You are on page 1of 25

REFERAT

STEVEN JOHNSON SYNDROME

Oleh : Yeli Erna F. 0410065

Pembimbing : dr. Liem Fenny, Sp.KK

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA RUMAH SAKIT IMMANUEL 2012

BAB I PENDAHULUAN

Dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, sindrom Stevens-Johnson merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang merupakan ekspresi berat dari erosiva eritemamultiforme. pluriorifisialis, Sindrom Stevens-Johnson kutaneaokular, (SSJ) eritema

(ektodermosis

sindrommuko

multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosamaligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yangmengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk. SSJ merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. SSJ muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnyakerusakan yang ditimbulkan kadang tak berhubungan lansung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika SSJ akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik. Oleh beberapa kalangan disebut sebagai eritema multiforme mayor tetapi terjadi ketidak setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis dan ahli berpendapat bahwa sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan manifestasiyang berbeda. Dengan alasan tersebut, banyak yang menyebutkan SSJ/NET. SSJ secara khas mengenai kulit dan membran mukosa. Walaupun presentasi minor dapat timbul tetapi gejala signifikan dari membran mukosa oral, nasal, mata, vaginal, uretral, gastrointestinal dan salurannapas bawah dapat terjadi selama perjalanan penyakit. Ikut sertanya gastrointestinal dan respiratoridapat berlanjut menjadi nekrosis. SSJ merupakan

kelainan sistemik yang serius dengan potensimorbiditas berat dan mungkin kematian. Kesalahan diagnosis sering terjadi pada penyakit ini.Walaupun beberapa skema klasifikasi telah dilaporkan, yang paling sederhanamengelompokkan penyakit ini sebagai berikut: 1. Sindrom Stevens-Johnson Bentuk minor dari NET, dengan luas permukaan tubuh yang terkenakurang dari 10%. 2. SSJ/NET Luas permukaan tubuh yang terkena sekitar 10-30%. 3. NET Luas permukaan tubuh yang terkena lebih dari 30%. Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui manifestasi SSJ dan tata laksananya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Stevens-Johnson Syndrom, pertama kali digambarkan pada tahun 1922,sebagai eritema multiforme yang luas dibadan dan mukus membran, disertai dengan demam, lesu, nyeri otot dan sendi. Selain itu juga disertai kelainan kulit berupa vesikel, bula, ataupun purpura. Penyakit ini memiliki berbagai nama diantaranya eritema multiforme mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina,uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembangmenjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjutmenjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.

2.2. Etiologi Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa dan usia lanjut. Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksiobat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karna imunitas belum berkembangsepenuhnya. NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-negara Barat. Di AsiaTimur allopurinol merupakan penyebab utama. Obat seperti sulfa, fenitoin atau penisilin telah diresepkan kepada lebih dari dua pertiga pasiendengan SSJ. Lebih dari setengah pasien dengan SSJ melaporkan adanya infeksi saluran napas atas.

4 kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik. Penyakit viral yang pernah dilaporkan termasuk HSV, AIDS, infeksi virus coxsakie,hepatitis, influensa, variola, lymphogranuloma venerum dan infeksi ricketsia. Etiologi bakterial termasuk streptokokus grup A, difteria, bruselosis, mikobakteria, Mycoplasma pneumoniae dan tifoid. Koksidioidomikosis, dermatofitosis danhistoplasmosis merupakan

kemungkinan dariinfeksi jamur. Malaria dan trikomoniasis dilaporkan sebagai penyebab dari protozoa. Pada anak-anak, EBV dan enterovirus telah diidentifikasi. Etiologi dari antibiotik termasuk penisilin dan sulfa. Antikonvulsan termasuk fenitoin,karbamazepin, asam valproat, lamotrigin dan barbiturat. Berbagai karsinoma dan limfoma juga dimasukkan sebagai faktor yang berhubungan. SSJ bersifat idiopatik pada 25-50% kasus. Faktor fisik ( udara dingin, sinar mathari, sinar X) rupanya berperan sebagai pencetus ( trigger ).

