You are on page 1of 10

A.

Akar Pemikiran Sejarah perkembangannya dimulai ketika Plato (400 SM) mengatakan bahwa ada trikotomi jiwa manusia, yakni kecerdasan, kemauan dan perasaan. Aristoteles (generasi setelah Plato) berpendapat bahwa ilmu jiwa adalah terkait dengan semua gejala hidup. Semua makluk hidup memiliki jiwa. Semua hewan, tumbuhan dan manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa. Informasi yang muncul dari alenia di atas bermaksud untuk memberikan penegasan bahwa psikologi atau umum menyebutnya sebagai ilmu jiwa telah sejak lama ada. Berasal dari perkataan Yunani psyche yang berarti jiwa, dan logos berarti ilmu pengetahuan maka kemudian istilah psikologi tersebut memuat arti sebagai ilmu yang mempelajari sisi kejiwaan manusia sebagai individu. Penting untuk disadari bahwa manusia sebagai individulah yang menjadi titik sentral kajian psikologi, bukannya individu dalam konteks sosial. Ahli Ilmu Jiwa dari Austria, Sigmund Freud (1856-1939) menemukan teori sadar dan bawah sadar dalam kejiwaan manusia. Freud memberikan penjelasan bahwa pikiran-pikiran, hasrathasrat serta sejumlah perasaan termasuk pada sesuatu yang disadari atau 'yang sadar'. Sedangkan dorongan-dorongan, nafsu-nafsu serta hasrat dan pikiran yang berpengaruh pada tindakan yang tidak disadari disebutnya sebagai 'bawah sadar. Ia katakan bahwa kehidupan manusia sadar itu ibarat gunung es. Yang tampak dan terasakan hanya 10%, sedang sisanya tenggelam dalam bawah sadar. Perkembangan berikutnya adalah, ketika Gustave Le Bon (1841-1932) mengkaitkannya dengan massa sebagai sekumpulan orang yang cenderung memiliki jiwa, maka bersemailah perluasan kajian psikologi dari yang bersifat individual ke arah yang lebih luas yakni massa. George Herbert Mead (1863-1931) adalah intelektual besar Amerika akhir abad ke-19 yang memberi sumbangan besar pada perkembangan pemikiran psikologi sosial melalu usahanya dalam mengkaitkan sosiologi dengan psikologi. Mead sangat dipengaruhi oleh teori evolusinya Darwin. Ia menerima prinsip Darwinis bahwa organisme individu manusia selalu terus menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bahwa hanya melalui proses inilah bentuk atau karakteristik organisme manusia mengalami perubahan yang berkesinambungan. Pikiran dan kesadaran manusia yang diyakini oleh Mead sebagai organisme yang keberlangsungannya memerlukan interaksi dengan lingkungannya inilah yang sejalan dengan asumsi Darwin yang memandang pertumbuhan manusia sebagai hal yang dituntun oleh proses evolusi alamiah. Mengikuti asumsi Mead bahwa kegiatan hidup manusia dipenuhi oleh usahanya menyesuaikan diri dengan alam, maka mulailah psikologi sosial menampakkan dirinya secara agak jelas. Manusia sering dapat melewati prosedur dialektika trial and error yang biasanya terjadi dalam perjalanan beberapa generasi. Prosedur ini menempatkan lingkungan sebagai unsur penting. Lingkungan dengan pemahaman sebagai medan atau lapangan tempat terjadinya interaksi antar individu yang dari interaksi ini memungkinkan langkah perubahan yang menghasilkan mekanisme trial and error tersebut. Interaksi antar individu inilah yang bagi Mead menempatkan komunikasi sebagai kajian yang tidak terlepas dari psikologi sosial. Sebagaimana komunikasi manusia yang meliputi penggunaan simbol, maka begitu pulalah proses berpikir manusia. Dalam pandangan Mead, hubungan antara komunikasi dengan kesadaran dan pikiran manusia adalah sedemikian dekatnya. Proses berpikir subyektif atau refleksi dapat dilihat sebagai sisi yang tidak kelihatan dari praktek komunikasi karena proses ini memberi penjelasan adanya tindakan bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Percakapan ini, sekalipun hanya dengan dirinya sendiri dan hanya di dalam dirinya sendiri sehingga tidak diketahui orang lain, tidaklah dapat terpisah dari keterlibatan-keterlibatan orang lain dalam hubungan sosialnya. Misalnya, dalam menggunakan percakapan orang akan mempersiapkan apa yang hendak dikatakannya dan bagaimana mengatakannya sebelum membayangkan reaksi yang dimunculkan oleh orang lain yang akan terlibat percakapan tersebut. Ini artinya adalah, sekalipun percakapan dengan diri sendiri, tetapi tetap saja peristiwa ini membuka keterlibatan orang lain dalam dunia gagasan manusia, dalam jiwa manusia.

