You are on page 1of 13

No1 : Oleh: Mustanan I.

PENDAHULUAN Sejak jatuhnya Baghdad yang pada saat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan pada tahun 1258 M. ke tangan Bangsa Mongol Tidak hanya mengakhiri pemerintahan Bani Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal masa kemunduran politik dan peradaban serta ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Kekuasaan Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tercabikcabik menjadi beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain saling mengalahkan. Masa ini merupakan masa yang sangat krusial dan merupakan kondisi yang sangat berat bagi umat Islam. Dunia Islam secara keseluruhan nanti mengalami kemajuan kembali setelah berdirinya tiga kerajaan besar yaitu: Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Masa ini oleh pakar sejarah disebut sebagai kebangkitan Islam yang kedua. Kerajaan Usmani di samping yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding kedua kerajaan lainnya. Turki Usmani dianggap sebagai dinasti yang mampu menghimpun kembali umat Islam setelah beberapa lama mengalami kemunduran ilmu pengetahuan dan politik. Munculnya kerajaan Turki Usmani, kembali menjadikan umat Islam sebagai kekuatan yang solid. Selain Kerajaan Usmani, di Persia muncul juga satu dinasti baru yang kemudian menjadi kerajaan besar di dunia Islam, yaitu dinasti Safawi. Kerajaan ini mampu mempersatukan seluruh daerah Persia sebagai suatu negara yang besar dan independen. Keberadaan dinasti ini disebut sebagai revitalisasi kejayaan Persia dan mahzab Syiah. kerajaan ini juga mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam pengembangan dunia Pendidikan Islam. Seperempat abad setelah berdirinya kerajaan Safawi, berdiri pula kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kotanya. kerajaan Mughal bukanlah kerajan Islam pertama di anak Benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa khalifah al-Walid dari Dinasti Bani Umayyah. Akan tetapi Kerajaan Mughal termasuk salah satu kerajaan yang cukup berarti dalam merekonstruksi peradaban dan pengembangan Pendidikan Islam. Sebagai masa kebangkitan Islam yang kedua, tentu akan menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai karakteristik dan perbedaan corak sosio pendidikan dan secara umum kehidupan intelektual masa ini, terlebih lagi bila dibandingkan dengan masa keemasan Islam (Umayyah dan Abbasiyah). Dengan latar belakang tersebut, penulis dalam makalah ini akan mengkaji aspekaspek yang memberikan pengaruh terhadap corak pendidikan dan semangat pengembangan ilmu pengetahuan di masa kerajaan Turki Usmani, Safawi dan Mughal. A. Pendidikan Islam di Masa Kerajaan Turki Usmani 1. Era awal Pendidikan Islam di Turki Usmani Wilayah kerajaan Turki Usmani sangatlah luas, membentang dari Budapest di bagian utara sampai ke Yaman di bagian selatan dan dari Bashrah di bagian timur hingga ke aljazair di bagian barat, di bagi ke dalam beberapa provinsi yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur atau pasha. Wilayah yang begitu luas ini menunjukkan bahwa Kerajaan Turki Usmani tampil sebagai kerajaan Islam dengan kekuatan baru yang meyakinkan. Kerajaan Turki Usmani sangat gencar melakukan ekspansi guna meluaskan daerah kekuasaannya. Setelah mesir jatuh di bawah kekuasaan Turki Usmani, Sultan Salim yang menjadi penguasa waktu itu memerintahkan agar kitab-kitab di perpustakaan dan barang-barang berharga di Mesir dipindahkan ke Istambul, anak-anak Sultan Mamluk, Ulama, pembesarpembesar, yang berpengaruh di Mesir dibuang ke Istambul. Dengan berpindahnya ulama dan kitab-kitab yang ada di Mesir ke Istambul menyebabkan Mesir mengalami kemunduran dalam ilmu pengetahuan, dan Istambullah menjadi pusat pendidikan dan pengembangan kebudayaan saat itu. Sultan Orkhan (1326-1329) adalah sultan pertama yang mendirikan madrasah di masa kerajaan Turki Usmani. Lalu kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan penerusnya, sehingga pada masa Kerajaan Turki Usmani ini banyak berdiri madrasah dan masjid, terutama di Istambul dan Mesir. Pada masa ini pula banyak perpustakaan yang berisi kitab-kitab yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap orang bebas membaca dan mempelajari isi kitab-kitab itu. Hal ini membuktikan betapa besarnya perhatian para penguasa dalam pengembangan pengetahuan waktu itu. Hampir semua penguasa Dinasti Usmaniyah memiliki intensitas yang cukup tinggi dalam mengembangkan pendidikan dan juga seni arsitektur.

