You are on page 1of 7

EKSERGI Jurnal Teknik Energi Vol 7 No.

1 Januari 2011 ; 17 - 23

PEMBANGKIT LISTRIK BERBAHAN BAKAR BATU BARA YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN


Ismin Taukhid Rahyono Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof. H. Sudarto, SH., Tembalang, Kotak Pos 6199/SMS, Semarang 50329 Telp. 7473417, 7499585 (Hunting), Fax. 7472396 Abstrak Pembangkit listrik berbahan bakar batubara menjadi andalan karena jumlah cadangan batubara masih cukup banyak dan bisa digunakan hingga 146 tahun. Dampak akibat penggunaan batubara untuk pembangkit listrik akan dapat meningkatkan emisi partikel SO2, NO2, dan CO2. Salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan lingkungan tersebut dilakukan dengan menggunakan teknologi bersih yang dapat diterapkan sebelum dan setelah pembakaran batubara. Teknologi ESP menghilangkan debu mencapai 99,9 %, FGD mengurangi emisi SO2,70-95 %, FBCmengurangi SO2, 90-95 %, NO2, 70-80 %, IGCC mengurangi emisi SO2, 95-99 %, NO2, 40-95 %, MHD mengurangi emisi gas buang 55-60 %, efisiensi IGCC dan Fuel Cell 50-55. Dengan diperlakukan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak dan/atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal maka akan mendorong peningkatan teknologi sehingga mampu untuk selalu mengurangi emisi tersebut. Kata kunci: fluidized bed combustion, gasifikasi batubara, magneto hydrodynamic.

1. PENDAHULUAN

Penggunaan teknologi dan kerusakan lingkungan saling terkait sehingga menyadarkan masyarakat untuk selalu melakukan modifikasi dan inovasi dari teknologi yang digunakan saat ini. Pemberdayaan dan penggunaan sumber energi terus dilakukan dengan cara membuat inovasi pada teknologi yang memproduksi, mengkonversi, menyalurkan, dan menggunakan energi sehingga diperoleh teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Teknologi inovasi tersebut di antaranya adalah : gasifikasi batubara, reaktor fusi nuklir, superkonduktivitas, sel surya, dan lampu hemat energi. Teknologi ini sebagian masih dalam tahap riset dan sebagian sudah sampai pada tahap komersial. Salah satu teknologi konversi energi adalah pembangkit tenaga listrik. Di Indonesia dampak lingkungan dari teknologi pembangkit listrik mendapat perhatian yang serius (Tabel 1) Parameter emisi dan limbah yang dapat ditoleransi oleh sumber lingkungan hidup. Apabila toleransi tersebut tidak dilampaui, maka sumber lingkungan hidup masih akan mampu untuk memperbarui diri.

Parameter dalam standar emisi tersebut, seperti : SO2 , NOx , total partikulat adalah bahan polutan yang berhubungan langsung dengan kesehatan manusia. Saat ini bahan bakar pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil, salah satunya adalah batubara. Penggunaan batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik diperkirakan akan terus meningkat. Meskipun kandungan sulfur batubara Indonesia relatif kecil tetapi penggunaan dalam jumlah besar akan dapat meningkatkan emisi SO2 sehingga dapat berdampak negatif terhadap manusia dan lingkungan hidup. Oleh karena ini perlu adanya kajian tentang penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit listrik batubara yang mempunyai prospek untuk diterapkan di Indonesia di masa mendatang. 2. Pembangkit Listrik Di Indonesia. 2.1. Sumber Energi di Indonesia. Batubara mempunyai cadangan yang melimpah tetapi penggunaannya masih sangat sedikit. Bila dilihat dari rasio cadangan dibagi produksi (R/P Ratio) maka batubara masih mampu untuk digunakan selama lebih dari 146 tahun. Sedangkan gas alam dan minyak 17

Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batu Bara ...............................................................(Ismin Taukhid Rahyono

bumi mempunyai R/P Ratio masing- masing sebesar 62 tahun dan 23 tahun. Setelah melihat cadangan batubara ini, diperkirakan bahwa di masa depan batubara mempunyai peran yang besar sebagai penyedia energi nasional.

