You are on page 1of 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Keperawatan Dorothea E. Orem Keperawatan adalah suatu tindakan seseorang yang dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai kemampuan untuk merawat diri mereka sendiri sehingga membantu individu tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraannya. Secara normal, seseorang harus mampu merawat diri mereka sendiri sedangkan bayi, anak-anak, lansia dan orang sakit membutuhkan bantuan untuk menjalankan perawatan mandirinya (self care). Oleh karena itu, perawat menurut teori self care berperan sebagai pendidik bagi perilaku orang tua terhadap toilet training untuk dapat memandirikan toddler melakukan tugas perkembangannya tersebut (Orem, 1995).

1. Tiga Kategori Self Care Orem meyebutkan ada beberapa kebutuhan self care atau yang disebutkan sebagai kebutuhan perawatan diri (self care requisite): a. Universal self care requisite (Kebutuhan perawatan diri umum) Ada pada setiap manusia dan berkaitan dengan fungsi kemanusian dan proses kehidupan, biasanya mengacu pada kebutuhan dasar manusia. Universal self care requisite yang dimaksudkan adalah (1) Pemeliharaan kecukupan intake udara ; (2) Pemeliharaan kecukupan intake cairan; (3) Pemeliharaan kecukupan intake makanan; (4) Pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat; (5) Pemeliharaan keseimbangan dalam interaksi sosial; (6) Mencegah ancaman kehidupan manusia, fungsi kemanusiaan dan kesejahteraan manusia; (7) Persediaan asuhan yang berkaitan dengan proses-proses eliminasi; (8)

Meningkatkan fungsi perkembangan kedalam kelompok sosial sesuai dengan potensi seseorang, keterbatasan seseorang dan keinginan seseorang untuk menjadi normal. b. Developmental self care requisite (Kebutuhan perawatan diri pengembangan) Terjadi berhubungan dengan tingkat perkembangan individu dan lingkungan dimana tempat mereka tinggal, yang berkaitan dengan perubahan hidup seseorang atau tingkat siklus kehidupan. c. Health Deviation self care requisite (Kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan). Terjadi karena kesehatan yang tidak sehat dan merupakan kebutuhan-kebutuhan yang menjadi nyata karena sakit atau ketidakmampuan yang menginginkan perubahan dalam perilaku self care (Orem, 1995).

Pada penelitian ini prinsip utama self care termasuk dalam kategori universal self care requisite (kebutuhan perawatan diri umum) dan developmental self care requisite (kebutuhan perawatan diri pengembangan) sedangkan health deviation self care requisite (Kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan) tidak termasuk dalam penelitian ini.

B. Perilaku 1. Pengertian perilaku Perilaku merupakan keseluruhan (totalitas) pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal (perhatian, motivasi, persepsi, intelegensi,dll) dan faktor eksternal (nilai-nilai, adat-istiadat, kepercayaan, kebiasaan masyarakat, tradisi,dll) (Notoadmodjo, 2010).

2. Tingkatan perilaku a. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dll). Secara garis besar terdapat 6 tingkatan pengetahuan, yaitu : 1) Tahu (know) Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya sesudah mengamati sesuatu. 2) Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat

menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. 3) Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui pada situasi yang lain. 4) Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. 5) Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.

10

b. Sikap (Attitude) Sikap adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan berdasarkan intensitasnya sebagai berikut : 1) Menerima (receiving) Orang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek). 2) Menanggapi (responding) Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. 3) Menghargai (valuing) Subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon. 4) Bertanggung jawab (responsible) Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya risiko lain.

a. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai aspek psikologis yang dihadapinya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan serta faktor emosi pada diri individu itu sendiri (Azwar, 2003).