Sistem pengajaran yang dikembangkan pada masa Turki Usmani adalah menghafal matan-matan meskipun tidak mengerti maksudnya, seperti menghafal matan al-Jurumiyah, matan Taqrib, matan alfiah dan yang lainnya. Murid-murid setelah menghafal matan-matan itu barulah mempelajari syarahnya. Model pengajaran sepeti ini masih sering digunakan sampai sekarang, terutama pada pondok-pondok pesantren klasik. Kerajaan Turki Usmani mengalami Puncak kejayaan dan keemasan pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman al-Qanuny (1520-1566 M.). Namun setelah wafatnya Sultan Sulaiman, kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran. Ekspansi ke Eropa tidak menunjukkan kemajuan yang berarti, peran angkatan bersenjata tidak lagi untuk menyerang tetapi lebih banyak bertahan. Kekuatan internal yang semakin lemah bertambah buruk dengan munculnya gangguan dari luar, ketika pada abad ke-18, Prancis, Inggris, Austria dan Rusia mulai melebarkan pengaruh mereka ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerajaan Turki Usmani. Satu persatu wilayahnya lepas. Aljazair merupakan Negara Arab pertama yang memisahkan diri, disusul kemudian di dataran arab dan wilayah Afrika Utara masing-masing membentuk satu blok tersendiri. Kekalahan demi kekalahan yang demi kekalahan yang dialami kerajaan Turki Usmani juga berdampak dengan merosotnya kualitas pendidikan Islam pada masa itu. 2. Pembaruan Pendidikan Islam di Masa Turki Usmani Kebangkitan intelektual di Barat telah memberikan kontribusi yang besar bagi Eropa. Semangat rasionalisme akibat dari adanya informasi pengetahuan yang mereka dapat, telah membuat Negara-negara Barat menjadi kuat, baik militer, ekonomi maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Adanya kekalahan-kekalahan yang dialami oleh kerajaan Turki Usmani menyebabkan sultan Ahmad III sangat prihatin sembari melakukan introspeksi. Dari itulah tumbuh sikap baru dari dalam dalam Kerajaan Turki Usmani untuk bersikap lebih arif terhadap keberadaan barat. Barat tidak lagi dianggap sebagai musuh yang harus dijauhi. Menurut Sultan Ahmad III apabila umat Islam ingin maju, maka harus menjalin kerja sama dengan Eropa untuk mengejar ketinggalan dengan Barat. Sultan Ahmad III kemudian dikenal sebagai pelopor pembaharu dalam pendidikan Islam. Langkah pertama yang diambil adalah dengan pengiriman duta-duta ke Eropa untuk mengamati keunggulan barat. Selanjutnya hasil penelitian tersebut disampaikan kepada Sultan. Sebagai implikasi dari adanya penelitian tersebut muncullah ide dari Sultan untuk mendirikan Sekolah Teknik Militer. Selain itu Turki juga mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara mendirikan percetakan di Istambul pada tahun 1727 M. sebagai cara mempermudah akses buku-buku pengetahuan, mencetak buku-buku ilmu kedokteran, ilmu kalam, ilmu pasti, astronomi, sejarah, kitab hadis, fiqih dan tafsir. Upaya ini terus dilakukan oleh Sultan Ahmad III hingga wafatya. Sultan Mahmud II yang naik tahta menggantikan Ahmad III masih tetap melakukan pembaruanpembaruan sistem pendidikan. Pembaruan yang dilakukannya adalah dengan memperbaiki sistem Pendidikan Madrasah yang pada saat itu hanya mengajarkan ilmu pengetahuan Agama dengan mencoba memasukkan ilmu pengetahuan umum. Namun pekerjaan ini sangat sukar dilakukan, perpaduan kurikulum ini sangat sulit untuk diterapkan , maka akhirnya madrasah tradisional dibiarkan berjalan dan kemudian menjadi tanggung jawab ulama. Akan tetapi di sampingnya didirikan dua sekolah pengetahuan umum yaitu: Maktebi Marif (sekolah Pengetahuan umum); dan Makteby Ulum U-edebiye (sekolah sastra). Pemisahan kedua lembaga pendidikan ini merupakan awal dikotomi dalam ilmu pengetahuan. Terobosan lain yang dilakukan Sultan Mahmud II adalah dengan mencoba mendirikan modelmodel sekolah barat. Misalnya pada tahun 1827 M. ia mendirikan sekolah kedokteran dan sekolah teknik, serta pada tahun 1834 mendirikan sekolah akademi militer. Pembaruan pendidikan yang dilakukan pada masa kerajaan Turki Usmani ini adalah sebuah terobosan besar, karena pada masa inilah yang pertama kalinya dikembangkan dua model pendidikan yaitu pendidikan Islam dengan pendidikan umum. B. Pendidikan Islam di Masa Kerajaan Safawi Kerajaan (dinasti) Safawi dideklarasikan oleh Syah Ismail I yang berkuasa selama lebih kurang 23 tahun (1501-1524 M.). Syah Ismail bukan hanya sekadar sebagai seorang raja dan Panglima perang melainkan juga sebagai seorang terpelajar dan sangat cinta ilmu pengetahuan, bahkan memiliki kebiasaan menulis puisi dengan menggunakan bahasa Turki. kondisi ini yang menyebabkan Dinasti Safawi juga maju dalam bidang pendidikan. Kejayaan Dinasti Safawi berada pada masa kepemimpinan Syah Abbas I. Sejarah mencatatnya

