You are on page 1of 2

WHISTLEBLOWING Sang pengungkap fakta (whistleblower) yakni orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai skandal, bahaya,

malpraktik atau korupsi dalam bahasa Inggris disebut whistleblower (peniup peluit) disebut demikian karena, seperti wasit dalam pertandingan sepak bola atau olah raga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang hendak menilang seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiuldialah yang bersiul, berceloteh, membocorkan atau mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan atau pelanggaran. Tindakan Whistleblowing bagaikan pisau bermata dua. Disatu sisi akan mencoreng nama organisasinya, di sisi lain bisa menimbulkan perubahan yang baik bagi organisasinya. Satu sisi mengatakan etis, karena membela kependingan orang banyak, di sisi lain tindakan ini melanggar etika (etika pegawai). Olehkarena itu, sebelum melakukan whistleblowing, terlebih dahulu harus dipertimbangkan atau dilalui tahap-tahap berikut ini; 1. Kesalahan instansi harus besar. Yaitu janganlah kesalahan yang di Whistleblowing yang bersifat kecil, dan bisa diselesaikan dengan cara lain, tanpa melakukan whistleblowing. 2. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar. Sebelum melakukan Whistleblowing, haruslah didukung fakta dan adanya bukti yang jelas. Agar jangan mencoreng nama organisasi dan membahayakan diri sendiri. 3. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian yang bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain. Motif dari Whistleblowing sendiri haruslah untuk mencegah kerugian bagi orang banyak, bukan menguntungkan sebagian orang. 4. Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalah perusahaan disampaikan secara eksternal. Tidakan whistleblowing harus dibahas secara internal dahulu, karena mungkin bisa diselesaikan secara baik-baik tanpa melakukan Whistleblowing. 5. Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mecatat sukses.

Jika tindakan Whistleblowing dinilai tidak sukses, lebih baik jangan dilakukan, karena akan merugikan diri sendiri. Alasan utama para pengungkap fakta (whistleblowers) rela membayar ongkos begitu tinggi (resiko), menjadi amat menarik untuk dikaji. Pengungkap fakta (whistleblower) berasumsi suatu sistem yang korup hanya akan terjadi bila para individu yang menjalankan system itu juga korup. Diperhadapkan pada dua pilihan , menjadi bagian dari proses korupsi itu atau menjadi kekuatan yang menentangnya. Umumnya bisa dikatakan, keyakinan individual yang dimiliki para pengungkap fakta (whistleblower) bersumber pada tiga hal yakni; 1. Nilai-nilai keagamaan (religious value), 2. Etika professional (professional ethics) dan 3. Rasa tanggungjawab terhadap masyarakat (social responsibility). Hal ini mengungkapkan bahwa para pengungkap fakta (whistleblowers) adalah pribadi yang mencintai kebenaran, memiliki landasan moral dan etika yang baik dan ini tentunya (pembentukan dalam dirinya) adalah proses yang terbentuk sejak lama dan tentunya whistleblowers ini muncul dari pribadi-pribadi yang berlatarbelakang keluarga yang saleh. Tidak semua tahap akan mudah dilalui para pengungkap fakta (whistleblower) bahkan terkadang karena terlalu panjangnya tahapan yang harus dilalui tidak jarang diantara mereka sampai harus mengalami pertolongan psikiatris maupun media akibat tekanan-tekanan psikis yang harus mereka tanggung. Oleh karena itu, hendaknya para pihak terkait khususnya para pihak yang berwenang terhadap kasus segera melakukan tindakan untuk melindungi whistleblower dan segera menyelidiki dan menyelesaikan kasus terkait.

You might also like