You are on page 1of 10

Meyrza Ashrie Tristyana 070913042

1. Jelaskan perekayasaan pemilihan umum dan cakupannya! 2. Jelaskan perbedaan sistem pemilihan umum tahun 1955, masa orde baru (1971-1998), tahun 1999, serta tahun 2009!

Jawaban: Sebagai suatu proses perwujudan demokrasi dengan cara diadakannya pemilihan umum, wajar dilakukan suatu rekayasa terhadap sistem pemilu yang lazim disebut sebagai elctoral engineering. Semestinya dalam rekayasa seperti ini, tergambarkan suatu rancang besar sistem pemilu dengan berbagai konsekuensi dan impak yang harus dipenuhi dan diantisipasi supaya tujuan-tujuan pokok penyelenggaraan sistem itu dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu yang dapat diperkirakan. Karena itu suatu rekayasa pemilu mestinya mempunyai tujuan dan sasaran yang jelas dan terarah, disamping tuntutan-tuntutan konsekuensi serta berbagai impak yang mungkin muncul dan terhadap faktor-faktor yg berada di luar sistem pemilu itu sendiri. Memikirkan dan melakukan halhal tersebut sebagai satu kesatuan dapat berarti melakukan suatu rekayasa pemilu yang komprehensif terintegrasi. Sistem pemilu legislative yang berlaku terakhir (2009) di Indonesia adalah sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka, dengan prinsip-prinsip utama yang diadopsi antara lain: peserta pemilu adalah partai politik (parpol) yang memenuhi persyaratan, daerah pemilihan ditentukan untuk memilih jumlah 3 10 calon, parpol berhak mengajukan calon sebanyak 120 persen, perhitungan untuk menentukan perolehan suara melalui empat tahapan, parpol berhak mendapatkan kursi DPR jika memenuhi perolehan suara sebesar 2.5 persen, penentuan calon legislative terpilih didasarkan pada perolehan suara terbanyak, dan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat tetap, nasional dan independen.1 Jika boleh dikatakan sistem pemilu ini sebagai rancang besar rekayasa sistem pemilu yang hendak dilembagakan, maka

http://tal-collection.blogspot.com/2011/11/filosofi-konstitusionalitas-dan-pilihan.html diakses pada hari Jumat, 2 Maret 2012 pukul 19.55 WIB

pertanyaan yang muncul adalah: apakah keseluruhan aspek dan prinsip sistem tersebut merupakan ukuran-ukuran yang bersifat tetap, dan karena itu, harus menjadi panduan utama yang perlu ditegakkan pada setiap kali pelaksanaan pemilu; ataukah, itu sebenarnya ukuran-ukuran minimal yang masih dan perlu dikembangkan lebih maju dalam penyelenggaraan pemilu-pemilu berikutnya. Jika sistem itu dianggap sebagai sistem yang bersifat tetap, pertanyaan yang mengikuti adalah sejauh mana peluang-peluang perbaikan untuk penyempurnaan sistem itu terbuka untuk dilakukan. Ini bisa juga merupakan suatu penegasan terkait dengan ukuran dasar (benchmark) yang untuk memandu pengembangan sekaligus pelembagaan sistem pemilu itu. Namun, jika sistem ini dianggap sebagai ukuran minimal, pertanyaan yang mengikuti adalah seberapa besar ukuran maksimal bagi pencapaipan tujuan-tujuan sistem itu, dan untuk jangka waktu berapa lama diperlukan untuk pencapaian terhadap ukuran-ukuran maksimunnya itu. Namun, jika keduanya ini tidak berlaku, maka bisa dinyatakan bahwa sistem pemilu itu bukan berarti apapun (mungkin sekedar trial and error) yang terbuka untuk diubah menjadi suatu sistem baru dalam pemilu-pemilu berikutnya. Perlu menjadi catatan penting, suatu rekayasa pemilu memerlukan jangka waktu relatif lama (panjang) untuk dapat membuahkan hasil-hasil yang diharapkan, melihat secara natural efek dan unintended consequences-nya, dan perkembangan

