Professional Documents
Culture Documents
KARYA ini, hasil pekerjaan penelitian lapangan yang dilakukan oleh Widjiono
Wasis, yang disusun dan ditulis -menurut Ramadhan K.H.- dengan gaya yang
ganjil, tidak konvensional, lancar, dan jarang terdapat dalam buku-buku
serupa mengenai penelitian peristiwa.
Penulis telah mengeluarkan biaya dan perhatian yang luar biasa, termasuk
waktu yang sangat panjang dalam proses penelitian yang tidak selalu berjalan
lancar, sampai akhirnya berhasil menyuguhkan karya ini.
Yang cukup menarik ialah penutup dari karya ini, mengedepankan islah sebagai
pokok untuk menyelesaikan setiap perselisihan -seberapa pun kadamya- demi
kedamaian dan persatuan serta untuk menghindari perpecahan yang tidak
berujung.
Balai Pustaka
SEORANG sahabat baru, Saudara Widjiono Wasis menyuguhkan sebuah naskah yang
ternyata mengikat perhatian saya, menyebabkan saya ingin terus membacanya.
la mencantumkan judul pada naskahnya itu GEGER TALANGSARI, Serpihan Gerakan
Darul Islam. Di bulan Februari 1989 telah terjadi peristiwa yang
menggegerkan di Cihideung, Lampung. Rombongan pejabat muspika diserang dan
Kapten Soetiman dibunuh. Kelanjutannya adalah bentrokan fisik antara rakyat
bersama tentara dan polisi dengan mereka yang membunuh petugas negara itu;
yang bemama Warsidi menjadi pembicaraan orang, termasuk sejumlah
pengikutnya. Dan kemudian Warsidi pun diakhiri hidupnya dengan tembakan
peluru, sementara sejumlah orang juga jadi korban. Tak jelas benar
berapajumlahnya.
***
Saya sendiri jauh dari menguasai materi yang digarap oleh peneliti muda
Wasis ini. Akan tetapi, hasil pekerjaan peneliti lapangan ini rasanya cukup
menarik perhatian umum seperti saya, dengan susunan dan cara penulisannya,
gayanya yang ganjil, jarang terdapat di dalam buku-buku yang serupa mengenai
penelitian peristiwa, tidak konvensional dan lancar. Pengetahuannya dan
pendiriannya mengenai Islam mencolok, termasuk mengenai islah, sebagai
penyelesaian persoalan. Dan yang menyebabkan saya berani memberikan komentar
atas hasil pekerjaan Sdr. Wasis ini, adalah sekurang-kurangnya adanya
keterangan Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono yang pemah menangani peristiwa
ini sewaktu masih menjadi Komandan Korem Garuda Hitam -Lampung, dengan
pangkat Kolonel waktu itu. Letjen (Pum.) itu mengemukakan kepada saya, bahwa
data-data yang didapat dan diangkat oleh Sdr. Wasis adalah benar. Harap
diingat bahwa A.M. Hendropriyono tampak tidak kunjung henti menambah ilmunya
di pelbagai pendidikan. Mengemukakan begitu, berarti mempertaruhkan
reputasinya sebagai intelektual.
***
***
Ramadhan K.H.
Jakarta, 5 Juni 2001
DASAR PEMIKIRAN
DI MASA lalu, ada banyak peristiwa. Terlebih jika menyangkut kehidupan
politik di Indonesia, sedikit saja ada gejolak, orang langsung berteriak,
pasti ada orang Islam berontak. Nyatanya memang demikian. Apalagi setelah
muncul berbagai peristiwa, beruntun seperti diatur, kapan harus.bergerak dan
kapan tidak.
Spekulasi tersebut agaknya jauh panggang dari api. Kaitan peristiwa satu
dengan yang lain, tak saling
berhubungan secara langsung dan oleh karenanya tak cukup sekedar dugaan.
Masing-masing kejadian punya karakter dan tokoh yang berbeda. Akar
persoalannya juga berlainan, tidak saling berkait, satu dan lainnya. Tanjung
Priok misalnya, memunculkan tokoh dadakan yang bemama Amir Biki. Tentu
berbeda dengan geger di Talangsari, Lampung, yang menokohkan Warsidi.
Huru hara Tanjung Priok, mungkin lebih pas disebut sebagai musibah dari pada
tragedi perjuangan umat. Di sana, tak tergambar ada nuansa skenario atau
alur cerita yang mengawali dan mengakhirinya. Kejadiannya begitu mendadak
dan meledak tiba-tiba. Jika dari peris- tiwa itu, kemudian membawa korban
dan memunculkan sejumlah pahlawan, tentu soal lain. Kasus Cicendo dan kasus
Imron, juga punya karakter yang berbeda lagi. Kedua peristiwa itu merupakan
gerakan protes atas suatu kebijakan. Cuma cara mengekspresikannya agak tak
lazim, membajak kapal terbang dengan kekerasan.
Peristiwa Lampung bukan gerakan protes, juga bukan kecelakaan yang datangnya
tiba-tiba. la jauh dari nuansa Cicendo, Imron dan Tanjung Priok. Bahkan juga
tidak sama dengan geger Haurkoneng, apalagi gerakan Warman yang senantiasa
menebar teror, kapan dan di mana saja. Lampung punya ciri dan cara yang
berbeda, sekaligus unik. Peristiwanya, tempatnya, orang-orangnya,
dramaturginya, historisnya, seluruhnya saling berkait secara sistematis,
terencana dan teratur.
Di Lampung ada gegeran. Ada angkaramurka yang tak terkendali. Ada gerombolan
yang tak memahami; "di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung". Di
Lampung, ada rojopati. Ada jelujur benang merah, antara Warsidi dan gerakan
Nll. Antara mereka dan suatu daerah yang bemama Ngruki. Tak cuma itu, di
sana juga ada gairah orang-orang yang ingin mewujudkan mimpi, mendirikan
sebuah perkampungan antik, sebagai "basis perjuangan"-nya. Dan dari
peristiwa Lampung, juga lahir gerakan rujuk antar petikai bernama islah.
Uniknya, gerakan islah itu justru lahir dari mereka, orang-orang yang
menciptakan gegeran itu sendiri. itulah renik-pernik, centang-perenang yang
mendasari mengapa buku Geger Talangsari ini terbit dan mengapa kini ada di
tangan Anda.
Menyoal Angka
Buku ini, sekaligus merupakan jawaban saya, untuk berbagai pertanyaan
seputar teka-teki Peristiwa Lampung 1989 dan permasalahannya. Yang menarik
dari Peristiwa Lampung ialah pertanyaan tentang berapakah jumlah korban
Talangsari, baik yang hidup maupun yang sudah pupus. Siapa yang membunuh
mereka, bagaimana cara membunuhnya, alatnya, saksinya, waktunya dan seabreg
pertanyaan lain yang tak henti-henti ingin diketahui orang.
Oleh sebab itu, ketika ada segelintir orang meneriak- kan angka,jumlah
korban peristiwa Talangsari, beberapa media masa berebut menayangkan temuan
tersebut. Tak seorang pun bertanya, dari mana asal angka itu, bagai- mana
cara mendapatkannya dan menggunakan tolok ukur apa, sehingga angka itu
muncul.
LAMPUNG, 1989. Inilah daerah lumbung, gudang pangan bagi Sumatera, juga
seanteronya. Kesuburan alam disana adalah berkah bagi warga penghuninya. Tak
hanya beras dan palawija, tebu, tembakau, karet, coklat, kopi dan vanili
juga tumbuh merebak. Komoditas andalan sejak zaman dahulu adalah lada. Salah
satu jenis rempah, primadona pasar Eropa.
Ketika Portugis menduduki Malaka 1511, lada hitam Lampung menjadi rebutan.
Perselisihan dan silang-sengketa tak terelakkan. Bahkan palawija berwarna
hitam itu mengundang permusuhan antarmanusia, tak kenal bangsa.
Lampung-Portugis bertikai tak kenal hari. Perseteruan kian bertambah tinggi.
Balon peperangan pecah. Adu kekuatan berlangsung dua tahun: 1518-1520.
Lampung dibantu Palembang, menang. Portugis tunggang-langgang hingga
terjengkang. Sejak saat itu, Eropa tak berminat lagi menginjakkan kakinya ke
tanah penghasil lada di ujung Sumatera ini.
Berabad tahun silam, Banten dan Lampung merupakan satu kesatuan wilayah,
tatkala Jawa dan Sumatera belum dibelah oleh amarah Krakatau yang me1egenda.
Itu sebabnya, meski Selat Sunda memisahkan daratannya, hubungan antar-kedua
daerah tak pemah berubah. Banyak penduduk Banten pindah ke wilayah itu
membuka huma, berladang di sana. Pengaruh Kesultanan Banten kian menguat
terhadap Lampung, setelah Fatahil1ah mempersunting Putri Sinar Alam, anak
Ratu Pugung (sekarang wilayah Jabung, Lampung Tengah).
Dari perkawinan ini lahir seorang anak bemama Hurairi yang kelak bemama Haji
Muhammad Zaka Wa1iul1ah Ratu Darah Putih, bergelar Minak Kejala Ratu. Dia
ini1ah pendiri Keratuan Darah Putih yang berpusat di Kauripan (termasuk
Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan) dan merupakan cikal bakal pejuang
Lampung yang terkenal, Raden Intan.
Bandar Banten pada saat itu memang telah berkembang menjadi pelabuban dagang
penting di belahan Barat Nusantara. pedagang-pedagang Eropa dan Asia
melakukan pemasaran barang-barang mereka di pelabuban ini dan pulangnya
membawa basil bumi, seperti: lada, merica, pala, dan bahkan jahe serta
barang-barang lainnya.
Sementara itu, VOC (Kompeni Dagang Belanda) yang tengah menjelajahi Asia
Tenggara berlabuh di Teluk Lampung untuk memantau perdagangan rempah di
sana. Perusahaan dagang Belanda itu kabarnya sudah lama mengincar komoditas
'emas hitam' nya Lampung. Kapal pertama singgah di sana dan menduduki Pulau
Sebesi 23 Agustus 1624. Tapi tak bertahan lama, kekacauan dan wabah penyakit
menolakkan kembali kapal mereka. Baru pada tahun 1661, Belanda datang lagi
dengan dua kapa1 yang lebih besar, berlabuh di Teluk Semangka.
VOC punya alasan mengapa tidak mendarat di pelabuhan Banten dan bemiaga di
bandar itu. Harga lada di Banten saat itu 15 Teals, padahal jika dibeli di
Lampung-daerah asa1nya, cuma seharga 7 sampai 9 Teals saja. Alasan seperti
inilah yang membuat pedagang Eropa tak berhubungan langsung dengan Banten
dan lebih memilih berlabuh di Lampung.
Dari Kesultanan Banten diperoleh kabar, ada konflik antara Tirtayasa dengan
Sultan Haji, putranya sendiri yang sedang berselisih paham. Belanda
cepat-cepat menemui Sultan Haji dan menghasut agar segera mengambil alih
kekuasaan. Pengaruh VOC ditelan mentah oleh anak durhaka itu. Dengan bantuan
Belanda. Sultan Haji membunuh orang tuanya. Setelah Sultan Ageng Tirtayasa
tewas, ia mengangkat dirinya menjadi Sultan Banten, menggantikan sang ayah.
Sebagai imbalan, VOC mendapat hak monopoli atas perdagangan lada. Sejak saat
itu, Lampung-negeri tempat lahir Raden Intan silih berganti menjadi wilayah
eksplorasi dan eksploitasi VOC, Belanda, Inggris, dan kembali lagi ke tangan
Belanda sampai Jepang mendudukinya tahun 1942. Selama kurun itu, perlawanan
para petani dan ontran-ontran rakyat senantiasa mewamai Bumi Ruwa Jurai,
Lampung.
Tigatahun kemudian (1828), Raden Intan wafat. Dia digantikan putranya, Raden
Irnba II gelar Kusuma Ratu (1828-1834). Raden Imba tetap melanjutkan
semangat perjuangan ayahandanya. Raja muda ini berhasil menanarnkan pengaruh
ke raja-raja dan sultan-sultan lainnya untuk melawan. Belanda merasa
terancam. Asisten Residen Dubois, dalarn suratnya kepada Gubemur Jenderal,
menganjurkan agar segera menumpas kekuatan kepala-kepala suku di Lampung dan
menangkapRaden Imba II.
Maka tahun l832, sebuah kapal perang dan tiga kapal penjelajah berkekuatan
300 orang serdadu Belanda, dibantu 100 orang narapidana, menyerang Lampung.
Penyerangan ini sia-sia, malah Kapten Hoffman, komandan perangnya, hanya
pulang nama. Belanda kesetanan dan marah besar. Hatinya bagaikan api, tak
sabar dan segera mengadakan penyerangan berikutnya dengan kekuatan yang
lebih besar. Namun yang ini pun kecewa, karena tak menghasilkan apa-apa.
Belanda kembali ke barak dengan tangan hampa, tanpa membawa Raden Imba.
Belanda kian sasar dan hatinya penasaran. Penyerangan yang ketiga dimulai 25
September 1834. Kal ini serangan dipimpin Kolonel Elout dengan 21 opsir yang
berpengalaman. Belanda menurunkan 800 serdadu istimewa, dilengkapi senjata
yang lebih besar. Meriam-meriam besar dan kecil dibawa serta untuk menumpas
Raja muda di Negararatu itu. Penumpasan itu memakan waktu lebih dari satu
bulan dan berhasil merebut benteng Raja Gepah meskipun tetap tak berhasil
menangkap Raden Imba II yang bisa meloloskan diri dengan meminta bantuan
Raja Lingga. Sayang, penguasa Lingga itu berkhianat. Raja penjilat kompeni
tersebut menyerahkan tokoh pujaan Lampung ke tangan Belanda. Raden Imba
dibawa ke Batavia kemudian dibuang ke Pulau Timor hingga ajal1838.
Setelah perang panjang, pada 5 Oktober 1856 Raden lntan II masuk perangkap,
ketika memenuhi undangan Raden Ngerapat. Bersama seorang pengikutnya, dia
dicegat dan ditangkap oleh keparat. Di sana, di tangan Raden Ngerapat,
kusuma 'bangsa Lampung itu mati terhormat. Jenazahnya segera diusung ke
hadapan Toean Kolonel Waleson. Dua kiai ternama didatangkan untuk memberi
kesaksian. "Betoel Toean, ini Raden Intan, Allahu akbar" .
Pada tahun 1890 ketika keadaan di Lampung benar - benar dianggap aman,
Belanda baru memutuskan untuk membuka perkebunan besar-besaran. Sampai pada
setengah abad kemudian, Jepang datang dan mengusir penjajah zalim itu,
hingga Indonesia merdeka.
dan payung jurai (tempal berteduh). Yang terakhir itu bermakna akomodatif,
siapa pun boleh datang dan berteduh serta berlindung di situ, suatu
kesadaran bahwa Bumi Lampung telah dihuni oleh penduduk pribumi dan
pendatang. Oleh karenanya, moto provinsi ini ialah Sang Bumi Ruwa Jurai.
Gubernur pertama Lampung, Kusno Danu Upoyo, cuma dua tahun menjabat
(1964-1966). Penggantinya berturut-turut adalah Zainal Abidin Pagaralam
(1966- 1973), R. Sutiyoso (1973-1978), Yasir Hadibrata (1978- 1988) yang
akhirnya digantikan oleh Poedjono Pranyoto. Baru setahun Poedjono menjadi
penguasa, di Lampung terjadi huru-hara dan tangisan duka anak manusia yang
berontak di kaki Gunung Balak. Persisnya, di Cihideung, dusun Talangsari
III, Way Jepara, Lampung Tengah.
Kabupaten Lampung Tergah seluas 9.189,5 kilo meter persegi, dengan Ibu kota
Metro, merupakan basis pangan bagi provinsi ini. Lebih dari 60 % kebutuhan
konsumsi di provinsi dipasok oleh Lampung Tengah. Selain padi, palawija, dan
hasil perkebunan lainnya, di Gunung Waja dan Sukadana -keduanya wilayah
Lampung Tengah- juga terdapat deposit besi yang cukup besar. Tak pelak,
banyak orang yang mengadu nasib ke wilayah paling ujung daratan Sumatera
itu. Gelombang pendatang yang terus membandang di tanah seberang itu, kian
mengundang orang-orang Jawa yang berpenghasilan kurang dan hidupnya
menyandang hutang, lantaran tanah pertanian mereka kian menyempit dan
menggersang.
Dengan demikian Lampung tak hanya daerah lumbung. la juga daerah kantung,
daerah tampungan bagi orang-orang buangan, baik yang terbuang karena
perilaku sosial J;naupun yang terlempar oleh kondisi ekonomi. Di sana mereka
aman dari kejaran hukum dan lilitan utang. Maka, apa yang mereka terima di
kawasan penghasil rempah dan palawija itu merupakan pilihan yang baik,
dibanding kehidupan sebelumnya.
Kehadiran para pendatang dari Jawa itu temyata semakin meningkat dan kian
membludak. Pada tahun 1922, terdapat 5.500 pendatang dari Jawa. Akan tetapi,
delapan tahun kemudian jumlahnya menjadi 33 ribu jiwa. Membanjirnya
pendatang ini menyebabkan orang-orang Jawa semakin menyelusup jauh ke
pedalaman wilayah yang masih dikuasai satwa gajah Sumatera ini. Lampung
Tengah mulai dirambah sejak 1935, terutama di daerah Metro. Bahkan pada
tahun 1941 di daerah ini lebih banyak pendatang dari pada penduduk aslinya.
Pemerintah saat itu memang rapuh. Kabinetnya, bongkar pasang dan silih
berganti. Ketidakpuasan kelompok aspirator NII (Negara Islam Indonesia) pun
merebak di mana-mana dengan kekuatan bersenjatanya, yakni TII (Tentara Islam
Indonesia) dan gerakan Darul Islam. Pemerintah berusaha membungkarnnya
dengar kekerasan bersenjata dan mencap mereka sebaga pemberontak. Sementara
itu, kalangan militer yang terkena demobilisasi juga dikawatirkan akan
bergabung dengan pemberontak yang pengaruhnya cukup kuat d Jakarta dan Jawa
Barat.
Maka, Kecamatan Grinung Balak tak pemah tegak. Peta almanak Lampung batal
menampung wilayah administrasi yang baru dipersiapkan itu. Sebaliknya,
petugas mengharu biru penduduk. Pondok-pondok dan bangunan yang susah payah
mereka dirikan harus dirobohkan dan dimusnahkan, sampai rata mencium tanah.
Ada dendam di Lampung Tengah. Anak -anak tak lagi berlari-lari dengan tawa
jenaka. para Ibu tak tampak seperti biasa, menghabiskan sisa senja dengan
celoteh, remeh. Sebaliknya, kesumat melekat di mana-mana. Dendam di dada
menumbuhkan gregetan. Ontran-ontran dan gegeran, sewaktu-waktu bisa
terulang. Tembang megatruh kenestapaan mulai dilantunkan. Kecerah-ceriaan
kian meredup, menggulung matahari yang nyaris terkatup. ltulah gambaran
Lampung Tengah, di mana, Cihideung bersimpuh pada tengara 1989.
AMARTA adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem, karto
raharjo, maksudnya ialah negeri yang kaya raya, tenteram, dan sejahtera.
Penghuninya hidup dalam keadaan yang serba ada, segalanya mudah dan semuanya
bisa. Tentu ini hanya ada di dunia para dalang, yang sedang menggambarkan
tentang kejayaan negeri bayang-bayang, yakni, negeri yang penghuninya
mendapat jaminan dan perlindungan tidak hanya dari penguasa, tetapi juga
alam sekitarnya.
Dalam bayangan penulis, semasa kecil, gambaran para dalang itu sesungguhnya
menceritakan dunia nyata tentang jawa, orang-orangnya, suasananya, juga
kehidupannya. Negeri Amarto[a] yang digambarkan dengan setting Jawa, tiada
lain ialah Tanah Jawa, di indonesia. Gambaran yang cukup sederhana, terutama
bagi seorang yang hanya tahu tentang wayang di masa kecilnya.
Tetapi mungkin saja, Jawa dulu dan Jawa sekarang berbeda. Sebagian
penduduknya sudah banyak yang menyeberang, melanglang ke negeri orang,
mening- ga1kan Jawa yang tak lagi "gemah ripah lohjinawi, toto tentrem dan
karto raharjo". Jawa masa lalu tinggal kenangan, masa kini ditinggal orang.
.
Sukidi (40 th. ) agaknya bukan mewakili J awa masa lalu. Kini, dia telah
berada di negeri Sang Bumi Ruwa Jurai, Lampung, meninggalkan Jawa, 28 tahun
sudah, mengikuti jejak para transmigran. Cukup mapan dia, setidaknya bila
dibanding dengan kehidupan ~asa la1unya di Jawa yang semakin tak memberi
harapan. Di sini, di Dusun Talangsari III, Kec. Way Jepara, Lampung Tengah,
Sukidi cukup punya harkat, martabat dan derajat. Dia diho~ati, ma1ahan
djangkat menj~di tokoh masyarakat.
Awalnya, dengan berbekal sebongkah harapan, Sukidi melangkah dari
Banyuwangi, Jawa Timur, menuju ~ampung. Kala itu, tahun 1972, pada saat bumi
Lampung masih belum ¥epenuhan transmigian, Sukidi menepis pandangan; "makan
nggak ~akan, asal kumpul", menjadi "kumpul nggak kumpul, asal makan". Dengan
semangat bulat, ia berangkat, menuju Way Jepara di Lampung Tengah,
meninggalkan sanak kadang dan handai taulan.