sebagai bangkitnya kembali kejayaan lama Persia, atau persepsi kaum Syiah kelahiran Dinasti ini merupakan kebangkitan kedua bagi paham Syiah di pentas sejarah politik Islam setelah kejayaannya lima abad silam. di zaman Abbas I berkembanglah kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Diantara ilmuwan yang terkenal adalah Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad, seorang ahli filsafat dan ilmu pasti. Tidak ketinggalan berkembang pula ilmu pengetahuan agama terutama fiqih, karena menurut anggapan kaum Syiah pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Diantara ulama ternama adalah bahau al-Din al-Amily. Selain itu hidup pula filosof Shadr al-Din al-Syirozi. Pada masa Dinasti Safawi ini kota Qumm dijadikan sebagai pusat kebudayaan dan penyelitian mahzab Syiah. Kejayaan Dinasti Safawi pada sisi pengembangan ilmu pengetahuan di masa pemerintahan Syah Abbas I juga terlihat dari segi fisik material, keberhasilannya ditunjukkan dengan dibangunnya 162 masjid dan 48 pusat pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut sebagian didirikan atas inisiatif para kerabat kerajaan . Di antaranya adalah Dilaram Khanun (nenek dari Syah Abbas II) yang mendirikan madrasah Nenek kecil (small grandmother) pada tahun 1645 dan madrasah nenek besar (large grandmother) tahun 1647. Terdapat pula putri Syah Safi yakni Maryam Begun yang mendirikan madrasah pada tahun 1703. Shahr Banu, adik perempuan Syah Husain mendirikan madrasah bagi para pangeran pada tahun 1694 M. Selain madrasah yang didirikan oleh para kerabat kerajaan, ada juga madrasah didirikan oleh para hartawan Dinasti Safawi. Dua di antaranya adalah Zinat Begum, istri seorang fisikawan Hakim al-Mulk Ardistani, mendirikan madrasah Nim avard (1705 M.). Izzat al-Nisa Khanum, putri pedagang dari Qum Mirza Khan dia juga istri Mirza Muh. Mahdi yang mendirikan madrasah Mirsa Husain tahun 1687. Dibangunnya beberapa madrasah tersebut menunjukkan adanya perhatian yang serius dari pemerintahan Diansti Safawi untuk mengembangkan gagasan ilmu pengetahuan. Karya intelektual terkenal pada masa ini adalah dua belas tulisan Sadr al-Din yang mencakup komentar dan saran terhadap al-Quran, disertai dengan kehidupan tradisi, cerita-cerita polemik dalam bidang teologi dan metafisika dan catatan perjalannya. Gagasan metafisikanya dijadikan sebagai rujukan bagi teologi Syaki. Adapun sistem dan praktik pendidikan pada masa Dinasti Safawi ini, semata-mata didominasi oleh tiga jenis pendidikan. Pertama, pendidikan indokrinatif sebagai kurikulum inti dalam seluruh pusat pendidikan untuk memantapkan paham Syiah demi terwujudnya partiotisme masyarakat untuk mengabdi kepada mahzab keagamaan. Kedua pendidikan estetika dengan penekanannya pada seni kriya yang diharapkan mampu mendukung sektor industri dan perdagangan. Ketiga pendidikan militer dan dan manajemen pemerintahan yang ditujukan untuk lebih memperkuat armada perang untuk keperluan pertahanan pemerintahan dan profesionalisme pengelolaan administrasi pemerintahan. Setelah mencermati data yang diperoleh, ditemukan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini khusus pada bidang pemikiran teosofi dan filsafat, bukan ilmu pengetahuan dalam pengertian sains secara umum. Pemikiran teosofis dan filsuf tersebut lebih ditujukan sebagai penyatuan antara sufisme Gnostik dengan beberapa kepercayaan Syiah. hal tersebut dapat dipahami manakala Syah Ismail pada mula pembentukan dinastinya menjadikan teologi Syiah sebagai teologi Negara. Dengan demikian pembangunan pusat-pusat pendidikan yang dilakukan tentu juga dalam tujuan yang sama, yakni pendidikan yang diarahkan sebagai penguatan aqidah dan desiminasi ajaran Syiah. C. Pendidikan Islam di Masa Kerajaan Mughal Dinasti Mughal merupakan sebuah sistem kekuasaan yang diperintah oleh raja-raja yang berasal dari Asia tengah dan keturunan Timur Lenk. Puncak kejayaan kerajaan ini berada pada saat masa pemerintahan Sultan Akbar, dan Syah Jehan. Salah satu karya mengagumkan dan fenomenal pada masa kerajaan ini adalah Istana indah di Lahore dan Tajamahal di Agra yang tergolong salah satu dari bangunan keajaiban dunia. Selain hal tersebut di atas pada masa kerajaan Mughal juga dibangun banyak masjid, salah satunya yang sangat terkenal adalah masjid Badsyahi, yang merupakan bangunan yang sangat indah dan terletak di sebelah barat benteng Lahore. Masjid-masjid yang dibangun selain sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat belajar agama bagi masyarakat. Ini menunjukkan pada masa Kerajaan Mughal juga memberikan perhatian besar dalam bidang pendidikan.

Di masjid telah tersedia ulama yang akan memberikan pengajaran berbagai cabang ilmu agama, di mana tidak sedikit masyarakat yang mengikutinya. Bahkan di masjid itu juga telah di disediakan ruangan khusus bagi para pelajar yang ingin tinggal di dalamnya selama mengikuti pendidikan. Oleh karena itu, hampir setiap masjid merupakan pengembang ilmu keagamaan tertentu dengan guru speasialis. Dalam perkembangan selanjutnya Masjid raya telah berkembang menjadi Universitas, tempat para ulama mengajarkan berbagai cabang ilmu agama dan sejumlah pelajar atau mahasiswa memilih untuk mengikuti pelajaran-pelajaran tertentu pada masa tertentu pula. Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi orang kaya, pihak kerajaan juga telah menyediakan madrash-madrasah khusus. Pendidikan atau sekolah khusus juga disediakan bagi orang Hindu yang disebut Pat Shaha. Kendati demikian di samping sekolah khusus bagi kelompok agama tertentu, pihak kerajaan juga menyediakan sekolah tempat anak-anak muslim dan hindu belajar. Dengan demikian proses pendidikan berlangsung harmonis. Selain masjid terdapat pula Khanqa (semacam Pesantren) yang dipimpin ulama atau wali yang secara umum ada di daerah-daerah padalaman. Khanqa pada era ini merupakan pusat studi Islam yang dinilai baik. Di Khanqa diajarkan berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti matematika, mantik, filsafat, tafsir al-Quran, hadis, fiqih, sejarah dan geografi. Bahasa Persia pada waktu itu merupakan bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan dan Pengajaran. Selain Sultan Akbar dan Syah Jehan, Sultan lainnya yang berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Mughal adalah Aurangzeb. Ia terkenal kuat keagamaannya, menganut aliran ahli sunnah. Jasa yang tidak dapat dilupakan dari hasil karyanya ialah membukukan hukum Islam mengenai soal muamalat. Usaha kodifikasi ini dinamakan ahkam alamgiriyah menurut gelaran yang dipakainya. Disamping itu sempat juga muncul karangan besar abad ke XVII di bidang kedokteran. Diantara karya tersebut adalah Kedokteran Dara Shukuh, yang merupakan ensiklopedi medis besar terakhir dalam Islam. Kehadiran ensiklopedi medis ini merupakan ilmu medis yang berbentuk filosofi medis (memakai pendekatan kepada Allah) hidup bersaing dengan ilmu medis modern Eropa. Hanya saja dapat dicatat bahwa di masa kerajaan Mughal tidak terdapat kemajuan mencolok di bidang ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh sains, filsafat, atau ilmu-ilmu keagamaan tidak terlalu banyak terdengar namanya. Bila dibandingkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan di masa klasik, khususnya pada masa kekuasaan Abbasiyah, tentu jauh sekali perabadingannya. Pada masa ini ilmuwan-ilmuwan yang lahir hanyalah mengembangkan ilmu yang sudah ada sebelumnya. Ia tidak bisa menciptakan sebuah ilmu baru. Hal ini juga disebabkan karena rajaraja Mughal tidak memiliki ethos Intelektual terhadap pengkajian-pengkajian ilmu baru. No 2 :Konsep dosa besar A. Menurut aliran Khawarij Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalanpersoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Muawiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asyari adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44: (44 : ) Artinya: Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua sub sekte khawarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal di neraka bersama orangorang kafir lainnya.

