You are on page 1of 66

1993

82. Infeksi Nosonomial (I) International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Januari 1993
Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary
5. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Dr Cipto Mangunkusumo
dengan Sumber Daya Minimal – Robert Utji
8. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Persahabatan, Jakarta – H
Thamrin Hasbullah
13. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSUD Dr Soetomo, Surabaya
– Djoko Roeshadi, Alit Winarti
16. Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Mitra Keluarga,
Jakarta – Hartati Kurniadi
18. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSU Bekasi –Dean Wahyudi
Satyaputra
21. Sterilitas Udara Ruang Operasi dan Peralatan Bedah serta Higiene
Petugas Beberapa Rumah Sakit di Jakarta – Pudjarwoto Triatmodjo
25. Peranan Laboratorium dalam Pencegahan dan Penanggulangan
Infeksi Nosokomial – Dalima Ari Wahono Astrawinata
28. Kebiasaan Cuci Tangan Petugas Rumah Sakit dalam Pencegahan
Karya Sriwidodo Infeksi Nosokomial–DAnwar Musadad, Agustirta Lubis, Kasno-
dihardjo
32. Air sebagai Sumber Kontaminasi – Usman Suwandi
36. Infeksi pada Transplantasi Ginjal dan Pencegahannya – R.P.
Sidabutar, Suhardjono

39. Dampak Proses Chlorinasi Air pada Kesehatan – Inswiasri,


Agustina Lubis
42. Manifestasi Mata Penyakit Sistemik – Hilman Taim
45. Bank Mata – Sidarta Ilyas
49. Evaluasi Pemakaian Kelabu Dipoles Permethrin untuk Penang-
gulangan Malaria dengan Vektor An. sundaicus di Lampung –
Santiyo Kirnowardoyo, Panut, Hasan Basri, Adi Waluyo
53. Sensitivitas Plasmodium fal,ciparum terhadap Beberapa Obat Anti
Malaria di Desa Pekandangan, Jawa Tengah – Emiliana.T., Sekar
Tuti, M Renny, PR Arbani, Harijani AM

57. Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran Tahun 1992


61. Humor Kedokteran
62. Abstrak
64 RPPIK
Mungkinkah seseorang yang dirawat di rumahsakit menjadi ber-
tambah penyakitnya? Suatu pertanyaan yang kedengarannya aneh; tetapi
bila direnungkan lebih dalam, hal tersebut tidaklah mustahil – bukankah
rumahsakit merupakan tempat berkumpulnya berbagai jenis penyakit,
baik yang menular maupun yang tidak?
Tentu saja kemungkinan di atas merupakan hal yang sedapat mungkin
dihindari, karena bukan saja akan menambah biaya perawatan, tetapi
lebih-lebih akan memperberat penderitaan pasien yang bersangkutan.
Jadi usaha yang dilakukan tidak cukup dengan usaha pengobatan saja,
tetapi meliputi juga tindakan pencegahan terjadinya infeksi yang terjadi
di rumahsakit yaitu infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial merupakan masalah, terutama di rumahsakit-
rumahsakit besar yang merawat pasien dengan berbagai jenis penyakit,
baik yang menular maupun yang tidak. Masalah ini harus selalu dipantau
dan dicegah sedapat mungkin, antara lain dengan menerapkan tindakan
asepsis, mengurangi tindakan invasif dan – yang tidak kurang pentingnya
– membiasakan para petugas berperilaku higienis.
Masalah ini merupakan pokok bahasan edisi ini, meliputi pengalaman
di berbagai rumahsakit, pemeriksaan laboratorium yang relevan dan
kemungkinan sumber infeksi; semoga bahasan ini berguna bagi para
sejawat agar tidak menjadikan pasiennya bertambah sakit.
Redaksi
Untuk memperluas jangkauan, maka sejak tahun 1993 ini, Cermin Dunia Ke-
dokteran tidak lagi hanya dibagikan oleh PT Kalbe Farma, tetapi juga oleh PT Dankos
Laboratories, PT Bintang Toedjoe, PT Hexpharm Jaya dan PT Pfrimmer Infusol
Indonesia.
Hal ini terlaksana berkat kerjasama dengan perusahaan-perusahaan farmasi
tersebut di aks; untuk itu Redaksi mengucapkan terima kasih, semoga dengan cara ini
Cermin Dunia Kedokteran dapat semakin luas dibaca dan dimanfaatkan.

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


1992

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

REDAKSI KEHORMATAN
KETUA PENGARAH
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. B. Chandra
Dr Oen L.H Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
KETUA PENYUNTING Jakarta. Surabaya.
Dr Budi Riyanto W – Prof. Dr. R.P. Sidabutar
PELAKSANA Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Sriwidodo WS Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Semarang.
TATA USAHA Jakarta.
Sigit Hardiantoro – Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi
– Drg. I. Sadrach
ALAMAT REDAKSI Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Majalah Cermin Dunia Kedokteran Jakarta.
Jakarta
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 – Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-
Telp. 4892808 darmo – DR. Arini Setiawati
Fax. 4893549, 4891502 Bagian Farmakologi
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI,
NOMOR IJIN Jakarta,
Jakarta
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT REDAKSI KEHORMATAN
Grup PT Kalbe Farma
– DR. B. Setiawan – Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSc.
PENCETAK – Drs. Oka Wangsaputra – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PT Midas Surya Grafindo – DR. Ranti Atmodjo – DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge- to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174–9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ P.O. Box 3105
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih Jakarta 10002
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 3
English Summary
SURGICAL ROOMS AND SURGI- PRACTICE OF HAND-WASHING
CAL INSTRUMENTS STERILITY AND AMONG HOSPITAL PERSONNEL
PERSONNELS HYGIENE IN SEVERAL D. Anwar Musadad, Agustina
HOSPITALS IN JAKARTA Lubis, Kasnodihardjo
Research Centre on Health Ecology,
Health Research and Development
Pudjarwoto Triatmodjo
Board, Department of Health, Indonesia,
Health Research and Development
Jakarta
Center,- Department of Health, Indo-
nesia, Jakarta
A study on hand washing
In order to determine the practice among hospital per-
spread of infections in hospitals, sonnel has been done at 7 hos-
isolation of microorganisms were pitals in Jakarta. There were 415
carried out in various nursing respondents which consist of 293
rooms and surgical rooms, includ- paramedics and 122 medical
ing the surgical instruments. In doctors.
addition, a hand-swab test of This study found that 95.2% of
nursing personnel was con- paramedics and 41.8% of me-
ducted. dical doctors said that they
It was found that in the surgical always wash their hands before
operating rooms in several hospi- and after handling the patients.
tals,the bacterial count was more But according to our observa-
than 15CPLI/15',which was higher tion, most of them do not wash
than the required limit. Staphylo- their hands. The result of labora-
coccus was the most frequent tory examination showed that
contaminant. In addition, the 97.1% of paramedic hand-swab
bacterial count in several nursing contains microorganisms ranging
rooms varies between 10-300 from 19 x 102 to 15 x 106. It means
CPU/15'. that the handwashing practice
The hand swab test showed among hospital personnel has
that 34.4% of the nursing personnel not been adequate.
contaminated by nosocomial-
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 82: 28-31
causing microorganisms, such as
E. coil, Staphylococcus, Pseduo- Dam
monas, Proteus, Streptococcus
and molds such as Aspergillus sp.
Furthermore, several surgical
instruments were found to be
contaminated by bacteria.

Cemin Dunia Kedokt.1993 ;82: 21-4


st/olh

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Artikel

Pengendalian Infeksi Nosokomial


di RS Dr. Cipto Mangunkusumo
dengan Sumber Daya Minimal
Robert Utji
Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN Tangga Rumah Sakit dan sebagainya.


Infeksi Nosokomial (INOK) merupakan masalah yang besar Tujuan PPIN yang paling utama adalah mencegah terjadi-
di setiap Rumah Sakit. Apalagi di Rumah Sakit yang jumlah nya infeksi pada penderita di Rumah Sakit dan juga tenaga
penderita yang dirawatnya banyak dengan tenaga perawatnya kesehatan(3). Ketua PPIN adalah seorang Klinikus ahli penyakit
masih terbatas. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan prinsip- infeksi yang juga memperdalam pengetahuan epidemiologi dan
prinsip higiene kurang mendapatkan perhatian. mikrobiologi. Ketua PPIN harus diberi wewenang untuk meng-
Di Amerika Serikat dilaporkan INOK mencapai 5% per ambil keputusan penting yang berhubungan dengan INOK.
tahun bahkan mungkin lebih lagi, dengan angka mortalitas Jabatan Ketua tidak boleh terlampau singkat mengingat pro-
1%0); bagaimana di RS Dr. Cipto Mangunkusumo? Sebagai gram-program PPIN tidak dapat diselesaikan dalam waktu
ilustra'si di RSCM telah dilakukan surveilans terbatas selama 6 singkat.
bulan (1990) dengan hasil sebagai berikut : insiden berkisar Di dalam organisasi diperlukan juga seorang yang secara
antara 0 – 14,4% dan angka yang tertinggi INOKnya di Bagian khusus menangani soal dana untuk program serta kelancaran
Parasitologi dengan Sepsis(2). pelaksanaannya. Tugas PPIN adalah melaksanakan surveilans,
Rumah sakit dan profesi kesehatan mempunyai tanggung menentukan kebijakan-kebijakan dan cara-cara pencegahan
jawab moral untuk to do the patient no harm. Ini dapat terlaksana infeksi.
dengan memberikan pelayanan kepada setiap penderita dengan
standar profesi tertinggi. Standar profesi ini adalah dalam pro-
gram yang disusun dan dilaksanakan oleh PPIN seperti sur- Surveilans
veilans, pendidikan nosokomial kepada tenaga kesehatan, pe- Surveilans adalah pengamatan yang seksama pada waktu
lacakan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan sebagainya. Idealnya tenentu terhadap penderita yang dirawat di rumah sakit, tenaga
semua program yang disusun dijalankan secara utuh, tetapi me- kesehatan atau lingkungan rumah sakit untuk memperoleh data
nuntut dana yang besar; bagaimana dengan sumber daya mini- untuk ditabulasi dan dianalisa. Surveilans akan memberikan
mal? Dalam uraian berikut ini kita akan perhatikan masing- gambaran tentang INOK atau suatu KLB.
masing komponen program PPIN. Di RSCM surveilans terhadap penderita yang dirawat sudah
berjalan rutin secara Minis untuk memantau risiko infeksi pen-
ORGAMSASI PPIN derita operasi, infus, kateter. Surveilans mikrobiologi belum
Organisasi PPIN adalah bersifat lintas sektoral dan terintegrasi rutin dilakukan terhadap penderita kecuali penderita luka bakar,
di antara banyak disiplin pelayanan seperti dokter ahli penyakit dan lingkungan seperti di IGD, ruang rawat TST, dan ICU.
infeksi, administrasi Rumah Sakit, Perawat Pengendali Infeksi Surveilans mikrobiologi penting untuk mengetahui sumber pe-
(Infection Control Nurse), ahli mikrobiologi, ahli bedah, Farmasi nyebab INOK sehingga langkah-langkah pengendalian dan
Rumah Sakit, Unit Sterilisasi Sentral, Bagian Rumah pencegahan.
Dibacakan pada Seminar Terbatas Pengendalian Infeksi Nasokomial di Rumah
Saki: dengan Sumber Daya Minimal tanggal 22 Februari 1992 di Gedung
Perpustakaan Nasional Jakarta.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 5


Buku Panduan Gambar 2.
Segala keputusan PPIN sebaiknya dituangkan di dalam
sebuah buku panduan untuk setiap unit di Rumah Sakit. Buku ini
harus menjadi pedoman untuk diketahui dan dilaksanakan oleh
para tenaga kesehatan.
Isi buku ini memberikan petunjuk-petunjuk praktis seperti
petunjuk tentang cara cuci tangan yang baik; cuci tangan biasa
untuk merawat penderita tanpa tindakan invasif hanya perlu air
mengalir dan sabun; untuk tindakan invasif seperti pemasangan
infus, kateter dan sebagainya, cuci tangan dengan air mengalir,
sabun dan desinfekt.an. Apakah cuci tangan untuk tindakan
operatif harus pakai sikat, sabun air mengalir, desinfektan alkohol
dan waktu cuci tangan yang lebih lama.
Prioritas
PPIN harus melaksanakan banyak program; supaya efisien
dan efektif harus ditentukan prioritas. Berikut ini sebuah contoh
prioritas untuk langkah awal, lanjut sebuah rumah sakit dan
prioritas untuk macam-macam rumah sakit (Gambar 1 dan 2)(1).

Gambar 1.

Example of time spent in infection control activities in programs 1–2 years old,
by size and type of institution. After a program has been well established, less time
is needed for surveillance and reporting activities. Additionally, once infection
control manuals (hospitalwide and departmental sections) have been completed,
only annual review is necessary, so that administrative time can be decreased.
More time is then allocated to teaching, consulting, or special studies.

Gambar 3.

Examples of time spent in setting up infection control programs, by size and type
of institution. In setting up a program, much time is needed for surveillance and
reporting infections to establish baseline infection rates. Smaller institutions will
generally require less time to do total hospital data collection than will larger
facilities because of the increased complexity of care. Little time is spent in For an infection to occur, all three parts of the infection chain must be present,
teaching and consulting, partly because personnel do not know of the availability and all criteria must be met.
of the ICP. Administrative activities consume a great amount of time because of
the need to develop infection control manuals, in both hospitalwide manual and
the infection control sections of departmental manuals. Di dalam menentukan skala prioritas untuk melakukan
pengendalian, kita harus dapat tentukan faktor yang paling utama.
EPIDEMIOLOGI
Untuk pelaksanaan pengendalian dan pencegahan perlu Sumber
diketahui epidemiologi INOK. Kita akan melihat 3 faktor yang Sumber infeksi dapat berupa kuman, virus, protozoa dan
bersama-sama menentukan terjadinya INOK (Gambar 3). parasit yang terdapat di alam. Bahkan manusia sehat juga penuh

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


dengan kuman yang dianggap normal. Untuk penderita yang dikurangi 50%t`l. Peralatan yang kurang steril, air yang terkon-
imunokompromi, kuman normal pun dapat menjadi patogen ka- taminasi kuman, cairan desinfektan yang mengandung kuman,
rena daya tahan tubuh yang berkurang. Lingkungan kita terkenal sering meningkatkan risiko INOK.
dengan sumber kuman patogen yang paling besar. Bila PPIN
akan mengawasi semua sumber kuman dengan jalan memantau KESIMPULAN
secara rutin, biayanya akan sangat besar dan tidak praktis. Sekarang pertanyaan yang penting yang perlu dijawab :
Bagaimanakah Rumah Sakit dapat melakukan pengendalian
Penderita INOK dengan sumber daya yang minimal ?
Penderita selalu menjadi sasaran benih penyakit karena 1. Tujuan pengendalian harus diprioritaskan kepada penderita
biasanya keadaan tubuh yang lemah. Langkah pertolongan yang terlebih dahulu dan tidak pada tenaga kesehatan.
diberikan rumah sakit dalam perawatan penderita serba sulit 2. Untuk memutuskan mata rantai infeksi, prioritas utama
karena perawatan yang berlebihan akan meninggikan risiko adalah pada tenaga perawat dengan jalan mengubah perilaku
infeksi dan perawatan yang kurang akan melemahkan daya tahan menjadi lebih aseptik dan menjalankan peraturan-peraturan dalam
penderita. buku panduan secara konsekuen.
Dalam pengendalian INOK, penderita harus menjadi obyek 3. Surveilan penderita harus dibarengi dengan surveilan
yang paling utama : to do the patient no harm. Kita harus cepat bakteriologik supaya dapat ditemukan sumber infeksinya.
dapat menanggulangi atau mencegah infeksi dari luar maupun
dari dalam. Keadaan yang paling optimal adalah kalau penderita
dirawat secara khusus seperti di isolasi atau dilayani khusus
oleh perawat tertentu.
KEPUSTAKAAN
Cara Penularan 1. Castle M, Ajemian E. Hospital Infection Control. Principle and Practice.
Cara penularan melalui tenaga perawat ditempatkan se- 2nd ed. New York: Wiley Medical, 1987. hal 1-4.
bagai penyebab yang paling utama INOK. Penularan melalui 2. Made Nursari. Laporan Surveilans Nosokomial. RSCM, 1990.
tangan perawat dapat secara langsung karena tangan yang kurang 3. La Force FM. The Hospital Infection Control Committee. A personal view.
Hosp. Pract. 1977; 12(1): 135.
bersih atau secara tidak langsung melalui peralatan yang invasif. 4. Steere AC, Mallison GF. Hand washing practices for the prevention of
Dengan tindakan mencuci tangan secara benar saja, INOK dapat nosocomial infections. Ann. Intern. Med. 1971; 83: 683.

KALENDER PERISTIWA

May 3 – 6, 1993 – DERMATO-THERAPEUTIC UPDATE


'93 – INTERNATIONAL SYMPOSIUM
Nusa Indah Convention Centre Bali,
INDONESIA.
Secr.: Dept. of Dermatovenereology,
Faculty of Medicine, University
of Indonesia.
PO Box 4200/JATJG
Jakarta 13041
INDONESIA

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 7


Pengendalian Infeksi Nosokomial
di RS Persahabatan, Jakarta
H. Thamrin Hasbullah
UPF Ilmu Bedah, Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Di rumah sakit banyak dilakukan tindakan yang mengan-


Masalah Infeksi Nosokomial pada tahun terakhir ini telah dung risiko terjadinya infeksi nosokomial, seperti : operasi, tin-
menjadi topik pembicaraan di banyak negara. dakan invasif, berupa kateterisasi IV, kateterisasi saluran kemih,
Telah diketahui bahwa pengelolaan infeksi nosokomial me- atau endoskopi; dan pemeriksaan bahan-bahan infeksius.
nimbulkan biaya tinggi, baik yang ditanggung pihak penderita Justru dalam situasi lingkungan seperti inilah orang sakit yang
maupun pihak Rumah Sakit; bahkan di Amerika, infeksi noso- rata-rata daya tahan tubuhnya menurun harus dirawat agar ia
komial termasuk dalam 10 besar penyebab kematian. sembuh dari penyakitnya.
Di negara maju, angka kejadian infeksi nosokomial telah di-
jadikan salah satu tolok ukur mutu pelayanan rumah sakit. Izin INFEKSI NOSOKOMIAL
operasi suatu rumah sakit bisa dicabut karena tingginya angka Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita
kejadian infeksi nosokomial; pihak asuransipun tidak mau mem- selama/oleh karena dia dirawat di rumah sakit. Suatu infeksi pada
bayar biaya lebih yang ditimbulkan akibat infeksi nosokomial penderita barn bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial bila
sehingga pihak penderita sangat dirugikan. Dari literatur dapat memenuhi beberapa kriteria/batasan tertentu :
dilihat betapa seriusnya masalah ini di Amerika : Angka kejadi- 1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak
an infeksi nosokomial rata-rata 6%; rata-rata tambahan hari didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.
rawat adalah 4 hari, dengan tambahan biaya $ 1.800 per kejadian 2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak
infeksi. Angka kematian infeksi nosokomial mencapai 60.000 sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.
pertahun dengan pengeluaran biaya pelayanan tambahan $ 4 3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut baru timbul sekurang-
Miliard pertahun (Medical Care Journal, Juli 1988; 26: 7). kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan.
Di Indonesia, pengalaman di RSUD Dr. Soetomo Surabaya 4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelum-
menunjukkan bahwa dengan mengendalikan infeksi nosokomial nya.
pada Infeksi Luka Operasi (ILO) dapat dihemat biaya : 5. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda
1986 : Hari Rawat = 552 hari, biaya Rp. 136.000.000,– infeksi, dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika
1987 : Han Rawat = 416 hari, biaya Rp. 2.000.000,– dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu lalu, serta belum
pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.
PERMASALAHAN
– Rumah sakit merupakan tempat mondok segala macam FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
jenis penyakit. Ada dua faktor yang memegang peranan penting :
– Rumah sakit merupakan gudang kuman-kuman patogen. * Faktor Endogen :
– Kuman yang biasa mondok di rumah sakit umumnya kebal Faktor yang ada di dalam penderita sendiri seperti umur,
terhadap antibiotika, bahkan terhadap banyak antibiotika. sex, dan penyakit penyerta.

Dibacakan pada Seminar Terbatas Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah


Saki[ dengan Somber Daya Minimal tanggal 22 Februari 1992 di Gedung
Perpustakaan Nasional Jakarta.

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


* Faktor Eksogen : tik dan aseptik, dan ketrampilan dalam menerapkan teknik pe-
Faktor di luar penderita, seperti lama penderita dirawat di rawatan.
rumah sakit, kelompok yang merawat penderita, lingkungan,
peralatan, dan teknik medis yang dilakukan. Peralatan
Sangat perlu diketahui mengenai cara penggunaan, cara
Bagan 1. Sumber Infeksi d Rumah Sakit membersihkan dan mensterilkan, dan cara menyimpan dan
mempertahankan kesterilannya.

Lingkungan
Perlu diperhatikan: Kebersihan lingkungan, air yang di-
pakai, dan udara supaya tetap bersih, mengalir dan dengan
kelembaban tertentu. Dalam hal tertentu udara perlu disaring
(filtrasi).
Bahan yang harus dibuang (disposal) diusahakan tidak
menjadi sumber infeksi, misalnya dengan memakai kantong
plastik yang dapat segera ditutup, tempat-tempat sampah yang
tertutup, dan kadang-kadang perlu fumigasi atau pemusnahan
bahan.
Dalam pengendaliannya perlu diingat bahwa pencegahan
lebih baik daripada pengobatan, lebih mudah, lebih murah dan
tidak berbahaya baik bagi penderita maupun lingkungannya.
Caranya adalah dengan memutus mata rantai terjadinya
infeksi nosokomial :
– Meningkatkan pengetahuan personil rumah sakit tentang
infeksi nosokomial.
– Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang risiko
infeksi nosokomial bagi pasien yang dirawatnya.
– Melakukan semua standar prosedur kerja dengan benar dan
sempurna (SOP : perawatan, tindakan dan penggunaan/pemilih-
an alat-alat dan lain-lain).

Bagan 3. BREAKING THE CHAIN OF INFECTION

Penderita
Penting diketahui antara lain : keadaan umum, penyakit pe-
nyerta seperti DM, obesitas atau penyakit khronis lainnya, dan
keadaan kulit penderita, apakah normal atau ada luka. Kulit
normal sudah mengandung banyak kuman yang bisa menjadi
penyebab infeksi; ada kuman komensal, yakni kuman yang
"normal" berada dalam pori kulit. Jumlahnya dapat dikurangi
dengan cara perawatan kulit pra bedah dan pemakaian desin-
fektan. Sedangkan kuman pendatang yang berasal dari ling-
kungan terletak di permukaan kulit; ini dapat dihilangkan dengan
cara perawatan kulit pra bedah dan pemakaian desinfektan.
Staf rumah sakit
Dokter dan personil paramedis merupakan sumber infeksi
yang penting dalam terjadinya infeksi nosokomial; perlu diper-
hatikan kesehatan dan kebersihannya, pengetahuan tentang sep-

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 9


– Identifikasi penyebab infeksi nosokomial. – Penyimpulan data.
– Pemberian pengobatan yang tepat dan rasional. – Pelaporan/umpan balik.
– Mengikutsertakan penderita dan keluarga dengan mem- Dilaksanakan dengan terarah, tepat, tertib dan berkesinam-
berikan pengetahuan praktis tentang infeksi nosokomial serta bungan.
penyakit yang sedang diderita penderita, melalui PKMRS. Pada kejadian Luar Biasa perlu ditetapkan :
– Memberi petunjuk praktis pada pengunjung tentang hal-hal − Tata cara untuk melakukan identifikasi masalah.
yang perlu dijaga/dilakukan/dihindarkan pada waktu berkun- − Penetapan penyebab.
jung melalui papan pengumuman, kertas petunjuk di pintu, dan − Cara pemecahan masalah.
petugas informasi di ruangan. 5) Pendidikan personil.
Langkah-langkah pokok yang perlu dilaksanakan oleh rumah Peranan pendidikan personil sangat penting, karena pen-
sakit : cegahan infeksi nosokomial hanya dapat berhasil bila ada per-
1) Menetapkan kebijaksanaan. ubahan perilaku personil; hal ini memerlukan motivasi dan
Kebijaksanaan bahwa pengendalian infeksi nosokomial pengetahuan yang bisa diperbailci melalui pendidikan.
masuk dalam program prioritas di rumah sakit, dengan demikian
dapat dipastikan adanya dukungan sumber daya. Bagan 5. Mekanlsme dasar yang dlperlukan
2) Menetapkan struktur organisasi (Bagan 4). 1. Mekanisme dam pencegahan dan surveilans.

Bagan 4. Bagian Dasar Struktur Organisasi

Panitia Medik Pengendalian Infeksi (Dalin) mempunyai


tugas pokok menyusun kebijaksanaan dasar, tim Dalin mempu-
nyai tugas pokok menyusun prosedur, pendidikan, pemantauan,
sedang UPF bertugas melaksanakan prosedur.
3) Penyusunan rencana kerja, prosedur kerja.
Perlu ditetapkan prioritas masalah infeksi nosokomial yang
akan ditanggulangi dari masalah yang ada, misalnya :
– Infeksi Luka Operasi,
– Sepsis,
– Infeksi Saluran Kemih, Contoh : pada KLB :
– Pneumonia, − Digunakan analisis sebab akibat.
– dan lain-lain. − Ditambah analisis penderita.
Prosedur kerja yang perlu ditetapkan adalah : − Baru ditetapkan hipotesis penyebab.
– Cara pencegahan infeksi nosokomial. − Baru dilakukan intervensi.
– Cara pemantauan infeksi nosokomial (surveilans). − Dipantau hasilnya.
4) Pencatatan, pelaporan dan tindakan koreksi.
– Pengumpulan data. KESIMPULAN
– Penyusunan data. – Infeksi nosokomial dapat dikendalikan dan angka kejadian-
– Analisis data. nya dapat diturunkan dengan sepertiganya.
– Dengan biaya pengendalian yang murah dapat dihemat hari

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


rawat dan biaya pelayanannya. Pelaksanaan
– Dengan pengendalian infeksi nosokomial dapat dijaga dan Penataran diadakan bekerja sama dengan Bidang Diklat
ditingkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Rumah Sakit Persahabatan dan Bidang Perawatan Rumah Sakit
– Pengendalian infeksi nosokomial tidak terlalu sukar, asal Persahabatan, karena instansi ini sudah mempunyai anggaran.
setiap petugas rumah sakit dapat memahami dan menyadari Penataran dilaksanakan secara bertahap dengan pesertanya
peranannya masing-masing dan pengendaliannya dilakukan ialah para PRU seluruh UPF beserta wakilnya, dan para PRR
dengan terencana, terkoordinir serta terkendali. seluruh UPF beserta wakilnya.
Materi Penataran meliputi :
RUMAH SAKIT PERSAHABATAN
– Pengenalan tentang infeksiNosokomial secara menyeluruh.
Rumah Sakit Persahabatan merupakan rumah sakit tipe/
– Standar prosedur kerja perasat/tindakan seperti :
klas B, yang berfungsi sebagai top referral hospital untuk pe-
∗ Persiapan operasi.
nyakit thorax non kardial, dan juga merupakan pusat pendidikan
dokter ahli terutama Ahli Penyakit Paru serta tempat pendidikan ∗ Tindakan perasat invasif intra vena.
paramedis; untuk itu diadakan kerja sama dengan FKUI/RSCM. ∗ Tindakan perasat invasif kateterisasi kandung kemih.
Di sini banyak dilakukan tindakan dengan risiko infeksi bagi ∗ Perawatan luka operasi.
penderita seperti operasi, tindakan invasif, kateterisasi intra ∗ Pengambilan sampel infeksius dan cara pengirimannya.
vena, kateterisasi saluran kemih, endoskopi, dan lain-lain. ∗ Sanitasi.
∗ Pengambilan dan penyajian makanan.
Sarana yang menunjang – Uji coba surveilans tindakan invasif intra vena dan infeksi
1) Struktur Organisasi Rumah Sakit Persahabatan sudah leng-
luka operasi.
kap (Struktural dan Fungsional).
2) Rumah Sakit Persahabatan telah melaksanakan program
menjaga mute yang meliputi bidang administrasi dan bidang
pelayanan, baik untuk rawat jalan maiupun untuk rawat nginap. Tabel 1. Hasil Evaluasi Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Persahabatan
3) Telah dibentuk beberapa Komite Pendamping Pimpinan (Mel 1991)
untuk urusan khusus yakni : A. Invasif Intra Vena :
– Dewan Medik. I. Unit-unit/Ruang Rawat Biasa (Penilaian kasus yang masuk dalam 2
– Komite Medical Record. minggu).
– Komite Farmasi.
Penyakit
4) Pada bulan September 1989 telah dibentuk Komite Pengen- dalam
Anak Paru Kardiologi
dalian dan Penanggulangan Infeksi Nosokomial Rumah Sakit
Persahabatan. Jumlah Kasus 26 68 61 2

Terinfeksi – – 7 –
Kendala yang dihadapi
% – – 11% –
1) Komite Nosokomial beranggotakan 16 orang, yang telah
mengikuti penataran tentang infeksi nosokomial hanya 4 (empat) II. Ruang Rawat ICCU : dari 12 kasus (total), 3 kasus (terkena infeksi (25%).
orang.
2) Tidak ada dana sama sekali.

Cara kerja
1) Membuat program jangka pendek, yakni menyebarluaskan
pengetahuan tentang infeksi nosokomial melalui :
– Membagi dan menyebarkan pengetahuan tentang infeksi B. ILO (Infeksi Luka Operasi) pada operasi bersih/bersih terkontaminasi
nosokomial kepada seluruh anggota Komite. (12 Mel 1991 sd.10 Juni 1991)
– Mengisi acara Siang Klinik Dokter.
Operasi Bersih
– Mengisi acara Siang Klinik Paramedis. Operasi Bersih
Terkontaminasi
Ruang Jumlah
2) Membuat program jangka panjang yakni :
– Mengadakan penataran untuk paramedis semua UPF secara Jumlah Terinfeksi Jumlah Terinfeksi
bertahap. Bedah Kelas 26 – 2 – 28
– Mengirim tenaga PRU UPF ke Seminar dan Penataran Kebidanan Kelas 8 – – – 8
Nosokomial.
– Menyusun Buku Panduan. Cempaka A 13 – 1 – 14
– Mengadakan surveilans (terbatas). Cempaka B 39 – 1 1 40
– Mencari angka dasar infeksi nosokomial.
Jumlah 86 – 4 1 90
– Membuat peta mikroba kuman-kuman rumah sakit, beserta
resistensi testnya. Dari 90 kasus, yang terinfeksi 1 = 1,1%.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 11


C. Angka kejadian lnfeksi menurut lokasl ruang rawat dengan tindakan Lampiran 1.
Invasif intra vena (September 1988 ad. Oktober 1988) Tabel 1. Prevalensi Infeksl Nosokomial menurut Ruang Rawat dengan
tindakan Invaslf tertentu (September/Oktober 1988)
Plebitis
No. Ruangan Infus Jumlah Prevalenai
n % No. Ruangan LN Keterangan
KRSP (%)
1 Anak Atas 35 1 2,8 % 1 Kebidanan Klas II 10 – – Dengan antibiotik
2 Melati Atas 21 6 28,5 % 2 Kebidanan Umum 27 – – Dengan antibiotik
3 Melati Bawah 46 5 10,8 % 3 Bedah G.T 18 – – Dengan antibiotik
4 Mawar Atas 9 5 55,5 % 4 Bedah Cempaka A 42 – – Dengan antibiotik
Penyakit Dalam 5 Bedah Cempaka B 25 – – Dengan antibiotik
5 Mawar Kardiologi 9 7 77,7 % 6 Anak Atas 35 1 2,85 Dengan antibiotik
7 Anak Bawah 75 – – Dengan antibiotik
Sumber : Buku Simposiwn Keperawatan Oktober 1988, ha155. 8 Melati Atas 24 6 25 Dengan antibiotik
9 Melati Bawah 48 5 10,4 Dengan antibiotik
10 Mawar APD 14 5 35,7 Dengan antibiotik
11 Mawar Kardiologi 10 7 70 Tanpa antibiotik
HASIL
Jumlah 328 24 7,32
1. Anggota-anggota Komite Nosokomial sudah punya penge-
tahuan dasar yang lumayan. Keterangan : Pengamatan selama tiga minggu.
2. Tiap-tiap UPF sudah mempunyai tenaga inti sebagai pe-
Tabel 2. Proporsi Infeksi Nosokomial menurut Lokasi Infeksi dan Ruang
laksana pemantauan infeksi nosokomial. Rawat dēngan tindakan Invasif tertentu (September/Oktober
3. Pengendalian dan penanggulangan infeksi nosokomial su- 1988)
dah masuk dalam program menjaga mutu Rumah Sakit Per-
Kateterisasi Infus Operasi
sahabatan. No. Ruangan Keluar RS
4. Ala rasa kebanggaan pada UPF yang angka infeksi noso- n ISK n Fl n ILO
komialnya cukup rendah, hal ini merangsang minat UPF 1 Kebidanan Klas 10 3 – 7 – – 1
lainnya. 2 Kebidanan Umum 27 7 – 18 – 2 –
3 Bedah GT 18 TD TD 18 –
4 Bedah Cempaka A 42 TD TD 42 –
KEPUSTAKAAN 5 Bedah Cempaka B 25 TD TD 25
6 Anak Atas~ 35 – 35 1 TAK
1. Materi Penataran dan Latihan Pengendalian Infeksi Nosokomial Tingkat 7 Anak Bawah 75 – 75 – TAK
Nasional 5 Desember s/d 17 Desember 1988 di Surabaya oleh Dep.Kes RI 8 Melati Atas 24 3 – 21 6 TAK
dan RSUD Dr. Soetomo. 9 Melati Bawah 48 2 – 46 5 TAK
2. Palma MB. Infection Control : a policy and procedure manual. W.B 10 Mawar APD 14 5 – 9 5 TAK
Saunders Co. 1989. 11 Mawar Kardiologi 10 1 – 9 7 TAK
3. Lowbury EIL, Ayliffe GAJ. (eds.) Control of hospital infection. A practical
Handbook, 1975. Keterangan : TD = tidak diamati
4. Buku Simposium Keperawatan, Oktober 1988. Rumah Saki' Persahabatan. TAK = tidak ada kasus operasi
hal. 55. ISK = infeksi saluran kemih
5. Thamrin Hasbullah. PengenaanPengendalianInfeksiNosokomial.Dibacakan Fl = Flebitis
pada Sidang Klinik Dokter Rumah Sakit Persahabatan, 1989. ILO = infekri luka operasi

Life is half spent before we know what it is

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Pengendalian Infeksi Nosokomial
di RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya
Djoko Roeshadi, Alit Wlnarti
Panitia Medik Pengendalian Infeksi RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia

Prevention of nosocomial infection is primarily a matter of monitoring and improving


human practice, not killing germs more completely or buying better equipment and
supplies. (Haley)

PENDAHULUAN yang dilaksanakan baik oleh peserta PPDS I maupun perawat


Infeksi nosokomial sangat merugikan baik penderita mau- khusus dari 5 UPF besar ditambah dengan UPF Saraf yang telah
pun rumah sakit. Secara definisi, infeksi nosokomial adalah dilatih secara khusus. Untuk pelaksanaan program, dibentuk juga
infeksi yang didapat karena penderita dirawat atau pernah di- organisasi Dalin (Gambar 1).
rawat di rumah sakit.
Gambar 1. Bentuk Organisasi Panitla Pengendalian Infeksi Nosokomial
Dari data yang didapat dari surveilan WHO nyatalah bahwa
RSUD Dr. Soetomo.
angka kejadiannya cukup tinggi : 5% tahun atau 9 juta orang dari
190 juta yang dirawat; angka kematiannya cukup tinggi : 1 juta/
tahun; dan juga merupakan pemborosan yang besar.
Program pengendalian infeksi nosokomial di RSUD Dr.
Soetomo dimulai Januari 1986; surveilan dilakukan baik oleh
dokter untuk luka operasi bersih, maupun oleh perawat untuk
semua jenis infeksi nosokomial.

