You are on page 1of 190

PENELITIAN MEMAHAMI MAKNA JILBAB DALAM MENGOMUNIKASIKAN IDENTITAS MUSLIMAH

Disusun Oleh : HARI SAPTO D2C 004 171

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tampil cantik dan modis dengan gaya elegan, feminin atau simple kini dapat dinikmati dalam balutan busana muslim(ah). Anak muda sekarang kian menggemari tren busana muslim, terutama busana muslimah yang mengalami modifikasi sedemikian rupa. Busana muslimah yang biasa dikenal dengan sebutan jilbab, saat ini telah menjadi tren baru dalam berpenampilan. Banyak mahasiswi yang beralih memakai jilbab dan menjadikan jilbab sebagai busana kesehariannya. Bagi perempuan karir, kini tidak takut lagi untuk mengenakan jilbab sebagai busana kerja. Anakanak SMA atau remaja putri tidak merasa terkungkung dalam berekspresi, bahkan ibuibu kini bisa lebih berkreasi dalam memilih jilbab untuk keseharian dan menghadiri acaraacara tertentu. Religius tetapi tetap tampil modis, menjadi muslimah yang gaul, smart dan ngerti fesyen. Jenis mode jilbab yang semakin beragam dengan corak, model dan asesoris yang mendukungnya menjadi daya tarik tersendiri. Jilbab saat ini tidak hanya dipandang sebagai pakaian serba tertutup yang menggambarkan kesan tradisional, monoton dan konvensional. Keberadaan jilbab telah diterima secara luas di berbagai lingkungan dan status sosial. Dulu lingkungan kerja melarang seorang perempuan memakai jilbab. Alasannya jilbab dianggap kuno, tertutup, dan menghambat aktivitas, terutama bagi perempuan karir. Jilbab dipandang tidak mencerminkan sifat energik, aktif, modern, mobile, dan

fashionable. Tapi kini tidak sulit lagi menemukan perempuan muslim memakai jilbab dalam lingkungan kerja, di kampuskampus atau sekolah, di mallmall, bahkan untuk kegiatan olah raga pun tidak menghalangi perempuan memakai jilbab. Secara sosio-kultural, jilbab telah masuk ke berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, hukum, politik, sosial, budaya, seni dan lainnya. Tidak ada lagi pembedaan status dan perlakuan antara yang berjilbab dan yang tidak. Jilbab modern dinilai lebih fleksibel dan dapat dikombinasikan dengan berbagai busana lain. Para mahasiswi misalnya, mengkombinasikan jilbab dengan celana jins dan kemeja atau kaos biasa. Gaya memakai jilbab saat ini menjadi lebih kreatif dan variatif. Memakai jilbab sekarang tidak hanya sekedar menggunakan kain besar yang menutupi semua bagian tubuh, tetapi para jilbabers (sebutan untuk perempuan berjilbab) dapat berkreasi dengan menutup bagian kepala kemudian memasukan sisa kain kedalam baju dan dipadu pakaian press body sehingga terlihat lebih praktis. Jilbab jenis ini bagi kalangan remaja atau mahasiswi biasa disebut jilbab funky. Disebut jilbab funky karena konsep jilbab ini sangat memperhatikan mix and macth dengan gaya atau model busana lain, sehingga terlihat maching. Maraknya model jilbab funky yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan psikologis anak muda saat ini semakin mendorong perempuan memilih jilbab dalam berbusana kesehariannya. Apalagi ukuran cantik kini tidak hanya ketika menggunakan pakaian serba mini dan terbuka tetapi dengan jilbab pun bisa tampil cantik dan anggun. Penulis mencoba mengutip hasil wawancara yang dilakukan LPM Manunggal mengenai jilbab funky.