B. Menurut aliran Murjiah Pandangan aliran Murjiah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte Murjiah yang ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun Murjiah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraka. C. Menurut aliran Mutazilah Perbedaannya, bila khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan murjiah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mutazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah baial manzilataini. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mutazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mutazilah, seperti Wastul bin Atha dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir. D. Aliran Asyariyah Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asyari, sebagai wakil Ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Asyariah menolak ajaran Mutazilah tentang al manzilah bainal manzilatain. Menurut Asyari orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya masih ada, akan tetapi karena berbuat dosa ia menjadi fasik. Seandainya orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir, maka di dalam dirinya tidak akan didapati keimanan dan kekufuran. Hal semacam ini mustahil adanya. Oleh karena mustahil maka hukum bagi orang yang berbuat dosa besar itu bukan kafir tapi fasik. Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut Al-Asyari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asyariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murjiah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar. E. Aliran Maturidiyah Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraka, tetapi tidak kekal didalamnya. F. Aliran Syiah Zadiyah Penganut Syiah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraka, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syiah zaidiyah

memang dekat dengan Mutazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Washil bin Atha, mempunyai hubungan dengan Zaid Moojan Momen bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Washil bin Atho. Alternatif jawaban 2: POKOK-POKOK PEMIKIRAN KHAWARIJ Pada masa awal kemunculannya, Khawarij belum, atau tidak memiliki dasar-dasar pemikiran yang jelas, karena paham ini pada mulanya hanyalah sikap reaktif terhadap keputusan Khalifah Ali dan Muawiyah yang melakukan tahkim. Dan lagi, gerakan ini dipelopori oleh orang-orang yang tidak dikenal sebagai shahabat Rasulullah n, bukan pula orang-orang yang dekat dengan para tokoh senior dan ulama shahabat radhiyallahuanhum ajmain. Ketika Ibnu Hazm t mengomentari alasan penolakan Khawarij terhadap keputusan tahkim, beliau mengatakan, Akan tetapi Khawarij, adalah orang-orang yang hanya berdalil dengan Al-Quran sebelum mereka memahami sunnah Rasulullah n. Tidak ada seorang pun dari para ulama shabat yang ikut bersama mereka, tidak pula dari sahabat Ibnu Masud, Ali, Umar, Aisyah, Abu Musa, tidak pula sahabat Muadz bin Jabaloleh karena itu Anda akan mendapati mereka sangat mudah berselisih, dan berpecah-belah, bahkan saling mengafirkan satu sama lain hanya karena perbedaan pendapat dalam persoalan yang tidak prinsip. Ini jelas menunjukkan kelemahan dan kebodohan mereka. (Al-Fashl fil Milal Wan-Nihal: 1/2) Di sini kami hanya akan menyebutkan berbagai pemikiran atau pendapat Khawarij yang menyelisihi, atau menyimpang dari pendapat Ahlusunnah saja. Kemudian kami sebutkan sekilas pendapat Ahlusunnah dalam beberapa masalah untuk memudahkan kita memahami letak perbedaannya. Pokok pemikiran dari paham Khawarij dari berbagai pecahannya bisa diringkas sebagai berikut: Khawarij berkeyakinan bahwa iman itu satu dan tidak memiliki bagian. Atau dengan ungkapan yang lain, menurut mereka iman secara keseluruhan adalah ushul/pokok, tanpa cabang. Jika hilang sebagiannya dengan sebab maksiat (dosa besar) tertentu, maka hilang pula seluruhnya. Maka pelaku dosa besar menurut paham Khawarij adalah kafir, keluar dari Islam. Keislaman para pelaku dosa besar, apalagi kekufuran dan kesyirikan menurut mereka adalah batal, sebagaimana batalnya puasa orang yang makan atau minum dengan sengaja di siang hari. Sehingga di akhirat para pelaku maksiat apa pun -jika belum bertaubat- akan masuk neraka dan mereka kekal di dalamnya. (Jamiur Arasail Ibnu Taimiyah: 1/156) Konsekuwensi logis dari pemahaman Khawarij di atas adalah bahwa mereka mengkafirkan semua pelaku dosa besar, meskipun pelakunya tidak menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Dan meskipun dosa itu tidak termasuk perbuatan syirik atau kufur. Dan orang-orang Khawarij juga mengafirkan dan menghalalkan darah orang-orang yang tidak sependapat dengan pemikiran mereka. (Jamiurrasail: 1/156 dan 390) Selanjutnya, pemikiran dan sikap takfir yang serampangan inilah yang kemudian dikenal sebagai ciri pokok yang khas dari orang-orang Khawarij. Pemahaman mereka ini jelas berbeda dengan Ahlusunnah yang menyatakan bahwa iman itu memiliki bagian ushul dan furu, bisa bertambah dan berkurang. Keimanan tidak akan hilang dari diri seseorang kecuali dengan hilangnya ushul atau pokok dari iman itu sendiri. Sehingga pelaku dosa besar (selain syirik dan kufur) tidak bisa serta merta dikafirkan, kecuali jika mereka menghalalkan perbuatan maksiat tersebut. Dalam masalah tauhid Asma dan sifat, mereka berpandangan bahwa nama dan sifat yang menurut mereka terkesan mengandung unsur tasybih (penyerupaan dengan makhluk) harus ditakwilkan agar tidak terjadi tasybih antara Allah dengan makhluk. Prinsip ini mereka anggap sebagai sikap adil dan taqdis/penyucian kepada Allah l. Sedangkan Ahlusunnah mengimani semua asma dan sifat Allah sebagaimana adanya seperti yang disebutkan dalam AlQuran dan As-Sunnah, tanpa melakukan tasybih, takwil, tathil, tahrif, takyif, atau pun tamtsil. Khawarij juga menegasikan ruyatullah (melihat Allah) kelak di akhirat, dalam hal ini ini khawarij sepakat dengan madzhab Mutazilah. Mereka berdalil dengan ayat, Yudrikul abshar wahura laa yudrikuhul abshar. Keyakinan mereka ini bertolak belakang dengan Ahlusunnah yang meyakini bahwa kelak para penghuni Jannah akan bisa melihat Allah l dengan mata kepada mereka, dan itu adalah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada penghuni Jannah. Al-Quran, menurut Khawarij adalah makhluk, sebagaimana yang juga diyakini oleh Mutazilah. Sedangkan Ahlusunnah menegaskan bahwa Al-Quran adalah kalamullah dan bukan makhluk.