Gambar 1. Sasaran Energi Primer Nasional 2025 [6] Penggunaan energi primer tahun 2005 terbesar adalah minyak bumi dengan pangsa 54,4 % dan diikuti oleh gas bumi 22,24 %, batubara 16,77 % , tenaga air 3,72 %, panas bumi 2,48 %, dan sisanya energy lainnya Pada tahun 2025 direncanakan kebutuhan energy setelah melalui konservasi energi terbesar adalah batubara 33 %, gas bumi 30 %, minyak bumi 20 %, bahan bakar nabati (biofuel ) 5 %, panas bumi 5 %, biomassa, nuklir, air, surya, angin, 5% , batubara yang dicairkan (coal liquefaction) 2% 2.2. Pembangkit Listrik Kebutuhan energi untuk listrik meningkat dengan laju pertumbuhan tertinggi dari 112,2 TWjam pada tahun 2002 menjadi 356,8 TWjam pada tahun 2020, meningkat sekitar 3.2 kali lipat, atau dengan pertumbuhan rerata 6,6% per tahun. Sekitar 68 % dari kebutuhan listrik nasional ini akan digunakan di wilayah Jamali [BP4IPT,2006]. Konsumsi total batubara pada tahun 2002 mencapai 22,8 juta ton. Dari jumlah tersebut 78,7% digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik. Sampai dengan tahun 2020 akan terjadi peningkatan penggunaan energi batubara secara besar-besaran di bidang pembangkitan listrik dari 50 TWjam menjadi 320 TWjam (4,6 kali lipat). Pasokan batubara akan terus meningkat sehingga pada tahun 18

2020 akan dibutuhkan batubara sebanyak 108,3 juta ton, dan sekitar 84,2% dari total produksi tahunan batubara akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan di Jawa. (BP4IPT,2006) Peningkatan emisi gas buang hasil pembakaran berupa CO2 dari 183,1 juta Ton pada tahun 2002 menjadi 584,9 juta Ton pada tahun 2020 (3,2 kali lipat), NOX dari 651,5 ribu Ton pada tahun 2002 menjadi 2.292,5 ribu Ton pada tahun 2020 (3,5 kali lipat), SO2 dari 192,5 ribu Ton pada tahun 2002 menjadi 600 juta Ton pada tahun 2020 (3,1 kali lipat), CH4 dari 131,7 ribu Ton pada tahun 2002 menjadi 286,7 juta Ton pada tahun 2020 (2,2 kali lipat), abu terbang dari 81,2 ribu Ton pada tahun 2002 menjadi 238,1 ribu Ton pada tahun 2020 (2,9 kali lipat) [BP4IPT,2006]. 3. Teknologi Bersih Lingkungan Berdasarkan pembahasan sebelumnya terlihat bahwa batubara sangat potensial digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di masa depan. Akan tetapi banyak kendala yang dihadapi untuk memanfaatkan batubara secara besar-besaran. Kendala tersebut antara lain : Batubara berbentuk padat sehingga sulit dalam penanganannya. Batubara banyak mengandung unsur lain, misalnya sulfur dan nitrogen yang bisa menimbulkan emisi polutan. Batubara mengandung banyak unsur karbon yang secara alamiah bila dibakar akan menghasilkan gas CO2 Untuk mengatasi kendala tersebut, teknologi bersih merupakan alternatif yang dapat diterapkan. Teknologi ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam kategori yaitu pertama diterapkan pada tahapan setelah pembakaran dan yang kedua diterapkan sebelum pembakaran. (Sugiyono,2000)

3.1. Penerapan Teknologi Setelah Proses Pembakaran Energi batubara yang dibakar di boiler akan menghasilkan uap yang selanjutnya uap

EKSERGI Jurnal Teknik Energi Vol 7 No. 1 Januari 2011 ; 17 - 23

digunakan untuk memutar generator listrik. Hasil pembakar batubara selain panas juga menghasilkan emisi seperti partikel, SO2, NOX , dan CO2. Emisi tersebut dapat dikurangi dengan menggunakan teknologi seperti, desulfurisasi, electrostratic precipitator (penyaring debu), dan separator CO2 . Kecuali teknologi separator CO2 yang masih dalam tahap penelitian, teknologi lainnya merupakan teknologi konvensional yang saat ini sudah banyak diterapkan. Pada Gambar 2. diperlihatkan skema penggunaan dari setiap teknologi.(Sugiyono,2000) 3.1.1 Teknologi Denitrifikasi Teknologi denitrifikasi adalah teknologi untuk mengurangi emisi Nox Teknologi ini diterapkan untuk memperbaiki atau memodifikasi sistem boiler dengan cara antara lain :

1. Menggunakan metoda pembakaran dua tingkat, 2. Menggunakan alat pembakaran dengan NOx rendah, 3. Memodifikasi sirkulasi ulang gas buang, dan 4. Menggunakan alat denitrifikasi di dalam ruang bakar. Denitrifikasi dilakukan dengan menginjeksi amonia ke dalam peralatan denitrifikasi yang biasa disebut selective catalytic reduction (SCR). Gas NOx di dalam gas buang akan bereaksi dengan amonia dengan bantuan katalis sehingga emisi NOx akan berkurang hingga 80-90 %. (Sugiyono, 2000).

