You are on page 1of 11

HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam Modern Dosen Pengampu: Muthohharun Jinan M.Ag

Oleh: Khoirul Imron Muchlis : G 000 080 060 : G 000 080 067

PONDOK HAJJAH NURIYYAH SHABRAN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA 2011

PENDAHULUAN Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Sejak Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah dari Mekkah ke Yatsrib -yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah- hingga saat sekarang ini dalam wujud sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah kenegaraan. Dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan hubungan Islam dan Negara yaitu: 1. Bagaimana hubungan Islam dan Negara pada zaman Nabi? 2. Bagaimana hubungan Islam dan Negara dalam bingakai ke-Indonesia-an? 3. Bagaimana pandangan Organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tentang hubungan Islam dan Negara? Sebelu memulai pembahasan, kami ingin menjelaskan sedikit tentang alasan kami memilih organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yaitu: 1. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama merupakan dua organisasi masyarakat yang memiliki jumlah pengikut terbanyak di Indonesia (bahkan mungkin dunia). 2. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama merupakan dua organisasi masyarakat yang sudah dirintis sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. 3. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama merupakan dua organisasi masyarakat yang ikut merumuskan bentuk pemerintahan dan dasar bagi negara Indonesia. PEMBAHASAN Sesungguhnya, secara umum, keterkaitan antara agama dan negara, di masa lalu dan pada zaman sekarang, bukanlah hal yang baru, apalagi hanya khas Islam. Pembicaraan hubungan antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militer-politik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen, malah pusatnya) dengan kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa dan dunia Kristen saat itu), kemudian Perang Salib yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan oleh Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan oleh

hubungan antara Dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi "kalah," maka pembicaraan tentang Islam berkenaan dengan pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat sebagai musuh. Pengalaman Islam pada zaman modern, yang begitu ironik tentang hubungan antara agama dan negara dilambangkan oleh sikap yang saling menuduh dan menilai pihak lainnya sebagai "kafir" atau "musyrik" seperti yang terlihat pada kedua pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran. Saudi Arabia, sebagai pelanjut faham Sunni madzhab Hanbali aliran Wahabi, banyak menggunakan retorika yang keras menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka. Iran sendiri, melihat Saudi Arabia sebagai musyrik karena tunduk kepada kekuatankekuatan Barat yang non-Islam. Semua itu memberi gambaran betapa problematisnya perkara sumber legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau menyebut dirinya "negara Islam." Sikap saling membatalkan legitimasi masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran mengandung arti bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya lagi benar, atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah sesuatu yang ketiga. Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan. Menurut M Ira Lapidus1 , sejarah islam adalah sejarah dialog antara ranah simbolsimbol agama dengan dunia realitas sehari-hari; sejarah tentang interaksi antara nilai-nilai islam dengan pengalaman-pengalaman historis masyarakat muslim yang berbeda, tetapi saling berkaitan. Ia menambahkan bahwa ada pembedaan yang jelas antara institusi Negara dan agama dalam masyarakat Islam. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan Negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi dan hubungan antara institusi-institusi tersebut. EKSPERIMEN MADINAH Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh
1 Ira M. Lapidus, State and Religion in Islamic Socieites, Past and Present, no. 151 (may, 1996), p. 4. (dikutip dari makalah gusti ramli dalam Relasi antara islam, negara dan politik dalam prespektif historis.) http://grms.multiply.com

Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah. Dari nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya itu menun-jukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu men-ciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara. Negara Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka, adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir Islam kontemporer terdepan, menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai "Eksperimen Madinah." Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (arti-nya, wewenang atau kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada ke-inginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Karena wujud historis terpenting dari sistem sosialpolitik eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana modern juga menjadi amat terkenal sebagai "Konstitusi Madinah." Piagam Madinah itu selengkapnya telah didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibn Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H). Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari Universitas Islam Internasional Paris "yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia." Ide pokok eksperimen Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.2 Hubungan Islam dan Negara di Indonesia. Perdebatan antara hubungan Islam dan politik tidak akan pernah berhenti, baik itu di dunia Islam maupun di Indonesia. Di Indonesia, relasi antara Islam dan politik sudah ada 2 Agama dan Negara Dalam Islam telaah atas fiqh siyasy sunni oleh Nurcholish Madjid
(http://members.tripod.com/abu_fatih/Caknurnegara.html)