Way Jepara adalah satu dari 23 Kecamatan yang a4a di Lampung Tengah. Daerah
seluas 240 km2 ini mempunyai 20 kelurahan dan: sekitar 80 ribu jiwc;1,
berdasarkan sensus tahun 1989. Dari 20 kelurahan itu, satu di antaranya
bemama Rajabasa Lama. Di Kelurahan Rajabasa lama inilah, Talangsari III,
sebuah dusun kecil itu berada. Agaknya dusun yang luasnya cuma 40 hektar ini
tak akan dikenal orang kalau saja tak terjadi gegeran antara anak manusia
yang menghebohkan itu. Talangsari juga tak bakal disebut jika tak ada
kelompok yang membadut menantang pemerintah, mencerca kebijakan dan
mengumbar kejahatan. Sulit dipercaya, tetapi ini nyata.
Babat Alas
Way Jepara saat Sukidi datang tahun 1972, tentu saja tidak sama dengan Way
Jepara masa kini. Pada saat itu, Way Jepara masih merupakan kawasan hutan
yang tak setiap jengkal tanah mampu dljamah orang. Masih banyak hutan yang
dijadikan istana hewan buruan, Untuk mengubah hutan menjadi hunian, tidak
sembarang orang boleh mengatakan gampang. Hanya orang-orang pilihan dan
tahan ujian yang mampu melakukannya.
Sukidi membabat alas Talangsari, setelah menemukan lokasi yang cocok untuk
dijadikan daerah hunian. Di suatu kawasan yang penuh dengan pohon durian,
Sukidi tertarik untuk menjadikannya tempat tinggal. Dalam bayangan Sukidi,
tempat inilah yang kelak akan menjadi daerah terbaik. Alasannya, selain
suhur, daerah tersebut memiliki unsur tanah merah dan tidak berpasir,
sebagaimana umumnya tanah di Lampung.
Orang Banyuwangi ini segera mencari tahu pemilik tanah. Dari kantor desa
diperoleh kahar, tanah pilihan Sukidi tersebut, temyata milik Amir Puspa
Mega, kepala desa Rajabasa Lama,penduduk asli yang dikenal banyak memiliki
harta peninggalan keluarga. Amir puspa segera akur dengan Sukidi yang
berminat ingin mengolah lahan perawan itu.
Cihideung
Membabat alas tidaklah mudah. Hanya pekerja keras dan bermata awas .yang
bisa melakukan pekerjaan ini. tidak semua orang punya kemampuan seperti
mereka. tak cuma cerita, sudah banyak orang melakukan pekerjaan yang sama,
tetapi kandas tak membawa hasil. Cerita tentang cikal bakal Cihideung, dusun
satu agar dengan Talangsari misalnya, punya pengalaman menarik. Konon,
beberapa waktu sebelum Sukidi membabat kebon duren Talangsari, ada
sekelompok orang yang juga ingin menjadikan kawasan perawan untuk dijadikan
hunian. Tanpa sebab yang jelas, mereka meninggalkan kawasan itu setelah
sempat memberi nama Cihideung. Kabarnya, orang-orang tersebut berasal dari
daerah pasundan, Jawa Barat.
Membuka hutan seperti ini sudah lazim bagi orang-orang Jawa yang datang ke
Lampung. Cara demikian dianggap paling menguntungkan kedua belah pihak.
Pemilik tanah diuntungkan karena tanah mereka menjadi punya nilai ekonomis,
bisa menjadi lahan pertanian atau lahan perkebunan dan bila dijual harganya
tidak serendah manakala masih menjadi hutan belantara.
Bagi pengolah tanah juga untung. Tanpa harus mengeluarkan uang, dia bebas
menggarap tanah seperti milik sendiri. Penggarap akan membagi hasil panen,
hanya bila tanah tersebut menghasilkan sesuatu.
Kondisi seperti itulah yang dialami Sukidi dan teman-temannya. Malah, mereka
punya kesempatan rnembeli sebagian lahan yang mereka garap itu. Amir Puspa
Mega menawarkannya dengan cara cicilan, seberapa Sukidi mampu. Dengan cara
inilah Sukidi bersama teman-temannya kini memiliki beberapa hektar tanah
impiannya. Pada kenyataannya, tanah Amir Puspa seluas kurang lebih 25
hektar, hanya tinggal 6 hektar yang belum terbeli oleh Sukidi dan
Tanah Amir Puspa tergolong baik. Ciri-cirinya berwarna merah kehitaman, tak
berpasir, Dibanding tanah merah, tanah berpasir lebih murah, cuma
Rp10.000,00 per hektar. Bagi Sukidi, mengeluarkan sejumlah uang untuk
membeli tanah bukan perkara gampang. Pada zaman itu, kehidupan sulit
mendera. seluruh rakyat. Orang cuma berpeluang untuk mengisi perut.
Makan Tiwul
Bagi Sukidi, tiwul merupakan makanan utama, sumber tenaga untuk menjalani
aktivitas kehidupannya sehari-hari. Nasi olahan dari gaplek ini mereka
namakan nasi uleng. Cara membuatnya sederhana. Gaplek kering direndam,
kemudian ditumbuk hingga menjadi tepung, lalu dijemur. Tepung gaplek ini
dimasak dengan campuran kacang-kacangan dan sedikit beras untuk menambah
rasa nikmat. Olahan bahan seperti inilah yang disebut nasi uleng.
Cara hidup seperti ini umumnya juga. ditiru oleh pengikut Sukidi lainnya.
Pada awalnya pengikut Sukidi hanya 3 orang, setelah 28 tahun, jumlah
penduduk Sukidi sudah lebih dari 100 KK.
Tukar Wilayah
Ini kisah nyata dua kelurahan, Rajabasa Lama dan Pelabuhan Ratu, saling
tukar wilayah. Alasannya? Ada satu dusun milik Rajabasa Lama, letaknya jauh
dan justru mendekat ke Pelabuhan Ratu. Sebaliknya, ada satu dusun milik
Pelabuhan Ratu, letaknya dekat ke Rajabasa Lama.
Dusun Umbul Kacang, milik Rajabasa Lama, tempatnya menjauh, sekitar 25 km
dari kelurahan induknya, lebih dekat ke Pelabuhan Ratu. Bila hendak ke Umbul
Kacang, para petugas sering melewati beberapa wilayah Pelabuhan Ratu yang
cenderung mendekat ke Desa Rajabasa Lama. Demikian halnya bagi Kelurahan
Pelabuhan Ratu yang mempunyai wilayah sangat jauh dari Kantor Desa. Wilayah
itu bemama Dusun Cihideung yang berbatasan langsung dengan Dusun Kebon Duren
Sukidi, di kelurahan Rajabasa Lama.
Akibat lokasi yang jauh, para petugas kelurahan merasa sulit jika
mengunjungi dusunnya masing-masing. Maka untuk memudahkan administrasi dan
pengawasan, pimpinan kedua kelurahan itu bersepakat tukar wilayah.
Kesepakatan tukar wilayah tersebut berlangsung pada Juli 1988. Umbul Kacang
ikut Pelabuhan Ratu dan Cihideung menjadi milik Rajabasa Lama.
Talangsari III
Kalau saja Amir Puspa Mega, orang asli Lampung itu tidak ngotot memutuskan
sebuah nama Talangsari, untuk semua wilayah yang berada di sisi Selatan
Jalan Propinsi yang melintas di wilayahnya, mungkin wilayah itu sudah
bernama. salah satu nama daerah yang ada di Banyuwangi. Pasalnya, sangat
jarang perintis hunian baru di Lampung tidak membawa serta nama kampungnya
ke wilayah rintisan.
Oleh sebab itu, tak perlu heran bila tanah Lampung bagaikan tanah Jawa yang
dipindah, tidak hanya orang- orangnya, tetapi juga kampung halamann:ya. Di
Lampung ada Pekalongan, ada Blambangan, ada juga Sukoharjo dan Wanosobo,
malahan di Lampung Tengah ada kecamatan yang bernama Surabaya. Mungkin pada
suatu ketika akan ada dusun yang bemama Jakarta, boleh jadi.
Talangsari III, sebuah nama permintaan Amir Puspa Mega pada saat menjabat
Kepala Desa. Bagi orang
Lampung, kata talang dan umbul bukan hal baru. Ada beberapa wilayah yang
bernama umbul, misalnya Umbul Puk atau Umbul Hujan Mas di Pakuan Aji.
Mungkin masih lebih banyak lagi nama-nama serupa yang belum terdaftar.
Bila ada beberapa rumah yang mengelompok terdiri dari 5 atau 6 rumah di
peladangan, maka kelompok hunian itu disebut umbul. Dan bila beberapa umbul
itu bertambah, maka dengan sendirinya menjadi talang. Kumpulan talang itulah
yang disebut dusun, cikal bakal sebuah desa. Jadi, Talangsari III adalah
urutan dari nama Talangsari I, Talangsari II yang sudah ada jauh sebelum
Sukidi membuka kebon durian Amir Puspa Mega.
Talangsari III adalah gabungan dua dusun dari dua kelurahan yahg berbeda.
Dusun seluas lebih kurang 40 hektar itu mirip pulau kecil. la dikelilingi
sebuah kali bemama Sungai Beringin melingkari wilayah penghasil coklat
terbaik di daerah itu. Untuk mendatangi "dusun pulau" ini, dihubungkan oleh
lima jembatan yang melintas sungai selebar sekitar dua. setengah meter.
Jembatan-jembatan itulah yang dahulu dirusak oleh gerombolan Warsidi, untuk
menyiasati aparat agar terhalang datang.
Namun sebagai kepala dusun, Sukidi tetap menjalankan fungsinya. Dia mulai
mendata administrasi dusun. Data penduduk, surat-surat kepemilikan tanah dan
segala kegiatan warga mulai didaftar, termasuk menyoal kehadiran Warsidi dan
kelompoknya yang belum melaporkan identitas diri kepada pamong.
Tetapi baru dua atau tiga bulan menjalankan kegiatan, Sukidi mendapat
gangguan dan perlawanan. Berbagai perilaku aneh yang tak lazim
dipertontonkan pada Sukidi. Sikap kurang bersahabat dan mengesankan
permusuhan juga diembuskan oleh Warsidi dan kelompoknya. Sukidi risih dan
sangat bersedih tatkala menyadari bahwa Warsidi semakin tak terkendali. Api
benci mulai dinyalakan. Di dalam dada mereka, hanya ada satu kalimat,.
sumpah serapah dan caci maki yang jauh dari berserah diri.
PERJALANAN waktu tak mampu dijangkau bahkan oleh Sukidi sekalipun. Pria
setengah baya, Kepala Dusun Talangsari III, way Jepara, Lampung Tengah itu
ketenangannya tiba-tiba terusik oleh tamu misterius. tamu tersebut datang
bersama kelompoknya, tanpa assalamu 'alaikum kepada tuan rumah. Padahal
mereka tidak sekadar bertamu, malah kemudian menetap.
Kelompok Kecil
Kelompok Warsidi di Talangsari punya kaitan historis dengan kelompok kecil
yang ada di Jakarta Kabarnya, yang inembidani kelompok kecil Jakarta itu
ialah Nurhidayat, Ahmad Fauzi, Wahidin, dan Sudarsono. ,Serpihan pemuda
tanggung yang tengah menggebu belajar agama ini, hatinya tak tentram ketika
melihat hukum di Indonesia tak lagi ditegakkan berdasar Islam.
Mereka merasakan ada kezaliman yang telah merusak bangsa dai1 negaranya.
Oleh karena itu, hukum Islam harus ditegakkan. Caranya? Mula-mula harus
merapikan barisan atau saf. Kemudian berjamaah, menggalang kekuatan hingga
menjadi bangunan yang kokoh. Ibarat pohon yang akarnya menghujam ke bumi,
tak mudah tercerabut oleh tiupan-tiupan angin besar atau kecil.
Bagi yang lulus menyelesaikan doktrin tahap ini, berhak hijrah ke Lampung
bergabung dengan Warsidi. Dari mereka, Ulama Jamaah Mujahiddin Fisabilillah
lahir dari mereka pula peristiwa berdarah itu ditabur.
Pemah Sukidi mengajak gotong-royong mengeras- kan jalan desa. " Qur 'an tak
mengajarkan orang gotong-royong", jawab mereka segera. Ajakan siskamling pun
mendapat jawaban serupa sehingga sangat tak di- mengerti banyak orang,
termasuk alasan, mengapa mengambil tanaman penduduk tanpa izin.
Sejak itu, masyarakat menjadi tak tenang. Hari-hari mereka dilalui dengan
resah dan ketakutan, setelah sejumlah anak buah Warsidi mendatangi Sukidi
dengan membawa-bawa golok dan pedang. Tanda-tanda perang mulai digelar.
Melihat ini, Sukidi tak kuat. la segera melaporkannya kepada Amir Puspa
Mega, Kepala Desa Rajabasa Lama, atasannya. Amir Puspa Mega bersama Sukidi
kemudian melanjutkan ke Kecamatan Way Jepara, melaporkan tabiat Anwar
Warsidi yang meresan banyak orang. Dari sinilah lolongan panjang gerombolan
Warsidi mulai terdengar. Malah, gaungnya memecah langit hingga ke negeri
seberang.
***
KRONOLOGI GEGERAN
Episode :
GUGURNYA KAPTEN SOETIMAN
Kabar angin itu benar-benar sampai ke telinga Sukidi. Sebagai kepala dusun,
dia tak bisa diam apalagi membisu. Sukidi menyelidik, membuka mata
lebar-lebar dan juga telinganya. Diperoleh kabar, ada warga baru di rumah
Jayus bertabiat tak lazim yang telah mengubah adat, boleh mengambil milik
orang tanpa izin. Serangkaian kejadian aneh itulah awal drama Talangsari III
dibeber.
Berikut ini urutan kejadian yang membawa petaka tersebut. Sengaja dituturkan
secara rinci, agar bisa memberi gambaran yang pas tentang peristiwa yang
dianggap menghebohkan bagi perjalanan politik di Indonesia itu. Data detail
tuturan seperti ini ternyata masih belum banyak terkuak dan diketahui
masyarakat luas, sehingga apa yang berkembang di masyarakat, seringkali
berbeda dengan fakta yang sebenarnya.
Tuturan ini berdasarkan fakta dan data lapangan yang berhasil dihimpun
langsung dari nara .sumber, baik berupa wawancara maupun dokumen asli.
***
KRONOLOGINYA
1.. Sukidi dan Mansur mengirim surat kepada Amir Puspa Mega. Isinya: pada
puku1 20.00 (malam Jumat), Jayus warga Cihideung menerima tamu dari Jakarta,
sebanyak 15 orang, laki-laki dan perempuan.
1.. Pukul 10.00 (pagi hari). Berdasarkan laporan Sukidi, Amir Puspa Mega
mengirim surat kepada Zulkifli Maliki, Camat Way Jepara, tentang situasi
Cihideung. Di dalam amplop, dilampirkan surat Sukidi, yang melaporkan
situasi dusunnya.
2.. Pukul11.30 (menjelang Lohor). Hari itu juga, melalui surat, Zulkifli
memanggil Kepala Desa agar segera menghadap Camat Way Jepara, dengan
membawa: Jayus, Pak War, Mansur, dan Sukidi. Dalam surat panggilan itu,
Zulkifli memerintahkan kepala Desa harus segera menghentikan dan melarang
pengajian yang mendatangkan orang-orang dari luar daerah, apalagi tanpa
permsi kepada aparat setempat.
3.. Pukul 16.30 (bakda Asar). Beberapa menit setelah membaca surat dari
Camat, Warsidi segera mengirim jawaban berupa surat ketikan. Isinya ringan,
seperti tanpa beban.
"Yth. Bapak Camat Way Jepara di tempat.
Dengan hormat,
Bahwa surat yang kami terima, sudah kami ketahui isinya.
Perlu diketahui kami dalam kesibukan, dalam mengisi pengajian di berbagai
tempat.
Oleh sebab itu kami tidak bisa datangke Kantor Bapak.
Kami sebagai orang Islam yang sangat menjunjung tinggi Sunnatulloh dan
Sunnaturrosul dalam sebuah Hadist dikatakan:
SEBAIK-BAIKNYA UMARO IALAH YANG MEN- DATANGI ULAMA DAN SEBURUK-BURUKNYA
ULAMA YANG MENDATANGI UMARO.
Oleh karenanya kami mengharap kedatangan Bapak di tempat kami untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Demikian harap maklum ...
Semoga Allah memberi hidayahNya.
Hormat kami, Ttd.
( ...War ...)".-
4.. Zulkifli mengaku, seperti kena tampar ketika membaca surat Warsidi
yang isinya meminta dirinya yang datang dan bukan sebaliknya. la tak
menyangka, suratnya akan mendapat balasan seperti itu.
Jum'at Legi, 13 Januari 1989
2.. Pada pertemuan itu, Zu1kifli mempertanyakan maksud hadis yang dikutip
Warsidi dalam suratnya. Kiai War tidak segera menjawab. Setelah mukanya
menoleh ke kiri dan ke kanan, beberapa pengikutnya curna menganggukkan
kepala. "Pokoknya itu ada di hadis", kata Warsidi kemudian.
1.. Pagi itu Zulkifli menunggu Kiai War dari Cihideung. Tetapi sampai
siang, bahkan hingga sore, Warsidi tak kunjung datang.
1.. Dari Pesantren Al Islam, di Desa Labuhan Ratu I, terdengar kabar ada
seorang bemama Usman membuat gara-gara. Guru pesantren ini mengusir Kiai
Junaidi, pemilik Pesantren Al Islam yang pemah menolongnya, beberapa waktu
sebelumnya.
2.. Drama pengusiran terhadap tuan rumah ini berdampak panjang. Belakangan
diketahui, dari surat rahasia Usman, pengambilalihan pondok, ternyata ada
kaitannya dengan Warsidi yang sering mondar-mandir ke tempat itu.
4.. Ketika hendak diadili, dari mulutnya keluar kata-kata: "Saya tidak
percaya pengadilan berhala. Di Mahkamah Allah nanti kita buktikan siapa yang
benar", sanggah Usman di depan pengadilan.
1.. Sepuluh hari setelah membaca surat dari Al Islam, Zulkifli melapor
kepada, Kapten Soetiman, Dan Rarnil Way Jepara.
3.. Di dalam surat itu juga disebutkan bahwa Jayus dan Warsidi pemah
dipanggil Camat, tetapi tidak mau datang. Malah ia mengancam akan
membunuhnya, ketika rombongan Camat mendatangi markas mereka.
1.. Darah Sang Kapten bergolak ketika mendapat laporan seperti itu. Hari
itu juga, Komandan Militer Way Jepara ini segera memangil Usman, Warsidi,dan
Jayus, melalui surat.
1.. Amir Puspa Mega, Lurah Rajabasa Lama, melapor kepada Soetiman tentang
kegiatan Warsidi.
2.. Menurut Lurah tersebut, Warsidi dan anak buahnya, semakin hari
tiba-tiba seorang pemuda bertenak. " Allahu Akbar ...," dan sebilah demi
sebilah anak panah melesat dari balik semak menuju ke arah Soetiman. Suara
takbir itu disambut susul-menyusul, bagaikan nyanyian Perang Sabil. Puluhan
anak buah Warsidi bertabur, keluar dari rumah-rumah bambu sambil
mengacungkan senjata pembunuh, menyerang rombongan. Mayor Sinaga terkesima,
mulutnya cuma bisa ternganga, "mundur ...!", teriaknya memerintahkan anak
buahnya agar meninggalkan lokasi. Seketika itu, kendaraan Sinaga berbelok
arah dengan menerjang-terjang pepohonan, laju meninggalkan lokasi. Berbeda
dengan Sinaga, yang selamat Kapten Soetiman menjadi bulan-bulanan anak buah
Warsidi yang tengah kesetanan. la dikejar-kejar, tubuhnya dikoyak-koyak, dan
lehemya ditebas sampai tewas.
5.. Pukul 12.30 (setelah satat Lohor). Di musala Jayus, terjadi pro dan
kontra sesama jamaah. Suasana pondok Warsidi menjadi tak mengental lagi.
Persatuan antar jamaah buyar setelah sadar bahwa mereka telah membunuh
aparat keamanan. Tidak semua anggota Warsidi setuju dengan kejadian itu.
Mereka yang tak punya nyali kemudian meninggalkan perkampungan Warsidi,
melalui berbagai jalur: Pakuan Aji, Talangsari, dan Kelahang. Masyarakat
sekitar menggambarkan ada ketakutan yang menghantui wajah mereka setelah
terjadi pembunuhan aparat. Pada saat terjadi eksodus, Warsidi mengirim
utusan untuk mencari Fadhillah agar segera kembali ke Cihideung.
6.. Pukul 15.30 (usai sholat Ashar). Jenazah Soetiman dikubur. Fadhillah
datang menemui Warsidi. Menurut pengakuan Fadhillah, Warsidi
memerintahkannya untuk mengubah strategi, setelah menyadari Soetiman tewas
ditangan anak buahnya. Fadhillah harus menciptakan huru-hara di seluruh
Lampung agar aparat sibuk dan tidak berkonsentrasi ke Cihideung. Sore itu
Fadhillah berangkat ke Sidorejo menemui pasukannya dengan seonggok beban.
7.. Pukul 19.30 Fadhillah berangkat. Niatnya sudah bulat, perang. Di
kepalanya tak ada kata lain, "Hidup mulia atau mati syahid". Dari rumah
Zamzuri di Sidoredjo, mereka hendak ke Korem GATAM di Bandar Lampung. Dan,
jalur yang akan mereka tempuh ialah melalui Sribawono ke jurusan Panjang
yang berjarak sekitar 90 km. Untuk mempercepat perjalanan, mereka menyewa
angkutan umum. Tetapi sayang, di dalam kendaraan yang hendak mereka sewa,
ada seorang anggota ABRI, Pratu Budi Waluyo yang tetap ingin ikut meskipun
Fadhillah telah membujuknya agar Sang Pratu mau mengerti. Akhirnya Budi
Waluyo sepakat dibawa serta. Dalam perjalanan, mereka berdialog, saling
memperkenalkan diri. "Jadi Bapak tahu kejadian tadi siang di Cihideung?".
