berhubungan zat, dan gangguan depresi berat.
Prevalensi seumur hidup untuk gangguan obsesif kompulsif adalah
kira-kira 67 persen dan untuk fobia sosial kira-kira 25 persen. Diagnosis
psikiatrik komorbid lainnya pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif
adalah gangguan alkohol, fobia spesifik, gangguan panic dan gangguan
makan.
G. Diagnosa
Berdasarkan reportcard Symptom distress Scale
(http://www.mhsip.org/reportcard/sympdiss.pdf). Diagnosa biasanya
ditegakkan berdasarkan penuturan penderita mengenai perlakunya, bisa
dilakukan dengan:
1. The Yale-Brown Obsessive Compulsive Scale
a. Alat tes ini pernah diujikan kepada 81 pasien obsesif kompulsif
b. Aitem tesnya sebanyak 10 aitem dengan rating klinis
c. Pengukuran dalam skalanya dari rentang 0 sampai 4 tiap aitemnya
d. Dari 10 aitem, aitem dari 1 sampai 6 mengukur tingkat ke obsesifan
dan 7 sampai 10 mengukur tingkat ke kompulsifan seseorang
e. Alat ini mengukur tingkat dan tipe-tipe dari gangguan obsesif
kompulsif tersebut pada diri individu
f. Koefisien reliabilitasnya r= 0,80 dengan signifikansi p < 0,05
g. Validitas konvergen dari Y-B OCD baik
2. The symptom checklist 90
a. Skala ini mengukur somatization (SOM), Obsessive compulsive (O-C),
Interpersonal sensivity (I-S), Deppression (DEP), Anxiety (ANX),
Hostility (HOS), Phobic Anxiety (PHOB), Paranoid Ideation (PAR),
Psychotism (PSY), and Additional Aitem, The Global severity Index
(GSI), The Positive Symptomp Distress Index (PSDI), and the
Possitive Symptomp Total (PST)
b. Norma yang digunakan berdasarkan spesifik gender terbagi 4
kelompok: norma A (1002 pasien psikiatrik dewasa rawat jalan),
norma B (974 bukan pasien dewasa psikiatrik), norma C (423 pasien
psikiatrik dewasa yang rawat inap), norma E (806 pasien remaja
psikiatrik rawat jalan)
c. Reliabilitas alat tes ini berkisarrentang 0, 80 sampai 0,90
d. Validitas alat ini masih rendah karena belum ada komparasi dengan
alat tes lain.

H. Terapi
1. Pendekatan Psikoanalisa
Terapi yang dilakukan adalah mengurangi represi dan
memungkinkan pasien untuk menghadapi hal yang benar-benar
ditakutinya. Namun karena pikiran-pikiran yang mengganggu dan perilaku
kompulsif bersifat melindungi ego dari konflik yang direpres, maka hal ini
menjadi sulit untuk dijadikan target terapi, dan terapi psikoanalisa tidak
terlalu efektif untuk menangani gangguan obsesif-kompulsif (Fausiah &
Widury, 2007).
2. Exposure and Response Prevention
Terapi ini (dikenal pula dengan sebutan flooding) diciptakan oleh
Victor Meyer (1966), dimana pasien menghadapkan dirinya sendiri pada
situasi yang menimbulkan tindakan kompulsif atau (seperti memegang
sepatu yang kotor) dan kemudian menahan diri agar tidak menampilkan
perilaku yang menjadi ritualnya membuatnya menghadapi stimulus yang
membangkitkan kecemasan, sehingga memungkinkan kecemasan menjadi
hilang. (Fausiah & Widury, 2007)
3. Rational-Emotive Behavior Therapy
Menurut Davison & Neale (Fausiah & Widury, 2007) terapi ini
digunakan dengan pemikiran untuk membantu pasien menghapuskan
keyakinan bahwa segala sesuatu harus terjadi menurut apa yang mereka
inginkan, atau bahwa hasil pekerjaan harus selalu sempurna. Terapi
kognitif dari Beck juga dapat digunakan untuk menangani pasien
gangguan obsesif kompulsif. Pada pendekatan ini pasien diuji untuk
menguji ketakutan mereka bahwa hal yang buruk akan terjadi jika mereka
tidak menampilkan perilaku kompulsi.