11

c. Tindakan atau praktik (practice) Tindakan adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Untuk

terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik atau tindakan ini dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu : 1) Praktik terpimpin (guided response) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. 2) Praktik secara mekanisme (mechanism) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis. 3) Adopsi (adoption) Suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

3. Strategi Perubahan Perilaku Menurut WHO, strategi perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : a. Menggunakan kekuatan (Enforcement) Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang diharapkan. b. Menggunakan kekuatan peraturan atau hukum (Regulation) Perubahan perilaku kesehatan melalui cara pendidikan atau promosi kesehatan. Ini diawali dengan cara pemberian informasi-informasi kesehatan. Dengan memberikan informasiinformasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Perubahan perilaku dengan pendidikan

12

kesehatan akan menghasilkan perubahan yang efektif bila dilakukan melalui metode. Perubahan perilaku masyarakat melalui peraturan, perundangan, atau peraturanperaturan tertulis. Artinya masyarakat diharapkan berperilaku, diatur melalui peraturan atau undang-undang secara tertulis. c. Pendidikan (Education) Cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua yang dalam memberikan informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah (Notoatmodjo, 2010).

4. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, pendidikan, pekerjaan, dll. b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas. c. Faktor-faktor penguat atau pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku perawat, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2010).

C. Toddler 1. Pengertian Menurut Potter dan Perry (2005), masa toddler berada dalam rentang dari masa kanak-kanak mulai belajar sendiri sampai mereka berjalan dan berlari dengan mudah. Toddler adalah tahap perkembangan anak usia 1-3 tahun dimana pada usia ini anak akan belajar mengerjakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhannya secara mandiri.

13

2. Tugas-Tugas Perkembangan Toddler Adapun tugas perkembangan pada anak usia toddler adalah: 1) menyusun 2 atau 3 kotak; 2) dapat mengatakan 5 sampai 10 kata; 3) mampu naik turun tangga; 4) belajar makan sendiri; 5) bermain dengan anak lain; 6) bertanya; 7) mampu menyusun kalimat; 8) dan salah satunya mulai belajar mengontrol BAK dan BAB (Soetjiningsih, 1995).

D. Toilet Training 1. Pengertian Toilet training adalah proses pelatihan menggunakan toilet untuk buang air kecil dan buang air besar, meskipun pelatihan mungkin dimulai dengan perangkat toilet yang lebih kecil berbentuk pispot (Wikipedia, 2011).

2. Proses Toilet Training Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memulai mengajari BAK/BAB : a. Membuat jadwal untuk anak. Orang tua menyusun jadwal dengan mudah ketika tahu dengan tepat kapan anaknya biasa BAK/BAB. Kalau orang tua tidak merasa pasti, maka orang tua bisa memilih waktu selama empat kali dalam sehari untuk melatih anak yaitu pagi, siang, sore dan malam hari. b. Biarkan anak duduk di toilet dengan pakaiannya. Lakukanlah selama beberapa minggu untuk membiasakan anak. c. Suruhlah anak duduk di toilet latihan sesudah bangun tidur di pagi hari atau sesudah bangun tidur siang. Hal tersebut dapat meningkatkan keberhasilan. d. Angkatlah kotoran dari diapers si anak dan tunjukkan padanya karena itu harus dibuang. Biasakan anak menyiram toilet, jika tidak siramlah sesudah anak meninggalkan kamar mandi.

14

e. Ajaklah anak melakukan sendiri. Misalnya saat anak berhenti bermain, ajaklah dia ke kamar kecil. Saat di dalam beritahukan kepadanya tentang tanda-tanda dan perlunya pergi ke kamar kecil. f. Suruhlah kakak atau temannya memperagakan penggunaan toilet. Mengamati teman sebaya melakukan itu dapat mendorong anak melakukan hal yang sama (Dowshen, 2002).