Gambar 2. Proses Setelah Pembakaran Batubara [Nishikawa,1995] Teknologi dedusting digunakan untuk mengurangi partikel yang berupa debu dan peralatan ini dipasang setelah peralatan denitrifikasi. Salah satu jenis peralatan ini adalah electrostatic precipitator (ESP). ESP berupa elektroda yang ditempatkan pada aliran gas buang. Elektroda diberi tegangan antara 40-60 kV DC sehingga dalam elektroda akan timbul medan magnet. Partikel debu dalam gas buang yang melewati medan magnet akan terionisasi dan akan berinteraksi dengan elektrode yang mengakibatkan debu akan terkumpul pada lempeng pengumpul. Lempeng pengumpul digetarkan untuk

Gambar 3. Pengurangan Emisi Dengan Reaktor SCR.


[www.google.co.id/image?..SCR%29+picture]

3.1.2. Teknologi Dedusting

19

Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batu Bara ...............................................................(Ismin Taukhid Rahyono

membuang debu yang sudah terkumpul. Efisiensi ESP untuk menghilangkan debu sangat besar yaitu mencapai 99,9 % [Sugiyono, 2000]. 3.1.3. Teknologi Desulfurisasi Teknologi desulfurisasi digunakan untuk mengurangi emisi SO2 , peralatan desulfurisasi biasa disebut flue gas desulfurization (FGD). FGD mempunyai dua tipe yaitu FGD basah dan FGD kering. Pada FGD basah, campuran air dan gamping disemprotkan dalam gas buang denga cara ini dapat mengurangi emisi SO2 sampai 70-95 %. Hasil samping adalah gypsum dalam bentuk cairan. FGD kering menggunakan campuran air dan batu kapur atau gamping yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar dengan cara ini dapat mengurangi emisi SO2 sampai 70- 97 %. FGD kering menghasilkan produk sampingan gypsum yang bercampur dengan limbah lainnya.

atau dibuang ke dalam laut atau ke bekas tempat penambangan. 3.2. Penerapan Teknologi Sebelum Proses Pembakaran Pengurangan emisi setelah pembakaran batubara banyak memerlukan energi listrik sehingga kurang efisien dalam penggunaan energi. Cara yang lebih efisien adalah bila pengurangan emisi dilakukan sebelum pembakaran dan sering disebut teknologi batubara bersih. Teknologi batubara bersih yang dibahas dalam makalah ini diantaranya adalah teknologi fluidized bed combustion (FBC), gasifikasi batubara, magneto hydrodynamic (MHD) dan kombinasi IGCC dengan fuel cell. 3.2.1. Teknologi FBC Teknologi FBC terdiri dari atmospheric fuidized bed combustion (AFBC) dan pressurized fuidized bed combustion (PFBC). Teknologi PFBC lebih cepat berkembang dari pada AFBC karena mempunyai efisiensi yang lebih tinggi, gambar 6 memperlihatkan skema dari PFBC. Pada proses PFBC, batubara sebelum dimasukkan ke dalam boiler dihaluskan hingga ukuran 6-20 mm. Batubara dimasukkan dengan cara diinjeksikan melalui lubang yang berada sedikit di atas distributor udara. Bersamaan dengan batubara diinjeksikan juga batu kapur yang sudah dihaluskan sehingga terjadi proses desulfurisasi. Pembakaran dalam boiler berlangsung pada suhu yang relatif rendah yaitu sekitar 8000 C. Suhu yang relatif rendah ini akan mengurangi emisi NOx yang dihasilkan. Dengan menggunaan teknologi PFBC dapat mengurangi emisi SO2 sebesar 90-95 % dan emisi NOx sebesar 70-80 %. Gas hasil pembakaran mempunyai tekanan yang cukup tinggi dan bersih sehingga bisa digunakan untuk menggerakkan turbin gas. Disamping itu gabungan uap yang dihasilkan dari pembakaran dengan uap hasil heat recovery steam generator (HRSG ) dapat digunakan untuk menggerakkan turbin uap. Dengan demikian dapat diperoleh siklus ganda sehingga akan menaikkan total