Berpikir menurut Mead adalah suatu proses ketika individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melaui proses interaksi dengan diri sendiri itu, individu memilih di antara stimulus yang tertuju kepadanya itu yang kemudian ditanggapinya. Individu dengan demikian tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan. Stimulus tersebut datang dari luar diri individu yang memungkinkan mendapatkan tanggapan di dalam ruang jiwa individu untuk kemudian mempengaruhinya. Stimulus yang selalu datang dari luar diri individu itu sebenarnya datang dari dunia sosial manusia. Inilah yang kemudian secara terang benderang memunculkan pentingnya studi psikologi sosial. Aspek psikologi dan aspek sosiologi pemikiran Mead bukanlah merupakan satu-satunya sumbangan intelektual Mead dalam perkembangan studi psikologi sosial. Mungkin Mead lebih seksama dari pada para pendahulunya dalam menegakkan suatu dasar filosofis yang kuat untuk memposisikan benih studi psikologi sosialnya sekaligus teori interaksi simboliknya. Suatu teori besar tentang pertukaran makna melalui simbol-simbol komunikasi yang dapat menghasilkan bangunan masyarakat. Selain Mead, Charles Horton Cooley juga merupakan perintis psikologi sosial yang substansial. Judul karya terkenal Cooley adalah Human Nature and the Social Order, yang berisikan pendekatan teoritisnya yang mendasar. Kesimpulan utama, yang didapat Cooley yang dapat mengkaitkannya dengan studi psikologi sosial adalah bahwa kehidupan masyarakat itu terbentuk melalui interaksi dan komunikasi antar individu, atau individu dengan kelompok, bahkan kelompok dengan kelompok. Sementara itu, kesadaran bahwa individu manusia memiliki struktur kejiwaan dan begitu juga masyarakat memiliki hal yang sama, menimbulkan interaksi sosial yang saling mengkait yang menimbulkan suatu sistem di dalam masyarakat. Inilah yang kemudian melahirkan asumsi bahwa situasi atau dunia kehidupan sosial manusia itu dapat mempengaruhi kehidupan jiwa individu manusia. Jika demikian maka perkembangan individu itu berhubungan erat dengan lingkungan sosialnya, dengan masyarakatnya. Titik inti dari sumbangan Cooley pada kajian psikologi sosial ini terletak pada adanya kesadaran subyektif dalam setiap individu. Setiap individu memiliki pengalaman personal yang menuntun individu yang bersangkutan pada sifat aktif dan kreatif. Sifat ini diiringi perasaan-perasaan individual, sentimen serta ide-ide akan menjadi faktor yang mendorong manusia untuk berinisiatif pada tindakan sosialnya. Tindakan sosial merupakan proses ketika individu terlibat dalam pengambilan keputusan subyektif terkait sarana dan cara untuk mencapai tujuannya melalui interaksinya dengan pihak lain. Dengan demikian maka tindakan sosial itu juga merupakan tindakan yang kecuali melibatkan pihak lain sekaligus harus bermakna baginya dan bagi pihak lain tersebut (meaningfull). B. Pengertian Dengan agak cermat melacak pemikiran sebagaimana diurai dalam sub-bab sebelum ini, maka secara sederhana dapat ditemukan pengertian psikologi sosial. Hal tak terbantahkan adalah bahwa studi ini merupakan hasil persentuhan psikologi dan sosiologi. Namun demikian, tidak lantas menjadikan ia dapat dipahami secara longgar dengan menempatkan sosiologi yang lebih mengedepan atau psikologi yang justru dikedepankan. Dalam tradisi awalnya, memang dari tinjauan sosiologis, psikologi sosial ini berada di wilayah paradigma fakta sosial. Paradigma ini meyakini bahwa tingkah laku individu manusia itu ditentukan oleh fakta sosialnya. Bagian terbesar dari dunia kehidupan sosial, terutama terkait nilai, norma, sistem sosial, keluarga, hukum, dan kebiasaan dalam pemikirian Durkheimian digolongkan sebagai fakta sosial. Emile Durkheim (1858-1917) adalah sosiolog besar pelopor paradigma fakta sosial dalam sosiologi. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa tindakan manusia itu selalu ditentukan oleh fakta sosial yang hidup di masyarakatnya. Fakta sosial ini memiliki kekuatan untuk membentuk individu