2.3. Patogenesis SSJ merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini kokain dimasukkandalam daftar obat yang dapat menyebabkan SSJ. Sampai dengan setengah dari total kasus, tidak ada etiologi spesifik yang telah diidentifikasi. SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut Coombdan Gel, reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga

sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat didermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC-II.Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi: Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat Kegagalan termoregulasi Kegagalan fungsi imun Infeksi Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosamulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsunghingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderitamengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selaluditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan danminum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik. Walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan praktek keadaan gawat darurat, penelitian terhadap patofisiologi SSJ dapat memberikan kesempatan pemeriksaan untuk membantudiagnosis selain untuk membantu pasien yang memiliki resiko. Berdasarkan hasil penelitian Steven J Parrillo, DO, FACOEP, FACEP Adjunct Professor, School of Health and Science, Philadelphia University, secara patologis, nekrosis sel menyebabkan pemisahan antara epidermis dan dermis. Reseptor nekrosis sel, Fas, dan ligannya, FasL, telah dihubungkan dengan proses seperti TNFalfa. Peneliti telah menemukan peningkatan kadar FasL pada pasien dengan SSJ/NET sebelum pelepasan kulit atau inset dari lesi mukosa. Beberapa penelitilain menghubungkan sitokin inflamatori pada patogenesis.Terdapat juga bukti kuat mengenai predisposisi genetik pada reaksi kutaneus berat dari efek samping obat seperti SSJ. FDA dan Health Canada menyarankan screening terhadap

antigenleukosit manusia, HLA-B*1502, pada pasien etnis Asia Tenggara sebelum memulai terapi dengan karbamazepin. Antigen lainnya, HLA-B*5801, memberikan reaksi yang berhubungan dengan allopurinol.. Screening sebelum terapi belum tersedia.

2.4. Epidemiologi Jumlah kasus di Amerika Serikat cenderung meningkat pada awal musim semi dan musim dingin. Untuk kasus SSJ, NSAID oksikam (piroksikam, meloksikam, tenoksikam) dan sulfonamid merupakan penyebab tersering di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Kontras dengan negara-negara Barat, penyebab tersering di negara-negara Asia Timur dan Tenggara adalah allopurinol. Predominansi kasus pada ras Kaukasia telah dilaporkan dan rasio pria:wanita adalah 2:1. Kebanyakan pasien berusia antara 20-40 tahun, akan tetapi pernah dilaporkan terjadi kasus pada bayi berusia 3 bulan.

2.5. Histopatologi Gambaran histopatologi pada Stevens-Johnson Syndrom sesuai dengan eritema multiforme, kelainan berupa: Adanya Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh darah dermis superfisial. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di papilar dermis. Degenerasi hidropik lapisan sel basalis sampai terbentuk vesikel

subepidermal. Nekrosis sel epidermal dan kadang- kadang di adneksa Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

2.6. Gejala Klinis SSJ biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupademam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas. Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang akan bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan lokal harus dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh kasus. Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat makandan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan disuria. Riwayat penyakit SSJ atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi dapat terjadi apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien mengalami pajanan kembali. Gejala awal termasuk : Ruam Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membranhidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dankrusta hemoragis merupakan gambaran utama. Bengkak di kelopak mata, atau mata merah. Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasikornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik darimukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

Gambar 1. Manifestasi klinis Steven Johnson Syndrome

Gambar 2. Lesi pada mukosa mulut

Gambar 3. rash atau kemerahan kulit pada mukosa mulut, mata

Gambar 4. rash atau kemerahan kulit pada mukosa mulut

Gambar 4. Krusta kehitaman/hemorrhagik

Gambar 5. Conjungtivitis

Gambar 6. Lesi pada kulit dan mukosa

Gambar 7. Pengelupasan kulit yang ekstensif

2.7. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan Berdasarkan: 1. Anamnesis yang cermat untuk mengetahui penyebab SJS, terutama obat yang diduga sebagai penyebab. 2. Pemeriksaan Klinis, terutama pemeriksaan gejala prodromal, kelainan kulit, kelainan mukosa serta mata. 3. Pemeriksaan infeksi yang mungkin sebagai penyebab SJS Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratoriumantara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurundan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.

