You are on page 1of 3

Pencabutan Hak atas Tanah

Rianto Adi HUKUM sebagai dasar kehidupan bermasyarakat adalah "aturan" yang diciptakan oleh anggota masyarakat itu sendiri berdasarkan hasil dari kontrak sosial. Hukum berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya agar hidup teratur, adil, serta aman dan tenteram. DALAM hal ini hukum berfungsi sebagai sarana kontrol sosial untuk mempertahankan status quo dalam hal anggota masyarakat menginginkan suatu keadaan yang memang diinginkan. Namun, karena masyarakat selalu mengalami perubahan, termasuk perubahan nilai- nilai yang ada dalam masyarakat itu, hukum tak hanya sebagai sarana kontrol sosial untuk mempertahankan aturan- aturan yang telah ada, melainkan juga sebagai a tool of social engineering. Hukum selain difungsikan sebagai ketentuan-ketentuan tentang bagaimana manusia harus berperilaku agar hidup teratur, adil, serta aman dan tenteram dalam masyarakat yang selalu berubah/berkembang, hukum dapat difungsikan sebagai alat untuk mengendalikan warga masyarakat oleh penguasa. Hukum dapat menjadi alat yang potensial bagi pemerintahan yang bersifat tirani. Masalah lain adalah jika hukum dikaitkan dengan kekuasaan, ada yang berpendapat bahwa hukum yang jelek seperti apa pun di tangan penguasa yang baik akan menghasilkan pelaksanaan hukum yang baik dalam arti sesuai dengan kehendak anggota masyarakat. Apalagi jika hukumnya baik dan di tangan penguasa yang baik. Berkaitan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang diberlakukan sejak 3 Mei 2005 perlu dicermati secara saksama. Apakah perpres tersebut memberikan aturan-aturan yang harus diikuti oleh anggota masyarakat agar hidup teratur, adil, aman dan tenteram, serta dapat memajukan masyarakat, atau berisi aturan-aturan yang dipakai sebagai alat untuk mengendalikan anggota masyarakat untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum tanpa memerhatikan kepentingan khusus? Kita semua tahu bahwa dalam pembangunan diperlukan bidang-bidang tanah. Kadang bidang tanah yang diperlukan sudah ada pemegang haknya atas tanah tersebut, baik individu maupun kelompok yang biasa disebut hak komunal atas tanah atau hak ulayat. Pengorbanan pemegang hak atas tanah untuk melepaskan haknya demi kepentingan umum sangat perlu dihargai, mengingat tanah bukan saja bernilai ekonomis bagi pemegang haknya, tetapi dapat juga magis-religius. Pengaturan tentang pencabutan hak atas tanah, baik tanah milik individu maupun tanah milik komunal, jelas diperlukan. Namun, aturan itu tentunya tak hanya akan menguntungkan salah satu pihak saja. Ditetapkannya Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada 3 Mei 2005 sebagai pengganti Keputusan Presiden (Keppres) No 55/1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum ternyata telah mendapat kritikan dari berbagai pihak. Dikhawatirkan perpres tersebut lebih kejam daripada keppres yang menurut pengalaman dijalankan secara kejam. Akan lebih banyak menimbulkan konflik akibat penggusuran paksa lahan-lahan penduduk demi terlaksananya pembangunan untuk kepentingan umum. DALAM perpres tersebut kekuasaan presiden sangat besar, yakni presiden berhak mencabut hak atas tanah yang dimiliki seseorang atau kelompok jika tak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dan pengembang (Kompas, 18/5/2005). Masalahnya adalah presiden kita itu bukan seorang nabi. Untuk menjadi presiden saja ia harus berjuang keras untuk dipilih rakyatnya, harus ketua partai politik atau anggota salah satu partai, berjanji ini- itu agar rakyatnya memilihnya, dan sebagainya. Dengan demikian, apakah mungkin seorang presiden mengambil keputusan seperti nabi utusan Allah? Ketakutan akan terjadinya pencabutan hak atas tanah secara sewenang-wenang selain berdasarkan pengalaman pelaksanaan Keppres Nomor 55 Tahun 1993, juga karena ketentuan dalam perpres itu