3. Syarat-syarat Memulai Proses Toilet Training Beberapa hal yang bisa menjadi acuan apakah anak sudah siap untuk memulai proses toilet training dengan memperhatikan hal-hal berikut ini

(Luqmansyah, 2008) :1) Anak bisa tetap kering kurang lebih 2 jam pada siang hari atau ketika bangun tidur siang; 2) Ada ekspresi wajah, tubuh atau kata-kata menunjukkan anak ingin BAK/BAB; 3) BAB dan BAKnya semakin bisa diprediksi dan lebih teratur; 4) Anak bisa mengikuti perintah sederhana; 5) Anak bisa pergi sendiri ke kamar mandi dan bisa membuka celananya; 6) Anak sudah tidak merasa nyaman dengan popoknya yang lembab dan ingin segera diganti; 7) Anak minta untuk menggunakan pispot/toilet; 8) Anak minta untuk dipakaikan celana dalam orang dewasa; 9) Anak sudah bisa / sedang berjalan / berlari; 10) Anak sudah bisa duduk dan bermain sekitar 5 menit anak sudah menunjukkan perilaku meniru; 11) Anak memiliki dan memahami istilah khusus untuk BAB/BAKnya. 4. Tanda-tanda anak akan BAK/BAB Adapun tanda-tanda anak terlihat akan BAK/BAB: a) Berdiri diam beberapa lama; b) Anak melihat pada ibu tapi diam; c) Anak mengeluarkan suara-suara tertentu; d) Anak memegang pantatnya/alat kelaminnya (Hadis, 2001).

15

5. Prinsip Toilet Training Pada prinsipnya ada 3 langkah dalam toilet training yaitu Melihat kesiapan anak, Persiapan dan perencanaan serta Toilet training itu sendiri.

a. Melihat Tanda Kesiapan Anak Melakukan Toilet Training Tanda kesiapan yang dapat dilakukan oleh toddler: 1)Dapat menjalankan perintah sederhana; 2) Menggunakan kata-kata untuk menjelaskan urin dan kotoran ; 3) Dapat mengontrol otot-otot yang mengatur pengeluaran urin dan menahan buang air besar ; 4) Ingin tahu kapan orang akan menggunakan kamar kecil; 5)Tidak mengompol paling tidak selama 2 jam; 6) Dapat melepas dan memakai celana dalam dan celana pendek; 7) Menggaruk selangkangan atau berhenti melakukan kegiatan sejenak sebelum BAK/BAB; 8) Mengetahui apa yang terjadi saat BAK/BAB; 9) Minta diapers diganti sesudah BAK/BAB (Dowshen, 2002).

b. Persiapan dan Perencanaan Toilet Training Pada prinsipnya terdapat 10 aspek dalam tahap persiapan dan perencanaan toilet training yaitu : 1) Gunakan istilah yang mudah dimengerti oleh anak yang menunjukkan perilaku BAK/BAB. 2) Memperlihatkan penggunaan toilet pada anak. 3) Berikan kenyamanan pada anak dengan segera mengganti diapers yang sudah basah atau kotor. 4) Meminta pada anak untuk memberitahukan atau menunjukkan bahasa tubuhnya apabila dia ingin BAK/BAB. 5) Mendiskusikan tentang toilet training dengan anak. 6) Orang tua bisa menunjukkan dan menekankan bahwa pada anak kecil

16

memakai diapers dan pada anak besar memakai celana dalam. Orang tua juga bisa membacakan cerita tentang cara yang benar dan tepat ketika buang air. 7) Menunjukkan penggunaan toilet. 8) Orang tua harus mencontohkan kepada anak sesuai dengan jenis kelamin anak (ayah dengan anak laki-laki dan ibu dengan anak perempuan). Orang tua juga bisa meminta kakaknya untuk menunjukkan pada adiknya bagaimana menggunakan toilet dengan benar (disesuaikan juga dengan jenis kelaminnya). 9) Membeli pispot yang sesuai dengan kenyamanan anak. Pispot ini gunanya untuk melatih anak sebelum dia bisa dan terbiasa untuk di toilet. Kalau langsung menggunakan toilet orang dewasa ada kemungkinan anak akan takut karena terlalu lebar dan terlalu tinggi untuk anak atau tidak merasa nyaman karena dingin. Dengan pispot yang sesuai dengan kebutuhan anak, diharapkan ia terbiasa dulu buang air di pispotnya baru kemudian diarahkan ke toilet yang sebenarnya. Ketika membeli pispot usahakan untuk melibatkan anak sehingga dia bisa menyesuaikan keadaan pispotnya atau bisa memilih warna, gambar atau bentuk yang dia sukai. 10) Pilih dan rencanakan metode reward untuk anak . Untuk suatu proses panjang dan tidak mudah seperti toilet training ini, seringkali dibutuhkan suatu bentuk reward atau reinforcement yang bisa menunjukkan kalau ada kemajuan yang dilakukan anak. Dengan system reward yang tepat anak juga bisa melihat sendiri kalau dirinya bisa melakukan kemajuan dan bisa mengerjakan apa yang sudah menjadi tuntutan untuknya, sehingga hal ini akan menambah rasa mandiri dan rasa percaya dirinya. Orang tua bisa memilih metode peluk cinta dan