2.8. Pemeriksaan Fisik Trias kelainan pada Sindrom Stevens Johnson 1. Kelainan pada kulit Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen. Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik. Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan ekskoriasi pada kulit.Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik. Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas. Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal dari tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling umum. Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling umum di batangtubuh.

2. Kelainan pada Selaput lendir di orifisium Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), 50% pada lubang alat genitalia, jarang pada lubang hidung dan anus (masing-masing 8% dan 4%). Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang gampang pecahsehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman, terutama pada bibir. Juga dapattimbul pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian atas, faring dan esofagus. Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas. Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi pada kulit tetapisebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau inkomplit. 3. Kelainan Mata yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis.

Tanda-tanda yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan: Demam Ortostasis Takikardia Hipotensi Penurunan kesadaran Epistaksis Konjungtivitis Ulkus kornea Vulvovaginitis erosiva atau balanitis Kejang, koma

2.9. Diagnosis Banding Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan Steven Johnson Syndrome : 1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Steven Johnson Syndrome sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN. 2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada seluruh kulit. Biasanya mukosa tidak terkena Perbedaan Eritema Multiformis, Steven-Johnsons Syndrome , dan Toxic Epidermal Necrolysis

Gambar 8. Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis

2.10. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium : Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ, tetapi dilakukan untuk membantu penatalaksanan. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan kemungkinaninfeksi bakteri berat. Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. mengevaluasi fungsi renal dan evaluasi urin untuk melihat adanya hematuria. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakitkulit dengan lepuh subepidermal lainnya. Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani masalahlainnya. Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya infeksi. Bronkoskopi, esofagogastroduodenoskopi dan kolonoskopi dapat dilakukan.

Pemeriksaan Radiologi: Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.

Pemeriksaan Histopatologi: Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini bukan merupakan prosedur ruang gawat darurat. Spesimen biopsi kulit memperlihatkan bahwa bula terletak subepidermal. Nekrosis sel epidermal dapat dilihat. Area perivaskular diinfiltrasi oleh limfosit.

2.11. Penatalaksanaan Sebelum sampai ke rumah sakit, paramedis harus mengenali adanya kehilangan cairan yang banyak dan menangani pasien dengan SSJ sama dengan pasien yang mengalami luka bakar luas. Kebanyakan pasien memperlihatkan gejala awal yang mengarah kepada gangguan hemodinamik. Peran utama dokter UGD yang sangat penting adalah mendeteksi SSJ atau NET sesegera mungkindan memulai penanganannya. Penghindaran dari agen yang menjadi penyebabnya merupakkan langkah yang sangat penting. Perkiraan waktu berhubungan erat dengan keadaan akhir pasien. Penanganan di UGD harus dilakukan secara langsung atasi A(airway), B(breathing), C (circulation), D (disability), E (evaluation) Lesi pada kulit ditangani sama seperti luka bakar. Pasien dengan SSJ harus ditangani dengan perhatian khusus kepada airway dan stabilitashemodinamik, status cairan, penanganan lesi kulit dan kontrol nyeri. Perawatan secara primer bersifat suportif dan simptomatis. Beberapa ahli menyarankan pemberian imunoglobulin. Rawat lesi oral dengan obat kumur. Anestesi topikal sangat berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan memberikesempatan kepada pasien untuk mendaapat cairan. Berikan profilaksis untuk tetanus. Bagian kulit yang mengalami lesi harus ditutup dengan kompres larutan NaCl fisiologis. Penyakit utama dan infeksi sekunder harus diidentifikasi dan diterapi. Obat yangmenjadi penyebab harus langsung dihentikan. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversial. Beberapa ahli menyebutkan bahwasteroid merupakan kontraindikasi, terutama karena diagnosis masih belum pasti. Pasien dengan eritema multiforme yang disebabkan infeksi akan memburuk dengan pemberiansteroid. Beberapa penulis menyimpulkan bahwa steroid IV dan terapi imunoglobulin tidak meningkatkan atau memperbaiki keadaan umum pasien. kortikosteroid, siklofosfamid, hemodialisis dan

