You are on page 1of 11

RIBA DALAM APANDANGAN AGAMA

Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas:


Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam.

Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas:

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

1. Konsep Bunga di Kalangan Yahudi


Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci, baik dalam Perjanjian Lama maupun undangundangTalmud.

Keluaran 22 : 25 Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku,


orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.

Ulangan 23:19 Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang


maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.

Imamat 35 :7 Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya,


melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga,

juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.

2. Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi


Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut: Pinjaman biasa (6 % - 18%) Pinjaman properti (6 % - 12 %) Pinjaman antarkota (7% - 12%) Pinjaman perdagangan dan industri (12% - 18%) Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum(maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable). Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan peng-ambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu: Bunga maksimal yang dibenarkan (8 - 12%) Bunga pinjaman biasa di Roma (4 - 12%) Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma) (6 - 100%) Bunga khusus Byzantium (4 - 12 %) Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 - 347 SM) dan Aristoteles (384 - 322 SM), mengecam praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234 - 149 SM) dan Cicero (106 43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan peng-ambilan bunga.

Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Per-tama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi
golongan miskin. Sedangkan Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk meng-hasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.

Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahli filsafat Yunani. Cicero memberi nasihat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yakni memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Cato memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.

Ringkasnya, para ahli filsafat Yunani dan Romawi mengang-gap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh masyarakat umum pada waktu itu. Kenyataan bahwa bunga merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat merupakan akar kelahiran pandangan tersebut.

3. Konsep Bunga di Kalangan Kristen


Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:345 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat. Ketidak tegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya ber-bagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen meng-halalkan bunga. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII). Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)

Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.

St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin. St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena duaduanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).

Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung. Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)

Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok. Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (11601220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang. Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836) Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531). Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:

Dosa apabila bunga memberatkan. Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles). Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi. Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.

Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang


Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing. 1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap. 2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang


Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan. Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil


Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut. SISTEM BUNGA / Bagi Hasil Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung / Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi 2. Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. / Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh 3. Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. / Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. 4. Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming. /Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
1.

5.

Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan. / Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Riba dalam Islam


Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam :
1.

Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak ban.

2.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (Al-Baqarah: 278-279)

3.

Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (Q.S. An Nisa: 160-161)

Quote:

AYAT-AYAT ALKITAB YANG DISKRIMINATIF


Perbuatan riba (rente) dilarang dilakukan kepada Israel, tapi boleh dilakukan kepada non Israel - Ulangan 23:19-20 "Janganlah engkau membungakan kepada
saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan. Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga -- supaya TUHAN, Allahmu memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya." Ayat ini jelas buatan orang Yahudi, sebab tidak mungkin Tuhan berlaku diskriminatif dengan melarang mengambil bunga uang kepada bangsa Yahudi, sementara mengambil bunga kepada orang selain Yahudi diperbolehkan. Dan sangat bertentangan dengan kitab

Keluaran 22:25: "Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umat-Ku,
orang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia; janganlah kamu bebankan bunga kepadanya".

JAWAB

Yudaisme tak pernah secara mutlak mengharamkan riba. Memungut riba, menurut
mereka, boleh-boleh saja. Asal tidak dikenakan pada saudara sendiri. Tapi kalau memungut riba dari orang-orang non-yahudi, dari para goyim ini oke-oke saja. Dalam Perjanjian Lama disebutkan secara eksplisit larangan memungut riba, paling sedikit di antara sesama orang Yahudi. Misalnya, Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia; janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya (Keluaran 22:25). Larangan ini diulangi dalam Imamat 25:35-37, Apabila saudaramu jatuh miskin, sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba. Dan sekali lagi dalam Ulangan 23:19-20. Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan. Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga Ayat dalam Kitab Ulangan inilah yang kemungkinan besar ditafsirkan secara sempit. Bahwa seolah-olah Allah sendirilah yang membenarkan diskriminasi, eksklusivisme, dan chauvinisme. Bahwa seolah-olah Allah sendirilah yang menetapkan moralitas ganda: beriba hati terhadap kelompok sendiri, bertega hati terhadap kelompok lain.Padahal, so pasti tidak! Memahami roh dan semangat yang