KRONOLOGI
Program ini dimulai tahun 1985; selama ± 1 tahun oleh ang-
gota panitia hanya dilakukan penelaahan kepustakaan dengan
tujuan untuk memperoleh kesatuan pendapat tentang infeksi
nosokomial. Pada periode ini telah berhasil disusun standar, baik
standar pelaksanaan perasat perawatan, standar diagnosis, stan-
dar surveilan maupun standar organisasi. Standar ini dapat ter-
laksana pembuatannya setelah melalui miniseminar yang diha-
diri oleh semua wakil-wakil UPF sehingga dicapai kesepakatan. MATERI DAN CARA
Pada tahun itu juga telah dilakukan surveilan untuk memper- Surveilan infeksi lukā operasi dilakukan UPF Bedah yang
oleh angka dasar kejadian infeksi luka operasi bersih di lingkup dilaksanakan tileh semua peserta PPDS I; jenis surveilan adalah
UPF Bedah dan UPF Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Pada continuous observation terhadap semua kasus bedah. Surveilan
tahun-tahun berikutnya telah dilakukan continuous surveillance untuk keseluruhan jenis infeksi nosokomial dilakukan oleh pe-

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 13


rawat di lima UPF tersebut di atas dan UPF Saraf. Tabel 2. Survelian Infeksi Luka Operasi oleh Perawat Januari 1989–Juni
1991 (6 UPF – 21 Ruangan)
Untuk pengumpulan data, dibuat lembar pengumpul data
yang berbeda antara LDP surveilan dokter (yang bersifat la-
pangan sempit tapi mendalam) dengan LDP perawat (yang
bersifat luas tapi dangkal).
Perawat yang melakukan surveilan adalah perawat khusus
setiap ruangan yang dilcoordinir oleh perawat dari bidang pera-
watan yang menjadi anggota panitiapengendalian infeksi rumah
sakit.
Semua hasil surveilan ini diserahkan kepada dan diolah oleh
Panitia Pengendalian Infeksi RSUD Dr. Soetomo sebelum di-
laporkan ke pimpinan rumah sakit.
Maksud dilakukannya dua surveilan sekaligus adalah untuk
mengembangkan sistim kontrol dalam program ini.
Hasil-hasil surveilan ini dikembalikan sebagai feed back
bagi UPF/Seksi-seksi dalam UPF dengan tujuan agar mereka
dapat menyadari penampilan (performance) mereka dalam pela-
yanan sehingga mereka dapat memperbaiki did; dengan demi-
kian diharapkan bahwa semua pihak alum berpartisipasi Waif Tabel 3. Survelian Perawat Januari 1989 – Juni 1991/I.V (6 UPF – 21
Ruangan)
dengan motivasi yang benar untuk mendukung pelaksanaan
program.

HASIL
Mulai dan 1985 s/d Desember 1991 telah diperoleh hasil
seperti tercantum di bawah ini (Tabel 1,2,3,4):

Tabel 1. Hasil surveilan Infeksi Luka Operasi bersih di UPF Bedah tahun
1985 s/d Desember 1989 oleh peserta PPDS I

Tabel 4. Survetlan Infeksi Saluran Kenih oleb Perawat Janwri 1989 –


Juni 1991(6 UPF–21 Ruangan)

PEMBICARAAN
Dari motto yang ditulis oleh Haley tampak jelas bahwa ke-
sadaran petugas untuk melaksanakan standar perasat perawat
adalah merupakan kunci pokok keberhasilan dari program pengen-
dalian infeksi nosokomial.
Dari hasil yang kita peroleh, hipotesa ini terbukti kebenaran-
nya. Dalam surveilan infeksi luka operasi bersih yang dilak-
sanakan oleh dokter dengan angka dasar infection rate 3,75%
pada tahun 1985, pada tahun 1986 didapatkan outbreak dengan lang ikan seperti yang tercantum dalam gambar 2; didapatkan
dugaan penyebabnya (risk factor) adalah penjadwalan, pember- dugaan penyebab (risk factor) adalah penjadwalan, pember-
infection rate 5,85%. Dalam keadaan ini dilakukan analisis tu- sihan alat dan ruangan, kerja CSSD dan persiapan kulit penderita.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Perbedaan yang ada, disebabkan oleh karena :
1) Pengamatan perawat hanya dilakukan selama penderita di-
rawat di rumah sakit, sedangkan pengamatan dokter dilakukan
sampai penderita pulang.
2) Populasi yang diamati oleh perawat tidak hanya di bagian
Bedah saja, sedangkan populasi pengamatan yang dilakukan
oleh dokter terbatas pada UPF Bedah.
Dari hasil pengamatan perawat terlihat penurunan angka
kejadian phlebitis dari 68,05% menjadi 7,23% di UPF Saraf;
Gambar 2. Mekanlsine pemecahan masalah
penurunan ini pada hakekatnya dapat terjadi karena setiap pent-
Setelah dilakukan perlakuan terhadap faktor tersebut, maka gas pelaksana pelayanan melaksanakan standar perasat pema-
didapatkan angka infection rate yang menurun dengan tajam sangan i.v. kateter sebailc-baiknya.
seperti tampak pada Gambar 1, sehingga pada tahun 1989 di- Di dalam program ini juga dicoba untuk menganalisa man-
dapatkan infection rate untuk infeksi luka operasi hasil) adalah faat program ini bagi penghematan dana; akibat infeksi noso-
0,83% tanpa pembelian antibiotika berlebihan; bahkan mulai komial, waktu perawatan bagi penderita infeksi nosokomial
tahun 1987 - 1991 ada policy penyempumaan penggunaan anti- bertambah (8 hari), ongkos harian bat7c untuk pembelian anti-
biotika dengan menekankan profilaksis primer sehingga dengan biotdca maupun pemeriksaan laboratorium dan perawatan jugs
demikiatl justru mulai tahun 1987 pemakaian antibiotika menittgkat; maka dengan gads kendali infection rate 3,74%
cenderung menurun dengan drastis. Dari risk factor tersebut di dapat dihemat dana sekitar 90 juta rupiah (tahun 1986). Apabila
atas jelas bahwa faktor kesadaran petugas claim melaksanakan garis kendali diambil 1,5%, maka penghematan yang didapat
standard operating procedure adalah sangat penting. adalah 180 juta rupiah total.
Hal yang sama dapat dilihat pada hasil-hasil surveilan yang Dari kenyataan-kenyataan di atas jelaslah bahwa pelaksanaan
dilakukan oleh perawat; sehingga proses ini jelas akan berhasil program pengendalian infeksi nosokomial merupakan program
apabila organisasi yang sudah dibentuk secara konsisten me- untuk mengendalikan mutu pelayanan rumah sakit yang perlu
laksanakan intervensi agar proses perubahan perilaku petugas dilaksanakan oleh setiap rumah sakit dalam ruang lingkup ma-
dapat terjadi tents menerus menuju standar yang berlaku. sing-masing.
Untuk memantau kesempurnaan pelaksana program maka
dipakai sistim kendali seperti bagan di bawah ini. RINGKASAN
Telah dilaporkan perjalanan program pengendalian infeksi
nosokomial di RSUD Dr. Soetomo mulai tahun 1986 - 1991
dimana didapatkan kenyataan bahwa :
1. Faktor dominan keberhasilan program adalah motivasi pe-
tugas untuk melaksanakan standar perasat keperawatan.
2. Program ini mampu mengendalikan pemborosan keuang-
an.
KEPUSTAKAAN

1. Djoko Roeshadi. Lipman Hasil Pengamatan Angka Kejadian Infeksi Luke


Operasi untuk Kasus-kauu Bedah Terencana di Laboratorium-UPF. Dmu
Bedah FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Simposium Nasimal
Infeksi Nosokomial, Surabaya, Juni 1988.
2. Haley RW. Managing Hospital Infection Control for Cost Effectiveness.
AHA,1986.
3. Pengendalian Infeksi NosokomiaL Simposium-Lokakarya National, Moh.
Malin Abdullah dick. (Ed.), Surabaya, 9 -11 Juni 1988.
Dari hasil surveilan perawat mengenai infeksi luka operasi 4. Snook ID. Hospitals: what they are and how they work. USA: Aspen Pub1,
1981.
nyata tidak ada perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan 5. Wilson L Quality Assurance and Review, Seminar. Australia, August 1982.
hasil yang dilakukan oleh dokter. 6. Wirawan S. Jaminan mum di Rumah Sakit, Bul PERSI 1984; 2: 7.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 15


Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial
di RS Mitra Keluarga, Jakarta
Hartati Kurniadi
RS Mitra Keluarga, Jakarta

PENDAHULUAN nosokomial. Oleh sebab itu sejak bulan Desember 1991, mulai
Rumah Sakit Mitra Keluarga adalah rumah sakit swasta dipikirkan bentuk organisasi yang kira-kira cocok untuk RSMK.
yang dibangun dan diasuh oleh Yayasan Mitra Keluarga. Rumah Maka pada bulan Januari 1992, diresmikanlah organisasi
Sakit ini diresmikan oleh Gubemur DKI, Bapak Wiyogo Atmo- tersebut dengan susunan sebagai berikut :
darminto pada tangga125 Maret 1989. Ketua Tim : Dr. Jan Tambajong.
Pada saat diresmikan, rumah sakit ini terdiri dari 5 lantai Ketua Pelaksana Harian : Dr. Hartati Kurniadi.
dengan kapasitas 100 tempat tidur, kemudian pada bulan April Pelaksana Harlan : Para Koordinator Lantai.
1991 menjadi 6 lantai dengan kapasitas 152 tempat tidur, lalu Pelaksana Ruangan : Perawat-perawat di Ruangan.
bulan November 1991 menjadi 7 lantai dengan kapasitas 212 Meskipun organisasi ini baru diresmilcan pada bulan Januari
tempat tidur dan sejak bulan Februari 1992 menjadi 8 lantai 1992, tetapi sejak bulan Desember 1991, tim ini sudah mulai
dengan kapasitas 254 tempat tidur. Karena keterbatasan ruang- berjalan meskipun dengan sepia keterbatasannya.
an, maka Rumah Sakit Mitra Keluarga hanya membedakan Pencegahan infeksi nosokomial di RSMK terutama ditujukan
ruangan-ruangan atas ruangan anak dan dewasa serta ruangan untuk kepentingan operasional yang berkaitan dengan peningkatan
infeksi dan non infeksi; tidak ada ruangan khusus penyakit mutu pelayanan (quality assurance) yang kini masih terbatas
dalam, penyakit syaraf, penyakit bedah dan sebagainya. pada aspek surveilans. Tujuan surveilans tersebut adalah untuk
Makalah ini tidak akan membahas infeksi nosokomial dari memantau sejauh mana keadaan aseptik/steril di bagian-bagian
segi ilmiahnya, tetapi lebih merupakan suatu laporan tentang tertentu dari RSMK telah tercapai agar dapat diambil langkah-
pengalaman kegiatan awal Tim Pencegahan Infeksi Nosokomial langkah perbaikan manajemennya.
di Rumah Sakit Mitra Keluarga. Upaya pencegahan infeksi nosokomial di RSMK secara
umum meliputi :
UPAYA PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL 1. Mengingat kembali tentangkemungkinan terjadinya infeksi
Untuk memberikan kualitas pelayanan yang lebih baik ter- nosokomial akibat tingkah laku personil rumah sakit (medik dan
hadap pasien, maka sejak tahun 1990, salah satu cara pencegahan paramedik).
infeksi nosokomial yang dilakukan adalah, mengikutsertakan Perawat dan dokter yang telah mengikuti Simposium Pengen-
perawat-perawatdan beberapadokterdalam Simposium Pengen- dalian Infeksi Nosokomial secara bergantian memberikan ilmu
dalian Infeksi Nosokomial. Ketnudian para peserta simposium yang mereka peroleh lalu dilanjutkan dengan diskusi.
tersebut mencoba mempraktekkannya di RSMK, meskipun pada 2. Keharusan untuk mentaati prosedur pelayanan yang telah
waktu itu dari pengamatan jarang sekali terdapat kasus infeksi ditetapkan.
nosokomial. Pemantauan pelaksanaan prosedur pelayanan.
Melihat perkembangan jumlah pasien serta kapasitas tempat 3. Peningkatan kemampuan opersonil.
tidur di RSMK, dan untuk tetap menjaga mutu pelayanan rumah Pendidikan dan pelatihan dalam bidang infeksi nosokomial.
sakit maka pada bulan November 1991 dipikirkan perlunya 4. Pemantauan terjadinya infeksi nosokomial.
membentuk suatu organisasi khusus untuk pencegahan infeksi Dilakukan pengamatan tentang kemungkinan terjadinya

Dibacakan pada Seminar Terbatas Pengendalian lnfeksi Nosokomial di Rwnah


Saki, dengan Sumber Daya Minimal tanggal 22 Februari 1992 di Gedung
Perpustakaan Nasional Jakarta.

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


infeksi nosokomial di Iantai-lantai perawatan dan ICU. ORGAMSASI PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL
Yang dicatat sebagai infeksi nosokomial adalah semua ka-
sus infeksi yang terjadi sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam STRUKTUR ORGANISASI
dirawat di rumah sakit atau pada waktu masuk tidak didapatkan
tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. Meskipun kultur tidak DIREKTUR
mendukung ke arah infeksi nosokomial, tetap dicatat sebagai Dr. Jan Tambajong
infeksi nosokomial.
5. Penelitian terhadap infeksi nosokomial. KETUA PELAKSANA HARIAN
Ella terdapat kecurigaan adanya infeksi nosokomial, maka Dr. Hartati Kurniadi
dilakukan pemeriksaan laboratorium yang dianggap perlu. Se-
lain itu secara teratur diadakan uji sterilitas ruangan dan peralat- PELAKSANA HARIAN
an di RSMK. Koordinator Lantai Perawatan dan ICU
MASALAH DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSO- PELAKSANA RUANGAN
KOMIAL DAN UPAYA UNTUK MENGATASINYA Para Perawat di Lantai Perawatan dan ICU
1. Organisasi ini masih sangat muda sehingga masih harus
belajar banyak pada ahlinya. Dipikirkan kemungkinan untuk
belajar dan langsung melihat cara pemantauan di RS Dr. Cipto TUGAS :
Mangunkusumo.
2. Pengetahuan petugas rumah sakit mengenai infeksi noso- DIREKTUR :
komial masih belum mantap. Akan diusahakan lagi pendekatan 1. Bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan upaya pen-
secara berkelompok atau secara individu. cegahan infeksi nosokomial.
3. Masih ada petugas yang belum mengikuti semua prosedur 2. Menentukan kebijaksanaan.
pelayanan yang telah ditetapkan. Koordinator lantai akan tetap 3. Mengadakan evaluasi kebijaksanaan.
memantau secara random dan sekaligus mengingatkan kembali
prosedur yang seharusnya dilaksanakan. KETUA PELAKSANA HARIAN :
1. Melaksanakan kebijaksanaan berdasarkan prosedur kerja.
PEMBICARAAN 2. Koordinasi dengan para koordinator lantai perawatan dan
Sampai saat ini, tim pencegahan infeksi nosokomial RSMK ICU.
masih harus belajar banyak agar dapat menyqjikan laporan dan 3. Memberikan saran kepada Direktur untuk pengembangan
data yang setepat mungkin. Untuk itu sebagai langkah berikutnya prosedur kerja dan perbaikan yang dianggap perlu.
adalah membetulkan laporan yang saat ini dibuat. Dari formulir 4. Menganalisa data.
pencatatan kasus infeksi nosokomial, yang akan dicatat setiap 5. Mengadakan pertemuan rutin minimal sebulan sekali.
hari adalah pasien barunya saja; kemudian bila ada yang me- 6. Memberikan laporan bulanan kepada Direktur mengenai
nunjukkan infeksi nosokomial, maka nama pasien tersebut di- hasil pencegahan infeksi nosokomial.
catat di kolom yang tersedia sesuai dengan perlakuannya (kate- PELAKSANA HARIAN (Koordinator Lantai/OK/ICU) :
terisasi/infus dan sebagainya). 1. Mengawasi pelaksanaan prosedur kerja di ruangan masing-
Selama bulan Desember 1991, dari 223 operasi (seluruh masing.
operasi) terdapat satu kasus infeksi nosokomial (0,45%). 2. Memberi koreksi bila petugas di ruangan tindakannya tidak
Dari hasil uji sterilitas, selalu ada perbaikan tetapi belum sesuai dengan prosedur kerja.
100% memuaskan; untuk iw tindakan desinfeksi perlu lebih di- 3. Mengumpulkan data dari ruangan.
perhatikan. 4. Setiap minggu memberikan laporan kepada Ketua Pela-
Melihat hasil infeksi nosokomial yang cukup rendah, apakah ksana Harian.
dokter-dokter RSMK sudah berani untuk percaya sepenuhnya
akan tindakan asepsis dan antisepsis yang dilakukan di RSMK? PELAKSANA, RUANGAN :
Selain mungkin ada baiknya untuk mulai dipikirkan juga 1. Melaksanakan prosedur kerja dengan sebaik-baiknya.
pemberian obat standar. 2. Bertanggung jawab kepada Koordinator Lantai.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 17


Pengendalian Infeksi Nosokomial
di RSU Bekasi
Dean Wahjudy Satyaputra
Panitia Pemantauan Infeksi Nosokomial Rumah Sakit Umum Kabupaten DT. II Bekasi, Jawa Barat

PENDAHULUAN pengendalian infeksi nosokomial di RSU Bekasi di masa-masa


Tujuan umum Rumah Sakit Tipe C adalah peningkatan dan mendatang.
pemantapan pelaksanaan upaya kesehatan yang bersifat pe-
nyembuhan serta pemulihan pasien. Khususnya bagi pasien MENGENAI RUMAH SAKIT UMUM (TIPE C) KABU-
yang memerrukan rujukan di daerah. Mengingat tujuan di atas, PATEN DAERAH TINGKAT II BEKASI
sangat disayangkan bila justru pasien atau pengunjung yang
Sejarah
datang ke Rumah Sakit menjadi sakit karena mendapatkan
Awal dari RS Bekasi bermula pada tahun 1939. Pada saat
infeksi yaitu Infeksi Nosokomial.
itu masih berupa poliklinik saja dengan sarana yang sangat
Nosokomial berasal dari kata Nosos = penyakit dan
minim yaitu berupa kamar periksa, kamar suntik dan 1 kamar
Komeo = merawat; Nosokomion berarti tempat untuk merawat/
balut. Setelah kemerdekaan RI, poliklinik Bekasi mengalami
rumah sakit. Jadi Infeksi Nosokomial dapat diartikan infeksi
perubahan menjadi RS Pembantu dengan adanya penambahan
yang berasal atau terjadi di Rumah Sakit.
ruapg perawatan pasien. Pada tahun 1956, sejalan dengan per-
Infeksi Nosokomial dapat membebani kita semua, ter-
ubahan status Bekasi dari Kewedanaan menjadi Kabupaten,
mama pasien dapat menyebabkan bertambah tingginya biaya
Rumah Sakit Pembantu diubah menjadi Rumah Sakit Umum.
perawatan karena waktu rawat nginap dan pengobatannya yang
Walaupun begitu ketenagaan dokter masih bersifat part timer
memanjang. Selain itu Infeksi Nosokomial juga dapat menye-
yang datang 2 x dalam seminggu.
babkan kematian.
Pada tahun 1979, dengan SK. Men.Kes. RI No. 151/
Bila menyimak gambaran kejadian Infeksi Nosokomial, di
Men.Kes/SK/II/79 RSU Bekasi ditetapkan sebagai RS tipe C,
Indonesia angkanya masih beragam dan masih sulit untuk men-
yang melaksanakan 4 bidang spesialis dasar.
dapatkan angka yang pasti.
Di RSU Bekasi sendiri, berdasarkan surveilans IN Luka Kondisi saat ini
Operasi (ILO) selama 3 bulan tahun 1991 didapatkan angka Saat ini RS Bekasi yang terletak di jantung kota Kabupaten
yang cukup tinggi, sehingga harus mulai dilakukan "pengen- Bekasi dan berjarak ± 15 menit perjalanan ke arah timur dū
dalian" dengan seksama. Ibukota Jakarta, mempunyai luas bangunan keseluruhan ± 6270
"Panitia Pengendalian IN" di RSU Bekasi dibentuk pada m2 dari 10.000 m2 lahan yang ada.
tahun 1990. Tugasnya mengendalikan masalah-masalah yang Pelayanan yang dilakukan meliputi : – Pelayanan gawat
berkaitan dengan infeksi nosokomial. Dalam usia yang relatif darurat 24 jam; – Poliklinik spesialis (9 bidang spesialis); – Pe-
muda (2 tahun), belum banyak yang dilakukan mengingat ke- layanan penunjang berupa Radiologi, Laboratorium dan lain-
terbatasan-keterbatasan yang dijumpai; tetapi usaha pengen- lain; – Pelayanan rawat nginap berkapasitas 171 tempat tidur.
dalian tetap berjalan secara bertahap dengan menyesuaikan Ketenagaan yang ada sampai akhir tahun 1991 seluruhnya
langkahnya sesuai situasi dan kondisi yang ada. Diharapkan apa 308 orang, bila dikelompokkan berdacarkan jenis keahlian ter-
yang telah dilakukan panitia bisa menjadi basis dalam usaha diri dari 17 dokter ahli, 17 dokter umum, 4 dokter gigi dan lain

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


sebagainya. Jumlah tenaga yang telah mendapat Pelatihan Pe- STRUKTUR PIN DI RSU BEKASI
ngendalian Infeksi Nosokomial berjumlah 2 orang dokter dan 2
orang paramedis.
Berdasarkan data yang diambil dari laporan RSU Bekasi
tahun 1991 kami mencatat :
– Jumlah kunjungan pasien rawat jalan sebanyak 96.549 orang.
– Rata-rata BOR sebesar 70,67%, rata-rata LOS = 3,96 hari.
– Lima penyakit utama yang ditemukan di rawat jalan adalah :
1. TBC, 2. Common cold, 3. Tonsilitis, 4. Diare dan gastroente-
ritis, 5. Penyakit mata dan adnexanya. Yang ditemukan di rawat
nginap : 1. Demam tifoid/sebab lain, 2. Diare dan gastroenteritis,
3. Penyakit saluran nafas, 4. Trauma kepala, 5. Penyakit saluran
cema lainnya. Kenyataan bahwa penyakit infeksi masih tinggi
kejadiannya di Rumah Sakit Bekasi.

PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL RUMAH


SAKIT UMUM BEKASI
Infeksi Nosokomial sebetulnya bukan hal baru; sudah sejak
lama disadari oleh pewgas-petugas di lingkungan RS kami,
tetapi usaha yang dilakukan kurang terarah sehingga hasilnya
kurang memadai.
Pala bulan Oktober 1990, melalui SK Direktur No. 848/ Keterangan :
2378/Kepeg dibentuklah Panitia Pengendali Infeksi Nosoko- PPIN : Panitia Pemantau IN.
mial di RSU Kabupaten DT. II Bekasi, sebagai tindak lanjut – tugasnya membuat kebijaksanaan upaya PIN.
– anggotanya adalah waki! dari Unit-unit/unsur yang terkait.
pelatihan PIN yang diselenggarakan di Bandung. Panitia itu PHIN : Panitia Harian IN.
selanjutnya bertanggung jawab atas segala aspek yang mem- – diharapkan sebagai motor dari kegiatan PIN.
pengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial termasuk usaha mem- – diketuai oleh tenaga medis yang telah mendapatkan pelatihan PIN.
perkecil angka kejadian dan mencegah Infeksi Nosokomial di – anggota lain adalah dari unsur keperawatan, sebab mereka yang
lebik erat kaitannya dengan perawatan.
Rumah sakit. Mengingat ruang lingkup kerja yang sangat luas, TPIN : Tim Pengendali IN.
Panitia yang dibentuk perlu terdiri dad semua unsur-unsur yang – dipimpin oleh kepala perawatan dibantu kepala-kepala ruangan,
ada di lingkungan Rumah sakit, baik UPF, Instalasi maupun hal ini memudahkan dalam pelaksanaan Surveilans.
unsur-unsur lainnya. Kami juga melibatkan kepala ruangan se-
bagai anggota panitia karena disadari akan pentingnya peranan Infeksi Nosokomial yang diberikan oleh dokter ataupun perawat
perawat dalam usaha Pengendalian Infeksi Nosokomial. dari PHIN.
Struktur kepanitiaan PIN seperti di atas dibuat dengan • Bekerjasama dengan PKMRS dalam acara penyuluhan ke-
mengadaptasi bentuk yang ada di RSHS, dengan memper- pada pengunjung/penunggu pasien tentang masalah-masalah
timbangkan kondisi yang ada. yang bersangkutan dengan terjadinya Infeksi Nosokomial.
Sejak ditetapkan, panitia telah melakukan berbagai kegiat- Penyuluhan sekali seminggu dengan mated yang bervariasi.
an sesuai dengan perencanaan yang dibuat, kegiatan tersebut Bagi pengunjung RS juga penyuluhan dilakukan melalui
adalah : papan informasi yang disediakan di ruangan tunggu poliklinik.
• Mempublikasikan Infeksi Nosokomial pada rapat koor- • Mempersiapkan pedoman prosedur-prosedur tetap.
dinasi di lingkungan RSU Bekasi. • Melengkapi kebijaksanaan-kebijaksanaan umum Rumah
• Setiap bulan Direktur RS mengadakan rapat dengan semua sakit, saat ini sedang dipersiapkan :
kepala UPF, Instalasi dan pejabat struktural lainnya. Pada ke- − kebijaksanaan penggunaan antiseptik dan desinfektan,
sempatan ini, ketua PPIN mengemukakan informasi mengenai − kebijaksanaan isolasi ruang perawatan,
PIN. − kebijaksanaan kamar operasi.
• PHIN sendiri secara berkala mengadakan pertemuan untuk • Memberikan usulan/kebijaksanaan atas hasil pemeriksaan
membahas masalah-masalah IN. sampling lingkungan RS yang dilakukan setiap tahun.
• Mempublikasikan IN pada kesempatan pelatihan proses • Melakukan Surveilans IN. Luka Operasi (lampiran).
keperawatan bagi kalangan paramedis.
Perlu diketahui di RSU Bekasi sampai saat ini telah di- EVALUASI
lakukan 5 gelombang pelatihan proses keperawatan, yang Selama pelaksanaan kegiatan Pengendalian IN, panitia
maksudnya untuk meningkatkan keterampilan tenaga perawat masih menjumpai kendala-kendala, misalnya saja :
RS. Di antara 50 jam materi yang diberikan 10% adalah tentang • Informasi IN; di kalangan panitia sendiri masih belum

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 19


seragam, agak sulit mengharapkan input/ide dari Unit/Instalasi pada kegiatan yang tidak memerlukan banyak dana. Ada be-
yang bersangkutan guna melaksanakan kegiatan PIN. berapa kondisi prasarana dan sarana yang kurang memadai;
• Masih diperlukan usaha memotivasi tenaga kesehatan padahal untuk memperbaiki/penyediaannya cukup mahal.
dalam pengendalian IN. Dengan dukungan pimpinan dan staf RS diharapkan per-
• Panitia adalah tenaga-tenaga fungsional yang mempunyai timbangan PIN dapat dimasukkan ke dalam perencanaan RS
kesibukan sehingga kendala waktu sulit ditanggulangi; ada secara keseluruhan.
pemikiran untuk mempersiapkan tenaga yang khusus berkon-
sentrasi pada pengendalian IN (ICN) yang dikaitkan dengan
kedudukan struktural di keperawatan, dengan demikian petugas PENUTUP
tersebut bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya pada masalah Dari kenyataan yang ada, harus disadari bahwa Pengen-
IN. Dipandang dari garis operasional juga bisa lebih terkendali. dalian IN harus mulai dilaksanakan secara profesional. Keter-
• Sistim informasi RS yang berjalan perlu ditingkatkan. libatan semua unsur sangat diperlukan, karena penyelenggaraan
Untuk membuat suatu kebijaksanaan dalam Pengendalian Pengendalian IN harus dilaksanakan secara integratif dan lintas
IN perlu dukungan data yang akurat dari berbagai unsur di RS; program.
sebagaimana diketahui permasalahan PIN begitu lugs dan kom- Di RSU Bekasi dengan segala kondisi yang ada, perhatian
pleks. pada Infeksi Nosokomial semakin besar. Kendala yang ada
• Selama ini Pengendalian IN di RS Bekasi dititik beratkan dicoba tanggulangi dengan memperhatikan segi-segi lainnya.
Sterilitas Udara Ruang Operasi dan
Peralatan Bedah serta Higiene Petugas
Beberapa Rumah Sakit di Jakarta
Pudjarwoto Trlatmodjo
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Untuk mendapatkan gambaran mengenai sumber penularan kejadian infeksi no-
sokomial di rumah sakit, telah dilakukan pemeriksaan mikrobiologis terhadap udara
ruang operasi dan bebērapa jenis ruang perawatan, serta peralatan bedah. Di swiping im
diperiksa pula hygiene petugas melalui pemeriksaan terhadap tangan (hand swab)
perawat.
Dari hasil pemeriksaan tampak bahwa angka kuman pada beberapa ruang bedah
mencapai lebih dari 5 CPU/15' sehingga melebihi ambang batas yang ditetapkan.
Staphylococcus merupakan bakteri penyebab infeksi nosokomial yang paling banyak
mencemari udara ruang operasi. Angka kuman pada beberapa ruang perawatan berkisar
antara 10-300 CPU/15'.
Sebesar 34,4% tangan petugas rumah sakit (perawat) diketahui terkontaminasi oleh
beberapa jenis mikroba penyebab infeksi nosokomial seperti E. coli, Staphylococcus,
Pseudomonas, Proteus, Streptococcus dan spesies jamur Aspergillus sp. Beberapa jenis
perlengkapan bedah d>7cetahui tidak steril dan ditemukan mengandung bakteri.