Khawarij juga meningkari adanya syafaat, karena menurut mereka pelaku dosa besar adalah kafir, dan tidak ada syafaat bagi orang-orang kafir. Berkenaan dengen para shahabat Rasulullah n, Khawarij hanya mengakui keimanan dan kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman saja. Dan tidak mengakui kepemimpinan para khalifah setelahnya. Mereka mengafirkan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asyari g, serta semua shahabat yang terlibat, atau meridhai peristiwa tahkim yang terjadi antara pihak khalifahan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah h. Berbeda dengan Ahlusunnah yang tetap meyakini bahwa seluruh para shahabat Rasulullah n adalah adil. Sehingga kita tidak boleh membenci dan mencela mereka, apalagi sampai mengafirkan para shahabat. Adapun perselisihan yang terjadi di antara mereka oleh Ahlu sunnah dipandang sebagai bagian dari masalah ijtihad, jika benar mereka mendapatkan dua pahala, dan jika keliru, mereka mendapatkan satu pahala karena ijtihadnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, Inti kesesatan mereka adalah dalam hal para aimmatul huda (para imam yang mendapatkan petunjuk) dan jamaatul muslimin. Khawarij berpadangan bahwa para khalifah itu telah menyeleweng dari keadilan dan tersesat. Dan mereka (Khawarij) menggolongkan segala sesuatu yang mereka anggap sebagai kezaliman sebagai perbuatan kufur. (Fatawa: 28/487) Ahlul kiblat (kaum muslimin) yang menentang mereka (Khawarij) mereka anggap kafir. Namun kekafiran mereka tidak sama dengan orang-orang musyrik, sehingga kaum wanita kaum muslimin boleh dinikahi. Demikian pula dalam hukum waris, mereka masih bisa saling mewarisi. Mereka juga menghalalkan harta rampasan dari kaum muslimin yang mereka perangi. Nafi berkata, Apabila Ibnu Umar h ditanya tentang Haruriyah, maka beliau mengatakan, Haruriyah mudah mengafirkan kaum muslimin, menghalalkan darah dan harta mereka, membolehkan untuk menikahi janda yang masih berada dalam masa iddahnya, sehingga apabila ada wanita yang dibawa kepada mereka, maka mereka akan menikahinya walaupun wanita itu masih bersuami. Aku tidak mengetahui kaum yang lebih layak untuk diperangi daripada Khawarij. (Al-Itisham: 2/183) Berbeda dengan Ahlusunnah yang meyakini bahwa kaum muslimin yang tidak melakukan halhal yang membatalkan keislaman, mereka tetap dihukumi dan disikapi sebagai muslim, mereka tetap mendapat hak dan kewajiban sebagai kaum muslimin. Meskipun mereka mungkin saja berselisih pendapat dalam beberapa masalah furu dien. Pelaku dosa besar yang mati dalam keadaan belum bertaubat, kelak di akhirat tempat mereka adalah di neraka, dan mereka kekal di dalamnya. Karena menurut mereka tidak ada syafaat yang bisa mengeluarkan penghuni neraka, yang ada adalah syafaat untuk meninggikan derajat kaum beriman di Jannah. Dengan kata lain bahwa mereka meniadakan syafaat di akhirat bagi pelaku dosa besar. (Jamiurrasail: 1/5) Sedangkan Ahlusunnah menyatakan bahwa para pelaku maksiat yang belum bertaubat hingga meninggal dunia, maka urusan mereka tahta masyiatillah. Jika Allah berkehendak untuk mengampuni mereka, maka Allah akan mengampuni mereka, namun jika Allah berkehendak untuk mengampuni mereka maka mereka akan di siksa. Namun mereka tidak kekal di neraka, karena ada syafaat bagi para pelaku maksiat yang masuk nereka, untuk kemudian dikeluarkan dari nereka dan dimasukan ke dalam Jannah. Khawarij tidak menerima dan mengamalkan hadits yang menurut mereka secara tekstual bertentangan dengan nash Al-Quran, misalnya tentang nishab pencurian, atau hukuman rajam pagi pezina. (Jamiurrasail: 1/302) Sedangkan Ahlusunnah berprinsip bahwa hadits yang shahih tidak akan pernah bertentangan dengan ayat-ayat yang muhkam. Karena sunnah Rasulullah n berfungsi sebagai tafsir, tafshil, takid dan takhsis. Atau bisa juga menetapkan hukum yang baru sebagai tambahan terhadap keterangan Al-Quran. Mengenai hukum rajam dan nishab harta curian, Ahlusunnah mendangnya sebagai tafsir dan tafshil terhadap ayat Al-Quran mengenai had bagi pezina dan pencuri. Sehingga tidak mempertetangkan keduanya. Khawarij mengafirkan shahabat Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, Abu Musa dan Amr bin AlAsh, dan kaum muslimin yang sepakat dan bersama mereka. Orang Khawarij juga sepakat bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal di neraka. Bahkan Negara yang menyelisihi pendapat mereka, dihukumi sebagai negara kafir. Kecuali kelompok Najdat dan para pengikutnya, mereka tidak berpendapat demikian. (Maqalat Islamiyyin, hal. 22) Selanjutnya, dalam masalah imamah Khawarij menyatakan bahwa yang boleh menjadi khalifah