mendasari seluruh kesaksian alkitab, tahulah kita betapa mustahilnya Allah bisa sampai membenarkan -- apalagi menganjurkan -- perbuatan-perbuatan tak terpuji seperti itu. Pertanyaannya adalah, kalau standar ganda tidak mungkin, apakah itu berarti riba secara mutlak dilarang -- dalam kodisi apa pun dan kepada siapa pun? Tidak juga! Ketika kita menghadapi keragu-raguan untuk memahami dengan benar ayat-ayat Alkitab yang multi-interpretatif seperti dalam kasus kita, maka cara yang paling aman adalah, dengan memahami ayat-ayat tersebut dalam kerangka dan konteks yang lebih luas. Setiap ayat tidak boleh dipenggal-penggal, seolah-olah setiap ayat berdiri sendirisendiri. Semua ayat mempunyai kontain dan konteks-nya.Jika anda jumpai ada ayatayat yang sepintas lalu seolah-oleh saling bertentangan, lalu kita hanya memilih ayat yang cocok dengan logika dan selera kita, seraya membuang yang lain. Sebab tidak jarang, Firman Tuhan justru merupakan kritik terhadap asumsi dan cara berpikir kita! Menurut keyakinan saya, cara pemahaman yang tidak mungkin salah ialah, meletakkan kontroversi sekitar halal-haramnya memungut riba, di bawah terang prinsip alkitabiah yang lebih tinggi dan lebih menyeluruh. Prinsip ini, apa lagi kalau bukan KASIH. (Ulangan 6:1-9). Tidak mungkin ada ayat Alkitab yang isinya berlawanan dengan prinsip kasih. Nah, bila soal memungut riba kita soroti dalam terang prinsip kasih, apa yang kita dapati? Paling sedikit adalah pantang dan tabu, menarik keuntungan dari kemalangan orang lain! Baik sekelompok dengan kita, maupun tidak. Saya akui, prinsip ini bertentangan dengan salah satu prinsip pilar dalam ekonomi, yaitu hukum permintaan dan penawaran. Menurut hukum besi ekonomi ini, kesempatan untuk menarik keuntungan yang sebesar-besarnya, justru datang ketika permintaan (baca: kebutuhan) juga sedang tinggi-tingginya. Semakin seseorang terjerembab di jurang musibah, semakin potensial-lah ia untuk menjadi mangsa manusia-manusia pemakan bangkai. Hukum inilah yang dengan amat konsekuen diterapkan oleh para binatang ekonomi. Pandangan haramnya riba itu membuat Finance institutions/ BankBank haram semuanya donk? Jadi permasalahannya bukanlah pada haram atau halalnya "riba". Memungut bunga dari seseorang yang meminjam uang untuk mengembangkan usahanya adalah sesuatu yang adil dan wajar. Pihak yang meminjamkan modal, sehingga orang lain dapat menikmati keuntungan yang lebih besar, tentu berhak memperoleh imbalan dari jasanya, bukan? Semua itu tentu saja harus dilakukan dalam batas-batas kewajaran. Artinya, tingkat bunga yang ditetapkan tidak terlalu rendah sehingga merugikan si pemodal, namun juga jangan terlampau tinggi sehingga si peminjam tidak mungkin mengembangkan usahanya. Alkitab memang menyajikan berbagai Hukum Allah yang tetap, tetapi di samping itu ada pula perintah-perintah dan ketentuan-ketentuan yang lebih bersifat insidentil dan kontekstual, sesuai dengan kondisi dan peristiwa waktu itu. Demikian pula halnya tentang bunga dan riba dalam Perjanjian Lama. Perlu diperhatikan bahwa di zaman Perjanjian Lama, hal membungakan uang secara

komersial seperti sekarang, belum dikenal. Di zaman itu orang meminjam uang karena ia miskin. Kesempatan dalam kesempitan yang demikian dipakai oleh para tukang riba di masa itu. Oleh karena itulah, para nabi seperti Musa, Yehezkiel dan Nehemia perlu melarang menarik bunga atau riba dari orang miskin dan saudara-saudara sebangsa, sebab di zaman mereka para tukang riba itu merajalela sedemikian rupa sehingga menyengsarakan bangsa (baca: Keluaran 22:25, Imamat 25:35-37, Ulangan 23:1920, Nehemia 5:7). Dengan demikian, hal menarik bunga dari uang pinjaman merupakan suatu kebiasaan, yang pada dasarnya tidak dilarang. Hanya dikatakan: Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang yang menagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya (Keluaran 22:25). Dan dalam Imamat 25:35-37 dikatakan: Apabila saudaramu jatuh miskin, sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu. Jangan engkau ambil bunga atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu jangalah kauberikan dengan meminta riba. Itulah pembatasan yang diberikan oleh Perjanjian Lama.

Dampak Negatif Riba


1. Dampak Ekonomi - Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara peng-hutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia. 2. Dampak Sosial Kemasyarakatan : Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah-kan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu

bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang yang dikelola pasti untung.

Semoga kumpulan dari tulisan ini boleh membawa berkat rohani dan pengertian yang lebih mendalam lagi bagi umat yang diciptakan oleh Tuhan agar genaplah nas Alkitab dalam Kolose 3: 23 agar kita umat Tuhan melakukan segala sesuatu hanya untuk kemuliaan bagi Tuhan, tentu mendatangkan berkat bagi sesama. GBU - JMS

You might also like