PENDAHULUAN derita yang dioperasi mengalami luka postoperasi dengan


Walaupun pemeliharaan kesehatan saat ini telah menjadi frekuensi infeksi luka yang berbeda tergantung dari jenis operasi
lebih baik antara lain karena telah digunakannya cara-cara baru yang dilakukan.
dan modem untuk membantu menegakkan diagnosis dan peng- Dalam upaya menanggulangi kejadian infeksi nosokomial,
obatan penyakit, namun insiden infeksi nosokomial masih harus tinjauan epidemiologi terhadap masalah pencemaran dan infeksi
mendapat perhatian lebih banyak. Beberapa negara melaporkan nosokomial perlu dilakukan karena pada dasarnya kejadian
bahwa rata-rata 5-10% penderita yang dirawat di rumah sakit infeksi nosokomial melibatkan unsur manusia, lingkungan dan
akan mendapat infeksi yang ditularkan oleh seseorang atau dari mikroba yang satu sama lain sating terkait. Dalam hubungan ini
suatu alat selama ia dirawat. Pasien bedah merupakan pasien kegiatan survai epidemiologi yang diarahkan untuk survai
yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapatkan infeksi .infeksi nosokomial dapat meliputi: pengenalan konsep survai
nosokomial, lebih-lebih apabila dirawat di rumah sakit dengan epidemiologi di rumah sakit untuk pencegahan dan penang-
tingkat hygiene lingkungan rumah sakit yang masih belum gulangan infeksi nosokomial, pengembangan teknologi peng-
sesuai dengan yang dipersyaratkan. Angka infeksi nosokomial amatan infeksi nosokomial, pengumpulan data rutin untuk mem-
untuk luka bedah di Indonesia dilaporkan sebesar 2,3-18,3%(1). peroleh gambaran tentang berbagai aspek epidemiologi infeksi
Public Health Laboratory Service (1960) menulis, 5-19% pen- nosokomial, penelitian KLB (Kejadian Luar Biasa) infeksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 21


nosokomial yang terjadi di beberapa rumah sakit serta melak- masing-masing sampel dengan media spesifik. Dari tahap
sanakan berbagai survai dan studi dalam rangka pengumpulan kultur kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis melalui
data dasar infeksi nosokomial(2). pewarnaan gram dan uji biokimia serta uji serologi untuk identi-
Beberapa cara transmisi penyebab infeksi nosokomial fikasi jenis-jenis mikroba tertentu.
adalah dengan cara air-borne yaitu melalui udara, inhalasi, dan
lain-lain. Di samping itu transmisi kuman dapat berlangsung HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan cara contact spread yaitu mclalui tangan petugas, alat- Dalam penelitian ini telah dapat diperiksa sejumlah 105
alat, serta dapat pula terjadi dengan cara wound precaution yaitu spesimen yang terdiri dari sampel ruang bedah dan ruang pe-
melalui perawatan postoperasi, alat-alat untuk tindakan invasif, rawatan 30 spesimen, hand swab dari perawat 64 spesimen dan
dan lain-lain(3). usap alat dan perlengkapan bedah 11 spesimen.
Untuk mendapatkan gambaran mengenai sumber-sumber Angka pencemaran ruang bedah dari 6 ruang bedah yang
penularan dan kemungkinan rute penyebaran kuman penyebab berasal dari 6 numah sakit adalah berkisar antara 3–8 CPU/15'.
infeksi nosokomial sebagai salah satu upaya pengumpulan data Ambang batas pencemaran mikroba yang diperkenankan untuk
dalam pemecahan masalah infeksi nosokomial, dalam makalah ruang bedah adalah 5 CPU/15'. Berdasarkan pada persyaratan
ini disajikan data hasil studi mengenai pencemaran mikroba tersebut di atas maka dapatlah dikemukakan bahwa 4 ruang
pada beberapa peralatan bedah, udara ruang operasi dan usap bedah dari 4 rumah sakit masih belum memenuhi standar
tangan petugas (hand swab) yang berasal dari 6 rumah sakit di mikrobiologi yang ditetapkan. Ke empat ruang bedah tersebut
Jakarta yaitu RS. I, RS. II, RS. III, RS. IV, RS. V dan RS. VI adalah ruang bedah RS. III dengan angka kuman sebesar 5
untuk mendeteksi sampai seberapa besar pencemaran yang ter- CPU/15', ruang bedah RS. IV dengan angka kuman 7 CPU/15',
jadi oleh mikroba penyebab infeksi nosokomial. ruang bedah RS. V dengan angka kuman 8 CPU/15' dan ruang
bedah RS. VI dengan angka kuman 7 CPU/15' (tabel 1). Ruang
BAHAN DAN CARA bedah RS. I dan RS. II mempunyai angka kuman sama yaitu 3
1. Kriteria bahan penelitian CPU/15'. Nilai pencemaran dari dua kamar bedah tersebut
Obyek penelitian adalah udara ruang operasi, alat-alat dan belum tentu memenuhi standar karena waktu penangkapan ku-
perlengkapan bedah dan personil rumah sakit (perawat) yang man hanya berlangsung 15 menit sedangkan persyaratan yang
sering mengadakan kontak langsung dengan pasien. ditetapkan 30 menit.
Pemeriksaan milcrobiologis dilakukan terhadap beberapa Beberapa jenis kuman yang terdeteksi mencemari ruang
jenis sampel berikut ini : bedah adalah Staphylococcus sp dan kuman gram negatip yang
– Alat-alat untuk keperluan operasi pasien seperti gunting, dalam pemeriksaan ini belum jelas nama genusnya. Mikroba
kain kasa, sarung tangan, baju operasi, handuk dan lain-lain lain yang ditemukan adalah jenis jamur Aspergillus sp. Di sini
yang berada dalam keadaan siap pakai. Staphylococcus ditemukan pada sebagian besar ruang bedah (4
– Udara ruang bedah/ruang operasi, serta beberapa ruang ruang bedah). Dua ruang bedah yang tidak tercemar Staphylo-
perawatan seperti ruang kebidanan, ruang penyakit dalam, coccus adalah ruang bedah dari RS. III dan RS. VI, tetapi nilai
ruang anak-anak, ruang bayi. pencemarannya di atas ambang batas yang dipersyaratkan
– Usap tangan (hand swab) personil rumah sakit yang sedang (tabel 1).
dinas di bangsal-bangsal perawatan.
2. Cara pengambilan sampel Tabel 1. Besarnya pencemaran mikroba pada ruang bedah dan bebe
rapa ruang perawatan dari 6 rumah sakit di Jakarta berda
Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis. Sampel alat-
sarkan jumiah mikroba yang tertangkap dengan media Agar
alat dan perlengkapan bedah diambil dengan cara swab, yaitu Darah selama 15 menit (N = 30)
dengan lidi kapas steril yang terlebih dahulu dibasahi dengan
PBS (Phosphate Buffer Saline) kemudian diusapkan pada alat- Ruang Angka kuman (dalam CPU/15 menit) Range
alat yang diperiksa. Kemudian lidi kapas segera dimasukkan ke RS. I RS. II RS. III RS. IV RS. V RS. VI
dalam media PBS yang telah disiapkan dalam tabung reaksi Bedah 3 3 5 7 8 7 3-8
(tube). Kebidanan 18 25 33 12 35 32 12-35
Cara yang sama juga dilakukan untuk pengambilan sampel Penyakit 53 19 24 37 300 48 19-300
dari hand swab. Pengambilan sampel udara dilakukan dengan dalam
Perawatan 30 10 36 21 32 96 10-96
media Agar Darah dalam petridisk yang dibuka selama 15 menit bayi
dalam ruang yang diperiksa. Transportasi sampel ke laborato- Perawatan 34 28 89 34 80 74 28-89
rium dengan menempatkan sampel dalam boks berisi es. anak
3. Identifikasi mikrobiologi Total 138 85 187 111 455 257 3-300
Dilakukan dengan menggunakan metode yang telah di-
bakukan oleh WHO (1987)(4) dan Manual for Clinical Micro- Keterangan :
N = Jumlah ruang diperiksa
biology(5). RS.I s/d RS. VI = Kode rumah sakit yang diteliti
Dalam identifikasi ini pertama dilakukan kultur terhadap CPU = Colony Plate Unit

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Dari 5 jenis ruang perawatan yang diperiksa yaitu ruang Tabel 2. Distribusi kuman penyebab infeksi nosokomial yang terdeteksi
pada usap tangan (hand swab) petugas rumah sakit (perawat)
kebidanan, ruang penyakit dalam, ruang perawatan bayi dan
yang bertugas di beberapa rumah sakit di Jakarta (N = 64)
ruang perawatan anak tampak adanya variasi nilai pencemaran
mikroba. Angka pencemaran terendah diketahui terdapat pada Kode Jumlah petugas Jumlah petugas
Mikro organisms
ruang kebidanan dengan nilai pencemaran sebesar 12–35 CPU/ Rumah Sakit diperiksa tercemar
15', sedangkan angka pencemaran tertinggi terdapat pada ruang RS. I 11 3 Staphylococcus (2)
Pseudomonas (1)
penyakit dalam dengan nilai pencemaran sebesar 19–300 Staphylococcus +
CPU/15'. Proteus (1)
Dilihat dari jenisnya Staphylococcus merupakan mikroba RS. II 10 3 Proteus (2)
yang paling dominan mencemari berbagai ruang perawatan Staphylococcus (1)
RS. III 14 5 Staphylococcus (2)
tersebut. Beberapa jenis mikroba lain yang ditemukan antara Staphylococcus +
lain adalah Streptococcus dan bakteri gram negatip yang dalam Jamur (2)
pemeriksaan ini belum jelas nama genusnya, serta beberapa jenis Pseudomonas (1)
jamur yaitu Aspergillus sp dan Mucor sp. RS. IV 10 3 Staphylococcus (1)
Pseudomonas (1)
Dilihat dari jumlah mikroba pencemar per rumah sakit E. coli (1)
tampak pula bahwa angka pencemaran terkecil terdapat pada RS. V 9 4 Streptpcoccus (2)
RS. II, sedangkan angka pencemaran terbesar dijumpai pada Proteus (1)
RS. V. Staphylococcus (1)
RS. VI 10 4 Staphylococcus (2)
Petugas rumah sakit seperti dokter, bidan, perawat dan lain- Pseudomonas (1)
lain dapat merupakan sumber atau media transmisi/penularan E. coil (1)
kuman-kuman patogen, karena di samping dapat berperan se- Jumlah 64 22
bagai carrier dari bakteri tertentu, dapat pula membawa kuman % 100 34,4
karena kontak dengan para pasien yang telah terinfeksi sebe-
Keterangan :
lumnya; atau tangan petugas terkontaminasi oleh kuman yang N = Total petugas diperiksa
mengandung CFA (Colonizing Factor Antigen) dan bila kuman RS. I s/d RS. VI = Kode umiak sakit yang diteliti
ini menginfeksi seseorang dapat menjadi patogen di dalam
Gambar 1. Jenis bakterl penyebab infeksi nosokomial dan besarnya pen
tubuh. cemaran (dalam %) pada usap tangan (hand swab) petugas
Dari hasil pemeriksaan mikrobiologis terhadap tangan rumah sakit (perawat) dl beberapa rumah sakit di Jakarta
petugas rumah sakit tampak bahwa sebesar 34,4% tangan petu- (N = 64)
gas (perawat) membawa bakteri penyebab infeksi nosokomial
(tabel 2).
Beberapa jenis kuman yang terdeteksi mengkontaminasi
tangan petugas antara lain adalah E. coli, Staphylococcus, Pseudo-
monas, Proteus, Streptococcus dan Jamur. Di sini ditemukan
pula adanya kontaminasi ganda pada 3 orang petugas, yaitu
satu petugas terkontaminasi oleh Staphylococcus + Proteus dan
dua orang petugas oleh Staphylococcus + Jamur Aspergillus sp.
Staphylococcus merupakan bakteri yang paling banyak men-
cemari tangan petugas yakni sebesar 18,7% (12 dari 64). Kemu-
dian berturut-turut Pseudomonas 6,2%, Proteus 4,6%; E. coli
dan Streptococcus serta Jamur Aspergillus masing-masing se-
besar 3,1% (gambar 1).
Pola infeksi nosokomial dapat berubah dari waktu ke waktu
dan perubahan tersebut terjadinya bersamaan dengan pemakaian
serta makin meluasnya penggunaan antibiotik(6). Sebelum tahun
1950-an yakni pada waktu antibiotik Penicillin barn dipakai,
infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh Pneumococcus
dan Streptococcus. Kemudian sejak tahun 1950-an yakni se-
telah meluasnya pemakaian antibiotik Penicillin, dilaporkan
penyebab utama infeksi nosokomial adalah bakteri gram positip Keterangan :
Staphylococcus yang kebal (resisten) terhadap Penicillin dan A = Streptococcus = 3,1% N = Jumlah sampel
B = Proteus = 4,6% diperiksa = 64
sampai kini diperkirakan masih merupakan penyebab infeksi C = Pseudomonas = 6,2%
nosokomial walaupun telah banyak bermunculan jenis anti- D = Staphylococcus = 18,7%
biotik baru. Hal ini terbukti dengan tingginya angka pencemar- E = E. coli = 3,1%

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 23


an oleh Staphylococcus di lingkungan rumah sakit. Angka ke- operasional yang rendah. Temperatur dan holding time yang
jadian infeksi nosokomial yang disebabkan oleh Staphylococcus perlu dipērhatikan dalam sterilisasi dengan autoclave adalah
memerlukan penelitian yang lebih mendalam di lingkungan 132°C selama 2 menit, 121°C – 12 menit dan 116°C – 30 menit.
perawatan. Dengan memperhatikan temperatur dan holding time secara
Alat-alat dan perlengkapan operasi bedah dapat menjadi tepat seperti tersebut di atas maka diharapkan diperoleh kondisi
alat transmisi kuman-kuman penyebab infeksi nosokomial; dan sterilitas yang optimal pada alat-alat yang disterilkan.
angka infeksi nosokomial untuk luka bedah di Indonesia di- Apakah tingginya angka infeksi nosokomial pada pasien
laporkan cukup tinggi (2,3–18,3%). Tabel 3 memberikan luka bedah ini adalah akibat'dari perlengkapan dan alat operasi
informasi tentang kondisi sterilitas alat-alat dan perlengkapan bedah yang kondisi sterilitasnya kurang memadai? Hal ini
operasi bedah yang ada di beberapa rumah sakit di Jakarta. Di perlu diteliti dari berbagai aspek secara lebih mendalam.
sini terlihat bahwa masih terdapat alat-alat dan perlengkapan
bedah yang slap pakai tetapi dalam keadaan tidak steril; dari 11 KESIMPULAN DAN SARAN
jenis perlengkapan bedah yang diperiksa terdapat 4 jenis yang – Bakteri gram positip Staphylococcus merupakan salah satu
terdeteksi tidak steril: Beberapa kemungkinan penyebabnya mikroba penyebab infeksi nosokomial yang dominan sebagai
adalah proses sterilisasi yang tidak sempurna atau penanganan pencemar pada anggota tubuh/tangan petugas rumah sakit/pera-
yang kurang hygienis. Apabila keadaan tidak steril ini akibat wat, udara di berbagai ruang perawatan seperti ruang perawatan
dari cara sterilisasi yang tidak sempllma, kiranya beberapa hal bayi, kebidanan, anak, penyakit dalam dan lain-lain. Bahkan
penting yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan sterilitas udara pada beberapa ruang operasi/ruang bedah dan beberapa
yang optimal adalah tercapainya holding time (waktu sterilisasi) peralatan bedah menunjukkan indikasi tidak steril dan tercemar
dan meratanya temperatur ke setiap bagian yang disterilisasi. Staphylococcus.
– Beberapa jenis mikroba lain yang terdeteksi mencemari
udara dan peralatan medis serta petugas antara lain adalah E.
Tabel 3. Kondisi aterilitas beberapa Jenis peralatan operasi bedah dari coli, Pseudomonas, Streptococcus, Proteus dan Jamur.
beberapa rumah sakit dl Jakarta
– Proteksi terhadap para pasien yang mempunyai risiko
Jumlah Mikro tinggi terhadap kejadian infeksi nosokomial perlu dilakukan
Nama/Asal bahan Pertimbangan
Kuman/swnb organisme secara lebih saksama. Di samping itu peningkatan hygiene di
rumah sakit dengan cara meningkatkan tindakan sterilisasi,
Instrumen/Ruang 0 – Stern
OK darurat V desinfeksi dan antisepsis perlu dilakukan secara lebih saksama,
Kain kasa/Ruang 0 – Steril tidak terkecuali peningkatan cara cuci tangan para petugas/
OK Pam perawat.
Kain kasa/Ruang 0 – Steril
instalasi bedah
Handuk/Instalasi 2x104 Bakteri gram (+) Tidak steril
bedah kokus
Sarung tangan/ 0 – Steril KEPUSTAKAAN
Instalasi bedah
Baju operasi/ 3x104 Bakteri gram (–) Tidak steril 1. Effendy A, Ibrahim R, Mubarak Z Insiden infeksi nosokomial di RSU DR.
Instalasi bedah batang Z. Abidin Banda Aceh (Penelitian Pendahuluan). MKT 1988; 3(1): 13–5.
!Cain kasa/ 0 – Stern 2. Surachmad S, Sutoto, Josodipuro K. Kumpulan Makalah Penataran Isolasi
Kebidanan Penderita Penyakit Menular (Infeksi Nosokomial dan Pencegahannya).
Alat operasi/ 35x104 Bakteri gram (+) Tidak steril Dep Kes RI, Jakarta 1984.
OK mata kokus 3. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan
Instmnen/ 2x104 Bakteri gram (+) Tidak steril Pemukiman. Pentaloka Survailans Epidemiologi bagi Para Kepala Dinas
Instalasi bedah kokus Kesehatan Dati II. Dep Kes RI, Jakarta 1990.
Kain kasa/ 0 – Steril 4. WHO, CDD Program for Central Diarrhoeal Diseases. Manual for Labors-
Bedah umum tot), Investigation of Acute Enteric Infection, 1987.
Mat operast/ 0 – Steril 5. Lennette EH, Ballows A, Flimsier JW, Shadomy HJ (eds). Manual for
OK Bedah sesar Clinical Microbiology. American Society for Microbiology Association
PubL Washington, 1985.
6. Usman Chatib Warsa. Aspek Mtkrobiologi Infeksi Nosokomial. Maj Infor-
Salah satu cara sterilisasi yang digunakan di rumah sakit adalah masi Kesehatan No. 19, Januari 1987. Dibawakan Pada Seminar Penyakit
dengan autoclave (panas uap). Cara ini paling umum digunakan Menular di Jakarta, 4 Febtuart 1986.
7. Janes, Sototo, Punjabi NH. Infeksi Nosokomial Saluran Cema (INSC)
karena dapat diandalkart, mudah pelaksanaannya dan dapat di- pada Penderita Anak di Rumah Sakit Khusus Penyakit Menular, Jakarta.
terapkan pada hampir 80% kebutuhan bahan yang ada serta biaya Medika (Sept.) 1985; 11(a): 851–8.

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Peranan Laboratorium
dalam Pencegahan dan Penanggulangan
Infeksi Nosokomial
Dalima ArI Wahono Astrawlnata
Panitia Infeksi Nosokomial Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo/
UPF Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN PERANAN ANGGOTA PANITIA


Pengendalian infeksi nosokomial (IN) merupakan tanggung Anggota panitia yang berasal dari unit laboratorium (Dokter
jawab suatu panitia/tim pencegahan dan pengendalian penyakit Spesialis Patologi Klinik, Ahli Mikrobiologi/Biologi, Analis
infeksi di Rumah Sakit (RS). Salah satu aspek penting dalam Laboratorium Kesehatan) harus dapat menyumbangkan pikiran
penanggulangan IN adalah surveillans, di mana laboratorium dan pendapatnya dalam menyusun program penanggulangan IN,
turut berperan serta(1,2). terutama yang menyangkut pemeriksaan laboratorium. Mereka
harus dapat menekankan bilamana pemeriksaan perlu dilakukan
PERAN UNIT LABORATORIUM dan apakepentingannya serta bilamana pemeriksaan tersebut
Laboratorium Rumah Sakit, khususnya laboratorium mikro- tidak perlu dilakukan. Hal ini panting, terutama bila menyangkut
biologi mempunyai peranan yang cukup penting dalam mem- soal pembiayaan yang harus dipikul oleh rumah sakit. Selain
bantu program surveillans, dan pencegahan serta penanggulang- itu anggota tim dari unit laboratorium bersama-sama anggota
an infeksi nosokomial. Peran tersebut mencakup beberapa hal, tim yang lain secara berkelanjutan perlu memberi penataran
antara lain(2,3) : dan penjelasan khususnya mengenai cara-cara pengambilan dan
• Kerja sama dalam suatu tim/panitia penanggulangan infeksi pengiriman bahan yang tepat, dan cara-cara pencegahan infeksi
RS nosokomial kepada petugas RS yang lain. Sehingga secara seluruh
• Identifikasi secara tepat mikroorganisme penyebab IN program penanggulangan infeksi nosokomial melalui pengum-
• Pelaporan berkala data pola kuman RS dan pola antibiogram pulan data maupun tindakan pencegahan dapat berjalan dengan
• Pelacakan secara tepat penyebab infeksi tertentu RS baik(1,3,5).
• Melakukan pemeriksaan mikrobiologik bilamana diperlukan
terhadap petugas atau lingkungan Rumah Sakit TUGAS LABORATORIUM RS
Dalam hal penanggulangan infeksi nosokomial, peran la- Khususnya dari segi pemeriksaan, laboratorium RS dituntut
boratorium yang cukup penting dapat berjalan dengan baik bila- untuk dapat mengidentifikasi mikroorganisme penyebab secara
mana beberapa anggota tim penanggulangan infeksi nosokomial benar dalam waktu sesingkat mungkin. Hasil biakan yang dikeluar-
berasal dari unit laboratorium. Anggota tim tersebut harus yang kan harus dapar dijamin telah melalui tahap prainstrumentasi,
betul-betul mengetahui kemampuan pemeriksaan mikrobiologik instrumentasi dan pasca instrumentasi yang benar.
di laboratorium rumah sakitnya sehingga dapat menjalankan Pada tahap prainstrumentasi yang perlu diperhatikan ada-
tugas sesuai kemampuan dan sarana yang tersedia. Komunikasi lah :
yang lancar dan hubungan yang baik antara bidang perawatan – tindakan a/antisepsis yang benar
(Dokter/Perawat), Tim Pelaksana Harian Penanggulangan IN – cara pengambilan bahan yang baik
dan petugas laboratorium merupakan modal utama berjalannya pemilihan bahan pemeriksaan yang sesuai
suatu program penanggulangan infeksi nosokomial; terlebih lagi – cara pengiriman yang tepat
bilamana program tersebut didukung sepenuhnya oleh kebijak- Dalam hal ini termasuk menyiapkan wadah penampung steril
an rumah sakit(1,3,4). dan mengetahui cara penyimpanan yang benar sebelum dikirim.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 25


Pada tahap instrumentasi laboratorium RS dituntut me- EVALUASI DATA
miliki kemampuan : Anggota tim unit laboratorium juga dituntut untuk dapat
– cara-cara pemeriksaan yang benar mengevaluasi dan menganalisa kumpulan data laboratorium
– sesuai dengan prosedur yang seharusnya mikrobiologi sehingga pola mikroorganisme penyebab infeksi
– dijamin dengan pemantapan mutu secara berkala di RS tersebut dari waktu ke waktu dapat diketahui dan
Sedangkan tahap pasca instrumentasi menuntut : dipelajari. Selain itu pola resistensi terhadap antimikroba yang
– ketelitian pencatatan digunakan RS tersebut untuk masing-masing mikroorganisme
– kemampuan pengolahan dan penyimpanan data perlu dilaporkan dari waktu ke waktu. Hal ini diperlukan untuk
– kecepatan penyebaran informasi ke pihak-pihak yang me- melihat efektivitas antimikroba yang dipakai dan menghentikan
merlukan penggunaan antimikroba yang sudah tidak efektif lagi. Dalam
Anggota tim dari laboratorium harus mampu menilai hasil hal ini tim penanggulangan IN akan terlibat kerjasama dengan
yang dikeluarkan oleh laboratoriumnya dari sudut pandang panitia atau komisi antibiotika dan terapi RS. Berdasarkan data
epidemiologi dan infeksi nosokomial. Hasil yang keluar harus laboratorium dari tim IN maka komisi antibiotika akan dapat
mampu dipastikan betul-betul sebagai penyebab infeksi dan menentukan pemilihan jenis antimikroba yang masih boleh
bukan suatu kontaminan atau suatu kolonisasi belaka; sehingga digunakan dan yang perlu ditarik, sehingga pada akhimya akan
pada akhirnya ketajaman data surveilans dapat diperoleh dan di- menyederhanakan jenis antimikroba yang dipakai, mencegah
pakai sebagai dasar untuk penyusunan program selanjutnya(1,2,3). pemborosan dana dan menekan tingkat resistensi kuman(1,2,3).

SURVEILANS LABORATORIUM KEJADIAN LUAR BIASA


Surveilans laboratorium adalah pengumpulan data dari hasil Pada kejadian luar biasa (KLB) di mana terjadi peningkatan
laboratorium, khususnya laboratorium mikrobiologi terhadap tiba-tiba angka kejadian infeksi nosokomial, maka pihak labo-
biakan kuman dari bahan yang diperiksa. Surveilans dapat di- ratorium RS harus siap dengan petugas dan tatacara penanggu-
lakukan secara aktif yaitu dengan memeriksa bahan yang telah langan KLB tersebut. Dalam hal ini terutama dituntut kecepatan
ditetapkan oleh panitia pengendalian IN atau secara pasif dengan dalam diagnosis penyebab kejadian dan pola penyebarannya.
mengevaluasi hasil yang diperoleh dari pemeriksaan sehari- Pemeriksaan tidak saja perlu dilakukan terhadap pasien yang
hari(1,6). dicurigai terkena infeksi nosokomial, tetapi mungkin juga di-
perlukan pemeriksaan terhadap petugas dan lingkungan RS. Hal
DATA LABORATORIUM ini tentu harus diperlakukan secara khusus dan di luar kegiatan
Data laboratorium merupakan salah satu data penting dalam rutin yang memang sudah ada(2,3).
surveilans infeksi nosokomial. Gabungan antara data yang diper-
oleh dari laboratorium dengan hasil surveilans klinik mutlak PEMERIKSAAN LINGKUNGAN RS
dilakukan untuk mendapatkan gambaran angka kejadian IN yang Pemeriksaan rutin atau periodik terhadap petugas atau
tepat. Berdasarkan gambaran angka kejadian tersebut, dapat lingkungan RS tanpa indikasi, sama sekali tidak dibenarkan;
ditentukan tindakan pencegahan selanjutnya. Tindakan pence- selain membuang dana yang besar, pemborosan tenaga dan
gahan harus dapat dilakukan secepatnya berdasarkan penyebab waktu, nilai informasi yang didapat juga tidak banyak man-
yang ada dan permasalahan yang ditimbulkan. Dalam hal mikro- faatnya. Pemeriksaan lingkungan atau petugas rumah sakit akan
organisme penyebab infeksi, maka diperlukan identifikasi dan bermanfaat bila memang dibutuhkan, misalnya pada saat terjadi
pelaporan yang cepat dan tepat; hal ini penting karena bila masih kejadian luar biasa di ruang operasi, atau peningkatan infeksi
diperlukan data tambahan, besar kemungkinan penderita yang nosokomial di suatu ruang perawatan.
bersangkutan masih dalam perawatan di rumah sakit(3,6). Beberapa hal yang perlu diperiksa bila terjadi KLB di ruang
operasi antara lain :
PELAPORAN DATA – permukaan meja operasi
Pelaporan data yang periodik atau berkalapun harus segera – peralatan-peralatan lain dalam ruang operasi
dapat disebar luaskan; karena bila tidak, data itu tidak akan ada – lantai
manfaatnya lagi. Pada keadaan tertentu, laboratorium dituntut – udara
untuk segera melaporkan bilamana ditemukan kuman-kuman – air
patogen seperti : Sebaliknya, beberapa hal yang perlu dilakukan secara terus
– N. meningitidis dalam cairan otak menerus adalah memeriksa sterilitas alat-alat perlengkapan
– M. tbc pada petugas RS operasi yang disterilkan di pusat sterilisasi rumah sakit atau
– S. aureus dari neonatus pemeriksaan berkala formula makanan bayi. Selain itu alat-alat
– S. pyogenes pada apusan tenggorok yang tidak dapat disterilkan dengan autoklaf tetapi menggunakan
Hasil tersebut dilaporkan sebelum hasil lengkapnya selesai. larutan desinfektan, dari waktu ke waktu perlu diperiksa steri-
Di sini letak pentingnya sarana komunikasi antara laboratorium litasnya. Hal ini berlaku untuk peralatan anestesi, alat-alat endo-
dengan ruang perawatan(2,3,6). skopi atau tuba endotrakeal(2,3).

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Di bawah ini beberapa pemeriksaan yang mungkin di- KEPUSTAKAAN
perlukan untuk suatu surveilans mikrobiologik infeksi noso-
1. Astrawinata DAW. Peranan Laboratorium dalam Penanggulangan Infeksi
komial : Nosokomial. Penataran/Pelatihan Pengendalian Infeksi Nosokomial
– Ujung kateter intravena pada phlebitis (infeksi luka infus/ RSCM, Jakarta, 1989.
ILI)(7). 2. Ryan KJ. Nos000mial Infections and Infection Control. In: Sherris, JC.
– Ujung kateter urin atau win yang diaspirasi langsung dari (ed.) Medical Microbiology : an introduction to infectious diseases. New
York: Elsevier, 1984: 655-63.
ujung proksimal kateter urin pada infeksi saluran kemih (ISK)(8). 3. McGowan, JE Jr. Role of the Microbiology Laboratory in Prevention and
– Pus dari bagian dalam infeksi luka operasi (ILO)(9). Control of Nosocomial Infections. In: Lennette EH et al (ads). Manual of
– Bahan darah pasien sepsis, khususnya neonatus(7). Clinical Microbiology. 4th ed. Washington DC: ASM Pub1.,1985:110-22.
– Apusan rektal pasien enteritis, terutama neonatus(10). 4. de Leon SP. Organizing for Infection Control. In: Wenzel RP (ed). Preven-
tion and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams &
Wilkins, 1987: 56-60.
5. Wenzel RP. The Infection Control Committee. In: WenzelRP(ed). Preven-
tion and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams &
Wilkins, 1987: 109-15.
6. Thompson RL. Surveillance and Reporting of Nosocomial Infections. In:
Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Balti-
more: Williams & Wilkins, 1987: 70-82.
KESIMPULAN 7. Hammy BH. Nosocomial Bloodstream and Intravascular Device-Related
Dan bahasan di atas jelas suatu program penanggulangan Infections. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial
Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 283-319.
infeksi nosokomial RS merupakan suatu program terpadu yang 8. Garibaldi RA. Hospital Acquired Urinary Tract Infections : Epidemiology
melibatkan semua unsur di rumah sakit tersebut. Program dapat and Prevention. In: Wenzel RP (ed). Prevention and Control of
berjalan dengan baik apabila koordinasi antar semua unsur yang Nosocomial Infections. Baltimore: Williams & Wilkins, 1987: 335-43.
terlibat baik, adanya kerjasama antar masing-masing unsur serta 9. Mayhall CG. Surgical Infections Including Bums. In: Wenzel RP (ed).
Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore: Williams &
kesadaran untuk berperan aktif, dan yang tidak kurang penting- Wilkins, 1987: 344-84.
nya adalah dukungan penuh dari pimpinan RS. Dalam hal ini 10. Hughes JM, Jarvis WR. Nosocomial Gastrointestinal Infections. In: Wen-
peran laboratorium RS, khususnya laboratorium mikrobiologi zel RP (ed). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore:
merupakan salah Satu mata rantai yang penting. Williams & Wilkins, 1987: 405-39.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 27


Kebiasaan Cuci Tangan
Petugas Rumah Sakit dalam
Pencegahan Infeksi Nosokomial
D. Anwar Musadad, Agustin Lubls, Kasnodlhardjo
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara meng-


Tangan tidak pernah bebas dari berbagai macam kuman. gunakan daftar pertanyaan, pengamatan perilaku dan peme-
Kuman-kuman tersebut bisa berasal dari benda atau alat yang riksaan laboratorium dari spesimen usap tangan petugas. Data
terkontaminasi, atau tinggal secara menetap pada tangan(1). perilaku cuci tangan yang dikumpulkan meliputi praktek cuci
Dengan demikian kebiasaan cuci tangan sebelum melakukan tangan, cara cuci tangan, waktu cuci tangan dan penggunaan
sesuatu pekerjaan menjadi penting artinya dalam upaya pen- desinfektan dalam melakukan cud tangan. Sampel usap tangan
cegahan infeksi. diambil dari 5 orang PP di setiap RS. Pengambilan dilakukan
Di Rumah Sakit (RS) kebiasaan cuci tangan petugas me- dengan menggunakan kapas steril yang sudah dicelupkan ke
rupakan perilaku yang mendasar sekali dalam upaya mencegah dalam akuades steril. Kapas tersebut diusapkan secara silang di
cross infection (infeksi silang), mengingat RS sebagai tempat telapak tangan kemudian dimasukkan ke media phosphate buffer
berkumpulnya segala macam penyakit, baik menular maupun saline dalam botol untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium
tidak menular. Demikian pula RS selalu dihuni, dikunjungi dan untuk diperiksa jumlah kumannya.
digunakan oleh berbagai macam pejamu yang rentan sehingga
mudah terjadi infeksi nosokomial. HASIL
Dari berbagai tulisan diketahui bahwa kejadian infeksi si- Hasil wawancara menunjukkan sebagian besar (95,2%)
lang di RS kebanyakan terjadi melalui tangan petugas RS yang petugas paramedis perawatan (PP) mengaku selalu melakukan
tercemar kuman karena kontak dengan pasien/penderita, karier, cuci tangan sebelum makan atau memegang makanan. Dari
bahan/alat atau dengan lingkungan yang tercemar(2,3,4,5). Bahkan sejumlah itu 84,6% mengaku mencuci tangan hingga ke lengan
tangan petugas RS tidak saja merupakan alat pasif dalam pe- dan sisanya mencuci hanya jari dan telapak tangan saja. Sebagi-
nyebaran bakteri gram negatif, tetapi dapat juga merupakan an besar (87,0%) sewaktu mencuci tangan selalu menggunakan
reservoar organisme nosokomial(4). sabun. Sebagian besar (93,5%) juga mengaku selalu mencuci
Mengingat pentingnya cuci tangan dalam pencegahan in- tangan menggunakan sabun setelah buang air besar.
feksi nosokomial, maka dilakukan studi tentang kebiasaan cuci Dalam penanganan pasien, sebagian besar PP (85,0%)
tangan petugas RS. mengaku selalu mencuci tangan sebelum menangani pasien dan
96,9% mencuci tangan sesudah menangani pasien. Dalam men-
BAHAN DAN CARA cuci tangan, sebagian besar (81,8%) mengaku menggunakan
Penelitian dilakukan di seluruh Rumah Sakit Umum (RSU) desinfektan, 17,4% menggunakan sabun dan 1,0% hanya dengan
Pemerintah yang ada di DKI Jakarta. Sebagai responden pe- air saja. Cara mencuci yang dilakukan, 15,4% mencuci jari dan
nelitian adalah tenaga paramedik perawatan (PP) dan tenaga telapak tangan dan 84,6% mencuci tangan sampai ke lengan. Di
medik (dokter). Jumlah responden keseluruhan 415 orang, ter- antara mereka yang kadang-kadang atau sama sekali tidak mencuci
diri dari 293 orang PP dan 122 orang dokter yang diambil secara tangan, 28,6% mengatakan tidak praktis, 28,6% merasa tangan-
systematic random sampling dari daftar petugas yang ada di nya tidak kotor dan 42,8% tergantung pada penyakit pasien.
masing-masing RS. Sementara itu di kalangan dokter temyata hanya 41,8%

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


yang mengakui selalu mencuci tangan pada saat sebelum me- Tabel 3. Kebiasaan Memotong Kuku Petugas RS
nangani pasien dan 69,9% mencuci tangan pada saat sesudah 2-3 kali/mg 1 kali/mg Tak Tentu Jumlah
menangani pasien. Dan mereka yang mengaku selalu mencuci Jenis Tenaga
tangan baik sebelum maupun sesudah menangani pasien 58,2% n % n % n % n %
mengaku mencuci jari dan telapak tangan saja. Para dokter ter- 1. PP 94 32,0 110 37,5 89 30,4 293 100,0
sebut dalam mencuci tangan 28,7% menggunakan sabun, 62,3% 2. Dokter 33 27,1 66 54,1 23 18,9 122 100,0
menggunakan desinfektan dan sisanya hanya dengan air. Di
antara mereka yang kadang-kadang atau sama sekali tidak men- Tabel 4. Pemeriksaan populasi kuman pada usap tangan petugas para
cuci tangan 31,3% memberikan alasan fasilitasnya tidak ter- medis perawatan di 7 RS dl DKI Jakarta
sedia, 15,6% memberi alasan airnya tidak mengalir, 25,0%
karena lupa dan 28,1 % tergantung pada keadaan. Kode RS No. Urut Angka kuman
Baik PP maupun dokter ternyata sebagian besar tidak 01 1 65 x 102
melakukan cuci tangan sebelum menangani pasien. Biasanya 2 29x 103
3 17 x 103
mereka mencuci tangan hanya pada saat setelah penanganan
4 355 x 102
pasien secara keseluruhan selesai. 5 182x 103
02 6 31 x 103
Tabel 1. Kebiasaan Mencuci Tangan Petugas RS 7 61x103
8 11 x 104
Kadang– Tak 9 1155 x 103
Saat Mencuci Selalu Jumlah
kadang Pernah 10 54x103
Tangan
n % n % n % n % 03 11 425 x 102
12 48 x 103
1. Sebelum makan 13 46x 103
– PP 279 95,2 14 4,8 0 0,0 293 100,0 14 209 x 103
– Dokter – – – – – – – – 15 355 x 102
2. Setelah buang 04 16 18 x 103
air besar 17 22x104
– PP 274 93,5 17 5,8 2 0,7 293 100,0 18 285x 103
– Dater – – – – – – – – 19 135 x 102
3. Sebelum me- 20 15 x 106
nangani pasien 05 21 137 x 104
– PP 249 85,0 33 11,3 11 3,5 293 100,0 22 105 x 102
– Dokter 51 41,8 58 47,5 13 10,7 122 100,0
23 53x104
4. Setelah me-
24 41 x 103
nangani pasien
25 0
– PP 284 96,9 5 1,7 4 1,4 293 100,0
06 26 142 x 103
– Ddcter 79 69,9 33 29,2 1 0,9 113 100,0
27 19 x 102
Tabel 2. Cara Mencuci Tangan Petugas RS 28 115 x 102
29 28 x 103
Jari dan Te- Sampal 30 6x 103
Jumlah
Jenis Tenaga lapak Tangan Lengan 07 31 81 x 103
32 3x103
n % n % n %
33 66 x 103
34 178 x 103
1. PP 45 15,4 248 84,6 293 100,0
35 62x103
2. Dokter 71 58,2 51 41,8 122 100,0

sebagian besarpetugas tersebut tidak melaksanakan cuci tangan.