4. Farmakoterapi
Obat-obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) bekerja
terutama pada terminal akson presinaptik dengan menghambat ambilan
kembali serotonin. Penghambatan ambilan kembali serotonin diakibatkan
oleh ikatan obat (misalnya: fluoxetine) pada transporter ambilan kembali
yang spesifik, sehinggga tidak ada lagi neurotransmitter serotonin yang
dapat berkaitan dengan transporter. Hal tersebut akan menyebabkan
serotonin bertahan lebih lama di celah sinaps. Pengguanaan Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) terutama ditujukan untuk
memperbaiki perilaku stereotipik , perilaku melukai diri sendiri, resisten
terhadap perubahan hal-hal rutin, dan ritual obsesif dengan ansietas yang
tinggi. Salah satu alas an utama pemilihan obat-obat penghambat reuptake
serotonin yang selektif adalah kemampuan terapi. Efek samping yang
dapat terjadi akibat pemberian fluexetine adalah nausea, disfunfsi seksual,
nyeri kepala, dan mulut kering. Toleransi SSRI yang relative baik
disebabkan oleh karena sifat selektivitasnya. Obat SSRI tidak banyak
berinteraksi dengan reseptor neurotransmitter lainnya. Penelitian awal
dengan metode pengamatan kasus serial terhadap 8 subjek. Tindakan
terapi ditujukan untuk mengatasi gejala-gejala disruptif, dan dimulai
dengan fluexetine dosis 10 mg/hari dengan pengamatan. Perbaikan paling
nyata dijumpai pada gangguan obsesif dan gejal cemas (Pinzon
dkk.,2006).
5. Terapi Keluarga (Family therapy)
Terapi keluarga (Majahudin, 1995), merupakan teknik pengobatan
yang sangat penting bila pada keluarga pasien OCD ini didapatkan
kekacauan hubungan dalam keluarga, kesukaran dalam perkawinan,
masalah spesifikasi dalam anggota keluarga atau peran anggota keluarga
yang kurang sesuai yang akan mengganggu keberhasilan fungsi masing-
masing individu dalam keluarga termasuk dalam waktu jangka panjang
akan berakibat buruk pada anak OCD.
Seluruh anggota keluarga dimasukkan ke dalam proses terapi,
menggunakan semua data anggota keluarga seperti tingkah laku individu
dalam keluarga. Menilai tingkah laku setiap anggota keluarga yang
mempengaruhi tingkah laku yang baik dan membina pengaruh tingkah
laku yang positif dari setiap individu.
6. Terapi perilaku (Behavior therapy)
Leonardo mengatakan (Majahudin, 1995) bahwa teknik terapi
perilaku yang khusus digunakan untuk pasien anak usia lebih tua dan
remaja dengan gangguan OCD adalah latihan relaksasi dan response
prevention technique.
Terapi perilaku pada penderita OCD, awalnya mengumpulkan
informasi yang lengkap mengenai riwayat timbulnya gejala OCD, isyarat
faktor internal dan fakto eksternal, serta faktor pencetus akan timbulnya
gejala OCD. Kemudian mengawasi tingkah laku pasien dala menghindari
situasi yang menimbulkan kecemasan, menghindari timbulnya gejala
kompulsif dan tingkat kecemasan pasien saat timbul gejala OCD harus
diperiksa secara teliti.