Budi Waluyo dengan gagah menjawab: "Saya ikut menyerang, di sana". Mendengar
kata-kata itu, Fadhilah gelap mata. Pedangnya segera dihujamkan ke dada Budi
Waluyo hingga tewas. Menyadari ada pembunuhan, sopir angkutan lari
meninggalkan kendaraannya. Fadhillah bersama pasukan membawa kendaraan
tersebut menuju ibu kota Lampung dan menebar teror sampai pagi.
8.. Pukul 20.00 Sementara Fadhillah membuat kerusuhan suasana di Cihideung
mencekam. Aparat tengah bermuram durja sambil merancang untuk mengambil
jenazah Soetiman dengan paksa, setelah tak ada tanda-tanda damai dari
Warsidi.
FITRAHNYA, tidak ada manusia jelek, apalagi jahat, karena ia adalah cahaya
Ilahi. Sifat keilahian, senantiasa mahabaik, lagi sempurna. Yang ada ialah
manusia membiarkan hatinya kosong, sehingga setan atau anasir jahat lainnya
mengisi dan merusak kalbu. Penghuni kalbu itulah yang menentukan apakah
orang "menjadi" malaikat atau setan.
Itu sebabnya, raja semesta alam memerintahkan kita agar selalu ingat
kepada-Nya, supaya anasir jahat tidak pemah punya kesempatan menjadi
penghuni kalbu.
Apakah Warsidi, tokoh yang hendak kita bicarakan ini, termasuk yang
membiarkan kalbunya kosong melompong dari cahaya keilahian? Suatu pertanyaan
! yang tak mudah dijawab. Tetapi, indikasinya bisa kita ukur, misalnya
dengan berbagai pendapat orang-orang yang mengenal dirinya. Di satu pihak,
orang menyebut kebaikannya lainnya mengatakan kekurangannya. Ragam cerita
dari berbagai pihak, yang belum banyak terkuak dalam media tulis ini, akan
melengkapi kisah tokoh kontraversial, Anwar Warsidi.
Marsudi Menuturkan
Marsudi (65 th.) mungkin satu-satunya nara sumber paling pas untuk didengar
penuturannya. Marsudi ialah adik Warsidi, dari 9 orang keturunan Marto
Pawiro, ayah kandung mereka. Dari 9 bersaudara itu, hanya Marsudi yang
paling sering hidup bersama Warsidi. Bahkan hingga detik-detik terakhir saat
kematian "sang imam", Marsudi tetap setia .mendampinginya.
Usia dua kakak beradik ini juga tak terpaut jauh, hanya selisih 4 tahun.
Sekalipun lebih tua, Marsudi mengaku, adiknya jauh lebih cepat dewasa
dibanding dirinya. Tak hanya itu, sifat sabar dan baik hati juga dimiliki
Warsidi. Kata Marsudi, adiknya itu sejak kecil sudah dicintai dan
kata-katanya diturut oleh teman-temannya. Masih seputar itu, Warsidi sangat
dikenal sebagai seseorang yang rajin dan pekerja keras.
Sayang, sekolahnya cuma sampai di SD. Selanjutnya mereka hanya mengaji pada
seorang ustad desa bernama Kiai Sirot. Dari Kiai Sirot inilah mereka
mendapatkan dasar-dasar agama dengan baik. Berbekal sedikit pengetahuan
agama itulah mereka berangkat ke Lampung, menyusul Maryumi, kakak
perempuannya yang sudah mapan sebagai transmigran di Lampung. Di sana juga
ada Marjudi (Muhammad Judi), kakak Maryumi yang menjadi transmigran, sejak
1939.
Warsidi lahir di desa kecil bemama Sebrang Rowo, kawasan Candi Borobudur,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah tahun 1939, sebagai anak terakhir.
Kakak-kakaknya bernama: Marjudi, Maryumi, Marsandi, Marsiyah, Marsidi,
Di mata Warsidi, kiai Anwar tergolong ulama besar, berilmu tinggi dan karena
itu wajib ditaati kata-katanya. Warsidi memilih meninggalkan Maryumi dan
mengikuti ke mana Kiai Anwar pergi. Sejak itu mereka mulai menjauh dan
meniti jalan masing-masing.
Warsidi memutuskan menjadi murid kiai yang baru ia kenal itu. Seluruh ucapan
"gurunya" juga ingin ia tiru, termasuk perilaku Anwaruddin yang pemah
membunuh orang kafir. Menurut Anwaruddin, membunuh orang kafir tidak berdosa
dan memeranginya ialah perbuatan jihad. Dalam pandangan kiai pujaan Warsidi
itu, pemerintah juga digolongkan sebagai orang kafir.
Masih untung, sang guru asal Banyumas itu segera dilepas sebelum putusan
pengadilan jatuh, tertolong oleh peristiwa G 30/S PKI. Selepas dari penjara,
Anwaruddin diusir oleh masyarakat karena ucapan dan tingkah lakunya tak
membuat sejuk umat. Anwaruddin pindah ke Kogan Lima, Lampung Utara. Warsidi
bersama Juwariah istrinya, juga ikut boyong ke daerah baru, mengikuti sang
guru. Hanya berbekal menjual sepetak tanah, satu-satunya harta, Warsidi
menjalani hidup bersama gurunya sebagai orang usiran. Akhirnya, kehidupan
Warsidi semakin jauh dari kakak-kakaknya, kecuali Marsudi.
Setelah kematian gurunya, Warsidi hijrah ke Pakuan Aji. Selain karena soal
ekonomi, masyarakat juga tak lagi berkenan dengan keberadaan Warsidi dan
keluarganya. Tetapi tak lama di Pakuan Aji, ia kemudian pindah ke Labuhan
Ratu menjadi buruh koret di ladang-ladang penduduk sambil terus mengajar
ngaji bagi penduduk setempat. Di sanalah ia bertemu Jayus yang kemudian
memboyongnya ke Cihideung.
Kisah Warsidi masih berlanjut. Kali ini datang dari Pakuan A ji, daerah yang
pemah ia singgahi. Kepala desa Pakuan Aji bemama Ismed Inonu (42 th).
Seorang pria kelahiran Pakuan Aji dan merupakan bagian dari yang sedikit
penduduk asli Lampung yang masih tinggal di daerah tersebut. Pada saat
Warsidi berjaya menjadi kiai Cihideung, Ismed sebagai tukang ojek yang
mondar-mandir mengantar jamaah, keluar masuk Talangsari. Kala itu, hanya
dari arah Pakuan Aji, lokasi Warsidi mudah ditempuh.
Ismed mengaku tahu banyak ihwal tokoh Jawa yang paling menghebohkan daerah
Lampung tersebut. Kata Ismed, kedatangan Warsidi di Pakuan Aji seperti
angin, tanpa permisi. Sekali waktu datang, kali lain hilang. Budaya tak
melapor diri agaknya sudah tradisi bagi tokoh ini.
Dari mulut Marsan, Ismed Inonu mendengar cerita aneh tentang Anwar Warsidi.
Kata Marsan, ucapan-ucapan Pak War sering ngelantur tak karuan. Misalnya, ia
ingin punya anak yang bertanduk dan berekor. Pemah pula Warsidi
berteriak-teriak tanpa sebab yang jelas di kerumunan orang. Itu juga
sebabnya, Ismed tidak percaya ketika orang-orang mengatakan, kini Warsidi
menjadi kiai di Cihideung dan banyak santri belajar mengaji kepadanya. Meski
demikian, Ismed sempat terkesima ketika banyak tamu dari luar kota, keluar
masuk. Cihideung dan mengaku hendak belajar ngaji ke Kiai Warsidi. Tetapi,
kekaguman Ismed tidak bertahan lama. Kabar angin pun segera semilir. Tersiar
kabar, tamu-tamu Warsidi ternyata membawa masalah.
Kian hari, anak buah Warsidi kabarnya sernakin tak terkendali. Warga
rnenjadi tidak tenang, untuk apa senjata-senjata perang itu digalang. Isrned
juga tak bisa menjelaskan bagairnana seorang buruh koret seperti Warsidi
rnendadak rnenjadi kiai, lalu rnenyerukan pembuatan panah dan rnernpelopori
perakitan born di tempat terpencil seperti Cihideung.
Teka-teki itu akhimya tersingkap, setelah Warsidi dan anak buahnya rnembuat
heboh, rnernbunuh Danrarnil Way Jepara, ketika berkunjung ke rnarkas
Warsidi. Kapten Soetirnan ditangkap, tubuhnya dikoyak panah beracun dan
lehernya ditebas hingga tewas. Mayat pemirnpin rornbongan itu ditahan dan
disandera. Peristiwa tersebut rnengagerkan banyak orang, kabutnya tak hanya
Warsidi pada awalnya sangat diharapkan bisa menjadi pemersatu bagi suatu
kelompok yang tengah bertikai karena kelompok Nll pada masa itu sedang
terburai dan terpecah belah. Sesama anggota Nll bahkan para pemimpinnya tak
lagi bersatu, malah cenderung saling ancam hendak membunuh lainnya. Pada
situasi seperti itu, satu-satunya tokoh yang masih bisa diharap menjadi
pemersatu hanya , Warsidi, meski mereka akui belum cukup syarat, layaknya
seorang tokoh besar di lingkungan Nll. Apa boleh buat, ltulah komentar
Mushonif dan juga kesan yang tersirat dari centa Fadhillah.
Warsidi, Mbedagol
Istilah mbedagol mungkin tidak lazim bagi masyarakat umum. Namun, untuk
kelompok tertentu di daerah Jawa Tengah, sudah biasa terdengar. Istilah ini
digunakan terutama untuk menyebut orang-orang yang keras kepala, egois, tak
mau menerima pendapat orang lain, dan fanatik. Demikianlah kesan yang
terungkap dari Suryadi ( 49 th. ), ketika menceritakan pengalaman hidupnya
bersama Warsidi, beberapa tahun di Cihideung, Lampung Tengah.
Suryadi orang Solo, Jawa Tengah, lari ke Lampung sungguh tak punya rencana
tinggal di Cihideung, lebih-lebih bertemu seseorang yang bemama Anwar
Warsidi. Awal pertemuannya dimulai dari rumah Marsan di Hujan Mas, Pakuan
Aji. Cukup singkat, menjadi buruh koret di peladangan lada.
Pengikut Abdullah Sungkar dari Ngruki, Jawa Tengah yang melarikan diri ke
Lampung lantaran dikejar-kejar aparat ini, tak banyak mempedulikan Warsidi,
karena sejak awal pertemuannya tidak ada tanda-tanda kecocokan dalam hati.
Meskipun demikian, hubungan mereka berlanjut hingga ke Cihideung, rumah
keluarga Jayus. Suryadi dipercaya membuat genteng di perusahaan Jayus.
Sedangkan Warsidi bertugas memakmurkan musala Jayus, sambil merancang
cita-citanya untuk mendirikan sebuah perkampungan muslirn yang digagas
Darsono Cs di J akarta.
Renik pernik seperti itulah yang membuat Suryadi nyaman tinggal di Cihideung
bersama tokoh Warsidi dan segera memutuskan pergi, setahun sebelum tragedi
meletus.
Pada awalnya, Warsidi di mata Arifin bin Karyan (44 th.), hanyalah manusia
biasa yang tak banyak kelebihannya. Namun semakin lama bersama Warsidi, la
tak bisa tidak mengagumi tokoh langka ini. Bertambah hari, Arifin semakin
betah di kompleks Cihideung itu. Hatinya menjadi merasa tenteram, setelah
lama gelisah tak menentu, saat sebelum kenal Warsidi. Di Talangsari inilah
Arifin menemukan kehidupannya meskipun akhimya harus kehilangan seluruh
keluarganya.
Arifin bersama istri dan dua anaknya, serta satu sepupunya, berangkat dari
Tanjung Priok Jakarta, menuju Lampung. Selain ingin meningkatkan harkatnya,
ia juga berkeinginan mencari ketenteraman untuk menjalankan perintah gama.
Di Lampung, dia disambut dengan suka cita oleh jamaah lain yang datang lebih
dulu dari dirinya. Kesan seperti itulah yang hingga kini masih terasa. Saat
itu, seorang yang bemama Warsidi memperkenalkan diri sebagai pemimpin
pengajian. Kata Arifin, Warsidi terkesan sebagai sosok yang sederhana, penuh
perhatian dan tanggung jawab. Istri Warsidi, setiap pagi selalu mendatangi
jamaah dan menanyakan apakah segala kebutuhan untuk hari ini sudah
tercukupi, misalnya beras dan lain-lain.
Bila waktu makan, anak-anak harus makan terlebih dulu, selanjutnya para ibu
dan kemudian disusul para bapak. Warsidi selalu makan paling belakang
setelah semua jamaah selesai. Demikianlah cerita Arifin bin Karyan yang
sempat hidup beberapa bulan bersama komunitas Warsidi.
Ada pro dan kontra, menyoal Warsidi. Ada simpati dan caci maki. Pelangi
kehidupan Warsidi menyisakan kenangan bagi banyak orang, terutama pengikut
setianya. Sosok Warsidi menjadikan ilham bagi para petualang. Hanya
petualang yang tak membiarkan hatinya kosong melompong dari cahaya ilahi,
yang menang. Selebihnya, hanya petualang-petualang yang akan menjadi
pecundang.
KETIKA buku ini disusun, ada kabar yang menyatakan, di kawasan Gunung Balak
kini dalam keadaan tidak aman. Kelaparan dan kemiskinan melanda Lampung
Tengah, menjadikan penduduknya dicekam ketakutan begal, perampokan, dan
penjarahan. Padahal di daerah ini, nara sumber buku Geger Talangsari hendak
diambil. Kabar lain juga menyatakan, masyarakat setempat tidak mau bicara
pada pihak yang dicurigai akan menjual Talangsari melalui berbagai LSM, yang
kabarnya sering beroperasi di wilayah Talangsari.
Tonil tentang Warsidi mengisahkan banyak hal yang tak mudah dicerna oleh
masyarakat desa. Teka-teki kehidupannya yang telah menyusahkan banyak orang
masih misteri. Apa yang selama ini mencuat di media massa, soal Warsidi dan
Talangsari, masih merupakan wacana yang belum teruji, apalagi terbukti.
SUKIDI
Mantan Kepala Dukuh Talangsari III. Kini, sesepuh .masyarakat di wilayahnya.
SUKIDI tentu tidak mebayangkan, kelak namanya bakal dikenal orang dan
dicatat dalam lembaran sejarah di negeri ini. Petani asal Banyuwangi, Jawa
Timur ini, berada di Lampung sudah sejak 1972. Kala itu cita-citanya cuma
satu, hidup mempunyai lahan sendiri, sesuatu yang sangat sulit ia peroleh
bila tetap tinggal di kampung halamannya, Banyuwangi. Pria pekerja keras
seperti Sukidi memang bukan pemimpi. Sebab, selama hampir 28 tahun di Tanah
Lampung, kini ia memiliki 1,5 hektar lahan pekarangan untuk rumah dan 1,5
hektar lainnya untuk sawah dan ladang perkebunannya.
Makmur? Tentu saja belum. Tetapi, untuk ukuran masyarakat dusun sekecil itu,
cukup terhormat. Buktinya, setelah belasan tahun didaulat menjadi kepala
Dusun, kini ia tetap dijadikan sesepuh. Dijadikan tempat berlabuh dan tempat
mengadu untuk berbagai urusan kampung.
Gegeran orang-orang kecil ini sungguh tak disangka akan menjadi besar dan
meluas. Dari masalah kecil itu, temyata bisa mengakibatkan puluhan nyawa
melayang, malah jeritan mereka berkumandang hingga ke negeri seberang.
Sukidi, orang kecil yang hidup di dusun kecil ini pun ikut kondang. Pria 48
tahun inilah narasumber utama yang pantas dijadikan referensi, ihwal
petualangan Warsidi. Dialah orang pertama sebagai pamong, yang mendapat
perlakuan sangat tidak hormat dari imam rnisterius, pencipta ontran-ontran
Lampung Tengah, II tahun silam.
kegiatannya. Saya kenal baik dengan keluarga Jayus karena memang sama-sama
dari Jawa.
Setelah peristiwa yang menggegerkan dunia itu rampung, kini aparat dituduh
melanggar HAM oleh beberapa LSM. Bagaimana itu?
.
Jelas menurut saya itu tidak adil dan malah terbalik. Yang melanggar HAM itu
bukan aparat, tetapi Warsidi dan pendukungnya itu. Yang dibunuh duluan
aparat negara, namanya Soetiman. Siapa pun dia, Soetiman itu sah sebagai
aparat negara. Lalu atasan Soetiman merasa bertanggung jawab. Mendengar anak
buahnya dibunuh dan mayatnya disandera, ia segera bertindak ingin mengambil
jenazah. Namun, dia dihalangi, malah diperangi dan terjadi pertempuran. Apa
itu salah? Jadi kebelinger kalau mereka itu mau memperkarakan aparat. Lalu
bagaimana dengan Pratu Budi Waluyo, Serma Sudargo, Serda Arifin Sembiring,
Lurah Santoso Arifin yang mereka bunuh dengan kejam di Gunung Balak,
Sidoredjo itu ? Wah, jelas itu nggak bisa. Seluruh warga saya pasti tidak
senang dengan itu dan mereka pasti siap memberi keterangan. Apalagi setelah
mereka merasa menjadi korban keganasan Warsidi. Masyarakat merasa dirugikan,
diresahkan dan derita itu masih dirasakan sampai sekarang. Karni seharusnya
yang berhak menuntut karena karni dirugikan dan dikorbankan.
SURYADI
la mengaku pengikut setia Abdullah Sungkal: Beberapa tahun bersama Warsidi,
kedamaiannya hilang. la segera hengkang, meninggalkan Warsidi setahun
sebelum ditumpas Pemerintah.
Da'i asal Solo ini terkesan serba ringan, terutama ringan bicara, ringan
senyum, bahkan mungkin ringan tubuhnya. Jalannya cepat, berjingkat-jingkat,
seperti mengejar yang pemah hilang. Sekalipun ringan bicara, orang lain tak
mudah menebak apa yang ada dalam pikirannya. Karena pria 49 tahun ini mampu
mengatakan "tidak", sekalipun dalam hatinya berkata "ya".
Inilah yang membedakan Suryadi dan KH. Abdullah Sungkar, yang serba
blak-blakan, mengatakan apa adanya. Bila menurutnya seseorang telah berbuat
zalim, tak boleh dikatakan selain itu. Termasuk Soeharto, tatkala masih
berkuasa sekalipun. KH. Abdullah Sungkar ialah perintis pengajian Usrohdi
Desa Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Dan Suryadi berguru kepadanya, walaupun
sekali lagi, dia mampu mengatakan tidak.
rumah Thoha. Di sana sudah ada Budiman. Bersama Budiman inilah saya ke
Lampung, menuju rumah Hassan Tito di Braja Dewa. Lurah Braja Dewa saat itu
bemama Ibu Sakeh, seorang wanita yang dinikahi Roja'i. Roja'i adalah seorang
anggota NII versi Ajengan Masduki yang sudah berbaikan dengan gubernur NII
Lampung yang bemama Zaenal Arifin. Saat itu yang menjadi camat untuk Way
Jepara ialah Warsidi.
Sebegitu jauh dengan Warsidi, apa yang Anda ketahui tentang ajaran Warsidi?
Warsidi tidak mengajarkan sesuatu, tetapi pandangannya, menurut saya, sangat
bahaya. Suatu hari, dia mengatakan kepada saya, tentang "kalimah toyibah "
Laa illaha ilallah". Dia mengartikan, Laa illah itu sama dengan tidak ada
Allah. Orang yang tidak percaya kepada Allah itu artinya kosong, tidak
bertuhan, sama dengan PKI. Sedangkan ilallah itu sama dengan mengenal Allah,
artinya kaffah. Jadi kalau mau mengenal Allah, orang harus kosong dulu,
harus kosong dulu, baru diisi Allah artinya baru menjadl Islam kaffah. "Kudu
nyebut PKI disik, baru mengko biso dadi Islam", begitu kata Warsidi. Kalau
ini diceritakan pada orang yang tidak ngerti agama, pasti berbahaya.
Disumpah sampai akherat pun, ini pasti tidak benar.
Marsudi
Kakak kandung Warsidi. Selalu mengaku satu- satunya algojo yang menebas
leher Soetiman hingga tewas. Bangga?
SETELAH sekian lama Peristiwa Talangsari berlau, kini Marsudi sudah berusia
65 tahun. Pria berkulit pucat, berwajah keriput ini tampak tak seseram
tindakannya ketika membunuh Soetiman tanpa rasa dosa, sebelas tahun lalu. Di
sudut matanya, masih menyisakan air mata berkaca-kaca, seakan menyimpan
sejarah panjang, hidupnya yang kian muram. Tetapi di bibimya yang tipis,
bicaranya masih ringan seperti tak punya beban. Itu sebabnya suaranya tetap
lantang ketika diajak bicara soal masa lalunya, soal pemerintah, soal agama
bahkan soal Warsidi, adik kandung yang ia banggakan.
Marsudi, alias Pak Su, bin Marto Pawiro, membeberkan perbuatannya itu,
tuntas tanpa hijab di depan pengadilan. Kepada Majelis Hakim, Marsudi tak
tunjukkan rasa sesal apalagi rasa bersalah. Kepada Lilis, kakak kandung
Warsidi yang dijerat pasal 110 (1) jo 107 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 KUHP itu
juga menceritakan kisah hidupnya, tuntas dan gamblang.
Tapi, banyak orang yang mengatakan dia sering menghina pemerintah. Bagaimana
itu?
Memang banyak orang salah kaprah, bicara keras katanya jelek. Warsidi itu
tidak punya salah apa-apa. Dia hanya ingin menegakkan agama berdasarkan
Quran dan Hadis warisan Rasul. Itu saja. Jadi, sama sekali nggak nyimpang.
Sejak mulai dari Pak Anwaruddin ya begitu. Warsidi dan saya itu penerus Pak
Anwar yang. sudah pecah dengan pemerintah, sejak dulu. Oleh sebab itu,
ketika saya ditanya hakim soal Pancasila, saya jawab: Pancasila itu batal.
Sebab, gaweane menungso. Bayar pajak juga batal, di Islam tidak ada pajak.