manusia. Manusia di posisi pasif dan hanya menerima fakta sosialnya dalam proses pembentukan dirinya. Dengan demikian maka, pengakuan kepada psikologi komunikasi diikuti oleh pengertian bahwa cabang ilmu baru ini merupakan telaah tentang efek psikologis individu manusia atas situasi sosialnya. Dalam pengertian ini, penganut paradigma fakta sosial sangat yakin bahwa individu merupakan produk masyarakat. Karenanya, Psikologi Sosial memiliki bidang kajian yang lebih ditekankan pada bagaimana masyarakat mempengaruhi jiwa individu manusia. Mengedepankan masyarakat sebagai pemroduk individu, sebenarnya sama halnya dengan keyakinan bahwa masyarakat sebagai gejala sosial itu tidaklah bisa dibahas oleh psikologi melainkan merupakan bahasan sosiologi. Masyarakat itu bentukan kesadaran kolektif dan bukannya individual. Masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok, terdiri dari kolektifitas manusia dan bukannya terdiri dari individu-individu yang kemudian penjumlahannya menghasilkan masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian psikologi sosial menjadi lebih lunak dalam arti lebih membuka diri untuk berkompromi dengan kenyataan bahwa sekalipun masyarakat memiliki kekuatan dalam 'membentuk' individu, tetapi harus diakui bahwa jiwa individulah yang membawa manusia menjadi sebagai makhluk berpikir. Sebagai makhluk berpikir tentu individu manusia memiliki kekuatan gagasan yang diarahkan kepada keadaan sebagaimana tujuan hidupnya. Manusia memiliki jiwa individu (individual mind), begitu juga kelompok (group mind). Keduanya berinteraksi saling tergantung dan saling mempengaruhi yang gerakan interaksi itu secara terus menerus menghasilkan konstruksi masyarakat. Secara bergantian dengan demikian masyarakat dan individu dapat saling membentuk. Atau, secara lebih singkat dapat dijelaskan bahwa masyarakat dan individu merupakan satu kesatuan yang saling mengkonstruksi. Dalam keyakinan ini, psikologi sosial mengarah pada pengertian sebagai bagian dari ilmu sosial terutama psikologi yang memiliki fokus kajian berupa psikologi individu dalam situasi atau konteks sosial. Artinya, dalam psikologi sosial, tekanan kajiannya terletak kepada psikologi individu manusia dalam kaitan manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, ada keyakinan bahwa psikologi sosial memiliki wilayah kajian tentang bagaimana individu manusia berproses mempengaruhi masyarakatnya. Sekedar mengingatkan, manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia yang dalam menjalani hidupnya selalu melakukan kontak dengan manusia lainnya. Interaksi antar manusia ini menjadi prasyarat hidup manusia. Masih ada sejumlah pengertian atau definisi tentang psikologi sosial yang dapat ditampilkan di sini, semisal sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia; sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman dan tingkah laku individu manusia dalam hubungannya dengan situasi perangsang sosial; sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu dalam masyarakat dan lain sebagainya. Sejumlah pengertian tersebut