Gambar 4. Proses Teknologi Desulfurisasi [www.google.co.id/image?..flue+gas+desulfurization +picture&um] 3.1.4. Teknologi CO2 Removal Negara-negara maju seperti Jepang telah melakukan riset untuk memisahkan gas CO2 dari gas buang dengan menggunakan cara seperti halnya pada pengurangan emisi SO2 dan NOx. Teknologi pemisahan ini mengggunakan bahan kimia amino dan memerlukan energi sebesar seperempat dari energi listrik yang dihasilkan sehingg cara ini belum efisien dan masih perlu disempurnakan. Gas CO2 yang telah dipisahkan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri 20

EKSERGI Jurnal Teknik Energi Vol 7 No. 1 Januari 2011 ; 17 - 23

efisiensinya antara 40-44 %.(Siegel & Temchin,1991) 3.2.2. Teknologi Gasifikasi Batubara Teknologi gasifikasi batubara merupakan inovasi terbaru dalam memperbaiki metoda pembakaran batubara yaitu dengan mengubah batubara menjadi gas. Perubahan bentuk ini meningkatkan efisiensi, yaitu dengan memperlakuan gas hasil gasifikasi seperti penggunaan gas alam yang dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin gas. Gas buang dari turbin gas masih mempunyai suhu yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin uap dengan menggunakan HRSG. Gasifikasi dilakukan pada tahap awal proses, yaitu setelah proses menghalusan atau pembentukan slurry. Gasifikasi dilakukan pada suhu yang cukup tinggi yaitu sekitar 1400 - 15000 C. Abu sisa pembakaran akan meleleh pada suhu tersebut. Gas hasil gasifikasi sebelum masuk turbin gas dibersihkan dengan menggunakan ESP dan desulfurisasi. Proses desulfurisasi ini akan menghasilkan belerang murni yang mempunyai nilai jual tinggi. Denitrifikasi dilakukan setelah HRSG. Teknologi IGCC masih dalam tahap pengembangan dan diperkirakan dalam 2-5 tahun mendatang dapat beroperasi secara komersial. Efisiensi IGCC dapat mencapai 43-47 %. Emisi SO2 dan NOx dapat dikurangi masing-masing sekitar 95-99 % dan 40-95 %.(Siegel & Temchin,1991) 3.2.3. Teknologi Magneto Hydro Dynamic (MHD) Teknologi MHD bekerja berdasarkan efek Faraday yaitu arus listrik DC akan timbul bila ada konduktor yang bergerak melewati medan magnet. Untuk mendapatkan efek ini, batubara dibakar di ruang bakar hingga temperatur mencapai 26300 C. Pada temperatur ini fluida kerja potassium dapat terionisasi menjadi gas yang berperan sebagai konduktor. Gas akan melewati medan magnet dan menghasilkan tegangan listrik DC. Tegangan DC diubah menjadi tegangan AC dengan menggunakan inverter , gas buang

setelah melewati MHD masih dapat digunakan untuk menghasilkan uap dengan bantuan HRSG. Uap akan menggerakan turbin uap dan menghasilkan energi listrik. Efisiensi kombinasi siklus ini dapat mencapai 55 -60 %. (Princiotta,1991). Proses pengurangan emisi SO2 dalam MHD terjadi secara alami. Potassium sebagai fluida kerja akan bereaksi dengan belerang dari batubara dan membentuk potassium sulfate yang terkondensasi. Fluida ini kemudian dipisahkan dari belerang dan diinjeksikan ulang ke dalam ruang bakar. Pengurangan emisi NOx dilakukan dengan metode pembakaran dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada ruang bakar dan tahap kedua dilakukan di HRSG. Emisi partikel dapat dikurangi dengan menggunakan peralatan konvensional ESP. Sedangkan emisi CO2 akan berkurang karena meningkatnya total efisiensi. (Princiotta,1991) 3.2.4. Teknologi Kombinasi IGCC dan Fuel Cell Pada IGCC dapat ditambah satu proses lagi yaitu menggunakan teknologi fuel cell. Teknologi fuel cell yang sudah digunakan untuk temperatur tinggi adalah tipe molten carbonate fuel cell (MCFC) dan solid electrolytic fuel cell (SOFC). Tipe MCFC beroperasi pada suhu sekitar 6500 C sedangkan tipe SOFC dapat mencapai 10000 C. Total efisiensi dari sistem ini diperkirakan 50-55 %.[Princiotta,1991] 4. KESIMPULAN Konsumsi total batubara pada tahun 2002 mencapai 22,8 juta ton. Dari jumlah tersebut 78,7% digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik. Sampai dengan tahun 2020 akan terjadi peningkatan penggunaan energi batubara secara besar-besaran di bidang pembangkitan listrik dari 50 TWjam menjadi 320 TWjam (4,6 kali lipat). Pasokan batubara akan terus meningkat sehingga pada tahun 2020 akan dibutuhkan batubara sebanyak 108,3 juta ton, dan sekitar 84,2% dari total produksi tahunan batubara akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan di Jawa.

