Professional Documents
Culture Documents
Secara etimologi, victimologi berasal dari kata Victim yang berarti korban dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan. Dalam pengertian terminology, victimologi adalah studi yang mempelajari tentang korban, penyebab terjadinya korban/timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan social.
Pengertian Viktimologi
Dalam kamus ilmu pengetahuan social disebutkan bahwa victimologi adalah studi tentang tingkah laku victim sebagai salah satu penentu kejahatan.
[2] Hugo Reading, Kamus Ilmu-ilmu social, Jakarta, Rajawali, 1986, hlm.457
Perumusan ini membawa akibat suatu victimisasi yang harus dipahami sebagai berikut:[1]
Korban akibat perbuatan manusia, korban akibat perbuatan manusia dapat menimbulkan perbuatan kriminal misalnya: korban kejahatan perkosaan, korban kejahatan politik. Dan yang bukan bersifat kriminal (perbuatan perdata) misalnya :
korban dalam bidang Administratif, dan lain sebagainya;
[1] J.E. Sahetapy, Victimologi sebuah Bunga Rampai, Sinar Harapan, Jakarta, 1987, hlm.35
Next
Korban di luar perbuatan manusia, korban akibat di luar perbuatan manusia seperti bencana alam dan lain sebagainya.
Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi mengenai korban antara lain:
Dengan viktimologi akan dapat diketahui siapa korban, hal-hal yang dapat menimbulkan korban, viktimisasi dan proses viktimisasi; Viktimologi memberikan sumbangan pemikiran tentang korban, akibat tindakan manusia yang telah menimbulkan penderitaan fisik, mental dan social;
Next
melalui studi victimologi akan memberikan pemahaman kepada setiap individu mengenai hak dan kewajibannya dalam rangka mengantisipasi berbagai bahaya yang mengancamnya; viktimologi memberikan sumbangan pemikiran mengenai masalah viktimisasi tidak langsung, dampak social polusi industri, viktimisasi ekonomi, politik dan penyalahgunaan kewenangan. viktimologi memberikan dasar pemikiran dalam penyelesaian viktimisasi criminal atau factor victimogen dalam sistem peradilan pidana.
Dari uraian di atas pada dasarnya ada tiga hal pokok berkenaan dengan manfaat studi tentang korban yaitu:
manfaat yang berkenaan dengan usaha membela
manfaat yang berkenaan dengan penjelasan tentang peran korban dalam suatu tindak pidana, dan manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.(Action)
(Praktis)
(Filosofis)
Goal SW/SD
Formulasi
Aplikasi Eksekutif
Non Penal
Konsekuensi logis dari meningkatnya kejahatan atau kriminalitas adalah bertambahnya jumlah korban,
sehingga penuangan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan korban dan tanpa mengenyampingkan pelaku mutlak untuk dilakukan, sehingga studi tentang viktimologi perlu untuk dikembangkan.
NAGEL melaporkan bahwa victimologi dewasa ini merupakan gagasan atau pemikiran baru dalam kriminologi, karena telah terjadi pergeseran pemikiran yang tidak lagi melihat kejahatan melalui studi Factor Criminoligy akan tetapi mengarah pada Criminologi of
Relationship.
Peran Korban
Untuk melihat peran, karateristik pelaku dan korban kejahatan, CARROL mengajukan rumus yang cukup popular dengan pendekatan rasional analitis. Menurutnya kejahatan adalah realisasi keputusan yang diambil dengan turut mempertimbangkan beberapa factor antara lain SU (Subyektife Utility), p (S) (Probability of Success), G (Gain), p(F) (Probability of Fail) dan L (Loss).[1] Sehingga Carrol Menggambarkan dengan Rumus: SU= (p(S)xG)-(p(F)xL)
Dari rumus diatas dapat dijelaskan bahwa seseorang yang akan melakukan kejahatan harus mempertimbangkan beberapa hal yang selanjutnya akan menghasilkan keputusan, apakah ia akan melakukan tindak pidana ataukah tidak. Inilah yang dimaksud dengan
p(F)/ Probability Of Fail = seberapa besar kemungkinan gagalnya rencana kejahatan dan; L (Loss) = seberapa besar kerugian yang akan diderita manakala kejahatan yang dilakukan gagal dan tertangkap.
Jika rumus di atas dianalisis dengan optik korban, akan nampak bahwa factor p(S)/ Seberapa besar
keberhasilan rencana kejahatan,
p(F) /
dan
korban artinya berhasil atau tidaknya rencana kejahatan tergantung pada keadaan diri atau pun tipologi calon korban.
Dengan meminjam istilah Manheim yang menggambarkan adanya laten Victim (Mereka yang cenderung menjadi korban dibandingkan orang lain,misalnya wanita, anak-anak dan manula) maka pelaku akan merasa optimis akan keberhasilan dari kejahatanya.