dikemukakan para peneliti terdahulu yang kurang penting disebutkan di sini. Menyimpulkan dari pengertian-pengertian di atas kita akan mendapatkan titik persamaannya yakni pada tingkah laku individu dan masyarakat. Hanya sedikit pengertian yang menyertakan psikologi dalam kaitan tingkah laku individu. Padahal, sangat eksplisit cabang ilmu ini menempatkan psikologi sebagai ilmu tentang jiwa manusia di depan kata sosial. Jadi dengan demikian maka sebenarnyalah Psikologi Sosial itu sebagai cabang ilmu psikologi yang melakukan kajian sosial. Sebagai pegangan dalam bahasan-bahasan selanjutnya maka dalam buku ini Psikologi Sosial diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang jiwa individu manusia di dalam konteks sosial. Konteks sosial dalam kaitan ini adalah situasi sosial masyarakat. Sedangkan titik tekannya adalah telaah tentang kejiwaan individu ketika ia hidup bermasyarakat. Psikologi sosial memberikan informasi penting tentang bagaimana faktor-faktor sosial mempengaruhi pemikiran, perasaan dan tindakan individual. Ia akan tumbuh tanpa kehilangan identitas khasnya sebagai bidang yang memberikan perhatian pada detail dari pengaruh interpersonal. Kajian tentang masyarakat tidak mungkin dilakukan tanpa

meletakkan perhatian pada proses-proses kognitif dan motivasional dari individu-individu anggota kelompok. C. Obyek Studi Jika mengacu pada pengertian Psikologi Sosial sebagaimana yang menjadi pegangan dalam buku ini, maka kajian cabang ilmu ini berfokus pada (1) sisi kejiwaan dari individu manusia, dan (2) konteks sosial di mana manusia itu hidup. Fokus yang kedua dapat diartikan sebagai masyarakat dalam bentuk kolektivistiknya. Sedangkan yang pertama merupakan sisi individualistiknya. Pengamatan atau kajian terhadap sisi kejiwaan manusia sebagai individu menyertakan sisisisi unik dari narasi dibalik tindakan. Manusia dilihat sebagai makhluk yang memiliki dunia gagasan, dunia abstrak yang sulit terlacak oleh penginderaan sesuai panca indera manusia kecuali dengan memahami dunia pemahamannya sendiri. Ini berarti bahwa individu manusia memiliki 'bagian dalam' yang harus dilihat dari aspek fenomena psikis yang tidak muncul bahkan adakalanya tidak tergambarkan dalam tindakan dan perilakunya. Hal ini terkait dengan keunikan individu manusia sebagai makhluk yang berpikir. Manusia sebagai makhluk berpikir tentu memiliki kebebasan dalam bertindak bahkan seakanakan tidak terbatas dan tanpa kendali. Ia merupakan makhluk aktif, kreatif sekaligus evaluatif dalam memilih tindakannya untuk mencapai tujuan-tujuannya. Hanya 'bagian dalam' itulah yang dapat menuntun sekaligus menjadi sumber dari tindakan manusia. Orang hanya akan mampu berkarya, memulai sesuatu untuk kemudian menciptakan sesuatu karena 'bagian dalam'nya itu. 'Bagian dalam' adalah bagian tak teraba namun dapat dirasakan sebagai suatu realitas fenomena psikis. Fenomena psikis menghasilkan tindakan sosial yang di antaranya adalah agresi dan kemarahan, altruisme, sikap persuasif, ketertarikan dalam hubungan sosial, atribusi, negosiasi, kerjasama dan persaingan, kepemimpinan dan kinerja kelompok, kepatuhan, prasangka, dan motiv-motiv. Dalam Psikologi Sosial, hal-hal tersebutlah yang meng-antara-i kita dapat melihat 'bagian dalam' individu manusia. Sejumlah tindakan sosial tersebut tentu perwujudannya dapat ditangkap indera setelah 'bagian dalam' itu bersentuhan dengan bagian luar yang berupa dunia kehidupan sosial manusia. Obyek kajian tentang dunia kehidupan sosial ini menempatkan manusia sebagai individu