Dalam perawatan kuku jari tangan sebagian besar petugas Ini terlihat pada waktu petugas akan memeriksa pasien, baik saat
mengaku selalu melakukan pemotongan kuku secara rutin se- pertama kali atau pergantian dari pasien satu ke pasien lainnya.
kali dalam satu minggu (Tabel 3). Hasil pengamatan menunjuk- Mereka pada umumnya mencuci tangan setelah selesai me-
kan 85% PP keadaan kuku dan tangannya relatif bersih. Hasil lakukan pemeriksaan pasien keseluruhan. Hal ini menunjukkan
pemeriksaan sampel usap tangan terhadap 35 orang PP menun- bahwa pengakuan mereka hanya berdacarkan pengetahuan
jukkan 97,1% sampel kandungan kumannya antara 19 x l02 dan mereka saja. Tindakan mereka dalam menangani pasien tidak
15 x 106 kuman (Tabel 4). sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Sedangkan bila melihat
waktu melakukan cuci tangan menunjukkan tujuan mencuci
PEMBAHASAN tangan petugas lebih diperuntukkan bagi dirin.ya daripada ke-
Sebagian besar petugas RS yang diteliti baik PP maupun pentingan pasien.
dokter mengaku selalu melakukan cuci tangan baik sebelum Sebagian petugas dalam melakukan cuci tangan tampak
maupun sesudah menangani pasien; namun dalam kenyataannya hanya jari-jari tangan yang dicelupkan ke dalam waskom berisi
tidak demikian. Hasil pengamatan perilaku menunjukkan bahwa desinfektan. Sepintas lalu tindakan demikian kelihatan asal-

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 29


asalan. Malahan sebagian dari mereka tidak melakukan cuci menggunakan sabun dapat mengurangi jumlah Staphylococcus
tangan sama sekali karena beberapa alasan antara lain fasilitas aureus rata-rata 99,7% dan Pseudomonas aeruginosa 99,8%0).
cuci tangan tidak tersedia, airnya tidak mengalir, lupa, meng- Sedangkan hasil penelitian K. Sprunt et al (1973), pencucian
anggap tidak praktis dan merasa tangannya tidak kotor. Hal ini tangan dengan menggunakan sabun dapat menghilangkan 67 –
menunjukkan masih rendahnya disiplin dan kesadaran petugas 100% coliform (median 96%)(1,3)..
akan pentingnya cuci Langan dalamm pencegahan infeksi atau Hasil pengamatan terhadap jenis fasilitas cuci tangan: se-
penularan penyakit, di samping karena jumlah sarana cuci luruh RS menggunakan waskom (wash-basin) dan hanya 3 RS
tangan yang terbatas. Hasil pengamatan di 7 RS temyata hanya (42,9%) yang menggunakan wastafel. Penggunaan waskom pada
4 RS (57,1%) yang jumlah sarana cuci tangannya memadai dan prakteknya dipakai seharian penuh tanpa diganti larutan desin-
hanya 42,9% yang keadaannya baik. Begitu juga adanya kan- fektannya sehingga memungkinkan waskom tersebut menjadi
dungan kuman yang relatif tinggi pada sebagian besar hasil sumber kontaminasi. Sebaliknya wastafel yang ada mengguna-
usap tangan petugas menunjukkan rendahnya frekuensi cuci kan putaran kran air biasa dan sebagian tidak dilengkapi sabun.
tangan dan cara cuci tangan yang belum benar, walaupun Keadaan demikian memungkinkan terjadinya kontaminasi dan
secara fisik tampak bersih. hasil pencucian kurang bersih. Sardjito dkk yang melakukan
Tampaknya kebiasaan cuci tangan di kalangan petugas RS penelitian mengenai populasi kuman pada berbagai peralatan,
belum dilakukan sepenuhnya. Boleh jadi hal ini disebabkan udara, bahan makanan dan petugas di beberapa RS di Jakarta
budaya maupun alasan-alasan tertentu sehingga para petugas menemukan Klebsiella pneumoniae dan kuman aerob berspora
RS tidak melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak pada larutan desinfektan dan Proteus vulgaris, coliform dan
dengan pasien. Hasil penelitian R.K. Albert and Condie F. kuman aerob berspora pada putaran kran air(8).
(1981) pada petugas medik suatu intensive care unit di Seattle, Ditemukannya kuman-kuman pada waskom larutan desin-
Amerika menunjukkan bahwa hanya 41% kontak dengan fektan mungkin karena jarangnya larutan desinfektan atau air
pasien yang diikuti dengan mencuci tangan. Kalangan dokter tersebut diganti sehingga petugas yang mencuci tangan bukan-
lebih sedikit (28%) dibandingkan dengan perawat (41%). nya menjadi bersih tetapi justru terkontaminasi kuman dari
Begitu juga hasil penelitian L.J. Taylor (1978) tentang teknik petugas yang mencuci tangan terlebih dahulu. Sedangkan sering
mencuci tangan tenaga perawat di Inggris menunjukkan 89% ditemukannya kuman pada putaran kran air disebabkan adanya
cara mencuci tangannya belum baik(6). reinfeksi karena tangan yang sudah bersih digunakan untuk
Pada dasamya tindakan mencuci tangan tergantung pada menutup kran air yang sudah terkontaminasi tangan kotor pada
tipe, intensitas dan lamanya kontak dengan pasien. Umumnya saat membuka kran(1).
kontak yang sangat singkat seperti berjabat tangan dengan pasien- Untuk itu dalam melakukan cuci tangan dianjurkan meng-
pasien tidak memerlukan cuci tangan. Sebaliknya kontak yang gunakan air yang mengalir dengan putaran kran yang di-
lama dan intens memerlukan cuci tangan(3). Tetapi buruknya operasikan dengan kaki(1) atau siku. Penggunaan waskom se-
kondisi lingkungan di RS menjadikan cuci tangan tetap di- bagai sarana cuci tangan dapat diterima asalkan frekuensi peng-
perlukan setiap akan melakukan suatu tindakan, khususnya gantian air dan desinfektan dalam waskom dilakukan sesering
tindakan-tindakan invasif atau pembedahan serta di ruangan- mungkin. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadi-
ruangan tertentu. Dan berbagai penelitian diketahui bahwa nya reinfeksi.
keadaan sanitasi RS masih belum memadai dan ditemukan
berbagai kuman penyebab infeksi nosokomial pada ruangan- KESIMPULAN
ruangan dan berbagai peralatan di RS(1.7.8.9.10). Berdasarkan hasil penelitian di atas maka diperoleh ke-
Untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, maka se- simpulan bahwa tindakan cuci tangan petugas RS masih
luruh petugas RS pada waktu tiba di RS, sebelum dan sesudah rendah, khususnya pada waktu sebelum menangani pasien. Hal
kontak dengan pasien dan perlengkapannya, setelah dari kamar tersebut disebabkan oleh 1) kurang memadainya fasilitas cuci
mandi/WC, sebelum dan sesudah makan, jika tangan tampak tangan, 2) kurang adanya kesadaran petugas akan pentingnya
kotor dan sebelum pulang ke rumah diharuskan melakukan cuci cuci tangan dalam pencegahan infeksi nosokomial dan 3) kurang
tangan(1,2,3,4,5,11,12). adanya pengawasan.
Pencucian tangan rutin selama kegiatan perawatan pasien Untuk itu disarankan :
dianjurkan menggunakan air bersih yang mengalir dengan 1. Peningkatan jumlah dan kualitas fasilitas cuci tangan,
menggunakan sabun(1,3). Sedangkan untuk tindakan-tindakan khususnya wastafel yang putaran krannya dioperasikan dengan
lain khususnya tindakan insersi diperlukan antiseptik(3). kaki atau siku.
Penggunaan air dan sabun serta antiseptik dapat menghilangkan 2. Diadakan peraturan dan tanda-tanda peringatan yang jelas
kuman-kuman dan kotoran. di setiap ruangan tentang keharusan mencuci tangan.
Penelitian Casewell & Philips (1977) menunjukkan bahwa 3. Perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap kebiasaan
mencuci tangan dengan air (tanpa sabun) dapat menghilangkan cuci tangan petugas khususnya yang berhubungan langsung
kurang dari 98% Klebsiella, sedangkan dengan menggunakan dengan pasien.
sabun dapat menghilangkan lebih dari 98% Klebsiella. Peneli- 4. Peningkatan kesadaran petugas tentang pentingnya cuci
tian EJ.L. Lowbury et al menunjukkan bahwa mencuci tangan tangan melalui penyelenggaraan penyegaran tentang pencegah-

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


an infeksi nosokomial. Public Health and Preventive Medicine, Eleventh Ed, New York: Apple-
ton-Century-Crofts, 1980.
UCAPAN TERIMA KASIH 6. Feachem RG. Intervention for the control of Diarrhoeal Diseases among
Young Children: Promotion of personal and domestic hygiene, Bull WHO,
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat 1984; 62(3).
Penelitian Ekologi Kēsehatan yang telah memberikan kesem- 7. Musadad DA, Lubis A, Kasnodihardjo, Sunanti Zalbawi, Djarismawati.
pawn kepada penulis untuk melakukan penelitian. Begitu pula Aspek sosiologis sanitasi Rumah Sakit di DKI Jakarta. Laporan Penelitian,
kepada seluruh Direktur dan staf RS yang telah membantu Jakarta, 1989.
8. Sardjito R, Rahim A, Elizabeth H. Pemantauan mikrobiologik lingkungan
terselenggaranya penelitian ini. di dalam Rumah Sakit. Laporan Penelitian, Jakarta.
9. Sardjito R, Rahim A, Suharto. Penelitian mengenai populasi kuman
(mangan, udara, peralatan, bahan makanan/minuman dan petugas) di
beberapa Rumah Sakit dan Laboratorium di Jakarta, Penelitian Terbaik
FKUI 1984. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
KEPUSTAKAAN
1985.
10. Gunawan N. Pelaksanaan Sanitasi Rumah Sakit di Jawa Tengah. Kumpul-
1. Maurer IM. Hospital Hygiene, Third Ed, London: Edward Arnold Ltd, an Materi Seminar Sanitasi Rumah Sakit, Jakarta, 29 Pebruari – 1 Maret
1985. 1988.
2. Freedman B. Sanitarian's Handbook, 4th Ed, New Orleans-Lousiana: 11. Panitia Penyusunan Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial.
Peerless Publ Co, 1977. Petunjuk Teknis Pengendalian Infeksi Nosokomial Di RS DR Cipto
3. US Department of Health And Human Services. Guidelines for the Mangunkusumo, Jakarta, 1989.
prevention and control of Nosocomial Infections, Georgia: Atlanta, 1981. 12. Departemen Kesehatan RI. Kumpulan Makalah Penataran Isolasi Penderita
4. Knittle MA, Eitzman DV, Baer H. Role of hand contamination of per- Penyakit Menular (Infeksi Nosokomial Dan Pencegahannya), Jilid II,
sonnel in the epidemiology of gram-negative nosocomial infections, J Jakarta, 1984.
Pediatr, 1975; 433. 13. Sprunt K, et al. Antibacterial Effectiveness of Routine Hand Washing,
5. Dixon RE, Mallison GF. Nosocomial Infections. Dalam: Maxcy-Rosenau Pediatr 1973; 52.
Air sebagai Sumber Kontaminasi

Usman Suwandi
Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN Tabel 1. USP XX Standards for Water Purity


Numerical Interpretations of Standard.
Air merupakan kebutuhan utama makhluk hidup, tidak hanya
bagi manusia, hewan dan tumbuhan tetapi juga mikroorganisme. Purified Water Water for Injection
Beberapa tipe mikroorganisme tertentu, dapat tumbuh dengan Components
mg/1 mg/1
baik di dalam air, sehingga dapat mengganggu peruntukan air
tersebut. pH 5.0 – 7.0 5.0 – 7.0
Choride 0.5 0.5
Untuk sediaan farmasi terutama sediaan parenteral, air me- Sulfate 5.0 5.0
rupakan bagian yang sangat penting. Air ini digunakan untuk Ammonia 0.3 0.3
mencuci kontainer, peralatan, bahkan sering digunakan sebagai Calcium 1.0 1.0
pembawa. Perusahaan farmasi memerlukan banyak air bersih, Heavy Metals 0.4 0.4
Oxidizable Substance 3.0 – 4.0 3.0 – 4.0
tentu lebih disukai air yang murni dan tidak mahal. Total Solids 10.0 10.0
Air yang baik untuk diminum biasanya mengandung berbagai Bacteriological Purity * **
kontaminan seperti elektrolit, substansi organik, mikroorga- Pyrogens – ***
nisme, partikel gas terlarut misalnya karbon dioksida, oksigen.
Air minum sering mengandung klorin. Zat ini dapat dihilangkan Note : * Complies with federal EPA regulations for drinking water.
** Depends on use.
dengan distilasi atau dengan berbagai proses purifikasi lainnya. *** Absent by rabbit test, or below predetermined concentration, as
Di USP, air yang digunakan sebagai vehicle sediaan injeksi measured by LAL test.
harus memenuhi syarat waterier injection. Bahan ini merupakan
air yang telah dimurnikan dengan distilasi atau reserve osmosis KONTAMINAN AIR
dan memenuhi syarat standar kemumian purified water. Standar Industri farmasi banyak membutuhkan air distilasi dan de-
kedua jenis air tersebut dapat dilihat pada tabel I. Air tersebut mineral. Untuk mendapatkan air tersebut diperlukan bahan baku
tidak hanya memenuhi syarat kemurniaan secara kimiawi saja, air yang mempunyai kualitas baik, karena kualitas yang jelek
tetapi juga harus bebas dari substansi pirogenik yaitu penyebab dapat menimbulkan gangguan, baik dalam proses pembuatan
terjadinya reaksi febril setelah injeksi sediaan steril. Zat ini air tersebut maupun air yang dihasilkan. Pada dasarnya ada 4
dianggap berasal dari bakteri dan mempunyai sifat dapat lam t macam kontaminan yang ada dalam air.
air, filtrable, termostabil, dan non volatile. Jumlah relatip kecil 1. Anorganik terlarut
substansi ini sudah cukup menyebabkan efek samping yang Garam anorganik di dalam air dapat terdisosiasi membentuk
serius dan reaksinya akan lebih serius pada injeksi intravena ion positip dan negatip, misalnya kalsium dan magnesium se-
volume besar, karena dosisnya akan lebih besar dan langsung bagai pembentuk kesadahan (hardness) air. Bila air diuapkan,
masuk ke pembuluh darah. ion-ion ini bersama dengan ion-ion seperti karbonat, dapat dien-

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


dapkan membentuk kerak (hard scale). Pembentukan kerak pada Untuk mengetahui macam mikroorganisme yang terdapat dalam
tabung evaporator dapat mengurangi transfer panas dan akhirnya air dapat dilihat pada gambar 1.
akan mengurangi kapasitas. Untuk menghilangkan kerak ini Untuk menjamin berfungsinya proses pemurnian air dengan
diperlukan zat-zat kimia pembersih. baik, pre-treatment air baku sangat diperlukan, terutama untuk
mengilangkan padatan tersuspensi dan untuk mengurangi
kandungan substansi organik. Umumnya problem mengenai
2. Organik terlarut substansi ionogenik dapat ditangani dengan baik, namun sub-
Substansi organik terlarut mencakup hasil samping berbagai stansi non-ionogenik seperti bakteri atau virus dapat menimbul-
pembusukan dan semakin meningkat dengan bt.rtambahnya kan masalah.
produk-produk yang dihasilkan manusia seperti herbisida,
pestisida, kloramin, trihalomethane dan detergen serta berbagai PURIFIKASI AIR
hasil bio-dekomposisi lainnya. Zat-zat organik terlarut ini dapat Di USP dinyatakan bahwa water for injection dapat dibuat
mengganggu evaporasi dan sangat berpengaruh pada resin dengan distilasi atau reverse osmosis dan harus memenuhi syarat
penukar ion, karena dapat menyumbat atau melapisi tempat kemumian pada purled water. Perbedaan keduanya terutama
pertukaran, sehingga mengurangi keefektifan deionizer. untuk water for injection harus memenuhi batas kandungan
endotoksin bakteri.
3. Partikel tersuspensi
Partikel terusupensi meliputi debu kerak, serabut, mineral 1. "Ion-exchange"/penukar ion.
dan organik tak larut. Partikel-partikel ini dapat dihilangkan Penukar ion biasanya digunakan untuk pemurnian air yaitu
dengan filtrasi dan dapat menyebabkan gangguan pada proses untuk memperoleh air demineral dan softened water. Demi
distilasi maupun demineralisasi. neralisasi dapat dilakukan dengan menggunakan penukar kation
dan anion. Setiap penukar ion dapat disusun pada kolom yang
4. Mikroorganisme berlainan maupun pada kolom yang sama. Penukar ion pada
Kontaminan mikroorganisme dalam air untuk keperluan far- umumnya menggunakan bentuk H* untuk penukar kation dan
masi mungkin dapat merupakan problem utama. Mikroorga- bentuk bentuk OH- untuk penukar anion. Ion H* akan meng-
nisme tertentu dapat berkembang dengan baik di dalam air. gantikan kation dalam air dan ion OH- akan menggantikan anion
dalam air. Softener digunakan untuk menghilangkan ion kalsium
dan magnesium, dan menggantinya dengan ion sodium. Proses
ini banyak digunakan untuk mereduksi hardness air sebelum
dipakai distilasi atau reverse osmosis.

2. Distilasi
Distilasi merupakan salah satu cara untuk memproduksi water
for injection. Pada prinsipnya merupakan pemanasan air sampai
mendidih dan uap aimya kemudian dilewatkan kondensor de-
ngan temperatur rendah sehingga uap terkondensasi, lalu di-
kumpulkan dan disimpan. Kelemahannya beberapa kontaminan
atau residu dapat terbawa kondensat.
Untuk mengurangi residu atau kontaminan dan gangguan
lain, diperlukan batas kandungan berbagai zat dalam air yang
digunakan antara lain :
1. Magnesium,kalsium dan karbonat
Pada saat evaporasi ion ini dapat mengendap bersama anion
karbonat membentuk kerak hard scale. Pembentukan kerak
pada tabung evaporator tentu dapat mengurangi transfer panas
dan kapasitas.
2. Klorid,klorin bebas dan silika
Klorid dan klorin bebas pada stainless steel dapat menye-
babkan stress corrosion cracking, terutama pada daerah sam-
bungan. Ini dapat terjadi pada konsentrasi relatip rendah.

3. Reverse osmose (RO)


Pemurnian air menggunakan membran reverse osmosis sering
Fig. 1 Microorganisms occurring in water (mainly after Wailhausser 1978) digunakan karena membran ini mampu memisahkan berbagai

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 33


ion, partikel, garam terlarut, substansi organik, subtansi koloid pembilasan zat-zat kimia pembersih:
dan bakteri dari molekul air, sehingga diperoleh air berkualitas b. Sanitasi
tingi. Sanitasi rutin dan pemeliharaan yang tepat akan menyebabkan
Osmosis merupakan proses dua larutan yang dipisahkan kerja sistem dapat diandalkan dan kualitas air yang dihasilkan
membran semi permeabel, di mans air akan bergerak melalui akan konsisten. Proses pembersihan dapat dilakukan sebagai
membran dari larutan konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi preventif atau pencucian aktif. Zat-zat kimia yang biasa digunakan
dalam usaha menyamakan konsentrasi di kedua sisi membran. untuk sanitasi membran RO antara lain :
Dengan menggunakan tekanan, proses osmosis akan berbalik, – Klorin, digunakan untuk membran yang stabil dalam ling-
air melalui membran akan bergerak meninggalkan larutan pekat. kungan oksigen seperti CA dan polisulfon. Konsentrasi 10 mg/1
Pada saat air merembes melalui membran, kotoran harus dibuang selama 30 menit, sudah merupakan cara sanitasi yang baik.
secara terus menerus untuk mencegah pengotoran membran. – Peracetic acid, efektif untuk membran RO oxidizable-
Membran yang digunakan untuk reverse osmosis biasanya stable dengan konsentrasi 100 mg/I selama 30 menit.
merupakan polimer komplek. Polimer yang paling lazim Keuntungan zat ini yaitu mudah dibilas.
digunakan yaitu Cellulose Acetate Triacetate (CA), polyamide – Formalin, biasanya digunakan untuk membran RO yang
(PA), Thin film composite (TEC) dan Sulfon composite. (tabel 2). peka terhadap oksidasi kimia yaitu PA dan TFCRO. Formalin
konfigurasi membran RO yang paling lazim digunakan untuk efektif digunakan pada konsentrasi 1-2% selama 1– 2 jam.
pemumian air yaitu spiral wound dan hollow fibre. Perbedaan Kelemahan zat ini yaitu sering sukar dihilangkan dari sistem.
keduanya antara lain bahwa spiral wound dapat beroperasi pada c. Pengontrolan
tekanan lebih tinggi dan lebih mudah dibersihkan, sedangkan Mikroprosesor dapat digunakan untuk mengontrol sistem
keuntungan hollow fibre yaitu jumlah area membran per unit RO secara terus menerus dan konsisten serta dapat mencatat
volume lebih besar. Laju air yang dihasilkan tergantung pada semua kondisi sistem operasi.
sifat membran, kimiawi air yang digunakan dan kondisi operasi
seperti temperatur dan tekanan. Pretreatment air baku sangat 4. Pengelolaan
diperlukan untuk mengoptimasi sistem RO. Air yang sudah diperoleh hendaknya ditangani dengan baik
Sistem RO mempunyai 2 macam bentuk yaitu : sesuai dengan peruntukannya. Kontaminasi perlu dicegah karena
– One pass RO beberapa mikroba dapat hidup dengan baik dalam air tersebut.
– Two pass RO (TPRO) Kruger (1980) telah melakukan percobaan untuk mengetahui
Kemampuan sistem tersebut mengeliminasi berbagai subs- perilaku berbagai mikroba pada air distilasi ganda dan demineral.
tansi dapat dilihat pada tabel 3. Kedua sistem ini telah banyak Pada gambar 2 dan 3 dapat dilihat bahwa fungi dan yeast dapat
digunakan untuk memperoleh purified water dan WFI; selain hidup pada air distilasi ganda, bahkan Achromobacter sp dan
itu juga digunakan untuk menghasilkan airuntuk aplikasi medis Flavobacter sp dapat meningkatkan populasinya setelah 72 jam
seperti hemodialisis. inokulasi. Sedangkan E. coli dan Pseudomonas aeruginosa
Dalam usaha meningkatkan produktivitas sistem RO, Walter populasinya menurun mendekati nol setelah 72 jam inokulasi.
S. (1984) memberikan saran untuk memperhatikan hal-hal berikut: Problem utama pada air distilasi ganda dalam kaitannya
a. Mengeliminasi low flow areas dengan kontaminasi mikroba adalah pirogenitas. Substansi
Area tergenang dan aliran yang lambat dapat merupakan pirogenik ini berhubungan sangat erat dengan kontaminasi
sumber kontaminasi bakteri dan dapat menyebabkan kesukaran mikroba, seperti pernah diamati oleh Kruger (1980). Pada saat
air distilasi ganda diinokulasi 100 organisme per ml dan
disimpan pada temperatur kamar, setelah 1– 2 hari ternyata
Tabel 2. Ro Membrane Environmental Characteristics. dapat menimbulkan pirogenitas pada saat diuji dengan LAL.
Cellulose Amide Sulfane
Perilaku berbagai mikroba pada air demineral juga diamati oleh
Polyamide Kruger (1980). Dan mikroba yang digunakan, ternyata semua
pH Acetate Composite Composite
4-9
4-7 3-10 2-12 dapat tumbuh dengan baik sampai 72 jam pengamatan (gb. 4).
Temperature 35°C 39°C 50°C 70C
Rejection Low-Medium Medium High High PENUTUP
Oxidation Good Poor Poor Very Good Kontaminan air dapat berupa partikel tersuspensi, substansi
Bacteria Good Very Good Exeellent Excellent terlarut atau mikroorganisme. Untuk memperoleh air yang murni,
Fluxrate Low-Medium Low High Medium
dapat menggunakan berbagai macam cara purifikasi, tergantung
pada kegunaan air tersebuL Karena setiap cara mempunyai
Tabel 3. Reverse Osmosis Rejection .
kemampuan mengeliminasi kontaminan berbeda-beda. Sebagai
One-Pass RO Two-Pass RO gambaran kemampuan mengeliminasi berbagai kontaminan
oleh berbagai proses purifikasi dapat dilihat pada tabel 4.
Dissolved Solids 95% 99% Air hasil proses purifikasi harus ditangani dengan baik, untuk
Organics (pytogens) 99% 99,99%
Bacteria 99% 99.99% mencegah kontaminan terutama mikroba. Karena sedikit daja
terjadi kontaminasi dapat menyebabkan risiko pirogenitas.

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Table 4. Water. purification process comparison (1) Actived carbon will remove chlorine by absorption
(2) Special grades of carbon are available which exhibit excellent trace organic
removal capabilities
(3) Will remove organics based on molecular weight cutoff of ultrafilter mem-
brane
(4) Certain UV oxidation systems have been specifically designed to exhibit
excellent trace organic removal capabilities. These are not tobeconfused
with UV sterilizers
(5) UV systems, while not physically removing bacteria, may have bactericidal
or bacteriostatic capabilities limited by intensity, contact time and flowrate

KEPUSTAKAAN

1. Ultrafiltration or reverse osmosis for low bacteria count water for purified
water. Hartech.
2. The United States Pharmacopea 21st. rev. Rockville USP Convention, Inc.
1984.
3. Groves MJ. Parenteral Products, London: William Heinemann Medical
Books Ltd. 1973 : 48 - 166.
4. Kruger D. Water as Source of Microbial Contamination-a New Possible
Method of Influence. Part I. Drug Made in German 1980; 23 (1) : 16 - 20.
5. Mahoney RF. Distillation Pretreatment Equipment Considerations, Pharma-
ceutical Engineering, 1984; March - April : 26 - 32.
6. Marquadi K. State of the An in Ultra - Pure Water Technology - New
Trends, Drug Made in German, 1985; 28 (2) : 82 - 94.
7. Rossler R. Water and Air, two important Media in the Manufacture of
Note : Sterile Pharmaceuticals, with regard to the GMP, Drug Made in German,
E – Excellent - capable of complete or total removal 1976 ; 19 (4) t 130 - 6.
G – Good - capable of removing large percentages 8. Standnisky W. Reverse Osmosis, Technology and Systems for Water Purifi-
P – Poor, little or no removal cation, Pharmaceutical Engineering, 1984 : March - April : 34 - 6.

Men's natures are all -alike; it is their habit that carry them apart
(Confucius)
Infeksi pada Transplantasi Ginjal dan
Pencegahannya
R.P. Sidabutar, Suhardjono
Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN yang lain adalah akibat infeksi nosokomial.


Pada masa lalu, yaitu tahun 1960-an infeksi masih me- Infeksi bakteri pada 1 bulan pertama biasanya terdapat pada
rupakan penyebab kematian yang utama pada transplantasi saluran kencing, luka operasi, sistim pernapasan, dan akses
ginjal(1); lebih dari 50% penderita transplantasi meninggal karena vaskuler. Infeksi ini dapat berlanjut menjadi septikemia yang
infeksi, baik bakteri konvensional ataupun infeksi opurtunistik berakibat fatal. Infeksi bakteri yang tidak konvensional seperti
dan jamur. Dalam masa kurang dari 1 bulan pasca operasi, angka listeria, mikobakteria, legionella dapat terjadi kemudian. Virus
kematian akibat infeksi mencapai 25% dari seluruh kematian(1). herpes simplex cukup sering terjadi dan awal, akan tetapi
Semakin lama mortalitas akibat infeksi dengan jelas menunjuk- umumnya self limiting. CMV cukup sering didapat, dan
kan penurunan(2); hal ini disebabkan oleh semakin majunya menimbulkan banyak masalah, biasanya terdapat sesudah 1
teknik pembedahan, pencegahan dan pengobatan infeksi serta bulan. Herpes zoster dapat terjadi setelah bulan-bulan awal
imunosupresi. transplantasi. Infeksi nocardia, jamur, protozoa, lebih jarang
Walaupun sudah banyak kemajuan yang didapat pada masa didapatkan. Infeksi jamur mencapai puncak tertinggi pada 2 - 3
ini, infeksi pada transplantasi ginjal masih menjadi masalah. bulan pasca transplantasi ketika dosis prednison masih sekitar
Sering resipien pada suatu saat, dirawat kembali oleh karena 60 mg/hari .(Gambar 1).
infeksi yang dialaminya yang membahayakan jiwa dan ginjal-
nya. PREDISPOSISI INFEKSI
Transpiantasi ginjal hanya dapat berhasil baik apabila kita Penderita transplantasi ginjal lebih mudah mendapat
dapat memberikan dosis obat yang cukup mensupresi meka- infeksi oleh karena beberapa faktor(3) :
nisme rejeksi, akan tetapi tidak menurunkan kemampuan imu- 1. Penderita sudah lama dalam keadaan uremia, anemia yang
nitas tubuh untuk mengatasi infeksi. membuat sistim kekebalan rendah.
2. Faktor obat-obat imunosupresi, selain itu Alga prednison
INFEKSI PADA TRANSPLANTASI GINJAL memperlambat penyembuhan luka.
Pada dasarnya ada 2 jenis infeksi yang sering terjadi yaitu 3. Operasi yang meliputi vaskuler dan saluran kemih,
infeksi bakteri konvensional dan infeksi yang tidak konven- kemungkinan kontaminasi.
sional. Infeksi pada 4 minggu pertama transplantasi umumnya Selain dosis steroid yang tinggi, infeksi dimudahkan dengan
adalah konvensional oleh karena tindakan operasi. adanya netropenia, hiperglikemia, fungsi ginjal yang kurang,
Apabila terjadi infeksi tidak konvensional seperti infeksi hepatitis, splenoktomi.
virus yang jarang, jamur, protozoa atau tuberkulosis, kemungkin- Infeksi pada luka dipengaruhi oleh adanya hematom, fistula
an memang penderita sudah mengidap penyakit tersebut sebe- urin, ada tidaknya diabetes dan asal ginjalnya(4). Jadi pengalaman
lumnya. Pemberian dosis tinggi imunosupresi memungkinkan dan kemahiran ahli bedah amat berperan terhadap timbulnya
eksaserbasi dan diseminasi infeksi-infeksi ini. Kemungkinan infeksi pada luka operasi.

Dipresentasikan pada : Simposium Infekri Nosokomiat pada Pasien Imuno-


kompromi, Jakarta 8 Februari 1992.

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Pasca Operasi
Luka operasi tiap hari dibersihkan
CVP line: hari ke-2 dicabut
Kateter hari ke 3 - 5 dicabut
Suction drain secepatya dicabut
Antibiotika 3 - 5 hari
Kultur darah, urin, drain, luka setiap hari selama 2 minggu.
* Acydovir apabila ada indikasi (2 minggu atau lebih lama).

Evaluasi calon donor amat penting karena penularan pe-


nyakit melalui ginjal yang ditransplantasikan mungkin terjadi.
Di Indonesia semua transplantasi dilakukan dengan donor hidup,
sehingga lebih menguntungkan oleh karena kita mempunyai
cukup waktu untuk memerilcsa donor dan memilih yang sehat.
Pemeriksaan serologik HIV akhir-akhir ini mulai dilakukan.