Sedangkan factor
senang dengan gaya hidup mewah dan pamer materi yang lebih menjurus pada peningkatan daya tarik atau rangsang, sehingga pelaku kejahatan dengan cara dini sudah dapat memperkirakan besarnya keuntungan yang akan diperoleh.
Korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara social dan hukum . pada dasarnya korban adalah orang baik, individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai target dari kejahatan subyek lain yang dapat menderita kerugian akibat kejahatan adalah badan hukum.
Bila hendak membicarakan mengenai korban, maka seyogyanya dilihat kembali pada budaya dan peradaban Ibrani kuno. Dalam peradaban tersebut, asal mula pengertian korban merujuk pada pengertian pengorbanan atau yang dikorbankan, yaitu mengorbankan seseorang atau binatang untuk pemujaan atau hirarki kekuasaan.[1]
[1]
http://www.faculty.ncwc.edu/toconnor/300/300lect01.htm
Selama beberapa abad, pengertian korban menjadi berubah dan memiliki makna yang lebih luas. Ketika viktimologi pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1940-an, para ahli viktimologi seperti Mendelshon, Von Hentig dan Wolfgang cenderung mengartikan korban berdasarkan text book dan kamus yaitu orang lemah yang membuat dirinya sendiri menjadi korban.[1]
[1] Ibid
Pemahaman seperti itu ditentang habishabisan oleh kaum feminist sekitar tahun 1980-an, dan kemudian mengubah pengertian korban yaitu setiap orang yang terperangkap dalam suatu hubungan atau situasi yang asimetris. Asimetris disini yaitu segala sesuatu yang tidak imbang, bersifat ekploitasi, parasitis (mencari keuntungan untuk pihak tertentu), merusak, membuat orang menjadi terasing, dan menimbulkan penderitaan yang panjang.[1]
[1] http://www.victoborg.com/html/feminist victimology
Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian, atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penderitaan tersebut bisa berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi.[1]
[1] http//www.faculty.ncwc.edu/toconnor/300/300lect0 1.htm
Sahetapy
korban adalah orang perorangan atau badan hukum yang menderita luka-luka, kerusakan atau bentuk-bentuk kerugian lainnya yang dirasakan, baik secara fisik maupun secara kejiwaan. Kerugian tersebut tidak hanya dilihat dari sisi hukum saja, tetapi juga dilihat dari segi ekonomi, politik maupun social budaya. Mereka yang menjadi korban dalam hal ini dapat dikarenakan kesalahan si korban itu sendiri, peranan korban secara langsung atau tidak langsung, dan tanpa adanya peranan dari si korban.[1]
[1] J.E Sahetapy, Victimologi sebuah Bunga Rampai, Sinar Harapan, Jakarta, 1987, hlm.25
Van Boven
Merujuk pada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi korban Kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan (Declaration of korban adalah:[1]
basic Principle of justice for victim of crime and abuse of power) yang mendefinisikan
Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik kerana tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).
[1]
Theo Van Boven, (editor:Ifdal kasim),Mereka yang Menjadi
Korban (Hak Korban atas Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi),Elsam, Jakarta,2002, hlm.13
Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut diatas, pengertian korban bukan hanya untuk manusia saja atau perorangan saja, akan tetapi dapat berlaku juga bagi badan hukum, badan usaha, kelompok organisasi maupun Negara. Perluasan pengertian subyek hukum tersebut karena badan hukum atau kelompok tersebut melaksanakan hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum atau dengan kata lain subyek hukum tersebut dapat merasakan penderitaan atau kerugian atas kepentingan yang dimiliki akibat perbuatan sendiri atau pihak lain seperti yang dirasakan oleh manusia.
Rancangan Deklarasi dan Resolusi Konggres PBB ke-7 yang kemudian menjadi Resolusi MU-PBB 40/34, [1] bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu Negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.
[1] United Nation, A Compilation of International Instrument, Volume I, New York, 1993, hlm.382
Perlu dicatat, bahwa pengertian kerugian (Harm) menurut Resolusi tersebut, meliputi;
injury);
4. Perusakan substansial dari hak-hak asasi manusia mereka (substantial impairment of theirfundamental Selanjutnya dikemukakan bahwa seseorang dapat di pertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah sipelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara sipelaku dengan korban.