17

pujian di depan anggota keluarga yang lain ketika dia berhasil melakukan sesuatu (Luqmansyah, 2008).

a. Beberapa hal yang harus diketahui yang berhubungan dengan toilet training Ada beberapa hal yang harus diketahui yang berhubungan dengan toilet training yaitu : 1) Toilet training merupakan latihan yang membutuhkan kerja sama; 2) Toilet training merupakan keterampilan yang bersifat kompleks; 3) Kesiapan otot bladder dan bowel di butuhkan dalam pengontrolan BAK/BAB; 4) Sifat orang tua dari anak sangat menentukan dalam keberhasilan toilet training; 5) Paksaan dari orang tua tidak selamanya akan membuat anak lebih awal bisa mengikuti toilet training (Luqmansyah, 2008).

6. Cara Menggunakan Toilet Dalam pelaksanaan toilet training, beberapa cara menggunakan toilet training yang praktis : a. Tunjukkan caranya Ajak mereka ke toilet saat anda menggunakannya dan biasanya mereka duduk di atasnya sambil tetap menggunakan diapers. Ketika saatnya tiba untuk latihan menggunakan toilet, proses ini sudah akan lebih dikenal oleh si anak.

b. Sesuaikan toilet
Dudukan yang sesuai untuk anak, dengan menggunakan toilet sebagai tempat latihan toilet. Dudukan ini harus kencang posisinya dan aman berada di atas jamban sehingga selain nyaman diduduki anak juga mencegah mereka selip dan jatuh kedalam. c. Anak tangga Orang tua juga membeli bangku pendek untuk meletakkan kaki sehingga anak dapat naik sendiri. Orang tua sering disibukkan dengan berbagai kegiatan dalam

18

rumah sehingga tidak perlu setiap saat menggendong anaknya duduk di toilet dan mengangkat sesudahnya. Apalagi bila pada masa awal dituntut untuk melakukan ini setiap 5 menit sekali. Bangku ini menjadi fondasi sendiri sehingga mereka merasa lebih aman saat duduk di toilet. d. Jaga kebersihan Anak akan menggunakan tangan mereka untuk menyeimbangkan diri duduk di toilet, maka pastikan toilet dibersihkan dengan anti kuman. Dorong mereka untuk melakukan kebiasaan besih dengan mencuci tangan mereka, dengan berdiri menggunakan pijakan bangku. e. Jangan memaksa Untuk beberapa anak balita, toilet dapat membantu mereka takut, dengan suaranya yang keras dan air yang menciprat. Walaupun ada dudukan khusus, mereka mungkin akan takut jatuh dan terbawa oleh air yang banyak itu (Gilbert, 2003).

7. Model Pakaian Yang Digunakan a. Model pakaian yang sebaiknya dipakai yaitu 1) Celana berbahan elastis; 2) Celana pinggang karet; 3) Rok dan gaun tanpa rempel. b. Model pakaian yang sebaiknya dihindari yaitu 1) Dungaree (celana jengki / celana terusan) (Gilbert, 2003).