pelembagaannya. Berapa waktu yang diperlukan untuk itu sangat relatif tergantung dari kompleksitas sistem yang hendak dibangung, serta faktor-faktor di luar sistem yang terkait langsung maupun tidak langsung seperti partai politik, komisi penyelenggara pemilu, serta kesadaran dan kecakapan politik para pemilihnya. Rekayasa pemilu Indonesia relatif lemah dalam dalam hal ini umumnya, dan terhadap sasaran-sasaran utama yang harus dicapai, dan karena itu menjadi tidak jelas tahapan-tahapan yang harus dirancang dan dilalui untuk mencapai suatu pelembagaan sistem pemilu. Terkait dengan hak politik rakyat, dapat diajukan pertanyaan, apakah pemilu 2009 telah memadai sebagai sarana untuk menyatakan kebebasan berpolitik warga negara. Ini mencakup kebebasan menyatakan pendapat dan sikap politik, berkumpul dan berasosiasi, serta memilih dan dipilih untuk jabatan-jabatan publik.

Sistem pemilu proporsional meniscayakan pelibatan banyak partai politik. Jika keberadaan banyak parpol yang tidak dibatasi jumlahnya itu merupakan pantulan dari pengelompokan keberagaman pendirian (dan atau suara) politik yang berkembang di masyarakat, maka pemilu 2009 ini boleh dinyatakan telah memadai dalam menfasilitasi hak warga negara dalam bersuara dan bersikap, serta dalam berkumpul dan berasosiasi. Kecuali melawan peraturan yang telah disepakati bersama (tidak ditentukan scr sepihak oleh satu orang atau otoritas tertentu), tidak ada larangan untuk menyatakan hak-hak politik warga negara itu. Namun tentu saja harus dipertimbangkan sejauh mana jumlah partai yang banyak itu efektif dalam mewakili keberagaman kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa pada akhirnya didapatkan hanya kurang dari 40 persen jumlah partai politik yang mendapat dukungan memadai untuk dapat berperan nyata di parlemen. Ini pada dasarnya menampilkan insight atau pesan atas konsekuensi kapasitas kelembagaan parpol yang perlu dipertimbangkan betul supaya dapat efektif dalam menyatakan diri sebagai perwakilan politik masyarakat. Tersirat dari insight ini adalah kesadaran warga negara untuk membentuk parpol yang memastikan dapat tampil efektif dalam menjalakan fungsi dan memainkan peran perwakilannya itu. Tanpa kesadaran semacam ini hanya akan lahir parpol yg justru menjadi beban politik masyarakat sendiri. Tetapi, apakah pemilu 2009 telah makin menyatakan prinsip pemilu sebagai instrumen bagi pernyataan kedaulatan rakyat. Jawaban jelas, belum, dan bahkan mempunyai kualitas yang cenderung menurun dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Ini terutama karena amburadulnya mekanisme pendatfaran pemilih, dan ketidakcakapan personil pendataan pemilih, serta menurunya antusiasme warga negara untuk turut serta dalam pemilu secara aktif. Sistem pemilu 2009 telah mengadopsi prinsip universal suffrage yang tidak mendiskrimisi warga negara untuk turut serta dalam pemilu. Tetapi prinsip ini mengalami banyak hambatan (sengaja maupun tidak sengaja) dalam implementasinya. Terdapat sejumlah besar warga negara yang terhambat (atau bahkan, dihambat) karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Namun jelas, ini bukan kesalahan sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka. Karena itu, permasalahan ini harus diselesaikan dengan memperbaiki mekanisme pendaftaran pemilihan, standarisasi tingkat