yang tidak terlepas dari lingkungan sosialnya. Interaksi sosial individu yang demikian kompleks akan memunculkan bentuk-bentuk perilaku. Jika manusia memiliki individual mind, sebagaimana telah disinggung di depan, dunia sosialpun memiliki group mind mengingat dunia sosial itu merupakan kolektivitas atau kelompok yang terdiri dari individuindividu. Masing-masing mind di balik tindakan dan perilaku individu maupun kelompok sangatlah kompleks dipahami. . Kompleksitas manusia inilah yang sejak dulu sudah menjadi bahasan psikologi karena salah satu tugas ilmu ini adalah memahami individu dalam kelompok sosialnya, memahami motivmotiv tindakan dan perilaku serta mencoba meramalkan respons manusia agar dapat memperlakukan manusia sebaik-baiknya. Jangkauan paling luas dari Psikologi Sosial adalah memahami kapasitas individu manusia dalam perilaku kelompok atau masyarakat sampai pada kemungkinannya dapat memanipulasi perilaku tersebut. Itulah sebabnya, sebelum memasuki pembahasan tentang dunia sosial manusia, dipandang memadai jika dibahas dulu sisi kejiwaan individu manusia. Bahasan dalam Bab 2 difokuskan pada sisi kejiwaan atau 'bagian dalam' dari manusia. Sisi ini dibahas karena memiliki perkaitan dengan dunia kehidupan sosial melalui tindakan-tindakan individu. Barulah setelah pembahasan tentang sisi kejiwaan individu kemudian dilanjutkan dengan pembahasan terkait dunia kehidupan sosial yang meliputi interaksi sosial, kelompok, masyarakat, dan kebudayaan.

. Pengertian Individu Sebagai Satu Kesatuan Pandangan bahwa manusia sebagai individu merupakan satu kesatuan dari aspek fisik atau jasmani dan psikis atau rohani atau jiwa yang tidak dapat dipisahkan sesungguhnya sudah berkembang pada masa pemikiran para filsuf klasik sejak zaman Yunani Kuno. Mereka berpandangan bahwa bagian fisik atau jasmani merupakan aspek individu yang bersifat kasat mata, konkret, dapat diamati, dan tidak kekal, sedangkan aspek psikis, rohani atau jiwa merupakan aspek individu yang sifatnya abstrak, immataerial, tidak dapat diamati, dan kekal. Plato (427-347 SM) membagi jiwa ke dalam tiga aspek kekuatan, yaitu : a. Pikir atau kognisi yang berlokasi di kepala b. Kehendak yang berlokasi di dada c. Keinginan yang berlokasi di perut Pembagian jiwa oleh Plato di atas kemudian dikenal dengan istilah pendekatan trikotomi (tiga dalam satu). Pada perkembangan selanjutnya, seorang filusuf terkenal yang juga murid Plato, Aristoteles (384-322 SM), mengemukakan hasil pemikirannya tentang pembagian jiwa yang agak berlainan dengan gurunya. Menurut Aristoteles, gejala jiwa tidak dibagi ke dalam tiga aspek melainkan menjadi dua aspek saja, yaitu : a. Kognisi, disebut juga sebagai gejala mengenal, yang terpusat pada pikir b. Konasi, disebut juga gejala menghendaki, yang berpusat pada kemauan. Pandangan Aristoteles yang melakukan pembagian jiwa menjadi dua bagian dikenal dengan istilah pendekatan dikotomi (dua dalam satu), yang bermakna bahwa jiwa dan raga memiliki hubungan yang sangat erat, keduanya saling mempengaruhi dan berkembang bersama-sama. Sarwono berpendapat manusia sebagai individu yang sempurna berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya, ia mempunyai fungsi mengingat dan fungsi merealisasikan diri yang menyebabkan manusia dapat berkembang ke arah yang dikehendakinya (Sarlito, 2007: 21)

DUALISME SIFAT MANUSIA Filsafat Antropologi Oleh : Iman Solahudin