Teknik terapi perilaku yang dianjurkan pada anak dan remaja
(Majahudin, 1995) :
a. Latihan relaksasi
Pasien diminta untuk berpikir dan bersikap rileks dan kemudian
pasien diminta untuk memikirkan pikiran obsesi masuk dalam alam
sadar. Ketika pikiran obsesi muncul, maka terapi akan meminta pasien
untuk menghentikan pemikiran itu, misalnya dengan cara memukul
maja, atau menarik tali elastic yang diikatkan pada tangan. Hal ini
dilakukan di rumah atau di mana saja.
b. Response prevention technique
Mula-mula didapatkan dulu rangsangan (stimulus) atau pencetus
yang menyebabkan dorongan untuk melakukan tindakan kompulsif.
Jika rangsangan kompulsif muncul maka pasien secara aktif
diberanikan untuk melawan tingkah laku kompulsif, sering dengan
mengalihkan perhatian pasien sehingga tindakan kompulsif tidak
mungkin dilakukan misalnya dengan memukul meja.
c. Penurunan kecemasan
Tujuan dari terapi ini untuk menghilangkan kecemasan yang
menimbulkan gejala obsesif dan kompulsif.
Hal ini dilakukan dengan desensitisasi secara sistematik yakni
dengan menghadapkan anak atau remaja pada situasi yang menakutkan
(misalnya pisau, hal-hal yang kotor, pegangan pintu dan sebagainya)
secara pelan-pelan samapai ketakutan dan kecemasan hilang atau tidak
ada lagi.
I. Prevensi
Yang sekarang perlu kita pahami adalah, menyimpan masalah di alam
ketidak sadaran, akan membawa dampak buruk cepat maupun lambat. Bila
menemui masalah, alangkah baiknya bila kita mencoba berbicara dengan
orang yang kita percaya sekalipun sekedar sharing dan agar didengarkan
saja.

J. Kualitas hidup
Perilaku kompulsi pada penderita kompulsif akan membuang waktu
dan tidak dapat melakukan aktivitas lainnya. Orang-orang dengan gangguan
obsesif kompulsif mungkin tertunda keluar rumah sampai satu jam atau lebih
karena harus melakukan ritual pengecekan mereka (Nevid, et all., 2005).
Mereka seharusnya dapat melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat dari pada
mengikuti pikiran obsesinya dan tindakan kompulsif nya.


K. Dalil Alquran
A=@, )Bb
)m N1Bb,
=JA@ V,
C,_Bb 1@@ B6
B , ,_)
[ Bb ,_, ))A
XBBb
Artinya:
Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram. (Q.S. ar-Rad (13): 28).
Keamanan dan ketentraman dalam jiwa seseorang akan tercipta
karena keimanannya yang tulus kepada Allah. Allah senantiasa menaungi dan
member pertolongan kepada orang-orang beriman. Dengan demikian, ia akan
merasakan Allah selalu bersamanya.
Orang yang beriman tidak akan merasa takut kepada sesuatu pun di
dunia ini. Ia mengetahui bahwa ia tidak akan tertimpa oleh suatu keburukan
kecuali jika itu sudah menjadi kehendak Allah. Oleh karena itu, mukmin
yang tulus imannya adalah manusia yang tidak dapat dikuasai oleh rasa takut
dan cemas. Allah Taala berfirman:
[V 10 =,
,_, 0b
0 )q =,; N,
B_ @1 N,
_
Artinya:
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada
Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi
Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati (QS.Al-Baqarah:112).
K. Contoh Kasus
Ny. X, 34 tahun, ibu dari 2 anak, datang menemui psikolog dengan
keluhan perilaku yang mengganggu. Berdasarkan pemeriksaan yang
dilakukan, ditemukan bahwa Ny. X disarankan ke psikolog oleh
suaminya, karena beberapa perilakunya cenderung berlebihan.
Menurut Ny. X, ia adalah pecinta kebersihan dan takut akan kuman
yang ada dimana-mana. Ny. X menceritakan, bahwa setiap hari ia
mandi hingga 6 kali, dan mencuci tangan lebih sering lagi. Setiap kali
mandi, Ny. X menyabuni badannya sebanyak 5 kali; jika tidak, ia
merasa belum bersih. Demikian juga jika sedang cuci tangan, ia
berkali-kali membersihkan tangan dengan sabun. Sebelum mandi Ny.