Yang ada zakat, infak, dan sodaqoh. Soal pemerintah, saya katakan, pamong
lebih jahat daripada garong. Sebab, kalau garong, hanya jahat pada orang
kaya. Tapi pamong jahatnya kepada siapa saja, termasuk jahat kepada orang
miskin. Ketika hakim menawarkan pembela, saya jawab: " Allah dan Rasul akan
menemani dan membela saya'. Akhimya, hakim mengatakan, saya tidak dihukum
lama, cuma seumur hidup. Dia bertanya, apa kamu sanggup? Saya katakan, "Dua
kali seumur hidup, saya sanggup. Karena itu hanya sebentar".
Fathonah, mendapat tiga anak: Chiril Anam, Ikhya' , dan Nurhidayat. Lalu
kami dicerai oleh orang tuannya karena tidak senang saya ikut ngaji seperti
ini, apalagi setelah tahu saya ngaji di tempat Anwaruddin. Terpaksa saya
lepas meskipun masih saling mencintai. Istri kedua bernama Juminah punya 4
anak. Juminah inilah yang saya ajak ke Cihideung bersama Warsidi. Waktu
kejadian, Juminah mati bersama dua anak saya. Yang hidup tinggal dua: Subur
dan Surip.
Bagaimana cerita tentang Kiai Anwaruddin, guru ngaji yang Bapak sebut tadi?
Kiai Anwaruddin itu memang guru saya dan juga guru Warsidi. Ketemunya di
Masjid Batanghari, Metro, melalui kakak ipar saya, Zainuddin. Dasarnya saya
dan Warsidi sudah mengagumi Kiai yang punya wawasan luas itu. Sayangnya,
Kiai itu bentrok dengan masyarakat di sekitar Masjid, kemudian
berpindah-pindah tempat. Setahun kemudian Kiai Anwar meninggal dunia.
Istrinya dikawin Warsidi. Tidak lama, Warsidi ada masalah dengan masyarakat,
dia pindah ke Kotabumi dan saya kembali ke Metro. Sampai akhimya Warsidi
menemukan tempat baru di Cihideung. Kemudian saya bersama Warsidi membangun
tempat itu, sampai terjadi peristiwa.
ACHMAD SARIKUN
Dipercaya Warsidi, untuk membangun markas di Gedung Wani, Lampung Tengah.
Kabarnya, masyarakat setempat yang sedang marah sudah lama curiga terhadap
Sarikun (pengikut setia "Warsidi) yang tiba-tiba berperilaku aneh. Misalnya,
Di Gedung Wani inilah Achrnad Sarikun (60 th.) menetap menjalani masa
tuanya, selepas dari rumah tahanan Nusakambangan. Berikut wawancaranya.
Kenapa memilih datang ke Warsidi, kok bukan ke tempat lain, pondok pesantren
misalnya ?
Bukan soal pesantren. Saya ingin ngaji, ketempatnya di sana. Saya pikir,
yang namanya ngaji ya sama saja. Karena saya anggap baik, maka saya mengajak
istri dan keluarga saya ke sana.
Lalu ada kejadian itu. Saya sungguh tidak tahu, kalau akan terjadi peristiwa
yang menyedihkan itu. Mungkin saya tidak akan datang ke sana.
Katanya Anda termasuk yang dipercaya Warsidi untuk membangun markas Gedung
Wani ?
Sebenarnya istilah markas itu tidak ada. Itu bikinan wartawan saja. Lagi
pula yang kami bangun itu untuk musala. Tetapi, memang teman-teman saya yang
dari Cihideung bila hendak ke sini, ya inilah tempat mereka. Termasuk tempat
untuk menginap bagi mereka yang sering datang kesini, mengunjungi saya.
Mungkin karena saya dianggap lebih tua dari mereka, jadi sering dikunjungi.
Hubungan saling kunjung seperti inilah yang membuat saya senang dan merasa
terhormat. Pergaulan mereka kompak dan saling peduli dengan sesama teman.
Perilaku seperti ini tidak saya jumpai di luar kelompok Warsidi.
menyangka situasinya menjadi cepat berubah. Kejadian itu kok saya lihat
seperti kecelakaan.
Sekarang aparat dituduh bersalah oleh kelompok tertentu. Apa komentar Bapak?
Kalau saya, tidak mau menuduh dan tidak mau mengatakan salah karena mereka
melaksanakan tugas. Sekarang kan sudah terjadi islah, apalagi yang
dipersoalkan.
Alasannya apa ?
Ya alasannya, ajaran Islarn itu tidak ada dendarn. Itu kalau saya, yang lain
saya tidak tahu. Karena kita manusia bagaimana pun tetap ada salahnya. Yang
keliru dibetulkan, yang salah dimaafkan, ya sudah. Kalau saya begitu.
FADHILLAH
Punya peran penting pada saat huru-hlira Lampung Tengah. Dialah panglima
perang GPK Warsidi yang lerhasil membuat " keos ", daerah di ujung selatan
pulau Sumatera ini.
pengajian seluas 1,5 hektar, wakaf dari Pak Jayus. Selain itu, saya juga
punya tugas membantu Pak Sarikun di Gedung Wani, membangun bedeng untuk
musala. Bedeng Gedung Wani itulah yang akhimya dibakar oleh masyarakat.
Kalau misalnya tahanan masih ada di Koramil, apa yang Anda lakukan ?
Rencananya, akan saya minta baik-baik. Kalau tidak bisa, saya rebut dengan
kekerasan. Pokoknya harus direbut. Tetapi karena mereka tidak ada di sana,
kami putuskan untuk mencarinya ke kota. Sebelum berangkat ke Korem Lampung,
kami sepakat singgah ke rumah Pak Zamzuri di Sidoredjo untuk mengatur
siasat. Kira-kira pukul, dua siang, sebelum kami berangkat, datang utusan
dari Cihideung, Beny dan Sholeh. Dari mereka, saya tahu bahwa di Pondok
telah terjadi clash. Saya cepat kembali, sampai di sana sekitar pukul empat
sore. Suasana sepi dan sangat tegang, mayat Soetiman kemudian kami kubur.
Kami mengadakan rapat, Warsidi memutuskan supaya tidak lagi konsentrasi pada
ke-5 orang yang ditahan itu. Strategi diubah agar diadakan penyerangan di
pos-pos komando ABRI. Intinya kami harus membuat kerusuhan dan teror di
seluruh Lampung supaya konsentrasi ABRI tidak memusat ke Cihideung.
Pertimbangannya, karena sudah membunuh ABRI, maka pasti akan ada penyerangan
ke kompleks. Sebab itu, teror Lampung harus dibuat.
Dibunuh, caranya ?
Teman-teman memegang dari belakang, Lalu saya tusuk perut dan dadanya sampai
rnati. Mayatnya kami tinggal di dekat kebon sawit di Wrekan. Karena sopimya
lari, kendaraan disetir teman saya. Sampai di Tanjung Karang, ia mengeluh
setirnya tidak enak. Ketika ada Polisi menghadang, saya keluarkan golok,
malah akan kami tabrak. Tetapi, Polisi mungkin ngeri, akhirnya minggir. Kami
melanjutkan perjalanan untuk membakar kantor Lampung Pos. Saya lempar bom
Molotov,untung tidak rneledak.
Bagaimana bisa masuk, sedangkan saat itu, Cihideung ditutup bahkan dijaga
ketat ?
Di lokasi malam itu, saya tidak melihat seorang pun penjaga ada disana. Saya
baru tahu bahwa sebenarnya waktu itu ada banyak penjaga. Setelah saya di
Korem, tentara-tentara di Korem berkata: "Oh, jadi yang datang malam-malam
itu. kamu. Saya tahu, tapi saya tidak mau menembak," katanya. Malam, ketika
saya datang memang dalam keadaan hujan deras, licin, dan gelap. Air kali
yang biasa saya gunakan mandi, meluap, dan banjir. Saya lelah dan tertidur
di puing-puing bekas rumah yang terbakar. Sebenarnya saya sudah tahu situasi
Cihideung dari keluarga Pak Sarikun ketika saya mampir.ke Gedung Wani
sebelum masuk Cihideung. Tetapi, saya penasaran ingin membuktikan sendiri.
Kira-kira pukul 05.00 pagi, saya bangun dan menyusur kali yang menuju arah
Pakuan Aji. Niatnya hendak ke Jakarta. Sampai di
Pakuan Aji, saya ditangkap masyarakat, diserahkan ke aparat setelah mereka
menghajar saya.
***
SUDARSONO
Mengaku sebagai penggagas terciptanya panah, beracun bagi kelompok gerakan
Warsidi 1989. Dia juga salah seorang pemimpin Jamaah Mujahiddin Fisabillah,
yang mengilhami gagasan lahirnya "Perkampungan Muslim" di Lampung.
Masih ada satu lagi gagasan Darsono, yang membuatnya dikenal sebagai
Tentu saja, pria penuh semangat ini tak menyangka kelak gagasannya
membuahkan sesuatu yang tak pernah, ia kehendaki, menyusahkan banyak orang,
menyakitkan banyak pihak. Ternyata, buah karya tak selalu berbuah manis.
"Mas" Darsono, inilah contohnya.
Tapi ada yang mempersoalkan Islah itu, misalnya Nurhidayat. Komentar Anda ?
Saya sangat menyesalkan sikap dan tindakan Nurhidayat, yang membuat friksi
dan fitnah yang dampaknya sangat memalukan. Fitnah yang berkembang menyebut,
seakan-akan teman-teman telah terbeli, padahal Nurhidayat sendiri yang
paling banyak memakan uang dengan menjual kasus Lampung itu. Friksi ini
telah dimanfaatkan pula oleh beberapa LSM untuk mencari keuntungan sendiri.
Misalnya, Komite Smalam pimpinan Fikri Yasin dan LSM pimpinan Yopi Lasut
yang menggebu-gebu mencampuri kasus Lampung. Padahal pada waktu di penjara,
ia dan kawan-kawan sama sekali tidak menyuarakan hak mereka, apalagi memberi
bantuan. Yang ia bantu justru orang- orang PKl, Timor Timur, lrian Jaya,
PRD, dan seputar kelompok itu saja.
***
ISMED INONU
SEBELAS tahun lalu, Ismed Inonu masih menjadi tukang ojek yang sering
mengantar jamaah Warsidi ke lokasi Cihideung. Tetapi, kini menjadi Kepala
Desa Pakuan Aji, suatu daerah yang masih berbatasan langsung dengan
Cihideung Talangsari III, tempat Warsidi besama kelompoknya menghimpun
kekuatan melawan pemerintah.
Untuk mencapai markas Warsidi, saat itu jarak paling dekat adalah lewat
jalur Pakuan Aji. Bila ditempuh dengan ojek sepeda motor hanya sekitar 10
menit lamanya. Oleh sebab itu, jamaah yang hendak ke Cihideung lebih memilih
jalur Pakuan Aji, meskipun ada beberapa jalur lain yang juga bisa
menghubungkan markas Warsidi. Pria 42 tahun ini, asli Pakuan Aji. Kabarnya,
ia termasuk salah seorang yang tahu banyak soal tokoh kontroversial itu.
Berikut penuturannya.
Dia bilang, istrinya lagi hamil tua. Terpaksa berangkat, karena perintah
tugas, katanya.
***
PASANTREN Roudhatul Hidayah ialah salah satu pondok yang secara tidak
langsung terimbas dampak kegiatan Warsidi. Lolongan Warsidi ternyata
terdengar hingga radius 30 km, di mana lembaga pendidikan Islam ini berada.
Ketika itu Kiai Muhammad Ichsan merasa terusik, karena Warsidi mengirim
orang-orangnya untuk menghentikan ritual-ritual yang biasa dilakukan di
pesantennya. Tahlilan dan juga mauludan, misalnya, mereka minta agar tidak
lagi dilakukan. Alasannya, acara seperti itu tidak ada dalam Islam.
Perbuatan kiai pondok ini dinilai mengada-ada dan hukumnya bithah dholalah.
Karuan saja kiai NU, penganut tarekat Qodiriyah Nahsyabandiyah ini berkerut
dahinya. Semenjak di pesantren hingga setua itu belum menemukan dalil yang
melarang tahlilan, apalagi yang menyebut bit'ah dholalah. Yang dia temukan
justru sebaliknya. Bila tahlil diterjemahkan sebagai suatu rangkaian zikir,
maka bukan saja tuntunan Rasul, malahan perintah Allah.
Mati ?
Nggak mati. Bisa melarikan diri, tetapi akhirnya motornya dirampas oleh
kelompok itu dan dibawa lari ke hutan. Jadi, gerakan Warsidi sudah bukan di
Talangsari saja, malah sudah meluas sampai ke Sidoredjo. Di sana bikin
gegeran, ramai sekali. Satu minggu kemudian masyarakat menemukan motor
tersebut di hutan. Nah, orang yang punya motor kemudian mendapat fitnah
bahwa dia termasuk gerombolan Warsidi. Ditangkap, lalu saya bantu
mengeluarkannya. Orang itu bernama Husni warga NU, di daerah sini.
Terus ?
Saya mendirikan majelis taklim ibu-ibu. Yang pertama ada 3 orang ibu-ibu,
lama-lama .bertambah banyak. Alhamdulillah. Setelah sekian tahun, ada
hasilnya. Masyarakat bertambah baik. Kegiatan keagamaan mereka jalankan,
tetapi kemudian muncul kelompok Warsidi itu.
bukan sebaliknya.
Apa Kiai sudah tahu, kini ada pihak-pihak yang hendak memperkarakan aparat
keamanan ?
Saya sudah baca berita-berita di surat kabar. Dan saya sangat tidak cocok
dengan berita-berita seperti itu. Saya sanggup menjadi saksi kalau
diperlukan. Saya sudah ngecek di lapangan. Seluruh orang Lampung, terutama
masyarakat sekitar Talangsari dan masyarakat Pondok Pesantren sudah siap
menjadi pembela aparat keamanan. Kami siap mengajukan bukti-bukti bahwa
Warsidi itu menyengsarakan rakyat, mengadakan perlawanan dan pemberontakan.
***
Kini setelah 11 tahun, dalam ingatan pemilik 2 pesantren ini, serasa baru
kemarin. Masih terngiang di telinganya mendengar nyanyian anak-anak kecil
"ayo bikin panah, untuk membunuh kafir", ketika Marzuki melintas di hadapan
anak-anak itu, pada suatu ketika di tahun 1989.
Kiai Marzuki, mengesankan seorang ulama yang tangkas berpikir dan cerdas
berbicara. Yang tersenyum bukan cuma bibirnya, namun sorot matanya juga
seakan memancarkan senyuman. Perutnya tipis mengangkat bahunya yang bidang.
Seperti lukisan spiritual seorang tokoh yang lebih mementingkan luasnya
hati, ketimbang besamya waduk.
Ketika ditemui di rumahnya, 5 km. dari sarang Warsidi, raut wajah Kiai
Marzuki, masih menyiratkan kenangan lama.
Berapa lama Pak Kiai pernah bersinggungan dengan Warsidi dan kelompoknya ?
Sebelum ada Warsidi, pengajian saya sudah sampai di Cihideung dan lancar.
Mereka datang dan ikut bergabung. Ketika saya menerangkan hukum wajib,
mereka protes dan mengatakan, pengajian saya keluar dari hukum Islam.
Menurut mereka berjamaah itu wajib. Sedangkan saya mengatakan, tidak. Sebab
yang wajib itu sholatnya, bukan jamaahnya. Sejak itu, kami berpisah.
Saat pertama berkenalan dengan Warsidi, apa kesan Bapak. Adakah ciri-ciri
keulamaannya ?
Sepengetahuan saya, ilmu agamanya masih dangkal. Terutama dalam penguasaan
Alquran, termasuk cara membacanya. Kesan saya, Warsidi itu termasuk tipe
orang-orang yang hanya bermodal nekad.
Kini banyak LSM yang bergentayangan menyoal Talangsari. Apa pendapat Kiai ?
Kalau ingin mendapat penghormatan dari masyarakat, mereka harus bicara
jujur. Tidak mengatakan benar jika tahu ada kesalahan. Saya kira,
orang-orang yang mengatasnamakan LSM itu orang-orang yang kwalitasnya masih
rendah. Itulah sebabnya gerakan mereka sering di luar nalar, ngawur dan
tidak bermutu.
Ada pendapat, Warsidi Cs itu patut dibela karena mereka teraniaya. Menurut
Kiai bagaimana ?
Kalau yang ngomong itu orang-orang di Lampung Kota atau malah di Jakarta
sana sebaiknya jangan dianggap. Mereka umumnya tidak tahu masalah. Mereka
hanya ngarang. Cari uang tidak gampang. Dengan mengatasnamakan LSM, lalu
berteriak, mereka bisa gampang mendapatkan uang.
Pesan Kiai ?
Sekali lagi saya ingin menyatakan, Warsidi dan kelompoknya itu tidak akur
dengan masyarakat setempat. Mereka seperti minyak dan air. Kehadiran mereka
tidak dikehendaki. Selain menyakiti hati, mereka juga mengancam dan
menakut-nakuti rakyat. Bahkan mereka juga menipu. Berdalih dagang genteng,
tetapi setelah uang diserahkan, genteng tidak dikirim. Saya, salah satunya
yang kena tipu tersebut.
***
A.M. Hendropriyono
Mantan Komandan KOREM 043 Garuda Hitam Lampung, kena serimpung. Dicerca oleh
para pencari untung. Tetapi didukung orang sekampung, hingga ke ujung dusun.
ORANG boleh berang, malah boleh tidak percaya. Tetapi, ini kisah nyata
Hendropriyono, keloro-loro, lari tergopoh-gopoh ke ujung Dusun Talangsari,
mencari anak buah yang mati digorok Warsidi. Padahal, dia bisa saja menjadi
perkutut yang tinggal manggung di sangkar sambil menghitung hari. Situasi
gawat, minggat. Situasi untung, bergabung. Dijamin aman dan pasti nyaman.
Tanggung jawab pun menjadi ringan, malah mungkin bisa cuci tangan.
Kini, Hendro tak bisa menghindar dan pasti juga tak nyaman. Setelah sebelas
tahun peristiwa Lampung, ia diserimpung oleh orang-orang yang mencari
untung. Achmad Fauzi bin Isnan, misalnya. Seseorang yang oleh Sudarsono,
dinilai tidak banyak tahu soal Lampung, tetapi paling berbusa bibirnya bila
menyoal Lampung, tak henti-henti mencari peluang agar mendapat "proyek" dari
Hendro. Ketika suatu hari, salah seorang sahabatnya bertanya tentang
kegiatannya, Fauzi dengan bangga, menjawab: "Sekarang sedang mengerjakan
proyek, menginjak kaki Hendro", kata Fauzi sambil mengulum senyum.
***
desa Rajabasa Lama kecamatan Way Jepara, pada saat melakukan kunjungan di
suatu lokasi, bersama rombongan Camat Way Jepara. Tujuan kunjungan ialah
untuk menemui kelompok yang menurut laporan warga setempat, dipimpin oleh
seorang yang bemama WARSIDI, yang selama 2 ( dua ) bulan terakhir, telah
meresahkan masyarakat karena kehidupannya yang eksklusif dan melakukan
kegiatan-kegiatan tanpa komunikasi sosial yang baik dengan warga desa. Sejak
kedatangan "orang-orang asing", rombongan demi rombongan dari pulau Jawa,
menimbulkan konflik-konflik dengan rakyat setempat.
Semakin lama bentuk konflik makin membesar dan memuncak. Lebih-lebih setelah
Kepala Dusun SUKIDI didatangi 5 (lima) orang tak dikenal dengan membawa
senjata parang dan golok, mengaku kelompok Warsidi mengancam hendak membunuh
Sukidi. Warga Talangsari III tidak bisa menerima perlakuan demikian karena
Sukidi ialah seorang tokoh pilihan rakyat. Masyarakat desa Rajabasa Lama
bersama masyarakat Pakuan Aji, desa tetangga terdekat, mulai bersiap-siap,
untuk mengbadapi segala kemungkinan, sambil melaporkan dan meminta aparat
setempat untuk mengambil langkah-langkah penertiban.
Panggilan beberapa kali yang dilakukan Kepa. Desa Amir Puspa Mega, atasan
Sukidi, sampai kedatangan Camat, sebagai umaro mengbadap "ulama" Warsidi,
tidak membuahkan hasil. Sebingga apa dan siapa kelompok tanpa legalitas dan
pernaskahan itu pun tetap kabur, tidak jelas. Namun demikian, para
penanggung jawab daerah tetap sabar dan mengikuti kehendak Warsidi yang
katanya berpedoman kepada Hadis Nabi yaitu: "Sejelek-jeleknya ulama dan
sebaik-baiknya umara, umara lah yang barus menghadap ulama". Maka
berangkatlah Camat Way Jepara Drs. Zulkifli ke tempat Warsidi untuk yang
kedua kali. Namun, kali ini dengan rombongan pejabat daerah lainnya yang
terdiri atas Kasdim Mayor Oloan Sinaga, Kapolsek, Kepala Desa Pakuan Aji,
Kepala Dusun Talangsari III dan beberapa orang lain yang semuanya pejabat
penanggung jawab daerah, ditambah sopir-sopir. Mereka mengendarai dua , buah
jeep dan sepeda-sepeda motor mendekati lokasi Warsidi di Cihideung.
Rombongan diserbu dengan parang dan golok oleh ratusan "jamaah" serta
hamburan anak-anak panah yang dilesatkan dari berbagai penjuru.
Dilanjutkan ke Pangdam
Laporan dari Mayor Abdul Azis ini saya lanjutkan ke Pangdam II Sriwijaya,
Mayjen TNI R.Sunardi, yang sedang berada di Bandar Lampung, dalam rangka
peresmian lapangan tenis baru untuk Korem GATAM.