Pendahuluan Para Sosiolog dalam bidang filsafat sosial telah menemukan inti pati kehidupan bersama sebagai proses interaksi dan usaha, yang berpangkal pada diri manusia sendiri. Ada 2 pandangan di sini yaitu organisme dan mekanisme. Dalam pandangan organisme, manusia disudutkan atau dikemudiankan. Masyarakat, yang berdiri dan berkembang sendiri menurut hukum imanen, memerintah dengan mutlak anggotanya. Masyarakat dilihat sebagai kesatuan yang nyata ada dalam dirinya dan memiliki prioritas atas individu. Individualitas seseorang seluruhnya dihayati dalam ketergantungan mereka dari masyarakat. Istilah

terkenal, zoon politicon, yaitu makhluk yang tergantung dari polis (kota atau kota negara). Sedangkan pandangan mekanisme muncul sebagai reaksi paham organisme, di sini ia melihat manusia dari segi ketergantungannya saja. Kebebasan dan otonomi individual sedemikian ditekankan, sehingga pada gilirannya masyarakatlah yang disudutkan dan dikemudiankan, atau dianggap tidak mempunyai realitas dalam dirinya sama sekali. Dapat disimpulkan bahwa pandangan pertama menghasilkan Sosiologi tanpa manusia, sedangkan pandangan kedua menghasilkan Sosiologi tanpa masyarakat. Teori interaksi, melihat masyarakat sebagai proses dinamis dimana manusia adalah aktor (pelaku) dan penanggungjawab, hendak mempersatukan aspek individual dan aspek sosial ke dalam hidup yang satu dan sama. Titik tolak Sosiologi bukan masyarakat, bukan individu, melainkan kehidupan manusia yang serentak sosial dan individual. Isi Emile Durkheim sempat menuliskan karangannya sebelum meninggal yang berjudul Le Dualisme De La Nature Humaine Et Ses Conditions Socials (Sifat serba dua kodrat manusia dan kondisi-kondisi sosialnya). Ia menyatakan dengan tegas bahwa masyarakat dan individu tidak merupakan dua wilayah yang terpisah dan berlainan. Namun kesatuan mereka tidak membenarkan kesimpulan bahwa entah masyarakat bertepatan dengan individu atau individu bertepatan dengan masyarakat. Dua unsur konstitutif yaitu jiwa dan badan, membentuk kodrat manusia. Secara spontan tiap-tiap orang merasa bahwa kedua hal tersebut pada prinsipnya berlainan, bahkan bertentangan. Yang satu sering meminta pengorbanan dari yang lain. Semua kebudayaan di dunia memisahkan suatu tata rohani dari suatu tata jasmani. Yang pertama berkaitan dengan Allah atau alam baka, sedangkan yang kedua berkaitan dengan alam kebendaan yang bersifat fana. Dualisme ini merupakan gejala universal! Justru karena itu, kita tidak boleh meremehkannya dan memandangnya ilusi atau false consciousness saja. Psikologi juga membenarkan sifat serba dua manusia sebagai kenyataan. Di satu pihak manusia memiliki penginderaan-penginderaan konkret dan kecenderungan biologis atau jasmani. Di pihak lain, kenafsuan biologis mendorong orang ke arah pemuasan kebutuhan fisik, sedang di lain pihak nilai-nilai spiritualantara lain norma-norma etikmelangkahi alam kebutuhan fisik yang individual itu dan menempatkan perilaku manusia dalam cakrawala yang supraindividual. Tata alam spiritual itu bersifat umum, yaitu dibagi dengan orang lain, sedang tata alam penginderaan dan kenafsuan bersifat individual. Jadi manusia menghadapi dua kenyataan. Oleh karena itu manusia disebut homo duplex yaitu manusia serba dua atau manusia berganda. Durkheim mempertanyakannya, apa yang menyebabkan dualitas atau keserbaduaan itu? Apa sebabnya manusia merasa diri hidup dalam dua tata sekaligus, yaitu yang bersifat fisik biologis, dan yang lain spiritual budaya? Durkeim sendiri yang menjawabnya, bahwa tidak benar BADAN mendasari alam yang pertama, dan JIWA mendasari alam kedua! Durkheim menyangkal teori jiwa! Bukan jiwa, melainkan masyarakat yang terpisah dari individu, menghasilkan kesan seolaholah di atas dan di luar individu masih ada alam nilai-nilai yang tidak berakar di