Pada penelitian besar di Eropa, menemukan bahwa tidak ada cukup bukti adanyakeuntungan dari berbagai terapi spesifik. Studi ini memperhatikan mortalitas pasienyang diterapi dengan imunoglobulin IV dan kortikosteroid. Konsultan dapat membantu menegakkan diagnosis dan memberikan terapi. Dermatologis merupakan konsultan yang paling tepat untuk menegakkaan diagnosis, dengan atau tanpa biopsi. Pada kasus-kasus yang berat sangat diperlukan bantuan daari ahli bedah plastik. Dokter penyakit dalam atau spesialis anak diperlukan untuk membantu penanganan pasien. Konsultasi dengan spesialis mata merupakan keharusan untuk pasien dengan gejalaokular. Berdasarkan sistem organ yang terkena, konsultasi dengan

gastroenterologis, pulmonologis dan nefrologis sangat membantu.

Medikamentosa Tidak ada obat spesifik yang menunjukkan keuntungan secara konsisten pada terapi SSJ. Perawatan secara primer bersifat suportif dan simptomatis. Antihistamin dianjurkan untuk mengatasi gejala pruritus/ gatal biasa dipakai feniraminhydrogen maleat ( Avil) dapat dibeikan dengan dosis untuk usia 13 tahun 7,5 mg/dosis,untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari, diphenhidramin hidrokloride (Benadril) 1mg/kg BB tiap kali sampai 3 kali per hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun: 2,5 mg/dosis, 1 kali/hari; 6 tahun: 5-10mg/dosis, 1 kali/hari. Blister kulit bias dikompres basah dengan larutan burowi Papula dan macula pada kulit baik intak diberikan steroid topical, kecuali kulit yangterbuka Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotic. Antibiotic yang paling beresiko tinggi adalah -lactam dan sulfa jangan digunakan untuk terapi awal dapat diberikan antibiotic spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaanlesi kulit dan darah. Terapi infeksi

sekunder

menggunakan

antibiotic

yang

jarangmenimbulkan

alergi,

berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifatnefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari. Kortikosteroid : deksametason dosis awal 1mg/kg BB nolus intarvena, kemudian dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistemik beralasan bahwa kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat kovalesensi,mencegah komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegahkekambuhan. Beberapa literature menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapatmengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu

sintesalipokotrin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid dapat meregulasi respons imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid beragumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahangastrointestinal dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu harus tapering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, makasebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4,dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proseskematian keratinosit yang dimediasi FAS.

Perawatan konservatif ditujukan untuk : Perawatan lesi kulit yang terbuka, seperti perawatan luka bakar. Koordinasi dengan unitluka bakar sangat diperlukan Terapi cairan dan elektrolit. Lesi kulit yang terbuka seringkali disertai pengeluaran cairandisertai elektrolit Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan kesulitan asupan makanan dan minuman.

Pengendalian nyeri . penggunaan NSAID beresiko paling tinggi sebaiknya tidak digunakan untuk mengatasi nyeri.

2.12. Follow-Up Untuk pasien rawat inap: Kompres larutan garam fisiologis dapat diberikan pada kelopaak mata, bibir dan hidung. Inspeksi harian sangat diperlukan untuk monitor adanya superinfeksi sekunder. Antibiotik sistemik profilaksis tidak berguna terutama pada saat ini dimana terdapatresistensi obat multipel. Antibiotik diindikasikan pada kasus infeksi kulit atau traktus urinarius, dimana infeksitersebut dapat menyebabkan bakteremia.