Ketika para pemuka masyarakat dan jajaran apa keamanan sedang melakukan
pertemuan koordinasi kediaman Kepala Desa Rajabasa Lama, diterima kabar dari
Kasrem Letkol Purbani bahwa Kapten Soetiman telah tewas dibunuh dan
jenazahnya di tangan Warsidi. Diterima berita pula bahwa Pratu Budi Waluyo
juga telah dibunuh oleh kelompok Warsidi yang lain di Sidorejo bersama
seorang penumpang sipil, di suatu kendaraan umum. Kelompok itu merampas
mobil colt "Wasis" angkutan umum dan membawa kabur kendaraan tersebut
setelah sopirnya bernama Sabrawi serta kernetnya yang bernama Matsari
melarikan diri.
Atas semua kejadian tersebut jelas terlihat bahwa kelompok Warsidi bukan
suatu kumpulan spiritual apalagi suatu jamaah pengajian Islam yang luhur,
karena mereka telah melakukan keonaran dengan aksi-aksi kriminal yang
bersasaran tak terbatas.
Aksi-aksi onar yang bersasaran tak terbatas bisa disebut teror dan istilah
ini semakin sesuai untuk semua perbuatan yang mereka lakukan kemudian yaitu
ketika pada keesokan harinya tanggal 7 Februari 1989, terjadi lagi
pembunuhan akibat bentrokan fisik terhadap Kepala Desa Sidoredjo (Santoso
Arifin) dan kepala Pos Polisi (Serma Pol Sudargo) dan melukai berat Serda
Pol Arief Sembiring, ketika para petugas itu sedang mengusut perampasan colt
angkutan yang mereka lakukan malam harinya.
Ketika suasana demikian hiruk pikuk dan suara megaphone untuk menghimbau
kelompok Warsidi agar menghentikan perlawanannya dan usaha mengendalikan
gerakan massa menjadi sukar, tiba-tiba bilik-bilik mukiman Warsidi,
terbakar. Pasukan segera bergerak cepat menuju ke arah pondok-pondok
tersebut bersama masyarakat Rajabasa Lama, Talangsari III Pakuan Aji
memadamkan kobaran api dan sekaligus menyelamatkan korban. Namun tidak semua
orang dapat kita selamatkan dari kobaran api karena mereka yang berada di
dalam pondok dilarang keluar dan diancam penjaga dari kelompok mereka
sendiri: "Jangan ada yang keluar dan menyerah kepada kaflr. Kita akanmati
syahid di sini bersama-sama". Sehingga tatkala api mulai menyala, banyak di
antara mereka yang tak berani keluar dari pondok yang terbakar itu. Di
antara mereka yang tertolong adalah seorang perempuan berna Widaningsih yang
diselamatkan bersama-sama dengan beberapa kawannya oleh salah seorang
anggota ABRI yang berjibaku masuk ke dalam api yang tengah mengganas.
Tak seorang pun pengikut Warsidi bisa kita kenali sebab memang semenjak awal
kedatangan mereka, tidak membawa pernaskahan apa-apa. Malah kemudian
diketahui bahwa nama-nama mereka hampir semuanya diganti. Sebagai contoh,
Sugito adalah nama lain dari Fadhillah.
Belakangan, salah seorang bekas rekan Warsidi memberi kesaksian, bahwa yang
membakar pondok-pondok di Cihideung itu ialah pengikut Warsidi sendiri.
Pada bari yang sama rakyat di pasar Metro dibuat gempar, karena sekelompok
anggota Warsidi mengamuk di tempat itu dan menjarah barang-barang dagangan
yang
ada. Serta merta pasar menjadi ditutup beberapa hari kar suasana keamanan
yang mencekam.
Pada bakda Asar hari Kamis itu, sekelompok pengikut Warsidi bersenjata golok
dan celurit, memasuki RS Mardi Waluyo, Metro. Mereka mencari anggota-anggota
ABRI yang dirawat inap di sana. Akan tetepi gagal karena penjagaan di rumah
sakit tersebut telah kita perkuat sebelumnya, sehingga dalam perkelahian
dengan Satpam rumah sakit yang bernama Kadar, salah seorarig dari penyerang
dapat tertangkap.
Tidak semua dari mereka yang berbuat onar Lampung sejak 6 Februari itu dapat
tertangkap. Oleh karena itu, mulai 8 Februari 1989, pengacauan yang mereka
perbuat pun cenderung meluas ke luar dari Cihideung, Talangsari III, dan
dari Sidoredjo. Hal ini terlihat dari aksi-aksi mereka tersebut, yang
semakin beringas sampai ke Metro Ibukota Lampung Tengah. menjarah pasar,
bahkan sampai berani hati untuk memasuki rumah sakit.
Kesimpulan yang diambil saat itu ialah gerakan Warsidi dilakukan oleh
kelompok oknum-oknum jamaah "Negara Islam Indonesia" yang menyempal Garis
perjuangan NII, sebenarnya saat itu telah berbeda jauh dengan strategi
kekerasan yang dalam sejarah terbukti telah menimbulkan korban rakyat,
terutama umat Islam sendiri yang. sangat banyak.
Akibat dari meluasnya aksi kekerasan Warsidi, muncul reaksi pembersihan oleh
rakyat secara semesta di seluruh Propinsi Lampung, sehingga tertangkaplah
Zaenal Arifin yang kemudian menjadi tertuduh sebagai Gubernur NIl (Negara
***
TIBA-TIBA saja, angka menjadi punya makna, ketika segelintir orang rnenyoal
dirinya. Padahal, peristiwanya sendiri telah berlalu hampir sebelas tahun
sudah tatkala Talangsari, Way Jepara, menjerit teraniaya akibat sekelompok
kecil. anak bangsa membuat gara-gara. Warsidi, bersama kelompoknya tak
"menjunjung langit", ketika mereka memijak bumi Talangsari, pada Februari
1989. Masyarakat Talangsari resah, kedamaiannya terkoyak oleh tamu-tamu
misterius yang belum memahami adab. Konflik kecil memuncak tak terkendali.
Peperangan harga diri berobah menjadi perang hidup atau mati. Sejumlah orang
menjadi korban dan sejumlah lainnya menjadi tumbal.
Korban drama Talangsari inilah yang dikais-kais, kembali oleh segelintir
orang, atas nama kelompok tertentu dan untuk kepentingan tertentu pula.
Tetapi, warga masyarakat Talangsari dan sekitarnya sudah hafal dengan
perilaku mereka. Masyarakat tak lagi percaya dengan mereka, malah
menyatakan, pengungkit-ungkit Talangsari itu digambarkan sebagai orang-orang
pencari untung. Menjual Talangsari, untuk kepentingan diri sendiri.
Mereka mulai menghitung dan memunculkan deretan angka 246 orang gerombolan
Warsidi tewas dalam insiden Talangsari, 11 tahun lalu. Temuan versi pencari
untung itu ternyata menjadi masalah karena jumlah yang mereka kuak,
Beberapa pers kita pun mencoba mengangkat isu baru itu. Misalnya Harian
Merdeka, 11 Oktober 1998, menyebut ada 4 pondok terbakar. Tiap pondok dihuni
rata-rata 100 orang: anak-anak, orang dewasa laki-laki serta perempuan, mati
terpanggang. Artinya ada 400 orang, menjadi korban. GATRA, majalah mingguan
22 Agusutus 98, juga mengutip sejumlah angka. Ada 246 penduduk sipil
terbunuh, dalam insiden Talangsari mengiringi robohnya 4 bangunan pondok
yang rata-rata berukuran 6x9 meter, terbakar.
Ribut -ribut soal penguakan angka itulah yang antara lain, menyemangati
penulis buku ini untuk ikut membuktikan sendiri, mencari informasi dan
datang ke lokasi. Di kawasan Gunung Balak, Way Jepara, yang sekarang menjadi
Lampung Timur, ternata banyak hal bisa dikuak. Termasuk menyoal angka. Bukan
sekadar kira-kira atau kata orang, akan tetapi bisa dihitung berdasarkan
logika.
Datang ke Lokasi
Cihideung kini mungkin beda dengan Cihideung masa lalu. Paling tidak,
situasi dan suasananya. Kini yang tampak hanya hamparan ilalang, daunnya
menjurai-jurai seakan mengikuti ke mana angin berlalu. Lepas, tak berbeban.
Di antara lambaian ilalang itu, masih ada satu. atau dua pohon kelapa yang
tersisa. Pohonnya tinggi menjulang ke langit, seakan ingin berlari
meninggalkan bumi yang tak lagi damai, tempat orang bertikai. Ditaksir
usianya sekitar 20 tahun, bahkan bisa lebih. Sehingga segera terbayang saat
gegeran Talangsari terjadi, dialah saksi hidup yang tak mungkin dusta.
Sayang, ia tak bisa bicara.
Di tempat itu mereka menetap ingin membentuk suatu komunitas hidup, sambil
bercita-cita besar, untuk berdirinya suatu perkampungan muslim. Mimpi
Dalam kondisi seperti itu, orang kemudian bertanya, bagaimana posisi mereka
tidur, di mana membuat dapur untuk memasak bagi 100 orang lebih, di setiap
pondoknya. Juga dipertanyakan, bagaimana mereka mendapat bahan makanan bagi
kehidupan 400 orang, tiap hari ? Harap dicatat ini bukan kehidupan darurat,
dalam sebuah perkemahan yang sementara. Tetapi, kehidupan jamaah Warsidi
berada dalam komunitas perkampungan yang relatif menetap.
Eksodus
Ramai-ramai menghitung jamaah Warsidi, tak mungkin bisa melupakan peristiwa
penting tentang eksodus jama'ah, yang tak lagi taat pada imam. Kejadiannya
begitu cepat. Malah sebagian penduduk sempat merasa takut, ketika
serombongan jama'ah keluar melewati perkampungan masyarakat. Mereka mengira
jamaah Warsidi hendak menyerang perkampungan. Peristiwa ini benar-benar tak
terlupakan, karena kisahnya cukup unik. Saat itu, masyarakat melihat ada
serombongan orang-orang Warsidi, menuju ke desa mereka. Masyarakat
bersembunyi di balik bilik atau di semak belukar. Belakangan baru diketahui,
ternyata mereka cuma numpang lewat.
Pada saat itu terdengar suara: "Sudah jangan lagi ikut Warsidi, orang Islam
kok membunuh. Kita ini ingin hidup. Pemerintah kok dilawan". Kata-kata
seperti inilah yang hingga kini masih sering menjadi celoteh masyarakat
Talangsari yang berangsur-angsur membaik kondisi mereka, setelah
bertahun-tahun dicekam ketakutan dan mendapat stigma jahat, gara-gara
peristiwa Warsidi.
Dari Pakuan Aji, juga diperoleh kabar hampir senada. Sehari sebelum
kejadian, ada gerakan eksodus meninggalkan Warsidi. Gerakan ini dilakukan
oleh orang-orang yang protes, karena menyesalkan terjadinya pembunuhan.
Mereka melihat bagaimana Kapten Soetiman yang datang bersama rombongan
diterjang panah dan golok sampai menemui ajal setelah ditebas lehernya oleh
Marsudi. Tak seluruhnya setuju atas tindakan brutal Marsudi. Mereka yang
tidak sepaham, lalu meninggalkan perkampungan impian.
Siapa pun, agaknya tak mungkin bisa menghitung dengan pasti berapakah jumlah
korban gegeran Talangsari. Sehingga ketika ada pihak yang mengklaim sesuatu
jumlah, masyarakat setempat menyatakan,. itu angka dusta. Korban peristiwa
Warsidi masih misteri. Namun ada baiknya biarkan sejumlah angka terus
bergulir dan mengalir. Karena siapa dusta dia akan celaka.
Versi Kontras
Kontras, menggolongkan korban gegeran di Talangsari, Way Jepara Lampung
Tengah, 7 Februari 1989, sebagai orang hilang. Menurut Kontras, berdasarkan
laporan dari ahli waris, ada 29 orang hilang di Talangsari. Mereka, terakhir
terlihat di komplek perkampungan jamaah di Cihideung, Dusun Talangsari III,
Kelurahan Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Tengah.
***
Dua orang saksi mata, berdiri di garis paling depan ketika peristiwa gegeran
Talangsari 1989, berlangsung. Mereka, penduduk sipil warga Pakuan Aji,
menjadi pemandu jalan bagi aparat yang hendak mengambil jenazah Kapten
Soetiman, dari tangan Warsidi.
SAMPAI mati pun peristiwa Talangsari 1989, tak akan terhapus dari
ingatannya. Masih terbayang di benak mereka, kejamnya gerombolan Warsidi
yang tega membantai kelompoknya sendiri, ketika ada yang hendak
menyelamatkan diri dari kobaran api yang menjilat-jilat tubuh kelompok itu.
Jeritan ratap dan tangis dari dalam gubuk bambu itu, meruntuhkan hati Loso
dan Kamarudin, dua orang saksi yang melihat langsung peristiwa sedih, cara
mati suatu kaum yang dibantai saudaranya sendiri.
Loso, kini berusia 60 tahun sedangkan Kamarudin, 30 tahun. Dua warga sipil
dari Desa Pakuan Aji ini, sebelas tahun lalu mendapat tugas dari A. Syamubi,
Kepala Desa Pakuan Aji untuk mendampingi aparat mengambil jenazah Kapten
Soetiman, dari tangan kelompok GPK Warsidi di kompleks Cihideung, Talangsari
III, Way Jepara, Lampung Tengah. Loso menjadi penunjuk jalan bagi regu
Letnan Untung, sedangkan Kamarudin mengikuti regu Letnan Sunamo.
Loso yang hingga kini masih jadi petani, dipercaya karena dia seorang Kepala
Dusun Suka Putra III, menguasai benar kawasan Cihideung di Talangsari III
itu. Dusun Suka Putra III, Desa Pakuan Aji, memang berbatasan langsung
dengan Cihideung. Oleh karena itu, tak heran ia dipilih menjadi penunjuk
jalan bagi aparat yang hendak mengambil jenazah dari kelompok aneh itu.
Tentu saja Loso tak bisa berbuat banyak menghadapi situasi yang demikian
itu. Dari sekian banyak korban yang dibantai oleh kelompok mereka, terdapat
seorang gadis yang berhasil diselamatkan. Dia bernama Toyibah, kabarnya ia
anak kandung Warsidi yang berhasil lolos dari maut. Ketika itu Toyibah
melompat melalui jendela, namun disabet golok dari arah dalam hingga
mengenai telinga dan pundaknya sampai bercucuran darah. Loso
menyelamatkannya dengan cepat dan menyerahkan kepada aparat untuk dikirim ke
Rumah Sakit Abdul Muluk di Bandar Lampung, bersama korban lain dari pihak
aparat yang disambar panah beracunnya kelompok Warsidi.
Kisah sedih Loso pun dialami Kamarudin, seorang yang juga dipercaya untuk
memandu aparat yang hendak mengambil jenazah Kapten Soetiman dari sarang
Warsidi. Kamarudin memandu regu Letnan Sunamo. Kala itu, Kamarudin melihat
langsung bagaimana aksi kelompok Warsidi dengan panah beracunnya, membabi
buta memanahi aparat yang mendekati mereka.
Keganasan mereka ternyata tak hanya kepada aparat. Bila kelompoknya ada yang
hendak melarikan diri, dikejar dan dibantai sebagaimana membantai musuh.
Tentu saja perbuatan seperti itu tak mudah dimengerti, apalagi oleh
Kamarudin yang ketika itu .baru berusia belasan tahun. Tak cuma itu,
Kamarudin juga menyaksikan sebuah pondok berisi anak-anak yang
menjerit-jerit ketakutan, dibakar oleh mereka. Tak ada yang mampu
menyelamatkan kejadian itu karena pintu-pintunya dikunci dan dijaga oleh
mereka, sampai terbakar hangus.
Pada saat proses penulisan buku ini, secara tak diduga datanglah kedua orang
itu: Loso dan Kamarudin, dua orang saksi mata warga Pakuan Aji, yang
terlibat langung di garis depan bersama aparat yang hendak melepaskan
jenazah Kapten Soetiman dari tangan Warsidi.
Mereka menyerahkan dua lembar surat kesaksiannya kepada Kepala Desa Pakuan
Aji, untuk diserahkan kepada penulis.
Dan berikut ini, surat kesaksian mereka.
Attachment Size
surat_kamarudin.gif 95.77 KB
surat_laso.gif 188.59 KB
Dalam dunia mimpi, apa pun bisa terjadi. Yang tak mungkin di dunia nyata,
sangat mungkin baginya. Tak ada yang mustahil bagi dunia pemimpi. Semua
serasa bisa. Semua menjadi mudah
KETIKA dunia pewayangan mengalami peperangan, mereka yang ke medan laga juga
Panah digunakan untuk dilepas pada musuh yang jauh tempatnya, sedangkan
keris digunakan untuk peperangan jarak pendek. Kedua senjata ini terhitung
yang paling sempurna. Ada yang berasal dari sesuatu benda ajaib, misalnya
dan taring Betara Kala. Namun, sebaik-baik senjata adalah yang berasal dari
pemujaan tapa-brata dan pembenan para dewa Umumnya, para dewa memberi hadiah
panah kepada anak keturunan Pandawa, karena Pandawa dikenal sebagai ahli
pertapa dan pemuja. Dari sanalah mereka memperoleh senjata panah dengan
kesaktian yang beranekaragam. Tak jarang beberapa jenis panah memiliki
kesaktian yang melebihi batas. Misalnya, ada panah yang bisa berganti wujud
dan bisa memagut bagaikan paruh burung Ardadeli. Bahkan, ada panah yang bisa
menutup teriknya matahari, mengubah terang benderangnya dunia menjadi gelap
gulita.
Raja dari segala senjata adalah panah cakra Prabu Kresna. la dihormati dan
ditakuti oleh seluruh benda yang bernama senjata. Segala kesaktian tunduk
pada senjata cakra. Tersebutlah dalam sebuah kisah. Tatkala Prabu
Arjunasastra hendak dipanah dengan senjata cakra, maka raja agung
binatoro-sakti madraguna itu keder, takut hingga bertriwikramalah Sang
Prabu, menjadi raksasa titisan Wisnu untuk menandingi kesaktian cakra.
Karena hanya kepada Dewa Wisnu sajalah senjata itu tunduk dan takluk
bagaikan hamba sahaya. Ini menggambarkan bahwa panah bukan sembarang
senjata, apalagi barang mainan.
Malah pada saat perang Baratayuda, panah cakra itu digunakan oleh. Prabu
Kresna untuk menghadang sanghyang surya. Ketika panah dilepas ke angkasa, ia
melesat menembus langit, menutup matahari. Bumi menjadi gonjang-ganjing,
siang menjadi muram, tampak seperti malam.
Tipu muslihat ini digunakan pada waktu Arjuna bersumpah akan mati membakar
diri, bila hari itu tak berhasil membunuh Jayadrata. Karena sumpah itu, maka
Jayadrata disembunyikan Kurawa agar terhindar dari ancaman Arjuna. Namun,
sial bagi Kurawa. Ketika sinar matahari tampak suram, Jayadrata ingin
mengintai matinya Arjuna dari persembunyiannya. Perbuatan Jayadrata ini
diketahui oleh Prabu Kresna. Maka, berkatalah ia kepada Arjuna agar segera
melepas panahnya kepada sang pengintai.
Panah Beracun
Sudarsono, tentu tak ada hubungannya dengan Dursosono, ksatria penuh ceria
yang hidup di dunia bayang-bayang negeri Kurawa, diAstinapura. Darsono,
bahkan juga tak sedang bemimpi ketika ia memutuskan untuk membuat panah,
meskipun kemudian panah buatannya itu bermasalah. Pemuda Jawa, kelahiran
Belawan, Medan ini, baru berusia 26 tahun ketika senjata panah ciptaannya
itu temyata bisa merenggut banyak nyawa. Hingga sekarang, tak sedikit pun ia
menunjukkan rasa sesal apalagi sedih tentang senjata ciptaannya itu. Malah,
justru ia bangga karena merasa bisa menjalankan perintah agama.
Panah Darsono memang agak kurang lazim. Selain bahan dasarnya yang antik,
cuma dari jeruji becak, bentuknya pun unik. Panjangnya tak lebih dari 30 cm.
Pada ujungnya yang lancip diberi pengait dari bahan semacam timah. Ekornya
dijurai-jurai dari tali rafia 7 lembar yang disisir menjadi serabut. Untuk
melontar panah antik ini, Darsono tak kekurangan akal. Cukup dengan cangkang
katapel, dilengkapi sepasang karet elastis yang bisa melar hingga sedepa.
Dari katapel inilah anak panah pembawa maut itu melesat sejauh lebih kurang
200 meter.
Tetapi, panah antik itu tak akan dikenal orang bila tak ada masalah. Istilah
panah beracun tiba-tiba menjadi populer ketika media massa melansir berita
tentang pemberontakan Warsidi, yang menggunakan senjata panah mengandung
racun. Beberapa kalangan sempat meragukan benar tidaknya panah ini beracun.
Sebab, ketika punggung Sertu Yatin dipagut anak panah itu, ternyata tidak
ditemukan racun oleh tim dokter yang mengobatinya.
Namun, Sudarsono, ketika dikonfirmasi tentang ini mengatakan bahwa racun itu
bukan isapan jempol. Dia menceritakan bagaimana jeruji becak itu kemudian
menjadi senjata yang mematikan. Pada awalnya memang tidak terbayang sampai
ke soal racun. Malah, idenya pun sederhana, ia hanya ingin membuat paser.
Tetapi, sahabatnya yang mengaku diri sebagai "BOS" alias " Amir Musafir"
bernama Nurhidayat, ngotot supaya dibentuk menjadi mirip anak panah.
Alex, sabahat Sudarsono yang ada di Tanjung Priok, setelah tahu perkembangan
buru-buru menginformasikan bahwa dirinya bisa mendapatkan racun getah poh.
Menurut Alex, racun getah poh hanya bisa didapatkan melalui ritual khusus
dan hanya orang-orang tertentu yang bisa mengeluarkan racun itu dari
pohonnya.
Mula-mula getah dideres, setelah kering getah tersebut dijadikan bubuk. Dari
bubuk getah poh, ujung panah itu direndam hingga menjadi panah beracun.