dalam dia. Dalam diri manusia pengaruh orang lain dan predisposisi individual bertemu dan menjadi satu. Sifat serba dua hidup manusia berdasarkan kedua aspek dari hidupnya yang satu, yaitu aspek sosial dan aspek individual. Dari kedua aspek itu, faktor pengaruh masyarakat adalah faktor yang paling penting dalam Sosiologi Durkheim. Berikut ini adalah pandangan beberapa filsuf mengenai keserbaduaan (dualisme) dalam diri manusia: 1. Plato Jiwa itu ialah aku spiritual. Jiwa diturunkan ke dalam badan, entah karena kesalahan apa. Jiwa menguasai badan, seperti kuda atau perahu. Badan dievaluasi secara agak negatif, dan bukan-sempurna. Jiwa dibagi menjadi 3, yaitu jiwa intelektual (rohani, di dalam kepala), jiwa sensitif (emosi-emosi, di dalam dada), dan jiwa vegetatif (di dalam perut). Plato tidak menyangkal kesatuan intim antara badan dan jiwa, namun hubungan tersebut bersifat aksidental, dengan dipentingkannya jiwa yang spiritual. 2. Descartes Berpangkal dari ideae clarae et distinctae, dia sampai pada dua ide yang bersifat demikian, yaitu cogitatio (pikiran) dan extensio (keluasan). Manusia ialah substansi berpikir (res cogitans atau anima) dan substansi berkeluasaan (res extensa atau badan). Yang satu tidak dapat direduksikan kepada yang lainnya. Persatuan antara badan dan jiwa itu hanya terjadi di dalam kelenjar buntu. Sebenarnya, Descartes menerima kesatuan erat namun hanya diketahui dari pengalaman konkret, dan itu di luar bidang filsafat ilmiah. Pada taraf filsafat sendiri hubungan itu sangat aksidensial dan dualistis, hanya bisa diterangkan dengan menerima Tuhan Allah. 3. Malebranche Malebranche hanya meneruskan dan meruncingkan dualisme dualisme Descartes. Hubungan antara jiwa dan badan hanya pura-pura saja. Kegiatan dan kesesuaian mereka dicocokkan oleh Tuhan: occasionalisme. 4. Spinoza Mempertahankan dualisme itu secara lain, yaitu dalam bentuk monisme. Hanya ada satu substansi saja yang merangkum seluruh realitas. Substansi itu memuat atribut-atribut yang berwarna-warna, antara lain pikiran juga keluasan. Dari atribut-atribut itu keluarlah modus-modus yang paralel satu sama lain secara sistematis. Jiwa dan badan dipandang sebagai modus-modus (atau cara-cara) begitu, yang kegiatannya tetap paralel, tanpa ada hubungan sedikitpun. 5. Leibniz Seluruh realitas terdiri dari monas-monas, yaitu entia simplicia dengan kegiatan yang melulu bersifat imanen saja (sinefenestris). Di dalam manusia itu, jiwa merupakan monas sentral, dengan pikiran; badan dibentuk oleh kumpulan monas-monas yang lebih kasar. Kegiatan di antara badan dan jiwa dicocokkan satu sama lain oleh Tuhan: harmonie pre-etablie. Kemudian,

Leibniz berusaha mencari suatu ikatan substansial, namun yang diterangkannya hanya merupakan tambahan ekstrinsik. Kesimpulan Untuk mencari dasar hakiki dualitas di dalam diri manusia, yang diungkapkan dengan badan dan jiwa, maka titik tolak ialah kesadaran dan pengakuan manusia mengenai diri-dan-yang-lain. Akan tetapi perlu diteliti mulai dari dasarnya. Yang paling dekat dengan manusia ialah manusia atau aku sendiri. Jika memang ditemukan kerohanian dan kejasmanian di dalamnya, maka itu berarti menemukan arti dan nilainya yang pertama dan asali. Jalan ini jauh lebih ilmiah daripada mengandaikan pengertian kerohanian dari malaikat dan mengambil pengertian kejasmanian dari hewan. Manusia lebih diketahui daripada malaikat atau hewan.

Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Sedangkan menurut Al-Farabi dan Ibnu Zina objek pemikiran menjadi objek sesuatu yang mungkin ada karena yang lain, dan ada karena dirinya sendiri. Referensi tentang kesemuanya itu cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya lebih di jelaskan. Yang natural ontologi akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental. Adapun metode dalam ontology menurut Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan. Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut: Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan. C. Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Ontologi Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Dimana awal mula alam pikiran orang Yunani telah menunjukkan perenungan dibidang ontology seperti yang kita kenal Thales atas perenungan terhadap air yang merupakan subtansi terhadap asal mula dari segala sesuatu. Asalnya air dapat di amati dari beberapa bentuknya. Air dapat menjadi benda halus berbentuk uap, ia juga dapat menjadi cair bahkan dapat menjadi benda keras berupa es, Secara totalitas air dapat dijadikan sumber kehidupan seluruh makhluk hidup, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun manusia. Para filosof selalu mencari apa yang pertama yang ada dibelakang yang ada

dan bersifat hakikih atau dasar yang dibelakang segala yang ada. Berpijak dari alasan Thales, ontology merupakan cabang filsafat yang mendeskripsikan hakekat wujud. Di mana ilmu pengetahuan dari segi ontology selalu mengkaji yang telah diketahui atau yang ingin diketahui. Dari fenomena yang terjadi disekitarnya manusia melakukan berbagai aktifitas untuk mengetahui apa sebenarnya di balik apa yang diraba oleh pancaindranya, sebab ilmu hanya mengkaji ada bagian yang bersifat empiris yang dapat diuji oleh pancaindra manusia. Ontologi merupakan kawasan ilmu yang tidak bersifat otonom, ontology merupan sarana ilmiah yang menemukan jalan untuk menagani masalah secara ilmiah. Oleh karena itu ontologis dari ilmu pengetahuan adalah tentang obyek materi dari ilmu pengetahuan itu adalah hal-hal atau benda-benda yang empiris. Adapun dalam pemahaman ontology dapat dikemukakan dengan Pandangan Pokok Pikiran sebagai berikut: 1) Menoisme, Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu adalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa meteri atupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masingmasing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkmbangan yang lainnya. Istilah monoisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi kedalam dua aliran. a. Meterialisme, aliran ini menggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani, aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. b. Idealisme, Sebagai lawan materialisme adalah aliran idialisme yang dinamakan dengan spritualisme. Idialisme berarti serba cita, sedang spritulisme berarti ruh. 2). Dualisme, setelah kita memahami bahwa hakikat itu satu (monisme) baik materi ataupun ruhani, ada juga pandangan yang mengatakan bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini disebut dualisme. Aliran ini berpendapat bahwa terdiri dari dua macam hakikat sebgai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani. Pendapat ini mula-mula dipakai oleh Thomas Hyde (1770). 3). Pluralisme, paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui semua macam bentuk itu adalah semua nyata. pluralisme dalm Dictionory of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang mnyatakan bahwa keyataan ala mini tersusun dari banyak unsure, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxa goros dan Empedocles yang menyatakan bahwa subtansi yang ada itu berbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. 4). Nihilisme, bersal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui viliditas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Tuegeniev dalam novelnya Fathers and Childern yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novelnya itu Bazarov sebagai tokoh sentral mngatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima ide nihilisme.. Tokoh aliran ini adalah Friedrich Nietzsche (1844. 1900 M) dilahirkan di Rocken di Prusia, dari kelurga pendeta dalam pandangannya bahwa Allah sudah mati Allah kristiani dengan segalah petrintah dan larangannya sudah tidak mrupakan rintangan lagi. 5). Agnosticisme, paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata Agnosticisme berasal dari bahsa Grik Agnostos yang berarti unknown. artinya not artinya know. Timbulnya aliran ini karena belum dapatnya orang menegnal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdidri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini menyagkal adanya kenyataan mutlak yang bersifat transcendent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaan, Hiedegger, Setre dan Jaspers. yang dikenal sebagai julukan bapak filsafat.

You might also like