PENCEGAHAN INFEKSI PADA SAAT OPERASI


Angka infeksi amat menurun dengan membaiknya teknik
pembedahan, antara lain dengan menghindari terjadinya he-
matom, kebocoran urin dan pengumpulan limfe. Untuk meng-
hindari pengumpulan darah, limfe atau pembentukan ruang yang
menyebabkan infeksi bakteri, dipakai suction drain, walaupun
Gambar 1. Waktu terjadlnya Infeksi pada penderita transplantasi ginjal. dikatakan bahwa pemasangan drain menambah kemungkinan
terjadinya infeksi. Operasi ulangan oleh karena sesuatu hal se-
PENCEGAHAN INFEKSI PADA TRANSPLANTASI perti perdarahan, kebocoran urin, akan menambah kemungkinan
GINJAL infeksi.
Untuk mencegah infeksi, dalam pemeriksaan awal telah Tak semua senter memberikan antibiotika profilaksis, wa-
dibuat suatu prosedur untuk mencari kemungkinan adanya in- laupun banyak yang menganjurkan hal Mi. Kami di sini mem-
feksi. Hal ini meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan labora- berikan cephalosporin generasi ke-3 atau ampisilin selama 5
torium baik dari calon donor maupun resipiennya. Kemudian hari.
dilakukan usaha-usaha untuk menekan kemungkinan terjadinya
infeksi dari luar maupun dari dalam tubuh penderita sendiri PENCEGAHAN INFEKSI SESUDAH TRANSPLANTASI
(Tabel 1). Penderita transplantasi sebaiknya dirawat di ruang yang
semi steril, dengan prosedur yang biasa dilakukan di ruang steril.
Tabel 1. Protokol pencegahan Infeksl transplantasi ginjal Setiap yang masuk memakai baju khusus, mencuci tangan
Pemerlksaan awal Calon Resipien
dengan antiseptik, memakai masker.
Foto thorax: tbc, bronkiektasis. Selama minggu pertama dan kedua dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan gigi, THT; fokus infeksi. laboratorium setiap hari; Hb, lekosit dan lain-lain kultur, darah,
Pemeriksaan ginekologik min, drain, luka operasi, dilakukan setiap hari. Setiap dilakukan
Urin; kultur dan pemeriksaan Antibidy Coated Bacteria
Darah: Virus; CMV, HSV, Hepatitis B, C
pengangkatan kateter atau drain atau i.v. line, selalu dilakukan
(WR, VDRL, HIV) pemeriksaan kultur pada ujung atau puntung alat-alat tersebut.
Kultur kulit, hidung, tenggorokan Setelah minggu ke-2 apabila tidak ada indikasi lain kultur di-
* Infeksi yang aktif harus diobati terlebih dulu. lakukan 1 kali seminggu sampai penderita pulang. Pada umum-
Pemeriksaan Awal Calon Donor nya penderita dipulangkan pada minggu ke-3 atau ke-4 pasca
Foto thorax operasi.
Pielografi Intra Vena Antibiotika diberi apabila ada demam, sesuai dengan hasil
Urin, kultur, Antibody Coated Bacteria kultur terakhir dan organ yang terkena.
Darah: CMV, HSV, Hepatitis B, C.
(TPHA, VDRL, WR, HIV)
PENGALAMAN DI JAKARTA
Pra operasi
Dalam 12 tahun terakhir, 27% kematian pada transplantasi
Sterilisasi kamar perawatan resipien; fogging dengan Resiguard, UV 24 jam ginjal di RSCM dan RS Cikini, disebabkan oleh infeksi (Gam-
Penderita mandi dengan antiseptik
Daerah operasi dikompres betadin
bar 2).
Dekontaminasi usus; Neomisin/Polymixin Dengan prosedur yang kami lakukan sampai saat ini, infeksi
Oral Tobramycin/Colistin pada saat perawatan jarang terjadi. Pada perawatan pasca trans-
Mycostatin/Amphotericine B plantasi kemungkinan tersering adalah terjadinya infeksi pada
Antibiotika profilaksis
luka operasi; biasanya disebabkan oleh Stafilokokus aureus/

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 37


dalam jangka lama sering meningkatkan terjadinya infeksi virus
atau jamur. Saat ini untuk profilaksis kami hanya memakai
ampisilin selama 5 hari. Banyak pusat transplantasi di Amerika
memakai Trimetoksasol-SMZ sebelum dan sesudah operasi untuk
jangka yang amat lama(6). Akan tetapi angka infeksi yang terjadi
ternyata masih lebih besar apabila dibandingkan dengan yang
terjadi di sini. Penderita yang mengalami infeksi Legionella paru
dapat tertolong dengan pemberian Siprofloksasin, tetapi kemu-
dian meninggal karena residif dengan infeksi yang amat luas dan
distres pernapasan.
Obat anti virus tidak diberikan secara rutin sebagai profilak-
sis. Apabila terdapat tanda yang jelas dari infeksi virus, kami
memberi Acyclovir parenteral atau oral; semua kasus Herpes
Zoster menunjukkan perbaikan dalam waktu singkat dengan obat
Gambar 2. Penyebab kematian pada Transplantasi Ginjal dalam kurun
waktu 12 tahun d Jakarta ini. Untuk pencegahan infeksi, calon donor yang menunjukkan
infeksi CMV, HSV, tidak dianjurkan mendonorkan ginjal ke-
pada resipien dengan hasil tes serologi yang negatif.
Pada tiga orang yang mengalami infeksi jumur sistemik
kami berikan Ampoterisin B. Obat ini menyebabkan toksisitas
dan akhirnya penderita talc tertolong. Walaupun saat ini sudah
ada obat anti jamur yang lebih aman, kami selalu ekstra hati-hati
terhadap kemungkinan infeksi jamur.

PENUTUP
Infeksi pada transplantasi ginjal amat menentukan survival
penderita dan ginjal cangkoknya. Oleh karena itu tindak pen-
cegahan dan pengobatannya perlu terus diperbaiki. Sampai saat
ini angka kejadian infeksi yang didapat di Indonesia tak berbeda
dengan di negara maju. Hal ini juga membuktikan bahwa tidak
selalu hal-hal yang dilakukan di luar negeri harus selalu diterap-
kan di sini. Banyak biaya yang dapat dihemat oleh karenanya.
KEPUSTAKAAN

Gambar 3. Keseringan Inreksi dari 100 Transplantasl Ginjal dl Jakarta 1. Hill RB, Dahrling BE, Starzl TE, Rifkind D. Death after transplantation. An
(Sidabutar, Suhardjono dan Sumardjono 1990). analysis of sixty cases. Am J Med. 1967; 42: 327-33.
2. Hill MN, Grossman RA, Feldman HI, Hurwitz SH, Dafoe DC. Changes in
casse, of death after renal transplantation, 1966 to 1987. Am J Kidney Dis.
albus yang masih sensitif terhadap ampisilin. Kami mendapatkan 1991; 17: 512-S.
seorang penderita dengan abses yang cukup besar di bekas luka 3. Winearls CG, Lane DJ, Kurtz J. Infectious complications after renal trans-
operasi dengan febris yang tinggi, setelah hampir 2 bulan pasca plantation. Dalam Morris PJ (Ed.). Kidney Transplantation. Principles and
Practice. 2nd ed. London, Grune & Stratton, 1984.
bedah. Dengan insisi dan pemberian ampisilin penderita ini dapat 4. Kyrriakides GK, Simmons RL, Najarian JS. Wound infections in renal
sembuh. Dalam kepustakaan pernah dilaporkan tetjadinya in- transplant wounds. Padaogenetic and prognostic factor. Ann. Surg. 1975;
feksi pada daerah bekas luka operasi pada 2 penderita setelah 182: 770.
transplantasi ginjal 4½ dan 17 tahun(5). Pada satu kasus terdapat 5. Francis DMA, d'Apice AJ, Clunie GJA. Wound infections presenting several
years after successful renal transplantation. Transpl. Proc. 1988; 20: 128-30.
sisa benang nilon dan pada kasus yang kedua tidak diketemukan. 6. Migliori RJ, Simmons RL. Infection prophylaxis after organ transplantation.
Untuk profilaksis di awal program transplantasi ginjal kami Transplantation Proc 1988; 20: 396-399.
memakai cephalosporin generasi ke-3 selama 7 hari. Dengan 7. Rubin RH. Infection in the renal transplan patient. Dalam: Rubin RH, Young
dimulainya pemakaian cyclosporin, kami mencurigai adanya pe- LS (eds). Clinical Aproach to Infection in Compromised Host. New York:
Plenum, 1981. p 553-605.
ningkatan nefrotoksitas akibat kombinasi obat-obat ini, sehingga 8. Sidabutar RP, Suhardjono, Sumardjono. Transplantasi ginjal, pengalaman
antimikroba ini kami hindari. Dari kesan yang kami alami selama dan beberapa aspek khusus di Indonesia. Proc. Simposium Beberapa Aspek
ini, pemakaian antimikroba yang mempunyai spektrum lebar Penatalaksanaan Penyakit Ginjal, Jakarta 1990: 111-125.

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Dampak Proses Chlorinasi Air
pada Kesehatan

Inswlasri , Agustina Lubis


Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Senyawa-senyawa trihalomethane (THM) tclah ditemukan dalam air bersih untuk


rumah tangga, air tanah, air permukaan dan dalam air kolam renang atau pemandian.
Kadar paling tinggi terdapat dalam kolam renang.
Untuk menghindari atau mereduksi terbentuknya THM, harus dihilangkan zat-zat
organik terlebih dahulu sebelum proses' chlorinasi atau mengganti jenis disinfektan
dengan jenis lain yang tidak menyebabkan terbentuknya THM. Tetapi dalam keadaan
darurat THM dapat dihilangkan dengan merebus air selama 3–5 menit. Untuk kolam
renang dengan sistem tertutup, sirkulasi udara harus dibuat sebaik mungkin, sehingga
THM yang terdapat dalam udara di was permukaan air kolam tidak akan mengambang di
tempat tetapi dapat pindah/mengalir mengikuti sirkulasi udara.

PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi dan indus-


Air selalu berada dalam sildus hidrologik sehingga relatif trialisasi menyebabkan masalah lingkungan makin besar dan
jumlahnya tetap. Air hujan turun ke bumi, sebagian meresap ke membahayakan kesehatan manusia. Untuk memenuhi kebutuh-
tanah menjadi air tanah dan sebagian lagi tinggal/mengalir di an air sehari-hari sangat sulit ditemukan air dengan kualitas yang
pennukaan tanah seperti danau dan sungai yang disebut dengan memenuhi syarat. Oleh karena itu diperlukan pengolahan air
air permukaan. Air permukaan ini divapkan oleh panas matahari yang ada agar sesuai dengan kualitas yang diinginkan seperti
naik ke atas menjadi awan yang akhirnya terkondensasi menjadi untuk air minum, air kolam renang dan sebagainya.
embun atau hujan.
Air yang sehat bagi kehidupan manusia adalah air yang tidak PENGOLAHAN AIR
terkontaminasi dan tidak dapat menimbulkan penyakit yang Proses pengolahan air ini sangat tergantung dari karakteris-
disebarkan melalui air, bebas dari unsur-unsur yang beracun, dan tik aii baku dan kualitas air yang diinginkan. Proses pengolahan
bebas dari sejumlah mineral dan zat organik yang berlebihan(1). air sēcara garis besar terdiri dari proses biologik, mekanik dan
Pencemaran di kota-kota besar yang berasal dari limbah rumah kimiawi. Dalam suatu unit pengolahan air biasanya digunakan
tangga dan industri dapat menurunkan kualitas air. kombinasi antara proses-proses tersebut. Khusus untuk proses
Air merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan. Kualitas kimiawi di antaranya adalah proses netralisasi dengan asam atau
dan kuantitas air sangat bervariasi tergantung dari peruntukan- basa, chlorinasi/ozonisasi, pertukaran ion dan sebagainya.
nya. Standar kualitas air untuk kebutuhan hidup manusia (disebut Proses chlorinasi adalah pembubuhan chlor atau senyawa
air bersih) lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kualitas air chlor ke dalam air dengan tujuan untuk membunuh kuman atau
untuk keperluan yang lain. menghilangkan bau (untuk industri). Senyawa-senyawa chlor

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 39


yang banyak digunakan dalam proses chlorinasi pada umum- Penelitian pada tahun 1983 yang dilakukan oleh Chambon
nya adalah gas chlorin, senyawa hipochlorit, chlorine dioksida, dkk menemukan kadar chloroform dalam kolam renang berkisar
bromine chlorida, dihydroisocyanurate dan chloramine. Proses antara 83 – 665 ug/1o), sedangkan dalam penelitian Lahl dkk
chlorinasi ini banyak digunakan dalam mengolah limbah in- tahun 1981 ditemukan kadar chloroform dalam kolam renang
dustri, air kolam. renang, air minum di negara-negara yang berkisar antara 50 – 980 ug/P. Penelitian yang dilakukan oleh
sedang berkembang karena biayanya relatif murah, mudah dan Frank M. Benoit tahun 1986 di tempat-tempat pemandian air
efektif sebagai disinfektan. Reaksi kimia yang terjadi pada saat panas untuk umum menyatakan bahwa kadar chloroform dan
chlorinasi dengan gas chlor atau dengan kaporit adalah sebagai bromoform dalam air adalah 35 – 674 ug/1 dan 37 – 3600 ug/1.
berikut : Sedangkan kadar chloroform dan bromoform dalam udara di atas
C12 + 2H2O –––––––––> HOCl + H+ + Cl– air tersebut berkisar antara 4 – 750 ug/m3 dan 0 – 910 ug/m3(6).
Ca (OC1)2 + 2 H2O –––––––––> 2 HOCI + Ca++ + (OH)– Pembentukan THM akan meningkat pada proses thlorinasi air
HOCI inilah yang membunuh kuman (sebagai disinfektan)(2). yang mengandung zat-zat organik (berasal dari asam humus,
urine, keringat) suhu dan pHnya agak tinggi(7).
TERBENTUKNYA SENYAWA TRIHALOMETHANE
THM dalam air permukaan dan air tanah
Senyawa halogen organik yang mudah menguap (volatile
Penelitian yang mendeteksi adanya THM dalam air per-
halogenated organics) yang biasa disingkat dengan VHO terjadi
mukaan maupun air sumur dalam menunjukkan bahwa air per-
pada proses chlorinasi dalam air yang mengandung bahan-bahan
mukaan mengandung THM maksimum 25,3 ug/l(8) dicapai pada
organik dengan konsentrasi tinggi. Senyawa-senyawa VHO ter-
musim pans (di sungai Tone Jepang) dan maksimum 263 ug/1 di
sebut sebagian besar ditemukan dalam bentuk trihalomethane
Itali(4). THM ini muncul karena air limbah yang pada umumnya
(THM).Senyawa THM ini antara lain adalah Chloroform (CHC13),
terchlorinasi dan yang secara luas digunakan dalam aktivitas
Bromodichloromethane (CHC12Br), Dibromochloromethane
industri. Selain itu hasil penelitian ini menyatakan bahwa beber-
(CHClBr2), dan Bromoform (CHBr3)(3).
apa air tanah mengandung bahan-bahan organik yang tinggi
Jika dalam proses chlorinasi di dalam air mengandung Br
walaupun berasal dari lapisan-lapisan yang dalam. Kadar THM
maka terjadilah reaksi sebagai berikut :
maksimum yang terdeteksi dalam air tanah adalah 20 ug/1(4).
Br– + HOC1 ––––––––––> HOBr + Cl–
Dengan demildan di dalam air tersebut terdapat senyawa HOBr
dan HOCI yang akan bereaksi dengan zat-zat organik memben-
tuk THM(2). BAHAYA THM
Senyawa THM diduga potensial karsinogenik terhadap
Terbentuknya THM dalam air minum
manusia, sebab sifat ini telah terbukti pada percobaan terhadap
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Aggazzotti G. me-
tikus. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat tumor
nemukan adanya senyawa THM dalam air minum setelah proses
ginjal pada tikus jantan dan tumor tiroid pada tikus betina yang
chlorinasi baik dengan gas Chlorine, sodium hypochlorite
diberi ransum makanan yang mengandung chloroform. Pada
(NaC1O) maupun dengan chlorine dioksida (C1O). Air yang
tikus, lemak tubuh adalah tempat penyimpanan chloroform yang
sama tidak mengandung THM ketika dianalisa sebelum proses
sangat penting, dan jumlah yang lebih kecil didapatkan dalam
chlorinasi dan bahan organiknya telah dihilangkan. Kadar THM
hati, paru, urat dan ginjal(3).
maksimum yang terdeteksi adalah 41,8 ug/1(4).
Dalam tubuh manusia, lebih dari 50,6% THM yang masuk
THM dalam kolam renang dan pemandian air panas melalui mulut (7 mg/kg berat badan) diubah menjadi CO2; tetapi
Penelitian yang sama jugamenunjukkanbahwadalam kolam ini tergantung pada kepekaan individu masing-masing. Dengan
renang yang telah didesinfeksi dengan NaC1O atau dengan dosis 500 mg yang dihirup oleh seseorang, 18 – 67% dikeluarkan
dichloroisocyanurate juga terbentuk senyawa THM, dan kadar- lagi dalam bentuk yang tidak berubah dalam waktu 8 jam.
nya lebih tinggi daripada dalam air minum. Hal ini disebabkan Sebagian besar metabolisme dari chloroform dikeluarkan me-
karena dalam kolam renang kandungan bahan organiknya lebih lalui paru-paru sebagai CO2 atau melalui ginjal sebagai chlorine
besar (karena mendapat tambahan bahan organik dari orang- anorganik.
orang yang memakai kolam renang tersebut misalnya dari ke- Chloroform adalah suatu depresan sistim saraf pusat yang
ringat dan urine). Perlu diketahui pula bahwa THM dalam kolam juga berpengaruh pada hati dan ginjal. Akibat yang paling cepat
renang ini dapat dibebaskan ke udara di atas permukaan air adalah kehilangan kesadaran yang mungkin diikuti dengan koma
tersebut (THM mudah menguap). Kadang-kadang THM ini bisa dan kematian. Bahaya pada ginjal dicatat 24 – 48 jam setelah
mencapai konsentrasi yang tinggi, khususnya dalam kolam re- terpapar dan bahaya pada hati setelah 2 – 5 hari, sehingga gejala
nang yang tertutup (indoor pool). Dalam penelitian ini kadar keracunan muncul beberapa hari setelah terpapar. Dosis yang
THM dalam udara di atas permukaan kolam renang maksimum mematikan kira-kira 44 g atau 630 mg/kg berat badan untuk
mencapai 787 ug/m3(4). Senyawa THM inilah yang akan terhirup orang yang berat badannya kira-kira 70 kg. Dosis mematikan
oleh orang-orang yang secara teratur berkunjung ke kolam re- yang paling rendah yang pemah dicatat adalah 210 mg/kg berat
nang tersebut. Kadar THM maksimum dalam kolam renang badan. Penelitian lain yang menggunakan analisa statistik (ana-
mencapai 177,4 ug/1(4). lisa regresi) hasilnya hampir sama dengan studi-studi sebelum-

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


nya yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara angka KESIMPULAN
kematian kanker kandung kemih dan kadar chloroform dalam air Senyawa organik yang mudah menguap terjadi pada proses
minum. Kadar total THM 30 ug/1 dalam air minum telah di- chlorinasi dalam air yang banyak mengandung zat organik.
rekomendasi dengan konsumsi rata-rata 2 liter/hari. Senyawa ini sebagian besar ditemukan dalam bentuk trihalo-
Akibat lain bila dalam air buangan timbul senyawa-senyawa methane(THM).Pembentukan THM akan meningkat pada proses
THM yaitu akan memberi akibat yang besar terhadap lingkung- chlorinasi air yang mengandung zat-zat arganik (berasal dari
an sumber air penerima dan mengganggu kehidupan ikan. Oleh asam humus, urine, keringat), suhu dan pH tinggi.
karena itu United States Environmental Protection Agency Trihalomethane yang terdeteksi dalam air tanah, air per-
(USEPA) telah menetapkan kadar maksimum kontaminasi total mukaan,air minum,air kolam renang dan pemandian umum,dan
THM yang diperbolehkan dalam air minum adalah 0,10 mg/1. dalam udara di atas kolam renang, kadar tertinggi terdapat dalam
Pada saat ini, ada indikasi kuat bahwa standar total THM tersebut air kolam renang.
akan ditetapkan lebih rendah lagi. Dan lebih dari itu, mungkin Karena THM tenmasuk senyawa yang bersifat karsinogenik
standar yang lebih khusus untuk masing-masing jenis THM makahanlsdihilangkan. Untuk menghindari terbentuknya THM
perlu ditentukan. perlu dihilangkan zat-zat organik sebelum proses chlorinasi
atau dipilih disinfektan lain yang tidak menyebabkan terben-
CARA MENGHILANGKAN THM tuknya THM. Dalam keadaan darurat THM dalam air minum
Untuk mereduksi THM harus dihilangkan penyebabnya dapat dihilangkan dengan cara merebus air sampai mendidih
yaitu zat-zat organik sebelum proses chlorinasi atau meng- selama 3 – 5 menit.
ganti jenis disinfektan yang tidak menyebabkan terbentuknya
THM(9.10,11.12,13).
Untuk menghilangkan penyebabnya ada beberapa alternatif KEPUSTAKAAN
yaitu :
1) Memindahkan proses chlorinasi pada bagian yang paling 1. Fair GM, Geyer OC. Water Supply and Waste Disposal; John Wiley and
akhir dengan tujuan bahan-bahan organiknya sudah dihilangkan Sans 1967. p. 9.
2. Lahl U et al. Distribution and balance of volatile halogenated hydrocar-
sebelum proses chlorinasi. bons in the water and air of covered swimming pools using chlorine for
2) Jika proses chlorinasi dipakai setelah proses koagulasi dan water disinfection. Water Res 1981; 15: 803-14.
pengendapan atau setelah proses softening dan pengendapan, 3. World Health Organization. Guidelines for Drinking-water Quality; vol. 2;
proses-proses tersebut perlu diperbaiki untuk mengoptimasi Health Criteria and Other Supporting Information, p. 240-245, Geneva
1984.
penghilangan bahan-bahan organik. 4. Aggazzotti G, Predieri G. Survey of Volatile Halogenated Organics (VHO)
3) Mengoptimasi proses-proses pendahuluan sebelum proses in 1ta1y; Water Item 1986; 20 (8): 959-634.
chlorinasi untuk menghilangkan bahan-bahan organik. 5. Chambon P et aL Survey of trihalomethane levels on Rhone-Alps water
4) Penggunaan adsorben (karbon aktif) untuk menghilangkan supplies; Water Res 1983; 17: 65-9.
6. Benoit FM, Jackson R. Trihalomethane formation in whirlpool Spas;
bahan-bahan organik sebelum proses chiorinasi. Water Res 1987; 21 (3): 353-7.
5) Memperbaiki kualitas air baku atau memilih sumber-sum- 7. El-Rehaili AM, Webber Jr. WJ. Correlation of humic substance trihalo-
beralternatif yang tidak mengandung bahan-bahan organik tinggi. methane formation potential and adsorption behavior to molecular weight
6) Menggunakan kombinasi cara-cara tersebut di atas. distribution in raw and chemically treated waters; Water Res 1987; 21(5):
573-83.
Untuk mengganti jenis disinfektan ada beberapa disinfektan 8. Uchiyama M. et aL Changes of trihalomethane formation potentials in the
alternatif yang menghasilkan THM kecil sekali atau bahkan Tone River; Water Res 1986; 20 (8): 999-1003.
tidak menghasilkan sama sekali antara lain yaitu : 9. Reinhhold GW. Environmental Engineering Series; USA 1978, p. 355-55.
− chlorine yang bebas chlorine dioksida 10. Sakoda A. et aL Trihalomethane adsorption on activated carbon fibers;
Water Res 1991; 25 (2): 219-25.
− chloramine 11. Any GL et aL The effects of ozanation and activated carbon adsorption on
− ozone trihalomethane speciatian, Water Res 1991; 25(2): 191-202.
Dalam keadaan danurat, untuk mengatasi masalah sumber 12. Taylor IS. et aL Trihalomethane Precursor Removal by the Magnesium
Carbonate Process; Research and Development of United States Environ-
air minum yang telah tercemar oleh THM maka air tersebut harus mental Protection Agency, 1984.
direbus dahulu sebelum dipakai sebagai air minum. THM akan 13. Watanabe H. The prevention of formation and removal of chlorinated
hilang bila air tersebut direbus sampai mendidih selama 3 – 5 organics in wastewater, the sixth US Japan Conference an Sewage Treat-
menit. ment Technology; Japan, 1979.
Manifestasi Mata Penyakit Sistemik

Human Taint
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Cipto Mangunkusumo , Jakarta

ABSTRAK

Mata tidak luput dari pengaruh penyakit sistemik. Ada pengaruh yang langsung
mengakibatkan kebutaan dan ada juga pengaruh yang tidak mengakibatkan kebutaan.
Pemeriksaan fundus penderita hipertensi, arteriosklerosis dan eklamsi sangat
membantu menentukan keparahan penyakit, terutāmma dalam diagnosis awal dan peng-
amatan hasil pengobatan.
Penurunan daya tahan tubuh penderita AIDS mengundang penyakit oportunis pada
mata dan menyebabkan penyakit infeksi sukar disembuhkan.
Diabetes melitus tergolong penyakit yang membutakan. Kebutaan di hari tua yang
mengancam penderita diabetes dapat dihindarkan dengan pemantauan retinopati secara
ketat dan penanganan yang tepat waktunya.

PENDAHULUAN pertensi. Salah satu target organ hipertensi adalah mata(2). Hi-
pertensi ringan dan moderat yang berlangsung lama pada pen-
Mata sebagai salah satu organ tubuh tidak luput dari pe-
derita umur muda,dapat mempercepat timbulnya sklerosis pem-
ngaruh penyakit sitemik yang dapat berupa kelainan patologi-
buluh darah halus. Perubahan dinding pembuluh darah halus
anatomik ringan sampai ke tingkat lebih parah. Penyakit sistemik
retina dapat menjadi contoh perubahan yang terjadi pada organ
dapat pula berakibat kebutaan.
tubuh lainnya.
Pengenalan manifestasi suatu penyakit mata sistemik pada
Hipertensi berat dan hipertensi maligna akan menimbulkan
maw, dapat meningkatkan ketelitian diagnosis; ketrampilan
kelainan retina yang disebut retinopati. Retinopati ditandai de-
memeriksa setiap organ tubuh, tennasuk bagian luar mata dan
ngan terlihatnya sembab retina, perdarahan retina berbentuk
bagian dalam mata dapat membantu penentuan tingkat keparah-
nyala api dan eksudat berbentuk kapas (cotton wool exudate).
an penyakit dan menetapkan prognosis. Ketrampilan fundus-
Pada hipertensi maligna kecuali retinopati juga terdapat papil
kopi dapat melihat perubahan patologik pembuluh darah halus
edema (sembab papil) dan kadang-kadang disertai sembab koroid.
yang mewakili seluruh tubuho>. Demikian juga kualitas aliran
Pada eklamsi di mana hipertensi terjadi pada ibu hamil tiga
darah di daerah mikrosirkulasi.Penyakit yang jelas manifestasi-
bulan terakhir, sangat akut dan berat, perubahan retina sedikit
nya pada mata, antara lain adalah hipertensi, arteriosklerosis,
berbeda dengan retinopati hipertensi biasa. Kelainan retina yang
sindrom hiperviskositas, anemia, AIDS (Acquired Immune De-
menyolok adalah reaksi terhadap kelainan koroid di bawahnya.
ficiency Syndrome), dan diabetes melitus.
Jaringan koroid mengalami sembab berat dan mengalami
gangguan permeabilitas sehingga terjadi pelepasan cairan yang
HIPERTENSI
mendesak retina, retina mengalami ablasi(3). Keadaan ini dapat
Retina dan pembuluh darahnya mudah dipengaruhi hi- dipakai sebagai indikasi kuat untuk mengakhiri kehamilan (ter-

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


minasi). Ablasi pada eklamsi akan sembuh sendiri mengiringi pada retina dan koroid meningkat dan herpes zoster ophthhalmicus
meredanya eklamsi, setelah bayi dikeluarkan. lebih parah.
Hipertensi pada penderita yang telah mengalami arteri- Di samping manifestasi mata infeksi, juga terdapat manifes-
osklerosis karena proses penuaan, tidak lagi banyak menimbul- tasi noninfeksi. Jaringan di sekitar mata dan konjungtiva bulbi
kan perubahan retina. Jaringan telah terlindung oleh sklerosis dapat mengalami pertumbuhan sarkoma Kaposi dan limfoma
(defence by sclerosis)(4). Perubahan retina terjadi karena gangguan Burkitt, yang berbentuk tonjolan kecil pada kelopak mata dan
sirkulasi dan nutrisi, berupa sumbatan arteri atau vena, atau konjungtiva bulbi. Pertumbuhan tumor di samping dan di be-
degenerasi makula. lakang bola mata menyebabkan bola mata menonjol dan tidak
dapat digerakkan. Kelainan retina berupa bercak-bercak putih
ARTERIOSKLEROSIS berbentuk kapas terlihat didaerah posterior fundus dan dapat
Setiap orang yang mencapai umur 45 tahun akan mengalami dijumpai pada hāmpir 50% kasus AIDS. Sebelum terlihat pe-
penebalan dinding arteri berupa penumpukan zat kolagen pada rubahan patologik di atas, kadang-kadang sudah timbul gejala
lapisan otot(4). Pembuluh darah akan berangsur menyempit, kelemahan mata. Penglihatan mundur, sukar membaca dan takut
alurnya lebih kaku, dan warna dinding berubah dari transparan silau. Penderita sudah membutuhkan kaca mata baca biarpun
menjadi lebih jingga sampai putih (copper wire dan silver wire). umur masih muda. Dalam satu tahun membutuhkan pemba-
Penglihatan mundur tiba-tiba pada seorang berumur lanjut ba- haruan kaca mata 3 sampai 4 kali.
nyak yang disebabkan oleh tersumbatnya aliran darah uteri atau
vena dan perdarahan makula akibat arteriosklerosis. DIABETES MELITUS
Sejak Banting, 1921 memperkenalkan insulin untuk me-
SINDROM HIPERVISKOSITAS nurunkan gula darah, maka pengobatan diabetes melitus lebih
Sindrom hiperviskositas terjadi karena aliran darah ter- berhasil. Harapan hidup penderita diabetes lebih panjang. Ba-
hambat, akibat darah yang lebih kental. Kekentalan dapat terjadi nyak penderita diselamatkan dari komplikasi fatal. Sebaliknya,
karena volume dan jumlah sel bertambah atau plasma lebih komplikasi pada mata yang berhubungan erat dengan lama
kental. Keadaan ini terlihat pada polisitemia; lekemia dan dis- mengidap diabetes, justru terjadi lebih banyak. Tidak sedildt
proteinemia(5). Mata terlihat merah dengan pembuluh darah penderita diabetes, biarpun kondisi tubuhnya terpelihara, tetap
konjungtiva bertambah. Fundus refleks berwarna merah tua dan mengalami kebutaan. Penulis mendapatkan 1.1% penderita dia-
fundus memperlihatkan pengisian pembuluh darah yang ber- betes yang diperiksa di Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI/
lebihan sehingga lumen arteri dan vena melebar, dismal pe- RSCM, menderita buta totalo). Kebutaan terjadi karena ke-
ningkatan perkelokan. Setelah viskositas darah dipulihkan, warna rusakan makula lutea, ablasi retina, dan perdarahan badan kaca,
dan bentuk pembuluh darah kembali normal. yang merupakan akibat retinopati yang bertambah parah. Kebuta-
an oleh diabetes tidak terjadi mendadak, tetapi melalui masa
PENYAKIT DARAH peningkatan keparahan retinopati dalam waktu yang cukup
panjang, yang dapat diikuti dengan teliti sehingga tersedia cukup
Lekemia yang berat tidak hanya menyebabkan hiperviskosi- waktu untuk upaya pencegahan kebutaan.
tas, tetapi dapat menimbulkan sumbatan vena, dan infiltrasi sel Keparahan retinopati dapat dibagi dalam beberapa tingkat
lekosit pada jaringan lunak sekitar bola mata serta pada jaringan untuk menentukan apakah kebutaan sudah mengancam atau be-
di dalam bola mata. Kelopak mata membengkak, mata menonjol lurn, sehingga tindakan dapat ditentukan pada waktu yang ter-
dan sukar digerakkan. Fundus memperlihatkan pelebaran vena baik. Untuk itu penulis telah mengajukan klasifikasi tingkat ke-
dan perdarahan retina, eksudat bebagai bentuk yang tersebar parahan (TK) retinopati sebagai berikutoo:
terutama di polus posterior. • Retinopati diabetika tingkat keparahan (TK) I, ditandai
Anemia kronik bermanifestasi pada mata berupa pucat pada oleh telah terdapatnya mikroaneurismadan beberapaperdarahan
konjungtiva dan fundus yang disertai perdarahan retina dan retina (kurang dari 5 bercak).
preretina. Anemia akut akibat kehilangan darah yang berat, di • Tingkat keparahan II,pada funduskopi ditemukan mikro-
samping pucat juga dapat terjadi kerusakan akut pada koroid dan aneurisma disertai perdarahan retina lima atau lebih bercak. Apa-
retina yang tidak reversibel(6). bila TK II disertai penebalan dan sembab daerah makula, tingkat
Penyakit sel sikel (sickle cell disease) sering disertai pemben- keparahan tenmasuk IIa. Jika TK II disertai tanda-tanda ben-
tukan jaringan proliferasi di retina yang suatu waktu dapat me- dungan vena, berupa pelebaran lumen dan pertambahan
nimbulkan ablasi retina. perkelokan disertai perdarahan retina yang terkonsentrasi di
sepanjang vena tersebut, maka TK menjadi Ilb.
AIDS (ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME) • Lanjutan dari TK ini ialah IIIa yang ditandai oleh ter-
Dengan menurunnya daya tahan tubuh penderita AIDS, lihatnya pembentukan pembuluh darah baru (neovascular) di-
maka penyakit yang mengenai mata, yang selama ini penyem- lapisan retina (IRMA : Infra Retina Microvascular Anomaly).
buhannya ditunjang daya tahan tubuh, menjadi sukar disembuh- Tingkat keparahan terakhir dari retinopati diabetika ialah TK
kan(7,8). Ulkus kornea mengalami perforasi. Infeksi toksoplasma IIIb yang ditandai invasi pembuluh darah bersama jaringan ikat

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 43


(fibrosis) ke rongga badan kaca. Pada klasifikasi ini eksudat duskipi 3 bulan sekali. Untuk menilai fundus secara cermat,
lemak tidak dimasukkan dalam tanda retinopati, karena ternyata operasi katarak penderita diabetes kadang-kadang perlu di-
penderita diabetes bangsa Indonesia tidak banyak yang gemuk, percepat.
sehingga eksudat lemak tidak selalu terdapat dalam gambaran
retinopatitttl. Tingkat selanjutnya dari kelainan mata penderita
diabetes ialah ablasi retina dan perdarahan badan kaca. Ablasi
retina terjadi karena renggutan jaringan ikat (TK IIIb) sehingga KEPUSTAKAAN
retina terlepas dari dinding bola mata. Perdarahan badan kaca 1. Wise, Dollery, Henkind. Preface; The Retinal Circulator Medical Depart-
terjadi akibat pembuluh darah baru yang menjulur ke rongga ment New York : Harper dt Row Publishers, 1971.
badan kaca pecah. Kedua keadaan ini adalah akibat dari retino- 2. Jose Ra usma, SidabutarRP. Penyulit Jangka Pan jang Hipertensi. Ce min
pati diabetika TK IIIb. Dunia Kedokt 1989; 57.3.
3. Mabie WC, Ober RR. Fluorescein Angiography in Toxemia of Pregnancy.
Secara sederhana retinopati diabetika dibagi dalam dua Br J Ophthahnol 1980; 64 : 606.
kelompok yaitu nonproliferasi (background retinopaty) yang 4. Leishman R. The Eye in General Vascular Disease, Hypertension and
mencakup TK I, TK II, a.b. dan IiIa, retinopati proliferasi (pro- Arteriosclerosis. Br J Ophthalmol 1957; 41 : 641.
liferative retinopaday) sama dengan IIIb. 5. Wise, Dollery, Henkind. The Retinal Circulation. Medical Department.
New York : Harper & Row Publishers 1971; 292.
Peningkatan keparahan retinopati dapat dihambat dengan 6. Konyo m IL, Kalima RE. Visual loss from choroidal ischetnia. Am I
fotokoagulasi jaringan retina yang patologik memakāi cahaya Ophthalmol 1986; 101 : 650-656.
Laser atau Xenon, atau secara langsung dengan kriokoagulasi 7. Smolin G, FiedlanderM. AIDS and Ophthalmology.Intemational Ophthal-
(pendinginan) dan diatermi (listrik). Tindakan koagulasi yang mology Clinic, 1989; 29 : 2.
8. P Le Hoang et al. Ocular manifestations associated with AIDS. Proc XXV.
terbaik ialah pada TK II a,b dan TK IIIa. Retinopati diabetika TK International Congress of Ophthalmology. Roma : 1986; 911-923.
IIlb yang badan kacanya masih jernih masih dapat difotokoagu- 9. Hilmar Taim. Retinopati Diabetika. Trans VI th. Asia Pacific Acad of
lasi biarpun sudah agak terlambat. Pada keadaan badan kaca OphthalmoL Bali : 1976; 47.
yang sudah keruh dilakukan kriokoagulasi atau diatermi. 10. Hilman Taim. Klasifikasi Retinopatia Diabetika. 'Congers Nasiosul PER-
DAMI ke-V. Jogja : 1984; 639.
Untuk mendapatkan waktu tindakan terbaik dalam mencegah 11. HilmanTaim.FauyExudates padaRetinopatiDiabetika.Kmnpulanmakalah
kebutaan, maka funduskopi secara teratur perlu dilakukan pada Seminar Hasil Penelitian Perguruan Tinggi bagi pars Peneliti Muds.
setiap penderita diabetes. Terhadap retinopati TK I funduskopi Direktorat Pembina an Penelitian don Pelayanan Masyarakat
dilakukan 6 bulan sekali, dan terhadap retinopati TK II fun- DEPDIKBUD. Solo : 1982; Mid 4 : 759.