kecakapan personil pendata pemilih melalui training kapasitas, serta penyebaran informasi yang luas tentang arti pemilu bagi rakyat. Rekayasa sistem pemilu utk tujuan pernyataan kedaulatan rakyat, yang berarti melayani hak politik rakyat dalam konteks Indonesia harus memikirkan konsekuensi kapasitas kelembagaan yang memadai untuk pendataan jumlah pemilih yang sangat besar (170-an juta), dan impak pada pemutakhiran data pemilih setiap saat karena fluktuasi dalam penambahan/pengurangan jumlah potensi pemilih yang bersikar antara 1-3 persen per tahun. Konsekuensi dan impak kapasitas ini harus benar-benar menjadi pertimbangan yang utama pada revisi peraturan perundang-undangan tentang pemilu. Warga negara juga mempunyai hak dipilih yang harus dilayani oleh suatu sistem pemilu. Pemilu 2009 boleh dikatakan sangat fasilitatif dalam membuka peluang bagi warga negara untuk merealisasi hak untuk dipilih. Dengan memenuhi persyaratan yang diharuskan, puluhan hingga ratusan ribu warga negara telah dapat merealisasi hak untuk dipilih dalam pemilu legislatif nasional dan daerah. Dan melalui penerapan prinsip perolehan suara terbanyak untuk bisa ditetapkan sebagai calon terpilih, mereka telah pula mengalami kasar dan beratnya persaingan dalam memperoleh kepercayaan parpol (persaingan internal) dan mendapatkan dukungan suara terbanyak dari para pemilih (persaingan internal dan eksternal). Karena jumlah posisi dan kursi yang dipersaingkan sangat terbatas, hasil kompetisi ini tentu saja memuaskan sedikit orang dan mengecewakan banyak orang. Mungkin ini hanya merupakan penegasan saja dari makna jabatan public (keanggotaan DPR) sebagai public property yang tidak boleh

diperdagangkan dengan mengandalkan uang. Memang bisa dicatat bahwa dampak dari penerapan prinsip perolehan suara terbanyak salah satunya adalah kompetisi yang sangat terbuka dengan menyedot banyak modal politik, sosial dan terutama ekonomi (uang), yang memperlihatkan sifat pragmatis transaksional, sehingga terlihat bahwa hukum yang berlaku adalah might is right. Ukuran-ukuran kualitas bukan menjadi panduan utama dalam kompetisi jabatan public ini. Ringkasnya, penerapan prinsip perolehan suara terbanyak ternyata menghasilkan distorsi terutama dalam hal kesetaraan peluang (yang sama) bagi warga negara untuk dapat menggunakan hak untuk dipilih, efektivitas peran parpol dalam mengontrol kualitas performa calon maupun juga kinerja anggota terpilih, dan afirmasi terhadap politik

perempuan serta kelompok-kelompok minoritas. Terhadap distorsi ini, mungkin harus dicatat bahwa penerapan prinsip suara terbanyak diterapkan dalam konteks yang 'tidak direncanakan.' Ini perlu sungguh-sungguh diperhatikan. Dengan mengabaikan konteks ini, seolah-olah prinsip suara terbanyak menjadi sebab-musabab semua persoalan pemilu 2009, dan karena itu, harus segera dirubah. Padahal sebenarnya yang diperlukan adalah persiapan dan penyiapan kapasitas institusi dan politisi yang memadai. Jika boleh ditetapkan bahwa tujuan utama rekayasa pemilu adalah mencapai terlembaganya sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka yang melayani hak politik warga negara secara adil, yang mendorong warga negara menjadi pemilih aktif, menciptakan partai partai politik yang berdaya dalam melakukan kontrol kualitas anggotanya, dan membentuk sistem perwakilan politik (dan pemerintahan demokratis) yang fungsional dan efektif, maka sejumlah aspek pokok dalam sistem pemilu 2009 perlu dipertahankan dan dikembangkan, bukan diubah atau diganti dengan sistem pemilu lainnya. Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka yang menerapkan prinsip peroleh suara terbanyak untuk penetapan calon-calon terpilih pada dasarnya memantulkan dua makna penting dalam perwakilan politik. Pertama, perwakilan politik di parlemen (DPR) sudah seharusnya mencerminkan keberagaman pendirian politik yang ada karena keberagaman sosial masyarakatnya. Disinilah aspek proporsional