beberapa mahasiswa berpendapat bahwa alasan memakai jilbab funky karena lebih enak dilihat,1 selain itu juga lebih modis. Ada juga mahasiswa (Ima, aktivis Rohis FH) yang berpendapat Pemakaian jilbab funky itu sebagai tahap awal dari sebuah proses menuju jilbab yang sempurna.2 Lebih lanjut Ima menjelaskan, dari segi budaya, munculnya jilbab funky ini bisa diartikan sebagai kemajuan di bidang dakwah Islam. Dengan tumbuhnya pemakai jilbab baru ini menunjukan bahwa saat ini jilbab tidak lagi ditakuti, papar Ima. Artinya ketika seorang perempuan ingin berjilbab, ia tidak takut lagi dengan pandangan bahwa pemakai jilbab itu harus pintar ngaji, pengetahuan agamanya dalam, alim dan sebagainya.3 Apabila kita mencermati gaya berjilbab perempuan saat ini maka aplikasi dari jilbab funky sangat beragam. Ada yang mengolaborasikan jilbab dengan pakaian biasa berlengan pendek yang ditambah Dekker. Lebih mudah lagi ada yang menggunakan jaket untuk menutupi kekurangan lengan baju. Model lain, ada yang memadukan jilbab dengan blus. Biasanya model ini menambahkan baju di bagian dalam blus, sehingga tampilannya lebih berlapis. Ada juga model jilbab yang dipadu dengan batik atau kebaya untuk memberikan kesan tradisional. Model yang lagi ngetren adalah model jilbab dipadu dengan celana bahan Legging. Kain legging ini sangat mirip dengan seragam pesenam, sangat tipis dan cenderung mengikuti lekuk tubuh pemakai jilbab. Keragaman model, corak, dan gaya pakaian jilbab yang lebih bervariasi sesuai perkembangan mode terkini semakin meningkatkan minat perempuan untuk mengenakan jilbab. Kini bagi sebagian besar orang jilbab memang tidak cukup lagi hanya dipahami sematamata sebagai ungkapan takwa perempuan muslim. Bagi kalangan orang modern, busana muslimah itu sendiri telah menjadi bagian dari perubahan selera mode berpakaian. Pesatnya perkembangan tren jilbab mendorong banyak perempuan untuk mengekspresikan identitas modern dan keagamaannya. Subandy
1

Majalah manunggal edisi I September/tahun I/2003 dalam rubrik Religi. Kian funky, kian digemari. hlm 50 2 Ibid hlm 51 3 Loc. Cit, lihat majalah manunggal edisi I sept 2003

Ibrahim berpendapat bahwa hampir semua perempuan yang memakai busana muslimah merasa yakin bahwa dirinya adalah muslimah yang lebih baik dari sebelumnya, walaupun secara esensi tidak berarti mereka selalu lebih saleh dari perempuan yang tidak berjilbab.4 Sebagai fesyen, jilbab selalu berkembang mengikuti model dan gaya terkini. Berbagai model seperti abaya, gamis, blus, kasual, batik selalu hadir dengan gaya tertentu. Variasi gaya feminin, elegan, glamor, santai, simple atau trendi dapat dipilih sesuai konteks dan kesukaan jilbabers. Pengunaan bahan kain seperti sifon, tile, sutra, katun, kaus dll bisa membantu jilbabers untuk menyampaikan kesan tertentu. Apalagi ketika jilbabers bisa lebih kreatif dalam memadukan model dan gaya jilbab dengan asesoris seperti payet, bandana, sepatu, tas, kalung atau bros, maka jilbabers bisa terlihat lebih berwarna. Kepintaran dalam mengreasi jilbab seperti membuat jibab berlapis atau dengan menggunakan bandana serta bisa mengombinasikan jilbab dengan jenis pakaian lain seperti celana pipa, jins, rok dapat membuat jilbabers tetap tampil modis. Kemampuan mengreasi dan mengombinasikan jilbab dapat disesuaikan dengan kondisi atau konteks yang ada. Tidak heran saat ini muncul model jilbab kasual yang dipakai untuk kondisi santai. Gaya elegan dan feminin untuk pergi ke acaraacara penting. Gaya praktis untuk perempuan karir yang aktif atau gaya chic dan trendi untuk jalanjalan atau bergaul bersama teman. Misalkan untuk kondisi semi formal, jilbabers dapat mengenakan jilbab dengan tunik kasual dari bahan kaus atau katun dan dilengkapi corak warnawarni atau garis diagonal. Warna
4

Ibrahim, Idi Subandy. Budaya Populer Sebagai Komunikasi (Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontempore)r. Yogyakarta : Jalasutra. 2007 hlm 249

warna dasar seperti putih atau hitam dapat memberikan kesan natural, apabila bisa menambah payet atau asesoris maka jilbabers dapat tampil lebih elegan. Saat lebaran tiba, beragam konsep jilbab banyak sekali untuk dijadikan pilihan. Misal untuk tampil lebih natural dan cantik, jilbabers dapat memilih konsep jilbab yang dipadu dengan kebaya yang ditambah dengan payet dengan warna menyala. Jilbabers juga dapat mengenakan pakaian jilbab dengan warna putih dari bahan sutra yang ditambah tunik dan brokat maupun organze dengan kilau payet. Pengunaan model abaya atau gamis dipadu dengan celana pipa atau rok dapat memberikan kesan cantik dan glamor. Dalam sejarahnya, Jilbab mempunyai perjalanan panjang hingga