semenjak Islam masuk, akan tetapi perdebatan yang sistematis baru terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Dimana perdebatan itu begitu vulgar ketika diadakannya rapat BPPUPKI dan memuncak dengan keluarnya piagam Jakarta. Namun, pada akhirnya hubungan antara Islam dan politik dalam bentuk formal tidak terealisasi dalam konstitusi Indonesia, sehingga jalan alternatifnya adalah terbentuklah Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia. Pancasila yang bernafaskan sekuler ini sudah menjadi postulat politik bagi system politik di Indonesia, sehingga terasa tidak ada ruang lagi bagi Islam politik di Indonesia. Jika ada itu pun hanya sebatas pada tatanan subtansi bukan pada tatanan formalitas. Jadi eksistensi Islam politik Indonesia masih tahap dialektika dalam kekangan ideologi Pancasila. Namun, cita-cita untuk mendirikan Negara Islam akan tetap selalu ada di masyarakat Indonesia. Tetapi pilihan untuk sekulerisme bukan merupakan pilihan yang buruk untuk Indonesia dalam menanggapi relasi antara Islam dan politik. Disisi lain, peranan partai politik terutama partai-partai Islam akan tetap menghiasi perdebatan politik Islam di Indonesia. Sehingga partai-partai Islam bisa jadi indicator bahwa politik Islam tetap eksis di Indonesia. Di Indonesia ada sebagian kelompok yang sangat menginginkan agar Indonesia menjadi Negara yang berasaskan Islam atau Negara Islam seperti kelompok Islam militan berpandangan bahwa Islam dan politik tidak dapat dipisahkan, karena mereka percaya bahwa Islam yang berada diluar kekuasaan adalah Islam yang tidak lengkap. Yang harus di pertanyakan pada kondisi sekarang ialah apakah formalitas Negara Islam itu bisa di terpakan pada zaman sekarang?. Untuk itu, sebagian muslimin menganggap syariat Islam bahwa syariat Islam itu relevan untuk semua zaman, kondisi dan tempat. Kerelevansian syariat Islam ini banyak ditunjukan dalil-dalil Qathi, baik berupa wahyu, bukti sejarah maupun bukti realistis. Sedangkan sebagian yang lainya mengangap bahwa syariat Islam tidak sesuai dengan konteks politik kontemporer. Diantaranya pemikir kontemporer yang lebih moderat adalah Abduh yang mengemukakan bahwa organisasi politik bukanlah persoalan ditetapkan oleh ajaran Islam , melainkan oleh situasi dan waktu. Dengan demikian, system politik seperti apa yang seharusnya diterapkan dalam situasi di Indonesia yang mayoritas muslim. Apakah harus memaksakan berdirinya Negara Islam atau tetap mempertahankan system politik yang sudah ada yang cendrung bersifat sekuler. Ada yang berpendapat syariat Islam atau Negara Islam harus jadi azas ideolgis Negara di Indonesia. Tetapi apakah Negara Islam tersebut akan relevan untuk cultural masyarakat