diperlukan.Kedua, perwakilan politik juga sebenarnya meniscayakan terjalinnya hubungan pertanggungjawaban antara wakil dan yang diwakili (hubungan principalagent). Prinsip suara terbanyak diperlukan untuk menyatakan keniscayaan ini. Memang seperti telah ditunjukan, penerapan sistem ini menimbulkan sejumlah distorsi. Tetapi ini menuntut bukan pada perubahan sistem melainkan pembenahan pada insitusi dan kapasitas lembaga maupun individu yang menopang sistem tersebut. Penerapan sistem itu menunjukan tanda-tanda yang baik dalam pembenahan dimaksud. Partai-partai politik mulai sungguh-sungguh membenah diri dalam pengembangan kapasitas kelembagaannya. Apalagi ini diperkuat dengan revisi UU tentang partai politik yang mengharuskan pertimbangan-pertimbangan yang matang bagi proses pendirian partai politik. Demikian juga, beratnya persaingan antar calon dalam pemilu telah menuntut pertimbangan-pertimbangan yang matang bagi siapa saja untuk

turut serta dalam kompetisi kekuasaan ini. Apakah uang akan tetap dominan dalam kompetisi kekuasaan ini, jawabannya akan tergantung sejauh mana pembenahan prinsip dan mekanisme internal partai politik dilakukan untuk melawan masalah ini, dan dengan demikian, menegaskan sekaligus menegakkan peran penting partai dalam menghadirkan calon-calon yang berkualitas bagi perwakilan politik rakyat. Terkait dengan parliamentary threshold (PT), batas 2.5 persen merupakan batas minimal, artinya tidak bisa diturunkan prosentasenya, tetapi perlu diperluas dan dikembangkan penerapannya. Diperluas berarti batas minimal itu perlu diperlakukan juga pada tingkat daerah; dikembangkan berarti dipertinggi prosesntasi pada tingkat nasional. Tentu yang menjadi soal adalah seberapa besar peningkatan PT itu untuk dijadikan batas maksimun (ideal), dan apakah pencapaian batas ideal ini harus dilakukan pada berapa kali pemilu. Ini terkait juga dengan tuntutan untuk memperjelas dan mempertegas tujuan penerapan PT, yaitu: penguatan peran partai, effisiensi dan efektivitas pembuatan keputusan dan pemeritahan, dan untuk mempertahankan proporsionalitas perwakilan dengan dasar regularitas effective number of party in parliament.

Cakupan Pemilu:

A. Persiapan Pemilu 1. Lingkup dan Besaran Daerah Pemilihan Yang dimaksud dengan daerah pemilihan ialah batas wilayah administrasi dan/atau jumlah penduduk tempat peserta Pemilu dan/atau calon bersaing memperebutkan suara pemilih, dan karena itu juga menjadi dasar penentuan perolehan kursi bagi peserta dan/atau calon terpilih. Lingkup daerah pemilihan dapat ditentukan berdasarkan (a) wilayah administrasi pemerintahan (nasional, provinsi atau kabupaten/kota), (b) jumlah penduduk, atau, (c) kombinasi faktor wilayah dengan jumlah penduduk. Besaran daerah pemilihan merujuk pada jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan, yaitu apakah satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (single-member constituency) ataukah banyak kursi untuk setiap daerah pemilihan (multi-member constituencies).

2. Pola Pencalonan Pola pencalonan tergantung pada siapa yang menjadi peserta Pemilihan Umum: partai politik, perseorangan (calon independen), atau keduanya. Bila perseorangan yang menjadi peserta Pemilu, maka yang mengajukan calon tentu bukan pengurus partai politik melainkan sekumpulan anggota masyarakat yang mendukung calon perseorangan tersebut. Namun bila partai politik yang menjadi peserta Pemilu, maka calon dapat saja diseleksi dan diajukan oleh pengurus partai politik tetapi dapat pula diseleksi oleh pengurus partai tetapi dipilih oleh anggota partai secara terbuka dan kompetitif sebagai pemilihan pendahuluan. Aspek lain yang juga termasuk ke dalam pola pencalonan adalah upaya menjamin keterwakilan kelompok masyarakat yang karena faktor kultural dan struktural atau karena jumlahnya kecil sampai kapanpun akan tetap tak terwakili (unrepresented) atau terwakili secara rendah (underrepresented) dalam lembaga perwakilan rakyat. 3. Model Pemberian Suara Model pemberian suara (balloting) pada dasarnya menyangkut tiga hal, yaitu (a) apakah suara diberikan kepada partai politik, atau kepada kandidat, ataukah keduanya; (b) apakah pemberian suara dilakukan secara kategorik (ini atau itu) ataukah, secara ordinal, seperti sistem preferensi, yaitu meranking pilihan atas sejumlah calon (alternative votes); dan (c) apakah pemberian suara dilakukan secara tradisional (mencoblos) ataukah secara terpelajar (menuliskan nama, nomor atau tanda baca). Alternatif pilihan yang diberikan terhadap (a) dan (b) mempunyai implikasi yang luas terhadap banyak hal, seperti kepada siapa calon terpilih akan bertanggung-gugat (akuntabel), orientasi politik peserta Pemilu apakah inklusif ataukah eksklusif, dan pola perilaku memilih apakah berupa politik massa ataukah citizen politics. Pilihan atas (c) akan mempunyai implikasi pada kualitas pemilihan umum, khususnya pada jumlah suara yang tidak sah. 4. Formula Pembagian Kursi dan Penentuan Calon Terpilih Formula pembagian kursi dan penentuan calon terpilih adalah rumus yang digunakan untuk membagi kursi kepada partai politik peserta Pemilu di setiap daerah pemilihan, dan mekanisme yang digunakan menentukan calon terpilih.