Measure thrice before you cut once


Bank Mata

Sidarta Ilyas
Bagian Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN TUJUAN
Keratoplasti tolah dilakukan sejak 2 abad yang lalu dan di Bank Mata bertujuan untuk mendapatkan donor mata, bila
Indonesia mulai 30 tahun yang lalu. Adalah sukar mendapatkan perlu mengawetkan, dan meneruskannya kepada ahli bedah
donor pada setiap permulaan usaha cangkok kornea. Pada per- maw. Bank Mata bertanggung jawab untuk membagikan mata
mulaan sejarah keratoplasti di dunia donor didapatkan dari secara cepat dan efisien, sehingga kekurangan donor tidak di-
narapidana yang dihukum mati, kecelakaan lalu lintas ataupun sertai dengan kegagalan menahan bahan yang tersedia.
perang dan dari penderita terlantar yang meninggal di rumah
Bank Mata sebaiknya tanggap terhadap beberapa hal berikut.
sakit.
Bank Mata sebaiknya membahas asupan yang datang dari
Pada tahun 1987 mulai terdapat kerja sama Indonesia de-
masyarakat terhadap kegiatannya. Perlu diadakan pertemuan
ngan Bank Mata Sri Lanka dengan datangnya 4 mata pada tahun
pengurus untuk mendapatkan/membicarakan asupan ini. Asupan
tersebut. Pada saat itu donor lokal belum sangat diharapkan
diperlukan untuk menambah kemungkinan donor memberikan
karena calon donor banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak
matanya setelah meninggal. Bank Mata sebaiknya melakukan
jelas dari lingkungannya. Termasuk hal yang merupakan ham-
penelitian untuk mendapatkan hal-hal yang dapat dipertanggung
batan dengan belum adanya peraturan mengenai jenazah ter-
jawabkan mengenai segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan
lantar untuk kepentingan donor mata. Jenazah terlantar yang
penelitian akan didapatkan kemungkinan perubahan teknik
meninggal di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit hanya
pembedahan serta pelayanan yang sama dan berbobot pada
setelah 48 jam dapat dipergunakan untuk rumah sakit. Sangat
setiap Bank Mata.
sukar bagi seseorang dokter mata mendapatkan donor mata,
Pada masyarakat belum ada kejelasan mengenai peraturan
dokter mata tidak ada hubungan langsung dengan donor. Maka
ataupun hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Hal yang
diperlukan suatu badan yang dapat mengatur hubungan antara
sering dihadapi adalah masalah siapa yang dianggap sebagai ahli
donor, resipien, dan dokter pembedah.
waris bila telah akan diambil mata donor, apakah sudah ada
Bank Mata adalah jembatan yang dapat menyelesaikan
informed consent. Calon donor diminta mengisi formulir per-
kebutuhan resipien terhadap donor mata. Bank Mata merupakan
nyataan yang disaksikan oleh 2 orang keluarga terdekat. Keluarga
badan yang tidak mencari keuntungan dan berperan terutama
adalah orang yang nantinya dapat menentukan bila tiba saatnya
untuk mendapatkan donor mata yang memberikannya kepada
pengangkatan mata untuk dapat terlaksana sesuai dengan wasiat
dokter-dokter yang memerlukannya untuk transplantasi. Bank
yang telah dibuat.
Mata tidak akan berdiri bila masyarakat dan hukum sekitar belum
memungkinkan untuk memberikan mata. Diperlukan kerja sama
dengan orang awam untuk mendapatkan lebih banyak donor. Di Beberapa etik Bank Mata
Indonesia telah terdapat bentuk organisasi klub donor yang 1. Bank Mata didirikan untuk perlunya mendapatkan donor
terdiri atas calon donor mata yang dapat membantu kegiatan mata.
Bank Mata. 2. Bank Mata bergabung dengan rumah sakit atau universitas

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 45


Hal ini sangat dikaitkan dengan : resipien, dan tindakan medis yang dilakukan. Pada masyarakat
– kegiatan pelayanan kesehatan dan perlu diberikan penerangan yang bcrkesinambungan.
– pendidikan khususnya. Selama ini dirasakan beberapa hambatan yang menonjol,
3. Tujuan Bank Mata untuk sarana jaringan pada kebutuhan. seperti :
• Keraguan apakah benar agama atau kepercayaan yang dianut
Bank Mata akan berfungsi sebagai pengatur terhadap pe-
mengizinkan mata diambil setclah meninggal. Walaupun seluruh
laksanaan kebutuhan donor mata. Mata diberikan menurut
pemuka agama mengizinkan pengambilan mata donor setelah
beberapa sistem, seperti :
meninggal untuk kepentingan orang buta.
– diberikan terutama pada yang darurat
– urutan permintaan • Tahayul yang masih kuat di dalam masyarakat.
– – pertimbangan lainnya. • Pengaruh perubahan kosmetik (paras muka) akibat pengam-
bilan jaringan mata sangat memberikan efck yang belum dapat
4. Uang tidak dikaitkan dengan hal-hal berikut : dimengerti seluruhnya. Penerangan pada masyarakat tidak boleh
– resipien, resipien tidak membayar penggantian berhenti dan diperlukan berkesinambungan dengan memakai
– donor, donor tidak meminta penggantian seluruh sarana yang tersedia seperti radio, televisi, penyuluhan
– pembedah tidak mendapatkan penggantian dengan hal- pada kelompok, seminar dan lokakarya. Masih dirasakan adanya
hal terkait donor pengaruh keluarga, lingkungan atas ketidak tahuannya di dalam
– donor tidak dibayar lingkungan dan kehidupan sosial.
– donor tidak membayar pada resipien
– resipien tidak mendapat imbalan dari donor. TENAGA
Donor mata adalah seseorang yang memberikan jaringan
matanya setelah meninggal untuk menolong seseorang buta Dokter mata
akibat kelainan korneanya. Seseorang donor mata adalah Dokter spesialis mata bertanggung jawab atas dapat di-
seseorang yang secara ikhlas tanpa imbalan bersedia mem- lakukannya pembedahan keratoplasti. Bank mata memerlukan
berikan bantuan pada orang lain. seorang dokter mata yang akan bertanggung jawab untuk menilai
5. Tidak terdapat perbedaan suku, agama, kedudukan sosial, mata donor, menangani mata donor, dan membagikannya kepada
dan hal-hal nonmedis lainnya untuk kesempatan men- dokter yang memerlukannya. Ketua medis adalah seorang dokter
dapatkan jaringan donor. mata yang mempunyai minat pada penyakit mata luar, bedah
6. Diperhatikan aturan atau hukum yang berlaku untuk peng- kornea, penelitian, dan staf pengajar. Dokter mata akan melakukan
ambilan jaringan di dalam negara. Demikian pula transpor- penyelidikan mengenai cara pengawetan, mendapatkan mata
tasi dan aturan pengawetan. donor, transportasi, dan pengambilan mata donor. Semua di-
7. Keluarga sadar dan tabu apa yang dilakukan : lakukan agar resipien mendapatkan donor yang baik dan hasil
– rahasia donor dipertahankan. yang baik pada keratoplasti. Ketua medis teknis bertanggung
– hanya Bank Mata mengetahui apa yang terjadi dengan jawab pada kelangsungan pekerjaan laboratorium mata, dan
mata donor dan resipien. berjalannya pekerjaan teknisi.
8. Nama resipien dan donor tidak disiarkan Bank Mata atau Teknisi
pembedah kecuali pada keadaan khusus. Hal ini untuk men- Teknisi yang mencatat hal berikut dari donor :
cegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian – Sebab kematian donor.
hari. – Riwayat kesehatan donor.
9. Donor yang didapatkan dari perorangan, badan sosial, dan – Membuat catatan medis donor.
yayasan. Teknisi Bank Mata mempunyai tugas :
10. Mata yang telah didonorkan oleh calon donor diambil, tanpa 1. Mengetahui teknik pengambilan mata.
pertimbangan kesukaran-kesukaran untuk mengambil mata 2. Membuat riwayat penyakit donor yang akan menjamin dapat
tersebut. dipergunakannya mata donor.
11. Tidak ada persaingan antara 2 Bank Mata. 3. Mempunyai kemampuan menilai mata donor.
Di dalam Bank Mata tidak hanya diperlukan donor mata saja 4. Bertanggung jawab terhadap terlaksananya pembiakan mata
akan tetapi juga waktu,uang,pikiran,dan alat yang dipergunakan donor dan sterilitas cairan pengawet.
untuk : 5. Mempersiapkan alat enukleasi.
– mendapatkan donor mata (penerangan) 6. Menjaga sterilitas kotak dan alat pengawet dan enukleasi.
– terlaksananya pembedahan donor, resipien dengan sempurna 7. Menjaga sterilitas laboratorium.
8. Menjaga data donor, waktu pengawetan.
PENERANGAN ASAL DONOR
Penerangan sangat memegang peranan untuk memperbaiki Donor didapat dari :
pandangan yang negatif terhadap usaha mendapatkan donor – Donor terdaftar.
mata. Masyarakat memerlukan penerangan mengenai donor, – Jenazah di mana peraturan mengizinkan untuk pengambilan-

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


nya. pengambilan mata. Bank Mata akan mengambil mata donor
– Jenazah dengan seizin keluarga untuk diambil matanya. tanpa memperhatikan sebab, waktu kematian dan umur donor.
Belum ada peraturan yang lebih memudahkan didapatkan- Mata yang tidak dapat dipergunakan akan dipakai untuk peneliti-
nya mata donor dari jenazah terlantar setelah 6 jam di rumah an atau keratoplasti lamelar. Dikenal 2 cara pengambilan jaring-
sakit atau kecelakaan lalu lintas. an mata donor yaitu enukleasi dan komeoskleral.
Sebab kematian.
Prosedur Enukleasi.
Tidak semua mata donor dapat digunakan. Banyak penyakit
Mata yang akan diambil diperlakukan seperti tindakan
yang dapat ditularkan pada keratoplasti. Donor yang meninggal
melakukan pembedahan di kamar bedah. Pembedah akan me-
akibat penyakit virus tidak boleh dipergunakan. Mata dengan
makai sarung tangan steril dengan memakai masker. Daerah
tumor tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai mata donor.
pembedahan dibersihkan dengan betadin dan kain penutup ber-
Seseorang yang tidak diketahui sebab meninggalnya tidak dapat
lubang. Kelopak mata dibuka dengan spekulum kelopak kawat.
dipergunakan sebagai mata donor.
Seluruh tepi limbus dilepas dari konjungtiva yang menempel
Sebelum melakukan pengambilan mata donor diperlukan be-
padanya. Dicari seluruh otot penggerak mata dengan pengkait
berapa penilaian, seperti :
otot dan digunting. Spekulum kelopak di lepas dan bola mata
Penyebab kematian. diprolapskan keluar. Saraf optik digaet dengan sendok saraf
Dibedakan dalam 2 kategori : optik dan kemudian dimasukkan gunting di bawahnya yang akan
1. Mengancam kesehatan resipien dan kontra indikasi diper- menggunting saraf tersebut. Bola mata yang keluar kemudian
gunakan karena terdapat kelainan endotel : dicuci dengan garam fisiologik dan larutan antibiotika. Mata
− Rabies dimasukkan ke dalam botol. Botol ini dimasukkan ke dalam
− Creutzfeld kotak pengantar yang dapat ditutup sehingga suhu dapat bertahan
− Septikemia 4 derajat Celsius. Di dalam pengawetan dengan ruang lembab ini
− Retinoblastoma mata dikirim ke Bank Mata.
− penyakit Hodgkin
− leukemia Pengangkatan dengan tepi korneoskleral.
Cara ini lebih sukar dibanding dengan enukleasi karena
− hepatitis
dengan mudah dapat merusak endotel kornea yang sangat
2. Donor yang tidak ideal (memerlukan perhatian khusus):
penting. Biasanya cara ini dilakukan di dalam laboratorium. Pada
− penderita dengan kelainan endotel
tindakannya diperlukan tingkat sterilitas yang tinggi karena
− mutipel sklerosis mudah sekali terjadi kontaminasi. Untuk melakukan ini perlu
− parkinson didapatkan latihan pengangkatan yang benar.
− leukemia Spekulum kelopak dipasang dan konjungtiva dipisahkan
− jaundice dari limbus. Dibuat insisi sklera yang hanya mencapai suprakoroid
− diabetus melitus 2.5 mm darilimbus. Potongan sklera dilanjutkan dengan gunting.
− sifilis Tepi sklera dipegang dan kemudian seluruh bagian iris dan badan
− mata pasca bedah dengan kelainan mata. siliar yang masih menempel pada sklera dilepas dengan spatula.
Kornea dengan tepi sklera ini disimpan di dalam pengawet yang
Umur donor.
khusus untuk ini.
Mata donor yang terbaik adalah mata yang segar dan muda
yang tersedia. Donor muda dipergunakan untuk keratoplasti Penilaian mata di Bank Mata
mata anak dan dewasa, dan tindakan bedah gabung. Bagian Pemeriksaan umum.
yang terpenting adalah endotel yang akan berkurang dengan Dengan melakukan pemeriksaan mata didapatkan kesan
bertambahnya umur. umum mata yang akan dipergunakan. Sebaiknya diperhatikan
Donor dengan usia 3 tahun : usia mata yang diperiksa.
− sangat lentur dan sukar dimanipulasi saat pembedahan. Pemeriksaan ini mengenai kejernihan, defek epitel, benda
− lebih cembung. asing, kontaminasi, dan warna sklera.
Pemeriksaan lampu celah.
Waktu enukleasi Mata dapat diperiksa dengan lampu celah kecuali dengan
Segera setelah meninggal endotel hanya dapat hidup 6 jam pakimeter. Kerusakan kecil endotel akan dapat terlihat segera
pada suhu 37° Celcius. Setelah itu glukosa dalam mata sangat setelah meninggal, kerusakan akan bertambah dengan berjalan-
berkurang dan mulai terjadi kematian endotel. Bila suhu di-
nya waktu. Membran Descemet adalah bagian yang panting
turunkan maka daya hidup endotel bertambah. Diketahui bahwa karena kerusakannya diakibatkan adanya kerusakan endotel.
pada setiap penurunan suhu 10 derajat kebutuhan metabolisme Makin tua donor makin mudah terbentuknya lipatan Descemet.
faktor turun setengahnya.
Pemeriksaan bakteriologik.
CARA PENGAMBILAN MATA Biakan diambil dari limbus dengan kapas. Bagian sisa
Mata akan diambil oleh tenaga medik yang bertugas untuk korneo skleral juga dapat dipergunakan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 47


PENGAWETAN Media kultur 37°C.
Kornea pada kultur media dapat disimpan untuk selama 30
Berbagai cara preservasi yang dilakukan untuk mata atau
hari. Kerugian dengan cara ini ialah bertambahnya ketebalan
kornea donor seperti :
kornea. Dengan cara ini pengawetan dapat selama 18 bulan.
– gliserin anhidrat
– ruang lembab McCarey Kaufman Medium.
– media kultur
Mata dikirim dengan potongan kornea skleral dan tidak bola
– McKaufmann medium
mata lengkap. Donor disimpan di dalam kultur jaringan dengan
– pengawetan krio.
suhu 4 derajat Celcius. Cara pengawetan ini baik pada waktu
Gliserin anhidrat pendek atau 5 hari. Mudah terjadi kontaminasi jamur dan bakteri
Pengawetan ini dilakukan untuk donor pada keratoplasti bila dikerjakan tidak baik.
lameler. Kornea disimpan dalam gliserin 95%.
Pengiriman mata donor.
Ruang lembab Mata donor dikirim Bank Mata hanya pada dokter mata yang
Pengawetan di dalam ruang lembab merupakan prosedur mampu mengerjakan pencangkokan selaput bening. Semua mata
pengawetan standar. Cara ini adalah cara yang murah, mudah dan yang diterima Bank Mata dicatat dan diteruskan untuk pe-
banyak dipergunakan. Botol yang berisi bola mata ditutup tidak ngawetan atau dipergunakan langsung. Pada pengiriman mata
terlalu rapat. Disimpan .pada suhu 4 derajat Celcius, seperti ditulis semua data donor.
biasanya menyimpan darah donor. Botol dimasukkan ke dalam
kotak busa yang berisi es di dalam plastik. Dengan cara ini mata
dapat disimpan untuk selama 24 – 48 jam. Bila waktu antara
meninggal dengan saat pengangkatan bola mata diperpendek, KEPUSTAKAAN
maka mata akan dapat dipergunakan lebih lama. Dengan pe-
ngawetan ruang lembab biasanya pembedahan dilakukan se- 1. King JH Jr. Eye Bank Progress, Am J Ophthalmol, 1962; 54: 5.
cepat mungkin. Keadaan ini akan mengakibatkan : 2. McCarey BE dick. McCarey–Kaufman Corneal Eye Bank Te4bnique,
North Florida Lions Eye Bank for Restoring Sight, Inc., Booklets.
– Bekerja sukar dengan jadwal sehingga keadaan seperti da- 3. Pels E, Schuchard. Organ-Culture preservation of Human Cornea, Docu-
rurat. ments Ophthalmologica 1933; 56: 147-153.
– Tidak dapat dilakukan pemeriksaan bakteriologik sebelum 4. Cassey TA, Major DJ. Corneal Grafting–principle and practice, WB Saun-
pencangkokan. ders CO, 1984; 73–86.

Man proposes, Cod disposes

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Evaluasi Pemakaian Kelambu Dipoles
Permethrin untuk Penanggulangan
Malaria dengan Vektor An. sundaicus
di Lampung
Santiyo Kirnowardoyo*, Panut**, Hasan Basri** dan Adi Waluyo**
*Medical Entomologist, Peneliti Bidang Entomologi Kesehatan pada Pusat Penelitian
Ekologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta
**Asisten Entomologist Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Lampung

ABSTRAK

Telah dilakukan uji pemakaian kelambu yang dipoles dengan permethrin untuk
penanggulangan malaria di Desa Tarahan, Kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung
Selatan, dengan vektor Anopheles sundaicus.
Uji coba dilakukan mulai September 1986 hingga Nopember 1988. Hasil evaluasi
menerangkan bahwa kepadatan vektor (An. sundaicus) dan jumlah penderita malaria
antara sebelum dan sesudah penduduk menggunakan kelambu yang dipoles permethrin
tidak berbeda nyata. Tetapi dari uji hayati langsung ternyata bahwa kelambu yang
dipoles permethrin mempunyai daya bunuh cukup baik terhadap nyamuk, dengan umur
efektif paling tidak selama enam bulan. Enam bulan setelah pemolesan, kelambu katun
memberikan kematian 75,5%, sedang kelambu nilon 51,7%.

PENDAHULUAN dipoles dengan permethrin terjadi penurunan densitas dan


kontak antara ketiga jenis nyamuk tersebut dengan orang
Dalam progam pemberantasan malaria, selain penemuan
secara bermaknal. Di Sabah (Malaysia Timur), dengan pe-
dan pengobatan penderita, dilakukan pula upaya pemberantas-
nangkapan nyamuk di daerah yang penduduknya memakai
an vektor untuk memutus penularan dengan kegiatan pokok
kelambu yang dipoles permethrin, kepadatan nyamuk dapat
berupa penyemprotan rumah dengan insektisida, khususnya
ditekan dengan bermakna paling tidak selama 217 hari2.
DDT. Penyemprotan rumah untuk penanggulangan malaria
Di Indonesia, uji coba pemakaian kelambu yang dipoles
yang telah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu, telah
permethrin dilakukan di Lampung dengan sponsor WHO.
menghadapi hambatan yang cukup berarti. Hambatan yang
Vektor yang menjadi sasaran adalah Anopheles sundaicus
dihadapi bukan hanya hambatan teknis seperti kekebalan
Rodenwaldt. Uji coba dilakukan selama dua tahun; tahun
vektor terhadap DDT, tetapi juga hambatan non teknis,
pertama digunakan untuk mengumpulkan data dasar atau
misalnya kurangnya biaya, sehingga cakupan penyemprotan
data sebelum masyarakat memakai kelambu, selanjutnya
sangat terbatas, yang dapat menurunkan manfaat penyem-
tahun ke dua untuk pengumpulan data setelah penduduk
protan.
memakai kelambu. Meskipun kadang-kadang ada hambatan
Karena keterbatasan dana, maka pemerintah, dalam hal ini
dalam kegiatan pengumpulan data, tetapi secara keseluruhan,
program pemberantasan malaria, mulai mengembangkan
uji coba dapat dikatakan berjalan dengan lancar.
metoda pemberantasan vektor yang lebih efisien. Sesuai
dengan anjuran WHO maka di Indonesia mulai dilakukan DAERAH UJI COBA
uji coba pemakaian kelambu yang dipoles dengan insektisida Uji coba pemakaian kelambu yang dipoles permethrin di-
piretroid sintetis (permethrin). Di Cina pemakaian kelambu lakukan di Desa Tarahan, Kecamatan Ketibung, Kabupaten
yang dipoles dengan permethrin efektif untuk pengendalian Lampung Selatan. Tarahan terletak di daerah pantai pada
C. quinquefasciatus, C. tritaeniorhynchus dan A. sinensis. ujung selatan Propinsi Lampung, seperti tertera pada peta di
Di daerah yang penduduknya menggunakan kelambu yang bawah ini :
dengan air. Perbandingan banyaknya permethrin dan air yang
diperlukan adalah sebagai berikut3 :

Kelambu Permethrin Air


Bahan katun 1000/250 x 17 x 0,5 = 34 ml 17 x 45 ml = 765 ml
Bahannilon 1000/250 x 17 x 0,5 = 34m1 17 x 15 ml = 255 ml

Selanjutnya disiapkan kantong plastik, ke dalam kantong


tersebut kita masukkan satu kelambu. Kemudian cairan
mengandung bahan permethrin seperti tercantum di atas di-
tuangkan ke dalam kantong yang ada kēlambunya. Kantong
diremas-remas, hingga cairan teresap oleh kelambu dengan me-
rata. Setelah semua cairan teresap, kelambu dikeluarkan dan
dibiarkan hingga kering tanpa dijemur di sinar matahari.
Kemudian setelah kering, kelambu dimasukkan lagi ke dalam
kantong dan selanjutnya dibagikan kepada penduduk. Jumlah
kelambu untuk tiap rumah disesuaikan dengan jumlah pen-
duduk.
Sejumlah 200 kelambu yang telah dipoles permethrin
dibagikan kepada 492 penduduk Kp. Sebalang. Penduduk Kp.
Sukamaju tidak mendapat pembagian kelambu, karena Kp.
Sukamaju digunakan sebagai pembanding. Pembagian kelambu
kepada penduduk dilakukan dalam awal bulan Oktober 1987.
Karena nyamuk yang kontak kelambu diharapkan mati
terbunuh oleh residu permethrin di kelambu, maka efikasinya
dapat dilihat dari densitas atau kepadatan nyamuk yang men-
jadi sasaran. Kepadatan nyamuk yang diukur adalah. :
1) Kepadatan nyamuk menggigit orang (human bitar)
2) Kepadatan nyamuk di dalam rumah pada malam hari
3) Kepadatan nyamuk di dalam rumah pada pagi hari.
Penangkapan nyamuk dengan umpan orang (human bait)
dilakukan oleh empat orang, mulai pukul 18.00 hingga 24.00
Desa Tarahan terdiri dari beberapa kampūng, di antaranya dengan tiap jam aktif menangkap selama 40 menit; mereka
Kp. Sebalang dan Kp. Sukamaju, tempat uji coba dilakukan. menggulung kaki cēlananya. hingga di atas lutut, karena di
Pemilihan Desa Tarahan sebagai lokasi uji coba berdasarkan samping sebagai penangkap, mereka juga sebagai umpan untuk
beberapa pertimbangan sebagai berikut : digigit nyamuk. Jadi hanya nyamuk yang menggigit dirinyalah
1) Hasil survai malariometrik menerangkan bahwa kasus yang boleh ditangkap.
malaria di lokasi tersebut cukup tinggi, dengan slide positivity Penangkapan nyamuk di dalam rumah pada malam hari
rate sebesar kira-kira 25%. dilakukan oleh empat orang yang sama, tiap jam mereka
2) Terdapat tempat perindukar Anopheles sundaicus dengan menangkap selama 10 menit, setelah mereka menangkap
tipe permanen yang memadai, 3ehingga An. sundaicus di- dengan umpan orang.
temukan sepanjang tahun. Penangkapan nyamuk di dalam rumah pagi tiari juga di-
3) Sejak tahun 1984 tidak dilakukan penyemprotan dan upaya lakukan oleh empat orang.Tiap penangkap bekerja di enam
pengendalian cara lainnya. rumah, sedangkan di tiap rumah, mereka menangkap selama 15
Keadaan sosial ekonomi penduduk rendah, sehingga menit.
sebagian besar rumah penduduk tidak memenuhi syarat Untuk menangkap nyamuk, digunakan alat yang disebut
kesehatan. Karena rumah mereka sempit, maka penduduk aspirator, yaitu alat untuk menyedot nyamuk yang terdiri atas :
mempunyai kebiasaan tinggal di luar rumah hingga larut Tabung galas dengan diameter 15. mm, ujungnya disambung
malam, bahkan tidak sedikit yang terpaksa tidur di luar. dengan pipa karet/plastik sepanjang 80 – 100 cm. Pada ujung
BAHAN DAN CARA KERJA pipa karat diberi kepingan plastik untuk menyedot. Agar
Seluruhnya ada 200 kelambu yang dipoles permethrin nyamuk tidak tersedot.. masuk ke dalam mulut, di antara
25EC. Sebagian besar (120 buah) kelambu dari bahan katun, tabung galas dengan pipa karat diberi sekat dari kasa plastik
sedang sisanya (80 buah) dari nilon berwarna biru. Luas atau kasa kawat halus4 .
kelambu rata-rata 17 m2 (lebar = 1,75 m, panjang = 2 m dan Uji hayati langaung untuk menilai daya bunuh residu
tinggi = 2 m). Dosis pemolesan yang dikehendaki 0,5 gr/m2. permethrin yang ada di kelambu dilakukan menurut instruksi
Untuk pemolesan, bahan permethrin yang tersedia diencerkan WHO4 . Uji hayati dilakukan tiap tiga bulan sekali, dan selama

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


uji coba dilakukan uji hayati sebanyak dua kali. Bahan atau Keterangan: OUTM – dilakukan oleh empat orang penangkap
nyamuk yang digunakan untuk uji adalah Aedes aegypti yang dari pukul 18.00 – 24.00, tiap jam aktif
dibiakkan di insektarium Badan Litbang Kesehatan. menangkap selama 40 menit.
Survai malariometrik dilakukan tiap enam bulan sekali, INN – dilakukan oleh empat orang penangkap
dari pukul 18.00 – 24.00, tiap jam aktif
oleh tenaga Puskesmas dan Sub Puskesmas, yang dibantu oleh menangkap selama 10 menit.
tenaga tim entomologi. Pemeriksaan darah dilakukan oleh INM – dilakukan oleh empat orang penangkap,
tenaga Puskesmas, tetapi di crosscheck oleh tenaga tiap orang menangkap pada 6 rumah,
laboratorium Subdit P2 Malaria. Kebenaran Slide Positivity masing-masing rumah dilakukan
Rate ditentukan setelah dilakukan crosscheck. penangkapan selama 15 menit.
– – kegiatan penangkapan tidak dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran kepadatan nyamuk.
Hasil survai entomologi yang menerangkan jumlah nyamuk Evaluasi daya bunuh residu permethrin pada kelambu.
ditangkap dengan umpan orang di War rumah (OUTM), Evaluasi dilakukan dengan uji hayati langsung (bioassay
penangkapan di dalam rumah malam (INN) dan penangkapan test). Metoda yang digunakan adlaah metoda standar WHO.
di dalam rumah pagi (INM) dapat dilihat pada Tabel 1. Nyamuk dikontakkan ke kēlambu selama 60 menit. Pem-
bacaan hasil dilakuakn setelah nyamuk dipelihara selama 24
Tabel 1. Hasil Penangkapan Anopheles sundaicus untuk Evaluasi jam. Kematian sebenarnya pada uji bulan April 1988 dikoreksi
Pemakaian Kelambu yang Dipoles Permethrin di Propinsi dengan rumus Abbott, karena kematian pembanding lebih besar
Lampung.
dari 5%, yaitu 8,8%.
Sebalang
Sukamaju Hasil uji hayati langsung dapat dilihat pada Tabel 2.
(tak menggunakan ke-
Bulan (menggunakan kelambu)
lambu)
OUTM INN INM OUTM INN INM Tabel 2. Hasil Uji Hayati Langsung Kelambu yang Dipoles Permethrin
September 1986 44 49 27 5 6 2 Dosis 0,5 gr/m2.
10 13 6 2 0 2
Kelambu dipoles permethrin
Oktober 1986 29 36 21 3 6 1 Pembanding
8 7 2 7 0 0 Bulan Katun Nilon
6 1 0 9 1 0
Nopember 1986 6 0 0 20 1 11 % % %
Jml Mad Jml Mad Jml Mati
14 6 0 7 2 1 Kern. Kern. Kern.
Desember 1986 11 0 0 7 3 0 Januari 1988 114 101 88,6 115 72 62,6 60 3 5
7 6 0 5 0 0 150 143 95,3 150 130 86,7 60 2 3,3
Januari 1987 20 13 4 10 11 2 150 144 96 150 •112 74,7 60 3 5
26 25 3 2 4 0
Pebruari 1987 6 2 0 2 0 2 Jumlah 414 388 93,7 415 314 75,7 180 8 4,4
5 2 0 2 0 1 Apri11988 200 166 81,4 200 112 51,7 80 7 8,8
Juni 1987 0 0 – 1 0 – 200 145 69,8 200 112 51,7 80 7 8,8
1 2 – 4 1 – Jumlah 400 311 75,5 400 224 51,7 160 14 8,8
Iuli 1987 20 29 – 10 0 –
2 3 – 32 5 –
Aaustus 1987 9 2 2 66 1 0 Evaluasi berdasarkan banyaknya penderita malaria.
1 0 0 11 0 0 Perbandingan jumlah kasus antara sebelum dan sesudah
Oktober.1987 4 0 5 62 1 8
0 1 5 2 0 0
penduduk menggunakan kelambu, dilihat perbedaannya dari
Nopember 1987 6 0 3 62 1 3 hasil survai malariometrik. (Tabel 3).
43 1S 14 120 3 11
Dēsember 1987 53 27 16 33 0 9 Tabel 3. Hasil Survai Malariometrik setelah Dilakukan Crosscheck untuk
75 54 17 84 4 9 Evaluasi Pemakaian Kelambu yang Dipoles dengan Permethrin.
Januari 1988 37 26 0 37 2 11
43 35 1 28 0 0 Jml. sediaan
Ratio aediaan
Pebruari 1988 23 19 0 3 0 0 Bulan Dukuh darah di- Jml. Positif Pf %
darah poaitif
15 12 8 10 0 0 periksa
Maret 1988 34 19 11 0 0 2 Nopember Sebalang 152 67 44,1 43,3
0 0 0 0 0 1 1986 Sukamaju 137 30 21,9 83,3
Apri11988 22 7 0 7 0 2
lull 1987 Sebalang 100 14 14 50
2 3 0 0 0 0
Mei1988 10 17 0 2 1 0 Sukamaju 237 27 11,4 55,6
12 5 0 4 2 2 Pembagian kelambu awal Oktober 1987
Juni 1988 6 4 0 0 1 0 April 1988 Sebalang 212 49 23,1 51
2 1 0 2 0 1 Sukamaju 169 64 37,9 60,9
Juli 1988 0 0 1 2 0 0 Nopember Sebalang 248 41 1~6,5 48,7
0 0 0 0 0 0 1988 Sukamaju 283 58 20,5 50

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 51


Pada Tabel 1 terlihat bahwa kepadatan An. sundaicus tidak terlihat bila dibandingkan dengan populasi keseluruhan.
antara sebelum penggunaan kelambu (September 1986 – Apalagi bila diingat bahwa kita tidak melakukan upaya
Agustus 1987) dengan setelah pembagian kelambu (Oktober tindakan anti jentik, sehingga tiap hari masih timbul nyamuk
1987 – Juli 1988) tidak berbeda nyata. Pada label 1 terlihat baru dari tempat perindukan.
bahwa pada musimnya, kepadatan An. sundaicus tetap tinggi 2. Tidak adanya perbedaan nyata antara SPR sebelum dan
meskipun penduduk sudah mendapat pembagian kelambu sesudah pembagian kelambu (tabel 3), karena kejadian pe-
(Nopember 1987 – Mei 1988). Hal ini menerangkan bahwa nularan malaria di daerah penelitian berlangsung di luar rumah
meskipun penduduk telah memakai kelambu, penularan (outdoor transmission). Hal ini terjadi karena penduduk mem-
malaria masih berlangsung. Hal ini ditunjang oleh data pada punyai kebiasaan berada di luar rumah hingga larut malam;
label 3. Dari hasil survai malariometrik pada Tabel 3 terlihat kecuali itu karena rumah mereka pada umumnya sempit,
bahwa rasio sediaan darah positif (slide positivity rate) antara ditambah dengan udara yang panas, menyebabkan banyak
sebelum dan sesudah pembagian kelambu tidak berbeda nyata. anggauta keluarga yang tidur di luar. An. sundaicus tergolong
Tetapi, apabila kita perhatikan Tabel 2, hasil uji hayati nyamuk eksofilik dan eksofagik; maka nyamuk tersebut tidak
memberikan keterangan yang berbeda. Pada Tabel 2 terlihat perlu masuk ke dalam rumah, karena di luar rumah telah
bahwa residu permethrin pada kelambu sangat efektif mem- tersedia sumber darah yang diperlukan. Jadi jelas bahwa ke-
bunuh nyamuk. Tiga bulan setelah kelambu dipoles, daya jadian penularan di luar rumah itulah yang merupakan kendala
bunuhnya masih cukup baik, yaitu kelambu dari bahan katun utama yang menyebabkan ketidak berhasilan pemakaian
memberikan kematian 93,7% sedang bahan nilon 75,7%. Enam kelambu untuk penanggulangan malaria.
bulan setelah pemolesan, kelambu katun memberikan kematian Mengingat daya bunuh kelambu yang dipoles dengan per-
75,5% sedang yang dari nilon 51,7%. Data ini ditunjang oleh methrin nyatanya cukup baik, maka apabila kelambu tersebut
data pada Tabe1 4. dipakai dengan sempurna dan penularan tidak berlangsung di
luar atau di daerah dengan vektor endofagik, maka pemakaian
Tabel 4. Hasil Survai Malariometrik Khusus Anak-anak di bawah kelambu akan efektif untuk penanggulangan malaria seperti
Umur Lima Tabun untuk Evaluasi Pemakaian Kelambu yang terjadi di Sabah (Malaysia Timur) dan Cina.
Dipoles Permethrin.