tidak hanya orang yang berasal dari Quraisy. Tetapi khalifah boleh saja dijabat oleh siapa pun yang memenuhi standar keadilan. Jika ditengah masa jabatannya seorang imam menyimpang dari keadilan, dalam arti melakukan dosa besar, -meskipun bukan dosa syirik atau kufur- maka ia wajib untuk dilengserkan dari jabatannya. Atas dasar prinsip inilah mereka membenarkan sikap mereka memerangi Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, karena mereka beranggapan bahwa Ali maupun Muwiyah sudah menyimpang dan keluar dari keadilan. Bahkan Khawarij menvonis mereka berdua berserta semua orang yang mendukung keduanya sebagai orang yang telah murtad, keluar dari Islam. Berbeda dengan Ahlu Sunnah yang berprinsip bahwa seorang imam yang sah tetap wajib untuk ditaati dalam perkara yang maruf, meskipun ia melakukan perbuatan dosa, atau seorang yang fajir. Kecuali jika imam melakukan dosa yang tergolong syirik atau kufur akbar, maka dalam keadaan demikian Ahlu Sunnah sepakat untuk melengserkannya. Pengangkatan imam/khalifah dengan sistem wasiat adalah batil dan tidak sah. Satu-satunya cara adalah memilih imam melalui cara baiat. Khawarij juga memperbolehkan berbilangnya imam/khalifah disatu masa, jika memang diperlukan. Sebagian firqah Khawarij (yaitu Al-Muhakimah, Ibadhiyah, dan Najdad) berpendapat bahwa bisa saja kaum muslimin tidak memerlukan seorang imam/khalifah, yakni jika mereka bisa berbuat adil. Khawarij juga mempersyaratkan agar seorang imam/khalifah haruslah orang yang terbebas dari hal-hal yang bisa merusak atau mengancam imannya, misalnya suka berbuat maksiat atau melakukan hal-hal yang sia-sia. Dan seorang imam juga tidak boleh berasal dari pelaku dosa besar, meskipun dia sudah bertaubat. Dalam hukum mawarits dan keluarga, khawarij berpendapat bahwa kakek dari jalur ayah, lebih berhak merawat anak yang ditinggal mati ayahnya daripada nenek atau ibunya. Dan kakek bisa menghalangi saudara mayit dari mendapat bagian waris. Sedangkan madzhab jumhur kaum muslimin menyatakan bahwa kakek tidak bisa menghalangi bagian saudara. Anak anak orang musyrik kelak di akhirat akan disertakan bersama orangtuanya alias masuk neraka, sebagaimana anak-anak orang mukmin yang meninggal sebelum baligh, maka mereka menyertai orangtuanya di Jannah. Orang yang tinggal di Darul Kufr (negara kafir) dan tidak mau berhijrah ke Negara Islam, maka ia dihukumi kafir. (Maqalat Islamiyyin: 1/23) Menurut khawarij seorang pezina yang muhshan (sudah menikah) tidak dihukum rajam. Mereka beralasan bahwa hukum rajam tidak disebutkan dalam Al-Quran. (Fathul Bari: 19/233) Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah dan harta kelompok yang menyelisihi atau tidak setuju dengan keyakinan mereka. Sehingga dalam catatan sejarah, khawarij adalah kelompok yang sangat rentan terhadap perselisihan yang berujung perpecahan, saling menyesatkan dan bahkan saling mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Sedangkan sikap khawarij mengenai anak-anak dari orang-orang yang berada di luar kelompok mereka, khawarij bisa dikategorikan menjadi empat kelompok: 1. Anak-anak itu dihukumi sama dengan orangtua mereka, alias kafir. Sehingga diperbolehkan membunuh mereka karena darah mereka halal untuk ditumpahkan. Yang berpendapat seperti ini antara lain, firqah Al-Azariqah, Al-Ajaridah, Al-Hamziyah, dan Al-Khalfiyah. 2. Anak-anak itu kelak akan menjadi penghuni dan pelayan-pelayan di Jannah, sehingga mereka tidak boleh dibunuh. Ini adalah pendapat Najdat, Ash-Shafariyah, dan Al-Maimuniyah. 3. Sebagian khawarij memilih untuk tawaquf, tidak memvonis mereka hingga mereka baligh dan jelas sikapnya kepada Khawarij. 4. Orang-orang Ibadhiyah tidak memperbolehkan untuk menyakiti anak-anak kaum muslimin. Dan mereka juga berlepas diri dari anak-anak orang masyrik. (Firaq Muashirah: 1/106-119)

No 3 : Al Farabi (Emanasi Tuhan dan Akal Mustafad) Posted on 9 February 2010 by Miftah

Teori emanasi adalah teori pancaran tentang urutan-urutan wajud atau teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam dan makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Tuhan). Al Farabi berpendapat bahwa segala sesuatu itu keluar/berasal dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui zatNya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Tuhan berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul maujud lain. Karena pemikiran tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu dapat menciptakan sesuatu. Tuhan meupakan wujud yang pertama. Karena Tuhan berpikir tentang diri-Nya sendiri yang Esa, maka timbullah maujud kedua yang disebut akal pertama yang tidak bersifat materi. Selanjutnya, akal pertama berpikir tentang Tuhan sehingga timbul akal kedua. Akal pertama juga berpikir tentang diri-Nya sehingga terciptalah langit. Akal kedua berpikir tentang Tuhan, timbul akal ketiga, dan berpikir tentang dirinya, maka terciptalah bintang-bintang. Begitu seterusnya hingga sampai pada akal kesepuluh. Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut. Demikian gambaran alam dalam astronomi yang diketahui pada zaman Al Farabi. Pemikiran akal kesepuluh tentang Tuhan tidak cukup kuat untuk menghasilkan akal, juga karena tidak ada lagi planet yang yang akan diurusnya. Masing-masing akal mengurus planetnya dan akal kesepuluh ini terkadang disebut juga Jibril. Allah Taala (wujud 1) Akal 1 (wujud 2) Akal 2 (wujud 3) Akal 3 (wujud 4) Akal 4 (wujud 5) Akal 5 (wujud 6) Akal 6 (wujud 7) Akal 7 (wujud 8 ) Akal 8 (wujud 9) Akal 9 (wujud 10) Akal 10 (wujud 11) berpikir tentang diri-Nya berpikir tentang Tuhan berpikir tentang diri-Nya berpikir tentang Tuhan berpikir tentang diri-Nya berpikir tentang Tuhan berpikir tentang diri-Nya berpikir tentang Tuhan berpikir tentang diri-Nya berpikir tentang Tuhan berpikir tentang diri-Nya berpikir tentang Tuhan berpikir tentang diri-Nya berpikir tentang Tuhan berpikir tentang diri-Nya berpikir tentang Tuhan berpikir tentang diri-Nya berpikir tentang Tuhan berpikir tentang diri-Nya berpikir tentang Tuhan berpikir tentang diri-Nya Akal 1 Akal 2 Langit Akal 3 Bintang-bintang Akal 4 Saturnus Akal 5 Yupiter Akal 6 Mars Akal 7 Matahari Akal 8 Venus Akal 9 Merkurius Akal 10 Bulan Tidak menghasilkan akal lain Bumi, api, air, udara dan tanah