Setelah yakin panah sudah memiliki racun, bagian yang mengandung racun
segera diberi selongsong berupa slang plastik kecil untuk melindungi
pemakainya dari sengatan racun getah poh itu. Konon racun ini aslinya untuk
membunuh binatang-binatang jahat pengganggu tanaman, umpamanya babi, badak,
atau gajah.
Kini panah beracun tinggal cerita. Orang boleh menganggap apa saja atau
boleh menjadikan ia apa pun juga. Buah karya Sudarsono, yang ia klaim
sebagai terjemahan dari seruan Rasul yang mulia tentang perintah memanah,
merancak kuda, berolah-silat bahkan berenang, agaknya. bisa menjadi tarbiah
bagi kita ,semua untuk lebih arif dan bijak dalam memahami seruan-seruan
mulia Islam itu.
***
ladang lain belalang, lain orang lain cara bertandang. Itu juga sebabnya
warna-warni kehidupan spiritual sudah lama dilakukan orang. Bukan saja
sekarang, tetapi dari zaman ke zaman.
MENCARI Tuhan adalah keniscayaan. Karena tidak ada sesuatu makhluk pun yang
tidak berasal dari-Nya. Disadari atau diingkari, ditolak atau diterima,
ujung perjalanan makhluk pasti berada di suatu tempat, dari mana asal
pemberangkatannya. Berasal dari Tuhan, kembalinya pun kepada Tuhan jua.
Biasanya, spiritualis seperti ini punya suara paling lantang. Tak ada
kebenaran kalau bukan dirinya atau mungkin kelompoknya. Dialah jago bin
jagonya kebenaran. Kelompok seperti ini umumnya bermasalah. Tidak saja bagi
orang lain, bahkan juga dirinya.
Lampung, tidak hanya kota lada, tetapi juga kota spiritual. Sejarah mencatat
berbagai agama telah lama singgah dan berlabuh di sana. Pengaruh Banten yang
Islami, Sriwijaya yang Hindu, dan Eropa yang Kristiani, telah mewarnai
kehidupan spiritual penduduknya hingga ke pelosok desa. Data yang berhasil
dihimpun menggambarkan bahwa gairah spiritual tumbuh subur di ujung Selatan
Pulau Sumatera itu. Berikut ini daftar nama-namanya.
Attachment Size
spirit00006.gif 194.88 KB
spirit_00005.gif 33.6 KB
spirit_00007.gif 162.72 KB
ISLAM tak pemah memaksa orang, harus hidup menurut cara Islam atau menurut
cara lain. Harus beragama Islam atau memeluk agama lain. Bahkan Islam tak
pernah mengharuskan orang supaya tunduk di bawah pemerintahan Islam
sekalipun. Sebab, "telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah".
Ini mengisyaratkan bahwa Islam tidak disebar dengan cara kekerasan apalagi
paksaan. Islam juga tidak diperkenalkan melalui tajamnya pedang dan derasnya
tumpahan darah.
Akan tetapi, yang terjadi ialah sebaliknya. Opini dunia memutar seolah-olah
Islam disebar dengan cara jorok. Menyerbu, menyerang, dan menghunuskan
pedang kepada semua orang yang tidak mau menerima Islam. Padahal, Islam
"Wahai semua orang Islam, kalian lebih kami cintai daripada orang-orang
Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami. Kalian lebih menepati janji,
mampu bersikap lembut kepada kami, mencegah kesewenangan yang menimpa kami,
dan mau menjaga diri kami. Tapi, orang-orang Romawi itu menindas kami
dan bumi kami".
Mereka menyampaikan isi hatinya kepada orang-orang Islam bahwa dirinya lebih
senang dengan orang-orang Islam daripada kesewenang-wenangan orang-orang
Greek itu. Para penduduk kota dicekam ketakutan dan saling menutup pintu
agar tentara Heraclius tidak menjarah dan menyakitinya.
Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah saw., 14 abad yang lalu, membentuk
Darul Islam atau Negara Madinah. Rasulullah mendatangi para kabilah dan
mereka mendukung dakwah yang dijalankan Rasul. Merekad disebut Anshar,
rakyat yang mendukung perjuangan tanpa ikut berhijrah secara fisik
bersama-sama beliau.
Madinah menjadi Darul Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw.
Beliau menjadi pemimpin kaum muslimin ketika itu. Di bawah kepemimpinan
beliaulah kejayaan manusia, jasmani dan rohani tegak. Banyak kalangan
mengatakan bahwa zaman keemasan manusia pernah ada. Dan itu hanya di zaman
Rasulullah saw. tatkala memimpin umatnya. Kini zaman keemasan seperti itu
tetap didambakan oleh seluruh makhluk yang bernama manusia. Zaman seperti
itu tengah ditunggu kedatangannya dan diyakini oleh banyak pihak akan tegak
kembali. Mereka tengah menunggu tegaknya sunnah Rasul yang II, yakni
datangnya zaman Madani.
Sejarah Indonesia juga pernah mengenal Darul Islam, yaitu gerakan yang
mencita-citakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII), yang dipelopori
Darul Islam telah ditumpas. Pengikutnya pun telah dilibas. Dan terpidananya,
akhirnya diberi amnesti oleh Pemerintah Republik Indonesia, tahun 1962.
DARUL Islam masih ada. Mereka menyebut dirinya Jamaah Dl, sebagai wadah
bekas anggota DI-TII yang telah dilibas dan diberi amnesti tersebut. Mereka
bergerak seperti angin, tak tampak di permukaan, meski selalu ada. Jalur
dakwah tetap sebagai jalur lintasnya. Melalui dakwah itulah aspirasi
tegaknya Negara Islam Indonesia bisa dikumandangkan.
Darul Islam berasal dari kata DAR AL-ISLAM. Artinya, Rumah Islam, Rumah Yang
Damai, Keluarga Islam, Keluarga Yang Damai. Dengan pengertian yang lebih
luas, Darul Islam bisa berarti Kawasan atau Negara Islam.
Tetapi, pengertian Darul Islam secara umum ialah bagian Islam dari dunia
yang di dalamnya, keyakinan dan pelaksanaan syariat Islam serta
peraturan-peraturannya, wajib dijalankan. Lawan Darul Islam ialah Darul
Harb, yang berarti wilayah perang atau dunia kaum kafir yang harus
dimasukkan ke dalam Dar Al- Islam.
Pada masa awal Revolusi Kemerdekaan, para pemimpin Islam tunduk kepada
permufakatan UUD '45 dan Pancasila serta mengakui Republik Indonesia sebagai
satu-satunya negara yang sah. Padahal, di balik itu mereka sesungguhnya
berharap bahwa sesudah kekalahan Belanda dalam perang revolusi, Indonesia
akan diubah menjadi Negara Islam. Mereka yakin bahwa Darul Islam akan lahir
mengingat semua perjuangan dilakukan oleh rakyat Muslim.tetapi, demi
perjuangan gagasan mendirikan negara Islam ditunda dulu. Inilah yang
kemudian menjadi bumerang dan api dalam sekam yang menggerogoti eksistensi
pemerintahan Republik Indonesla.
Unsur lain yang sangat dominan melemahkan DI ialah umat Islam tidak bersatu.
Bahkan, oleh orang Islam sendiri DI dianggap sebagai pengacau keamanan dan
mengancam disintegrasi bangsa. Darul Islam sendiri sering melakukan
Praktis pada waktu itu hanya barisan Hisbullah dan Sabilillah yang tinggal.
Bagi mereka yang tidak setuju Islam sebagai kekuatan politik, soal DI ini
merupakan alat pemukul paling ampuh terhadap berbagai gerakan yang muncul
dari kalangan Islam.
Tokoh Masyumi, seperti M. Natsir yang semula banyak bicara soal perlunya
sebuah negara Islam bagi umat Islam malah tidak mendukung gerakan DI.
Strategi
"pagar betis" dalam operasi teritorial TNI, akhirnya berhasil melumpuhkan
DI/TII hingga gulung tikar.
***
Sekitar tahun 1978-1979, Darul Islam pecah ke dalam dua kubu. Pertama, kubu
Jamaah Fillah, diketuai oleh Djadja Sujadi. Kedua, Jamaah Sabilillah,
dipimpin oleh Adah Djaelani Tirtapradja. Kedua tokoh ini merupakan petinggi
militer TII, sebagai Anggota Komandemen Tertinggi (AKT) yang diangkat
langsung oleh Kartosoewirjo. Karena "tidak boleh ada dua Imam", Djadja
Sujadi dibunuh oleh Adah Djaelani.
Adah Djaelani dimasukkan ke penjara pada tahun 1980 dan perpecahan dalam
Jamaah Sabilillah tak dapat dicegah. Darul Islam terburai menjadi beberapa
kelompok dengan ketuanya masing-masing. Celakanya, pimpinan kelompok yang
satu dengan lainnya saling membatalkan dan saling tidak mengakuinya.
Di antara buraian itu, ada satu kelompok yang dipimpin oleh Abdullah Sungkar
dan mempunyai pengaruh luas. Basis kekuasaannya meliputi Jawa Tengah,
terutama Solo dan Yogyakarta. Kelompok ini menjadikan Pondok Pesantren
Ngruki di Solo sebagai basis pengkaderan. jamaahnya, Kemudian ditebar ke
berbagai wilayah bila dianggap telah mampu. Banyak kadernya yang sudah
tersebar di berbagai wilayah dan berusaha menghidupkan kembali gerakan Darul
Islam. Salah satunya ialah yang bergabung dengan Warsidi di Talangsari,
Cihideung, Lampung.
Masih ada seorang tokoh tua yang bernama Abdul Fatah Wirananggapati. Tokoh
ini, juga punya pengikut yang cukup banyak dan tersebar di berbagai daerah.
Wirananggapati bukan hanya seorang tokoh tua, dialah pembuka simpul
tersebarnya Darul Islam hingga ke tanah rencong, Aceh, pada masa
Di antara serpihan-serpihan Darul Islam itu, ada seorang tokoh bernama Gaos
Taufik yang membangun pengaruhnya di Sumatera. Pengikut Gaos dipersiapkan
menjadi jundullah atau tentara Allah di daerah pedalaman Sumatera,
kalau-kalau suatu waktu terjadi revolusi di Indonesía. Kelompok ini
disebut-sebut mempunyai hubungan erat dengan mujahidin Moro di Filipina dan
mujahidin Pattani di Thailand.
Tahun 1990-an, terjadi lagi perselisihan paham dalam tubuh Darul Islam.
Ketika itu, Adah Jaelani melimpahkan kekuasaannya kepada Abu Toto atau Toto
Salam. Menurut beberapa sumber, Toto Salam tidak pernah terdaftar sebagai
anggota DI, tetapi selalu memakai nama NII. Dengan segala kemampuannya, ia
melanjutkan pewarisan kepemimpinan Darul Islam yang membawahi jamaah sekitar
50.000 orang. Di bawah pengaruhnya, Abu Toto mendirikan Al-Zaytun, sebuah
mega proyek Pondok Pesantren, di Desa Mekar Jaya, Haurgeulis, Indramayu,
Jawa Barat. Mega proyek yang menempati "ribuan" hektare tanah ini, membuat
iri
beberapa tokoh Darul Islam lainnya.
***
Kepada Abdul Fatah Wirananggapati, sang Imam tak cuma memberi pangkat
kolonel. Kartosoewirjo malah mengangkatnya menjadi pejabat KUKT (Kuasa
Usaha Komandement Tertinggi), suatu jabatan yang setara dengan AKT (Anggota
Komandemen Tertinggi) atau KSU (Kepala Staf Umum) yang kelak pada situasi
tertentu bisa mewakili atau malah menggantikan kedudukan Kartosoewirjo
***
ABDULLAH SUNGKAR
Kiai Abdullah Sungkar, mempunyai ciri khas yang hingga kini masih melekat di
ubun-ubun bekas para santri dan pengikutnya. la pantang mengatakan benar,
bila apa yang dilihatnya salah. Pemerintahan Soeharto, acap kali dibuat
kalang kabut dengan pernyataan-pernyataannya yang dinilai banyak kalangan,
terlalu keras dan ekstrem.
SUATU hari, subuh. Di mesjid kecil, sisi Timur kompleks Kusumoyudan, kampus
Universitas Tjokroaminoto, Jl. Asrama No.22, Surakarta, seorang ustad
berapi-api, menghangatkan suasana subuh yang hanya dihadiri tak lebih 8
orang. "Memang dimulai dari sedikit, lama-lama akan menjadi banyak," kata
sang ustad, menggembirakan pengurus mesjid yang berkali-kali minta maaf atas
Pada kali yang lain, bersama istri dan anaknya, sang ustad pagi-pagi sudah
sampai di panti anak-anak tuna netra. Ke sana, sang ustad membawa lontong
untuk dimakan bersama-sama dengan penderita tuna netra itu, sambil
mendengarkan ceramah yang juga disampaikannya dengan berapi-api. Entah sudah
berapa kali, ustad ini tetap menyalakan api khotbahnya pada keadaan apa pun,
sepi atau ramai, dilihat orang atau tidak. Dialah K.H. Abdullah Sungkar,
tokoh NII yang mempunyai perawakan tegap, berkulit putih, bersih.
Kata-katanya selalu memompakan semangat yang tak mengenal aroma basa-basi
dalam setiap hujah ceramahnya.
Karena itu, nama Abdullah Sungkar senantiasa tercatat paling atas sebagai
tokoh ekstrem kanan yang harus diberangus dan diringkus. Tak aneh bila ia
tiba-tiba menghilang dan berkucing-kucingan dengan aparat.
Ada juga versi cerita yang lain. Sebelum ke Malaysia, Abdullah Sungkar
disembunyikan oleh "Kelompok Condet", yaitu kelompok pengajian yang
dibinanya atau yang berada di bawah pengaruhnya. Mereka adalah kader-kader
muda pelanjut estafet perjuangan Negara Islam Indonesia. Tokoh-tokohnya,
antara lain Aus Hidayat, Ibnu Thoyyib, Haryono, Dodi Achmad Busubul,
Mukhliansyah, dan Nurhidayat. Nama terakhir ini pada tahun 1988 disetujui
sebagai "Imam Musafir" yang berencana membangun poros Jakarta-Cihideung,
Talangsari. Teman-teman Imam Musafir itu, antara lain Sudarsono, Fauzi
Isnan, Sukardi, Maulana Latif, Alex, dan Joko yang kesemuanya berhubungan
kerja untuk membangun "basis perjuangan" di atas konsep "perkampungan Islam"
Kami berangkat dengan sebuah mobil mewah berwarna hitam, dari Kuala Lumpur
menuju ke Negeri. Sembilan. Melewati hutan lebat dan sejumlah perkampungan,
sampailah kami di sebuah gubuk di tepi jalan kecil. Menjelang magrib ketika
itu ada dua orang lelaki dengan jenggot dan kumis serta cambang yang sudah
memutih, mendorong gerobak kecil berisi sejumlah alat pertanian ada dalam
gerobak itu. Tak salah lagi, merekalah dua tokoh 'Ngruki' yang kami
cari-cari itu.
Beberapa hari dari pertemuan itu, kedua orang tersebut bergegas ke Airport.
Masing-masing dengan kopornya. Mereka menyempatkan diri berfoto ria sebelum
terbang menuju Arab Saudi.
Sejak itulah nama Abdullah Sungkar tak lagi banyak disebut orang. Pada awal
tahun 2000, Sungkar diam-diam kembali ke Indonesia. Baru beberapa bulan
tinggal di Bogor, Jawa Barat, ia menderita sakit dan meninggal dunia. Inna
Lillahi wa inna Ilaihi raji'un.
***
BAGI kebanyakan orang luar kota Surakarta atau kota Solo, Jawa Tengah, tentu
tak mudah menyebut kata Ngruki. Apalagi nama itu tak menggambarkan sebuah
pengertian apa pun. Padahal, di desa itulah sebuah kelompok pengajian Usroh
Ngruki dan sebuah pondok pesantren yang bemama Al-Mukrnin, berdomisili. Dari
sana sejumlah kader Islam dicetak dan dibentuk. Para penegak sunnah Rasul
itulah yang kelak kemudian ditebar ke sejumlah tempat. Salah satunya ialah
yang bergabung menjadi kelompok Warsidi di Cihideulig, Talangsari III, Way
Jepara, Lampung Tengah.
ABC, Rama, PTPN, Panca, dan sejumlah radio swasta niaga lainnya.
Selain tidak menerima penyiar putri, semua petugas Radio Radis harus
meJlgikuti pengajian malam yang diasuh oleh dua tokoh pimpinan pondok
tersebut. Inti pengajian, ialah membahas pengertian Islam, aturan-
.aturannya, sejarahnya, dan yang paling utama ialah bagaimana menjalankan
perintah Islam berdasarajaran Rasulullah. Dalam ha1 mengajar, kedua tokoh
tersebut masih dibantu oleh sejumlah ulama, seperti Kiai Hasan Basri, Amir
S.H., Abdullah Thofel, dan kiai-kiai kota Surakarta lainnya.
Sejak pindah ke lokasi inilah, radio Radis dan kelompok Sungkar mulai
disantroni penguasa setempat. Pernerintah mehilai Sungkar terlalu keras
dalam menyampaikan ceramah dan ajaran-ajarannya kepada para pengikutnya.
Agaknya, pemerintah tak mau, menanggung risiko apalagi bereksperimen
terhadap ulama yang telah mempunyai banyak pengikut ini.
Setelah sang kiai menghilang, bukan hanya para pendiri melainkan pondok itu
sendiri selalu dalam baying bayang ketakutan. Pernerintah mernberi warna
tersendiri terhadap Pondok Pesantren AI-Mukmin sebagai salah satu tempat
untuk mencetak kader-kader ekstrern yang sangat membahayakan negara. Di sana
tidak hanya mendidik orang-orang mengenal Tuhannya, tetapi juga mendidik
orang agar mengenal politik. Ideologi negara dipertandingkan dengan ideologi
agama.
Padahal, jumlah para santri dan anggota pengajian Usroh Ngruki semakin
banyak. Tak cuma lokal, tetapi juga berasal dari berbagai penjuru. Umumnya
mereka belum mengetahui bahwa ada berbagai rintangan yang telah menghadang
perjalanan Al-Mukmin maupun pengajian Usroh itu. Justru mereka semakin
terpukau dan tertarik dengan ajaran-ajaran yang diberikan. Keberadaan mereka
akhirnya tak nyaman lagi, karena seringnya pondok digerebek oleh aparat
secara tiba-tiba.
Pimpinan pondok pun mulai silih berganti. Pernah dijabat Amir S.H., Farid
Ma'ruf, dan terus ganti berganti. Jumlah santri lebih dari 5.000-an dengan
sistem pendidikan sekolah umum dan sekolah agama Islam. Pada saat-saat
seperti itu Abu Bakar Ba'syir ikut menghilang, dan ternyata ia telah
menyusul seniornya, Abdullah Sungkar, ke Malaysia. Pondok Ngruki menjadi
muram setelah beberapa pemimpinnya hilang. Hasan Basri meninggal, meskipun
kegiatan pengajian dan pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki tetap berlangsung
Para santri dari Ngruki banyak yang hijrah ke berbagai tempat. Sebagian
mendirikan pondok pesantren sendiri, yang lain bergabung menjadi tenaga
pengajar pada
pesantren yang sudah ada. Secara resmi kegiatan pengajian dibubarkan. Para
pengikutnya diamankan atau ditangkap oleh yang benvajib. Tak semua
tertangkap, yang berhasil lolos kemudian lari menyelamatkan diri. Sebagian
dari mereka menuju Lampung, setelah mengetahui bahwa di Lampung masih ada
tempat untuk bergabung. Mereka berkumpul kembali menyambung tali Usroh.
Dari sinilah awal kisah Geger Talangsari, Lampung, dimulai. Pada avvalnya
hanya beberapa saja yang datang ke Talangsari, untuk bergabung dengan
Warsidi yang hendak menjadikan Cihideung sebagai "perkampungan Islam".
Setelah dianggap aman, mereka secara berangsur memboyong keluarganya hijrah
ke tanah harapan baru
itu. Di sana mereka bertemu, antara lain dengan kelompok NII Lampung yang
tengah bingung. Juga bertemu dengan kelompok Jakarta yang sedang linglung,
mencari tempat untuk "basis perjuangannya.
Talangsari, ternyata tak cuma menarik bagi kelompok Ngruki dan kelompok
Lampung yang sama-sama bingung. Kelompok Jakarta yang dimotori oleh
Nurhidayat, Achmad Fauzi, Wahidin, dan Sudarsono ternyata juga bernafsu
mengangkanginya.
Dua kelompok (Ngruki dan Lampung) itulah yang akhirnya terprovokasi oleh
kelompok Jakarta untuk membangun basis perjuangannya, melanjutkan cita-cita
Negara Islam Indonesia yang belum selesai. Suatu cita-cita yang kandas,
karena ambisi perjuangannya dilakukan dengan kekerasan, mendapat reaksi yang
juga keras dari masyarakat Talangsari III dan Pakuan Aji, yang didukung
pemerintah bersama alat negara setempat.
***
WARSIDI tidak sendiri, karena tidak ada kehidupan dalam kesendirian. Manusia
butuh pengakuan. Semakin banyak yang mengakui, semakin kukuh keberadaannya.
Warsidi pun demikian. la menjadi ada dan dikenal, karena ada orang-orang
yang menjadikannya dikenal. Padahal, kehidupan petani kecil dan buruh karet
ini jauh dari kemungkinan bisa diakui apalagi dikenal oleh banyak kalangan.
kawasan Cihideung itu? Lalu bagaimana reaksi mereka terhadap aksi Warsidi
yang kemudian bermas.a1ah? Berikut'ini sekilas tokoh-tokoh di balik
bayang-bayang Warsidi.
***
USMAN
Tokoh misterius tulen yang berhasil menjadikan Warsidi sebagai boneka
Cihideung. Anehnya, setiap langkah Insinyur Cihideung ini selalu mengundang
persoalan dan mendatangkan masalah. Mengapa?