Pengelompokan atas macam-macam korban tersebut didasarkan atas perkembangan masyarakat. Terhadap korban kategori ketiga adanya korban penyalahgunaan kekuasaan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Kemudian sejak viktimologi diperkenalkan sebagi suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji permasalahan korban serta segala aspeknya, maka wolfgang melalui penelitiannya menemukan bahwa ada beberapa macam korban yaitu:[1]
[1] Dalam makalah Beberapa catatan umum Tentang Masalah Korban, disampaikan oleh Marjono reksodiputro dalam seminar sehari tentang Relevansi Viktimologi di Universotas Airlangga, surabaya pada 23 Maret 1985
Wolfgang
individual/perorangan bukan kelompok; Secondary Victimization, korbannya adalah kelompok, misalnya badan hukum; Tertiary Victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas; Non Victimozation, korbannya tidak dapat segera diketahui misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan hasil peroduksi.
Tipologi Korban
Untuk memahami peran korban, harus dipahami pula tipologi korban yang dapat diidentifikasi dari keadaan dan status korban. Tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut: Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan terjadinya korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku. Provocative Victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku. Participating Victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
Next
Biologically weak Victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi untuk menjadi korban, misalnya orang tua renta, anakanak dan orang yang tidak mampu berbuat apa-apa. Socially Weak Victims, Yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan mereka menjadi korban, misalnya korban perdagangan perempuan, dan sebagainya. Self Victimizing Victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.
Tahap III (Tahap memberi hak kepada korban untuk memberikan masukan kepada Negara sebagai wakilnya) Melanggar hukum pidana berarti melanggar hak Negara namun korban memiliki hak untuk memberi masukan kepada Negara demi kelancaran proses pembuktian, Victim (sifatnya memberi masukan) + Negara Vs Offender
Pelanggar hukum pidana berarti melanggar hak korban, Negara sekaligus hak pelaku/offendernya sendiri. Konsepnya: Victim Negara
ada konsep pemulihan hubungan yang kondusif antara pelaku dengan korban yang dimediatori oleh negara
Tahap IV
Pelaku
Perlindungan korban
Perlindungan hukum dari segi macamnya dapat dibedakan antara pasif dan aktif
Perlindungan hukum yang pasif berupa tindakan-tindakan luar (selain proses peradilan) yang memberikan pengakuan dan jaminan dalam bentuk pengaturan atau kebijaksanaan berkaitan dengan hak-hak pelaku maupun korban. Sedangkan yang aktif dapat berupa tindakan yang berkaitan dengan upaya pemenuhan hak-haknya.
Perlindungan Hukum Aktif Ini Dapat Dibagi Lagi Menjadi Aktif Prefentif dan Aktif Represif.
Aktif preventif berupa hak-hak yang diberikan oleh pelaku, yang harus diterima oleh korban berkaitan dengan penerapan aturan hukum ataupun kebijaksanaan pemerintah. aktif represif berupa tuntutan kepada pemerintah atau aparat penegak hukum terhadap pengaturan maupun kebijaksanaan yang telah diterapkan kepada korban yang dipandang merugikan.[1]
[1] Philip M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 1987, dalam Winahnu Erwiningsih, Ibid hlm.23
Hak-hak korban menurut Declaration of basic principles of justice for victim of crimes and abuse of power
The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power.
Hak memperoleh informasi; Hak didengar dan dipertimbangkan kepentingannya pada setiap tahapan proses peradilan pidana; Hak memperoleh bantuan yang cukup; Hak memperoleh perlindungan terhadap privasi dan keamanan;
Next
Hak memperoleh pelayanan yang cepat dalam penyelesaian perkara Hak untuk memperoleh ganti kerugian (Restitusi) Hak memperoleh kompensasi (dalam kejahatan yang berat/serius) memperoleh kesempatan berpartisipasi pada tahapan proses pidana.
polisi dan jaksa adalah aparat Negara yang melayani kepentingan masyarakat termasuk didalamnya adalah korban (Penegakan hukum)
Negara bertanggungjawab terhadap rakyatnya/masyaraktnya termnasuk dalam menyantuni korban/rakyat.
Keuntungan (Positip):
Korban mempunyai kesempatan untuk tampil Korban diberdayakan/ada pemberdayaan korban / tidak diluar sistem Meminimalisasi penyalahgunaan wewenang.
Kelemahan (Negatif):
Mengacaukan SPP Memungkinkan korban memperjuangkan secara emosional karena diberi kesempatan untuk balas dendam Keadilan akan bersifat subyektif (individual justice)
DAMPAK PERGESERAN KEADILAN RETRIBUTIF KEPADA KEADILAN RESTORATIF TERHADAP PENYELENGGARAAN SISTEM PERADILAN PIDANA Keadilan Retributif Tema Pokok Keadilan Restoratif 1 2 3
Mengadili pelanggar dan Sistem menjatuhkan pidana sebagai Peradilan rasionalisasi pembalasan Pidana
Pidana bersifat pembalasan Pemidanaan Pertanggungjawaban Pelanggar atas pelanggaran hukum terhadap akibat perbuatannya pidana Bersifat pasif Korban Bersifat Aktif dalam sistem peradilan pidana