Indonesia yang bersifat majemuk. Padahal dalam sejarah politik di Indonesia, wacana Negara Islam telah ada di saat pembentukan ideologi Negara, walaupun pada akhirnya kekalahan berpihak kepada politik Islam. Yang muncul kemudian ialah Pancasila sebagai ideologi Negara, dimana Pancasila (dipandang oleh sebagian kelompok) lebih cendrung bersifat sekuler. Walaupun ada yang beranggapan bahwa dijadikanya Pancasila sebagai ideologi Negara tidak dianggap sebagai perwujudan dari keinginan untuk memisahkan agama (Islam) dari Negara. Dengan dimasukannya sila ketuhanan yang maha esa dalam dasar Negara itu, maka Indonesia sudah dipandang sebagai Negara Islam. Namun sekarang, wacana dan format politik Islam yang bersifat formalitas tetap ada di Indonesia, tetapi hanya terjadi pada daerah-daerah tertentu yang bagian dari kesatuan republik Indonesia. Tetapi tidak akan berlanjut pada pembentukan Negara Islam secara keseluruhan. Walau sebagian daerah menerapkan syariat Islam sebagai landasan politiknya, bukan berarti diikuti pula oleh Negara. Hubungan Islam dan Negara menurut Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama 1. Muhammadiyah Untuk melihat pandangan Muhammadiyah tentang Islam dan Negara dapat diperhatikan beberapa hal, yaitu: a. Muhammadiyah sendiri pertama-tama bukanlah partai politik dan tidak berdiri di arus perjuangan untuk membentuk negara. Muhammadiyah mengambil ijtihad ke perjuangan bagi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya melalui gerakan dakwah dan tajdid. b. Pandangan Islam tentang politik sebagaimana disebutkan sangatlah beragam dan merupakan wilayah al-umur al-duniawiyyat. Sehingga, ketika tidak mengikuti pandangan politik kekhalifahan Islam seperti diusung kelompok tertentu, bagi Muhammadiyah tidaklah sebagai tidak Islami. Muhammadiyah memiliki ijtihad dan pandangan politik, yang sama dengan ijtihad politik lainnya. c. Ada konsekuensi fundamental bagi umat Islam yang memperjuangkan kekhalifahan Islam di Indonesia, yakni akan berujung pada agenda perubahan bentuk dan dasar negara di republik ini. Keempat, Muhammadiyah sejak kemerdekaan telah ikut merumuskan dan memandang serta mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 sebagai sah adanya, sebagaimana rumusan

Kepribadian serta Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah. Jadi, betapa beragam pandangan dan realitias dunia politik Islam. Muhammadiyah tidak berada di arus pandangan dan perjuangan membentuk negara. Jika ada yang berbeda, sama sekali tidak mewakili Muhammadiyah. Bahkan sebaliknya bagi anggota apalagi pimpinan, harus sejalan dengan pandangan dan sikap resmi organisasi. Selama ini dan hingga saat ini Muhammadiyah tidak pernah mengubah orientasi pandangan dan perjuangan di Negara Republik Indonesia. (HNs, Suara Muhammadiyah, No. 18, TH. ke-92, 16-30 September 2007). Muhammadiyah ; Antara Din dan Daulah3 Dalam kaitannya dengan negara, pertanyaan mendesak yang harus dijawab

Muhammadiyah sekarang ini barangkali bukanlah bagaimana Muhammadiyah harus secara sempurna keluar dari politik praktis, tapi bagaimana Muhammadiyah menempatkan negara dalam paradigma keagamaannya? Bagaimana Muhammadiyah melihat kemungkinan adanya pertemuan antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia? Selama persoalan teologi ini belum terjawab secara jernih, saya kira posisi Muhammadiyah sebagai civil Islam hanya menjadi pilihan yang terpaksa seperti yang seringkali terjadi. Muhammadiyah akan dengan mudah akan kembali terseret dalam politik praktis ketika kesempatan ada. Seringnya Muhammadiyah kembali masuk ke dunia politik meski menurut Norma Permata hal itu tak pernah berhasil memobilisasi massa Muhammadiyah? adalah karena selalu ada anggota organisasi ini yang menganggap din dan daulah sebagai satu kesatuan dalam Islam; state adalah alat untuk menegakkan din dan sebaliknya dinmerupakan telos dari state. Dimensi politik dari Islam seperti itulah yang membuat beberapa aktivis Muhammadiyah berulang-ulang tertarik pada orientasi politik praktis. Dan karena ideologi itu pula, saya tidak bisa melem-parkan tuduhan, bahwa semua aktivis Muhammadiyah yang berjuang di politik praktis hanya semata-mata untuk kepentingan politik dan ekonomi yang bersifat pribadi. Sangat mungkin bahwa landasan mereka adalah pada kesatuan din-daulah di atas. Kesatuan antara din dan daulah itu dalam kehidupan sebagian umat Islam sudah merupakan sebuah discourse, sebagai kebenaran yang terinternalisasi dalam diri. Sulit sekali memisahkan Islam dari politik. Sejarah kehidupan Muhammad yang lekat dengan politik seperti sudah mendarah daging pada umat Islam. Hal ini juga berlaku di Muhammadiyah. 3 Ahmad Norma Permata di Suara Muhammadiyah Edisi 01/2009 dengan judul Muhammadiyah Sebagai
Pilar Civil Islam di Indonesia. (http://www.smpmuhammadiyah9.com)