Tersebutlah pada April 1985, lelaki ini divonis Pengadilan Negeri Sleman
Yogyakarta 1 tahun penjara atas dakwaan menghina Soeharto, yang dilakukan di
Temanggung, Sleman, Klaten, dan Magelang. Sejak itu namanya hilang dan baru
muncul setelah terjadi Geger Talangsari.
Tidak banyak yang tahu, apakah melalui Usman gerakan Warsidi membuka
komunikasi dan jaringan dengan tokoh-tokoh di luar Lampung. Hanya setelah
Usman bergabung, para pendatang dari Jakarta dan Pulau Jawa lainnya banyak
***
NURHIDAYAT
Pernah menjadi pegawai bea cukai. la juga dikenal sebagai seorang karateka,
tetapi memilih hídup sebagai avonturir. Drama penangkapan tokoh unik ini
cukup
seru.
Bertubuh kurus dan kerempeng dan jauh dari ideal, begitu kondisinya.
Nurhidayat kecil sering sakit-sakitan, sehingga senantiasa tampak sebagai
anak yang lemah. Selisih umur 17 tahun dari kakak-kakaknya menyebabkan ia
menjadi tumpahan kasih sayang. Akibatnya, bocah sakit-sakitan ini menjadi
manja, cengeng, cepat putus asa dan penuh ketergantungan. Menginjak remaja,
menjadi pemalu, rendah diri, dan penakut. Di kalangan kawan-kawannya di SMP
dan SMA Cirebon, Nur remaja menjadi bahan olok-olokan dan sasaran godaan.
Oleh karena itu, bocah kolokan ini, ketika mengenal olahraga karate, tumbuh
semangatnya untuk bisa menutupi segala kekurangannya melalui olahraga. la
berlatih beladiri secara sungguh-sungguh. Setelah SMA, ketika kembali ke
Jakarta, ia mengikuti kakaknya seorang perwira menengah polisi, yang
kemudian membimbingnya sehingga ia tumbuh menjadi karateka tangguh.
Dunia karate mulai menjanjikan masa depan. Gelar juara karate se Jakarta
Selatan diraihnya. Dan karirnya di kelas 60 kg mengantarkannya menjadi
karyawan bea cukai (1980). la bertugas di Tanjungbalai Karimun. Sayangnya,
di tempat tugas yang sepi itu Nur berkenalan dengan minuman keras dan
obat-obatan. Teler dan bolos
kerja menjadi kebiasaan barunya.
Masih untung Nur melarikan diri ke agama, hingga menjadikan agama sebagai
suatu kesenangan baru baginya. Sudah banyak ustad ia datangi, termasuk
banyak pengajian yang ia ikuti. la berkesimpulan bahwa keadilan dan hukum
Islam harus ditegakkan.
Cihideung.
Dari rumah kontrakan itu petugas menyita satu ember anak panah beracun dan
seperangkat busur sebagai alat pelontarnya. Sejumlah bom molotov dan
bahan-bahan kimia serta peta-peta lokasi beberapa tempat di daerah juga
turut disita.
***
SUDARSONO
Termasuk salah seorang yang paling banyak disebut, terutama bila orang
berbicara tentang Talangsari dan Warsidi.
Selain itu, Sudarsono juga aktif dalam kelompok pengajian kampus bemama
Farmi (Forum antar mahasiswa Islam). Dari kegiatan pengajian inilah, Darsono
bertemu dengan Nurhidayat, Fauzi, dan beberapa lainnya untuk membentuk suatu
wadah Tril kelak dikenal sebagai "kelompok kecil" di Jakarta. Kelompok
inilah yang berhubungan langsung dengan kegiatan Warsidi di Talangsari. Dari
kelompok ini pula lahir gagasan mendirikan perkampungan muslim, sebagai
basis perjuangan tegaknya Darul Islam di Indonesia.
Bersamaan dengan itu, beberapa temannya juga tertangkap. Sukardi kena tembak
kakinya. Heriyanto, Ridwan, Maulana, Dede Syaifuddin serta Abdullah Fatah
Qosim, juga kena ciduk.
***
Fauzi kemudian pindah ke Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, hingga
lulus tingkat Aliyah. Kemudian ia pindah ke Jakarta dan diterima bekerja di
Biro Pusat Statistik (BPS). Di BPS, mendapat ikatan dinas di Akademi Ilmu
Statistik (AIS), dan lulus 1988. Namun, setelah lulus, Fauzi justru tak
pernah masuk kantor. Dia lebih memilih mengikuti pengajian-pengajian. Di
sinilah ia berkenalan dengan Sudarsono dan Nurhidayat. Mereka, melalui
pertemuan di Ciloto, Jawa Barat, Maret 1988, membentuk organisasi yang
diproyeksikan sebagai basis untuk menegakkan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII) di Talangsari, Lampung. Kumpulan jamaah ini sempat pecah,
kemudian dapat bersatu kembali di bawah pengaruh Wahidin yang mempunyai
basis jamaah di Condet, Jakarta Timur.
Konsentrasi massa yang jumlahnya lebih dari 100 orang itu, menurut Fauzi
menimbulkan kecurigaan aparat. Pada tanggal 6 Februari 1989, Danramil
Soetiman, yang mengendarai dua buah jip dan delapan motor, datang ke
perkampungan Warsidi. Mengira hendak diserbu jamaah yang menetap di
perkampungan itu menyerang dengan menggunakan panah. Akhirnya, Soetiman
tewas.
Keterangan Fauzi ini ternyata diperoleh darí berita di koran dan juga kata
orang. Sebab, ketika peristiwa berlangsung Fauzi berada di suatu tempat di
Jakarta. Malah menurut Darsono, karib seperjuangannya, Fauzi sesungguhnya
tidak tahu apa-apa soal Cihideung atau Talangsari. Datang ke tempat itu pun,
kata Darsono, cuma sekali. Meskipun Fauzi mengaku secara lisan kepada
penulis, telah dua kali datang ke Talangsari.
Soal benarkah apa yang diungkap oleh Fauzi, karena ia sendiri tidak berada
di sana, masih silang sengketa. Menurut beberapa temannya, Fauzi tergolong
suatu sosok pribadi yang aneh. Fauzi secara psikologis masih sangat labil
dalam berpikir dan bertindak. Bahkan, ia pun tega menohok kawan seiring dan
menggunting dalam lipatan. Yang jelas, hubungan Fauzi dengan kawan-kawannya
selalu retak dan tidak akur.
***
RIYANTO
Di mata Warsidi, ada dua orang yang pantas menjadi panglima. Salah satunya
ialah Riyanto. Riyanto inilah yang kemudian bersama Fadhillah alias Sugito.
la dipercaya Warsidi untuk memimpin teror Lampung, sebelas tahun lalu.
Sekilas orang tak akan percaya bahwa Riyanto, yang kini telah berusia 48
tahun ini juga bisa beringas. Malah keberingasannya dinilai oleh banyak
orang sebagai sesuatu yang cukup "mengerikan". Di tanah Lampung, sebelas
tahun lalu ketika terjadi huru-hara Warsidi, orang yang melakukan huru hara
itu salah satunya ialah Riyanto. Bersama Fadillah, Riyanto berhasil memimpin
anggotanya menciptakan gegeran Lampung 1989.
Riyanto telah menjalani takdir untuk hidup bersama orang-orang yang belum ia
kenal, termasuk Warsidi. Riyanto juga harus menjalani takdirnya ketika ada 5
anggota Warsidi tertangkap aparat, dan Warsidi memerintahkan untuk
merebutnya kembali dari tangan aparat itu. Dari sanalah sejarah buram
hidupnya mulai dirajut. Bersama Fadhilah dan sejumlah anak buahnya, la
menjadi tokoh rojo pati membunuh orang yang tak ia ingini, serta mengacau
keamanan yang menyusahkan banyak pihak.
ZAMZURI
Secara tidak langsung, Zamzuri punya peran cukup penting, bagi perjuangan
Warsidi. Orang kaya Sidoredjo ini tak cuma dihormati, tetapi juga dicintai,
terutama mereka yang tengah bergairah memperjuangkan cita-citanya mendirikan
"Negara Islam " di Lampung.
Padahal, jarak antara rumah Zamzuri di Sidoredjo dan tempat tinggal Warsidi
di Cihideung, terhitung tidak dekat, sekitar 30 km. Bedanya, Zamzuri berada
di tengah kota Sidoredjo, Warsidi tinggal di belantara ladang Cihideung. Di
rumah Zamzuri inilah para aktivis Cihideung itu sering singgah. Tak heran,
rumah Zamzuri tak pernah sepi pengunjung yang membuat curiga dan iri banyak
orang, terutama aparat keamanan wilayah.
Kalau saja tidak terjadi gegeran di Sidoredjo yang membawa korban sejumlah
aparat serta penduduk setempat, mungkin saja nama Zamzuri tidak tercatat
dalam lembaran hitam kota lada ini. Gegeran di kaki Gunung Balak itu
menyiratkan, betapa tidak harmonisnya hubungan antara aparat dengan kelompok
Warsidi yang sejak lama telah menyatakan "perang" terhadap pemerintah.
Gegeran itu berbuntut panjang.dan membawa malapetaka, tidak saja Zamzuri dan
kelompoknya tetapi juga orang-orang kecil yang tengah mengemban tugas.
Kisahnya, berawal dari kecurigaan aparat yang mencium aroma tidak beres di
rumah Zamzuri. Ketika hendak memeriksa rumah tokoh tersebut, dari dalam
muncul salah seorang anak buah Zamzuri berteriak dan mengejar petugas
tersebut. Kejar mengejar itu berhenti setelah polisi memberi tembakan
peringatan. Tetapi, tidak diperkirakan bahwa anak buah Zamzuri tersebut
kemudian merebut senjata aparat, meski pada akhirnya ia tewas diterjang
peluru petugas.
Mengetahui anak buahnya tewas, Zamzuri dan teman-temannya panas. Dari dalam
Kini, pria Gunung Kidul, Yogyakarta yang lahir tahun 1942 dan tergolong
sukses di kawasan Gunung Balak Lampung itu, menuai hari tuanya di bekas
puing-puing kejayaan masa lalunya di Sidoredjo. Kehidupan penjara telah
membawanya ke alam spiritual yang lebih mapan dalam hidupnya. Masa lalunya
adalah harta yang tak akan pernah hilang, Sedang masa kini ialah amanah yang
harus dijalaninya dengan kesadaran untuk tidak lancung dalam ujian yang
kedua kalinya.
Kepada penulis ia mengaku masih harus belajar. lebih banyak lagi untuk
mengenal kehidupan. Menurutnya, tidak ada sesuatu yang sia-sia di mata
Tuhan. Apa pun yang telah ia jalani, tidak mungkin tanpa sepengetahuan
Allah. la menyadari, semua kejadian yang menimpanya, pasti kehendak-Nya dan
itu pasti pilihan terbaik bagi dirinya.
Oleh karena itu, ketika mendengar ada sejumlah orang yang ingin mengadakan
tuntutan kepada aparat, karena menganggap aparatlah yang salah, Zamzuri
mengatakan, tidak ingin ikut campur. la malah menyatakan, jika ingin
menuntut, sesungguhnya siapakah yang harus dituntut. Sebab para aparat,
hanya menjalankan
tugas yang memang sudah menjadi tanggungjawabnya.
Bagi Zamzuri, kebenaran tidak akan bisa tertipu, dia senantiasa akan datang
bersama orang-orang yang mencintai perdamaian.
***
Ketika bangsa ini sedang sekarat didera pertikaian dan perselisihan yang tak
kunjung selesai, ketika kita sudah bosan mendengar cekcok sesama saudara,
kita pernah dikejutkan oleh berita tentang orang-orang yang mengadakan rujuk
damai dengan cara islah. Inilah ejawantah rekonsiliasi yang didambakan
banyak orang, meskipun belum banyak dimengerti orang.
Semangat Hendropriyono tentang islah, juga disambut oleh AM Fatwa, yang saat
itu sebagai penanggungjawab asimilasi dua tokoh peristiwa Lampung, Fauzi dan
Nurhidayat. Melalui AM Fatwa, pertemuan antara Hendropriyono dengan 14 orang
matan jamaah Warsidi, berlangsung mulus dan menghasilkan berbagai hal tak
hanya material tetapi juga moral yang selama itu telah terkoyak oleh
angkaramurka. Menurut Yani Wahid, penggagas buku ini, pertemuan dua pihak
yang dulu saling berseberangan itu, berlangsung sangat akrab, seperti
layaknya tak pemah terjadi silang sengketa pada masa lalunya.
"Kita sedang menjalani takdir. Kita pun sedih karena peristivva Talangsari
harus terjadi. Hanya saja, bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari masa
lampau yang tidak kita inginkan itu. Kita perlu memberi makna di masa kini
dengan bersama-sama melakukan sesuatu yang bermanfaat, demikian
Hendropriyono memulai pembicaraan serius setelah cukup berbasa-basi. Para
tokoh kasus Talangsari, Lampung, yang hadir antara lain, Sudarsono, Fauzi
Isnan, Sukardi, Dede Saifuddin dan Maulana Latif.
Agenda utama islah ialah berupaya membebaskan narapidana dari rumah tahanan.
Pada awalnya, Hendropriyono hanya sanggup menolong pembebasan narapidana
untuk 3 orang saja. Tetapi Darsono berteriak, lebih baik tidak, bila tidak
semua dibebaskan. Darsono menuntut agar 15 orang teman-temannya yang ada di
Nusakambangan turut dibebaskan. Berkah perdamaian itulah akhirnya seluruh
pesakitan Lampung itu, boleh lega menghirup udara kebebasan.
nafsu, pemaaf dan terbebas dari emosi nekat dan kepala batu.
Islah tidak dapat terjadi apabila salah satu pihak masih tergoda oleh
semangat jahiliyah (hamiyat al jahiliyah) dan perbuatan jahiliyah (amr al
jahiliyah), yaitu kegelapan atau nafsu setan yang menjadi ciri bagi mereka
yang tidak mengetahui bagaimana membedakan antara yang baik dan buruk, yang
tak pernah meminta maaf atas kejahatan yang telah mereka lakukan, yang tuli
terhadap kebaikan, bisu terhadap kebenaran dan buta terhadap kenyataan.
Ketika terjadi pertengkaran hebat nyaris berbunuhan antara dua suku terbesar
di Madinah, Aus dan Hazrat, Nabi saw. cepat-cepat bertindak melerai mereka
dengan perkataannya: "Hai orang-orang yang beriman, betapa beraninya engkau
melupakan Tuhan. Kalian telah tergoda lagi oleh seruan jahiliyah (bi da wa
al-jahiliyah). Ingatlah aku berada di sini di antara kalian. Ingatlah, Tuhan
telah membimbing ke dalam Islam, memuliakan kaliah sehingga ikatan jahiliyah
terputus darikalian, melepaskan kalian dari kekufuran dan menyebabkan kalian
bersahabat satu sama lain". Demikian Nabi saw mengislahkan mereka dengan
nasihat sampai mereka menyadari bahwa mereka tergoda oleh setan, kemudian
mereka saling berangkulan dan menangis. (Lihat, Shirah Nabawi, Ibnu Ishaq).
Lain lagi yang ditempuh Nabi saw ketika telah terjadi pertumpahan darah.
Nabi tidak hanya mencukupkan nasihat untuk menutup semangat persaingan dan
keangkuhan kelompok, melainkan dengan klarifikasi dan rehabilitasi. Sebagai
contoh adalah yang terjadi pada tahun 8 H, yaitu ketika sepasukan tentara di
bawah pimpinan Khalid bin Walid masih terbawa perasaan marah dan membunuhi
kelompok suku Banu Jadhimah padahal masa perang telah usai. Nabi saw
menempuh jalan islah dengan mengutus Ali bin Abu Thalib disertai perintah :
"Segeralah pergi kepada orang-orang itu, selidikilah dengan teliti
peristi\va itu, serta hentikanlah kebiasaan jahíliyah itu!". Ali pun
bergegas menuju lokasi kejadian dengan membawa banyak uang guna dibayarkan
sebagai pengganti darah yang tumpah dan harta benda yang hilang.
Kedua contoh kasus di atas, merupakan praktik islah di zaman Rasulullah saw.
Dengan jalan islah itu, Nabi saw menciptakan kembali iklim persaudaraan,
perdamaian dan
persatuan serta mengakhiri iklim persengketaan dan permusuhan. Dan memang,
ajaran atau konsep islah pada hakekatnya merupakan cara praktis mengatasi
fragmentasi politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Rasulullah saw
juga menerapkan esensi ajaran ini dalam peristiwa Futuh Makkah atau
pembebasan kota Makah. Rasulullah saw berhasil mengantarkan perubahan untuk
memerdekakan semua penduduk Makkah dengan pengampunan yang menutup semua
celah pertentangan dan permusuhan.
Pada masa reformasi sekarang ini, kita sebagai umat yang besar, seolah-olah
kehilangan tempat berpijak, seolah-olah Islam mengajarkan umatnya menjadi
penuntut dan penghukum, bukan manusia-manusia pemaaf yang memiliki meta
strategi dalam menghadapi masa depan. Kita seharusnya juga merenungkan
kebijakan Rasul menghadapi orang Thaif yang telah mengusir dan menghujani
Rasulullah dengan lemparan batu. Atau ambillah hikmah meta strategi Rasul
dalam membangun kembali kesatuan masyarakat pada peristiwa futuh makkah yang
pantang memberi malu kepada Abu Sofyan, orang terkenal yang terang-terangan
memusuhi beliau dan umat Islam hampir selama dua puluh tahun. Masih banyak
lagi peristiwa-peristiwa yang telah ditempuh Rasul, yang memancarkan hikmah
islah untuk mengembalikan martabat dan kehormatan semua pihak dalam damai,
kehormatan setiap orang yang tak lagi bermusuhan, kehormatan lembaga bersama
seperti Masjidil-Haram.
Sebagai nilai, ajaran islah ini akan selalu muncul untuk dijadikan rujukan
semua pihak di kalangan umat yang ingin memperbaiki keadaan agar menjadi
lebih baik dan atau memperbaiki hubungan yang rusak akibat perselisihan,
pertengkaran maupun permusuhan.
Banyak sekali contoh bahwa di ruang pengadilan malah lahir kezaliman baru
yang diabsahkan tanpa kita pemah mampu meluruskannya kembali. Oleh karena
itu pilihan untuk menerapkan konsep islah yang mempakan konsep religius itu
bisa jadi lebih tepat dalam rangka menutup semua cerita "ketololan politik"
masa lalu yang menyebabkan tipisnya solidaritas dan silaturahmi antar
eksponen bangsa.
Dalam konsep ini, nilai utama yang diperintahkan adalah perbaikan hubungan
untuk menyatukan kembali masyarakat yang terlibat konflik. Tujuannya bukan
pengadilan melainkan pemulihan harkat dan kehormatan, baik kehormatan
pribadi, lembaga, maupun kehormatan para pemimpin masyarakat. Dalam kondisi
masyarakat Indonesia seperti sekarang ini, konsep islah menemukan urgensinya
sebagai ajang perbaikan hubungan dan pembudayaan silaturahmi nasional serta
ajang klarifikasi kasus-kasus lama yang dianggap sebagai represi struktural
di masa lalu.
***
KONFLIK sosial dan politik yang berkepanjangan akan berdampak pada jatuhnya
martabat bangsa dan negara. Pasca Orde Baru ini, pada hakikatnya seluruh
lapisan masyarakat mendambakan agar konflik-konflik di tingkat elite politik
maupun konflik antar masyarakat dapat segera diakhiri dan diselesaikan
dengan baik. Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa
Indonesia memiliki posisi tersendiri dalam memberikan tuntunan maupun
mengembangkan budaya penyelesaian konflik dengan cara-cara yang terhormat
dan bermartabat. Salah satu konsep yang diajarkan Islam ia1ah konsep moral
agar mereka yang berselisih menyelesaikannya dengan islah. Yaitu merekat
kembali tali silatutahmi, saling memaafkan, dan memusyawarahkan apa-apa yang
bisa dilakukan bersama. Konsep inilah yang diperkenalkan dan dijadikan
landasan moral oleh kelompok Islah Kasus Lampung. Niat mereka itu dapat
dipandang sangat mulia karena bukan saja ingin menyelesaikan konflik yang
pernah mereka alami, melainkan juga seka1igus dapat menyumbang bagi
penciptaan iklim Sosial yang rukun dan damai dalam masyarakat Indonesia yang
sedang. bergejolak sekarang ini.
Akan tetapi, memasyarakatkan konsep islah bukanlah hal yang mudah. Apalagi
di tengah-tengah kusutnya isu penegakan dan pengadilan HAM sebagai cara yang
dianggap terpenting sekarang ini. Ada misalnya yang menyesalkan sikap
memaafkan dari anggota masyarakat. Dikatakannya hal itu sebagai hak
individu. Namun bukan berarti pemerintah berdiam diri. Negara wajib menuntut
Kedudukan hukum harus dikedepankan karena telah terjadi pelanggaran. Bagi
orang seperti itu pendekatan hukum dianggap yang terpenting. Tetapi bagi
Arifin, mantan tahanan politik kasus Talangsari, lain lagi. Arifin
mengatakan, yang penting ialah pembebasan teman-temannya yang masih
dipenjara, dibantu memperoleh pekerjaan dan santunan pada keluarga-keluarga
korban yang membutuhkan. Tentang pilihan Islah, Arifin mengatakan: "Kami
telah bertemu langsung dengan Pak Hendro (mantan Danrem Lampung). Dengan dia
kami saling memaafkan. Kami memilih hukum penyelesaian dengan cara Islam
yakni islah yang tidak saling melakukan penuntutan. Apalagi saling balas
dendam yang dilarang agama Islam". Arifin mengakui kenangan pahit atas
kejadian Talangsari. Anak dan istrinya ikut meninggal dalam peristiwa itu.