Akal Mustafad Al Farabi membagi jiwa manusia kepada tiga bagian, yaitu jiwa vegetatif yang memiliki daya makan, tumbuh dan bereproduksi, jiwa sensitif yang memiliki daya gerak, pindah dan menangkap dengan pancra indera, terakhir jiwa rasional yang memiliki daya berpikir (akal). Akal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu akal praktis (gerakan tubuh) dan akal teoritis. Akal teoritis memiliki 4 tingkatan, yaitu akal potensial (material), akal mungkin (Bakat/pengetahuan rasional I), akal aktual (pengetahuan rasional II), dan akal mustafad (akal perolehan/pengetahuan intuitif). Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki para fisosof. Akal mustafad sudah dapat menangkaparti-arti murniyang tidak berhubungan dengan material karena akal ini sudah tidak membutuhkannya. Akal mustafad mepunyai kesanggupan berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Ia sudah tidak mempedulikan dan membutuhkan serta telah sanggup melepaskan diri dari segala ikatan jasmani dan material. Inilah akal yang sempurna dalam jiwa manusia. NO 4 : makrifat,al fana,al baqa,al ittihad A.MAKRIFAH

APABILA TUHAN MEMBUKAKAN BAGIMU JALAN UNTUK MAKRIFAT, MAKA JANGAN HIRAUKAN TENTANG AMALMU YANG MASIH SEDIKIT KERANA ALLAH S.W.T TIDAK MEMBUKA JALAN TADI MELAINKAN DIA BERKEHENDAK MEMPERKENALKAN DIRI-NYA KEPADA KAMU. Ma'rifat adalah tingkat penyerahan diri kepada Allah secara berjenjang, secara tingkat demi setingkat sehingga sampai kepada tingkat keyakinan yang kuat. Orang yang memiliki ilmu ma'rifat dianggap sebagai orang yang 'arif', karena ia bisa memikirkan dalam-dalam tentang segala macam liku-liku kehidupan di dunia ini. Menurut bahasa, kata ma'rifat berarti mengetahui atau mengenal. Pengertian tersebut bisa diperluas lagi menjadi: cara mengetahui atau mengenal Allah melalui tanda-tanda kekuasaanNya yang berupa mahluq-mahluq ciptaan-Nya. Sebab dengan hanya memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya kita bisa mengetahui akan keberadaan dan kebesaran Allah SWT. Kita tentu yakin dan faham betul, bahwa tidak ada satu mahluq pun walau sekecil atau sebesar apapun, yang ada dengan sendirinya. Semuanya itu pasti ada yang menciptakan. Dan siapa lagi yang menciptakan segala mahluq tersebut kalau bukan Allah? Menurut seorang ahli ma'rifat terkenal Al-Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma'rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat: a. Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya. b. Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rosululloh SAW (Al-Hadits). c. Berserah diri kepada Allah dalam hal mengendalikan hawa nafsunya. d. Merasa bahwa dirinya adalah kepunyaan Alloh dan kelak pasti akan kembali kepada-Nya. Adapun menurut Imam Al-Ghozali sebagaimana yang ditulis dalam kitab Ihya 'Ulumudin, disitu disebutkan bahwa ada empat hal yang harus dikenal dan dipelajari oleh seseorang yang berma'rifat kepada Allah. Keempat hal tersebut adalah: 1.Mengenal siapa dirinya. 2. Mengenal siapa Tuhannya. 3. Mengenal Dunianya. 4. Mengenal Akheratnya. Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Nur Sir dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahawa Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia mahu ditemui dan dikenali. Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah s.w.t. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah s.w.t. Allah s.w.t hanya dikenali apabila Dia memperkenalkan diri-Nya. Penemuan kepada hakikat bahawa tidak ada jalan yang terhulur kepada gerbang makrifat merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu pergi lebih jauh dari itu. Apabila mengetahui dan mengakui bahawa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah s.w.t maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Bila sampai di sini seseorang itu tidak ada pilihan lagi melainkan menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Dalam perjalanan mencari makrifat seseorang tidak terlepas daripada kemungkinan menjadi