Kadangkala, kedekatan Islam dengan politik atau negara ini mirip dengan kedekatan Marxisme dengan Negara. Meskipun sejarah hubungan antara Muhammadiyah dan politik praktis, seperti dijelaskan Norma Permata, tidak pernah komplet, namun pandangan bahwa negara merupakan satu kesatuan dengan agama banyak dipegangi oleh aktivis organisasi ini. Banyak warga Muhammadiyah yang pemikirannya tentang ideologi simetris dengan Lenin. Kalaulah mereka menjauh dari politik praktis, alasannya lebih karena pilihannya pragmatis keMuhammadiyahan, bukan ideologis. Dan sebaliknya, pandangan yang sealur dengan Trotsky memang selalu ada di Muhammadiyah. Dari beberapa keterangan di atas, dapat diketahui bahwa Muhammadiyah sendiri lebih focus pada bagaimana membina masyarakat muslim daripada menentukan asas ataupun ideologi bagi Negara Indonesia. Hal itu karena sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Muhammadiyah adalah organisasi dakwah amar makruf nahi munkar dan bukan sebuah partai politik yang bertujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Jadi dapat kami simpulkan bahwa Muhammadiyah lebih mementingkan membina masyarakat Islam karena ketika ajaran Islam sudah bisa dilaksanakan atau diamalkan dengan baik oleh masyarakat, maka masyarakat itu dapat dikatakan sebagai masyarakat Islam dan ketika masyarakat sudah Islami, maka wacana Negara Islam itu tidak usah dipersoalkan lagi. 2. Nahdlatul Ulama4 Dari hasil Keputusan Muktamar NU ke-27 yang berlangsung tanggal 8-12 Desember di Situbondo pada tahun 1984 mengukuhkan keputusan Musyawarah Alim Ulama Nasional NU 1983 yang memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan memulihkan kembali NU menjadi organisasi keagamaan sesuai dengan Khitthah (Semangat) 1926. Melalui forum keagamaan kultural Bahstul Masail, ulama NU mampu menemukan rumusan yang tepat untuk mengurai dan memberikan kesimpulan tentang relasi Islam dan Pancasila dari perspektif keagamaan, khsususnya pendekatan fiqh. NU adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan pertama yang menuntaskan penerimaaannya atas ideologi Pancasila. NU bukan hanya pertama menerima, tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila. Muhamadiyyah menerima Pancasila setelah 4 Semua makalah tentang NU ini kami ambil dari makalah Marzuki Wahid dan Abd Moqsith Ghazali dalam
Relasi Agama dan Negara: Perspektif Pemikiran Nahdlatul Ulama yang disampaikan pada Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke 10 di Banjarmasin, 1 4 November 2010.

terbitnya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Keputusan paradigmatik penerimaan NU atas Pancasila dan keberadaan negarabangsa dikenal dengan Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Deklarasi ini merupakan simpul dan titik akhir dari pembahasan keagamaan (bahtsul masail) ulama NU tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan kebangsaan, dan posisi Islam dalam negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu berbunyi sebagai berikut :
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan

tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syariah, meliputi aspek hubungan

manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.


4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam

Indonesia untuk menjalankan syari.at agamanya.


5. Sebagai

konsekwensi

dari

sikap

di

atas,

Nahdlatul

Ulama

berkewajiban

mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak. Dalam deklarasi itu, jelaslah bahwa NU mengakui dan mendukung penuh Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia, yang pengamalannya bisa menjadi perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan syari.at agamanya. NU dengan tegas dan jelas memisahkan antara negara dengan agama. Pancasila adalah dasar negara, bukan agama. Keberadaan Pancasila tidak dapat menggantikan agama atau dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Meski begitu, bukan berarti agama tidak berurusan dengan negara. Dalam deklarasi itu malah dinyatakan bahwa adalah kewajiban NUatau dengan kata lain kewajiban umat beragamauntuk mengamankan tafsir yang benar tentang Pancasila dan sekaligus pengamalannya yang murni dan konsekuen agar sesuai dengan upaya umat Islam Indonesia dalam menjalankan syari.at agamanya. Ini artinya NU memposisikan agama sebagai landasan moral-etik bagi negara agar negara tetap berada dalam kontrol agama untuk menegakkan keadilan dan selalu berorientasi pada kesejahteraan dan kemaslahatan rakyatnya.