"Kalau mengikuti hukum kafir, maka kehendak hati maunya berontak. Tetapi
saya meyakini, sampai kiamat pun keadilan. dan penegakan hukum tidak pemah
tercapai selama masih menggunakan hukum thaghut buatan manusia," katanya.
(Lampung Pos, 5 September 1998).
Isu HAM yang baru muncul sekarang tentunya sangat sulit dan boleh jadi tidak
tepat untuk mengukur iklim politik masa lalu yang bernuansa politik
kekerasan. Kasus Lampung sebagai kasus masa lalu bisa sangat "empuk"
dijadikan sasaran tembak atas nama penegakan HAM. Namun siapakah yang
diuntungkan melalui isu itu, sungguh sesuatu yang perlu dicermati. Justru
pihak-pihak yang terlibat langsung kejadian Talangsari merasa perlu menempuh
jalan lain yaitu islah, bukan pendekatan hukum. Mereka menggugat LSM.
tanggapan seputar islah ke mana saja mereka selama ini, kok tiba-tiba
sekarang baru muncul sebagai pembela Warsidi dan kasusnya? Apa dulu mereka
pernah peduli terhadap jamaah Warsidi yang terlunta-lunta, yang menjadi
janda, yang kehilangan usaha, yang meringkuk dalam penjara dan lain-lain.
Mengapa baru sekarang ingin bertindak seperti pejuang dan seolah-olah kasus
ini menjadi penting di mata mereka?" kata Sudarsono.
Menurut Sudarsono, buat apa mengungkap masa lalu jika ujung-ujungnya tidak
memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan pelaku/korban peristiwa itu sendiri
tanggapan seputar islah Kami muak dengan cara-cara LSM tertentu yang hanya
cari muka di depan penyandang dana internasional untuk mengobok-obok
Indonesia atas nama HAM", tegasnya. Sudarsono dan mantan napol lainnya
berharap sikap arif dan gentleman yang telah dilakukan Hendropriyono
terhadap kasus Lampung melalui pendekatan bantuan kegiatan usaha/ekonomi
dapat dilakukan oleh para pembesar lainnya agar para korban politik masa
lalu tidak dijadikan obyek komoditas politik kelompok tertentu yang
ujung-ujungnya tidak untuk kemanfaatan para korban dan keluarganya.
(Republika, 10 September 1998).
Kini mereka dihadang peraturan yang ditegakkan oleh para sipir penjara Yang
bisa ramah disuatu ketika, tetapi juga bisa marah sampai tak terkira. Yang
bisa baik, dalam tutur kata bak seorang pendeta, tetapi jika anda coba-coba
lari, peluru tajamnya yang bicara. Jika tak cukup bermental baja sangat
mudah seseorang akan mengalami kegoncangan jiwa, depresi, histeria, takut,
was-was dan perasaan tak berdaya. Ah, bagaimana lagi mereka yang harus
menjalani hukuman bertahun-tahun bahkan seumur hidup? Tentunya waktu akan
menyeret ke suatu kesudahan yang tidak dapat terperkirakan.
Tak seorang pun ingin dipenjara. Juga mereka yang terlibat kerusuhan
Talangsari, Way Jepara, Lampung Tengah itu. Apa lagi penjara Nusakambangan.
Dede Saefuddin, Sukardi, Maulana Latif, tak pemah bercita-cita masuk
penjara. Tidak juga kawan-kawannya yang lain yang berada di LP.
Nusakambangan.
Maka, ketika mereka menghadiri acara islah dengan. Menteri Transmigrasi, AM.
Hendropriyono, pertama-tama yang mereka minta ialah pembebasan
teman-temannya yang masih dipenjara di LP.Nusakambangan. "Semula Pak Hendro
hanya berniat membantu pembebasan beberapa orang saja yang kategori politik.
Tidak termasuk narapidana Lampung yang terlibat pembunuhan dan teror. Namun
setelah kami minta tolong dan Saudara Fauzi menawarkan untuk islah akhirnya
Pak Hendro setuju dan meminta agar data-data mereka yang masih dipenjara
segera dicari. Pak Hendro dalam kapasitasnya selaku Menteri akan memproses
pembebasannya." kata Dede Saefuddin dalam suatu wawancara dengan penulis.
Menurut Dede, malam itu disetujui agar esok hari beberapa orang pergi ke
LP.Nusakambangan untuk menyampaikan berita islah serta mulai menghimpun
data-data siapa saja teman-teman narapidana Lampung yang belum dibebaskan.
"Kalau tidak salah yang ditugaskan menghimpun data-data dan menyampaikannya
kepada pak Hendro adalah saudara Maulana Latif", katanya. Keinginan agar
para tahanan politik segera dibebaskan agaknya sedang menggema, menjadi
semacam agenda pertama reformasi. Bukan hanya mantan napi yang menyerukan
pembebasan, tetapi banyak pihak di masyarakat, termasuk ormas-ormas Islam
dan tokoh-tokoh Islam. Tetapi seruan akan tinggal sebagai seruan jika tidak
ada pihak yang secara serius mengajukan prosesnya. Proses pembebasan
tahanan, apalagi narapidana yang perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap ternyata tidaklah sederhana. Harus ada pihak yang secara resmi
meminta, kemudian dibahas melalui rapat-rapat intern departemen yang terkait
untuk memastikan apakah pembebasan itu mungkin dilakukan dan dapat
dibenarkan menurut Undang-undang atau peraturan yang berlaku. Waktu itu,
Jaksa Agung HA. Muhammad Ghalib, SH memberi isyarat bahwa amnesti dapat
diberikan dengan catatan:
Reformasi yang penuh euforia terus berjalan. Namun tidak secara otomatis
para narapidana politik dapat dibebaskan. Tidak juga pada Hari Kemerdekaan,
tanggal 17 Agustus 1998. Tersentuh oleh tanggungjawab yang muncul di
tengah-tengah keinginan dan tuntutan untuk islah, akhirnya Menteri
Transmigrasi, AM. Hendropriyono memenuhi janjinya. Melalui suratnya Nomor:
R-O28/Mentras/O8/1998 tanggal 21 Agustus 1998, Menteri Transmigrasi dan PPH
memohonkan percepatan pembebasan Napol Korban Peristiwa Lampung kepada
Presiden Republik Indonesia Tidak cukup dengan surat, AM. Hendropriyorio
juga melobi langsung kepada Jaksa Agung RI, M. Ghalib Menteri Kehakiman
Muladi, Menhankam (Pangab) Wiranto dan Ketua MA, Sarwata. Hasilnya, Jaksa
Agung RI melalui suratnya Nomor: R-196/A/D/9/1998 Tanggal 23 September 1998
turut menyarankan kepada Presiden untuk menyetujui permohonan Menteri
Transmigrasi dan PPH perihal amnesti. Napol peristiwa Lampung atas nama
Fauzi dkk. Barulah sebulan kemudian, Menteri Sekretaris Negara, Akbar
Tandjung, melalui suratnya No: R-311 M.Sesneg/10/1998 Tanggal 26 Oktober
1998 berkirim surat kepada Menko Polkam, Menteri Kehakiman, Menteri
Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI menyampaikan tentang petunjuk Presiden
agar usul pemberian rehabilitasi kepada eks Napol perisrtiwa lampung atas
nama Fauzi dkk dibantu prosesnya.
MEREKA YG DIBEBASKAN :
1.. FAUZI bin ISNAN, yang dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, Nomor
04/Subv/Pid/90/PT.DKI tanggal 26 Maret 1990, telah dijatuhi pidana penjara
selama 20 (dua puluh tahun).
2.. SUDARSONO al. MASDAR, yang dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Nomor: 05/Subv/Pid/90/PT.DKI tanggal 30 April 1990 telah dijatuhi pidana
penjara selama 17 (tujuh belas) tahun.
3.. FADHILLAH al. SUGITO bin WIRYOPERWITO yang dengan putusan Pengadilan
Negeri Tanjungkarang Nomor: 160/Pid/B/Subv/1989/PN.TK, tanggal 7 Nopember
1989 telah dijatuhi pidana penjara seumur hidup.
5.. SUGENG YULIANTO al. SUGIMIN, yang dengan putusan Pengadilan Negeri
Tanjungkarang Nomor 161/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 7 Nopember 1989 telah
dijatuhi pidana penjara selama seumur hidup.
6.. RIYANTO, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor:
191/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 4 Januaru 1990 telah dijatuhi pidana
seumur hidup.
9.. ZAMZURI bin MUH. RAJI yang dengan putusan Pengadilan Negeri
Tanjungkarang Nomor: 145/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 25 Oktober 1989 telah
dijatuhi pidana penjara seumur hidup.
10.. MUH. MUSHANNIF, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor: 194/Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 20 Desember 1989 telah dijatuhi
pidana penjara selama 20 (duapuluh) tahun.
11.. ARIFIN bin KARYAN, yang dengan putusan Pengadilan Negeri
Tanjungkarang Nomor 195/Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 18 Desember 1989 telah
dijatuhi pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun.
12.. ABADI ABDULLAH, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang
Nomor 196/Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 19 Desember 1989 telah dijatuhi pidana
penjara selama 20 (dua puluh) tahun.
13.. MUNJAENI, yang dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang No:
Tentang pembebasan itu, sebagai bukti bahwa islah merupakan gerakan moral
yang bisa mengetuk hati para penguasa atau masyarakat luas. Departemen
Transmigrasi, menurut Hendro, berniat menerima hak-hak sosial politik para
tapol tersebut. Karena, umumnya mereka merupakan orang-orang yang miskin dan
susah. "Para tapol berhak diberi tawaran transmigrasi seperti rakyat yang
lain", katanya.
Memang, tak semua bisa puas. Ada saja pengganggu dan peragu. Ada yang
menuntut terlalu banyak. Ada yang mencari-cari dalih untuk tetap
menghidupkan silang sengketa. Tetapi dari kasus ini dan cara
penyelesaiannya, kita diingatkan satu hal bahwa kita perlu menimba sebanyak
mungkin kearifan dari sabda-sabda Ilahiah dalam rangka mengakhiri anarki
berkepanjangan.
Mereka yang tewas dari kedua belah pihak, telah gugur sebagai syuhada di
medan perang. Tiada kata siapa yang menang dan siapa yang kalah, sebab yang
menang hanyalah kebenaran.
Moral Islah yang diserukan sangat layak menjadi solusi atas situasi konflik
sosial politik tak kunjung reda sekarang ini. Kita tertegun seolah pilihan
memang hanya satu jalan :.... selesaikan dengan cara menelusuri jalan-Nya.
***
DEMOKRASI mensyahkan adanya hak hidup yang setara di depan umum atas
keanekaragaman pandang dalam aneka dimensi, betapapun besar kadar
perbedaannya. Akan tetapi, realitasnya selalu mengandung berbagai aspek
dasar yang memungkinkan lahirnya konflik pandang. Sejauh disertai kesadaran,
"berbeda itu rahmat" maka perbedaan itu bisa saja berarti "kenikmatan".
Walaupun ternyata menghargai perbedaan bukanlah perkara gampang. Inilah yang
sering mengakibatkan, timbulnya berbagai tindakan keras sporadis. Kasus
Lampung, boleh jadi merupakan klimak dari berbagai masalah-masalah di atas.
Selama Orde Baru, memang tidak sedikit sudah kita jumpai kekerasan sporadis
Ada dua unsur dasar yang sering kali terlupakan. Padahal unsur-unsur
tersebut, tak jarang memberi peluang munculnya berbagai tragedi bangsa di
negeri ini. Pertama ialah egosentrisme manusia dan yang kedua ialah
menyangkut fanatisme ideologi. Kedua unsur tersebut bisa jadi sangat
berbahaya di tengah-tengah wacana yang mendikotomikan antara umat Islam dan
negara. Unsur itulah yang senantiasa hadir dalam berbagai kasus kekerasan
politik di Indonesia.
Egosentrisme Manusia
Egosentrisme merupakan kekayaan yang melekat pada diri manusia. la mempunyai
fungsi, antara lain menjadi pembeda manusia dari makhluk lainnya sesama
manusia ciptaan Tuhan. Padahal selain ego keakuan, manusia juga butuh
orientasi kemasyarakatan. Artinya pada saat keakuan manusia itu berperan,
sesungguhnya di saat yang sama kebutuhan sosialisai manusia juga ikut
berperan.
Hitam putih manusia, memang tak mudah dikenali. Akan tetapi tindakan dan
sikapnya tak bisa ditutupi, apalagi diingkari. Cepat atau lambat, ia akan
menunjukkan jati dirinya, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Kelompok
Warsidi dari dusun kecil Talangsari III, sering terdengar bahwa segala yang
ada di bumi milik Allah. Oleh karena itu di antara anggota Warsidi ada yang
merasa syah, bila mengambil tanaman di sekitar komplek Cihideung, karena
tanaman juga milikAllah. Juga dari sana sering terdengar, siapa yang tidak
mengikuti dirinya batal Islamnya dan kafir hukumnya. Termasuk pemerintah
atau orang-orang yang tidak mendukung diri dan kelompoknya.
Fanatisme Ideologi
Ideologi tidak pernah mati. Konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan
politik selalu dilatarbelakangi oleh mencuatnya perbedaan ideologi.
Indonesia ternyata lahan subur bagi pertarungan ideologi besar: Nasionalis,
Komunis dan Islam. Sebagai bangsa, kita punya pengalaman kolektif tentang
kekerasan atas nama ideologi. Belum habis kekerasan zaman penjajahan, perang
kemudian terjadi, dan terus berlangsung hingga Jepang habis. Orang-orang tua
kita bicara tentang merdeka atas dasar apa. Bendera merah putih menjadi
satu-satunya pemersatu di atas berbagai perbedaan ideologi ditingkat
perumusan dasar negara.
Tetapi, disaat bangsa ini tengah menegakkan bendera merah putih, pasukan
Belanda masuk kembali. Kekerasan terjadi lagi, yang ditembak mati, digranat,
dilempar dari kendaraan dalam keadaan tangan terikat dan berbagai bentuk
kekerasan lainnya. Sehingga kita mengenal kekerasan bagai mengenal keluarga
sendiri. Tak terkecuali orang-orang yang hidupnya jauh dari kota. Desa
adalah ketenteraman. Tetapi, banyak yang bisa menceritakan dengan suara
ketakutan bagaimana rasanya hidup di desa yang terkepung gerilya DI/TII atau
Tahun 1955, bangsa ini untuk pertama kalinya melakukan eksperimen menuju
demokrasi. Jangan lagi perbedaan ideologi diselesaian dengan senjata tetapi
dengan pemilihan umum. Senjata diganti dengan suara. Hasilnya tak ada yang
benar-benar menang sehingga DPR hasil pemilu paling demokratis pun tak mampu
menghasilkan apa-apa kecuali pertengkaran elite dan akhirnya diselesaikan
oleh palu godam kekuasaan.
Pada kasus Talangsari dan kasus-kasus Islam lainnya, kita menemukan aura
keterjebakan itu. Mereka menolak Pancasila seperti menolak kekafiran. Dalam
situasi demikian, fanatisme ideologi Islam pun menemukan lahan yang subur.
Tingkah pemaksaan ideologis oleh negara menjadi pemicu lahirnya banyak
kelompok sempalan yang mengabsahkan eksistensinya juga dengan jalan
kekerasan. Maka di masa Orde Baru lahirlah sejumlah pahlawan-pahlawan
romantik keislaman. Mereka membangun fanatisme ideologi keislaman ke
kalangan pengikutnya dengan minimnya pemahaman tentang Islam secara
menyeluruh. Doktrin kembali kepada kemurnian Islam seperti yang akhirnya
ditemukan oleh aparat keamanan ketika menggerebek jamaah Mujahidin
Fisabilillah Cihideung, misalnya ternyata penjabaran dari kemurnian tersebut
melahirkan darah dan kematian. Dokumen tentang doktrin kemurnian itu seperti
diungkap oleh Majalah Tempo berbunyi :
"Ternyata Islam tidak seperti yang kita alami. Kita diisi oleh versi NU,
versi Muhammadiyah, Darul Hadist. Mereka tak mencerminkan Islam yang
sebenarnya, bukan Islami".
Tetapi satu kenyataan bahwa ideologi apapun memang kaku bila dihadapkan pada
realitas yang berkembang. Kekakuan ideologi menciptakan dikotomi dan
keretakan sosial. Umat dan bangsa terbelah antara tradisionalis dan
modernis, antara nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler, kooperatif dan
non-kooperatif dan lain sebagainya. Sebabnya mudah dikenali bahwa dalam
ideologi orang mengira hanya ada satu kebenaran yang boleh diyakini, yang
selain itu dianggap lawan. Maka keanekaragaman harus dibasmi. Pluralisme
dianggap tidak perlu, menjengkelkan dan banyak cingcong. Kebenaran seolah
tinggal pakai, tanpa diketahui persis prosesnya. Padahal dengan cara itu,
kebenaran hanya produk dari luar yang dipaksakan tanpa pencarian dari dalam.
Mencari Solusi
Ideologi memang tak mati-mati. Tetapi Islam tidak semata-mata mengandung
ajaran ideologis. Justru Islam ingin membuka cara berfikir yang tertutup dan
fanatis. Dengan ideologi tertutup umat sudah banyak menyingkirkan orang yang
kita sapa sebagai "sekuler", "abangan", "tidak istikhomah" dan lain
sebagainya. Memang sudah lama Islam berada di pinggir panggung politik
nasional. Tetapi pertumbuhan pendidikan telah membuka peluang untuk berada
di tengah-tengah pentas. Dan pada saat itu dituntut pola pikir yang
objektif, tidak boleh lagi berfikir subjektif, orang "kita" dan "mereka"
tanpa alasan yang cermat.
Islam sudah ada di mana-mana dalam berbagai tugas dan karir. Mereka ada di
birokrasi dan tentara. Bukan hanya di desa sebagai pedagang atau petani.
Oleh karena itu, para politisi dan pejuang Islam harus.mengakhiri pendekatan
ideologis yang melihat politik sebagai pertarungan Islam dan non Islam
apalagi Islam dan negara. Para pemimpin Islam harus memahamkan kepada
umatnya untuk meningkatkan tensi kreatif dan etos keilmuan dalam rangka
memanfaatkan ruang idealisme dan realitas. Karena itu definisi dan sasaran
politik umat tidak lagi hanya berorientasi pada simbol-simbol. Misalnya
menempatkan Islam berhadapan dengan negara atau mengislamkan negara menjadi
Islam. Yang substantif ialah memaksimalkan peran kekhalifahan setiap orang
Islam untuk memberi manfaat kepada orang lain sebagai sama-sama umat manusia
yang mendambakan keadilan dan kemakmuran. Harus ada konsesus di
tengah-tengah umat untuk tidak lagi memakai kekerasan dalam menyelesaikan
persoalan. Indonesia kita saat ini menantikan solusi yang punya kandungan
kebajikan bagi semua warganya.
Kesalehan dan kezaliman tetap bisa berlangsung pada pribadi yang sama,
karena itu toleransi kesetiaan kepada sumpah bersatu sebagai bangsa,
meningkatkan ilmu dan teknologi, serta mengembangkan semangat berkompromi
adalah solusi terbaik untuk menghindarkan bangsa kita dari perpecahan dan
penderitaan yang tiada berujung.
Itulah Islah.
***
Bagian 21 - Dokumen
Attachment Size
dokumen_talangsari_lampung_1.jpg 40.21 KB
dokumen_talangsari_lampung_2.jpg 49.22 KB
dokumen_talangsari_lampung_3.jpg 35.92 KB
dokumen_talangsari_lampung_4.jpg 45.48 KB
dokumen_talangsari_lampung_5.jpg 50.6 KB
dokumen_talangsari_lampung_6.jpg 37.55 KB
dokumen_talangsari_lampung_7.jpg 28.38 KB
dokumen_talangsari_lampung_8.jpg 34.4 KB
dokumen_talangsari_lampung_9.jpg 48.22 KB
dokumen_talangsari_lampung_10.jpg 28.14 KB
dokumen_talangsari_lampung_11.jpg 57.5 KB
dokumen_talangsari_lampung_12.jpg 51.7 KB
dokumen_talangsari_lampung_13.jpg 20.58 KB
dokumen_talangsari_lampung_14.jpg 46.38 KB
dokumen_talangsari_lampung_15.jpg 47.59 KB
dokumen_talangsari_lampung_16.jpg 46.41 KB
dokumen_talangsari_lampung_17.jpg 44.81 KB
dokumen_talangsari_lampung_18.jpg 49.39 KB
dokumen_talangsari_lampung_19.jpg 25.26 KB
dokumen_talangsari_lampung_20.jpg 24.95 KB
dokumen_talangsari_lampung_21.jpg 45.81 KB
dokumen_talangsari_lampung_22.jpg 46 KB
dokumen_talangsari_lampung_23.jpg 34.17 KB
dokumen_talangsari_lampung_24.jpg 34.17 KB
dokumen_talangsari_lampung_25.jpg 63.86 KB
dokumen_talangsari_lampung_26.jpg 26.7 KB
Bagian 22 - Tamat
Foto-foto
Attachment Size
Abdul_Fatah02492.jpg 14.44 KB
Abdullah_Sungkar_02511.jpg 11.76 KB
AM_Hendropriyono_02500.jpg 20.41 KB
bendorit_02494.jpg 11.78 KB
Ditangkap_Penduduk_02496.jpg 22.71 KB
Fadhillah_02497.jpg 12.13 KB
Gardu_02498.jpg 22.84 KB
Gardu_Racun_02499.jpg 23.19 KB
Ismed_Marzuki_02501.jpg 20.33 KB
Jembatan_02503.jpg 24.57 KB
Koramil_Way_Jepara_02504.jpg 17.41 KB
Lokasi_02505.jpg 21.1 KB
Panah_Racun_02507.jpg 23.67 KB
Pesantren_Ngruki_02506.jpg 18.54 KB
Pos_Polisi_02508.jpg 21.37 KB
sarikun_02493.jpg 19.19 KB
Senjata_02509.jpg 17.48 KB
Soetiman_02495.jpg 13.32 KB
Sudarsono_02510.jpg 12.27 KB