Rumus ini tentu tergantung pada jawaban terhadap isu yang ketiga, yaitu apakah suara yang diberikan kepada partai politik ataukah kepada kandidat.

B. Penyelenggaraan Pemilu Tahapan penyelenggaraan pemilihan umum adalah2: 1. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; 2. Pendaftaran Peserta Pemilu; 3. Penetapan Peserta Pemilu; 4. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; 5. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; 6. Masa kampanye; 7. Masa tenang; 8. Pemungutan dan penghitungan suara; 9. Penetapan hasil Pemilu, dan; 10. Pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

C. Sistem Pemilu dan Sistem Kepartaian Pada dasarnya kualitas parlemen lebih banyak ditentukan oleh mekanismemekanisme pendukung sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Pada sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalkan, kualitas calon ditentukan pada daftar urutan calon anggota DPR. Urutan yang paling kecil menunjukkan berbobot atau tidaknya caleg yang diajukan, karena semakin kecil nomor urut, semakin besar kemungkinan menjadi anggota DPR dan sebaliknya, karena kita memilih tanda gambar bukan memilih orang. Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota DPR yang tidak mengerti akan hak-haknya sebagai anggota DPR, karena partai yang menentukan dcantumkannya seorang calon disana. Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetaplah partai yang menjadi penentu. Partai menentukan seseorang menjadi kandidiat

UU Nomor 10 Tahun 2008

atau tidak, hanya saja memang setelah nama kandidat itu muncul barulah pemilih yang menentukannya secara langsung. Bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian lebih banyak memang terletak pada nilai demokratis didalamnya, dalam artian hanya terkait dengan bagaimana pemilu dapat memberikan hak kepada setiap pemilih untuk memberikan suaranya sesuai dengan keyakinan pilihannya, dan bagaimana setiap kontestan pemilihan akan memperoleh dukungan secara adil, yaitu peluang yang sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan.

Tahun Pemilu

Tujuan Pemilihan Umum Pemilihan umum

Jumlah OPP

Sistem

Asas Asas jujur dan kebersamaan, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia).

Landasan Konstitusi

1955

anggota DPR dan konstituante Indonesia 1955

172

Proporsional

Pasal 57 dan 134 UUDS 1950

Tap MPRS No. Masa Orde Baru (19771997) Proporsional 10 dengan varian party list XLII/MPRS/1968 (Perubahan dari Tap MPRS No. XI/MPRS/1966; UU No. 15/1969; UU No. 16/1969) Asas Luber Proporsional dengan varian party list Jurdil(asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) UU N0. 4 tahun 1999 tentang susduk MPR/DPRUU N0. 12 tahun 2003 tentang pemilu UU N0. 22 tahun 2003 tentang susunan

Pemilihan umum anggota DPR dan DPRD Indonesia

Pemilihan umum 1999 anggota MPR, DPR, dan DPRD

48 partai politik

kedudukan

Pemilihan umum 2009 legislatif, presiden, dan wakil presiden 38

Proporsional terbuka

Asas Luber Jurdil

Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008

You might also like