Deklarasi ini sekali lagi menjelaskan posisi agama dan negara yang terpisah, tetapi secara relasional mempunyai simbiosa yang mutualistik dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, kerahmatan, dan pembebasan bagi umat manusia.

Pengakuan NU terhadap Pemerintahan yang sah dilakukannya pada Konferensi Nasional Alim Ulama NU di Cipanas pada 1954. Keputusan Konferensi yang kemudian dikukuhkan oleh Keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya, 8-13 September 1954, memutuskan bahwa kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia (Ir. Soekarno) sebagai waliy al-amri al-dlarri bi al-syawkah (penguasa pemerintahan secara dlarurat sebab kekuasaannya, atau pemegang pemerintahan sementara (de facto) dengan kekuasaan penuh). KESIMPULAN Di indonesia, pandangan mengenai kaitan nasionalisme dan islam juga ditentukan. Sebelum Indonesia merdeka, Islam menjadi sumber perlawanan kaum muslim terhadap kaum kolonial. Di alam Indonesia merdeka, Islam menjadi salah satu sumber inspirasi bagi pembangunan bangsa. Para pemikir Islam berusaha menjadikan ajaran Islam sumber etika dan kebijakan nasional. Kendatipun demikian, asas negara Indonesia diterima sebagai sesuatu yang final, namun sampai sekarang pertentangan antara identitas keislaman dan keindonesiaan masih saja diperdebatkan, meskipun dalam skala yang tidak terlalu besar. Sepertinya untuk menggambarkan kondisi hubungan Islam dan Negara di Indonesia sekarang nampaknya ungkapan Hasan Hanafi cocok untuk dikemukakan disini, bahwa Agama dalam Islam adalah sistem politik, teori ekonomi dan struktur sosial, namun ini tidak menunjukkan penguasaan negara terhadap masyarakat akan penafsiran terhadap islam. Ini lebih berarti nilai-nilai Islam tidak dapat dipisahkan dari masalah negara, dan nilai yang utama adalah kebebasan memilih terhadap kekuasaan politik, mempertahankan kepentingan umum dan perlindungan suatu bentuk sosial dari diskriminasi antar kelas di dalam masyarakat. Dan terakhir kami sampaikan pendapat tokoh pembaharu di Dunia Islam yaitu Ibnu Taymiyyah, beliau berpendapat bahwa menegakkan negara merupakan keharusan doktrinal dan praktis, dan sesuai dengan pandangan klasik dari al-Asyari beserta tokoh-tokoh lainnya. Menurutnya Allah telah membuat manfaat-manfaat agama dan manfaat dunia tergantung kepada para pemimpin, tidak perduli apakah Negara tersebut merupakan salah

satu asas agama atau bukan. Ia tidak tertarik dengan institusi imamah (teokratis); ia hanya menginginkan supremasi agama. Baginya bentuk dan struktur pemerintahan tidak penting atau paling-paling merupakan hal yang sekunder baginya, yang terpenting adalah pelaksanaan syariah.5

DAFTAR PUSTAKA Gusti Ramli dalam Relasi antara islam, negara dan politik dalam prespektif historis. (http://grms.multiply.com) Agama dan Negara Dalam Islam telaah atas fiqh siyasy sunni oleh Nurcholish Madjid (http://members.tripod.com) Suara Muhammadiyah, No. 18, TH. ke-92, 16-30 September 2007 Ahmad Norma Permata di Suara Muhammadiyah Edisi 01/2009 dengan judul Muhammadiyah Sebagai Pilar Civil Islam di Indonesia. (http://www.smpmuhammadiyah9.com) Marzuki Wahid dan Abd Moqsith Ghazali dalam RELASI AGAMA DAN NEGARA: Perspektif Pemikiran Nahdlatul Ulama yang disampaikan pada Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke 10 di Banjarmasin, 1 4 November 2010. Abdul Halim, S.HI dalam makalahnya yang berjudul Nomokrasi Islam dan Negara Hukum Indonesia

5 Dikutip dari Abdul Halim, S.HI dalam makalahnya yang berjudul Nomokrasi Islam dan Negara Hukum Indonesia

You might also like