21

Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batu Bara ...............................................................(Ismin Taukhid Rahyono

Peningkatan emisi gas buang hasil pembakaran dari tahun 2002 sampai tahun 2020 meningkat 3,2 kali untuk CO2, 3,5 kali lipat untuk NOX , 3,1 kali lipat untuk SO2 , 2,2 kali untuk CH4 , 2,9 kali untuk abu terbang. Salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan lingkungan tersebut dilakukan dengan menggunakan teknologi bersih yang dapat diterapkan sebelum dan setelah pembakaran batubara. Teknologi ESP menghilangkan debu mencapai 99,9 %, FGD mengurangi emisi SO2,70-95 %, FBCmengurangi SO2, 90-95 %, NO2, 70-80 %, IGCC mengurangi emisi SO2, 95-99 %, NO2, 40-95 %, MHD mengurangi emisi gas buang 55-60 %, efisiensi IGCC dan Fuel Cell 50-55. Dengan diperlakukan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak dan/atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal maka akan mendorong peningkatan teknologi sehingga mampu untuk selalu mengurangi emisi tersebut. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak dan/atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal akan dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengelola Industri pembangkit listrik di Indonesia DAFTAR PUSTAKA. 1. Nishikawa, N.,1995, Contribution to the Global environment Measure Through Integrated Gasification Combined Cycle Development, Proceedings on Clean Coal Day 1995 International Symposium, NEDO, Tokyo 2. Princiotta, F.T.,1991, Pollution Control for Utility Power Generation, 1990 to 2020, Proceeding of Energy and the Environment un the 21st , p. 624-649, The MIT Press. 3. Siegel, J.S. and Temchin J.R., 1991, Role of Clean st Coal Technology in Electric Power in the 21st Century, Proceeding of Energy and Environment un the 21st , p. 623-630, The MIT Press,

4. Sugiyono A, 2000, Prospek Penggunaan Teknologi Bersih untuk Pembangkit Listrik dengan Bahan Bakar Batubara di Indonesia , Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No.1, Januari 2000 : 90-95, ISSN 1411-318X 5. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (BPEN) 2006-2025, Departemen Energi dan Sumber Daya Meneral RI ,Jakarta. 6. Buku Putih Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (BP4IPT),2006, Kementerian Negara Riset dan Teknologi RI, Jakarta 7...http://www.google.co.id/images? um=1&hl=id&tbs=isch %3A1&sa=1&q=selective+catalytic+reduc tion+%28SCR %29+picture&btnG=Telusuri&aq=f&aqi= &aql=&oq=&gs_rfai= 8...http://www.google.co.id/images? hl=id&q=flue+gas+desulfurization+picture &um=1&ie=UTF&source=univ&ei=PfhfT NHhCIaivgO2w8SZDA&sa=X&oi=image _result_group&ct=title&resnum=1&ved=0 CCsQsAQwAA
Tabel 1. Lamp. 1A ,PerMen.MNLKH No.21 Th 2008 Tgl : 1 Des 2008 BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK PLTU
No 1. 2. 3. 4. Parameter Sulfur Dioxida (SO2) Nitrogen Oksida (NOx ) dinyatakan sebagai NO2 Total Partikulat Opasitas Batas Maksimum ( mg/ m3 ) Batu Miny Gas bara ak 750 1500 150 850 800 400 150 20 % 150 20% 50 -

Catatan : 1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (250 C dan tekanan 1 atmosfer). 2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 3. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan. 4. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 7% untuk bahan bakar batubara dalam keadaan kering kecuali opasitas. 5. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 5% untuk bahan bakar minyak dalam keadaan kering kecuali opasitas.

22

EKSERGI Jurnal Teknik Energi Vol 7 No. 1 Januari 2011 ; 17 - 23

6. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 7.


3% untuk bahan bakar gas dalam keadaan kering kecuali opasitas. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 (tiga) bulan

23

You might also like