Sebalang Sukamaju
KESIMPULAN
(memakai kelambu) (pembanding) Pemakaian kelambu yang dipoles permethrin dengan dosis
0–11 bl 12–23 bl 2–4 th 0–11 bl 12–23 bI 2–4 th 0,5 gr/m2 untuk penanggulangan malaria dengan vektor An.
SPR SPR SPR SPR SPR SPR sundaicus di Lampung, dilihat dari densitas nyamuk dan SPR
Nopember
semua umur ternyata tidak efektif, meskipun kelambu yang
16,6 56,5 61,1 14,3 33,3 34,4 dipoles permethrin mempunyai daya bunuh cukup baik
1986
Pembagian kelambu terhadap nyamuk dengan umur efektif paling tidak enam bulan
Awal Oktober 1987 setelah pemolesan. Tetapi untuk anak-anak di bawah lima
April 16,6 16,6 35 80 37,5 48,4 tahun pembagian kelambu dapat melindungi mereka dari
1988 penularan malaria.
Nopember 0 16,6 23,1 9,1 25 34,3 Kesimpulan lain yang dapat diambil dari hasil uji coba
1988
ialah, bahwa kelambu yang dibuat dari bahan katun lebih baik
Keterangan: – SPR = Slide Positivity Rate. dari pada yang dibuat dari nilon. Kelambu dari bahan katun
yang dipoles permethrin mempunyai umur efektif lebih lama
Pada Tabel 4 terlihat bahwa SPR khusus anak-anak di daripada kelambu nilon. Enam bulan setelah dipoles, daya
bawah lima tahun setelah pembagian kelambu menurun dengan bunuh kelambu katun masih 75,5% sedang yang dari nilon
nyata. Sebelum pembagian kelambu SPR nya antara 16,6% – tinggal 51,7%. Kecuali umur efektifnya lebih panjang, proses
61,1%, sedang setelah pembagian kelambu hanya antara 0% – pemolesan kelambu katun lebih mudah. Kelambu katun lebih
35%. Hal ini menerangkan bahwa bagi anakanak,. karena lebih mudah menyerap larutan permethrin dari pada kelambu nilon.
mendapat perhatian dari orang tua mereka, maka pembagian
kelambu bermanfaat untuk perlindungan terhadap penularan REKOMENDASI
malaria. Kelambu yang dipoles permethrin akan memberikan efek
Ketidak cocokan antara Tabel 2 dengan Tabel 1 & 3 dapat positif untuk penanggulangan malaria, bila digunakan di daerah
dijelaskan sebagai berikut dengan vektor endofagik atau di daerah di mana penduduknya
1. Densitas An. sundaicus sebelum dan sesudah pembagian mulai masuk tidur tidak terlalu malam. Kelambu yang dipoles
kelambu tidak ada perbedaan bermakna karena nyamuk yang permethrin dapat disarankan untuk perlindungan dari penularan
masuk ke dalam rumah untuk mencari darah relatif sangat kecil malaria bagi tentara yang sedang tugas operasional. Dapat pula
bila dibandingkan dengan populasi keseluruhan. Dari jumlah disarankan digunakan oleh para penebang kayu di hutan dan
yang kecil itu tidak seluruhnya kontak dengan kelambu, siapa saja yang berkaitan dengan tugasnya mempunyai risiko
sehingga jumlah nyamuk yang mat akan lebih kecil lagi dan besar untuk digigit nyamuk.

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


KEPUSTAKAAN

1. Xu Jinjiang, Zao Meiluan, Luo Xinfu, Geng Rongen, Pan Shina(ang, Liu
Skuyou. Evaluation of Permethrin impregnated mosquito-nets against UCAPAN TERIMA KASIH
mosquito inChina.WHO/VBC/88.892, 1988. Terima kasih diucapkan kepada para pamong Desa Tarahan, atas kerja
2. Jeffrey LK Hii et al. The influence of permethrin-impregnated bed-nets samanya, sehingga uji coba ini dapat berjalan dengan lancar. Terima kasih
and mass drug administration on the incidence of Plasmudium falciparum juga diucapkan kepada Ka. Puskesmas Ketibung, Ka. Puskesmas Panjang dan
malaria in children in Sabah, Malaysia. Medical and Veterinary staf yang terkait, atas segala bantuannya sehingga uji coba dapat berlangsung
Entomology 1987; 1 : 397–407. dengan baik. Juga kepada Ka. Kanwil Departemen Kesehatan dan Ka. Dinas
3. Schreck CE, Self LS. Treating mosquito-nets for better protection from Kesehatan Dati I Prop. I.ampung serta para staf, atas izin dan partisipasi serta
bites and mosquito-borne disease. WHO/VBC/85.914. 1985. bantuan yang diberikan, sehingga uji coba dapat berhasil dengan baik.
4. Anonymous. Manual on Practical Entomology in Malaria. Part II, WHO Akhirnya tidak lupa, terima kasih juga diucapkan kepada WHO yang telah
Geneva, 1975. membiayai uji coba ini sehingga selesai.

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 53


Sensitivitas Plasmodium falciparum
terhadap Beberapa Obat Anti Malaria
di desa Pekandangan, Jawa Tengah
Emiliana T*, Sekar Tuti*, M Renny*, PR Arbani**,
dan Harijani AM* *
*Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta
**Sub Direktorat Malaria, Direktorat Jenderal PPM & PLP, Jakarta

ABSTRAK
Sensitivitas P. falciparum terhadap obat antimalaria mempengaruhi keberhasilan
program pemberantasan malaria. Untuk itu dilakukan tes sensitivitas P. falciparum
terhadap klorokuin secara in vivo; terhadap klorokuin, kina, sulfadoxin-pirimetamin,
dan meflokuin secara in vitro; di desa Pekandangan, pada bulan November 1989,
karena sampai saat ini kasus malaria di Pekandangan masih cukup banyak.
Sensitivitas in vivo dilakukan dengan tes 7 hari yang disederhanakan, sensitivitas
in vitro dengan tes mikro, dan menurut standar teknik dari WHO.
Ternyata Parasite Rate : 5,4%, dan seluruhnya adalah P. falciparum Dari pen-
derita tersangka malaria secara klinis dengan demam, hanya 53,5% positif malaria;
dengan splenomegali, 90% positif malaria; dengan panas dan splenomegali, hanya 57,1%
positif malaria. Karakteristik klinis dari 20 penderita malaria adalah 45% dengan
splenomegali, 40% dengan demam, dan 20% dengan demam dan splenomegali. P.
falciparum di Pekandangan ternyata telah resisten secara in vivo terhad`ap klorokuin
dengan derajat R. II dan R. III, sedangkan secara in vitro masih sensitif. Resistensi secara
in vitro juga ditemukan terhadap sulfadoxin-pirimetamin, sedangkan terhadap kina dan
meflokuin masih sensitif.
Dengan demikian desa Pekandangan merupakan daerah malaria P. falciparum
dominan, resisten multidrugs yaitu terhadap klorokuin secara in vivo dan sulfadoxin-
pirimetamin secara in vitro; splenomegali dapat merupakan petunjuk penderita dengan
kemungkinan besar sedang menderita malaria.

PENDAHULUAN telah disederhanakan tehnik pelaksanaannya1.


Plasmodium falciparum merupakan salah satu dari 4 jenis Jawa Tengah mula-mula dilaporkan resisten terhadap
Plasmodium manusia yang telah banyak menimbulkan ke- klorokuin pada tahun 1981 secara in vivo dan in vitro2–4 .
matian. Sampai saat ini hanya P. falciparum yang dilaporkan Resistensi terhadap sulfadoxin-pirimetamin secara in vivo
tidak sensitif atau telah resisten dengan beberapa obat anti- juga telah ditemukan5. Bahkan terhadap obat antimalaria
malaria. lain yaitu meflokuin yang belum beredar dan belum dipakai
Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan malaria, secara resmi di Indonesia, ternyata juga telah resisten secara
sensitivitas P. falciparum terhadap obat-obat antimalaria in vitro di Jateng6. Oleh sebab itu perlu diketahui status
sangat penting untuk diketahui. Sensitivitas ini sangat ber- sensitivitas obat-obat antimalaria saat ini di Jateng. Banjar-
variasi dari suatu daerah ke daerah yang lain. Penilaian sen- negara merupakan salah satu kabupaten di Jateng dengan
sitivitas ini dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro yang Slide Positivity Rate 20,7%' dan sampai saat ini masih tetap

Dibacakan di Seminar Parasitologi Nasional VI dan Kongres P4I V,


Surabaya, 23–25 Juni 1990.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


tinggi kasus malarianya, serta merupakan salah satu daerah (2-9 tahun) adalah 18,5% .dan Average Enlarged Spleen 1,75
yang masih sensitif klorokuin3. Desa yang dilaporkan cukup (tabel 1).
banyak kasus melarianya antara lain Pekandangan, desa yang
dikelilingi oleh hutan salak dan sawah. Untuk itu penelitian ini Tabel 1. Hasil pemeriksaan limps menurut golongan umur dari pen
duduk desa Pekandangan, Jawa Tengah, 1989.
dilakukan di Pekandangan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status Pembesaran limpa ( Hackett )
Jumlah
sensitivitas P. falciparum terhadap klorokuin secara in vivo; Gol umur
diperisa 0 1 2 3 4 5 Jumlah SR (% )
dan terhadap klorokuin, sulfadoxin-pirimetamin, kina dan
meflokuin secara in vitra.. 0–11 bl 6 4 2 0 0 0 0 2 33,3
BAHAN DAN CARA 12–23 b1 1 0 0 0 1 0 0 1 100
2–4 th 12 9 1 1 1 0 0 3 25
Penelitian dilakukan pada bulan November 1989 di desa 5–9 th 15 13 1 1 0 0 0 2 13,3
Pekandangan, kecamatan Banjarmangu, kabupaten Banjar- 10–14 th 4 4 0 0 0 0 0 0 0
negara, Jateng. > 15 th 101 97 1 3 0 0 0 4 4
Sampel Total 139 127 5 5 2 0 0 12 8,6
Untuk mendapatkan kasus yang memenuhi persyaratan tes Keterangan:
sensitivitas yang sesuai dengan kriteria WHO8 dilakukan SR (Spleen Rate) 2 – 9 tahun : 18,5%.
Average Enlarged Spleen = 1,75.
pemeriksaan klinis dan parasitologis darah tetes tebal dengan
pewarnaan Giemsa dari penduduk yang menderita demam
Pada pemeriksaan parasitologis darah terhadap 368 pen-
maupun tidak. Adapun persyaratan untuk tes sensitivitas in
duduk, ditemukan 20 kasus malaria. Parasite Rate 5,4%, dan
vivo adalah :
semuanya adalah P. falciparum; Slide Falciparum Rate 5,4%
1) hanya terinfeksi oleh P. falciparum.
(tabel 2).
2) kepadatan parasit aseksual antara 1.000–10.000 per mm3
darah. Tabel 2. Hasil pemeriksaan parasitologis darah menurut golongan umur
3) tidak minum obat antimalaria selama 14 hari yang lalu dari penduduk desa Pekandangan, Jawa Tengah, 1989.
terhadap golongan 4-aminokuinolin, kina dan tetrasiklin, 4
minggu untuk sulfadoxin-pirimetamin; dan 6 minggu untuk Jumlah Jumlah PR Species
Gol umur
meflokuin. diperiksa positif (%) Pf Pv Pm Pmix
4) tes urin Dill Glazko untuk obat golongan 4-aminokuinolin 0–11 bl 6 0 0 0 0 0 0
dan Lignin untuk sulfonamid, harus negatif. 12–23 bl 1 1 100 1 0 0 0
Persyaratan untuk tes in vitro adalah sama dengan tes 2– 4 th 15 2 13,3 2 0 0 0
5– 9 th 94 4 4,3 4 0 0 0
sensitivitas in vivo kecuali kepadatan parasit aseksual yaitu
10–14 th 48 1 2,1 1 0 0 0
antara 1.000–80.000 per min' darah. > 15 th 204 12 5,9 12 0 0 0
Tes sensitivitas in vivo
Total 368 20 5,4 20 0 0 0
Kasus-kasus yang akan di tes sensitivitas in vivo, diobati
dengan klorokuin dosis total 25 mg/kgbb, selama 3 hari: hari I Keterangan:
dan II 10 mg/kgbb/hari, dan hari ke III 5 mg/kgbb/hari. secara PR : Parasite Rate.
Pf : P. falciparum.
oral, dosis tunggal. Setiap kasus diikuti selama 7 hari dan Pv : P. vivax
diperiksa ulang parasitologis darah tetes tebal dengan Pm : P. malariae
pewarnaan Giemsa, pada saat pengobatan akan dimulai: DO, Pmix : Pf + Pv atau Pf + pm atau Pv + Pm
hari ke III : D2, dan hari ke VIII : D71. Penelitian sensitivitas
berdasarkan kriteria WHO hanya dapat menilai R. III, R. II, R. Pada pemeriksaan klinis dan parasitologis darah, dari
I dini, sedangkan S dan R. I kasep tak dapat dibedakan. 15 penderita demam hanya 8 (53,3%) yang positif malaria;
Tes sensitivitas in vitro dari 12 penderita dengan splenomegali (termasuk 2 bayi)
Penderita-penderita yang diambil darahnya untuk tes hanya 9 (90%) yang positif malaria; dari 7 penderita dengan
sensitivitas in vitro diobati radikal dengan klorokuin dan demam dan splenomegali hanya 4 (57,1%) yang positif malaria
primakuin dengan dosis sesuai petunjuk Depkes9. Tes sen- (tabel 3).
sitivitas in vitro dilakukan dengan tes mikro sesuai petunjuk Karakteristik klinis dari 20 penderita malaria adalah 40%
WHO10, dan memakai kit WHO. Adapun batas konsentrasi dengan demam, 45% dengan splenomegali, 20% dengan
obat antimalaria dinyatakan resisten adalah : demam dan splenomegali (tabe1 3)
1. klorokuin : ≥ 8 pmol. Hasil tes sensitivitas in vivo P. falciparum terhadap kloro-
2. meflokuin : ≥ 64 pmol. kuin menunjukkan bahwa tak ada kasus yang sensitif (S) dan
3. kina : ≥ 256 pmol. R. I, 4 kasus R. II, 1 kasus R. III, dan 2 kasus gagal karena
4. sulfadoxin-pirimetamin : ≥ 1.000 pmol –> 12,5 pmol. muntah-muntah (tabel 4).
HASIL Hasil tes sensitivitas in vitro P. falciparum terhadap kloro-
Dari 1.000 penduduk yang tercatat, 139 diperiksa limpa- kuin, kina, dan meflokuin, semuanya menunjukkan hasil
nya, 12 orang membesar antara H1–113, sehingga Spleen Rate sensitif. Terhadap sulfadoxin-pirimetamin, 2 dad 6 spesimen

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 55


menunjukkan hasil resisten (tabel 5). Banjarnegara sebenarnya masih merupakan daerah sensitif
terhadap klorokuin secara in vivo3. Ternyata dari hasil pe-
Tabel 3. Karakteristik klinis penderita tersangka dan penderita malaria nelitian ini telah resisten R. II dan R. III terhadap klorokuin
P. falciparum Pekandangan, Jawa Tengah, 1989.
secara in vivo, sedangkan secara in vitro masih sensitif. Ini bar-
Karakteristik Jumlah tersangka Jumlah positif % kuakteristik arti Pekandangan telah menjadi daerah P. fakzparum resisten
ldinis malaria malaria (%) dari 20 penderita klorokuin, walaupun secara in vitro masih sensitif. Perbedaan
Demam 15 8 (53,3%) 40 % ini mungkin disebabkan adanya pengaruh faktor penyerapan
Splenomegali 12 * 9 (90 %) 45 % dan metabolisme obat dalam tubuh penderita tersebut. Secara
Demam+spleno- 7 4 (57,1%) 20 % in vitro ternyata P. falciparum juga tersisten terhadap sulfa-
megali
doxin-pirimetamin. Hal ini sesuai dengan yang ditemukan
Keterangan: Harijani AMS. Resistensi terhadap obat antimalaria ini
* termasuk bayi 2 orang dan tidak menderita malaria. mungkin juga disebabkan karena seringnya pemakaian preparat
sulfa sebagai obat antibiotika di daerah tersebut.
Tabe1 4. Hasil tea sensitivitas P. falciparum seam in vivo terhadap
Dalam penelitian ini secara in vitro P. falciparum masih
klorokuin di Pekandangan, Jawa Tengah, 1989.
sensitif terhadap kina dan meflokuin, sedangkan pada tahun
Hasil Jumlah Keterangan 1983, Hoffman dkk telah menemukan P. falciparum resisten
Sensitif (S) atau RI kasep 0 meflokuin di Jateng.
Resisten I (R I) dini 0
Resisten II (R II) 4
Resisten III (R III) 1 KESIMPULAN DAN SARAN
Gage 2 muntah-muntah Pekandangan merupakan daerah malaria P. falciparum
Total 7 dominan, resisten multidrugs yaitu terhadap kjorokuin secara in
vivo dan sulfadoxin-pirimetamin secara in vitro; splenomegali
Tabe1 5. Hasil tes sensitivitas P. fakiparum secara in vitro terhadap dapat sebagai petunjuk bahwa penderita kemungkinan besar
beberapa obat antimalaria di Pekandangan, Jawa Tengah, sedang menderita malaria.
1989.
Oleh sebab itu perlu segera diambil tindakan-tindakan
Innis obat
Jumlah yang
Sensitif Resisten
pengobatan sedini mungkin, pencegahan dan pemberantasan,
diperikaa serta pengamatan penyakit malaria yang lebih ketat. Di
Klorokuin 5 5 0 samping itu perlu disiapkan obat alternatif untuk malaria P.
Sulfadoxin-pirimetamin 6 4 2
Kina 3 3 0
falciparum resisten multidrugs.
Meflokuin 2 2 0 Penelitian ini perlu diulang dengan jumlah sampel yang
lebih besar sehingga keadaan malaria di Pekandangan dapat
PEMBAHASAN diketahui secara jelas.
Walaupun Spleen Rate (2–9 tahun) adalah 18,5%, Pekan-
dangan tak dapat disebut sebagai daerah mesoendemis, karena
jumlah anak 0–9 tahun yang diperiksa terlalu sedikit yaitu
hanya 34 orang. Berdasarkan perkiraan PR Banjarnegara
adalah 20,7%7, seharusnya jumlah anak 0–9 tahun yang
diperiksa minimal adalah 168 orang11. Untuk segala surat-menyurat,
Ditemukannya P. falciparum yang dominan (100%) di pergunakan Alamat lengkap Anda
Pekandangan, menunjukkan indikasi bahwa di daerah itu
dengan mencantumkan Kode Pos
sedang terjadi transmisil' . Hal ini juga diperkuat dengan
adanya kasus malaria pada anak-anak balita. Jadi walaupun PR ke alamat kami :
yang didapat hanya 5,4%g, suatu saat dapat terjadi ledakan•
sehingga perlu segera diambil tindakan pengobatan sedini
mungkin, pencegahan dan pemberantasan, serta pengamatan CERMIN DUNIA KEDOKTERAN
penyakit malaria yang lebih ketat. P.O. Box 3105, JAKARTA 10002
Ternyata hanya 53,3% penderita demam yang menderita
malaria; yang lain ternyata menderita penyakit infeksi lain,
antara lain ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) yang
banyak ditemui pada pemeriksaan klinis.
Sebenarnya hanya 1 dari 12 penderita splenomegali yang
tidak menderita malaria, karena 2 bayi yang splenomegali
dengan HI dianggap normalll . Dengan demikian splenomegali
di Pekandangan dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa pen-
derita sedang menderita penyakit malaria.

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


KEPUSTAKAAN 9. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Pengobatan 3,
1. WHO Drug resistant malaria. Report of an Intercountry meeting. New 1984.
Delhi, 29 September – 3 October 1988. SEA/MAL/165, 22 February 1989. 10. Rooney W. Review of the systems for determining drug sensitivity in
2. Simanjuntak C, Arbani PR, Kumara Rai N. P. falciparum resisten terhadap Plasmodium falciparum. Inter-country meeting on drug resistant malaria,
klorokuin di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Bull Health Stud Indon SEARO, 29 September – 3 Ocotber 1988.
1981, IX (2) : 1–6. 11. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
3. Kumara Rai N, Arbani PR. Penyebaran dan penanggulangan P. falciparum Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Survai
yang resisten terhadap klorokuin di Indonesia. Pertemuan Tehnis Malaria, malariometrik 6, 1983.
Jakarta 12 April 1982.
4. Sub Direktorat P2 Malaria. Laporan tes resistensi P. falciparum terhadap UCAPAN TERIMA KASIH
klorokuin, 1987.
5. Harijani AM. Penelitian resistensi P. falciparum terhadap Fansidar di Ucapan terima kasih ditujukan kepada :
Indonesia. Laporan akhir penelitian tahun 1983–1985. 1. Dr. Suriadi Gunawan, DPH, Kepala Puslit Penyakit Menular yang
6. Hoffman SL dkk. In vitro studies of the sensitivity of Plasmodium telah memberi saran-saran dan petunjuk, serta mengijinkan makalah ini
falciparum to mefloquine in Indonesia. Panel diskusi Seminar Parasitologi diterbitkan.
Nasional dan Kongres ke 2 P4I. Bandung, Agustus 1983. 2. Dr. P.R. Arbani, MPH, Kasubdit P2 Malaria, PPM & PLP, yang telah
7. Dinas Kesehatan Propinsi Dati I Jawa Tengah, Direktorat Daerah memberi kesempatan mengikuti "Latihan tes sensitivitas obat-obat
Pencegahan Pemberantasan Penyakit Malaria. Pemberantasan Penyakit antimalaria"; dan meneliti di Pekandangan, serta mengijinkan hasilnya untuk
Malaria Propinsi Jawa Tengah. Laporan tahunan 1977. diterbitkan.
8. Payne D. Practical aspects of the in vivo testing for sensitivity of human 3. Kadinkes Kabupaten Banjarnegara dan stafnya, serta seluruh teman-
Plasmodium spp to antimalarials. WHO/MAL/82. 988. 1982. teman yang banyak membantu dalam penelitian ini

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 57


Indeks Karangan
dalam Cermin Dunia Kedokteran
Tahun 1992

CDK 74. KULIT I 4 nosis Human Immunodeficiency Virws (HIV) 17 – 19


Harry Isbagio: Artritis yang Berhubungan dengan Penyakit De-
English Summary 5–9 fisiensi Imun 20 – 22
Arini Rinaldi, Retno Widowati S.,H.Mochtar Hamzah: Urtikaria Jusuf Barakbab, Mob. I. Was: AIDS - Hubungannya dengan
Kontak 10 –15 Penyakit Menular Seksual Lainnya 23 – 25
S. Buditjahjono, Hartadi, Oedayati DB, M. Affandi, Sugastiasri 16 –18 Moh. Randy Bandy: Masalah Penyimpangan Perilaku Seksual
S.: Terfenadin untuk Pengobatan Urtikaria Krorik Pemuda Remaja di Kota-kola Besar di Jawa., 26 – 31
Imtikhananik: Dermatitis Exfoliativa Sarlito Wirawan Sarwono: Aspek Psiklogik AIDS 32 – 36
M Goedadi H., G. Arna Apkara, Hari Sukanto, Saut Sahat Imran Lubis: Reaksi Psikologik akibat HIV Positif pada Homaseks
Pollan: A Retrospective Study of Drug Eruption at the Department 19 – 21 Asimptomatih di Australia 37 – 39
of Dennato-venereology, Dr. Soetano General Hospital, Surabaya, 22 – 24 Rachmat Juwono: Petunjuk Pencegahan Penularan HIV untuk
Indonesia 25 – 27 Petugas Kesehatan 40 – 42
Shannaz Nadia Idris, Erdina HDP, A. Kosasih: Bromhidrosis Imran Lubis: Program AIDS di Australia - suatu studi komparatif 43 – 45
Sri Linuwih SMR., Erdina HDP.: Hiperhidrosis 28 – 31 Rachmat Juwono: Tanya Jawab mengenai AIDS 46 – 48
S. Fasihah R., IGAK Rats, Sri Adi Sularsito: Hirsutisme dan Sudibyo Supardi, Sarjaini Jamal, Anwar Musadad: Obit yang
Hipertrikosis 32 – 36 Disalahgunakan oleh Pasien Ketergantungan Obat di Rumah Sakit
Emiliana Tjitra, Marvel Reny, Rita Marleta Dewi: Karakteristik 37 – 39 Ketergantungan Obat dan di Inabah 49 – 51
Penderita Fluor Albus di Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta Instruksi Mental Kesehatan RI no. 72/Menkea/Insl17/1988 ten-
Djunaedi Hidajat, IGAK Rata,Unandar Budimulja: Mastositosis 40 – 43 tang Kewajiban Melapor Penderita dengan Gejila AIDS 52 – 58
Lydia Pratanu: Geretika Medik-Diagnosis Prenatal serta Aplikasi Keputusan Direktur Jendral Pemberantasan Penyakit Menular
Klinik 44 – 47 dan Kesehatan Lingkungan Pemukiman no. 286-I/PD.03.04
Yovita Lisawati: Pembuatan Antibodi HCG dari Kelinci dan Eva- tentang Petunjuk Pelaksanaam Melaporkan Penderita dengan Gejala
luasi untuk Uji Kehamilan 48 – 51 AIDS 59 – 61
A. Halim Mubin, Pain S.: Malaria Tropika dengan Beberapa Abstrak
Komplikasi 52 – 54 Pentamidin untuk
Tjandra Yoga Aditama: Tuberculosis Situation - Delay in Case infeksi PCP N. Engl. J. Med. 1991; 324: 1079-83 62
Finding 55 – 57 Transmisi HIV-1 N. Engl. J. Med.1991; 325:1593-8 62
Harijani AM, Purnosno: Penelitian Pemberantasan Malaria di Zidovudin untuk anak N. Engl. J. Med. 1991; 324: 1018-25 62
Kabupaten Sikka, Flores - Malaria pada Anak SD 58 – 61 Obat esensial Lancet 1991; 338: 7435 62
Keputusan Presiden RI No. 37 tahun 1991 tentang Pengangkatan Diagnosis sindrom septik Lancet 1991; 328: 732 62–63
Dokter Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti 62 Terapi antimiktobial pada tahun
Abstrak 2000 Market Letter, July 8, 1991 63
H. pylori Scrip 1991; 1626: 23 Diabetes pada kehamilan N.Engl.J.Med.1991;325:911-6 63
Penggunaan kombinasi
tetap captopril + HCT 62 CDK. 76. KULIT II
O.D vs. bid pada hiper- 62
tensi esensial Br. J. Clin. Pharmacol. 1991; 32: 115-9 English Summary 4
Kontraseptif bans Scrip 1991; 1625: 23 62 Adiana Murniati, Untung SP, Mochtar Hamzah: Kelainan Lem-
Mengatasi asites pada peng Kuku 5–9
sirosis hepatis N. Engl. J. Med. 1991; 321: 829-35 62–63 Grace Widodo, Erdina HDP., A. Kosasfh:, Kelainan Dasar dan
Meramalkan risiko 63 Lipat Kuku 10 – 15
kardiovaskular N. Engl. J. Med.1991; 325: 849-53 63 RS Siregar, Tantawi Djauhari: Deruatofitosis di LP Palembang,
Penggunaan tranboprofilaksis BMJ 1991; 303: 549-50 63 LP Lahat dan LP Muara Enim 16 – 18
Akibat tenggelam BMJ 1991; 302: 932-3 Subakir: Pengaruh Suhu Pengeraman pada Biakan Malassezia
Hipertensi sistolik dan stroke JAMA 1991; 265: 3255-64 63 furfur 19 – 21
Cedera dalam 63 Emillana Tjitra, Marvel Reny, Rita Marfeta Dewi: Pengobatan
Perawatan Internat. PharnacertAbstracts 1991; 28(1): 112 Fluor Albus di Puskesmas Cempaka Putih Barat 22 – 25
Nyeri postpartum BMJ 1990; 301: 9-12 Evita HF Effendi: Dermatitis Herpetiformis 26 – 29
S Fasihah R, Titi Lestari S, Mochtar Hamzah: Displasia Ekto-
CDK 75. AIDS 4 dermal 30 – 33
5–9 Evita HF Effendi: Terapi Plasmaferesis dalam Dennatologi 34 – 37
English Summary 10–12 Tjandra Yoga Aditama: Health Situation in Indonesia, Singapore,
Suriadi Gunawan: Perkembangan Masalah AIDS 13 –16 Brunai Darussalam, Philippines and Japan 38 – 40
Imran Lubin: Epidemiologi AIDS Rozaimah Zain Harold: Pemantauan Efek Samping Obat 41 – 44
Imran Lubin: Petneriksaan Laboratorium untuk HIV Pudjarwoto T, Cyrus H. Simanjuntak, Nur Indah P.: Daya
Muljati Prijanto: Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Diag- Antimikroba Obat Tradisional Diare terhadap Beberapa Jenis Bakteri