8. Cara Menggunakan Kloset Besar Cara menggunakan kloset besar untuk anak yang belajar melakukan toilet training : a. Biarkan anak anda yang mempunyai pispot tempat buang air untuk sekali-kali mencoba menggunakan kloset besar sehingga apabila sedang berpergian ke luar rumah dia dapat menggunakan kloset dengan nyaman.

19

b. Ajarkan anak perempuan untuk bersandar kebelakang saat duduk di atas kloset (sebagian anak laki-laki pun menyukai posisi demikian) atau duduk pada salah satu kloset tersebut. Dan sediakan sebuah pijakan kaki yang kokoh untuk membantu si anak merasa lebih nyaman. c. Terangkan dengan jelas sewaktu mengajari anak laki-laki bahwa dia harus mengatur agar air kemih yang keluar jatuh tepat pada lubang kloset tersebut. Orang tua dapat membantunya mengapungkan sepotong tisu di dalam kloset sebagai target sasaran (Lansky, 2000).

9. Kesalahan Utama Orang Tua Pada saat mengajari cara buang air pada anak, ada beberapa kesalahan yang seringkali dilakukan orang tua : a. Kehilangan kesabaran Anak kecil adalah penyerap emosi. Tentu saja, tidak ada yang bisa menjadi orang tua yang tenang setiap saat. Namun, cobalah untuk menyampaikan pesan bahwa memakai toilet adalah proses alami. Gagal melakukannya bukan masalah karena toilet akan ada kapan pun anak merasa siap.

b. Menggunakan jadwal anda


Gunakan jadwal yang tepat terhadap anak ketika orang tua memiliki waktu luang. Keberhasilan bisa terjadi apabila anak juga sama siapnya dengan orang tua tapi jangan terburu-buru karena hanya akan membuat anak frustasi dan kecewa. Biarkan anak menunjukkan tanda kapan ia siap memulai latihan toilet. c. Memaksakan duduk di toilet mini selama berjam-jam Biarkan anak duduk di toilet selama yang ia mau sambil membujuknya untuk duduk lebih lama dengan mebacakannya cerita atau memberikan buku

20

bergambar di sekitar toilet. Tidak perlu memaksanya duduk berjam-jam sampai BAK/BAB. d. Mengingatkan terus Sebagai orang tua memang seharusnya membantu mengingatkan kalau anak perlu ke toilet, tapi jangan berlebihan. e. Bersikap inkonsisten Ketidak konsistenan terhadap anak dapat membuat anak sulit mengerti apa yang orang tua katakan padanya. f. Bersikap berlebihan Terlalu berlebihan memberi pujian terhadap anak, akan menjadi senjata bagi orang tua karena anak-anak tidak bodoh. Anak dapat memberikan sinyal-sinyal palsu untuk menarik perhatian orang tua. g. Terlalu cepat memulai Satu-satunya alasan baik kenapa harus cepat-cepat melatih anak menggunakan toilet adalah karena si anak sudah terlihat siap, bukan karena terlalu terburu-buru orang tua dikatakan orang tua yang tidak layak bila anak belum terbiasa menggunakan toilet pada umur 3 tahun (Gilbert, 2003).

10. Hambatan-Hambatan Umum Dalam Toilet Training Beberapa hambatan-hambatan umum yang sering ditemui saat mengajari cara buang air pada anak : a. Buang air ditempat yang salah Orang tua sebaiknya jangan menunjukkan perasaan kecewa ketika anak buang air di tempat yang salah. Hal ini merupakan akibat ketidakmatangan otot atau pengaturan waktu yang buruk.