X selalu berusaha membersihkan dan menyikat lantai kamar mandi
dan kloset terlebih dahulu. Akibatnya waktu Ny. X banyak terbuang
dalam kegiatan mandi dan mencuci tangan. Ny. X memperkirakan
kebiasaan itu berlangsung saat ia SMA, dan makin lama makin parah.
Ny. X merasa terganggu dengan kebiasaan ini, karena membuang
waktunya dan membuatnya tidak dapat melakukan aktifitas lainnya.
Namun demikian Ny. X tidak berdaya untuk menghentikannya, dan
ingin mencari pertolongan untuk dapat mengontrol perilakunya
tersebut.
Selain kasus tersebut di atas, ditemukan juga contoh kasus
obsesifkompulsif di Indonesia. Pada kasus pembunuhan berantai yang
dilakukan oleh Very Idham Henryansyah alias ryan, psikolog forensik
yang bertugas memeriksa kejiwaan Ryan mengungkapkan bahwa ada
indikasi obsesif kompulsif, namun tidak banyak. Obsesif kompulsif
pada ryan disertai dengan perilaku agresif dan manipulatif. Oleh
karena itu, ketika sekali ketahuan tidak membunuh, maka dia akan
membunuh lagi, akhirnya keenakan. (Rahayu, 2008)

DAFTAR PUSTAKA

A. Jayalangkara. 2005. Gangguan Jiwa Pada Kehamilan. J Med Nus vol.6. No.4,
Hal.268-272
Abramowitz, S. Jonathan, Edna, B. Foa & Martin, E.Franklin. 2003. Exposure and
Ritual Prevention for Obsessive- Compulsive Dissorder: Effects of
Intensive Versus Twice- Weekly Session. Journal of Consulting and
Clinical Psychology, American Psychological Association.
Abramowitz, S. Jonathan et al. 2003. Symptom Presentation and Outcome of
Cognitive-Behavioral Therapy for Obsessive-Compulsive Dissorder.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, American Psychological
Association.
Adz-Dzakiey, H.B. 2007. Psikologi Kenabian. Yogyakarta: Beranda Publishibg.
Davison, Gerald. C & Neale, John.M. 2001. Abnormal Psychology 8
th
edition.
New York: John Wiley & Son
Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2006. Intisari Psikologi Abnormal.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Fausiah, F & Widury, J. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: UI-
Press.
Khaidirmuhaj. (2009). askep-gangguan-obsesif-kompulsif. www.google.com.
Diakses 4 Maret 2010.
Marlina, S. Mahajudin. 1995. Gangguan Obsesif-Kompulsif. Tinjauan Gejala dan
Psikodinamika. Jurnal Anima, vol X, No.40, hal.44-71
Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Nevid, S. Jeffrey, Spencer, A. R & Beverly G. 2005. Psikologi Abnormal jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Ningrumwahyuni. (2009). Catatan Kecil Gangguan Obsesif Kompulsif.
http://ningrumwahyuni.wordpress.com. Diakses 4 Maret 2010
Pinzon, R. 2006. Tatalaksana Farmakologis. Gangguan Spektrum Autistik:Telaah
Pustaka Kini. Dexa Media. Jurnal Kedokteran dan Farmasi, No.4, vol.19,
ISSN 0215-7551, hal. 169-172.
Rahayu, Yusti Probowati. 2008. Prof Dr Yusti Probowati Rahayu dan analisisnya
tentang Jagal Asal Jombang. http://www.ubaya.co.id/. Diakses 4 Mei
2010
Symptom distress Scale (Adapted from Symptomp Checklist-90)
http://www.mhsip.org/reportcard/sympdiss.pdf--13/02/10

You might also like