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Patogen Harry Isbagio: Peranan Obat Antiinflamasi Non Steroid terhadap
Sekar Tuti: Resistensi Plasmodium falciparum terhadap Beberapa 45 – 48 Nyeri dan Inflamasi pada Penyakit Reumatik 32 – 35
Obat Anti Malaria di Indonesia AR Nasution: Efek Samping Obat Antiinflamasi Non Steroid 36 – 39
Misnadiarly: Basil Tahan Asam dan Limfadenitis Tuberkulosis 49 – 52 Djunaedi Hidajat, Farida Zubier, Adhi Djuanda: Sindrom Der-
Usman Suwandi: Mekanisme Kerja Antibiotik 53 – 55 matitis-Artritis Gonoreal Diseminata 40 – 42
Abstrak 56 – 59 Effendy Salim, JMCh Pelupessy: Perkembangan Penyakit Jantung
Alkohol dalam ASI N. Engl. J. Med. 1991; 325: 981-5 Koroner pada Anak 43 – 46
Kortikosteroid untuk nyeri 62 Ratna Dewi S., Iwan N. Boestan: Aspek Psikologi Pasca Serangan
pinggang bawah N. Engl. J. Med. 1991; 325: 1001-7 Jantung 47 – 51
Aritmi ventrikel N. Engl. J. Med. 1991; 324: 781-8 62 Hadi Hartono, Iwan N. Boestan: Manula dan Olahraga ditinjau
Obat penyekat beta untuk 62 dari Sistim Kardiovaskular 52 – 56
varises esofagus N. Engl. J. Med. 1991; 324: 1532-8 Abraham Simatupang: Proses Kepuasan Terapi dan Masalah
Deksametason untuk 62 dalam Pemakaian Obat 57 – 60
Meningitis N. Engl. J. Med. 1991; 324: 1525-31 Abstrak
Kaptopril untuk nefropati diabetik Scrip 1991; 1637: 25 62–63 Antimalaria Lancet 1992; 339: 317–21 62
Mikwrin Lancet 1991; 338: 752 63 Pirimetamin untuk ensefalitis
Infeksi saluran kemih JAMA 1990; 264: 703-6 63 toksoplasma Lancet 1992; 339: 333–4 62
Melatonin Scrip 1991; 1637: 11 63 Risiko ultrasonografi pada wanita
Rx. benzodiazepin Scrip 1991; 1644: 26 63 hamil Lancet 1992; 339: 385–9 62
Sistim pelepasan obat baru Scrip 1991; 1644: 24 63 Manfaat ASI Lancet 1992; 339: 261–4 62
63 Indometasin untuk batu empedu Lancet 1992; 339: 268–71 62
CDK. 77. TUMOR OTAK Efek teratogenik litium karbonat Lancet 1992; 339: 530–3 62 – 63
Efek samping pimozide Scrip 1991; 1679/80: 26 63
English Summary Antihemofili Scrip 1991; 1679/80: 25 63
A. Chalim Muntasir: Pengenalan Gejala Minis Tumor Otak 4 Faktor risiko gout JAMA 1991; 266: 3004–7 63
Suwondo: Gejala Psikiatrik Tumor Otak 5–7 Risiko diuretik pada
Tri Astuti Wonoyudo: Peranan CT Scan pada Diagnosis Tumor Otak 8 –11 diabetes mellitus Arch. Intern. Med. 1991; 151: 1350–6 63
Arman Adel Abdullah: Diagnosis Tumor Otak dengan MRI 12 –18 NSAID topikal Scrip 1991; 1679/80:24 63
FX Eddy Gunawan Yusup: Histopatologi Tumor Otak 19 – 20
R. Susworo: Peranan Radioterapi pada Neoplasma Susunan Saraf 21– 25
Pusat
Djoko Riadi: Terapi Pernbedahan Tumor Otak 26 – 29
Ali Shahab: Biopsi Stereotaksi Tumor Otak 30 – 32 CDK 79. MASALAH SALURAN CERNA 4
Martina V. Tobing: The Role of Occupational Therapy in Patient 33 – 36 5–8
with Brain Tumor English Summary 9 – 13
PT Simatupang: Rehabilitasi Pasien dengan Tumor Otak 37 – 38 Amirmuslim Malik: Mekanisme Proteksi Saluran Cerna 14 – 17
MN Janie: Pengelolaan Nyeri pada Kanker Stadium Lanjut 39 – 43 Julius: Patogenesis Tukak Peptik
Budi Riyanto W.: Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala 44 – 51 Dwi Djuwantoro: Diagnosis dan Pengobatan Tukak Peptik 18 – 21
Sudibyo Supardi,Rini Sasanti Handayani, Max Joseph Herman: 52 – 55 Sujono Hadi: Hasil Pengobatan Gastritis dengan Traksat empat kali
Lingkungan Sosial Pasien Ketergantungan Obat di Rumah Sakit sehari Dibandingkan dengan Traksat dua kali dua sehari 22 – 25
Ketergantungan Obat dan di Inabah Sayan Wongso, Asman Manaf, Julius: Proteksi Mukosa Lambung
Abstrak 56–60 terhadap Obat-obat Antiinflamasi Nonsteroid 26 – 28
Pengaruh antagonis H2 terhadap kadar Nasrul Zubir, Julius: Gambaran Endoskopi Saluran Cema Bagian
alcohol senun JAMA 1991; 267: 83-6 Atas di Bagian Penyakit Dalam RSU dr. M. Jamil, Padang 29 – 35
Risiko perokok pasif JAMA 1991; 267: 94-9 62 Arini Setiawati: Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-obat
Silent ischemia pada pria diabetik 62 Sitoproteksi 36 – 40
dengan neuropati otonom Br. Heart J.1991; 66: 313-5 Misbah Jalins: Pemberian Dini Makanan Lewat Pipe pada Pasien 41 – 46
Korelasi kadar kolesterol serum dengan 62 Postoperasi Bedah Digestif
prevalensi penyakit jantung koroner BMJ 1991; 303: 276-82 Djoko Juwono: Menuju Bebas Polio tahun 2000 di Indonesia
Ibuprofen sebagai anti 62–63 Harijani AM, Sahat Ompusunggu, Suyitno, Mursiatno: Pene- 47 – 49
piretik Arch. Dis. Child. 1991; 66: 1037-42 litian Pemberantasan Malaria di Kabupaten Sikka, Flores - 2. Pene-
Biaya advertensi obat di Indonesia Scrip 1992; 1685:5 63 litian Entomologi 1
Prevalensi migren di AS JAMA 1992; 267: 64-9 63 Emiliana Tjitra, Syahrial Harun, Rita M. Dewi, Suwarni, 50 – 52
Asiklovir untuk chickenpox Scrip 1991; 1671: 24 63 Marvel Reny, Harijani A. Marwoto: Test IFA pada Penelitian
Dosis aspirin Scrip 1991; 1671: 27 63 Malaria di Kepulauan Seribu 53 – 56
Bakteruria asimtomatik Arch. Intern. Med. 1990; 150:1389-96 63 Rochestri Sofyan: Produksi Antibodi K1on Tunggal dan 57 – 59
63 Aplikasinya dalam Bidang Kedokteran Nuklir
Dharma K. Widya: Penggunaan Laser dalam Akupunktur 62
Abstrak
CDK 78. PENYAKIT SENDI Kanker payudara rekuren N. Engl. J. Med. 1992; 326: 781–5 62
Manfaat tambahan
English Summary 4 tamoxifen N. Engl. J. Med. 1992; 326: 852–6 62
Harry Isbagio: Pendekatan Diagnostik Penyakit Reumatik 5–9 Efek teratogenik
Caedlia R. Padang, AR Nasution, Harry Isbagio: Kriteria Diag- zidovudin N. Engl. J. Med. 1992; 326: 857–62 62
nostik Penyakit Reumatik 10 – 14 Terapi bedah kanker
Harry Isbagio: Prinsip Dasar Penatalaksanaan Gangguan Reumatik 15 – 17 payudara N. Engl. J. Med. 1992; 326:1102–7 62
HM Adnan: Peranan Analisis Cairan Sendi dalam Diagnosis Terazosin untuk hipertrofi
Penyakit Sendi 18 – 24 Prostat Scrip 1992; 1689:23 63
Harry Isbagio: Strategi Pengobatan Medikamentosa Penyakit Aspirin untuk karsinoma
Reumatik 25 – 31 kolon Scrip 1991; 1677:25

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 59


Stroke pada rusakan Jaringan 112–115
usia muda J Neurol. Neurosurg. Psyckiatr.1991; 54: 264–7 63 Update III (Penyakit Kulit dan Kelamin)
Ceftriaxone untuk Mansur A Nasution, Kamallah Muis, Juwono, Tapi S Niari:
Endokarditis JAMA 1992; 267: 264–7 63 Diagnosis dan Penatalaksanaan Dematofitosis 116–118
Merokok dan plasenta Namyo O Hutapea, Mansur A Nasution, Rosiana R Ramsi:
Previa Am. J. Obstet. Gynecol. 1991; 165: 28–32 63 Manifestasi Klinis Infeksi HIV 119–123
Penggunaan fenobarbital Pediatr. Neurol. 1991; 7(4): 243–8 63 Mansur A Nasution, Zulilham: Penatalaksanaan Gejala Duh
Tubuh Uretra 124–125
Diana Nasutlon: Alergi dan Iritasi Kulit pada Keadaan Sehari-hari 126–127
Kursus dan Demonstrasi RJP
Oloan SM Siahaan: Resusitasi Jantung, Pam dan Otak 128–137
CDK 80. EDISI KHUSUS - LIMA WINDU FAKULTAS KE- Makalah Lain
DOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Joko S Lukito, H Soekimin, Delyuzar, T Kemala Intan: Pengi-
riman dan Pengelolaan Jaringan untuk Diagnostik Histopatologik 138–140
Deteksi Dini Kanker dan Penatalaksanaannya Masa Kini Maria Irene Toting: Toxoplasmosis dan Infertilitas 141–146
Humala Hutagalung: Beberapa Aspek Bedah Onkologi 5–6 Luhur Soeroso, Gani W Tambunan: Berbagai Aspek Deteksi Dini
Gani W Tanabunan: Penerapan Biopsi Aspirasi Janun Halus dalam Karsinoma Paru 147–149
Deteksi Dini Kanker 7–9 Makmur Husaini: Laboratorium Diagnostik Malaria Masa Kini 150–151
Gani W Tambunan, Joko S Lukito, Soekimin: Strategi Deteksi Simposlum Satelit : Coronary Heart Disease Update
Kanker Payudara Stadium Awal 10 – 13 T Bahry Anwar, Sutomo Kalman: Patofisiologi dan Penatalak-
M Fauzie Sahli: Karsinoma Serviks Uteri - Deteksi Dini dan Pe- sanaan Penyakit Jantung Koroner
nanggulangannya 14 – 16 Sutomo Kasiman, T Bahry Anwar, T Renardi Haroen: 152–156
Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman Penggunaan Ca Antagonists dalam Penatalaksanaan Penyakit
Amar Singh : Permasalahan Visum et Repertum 17 – 21 Jantung Koroner 157–160
Amri Amir: Hukum Kesehatan : The New Frontier 22 – 24 Simposium Satelit : Pola Makan untuk Mencegah Kegemukan
P Emma Sitompul: Pengambilan clan Pengawetan Barang Bukti Pangaribuan Siregar: Interkonversi Zat-zat Kimia dalam Tubuh 161–164
Pemeriksaan secara Laboratoris Kriminalistis 25 – 27 Semiloka : Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih
Gawat Darurat Bedah Hesty RPO Sitompul: Program Menjaga Mutu Pelayanan Kontra-
S Soewandi: Akut Abdomen pada alat Pencernaan Orang Dewasa 28 – 30 sepsi Mantap 165–170
Buchari Kasim: Trauma Wajah, Luka Bakar, dan Luka Avulsi 31 – 34 Raja Malem Kaban: Pemantauan Aspek Non Medik Pelayanan
Harry Soedjatmiko: Trauma Toraks 35 – 38 Kontrasepsi Mantap 171–173
Update I (Pediatri) Maciste Lumbanraja: Pencegahan lnfeksi pada Metode
Syahril Pasaribu: Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue 39 – 43 Kontrtsepsi Efektif Terpilih (MKET) 174–180
Atan Baas Sinuhaji, AH Sutanto: Mekanisme Diare Infeksius Akut 44 – 46
H Ridwan Muchtar Daulay: Kendala Penanganan Infeksi Saluran
Pemafasan Akut (ISPA) 47 – 52
Penyakit Hati dan Tukak Lambung CDK 81. EDISI KHUSUS ULANG TAHUN KE-25 UPF/LAB. ILMU
EN Kosasih, I Sukiman: Vaksinasi terhadap Hepatitis B 53 – 56 KESEHATAN ANAK RS. SUMBER WARAS - FK. UNIVER-
Infeksi, Perdarahan dan Hipertensi pada Obstetri Ginekologi SITAS TARUMANAGARA DAN LUSTRUM VI UNIVERSI-
Rusli P Barus: Infeksi dalam Kehamilan dan Persalinan 57 – 59 TAS TARUMANAGARA Hal
John Slamet Khoman: Perdarahan Hamil Tua dan Perdarahan
Postpartum 60 – 63 Pengantar 7–8
Daulat Sibuea: Penanganan Kasus Perdarahan Hamil Muda 64 – 66 Sambutan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen
Hasdiana Hann: Hipeitensi dalam Kehamilan/Preeklamsi dan Kesehatan Republik Indonesia 9
Eklamsi (Gestosis) 67 – 71 Sambutan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universita
Penyakit Kardiovaskular dan Penanganannya Tarumanagara 10
HA Adin St Bagindo: Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Sambutan Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras -
Jantung Koroner di Indonesia 72 – 75 FK Universitas Tarumanagara
T Renardi Haroen, Gontar A Siregar: Pola Payah Jantung di Demam Berdarah Dengue
Rumah Sakit Dr Pimgadi Medan 76 – 78 Duane J. Gubler : Dengue Hemorrhagic Fever - A Global Public 11–13
Gawat Darurat Penyakit Syaraf Health problem 14–18
LBM Sitorus: Status Epileptikus 79 – 81 Thomas Suroso: Kebijakan Nasional pada Demam Berdarah Dengue
Syawalludin Nasution, Adril A Hakim: Penatalaksanaan Memar Tatang Kustiman Samsi : Pengamatan klinis Demam Berdarah 19–25
Otak (Contusio Cerebri) 82 – 83 Dengue di Rumah Sakit Sumber Waras (1968 - 1991)
A Sjukri Batubara: Koma 84 – 87 Sumengen Sutomo: Pemberantasan penyakit Demam Berdarah me- 26–33
Darulkutni Nasution: Stroke Hemoragik : Perdarahan Intraserebral 88 – 89 lalui pengawasan kualitas lingkungan
Gawat Darurat Penyakit Paru Duane J. Gubler : Recent developments in Research on Dengue 34
H Luhur Soeroso, H Sugito, RS Parhusip, Sumarl, Usman: Hemorrhagic Fever 35–39
Hemoptisis Masif 90 – 94 Sutaryo : Patogenesis dan patofisiologi Demam Berdarah Dengue
Sugito, LS Santoso, RS Parhusip, Zainuddin Amir, Rusyda N: Sugianto Djoharman : Demam Berdarah Dengue berat dengan 40–43
Efusi Pleurasif 95 – 97 konfirmasi virologik
Sugito, HMM Tarigan, LS Soeroso, RS Parhusip: Benda Asing Tatang Kustiman Samsi : Problematik diagnosis Demam Berdarah 44–49
di Saluran Nafas 98–100 Dengue
Update II (Diagnostik) Sugianto Djoharman : Manifestasi klinis langka Demam Berdarah 50–52
Endang Haryanti Gani: Penatalaksanaan Malaria Herat Masa Kini 101–104 Dengue
Sahat Sianipar: Perkembangan TeknologiRadiologi dalam Diagno- Melani Witarsa Setiawan : Peranan ultrasonografi dalam 53–56
sis Berbagai Penyakit 105–108 penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue
Rusli Pelly: Asma Noktumal 109–111 Sri Rezeki Harun : Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di 57–61
Pangaribuan Siregar: Metabolit Oksigen Radikal Bebas dan Ke- Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Azhall MS.: Demam Berdarah Dengue: Pengalrnan di Bagian 62–65 Mei-Hwei Chang : USG examination of the hepatohiliaty 104–106
IlmuKesehatan Anak RS Hasan Sadikin, Bandung Indra Wiradharma : Indikasi USG ginekologi pada anak 106–109
Aaggoro D.B. Sachro : Danam Berdarah Dengue: Pengalaman di 66–69 Haryanto Sidharta : Ultrasonografi intervensi tumor perut 110–111
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS DR. Katyadi, Semarang Endoskopi
Ratna Tan : Dengue virus surveillance at Sumbar Waras Hospital 70 Mei-Hwei Chang : Helicobacter pylori & duodenal ulcer in children 112
September 1987 through August 1992 Laurentius A. Lesman : Endoscopic Retrograde Chlolangio Pen- 113–114
Peter Donald O'Hanley : Potential pathogenic roles of acute in- 71 creatography (ERCP) diagnostik dan terapeutik pada Obstruksi Biller
flammatory cytokines and HLA status in DHF Hadjat S. Digdowirogo: Endoskopi pada pendarahan gastrointestinal 115–120
Gerald B. Jennings : Study of human peripheral blood leukocytes 72 Simposium Satelit: Hematuri pada Anak
from Dengue immune persons; relationship between FC receptor Setiadharma Selopranoto: Hematuri pada anak:Pendekatan diagnosa 121–125
expression and virus growth Linda Supardi : Hematuri pada anak: Aspek radiologi 126–128
Penyakit Tropis Melani Witarsa Setiawan : Hematuri pada anak: Aspek sonografi 129–131
Mei-Hwei Chang : Hepatitis in children in Asia 73–74 Zainal Abidin : Hematuri pada anak: Aspek urologi 132–134
Adnan S. Wiharta : Hepatitis pada bayi 75–78
Simposium Satelit: Psikologi Anak
Mei-Hwei Chang : The protective efficacy of Recombinant Hepati- 79
Singgih D. Gunarsa : Pendekatan psikologis terhadap anak yang 135–136
tis B vaccine in infants of HBeAg positive HbsAg carrier mothers in
dirawat dan sikap orang tua
Taiwan
Simposium Satelit: Batuk Kronik pada Anak
Komalarini : Diare di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber 80–82
Herman Sidharta : Batuk kronik pada anak 137–140
Waras
Oeml Alifa Tadjoeddin : Batuk kronik pada anak ditinjau dari 141–143
Anni C. Sie: Rotavirus in pediatric patients at Sumber Waras Hospital 83
bidang THT
Mei-Hwei Chang : Hepatocellular Carcinoma in children 84–85
E.M. Dadi Suyoko : Konsep baru penatalaksanaan Asma Bronkial 144–148
S. Setajo Noegroho : Histoplasmosis di Rumah Sakit Sumber Waras 86–89
pada anak
Emiliana Tjitra : Pengobatan Malaria yang Resister terhadap Klo- 90–95
rokuin Simposium Satelit: Nyeri Perut Berulang dan Menahun pada
Ultrasonografi anak
Melani W. Setiawan, I. Susanto, Purnadi K, JJ Setiawan, H. 96–98 Hansa Wulur : Nyeri perut berulang dan menahun pada anak 149–154
Wulur : Pengalaman Ultrasonografi Abdomen di RS Sumber Waras Singgih D. Gunarsa : Faktor psikogenik pada gangguan organik 155–156
Willem Baerts : Echo Encephalography of newborn infants 99–103 nyeri perot berulang dan menahun pada anak

ANDA MEMBUTUHKAN
CERMIN DUNIA KEDOKTERAN EDISI LAMA ?
Di dalam persediaan kami masih terdapat Cermin Dunia Kedokteran Edisi lama, sebagai berikut :

CDK No. 17 - Penyakit Saraf (Sambungan) 70 eks


CDK No. 33 - Masalah Anestesi 40 eks
CDK No. 43 - Bedah Mikro 40 eks
CDK No. 49 - Seminar Penyakit Tak Menular I 50 eks
CDK No. 52 - Tumor Kepala dan Leher 25 eks
CDK No. 53 - Insomnia 20 eks
CDK No. 55 - Malaria II 25 eks
CDK No. 65 - Imunisasi I 120 eks
CDK No. 66 - Imunisasi II 140 eks
CDK No. 67 - Kardiovaskular 180 eks
CDK No. 69 - Puhnonologi 90 eks
CDK No. 70 - Kesehatan dan lingkungan 120 eks
CDK No. 71 - Khusus - Simposium Upaya Peningkatan Pelayanan Rumah Sakit 400 eks
CDK No. 73 - Gizi 50 eks
CDK No. 74 - Kulit (I) 70 eks
CDK No. 76 - Kulit (II) 320 eks
CDK No. 77 - Tumor Otak 520 eks
CDK No. 78 - Penyakit Sandi 580 eks
CDK No. 79 - Masalah Saluran Cams 380 eks

Sekiranya sejawat masih memerlukan edisi tersebut dapat memberitahukan kepada kami melalui
surat, kami akan mengirimkannya secara cuma-cuma selama persediaan masih ada.

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 61


HUMOR
ILMU KEDOKTERAN

TIADA KABAR PAKAI KALENDER


Seorang dokter menyapa seorang Dalam program KB banyak metode kontrasepsi yang diperkenalkan kepada ma-
ibu yang sedang berbelanja di pasar syarakat. Dan yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Untuk yang sederhana
swalayan. Soalnya, seminggu yang lalu dapat dilakukan oleh akseptor sendiri, yang tentu berkonsultasi dulu dengan dokter atau
si ibu mengobatkan anak balitanya bidan. Sedangkan yang rumit, lebih banyak peranan tenaga kesehatan.
pada dokter tersebut. Salah satu cara sederhana adalah penggunaan kalender, yang temyata di lapangan
"Apa kabar mengenai putranya, Bu? juga tak jarang mengalami distorsi informasi. Seperti yang diungkapkan pada dialog
Apa dia sudah sembuh sekarang?" di bawah ini.
"Tidak ada kabarnya lagi tentang Ali : "Aidi (seorang petugas kesehatan di puskesmas), istri saya kok masih hamil,
anak saya, Dok! Yang ada sekarang pada hal sudah ikut KB."
cuma kuburnya!" Aidi : "Au………., istri kamu pakai KB apa ?"
Ali : "Pakai kalender."
Dr. Ketut Ngurah
Aidi : "Tahu nggak, cara pakainya ?"
Lab. Parasitologi FK Unud, Denpasar
Ali : "Tahu !"
Aidi : "Caranya bagaimana ?"
PENCEGAH ABORTUS
Ali : "Setiap kami kumpul, kalendemya saya alaskan di tempat tidur," ungkapnya
Seorang ibu hamil muda dengan
dengan polos.
pendarahan datang berobat.
Refinaldi
Dokter : (Pada waktu akan dila-
Sambaliung, Berau
kukan pemeriksaan fisik)
SIAPA YANG LEBIH MODERN????
Lho, apa ini bu? (sebuah
Tiga usahawan, masing-masing dari Inggris, Amerika Serikat dan Rusia berkumpul
paku dengan panjang 12
sewaktu rehat kopi (coffee break) sebuah konperensi internasional tentang peternakan.
cm terletak vertikal di
Sambil menikmati kopinya sarjana Inggris bercerita: "Di Inggris pembunuhan sapi
umbilicus).
di tempat pemotongan hewan berlangsung sangat modern, yaitu tidak dipotong lagi
Penderita : (Dengan malu mengam-
dengan pisau, akan tetapi binatang tadi dibunuh dengan kejutan listrik."
bil paku tersebut) Katanya
Sarjana dari Amerika Serikat langsung berreaksi: "Wah, cara itu sudah ketinggalan
untuk mencegah kegu-
jaman. Di negeri saya tidak dipakai kejutan listrik lagi, tapi sapi-sapi dibunuh dengan
guran.
tembakan laser!"
Dokter : Ibu ini bagaimana? Bukan
Kedua sarjana dari Inggris dan Amerika Serikat lantas berpaling kepada rekannya
kegugurannya nanti yang
dari Rusia dan dengan nada agak mengejek menanyakan bagaimana caranya membunuh
menjadi masalah, tetapi
sapi di Rusia.
karena perut ibu tertusuk
Sarjana dari Rusia merasakan bahwa kedua rekannya dariBarat tadi hendak mengejek
paku ini.
keadaan di negerinya. Sambil meningkatkan nada suaranya ia berkata: "Di Rusia cara-
Penderita : Susah dokter, kalau ke-
cara yang kalian pakai sudah lama ditinggalkan. Di Rusia sapi-sapi dibunuh dengan
mauan orangtua tidak di-
meledakkannya dengan bom!"
turuti.
"Dengan bom?????," Kedua sarjana dan negara makmur tadi balas menanya.
Dokter : Yang dituruti toh yang
"Ya, dengan bom. Lihat saja; di toko-toko penjual daging di Rusia yang tinggal
masuk akal lho bu!
hanya tulang-tulang sapi saja!"
Emiliana Tjitra OLH
Jakarta Jakarta

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


ABSTRAK
ABBOTT MENARIK OMMFLOX dan tidak bisa berjalan sendiri. Secara VITAMIN B6 UNTUK EMESIS
(TEMAFLOXACIN) DARI PASAR acak mereka menerima lima kali plasma- GRAVIDARUM
Abbott Laboratories secara sukarela exchange (masing-masing 200–250 ml./ Vitamin B6 telah diteliti efektivitas-
menarik dari pasaran produk baru anti kgbb.) atau lima dosis imunoglobulin nya terhadap mual dan muntah selama
bakteri berspektrum luas Omniflox® (0,4 g./kgbb./hari). kehamilan; 31 wanita hamil mendapat
(Temafloxacin) menyusul dilaporkan- Ternyata perbaikan kekuatan ditemu- 3 dd 25 mg. vitamin B6 selama 3 hari
nya efek samping yang serius yang di- kan pada 34% pasien yang menerima dan 28 wanita hamil lainnya mendapat
timbulkan oleh obat ini. plasma-exchange dan pada 53% pasien plasebo dengan cara yang sama. Rasa
Lima puluh reaksi berat, termasuk 3 yang menerima imunoglobulin iv (p = mual dinilai menurut skala 1 – 10 dan
meninggal dunia dilaporkan berkaitan 0,024, 95% CI: 3–34%). Perbaikan ter- ada tidaknya muntah dicatat.
erat dengan penggunaan temafloxacin. sebut dirasakan setelah 41 hari pada Sebelum terapi, tidak ada perbedaan
Efek samping yang muncul berupa hi- kelompok plasma-exchange dan setelah bermakna dalam hal rasa mual; se-
poglikemia berat pada pasien manula 27 hari pada kelompok imunoglobulin dangkan setelah terapi, terdapat pengu-
dengan penurunan fungsi ginjal, uremia (p = 0,05); dan kelompok imunoglobu- rangan derajat mual yang bermakna pada
hemolitik, gangguan ginjal yang me- lin menderita lebih sedikit komplikasi wanita yang mendapat vitamin B6 (rata-
merlukan dialisis dan reaksi alergi yang dan lebih sedikit memerlukan perna- rata 4,3 ± 2,1) dibandingkan dengan
menyebabkan gangguan pemapasan. pasan buatan. yang menerima plasebo (rata-rata 1,8 ±
Penarikan temafloxacin ini merupa- Pada sindrom Guillain-Barre akut, 2,2) (p < 0,01).
kan langkah lanjutan setelah penye- penggunaan imunoglobulin intravena Di antara 31 wanita di kelompok
lidikan yang dilakukan oleh FDA yang sedikitnya sama efektifnya dengan terapi, muntah didcrita oleh 15 wanita
menyimpulkan bahwa resiko efek sam- plasma-exchange. sebelum terapi, dan turun menjadi hanya
ping yang serius terbukti disebabkan 8 wanita setelah terapi. Sedangkan di
oleh temafloxacin dan lebih berat di- N. Engl. J. Med. 1992; 326: 1123–9 kelompok plasebo, muntah diderita oleh
Hk
bandingkan antibakteri kuinolon lain- 10 wanita sebelum terapi dan menjadi
nya. Temafloxacin baru saja dipasarkan 15 wanita setelah terapi.
di AS selama 3 bulan dan juga sudah Ternyata vitamin B6 dapat mengu-
beredar di UK, Italia, Jerman, Irlandia, PEMILIHAN OBAT rangi beratnya rasa mual dan juga ke-
Swedia dan Argentina. Departemen Kesehatan Belgia telah jadian muntah secara bermakna di ka-
Efek samping yang berat ini muncul mengeluarkan informasi yang bertujuan langan wanita hamil.
setelah.ditulisnya sekitar 300.000 resep agar para dokter memperoleh pedoman
pemilihan obat yang sejenis. Obslet. Gyneco1.1991; 78: 33–6
temafloxacin, tetapi efek ini tidak mun- Hk
cul pada periode uji coba pemasaran Pengobatan hipertensi dengan pe-
yang dilakukan Abbott. nyekat beta yang dapat diberikan sekali
sehari merupakan pengobatan yang di-
Inpharma, 13 Juni 1992, p 27 anjurkan; dan saat ini telah beredar
CEDERA KEPALA DI KALANG-
VSO banyak preparat yang memenuhi syarat
AN OLAHRAGAWAN
dengan harga yang berbeda-beda.
Colorado Medical Society telah me-
Sedangkan untuk pengobatan ulkus,
ngeluarkan pedoman untuk menangani
dari segi biaya antagonis H2 merupakan
kasus-kasus cedera kepala di saat olah-
TERAPI SINDROM GUILLAIN- pengobatan yang dianjurkan untuk ulkus
raga:
BARRE gaster, sedangkan omeprazol untuk ulkus
Grade 1 : confusion (bingung) tanpa
Sindrom Guillain-Barre merupakan duodeni bila pengobatan dilakukan se-
amnesia, tidak ada hilang kesadaran.
polineuropati yang diduga berkaitan lama 4 minggu; sedangkan bila lebih
• Berhenti bertanding.
dengan reaksi imunologik; suatu per- dari 4 minggu, biayanya akan menjadi
cobaan telah dilakukan untuk mem- lebih tinggi dibandingkan dengan peng- • Periksa segera dan setiap 5 menit
bandingkanefektivitasplasma-exchange gunaan antagonis H2. kemudian untuk mengetahui gejala
dengan pemberian imunoglobulin pada amnesia dan gejala pascatrauma lain.
150 pasien yang menderita sindrom Scrip 1992; 1693: 5 • Boleh kembali bertanding bila tidak
Guillain-Barre kurang dari dua minggu Brw ada gejala timbul sclama sedikitnya 20

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 63


ABSTRAK
menit. MANFAAT TAMBAHAN ACE-IN- bahwa walaupun kadar puncak rata-rata
Grade 2 : confusion dengan amnesia, HIBITOR (C max) meningkat (tidak bermakna)
tidak ada hilang kesadaran. Dalam pertemuan International So- dan waktu mencapai kadar puncak
• Berhenti bertanding. ciety of Hypertension yang diadakan di rata-rata (t max) diperlambat secara
• Periksa gejala/tanda kelainan intra- Madrid, Spanyol beberapa waktu yang bermakna, tetapi jumlah obat yang di-
kranial; pemeriksaan diulang keesokan lalu, Dr. Bjorn Dahlof dari Swedia absorpsi dari terfenadine 120 mg relatif
harinya. melaporkan meta-analisis dari 109 pe- tidak dipengaruhi dengan adanya ma-
• Dapat kembali bertanding setelah 1 nelitian mengenai antihipertensi yang kanan kaya lemak dibandingkan keada-
minggu tanpa gejala. melibatkan 2357 pasien. an puasa. Perbedaan farmakokinetik di
Grade 3 : hilang kesadaran Dari analisis tersebut, temyata ACE- atas secara klinik tidak bermakna. Di
• Bawa segera ke rumahsakit, lakukan inhibitor mempunyai efek mengurangi Indonesia terfenadine tersedia dengan
pemeriksaan neurologik lengkap. hipertrofi ventrikel kiri yang terbaik di- merek dagang Nadane®.
• Rawat bila terdapat kelainan neu- bandingkan dengan golongan antihi-
pertensi lain, yaitu sebesar 2,3 g/mmHg, Inpharma, 13 Juni 1992, p 24
rologik; bila tidak ada, dipulangkan vso
dengan pengawasan keluarga. dibandingkan dengan penurunan sebe-
• Dapat kembali bertanding setelah 2 sar 0,9 g/mmHg pada penggunaan beta-
blockers, 1,4 g/mmHg pada pengguna- KONSUMSI OBAT MANULA DI
minggu tanpa gejala. ITALIA
Hilang kesadaran yang berlanjut, an antagonis kalsium dan sebesar 1,1 g/
mmHg pada penggunaan diuretik. Empat puluh persen penduduk Italia
perubahan status mental, perburukan yang berumur di atas 70 tahun mengkon-
gejala pascatrauma atau adanya kelain- Pengurangan hipertrofi ventrikel kiri
merupakan manfaat tambahan karena sumsi 4–6 macam obat sehari dan 12%
an pada pemeriksaan neurologik me- mengkonsumsi lebih dari 9 obat. Pola
merlukan penilaian/konsultasi dengan mengurangi risiko kardiovaskular.
penulisan resep polifarmasi serta per-
ahli saraf atau perawatan. Scrip 1992; 1729: 27 ubahan-perubahan farmakokinetik dart
Brw
farmakodinamik menyebabkan tinggi-
JAMA 1991; 266(20): 2869
Hk
nya frekuensi efek samping (6–14%)
yang dilaporkan pada kelompok manula
ini. Obat-obat yang paling banyak dire-
PEMILIHAN ANTIHIPERTENSI sepkan adalah antiangina dan kardio-
BIOAVAILABILITAS TERFENA-
Para peneliti di UKMedicalResearch tonik (15,8%), diuretik (8,6%) dan obat-
DIN TIDAK DIPENGARUHI OLEH
Council telah mengeluarkan rekomen- obat bronkopulmoner (4,5%).
MAKANAN
dasi penggunaan antihipertensi di ka- Suatu studi cross-over pada 24 Scrip 1992; 1721: 4
langan usia Ian jut, sebagai berikut : vso
sukarelawan pria sehat menunjukkan

Penyekat Penyerta Diuretik Penyekat beta Penyekat kalsium Penyekat ACE


Tidak ada ++ + + +
Penyakit jantung ++ – – ++
Angina + ++ ++ +
Asthma/COPD ++ – + +
Gangguan vaskular perifer + – ++ –
Gout – + + +
Diabetes melitus – – + ++

Keterangan : ++ : pilihan pertama


+ : alternatif
– : umumnya kontraindikasi
Scrip 1992; 1694:25
Brw

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993


Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Yang tidak termasuk dalam kegiatan Panitia Pengendalian 6. Ambang batas pencemaran ruang bedah :
Infeksi Nosokomial : a) 0 CPU/l5'
a) Surveilans b) 5 CPU/10'
b) Pengobatan c) 10 CPU/10'
c) Pelaporan d) 5 CPU/15'
d) Pemantauan e) 10 CPU/15'
e) Semua termasuk 7. Kuman utama pada infeksi nosokomial :
2. Faktor-faktor betikut ini dapat mempermudah terjadinya a) E. coli
infeksi nosokomial, kecuali : b) Stafilokokus
a) Penyakit dasar c) Streptokokus
b) Status gizi pasien d) Proteus
c) Pendidikan pasien e) Pseudomonas
d) Tindakan medik 8. Bahan yang biasanya tidak diperlukan pada surveilans
e) Pengobatan pasien mikrobiologik infeksi nosokomial :
3. Diagnosis infeksi nosokomial ditegakkan bila terdapat a) Pus luka operasi
tanda di bawah ini, kecuali : b) Usapan ujung kateter intravena
a) Belum ada tanda infeksi pada saat awal perawatan c) Usapan ujung kateter urin
b) Tanda infeksi muncul setelah 3 x 24 jam setelah d) Urin
dirawat e) Feses
c) Infeksi tersebut bukan bagian dari penyakit awal 9. Kuman patogen yang penting di kalangan petugas
d) Dapat berupa infeksi saluran kemih kesehatan dalam kaitannya dengan kemungkinan infeksi
e) Tanpa kecuali nosokomial :
4. Sumber infeksi nosokomial adalah berikut ini, kecuali : a) Stafilokokus aureus
a) Pasien sendiri b) Streptokokus hemolitikus
b) Pasien lain c) M. tuberkulosis
c) Makanan/minuman pasien d) Proteus
d) Dokter/paramedik e) Pseudomonas
e) Tanpa kecuali 10. Kebiasaan cuci tangan yang kurang baik ialah :
5. Cara pencegahan infeksi nosokomial yang terpenting : a) Mencuci tangan sebelum tindakan
a) Penggunaan alat steril b) Mencuci tangan setelah tindakan
b) Perilaku petugas medik/paramedik c) Menggunakan air waskom
c) Penggunaan antibiotik pencegahan d) Menggunakan antiseptik
d) Sterilitas ruangan e) Menggunakan sabun biasa
e) Isolasi pasien

Cermin Dunia Kedokteran No. 82, 1993 65

You might also like