21

b. Diare Saat anak mengalami diare, informasikan kepada anak bahwa menghentikan pengajaran cara buang air sementara tidak apa-apa. Biarkan dia memakai diapers kembali selama beberapa hari selama dia ingin. c. Sembelit Pada BAB yang keras dan sakit dapat menggangu anak belajar menggunakan toilet. Anak lebih suka menunda untuk menghindari rasa sakit yang malah menyebabkan sembelit yang lebih buruk.

d. Cirit (Encopresis)
Cirit artinya BAB secara tidak sengaja dalam diapers atau celana. Jika anak merasa tertekan dalam mempelajari cara mempergunakan toilet dan tidak siap, ia mungkin mengalami cirit (encopresis) (Dowshen, 2002). 11. Faktor-faktor yang mempengaruhi Toilet Training pada Toddler a. Pendidikan Tingkat pendidikan orang tua turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Tingkat pendidikan berpengaruh pada pengetahuan orang tua tentang penerapan toilet training, apabila pendidikan orang tua rendah akan berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh pada cara melatih secara dini penerapan toilet training. b. Pekerjaan Status pekerjaan mempunyai hubungan yang bermakna dengan penerapan toilet training secara dini pada toddler, dimana pekerjaan dapat menyita waktu orang tua untuk melatih anak melakukan toilet training secara dini sehingga akan berdampak pada terlambatnya anak untuk mandiri melakukan toilet training.

22

c.

Kualitas dan perhatian Kasih sayang dan perhatian orang tua yang dimiliki mempengaruhi kualitas dalam penerapan toilet training secara dini dimana orang tua yang perhatian akan memantau perkembangan toddler maka akan berpengaruh lebih cepat dalam melatih toddler melakukan toilet training secara dini. Dengan dukungan perhatian orang tua maka anak akan lebih berani atau termotivasi untuk mencoba karena mendapatkan perhatian dan bimbingan.

d. Pengetahuan Pengetahuan yang dimiliki orang tua pada dasarnya dapat berpengaruh pada cepat atau lambatnya orang tua melakukan penerapan toilet training, dimana orang tua yang memiliki pengetahuan yang baik tentang toilet training akan berdampak pada cepatnya melatih toilet training secara dini pada toddler, hal ini berdampak positif bagi orang tua maupun toddler yaitu anak dapat mandiri melakukan toilet training. e. Lingkungan Lingkungan berpengaruh besar pada cepat atau lambatnya penerapan toilet training, dimana orang tua akan memperhatikan lingkungan sekitar apakah anak seusia sudah dilatih toilet training atau belum. Hal ini menjadi suatu hambatan, dimana anak usia 1 tahun sebenarnya sudah harus dilakukan penerapan toilet training secara dini agar tidak merepotkan apabila sedang bersosialisai atau bermain dengan teman sebaya (Luqmansyah, 2008).

E. Peran Perawat Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukannya dalam suatu sistem, dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat konsisten. Perawat adalah seseorang yang telah lulus dan mendapatkan ijazah dari pendidikan kesehatan

23

yang diakui pemerintah (PP No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan). Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya dan diperolehnya melalui pendidikan keperawatan. (Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992). Menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 peran perawat terdiri dari : 1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan. Pemberi asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks. Dalam penelitian ini pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh perawat adalah dengan melakukan pendekatan yaitu pendidikan kesehatan terhadap orang tua toddler tentang informasi-informasi yang tepat mengenai toilet training. 2. Sebagai advokat klien Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan. Perawat juga berperan dalam memperhatikan dan melindungi hak-hak klien meliputi : hak atas pelayanan sebaikbaiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dan hak menerima ganti rugi akibat kelalaian. Dalam penelitian ini perawat berperan dalam memberikan informasi yang jelas mengenai pendidikan kesehatan tentang toilet training serta menjelaskan hak-hak responden dalam penelitian. 3. Sebagai educator (pendidik) Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan sehingga terjadi perubahan prilaku dari klien sesudah dilakukan pendidikan kesehatan. Dalam penelitian ini perawat berperan memberikan informasi, cara dan metode yang tepat dan sederhana mengenai toilet training.