ragu-ragu, lemah semangat dan berputus asa jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah s.w.t. Hamba tidak ada pilihan kecuali berserah kepada Allah s.w.t, hanya Dia yang memiliki kuasa Mutlak dalam menentukan siapakah antara hamba-hamba-Nya yang layak mengenali Diri-Nya. Ilmu dan amal hanya digunakan untuk membentuk hati yang berserah diri kepada Allah s.w.t. B.FANA pengertian al-fana di sini bagi sufi adalah keinginan untuk menghancurkan diri (al-fana al-nafs) baik yang berbentuk perasaan maupun yang bersisifat fisiologis (tubuh kasar). Sebagaimana penjelasan Qusyairi yang dikutip Harun Nasutian berikut ini: Fana seseorang dari diriya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain itu ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.Sehingga untuk menuju ke Tuhan perlu al-fana an al-nafs yakni kalau wujud jasmaniahnya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka akan tinggal (baqa) wujud rahaniahnya saja, dan ketika itu pula ia dapat bersatu dengan Tuhan. DI kalangan sufi, Abu Yazid al-Bustami adalah orang pertama yang mencetuskan konsep alFana, al-Baqa dan al-Hulul. Karena untuk memasuki alam tasawuf yang disebut dengan Ittihad (mystical union) harus terlebih dahulu melewati tangga itu. Selama belum dapat mencapai itu, maka tidak akan bisa menyatu dengan Tuhan. Konsep fana merupakan tahapan awal yang berarti meleburkan diri. Dari kata faniy, fana atau al-fana yang artinya hacur, hilang (disappear, perish, annihilate). Kalau seorang sufi ingin mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana ini merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang sufi. Sedangkan makna yang dimaksud dari al-fana ini adalah menghilangkan segala yang berbentuk materi maupun sifat-sifat perbuatan jahat atau kemaksiatan. Setelah perbuatan buruk hilang, maka tinggallah yang sifat-sifat yang baik. C.AL BAQA al-baqa adalah kelanjutan dari pengertian al-fana yang berarti tetap, terus hidup (to remain persevere). Jadi kalau sesuatu yang tetap dan memiliki substansi yang sangat esensial. Sesuatu yang esensial adalah bagian apa sesungghunya ada pada diri Tuhan itu. Jadi konsep baqa dalam hal ini merupakan sesuatu sifat baik. Al Baqa' Artinya kekal, sentiasa ada, tiada akhir, maka hakikatnya ibarat daripada menafikan ada kesudahan bagi wujud ALLAH Taala. Adapun yang lain daripada Tuhan ada juga yang kekal tiada batas selamanya, tetapi bukan dinamakan kekal yang hakiki (yang sebenar) bahkan kekal aradhi (yang mendatang jua seperti Syurga, Neraka, Arasy, Kalam, Kursi dan roh). Maka perkara yang tersebut ini dikatakan kekal kerana mendatang tatkala bertakluk qudrat iradat ALLAH Taala pada mengekalkannya. Kekalnya ALLAH SWT adalah kekal yang hakiki atau kekal sejati, iaitu kekal yang sebenarbenarnya. Sebabnya demikian adalah kerana kekalnya ALLAH SWT itu bukan kekal yang dikekalkan. ALLAH SWT kekal dengan sendirinya, dan tidak ada siapa yang mengekalkan-Nya. Kekal yang disebabkan oleh ada yang mengekalkannya bukan dinamakan kekal yang hakiki atau

kekal yang sejati. Ia dinamakan kekal aradhi atau kekal yang mendatang kemudian. ALLAH SWT tidak bersifat kekal 'aradhi. Ada 10 perkara yang tergolong dalam kekal aradhi ini, dan berlakunya kekal aradhi kepada perkara-perkara itu adalah kerana ALLAH SWT hendak mengekalkannya. Jadi perkara-perkara itu bukan kekal hakiki atau kekal dengan sendirinya tetapi kekal yang ada yang mengekalkannya. Yang mengekalkannya ialah ALLAH SWT. Perkara-perkara itu ialah: 1. Syurga, 2. Neraka, 3. Luh Mahfuz, 4. Arasy, 5. Qalam, 6. Kursi, 7. Roh, 8. Ajbuzzanab (tulang kecil sebesar biji sawi yang duduknya di tungking manusia; ia merupakan benih anak Adam ketika dibangkitkan dari kubur kelak), 9. Jisim segala nabi, dan 10. Jisim orang yang mati perang fiabilillah. D.ITTIHAD Aku tidak heran cintaku pada-Mu karena aku hanyalah hamba yang hina Tetapi akuheran terhadap cinta-Mu padaku karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa. Yang kuhendaki dari Tuhan hanya Tuhan Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa. Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan. Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah." Konsep ittihad adalah bersatunya seorang sufi dengan Tuhan. Yakni tingkatan yang tertinggi antara manusia dengan Tuhan sama. Sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata hai aku (ya ana). Dalam ittihad kata A.R al- Baidawi seperti yang dikutip Nasutian, bahwa yang terlihat hanya satu wujud, sungguhpun benarnya ada dua wujud yang

terpisah satu dari lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujut, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihad identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sehingga sampaisampai sufi itu dapat berbicara dengan nama Tuhan, akibat dari proses al-fana tersebut.Abu Yazid al-Bustami termasuk orang yang pernah melakukan proses fana dan baqa dalam tasawuf. Kemauan dan keinginannya untuk bersatu dengan Tuhan, maka ia menempuh dengan jalan fana dan baqa itu. Suatu hari, ia merasa rindu dengan Tuhannya, lalu mencari jalan untuk menuju ke hadirat Tuhan. Sampai ia bermimpi melihat Tuhan, berikut ini pengalaman mimpinya; Aku menlihat Tuhan Akupun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Ia menjawab, tinggalkan dirimu dan datanglah. Abu Yazid al-Bustami lalu meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan, seperti yang terucap (syatahat) dari dirinya. Syatahad atau ucapanucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada dipindtu gerbang ittihad. Masih banyak lagi kata-kata yang diucapkan oleh Abu Yazid dengan nada yang hampir tidak ada perbedaan antara dirinya dengan Tuhan. Bahkan sampai mengundang persepsi orang bahwa Abu Yazid telah gila, sebab dari kata-katanya ia mengucapkan: Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Suci Aku. Seorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetok pintu. Abu Yazid bertanya: Siapa yang engkau cari? Jawabnya: Abu Yazid. Lalu Abu Yazid mengatakan: Pergillah di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Kata-kata serupa di atas, bukan diucapkan oleh AbuYazid sebagai kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkan melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya Tuhan Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur Ibn Isa al-Bustami. Ia lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M dan meninggal dalan usia 73 tahun. Ia seorang Zahid yang sangat terkenal dalam hal kesederhanaan dan kasih sayangnnya kepada kaum yang lemah. Ia sering melakukan perantauan dari satu tempat ke tempat lain, untuk mecari hakikat Tuhan. Sehingga sebagian besar waktunya digunakan untuk beribadah dan meuja Tuhan. Ia selalu zuhud demi mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui beberapa fase, yakni zuhud terhadap dunia, akhirat dan terhadap selain Allah.

You might also like