Untuk pasien rawat jalan: Walaupun pasien dengan eritema multiforme minor dapat diterapi rawat jalan dengan pemberian steroid topikal tetapi pasien dengan eritema multiforme mayor atau SSJ harus dirawat inap. Penyebab dari eritema multiforme minor harus diperhatikan seksama. Beberapa ahli menyarankan follow-up setiap hari. Untuk pencegahan, pasien haarus dihindarkan dari pajanan lanjutan terhadap agen yangmenyebabkan SSJ. Rekurensi sangat mungkin terjadi.

2.12. Prognosis Lesi individual biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecali terdapat infeksi sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa adanya sekuele. Adanya sekuele serius seperti gagal napas, gagal ginjal dan kebutaan menentukan prognosis pada sistem yang terkena. Sampai dengan 15% dari seluruh pasien SSJ meninggal akibat keadaan umum yang buruk.Bakteremia dan sepsis memainkan peranan penting sebagai penyebab utama peningkatanmortalitas

Skor SCORTEN menilai banyak variabel dan menggunakannya untuk menentukan faktor resikokematian pada SSJ dan NET. Variabel tersebut adalah: 1. Usia >40 tahun 2. Keganasan 3. Heart rate >120 4. Persentase awal dari pengelupasan epidermal >10% 5. Kadar glukosa serum >14 mmol/L 6. Kadar bikarbonat <20 mmol/L 7. Kadar BUN >10 mmol/L

Angka mortalitas sebagai berikut: SCORTEN 0-1 SCORTEN 2 SCORTEN 3 SCORTEN 4 SCORTEN 5 atau lebih 3,2% 12,1% 35,3% 58,3% 90%

2.13. Komplikasi Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut: Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan Gastroenterologi Esophageal strictures Genitourinarianekrosis tubular ginjal, gagal ginjal,penile scarring , stenosis vagina Pulmonari pneumonia Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder Infeksi sitemik, sepsis Kehilangan cairan tubuh, shock. Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua

mata. Akibat adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa,yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana

komplikasitersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren,hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanyakelainan akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih seriusseperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akanmengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata.

BAB III KESIMPULAN Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis

erupsimukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium sertamata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.Pato genesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan

reaksihipersensitivitas tipe II (sitolitik), reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.. Manifestasi SSJ pada kulit berupa eritema, vesikel, bula, kadangterdapat purpura, pada selaput lendir orifisium berupa vesikel dan bula yang gampang pecah, matadapat berupa konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasikornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu Toxic Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) dan konjungtivitis membranosa atau pseudomembranosa. Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan danelektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat.Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kumandari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yangmengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhanyang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroidmenguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda Adhi, Mochtar Hamzah : Sindrom Steven Johnson. Ilmu Penyakit kulitdan kelamin. Jakarta FKUI , 2010 : 163 165 2. Breathnach SM: Eritema multiforme, stevens-Johnson syndrom and TEN.Rooks Text book of dermatology.7th ed. Oxford: Blackwell science Ltd; 2004;74-15; 74-17; 74-19.3. 3. Djuanda Adhi, Mochtar Hamzah : Nekrolisis Epidermal Toksik. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin. Jakarta FKUI , 2010 : 166 168 4. Hall,JC : Vascular Dermatosis. Sauers Manual of skin disease.

PhiladelphiaLippincott wiliams & wilkins, 2006 : 127. 5. http://www.depkes.go.id/downloads/doen2008/puskesmas_2007.pdf 6. Kuruvila ,C Maria : Drug reaction. Essential Dermatology Venerology and Leprosy. Paras Publishing, 193. 7. Habif,P Thomas : Clinical Dermatology a color guide to diagnosis and therapy,Fifth edition; 2010 ; 714 -719 8. Stevens johson syndrome : http://www.mediafact.com/sjs/treatment.php 9. The Graphic Witness Medical Demonstrative Evidence -

http://graphicwitness.medicalillustration.com 10. Wolff Klaus, Johnson Richard Allen in: Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology, 6th edition. Stevens-Johnson Syndrome and

ToxicEpidermal Necrolysis, New York : Mc Graw Hill; 2009. 11. Weller, Richard : Clinical Dermatology. Blackwell Publishing Ltd; 2008 ; 127128

You might also like