24

4. Sebagai researcher (peneliti) Sebagai peneliti di bidang keperawatan, perawat diharapkan mampu

mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode penelitian serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu pelayanan dan pendidikan keperawatan. Peneliti di bidang keperawatan juga bermanfaat dalam menopang dan menciptakan pengembangan ruang lingkup praktek keperawatan dapat dievaluasi sehingga dapat diidentifikasi cara pemecahan masalah yang tepat. Kemampuan perawat mengadakan penelitian sangat diperlukan tidak saja untuk menyelesaikan masalah keperawatan yang terkait dengan pelayanan dan pendidikan keperawatan tetapi juga dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan. Peran perawat dalam penelitian diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan pada bidang kesehatan serta menjadi media dalam menerapkan ilmu keperawatan dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di bidang kesehatan serta untuk menjawab isu bahwa perawat tidak bisa melakukan riset karena keterbatasan pengetahuan dalam penelitian dan ilmu terkait adalah tidak benar. Salah satu pelaksanaan fungsi pokok perguruan tinggi adalah fungsi penelitian dalam menyelenggarakan fungsi ini pendidikan tinggi keperawatan dapat

melaksanakan penelitian, pengumpulan data dan pengolahan informasi yang sesuai dengan keahlian di bidang keperawatan dengan demikian institusi perguruan tinggi keperawatan baik bersama-sama dengan institusi setempat atau masing-masing dapat berperan sebagai pusat informasi ilmiah keperawatan maupun pusat sumber daya keperawatan Perawat berperan dalam melakukan pendidikan kesehatan tentang toilet training. Penelitian ini diharapkan dapat menopang dan menciptakan pengembangan ruang lingkup praktek keperawatan dapat dievaluasi sehingga dapat diidentifikasi cara pemecahan masalah yang tepat.

25

F. Penelitian Yang Terkait Sebelum ini telah terdapat beberapa penelitian yang terkait mengenai pendidikan kesehatan terhadap perilaku orang tua dalam meningkatkan kemandirian toddler melakukan toilet training, yaitu antara lain : 1. Dhianita binarwati (2006) dengan judul Pengaruh pembelajaran metode demonstrasi terhadap perubahan perilaku orang tua dan kemampuan toilet training pada anak todler (1536 bulan). Data dianalisis dengan menggunakan Mann Whitney U Test dengan tingkat signifikansi p <0,05 dan Wilcoxon Signed Rank Test dengan tingkat signifikansi p <0,05. Hasil menunjukkan adanya efek pada kelompok perlakuan dan kontrol. Pada kelompok perlakuan tingkat pengetahuan memiliki signifikansi p = 0,007, sedangkan pada kelompok kontrol p = 0,059. Untuk sikap orang tua dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol p = 0,859. Untuk tindakan orang tua dalam kelompok perlakuan p = -0,007,sedangkan tindakan orang tua dalam kelompok kontrol p = 0,180. Untuk kemampuan toilet training pada kelompok perlakuan p = 0,007, sedangkan pada kelompok kontrol p = 0,102. Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh signifikan metode demonstrasi terhadap perubahan perilaku orang tua dan toilet kemampuan pelatihan pada balita. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian ini adalah merupakan penelitian pre eksperimental dengan pendekatan One group pre-post test design. Perbedaan yang lain adalah pada tempat dan waktu penelitian, subyek penelitian dan metode analisis data yang digunakan. 2. Shamuelni john (2007) dengan judul a study to assess the knowledge and practices regarding the toilet training among mothers of preschool children in selected urban community at Bangalore city. Penelitian ini menggunakan total sampling dan uji statistik chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh signifikan antara pengetahuan dan praktek toilet training. Untuk pengetahuan nilai rata-rata adalah 5,97, (SD=0,10), sedangkan hasil untuk praktek toilet training nilai rata-rata

26

adalah 5,22, (SD=0,18). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian ini adalah merupakan penelitian pre eksperimental dengan pendekatan One group pre-post test design. Perbedaan yang lain adalah pada tempat dan waktu penelitian, subyek penelitian dan metode analisis data yang digunakan.

You might also like