sendiri, seperti yang sudah disampaikan oleh Yayasan LBH Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Kelompok Studi Pembaharuan Agraria dan Elsam (Siaran Pers Bersama, 9 Mei 2005) atau Maria SW Sumardjono (Kompas, 11/5/2005). Pencabutan hak atas tanah untuk digunakan bagi kepentingan umum dalam rangka pembangunan tentunya akan dapat diterima oleh warga negara Indonesia siapa pun apabila pencabutan tersebut tidak merugikan pemilik hak atas tanah, dalam arti seperti yang diungkapkan oleh Maria SW Sumardjono (Kompas, 29/9/2005). "Pengadaan tanah disebut adil apabila kepada pemegang hak diberikan ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya minimal setara dengan keadaan sebelum pembebasan tanah dan pihak yang memerlukan tanah dapat memperoleh tanah sesuai dengan rencana dan memperoleh perlindungan hukum." Apabila pencabutan hak atas tanah membuat pemegang hak menjadi lebih buruk kondisi sosial ekonominya dari keadaan sebelum pembebasan tanah, maka tentunya menimbulkan kesengsaraan bagi pemegang hak. Kesengsaraan tersebut dapat dirasakan dalam segi sosial ekonominya, dapat juga dirasakan dalam segi magis-religius. Apakah penguasa manusiawi apabila seseorang yang telah berjasa pada orang banyak dengan melepaskan hak atas tanahnya untuk pembuatan jalan tol misalnya harus menjadi gelandangan karena ganti ruginya tidak dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya? Apalagi jika tanah tersebut merupakan sumber kehidupan dan tempat tinggal sekelompok orang (masyarakat). Kasus tanah orang Amungme di Irian Barat, yang dieksploitasi kekayaan tembaga, emas, dan peraknya oleh Freeport Indonesia Incorporated, selain Gunung Estberg yang merupakan tempat istirahat nenek moyang mereka, resettlement yang dilakukan bagi orang Amungme pun, menurut Izaac Hindom, Gubernur Irian Jaya saat itu, hanya akan menjadi kuburan bagi orang Amungme dan orang Sempan karena sagu dan ikan tidak diperoleh di sekitar daerah itu (Kompas, 11/9/1995). Ini menunjukkan adanya arogansi penguasa atas masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumber-sumber alam yang diatur oleh hukum adat mereka. Padahal, jika hukum dijalankan secara benar, kekuasaan berjalan mengikuti aturan- aturan hukum yang mengaturnya dan bukan hukum dipakai sebagai alat kekuasaan atau sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan tersebut, kasus orang Amungme tidak akan terjadi. Karena penguasa akan mendasarkan tindakannya berdasarkan aturan yang ada. Dalam kaitan kekuasaan untuk pencabutan hak atas tanah, penguasa berkewajiban untuk memerhatikan Pasal 28H UUD 1945 yang menyatakan bahwa (1) setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; (2) setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan; (3) setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; (4) setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun. Jika dasar pembuatan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum didasarkan pada ketentuan UUD 1945 tersebut di atas, tentunya kita tidak perlu khawatir akan terjadi otoriterianisme dalam soal pertanahan. Apalagi jika penguasa menjalankan kekuasaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan hukum yang ada dan tunduk pada hukum tersebut. Karena ketentuan dalam UUD merupakan kontrak sosial rakyat Indonesia. MEMERHATIKAN dan menimbang opini-opini yang lahir dalam masyarakat berkaitan dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tersebut adalah suatu hal yang bijak. Adalah tindakan yang bijak mencabut hak atas tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum tanpa memberikan rasa "sakit" pada subyek (seseorang atau kelompok orang) yang memiliki hak atas tanah tersebut akan memberikan rasa adil, aman dan tenteram bagi subyek tersebut.

Dalam hal tanah hanya bernilai ekonomis, pelepasan hak atas tanah untuk pembuatan jalan tol, misalnya (demi kepentingan umum), penggantian atas tanah tersebut dapat dilakukan atas pertimbangan ekonomi, yakni orang yang melepaskan hak atas tanah diganti uang atau tanah di tempat lain dengan mempertimbangkan bahwa kondisi ekonominya minimal seperti sebelum hak atas tanahnya dilepaskan. Dalam hal tanah mempunyai makna yang lebih luas lagi, yakni tanah sebagai benda magis- religius, benda yang melandasi kehidupan komunal tradisional, benda yang tidak dapat dimiliki secara pribadi dan permanen, serta benda sebagai media cadangan bagi sumber kehidupan generasi mendatang, maka penggantian atas pencabutan hak atas tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum perlu dicari cara menyembuhkan rasa "sakit" secara bersama antara pemegang hak, pihak yang memerlukan tanah, dan pemerintah. Dan karena presiden bukan nabi, hak prerogatif presiden untuk mencabut hak atas tanah sebaiknya ditiadakan. Siapa pun, di tanah tercinta ini, akan rela melepaskan hak atas tanahnya demi pembangunan untuk kepentingan umum. Rianto Adi Staf Pengajar Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta

You might also like