berkembang menjadi jilbab seperti saat ini. Pada awalnya jilbab dikenal sebagai kultur busana perempuan negaranegara Arab. Jadi secara sosiologis jilbab memang bukan murni budaya perempuan muslim Indonesia. Jilbab lahir jauh sebelum Islam men-sunnah-kan bagi perempuan muslim. Motivasi yang melandasi pemakaian jilbab pun bermacammacam sesuai konteks daerah tertentu. Hasil riset yang dilakukan Fadwa El-Guindi, Ph.D seorang Profesor Antropologi dari Sourthen University California, juga dalam makalah yang pernah ditulis Oleh Prof. Nasarudin Umar dalam Jurnal Ulumul Quran sekitar Tahun 1990-an menunjukan bahwa bagi masyarakat Persia, jilbab digunakan untuk membedakan perempuan bangsawan dengan perempuan biasa dan Perempuan yang sudah menikah (masih bersuami atau janda). Jadi jilbab bagi masyarakat Persia dulu digunakan untuk menunjukan eksklusifitas kelas. Sementara bagi masyarakat Yunani, jilbab berkaitan erat dengan teologi atau mitologi menstruasi. Perempuan yang sedang

menstruasi harus diasingkan secara sosial karena diyakini dalam kondisi kotor sehingga mudah dirasuki iblis. Untuk menghalangi masuknya iblis ke diri perempuan tersebut maka harus ditutupi jilbab sehingga iblis tidak bisa masuk.5 Masuknya Islam di Negara Arab Saudi semakin menegaskan pemakaian jilbab untuk menutup dan melindungi aurat perempuan. Di Indonesia istilah jilbab sebelumnya dikenal dengan sebutan kerudung. Baru sekitar tahun 1980-an istilah jilbab mulai populer dikalangan masyarakat. Istilah Kerudung dan jilbab sering kali tumpang tindih dalam penggunaanya. Ada yang menyebut istilah kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama. Pandangan ini mendasarkan pada hakikat pemakaian jilbab atau kerudung yaitu untuk menutup dan melindungi aurat. Pandangan yang membedakan jilbab dan kerudung adalah mendasarkan pada daerah yang ditutupi. Kalau jilbab menutupi kepala sampai dada tetapi kerudung hanya sebatas kepala hingga leher. Di sini penulis dalam memaknai istilah kerudung dan jilbab lebih condong pada pandangan pertama. Alasannya, penulis memandang esensi, hakekat serta tujuan kerudung dan jilbab adalah sama yaitu untuk menutup dan melindungi aurat sekaligus untuk menjaga kehormatan perempuan muslim. Di berbagai Negara Islam pun jilbab mempunyai beragam istilah seperti Chador di Iran, Pardeh di India dan Pakistan, Milayat di Libya, Abaya di Irak, Charshaf di Turki, Hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman.6

Pernyataan tersebut diambil dari sumber internet Asnawi Ihsan. Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam. http://dunia.pelajar-Islam.or.id/?p=156 diakses tanggal 21 oktober 2008 jam 18.57 WIB. Fenomenologi Jilbab. http://vitasarasi.multiply.com/reviews/item/25 diakses tanggal 21 Oktober 2008 jam19.16 WIB.

Jilbab di Indonesia dikenal sebagai busana yang memegang nilainilai kesopanan, sederhana, dan tidak mencolok. Tampilannya terdiri beberapa kain besar dan lebar mulai dari kepala hingga kaki. Pakaiannya berlengan panjang dan terkadang masih memakai celana panjang. Tujuannya agar aurat tetap terjaga dalam kondisi mendesak atau darurat. Pada awal perkembangannya peminat untuk memakai jilbab masih sangat rendah. Penyebabnya, memakai jilbab berarti seorang perempuan harus siap dengan segala konsekuensi dan aturan yang mengikatnya. Seorang perempuan yang memutuskan berjilbab harus mampu mencerminkan karakter Islam baik melalui sikap, perilaku maupun ucapan. Selain itu, jilbab dipandang eksklusif, tradisional, ribet dan sering menghambat aktivitas. Apalagi model dan corak pakaiannya sangat monoton tanpa variasi. Tidak heran, banyak pihak dalam aktivitas sosial yang menolak jilbab. Baru pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an eksistensi pakaian jilbab sebagai mode pakaian di Indonesia mulai diperhatikan. Seiring dengan perkembangan nilainilai spiritualime tahun 1990-an yang mendapat sentuhan kapitalis, pakaian jilbab mulai diminati masyarakat luas. Pada era ini jilbab mulai hadir dengan model dan gaya baru yang berbeda jauh dengan model jilbab sebelumnya. Konsep praktis dan simple mulai marak diusung desainer atau industri budaya sehingga dalam pemakaiannya tidak ribet dan dapat dipakai dalam kondisi apapun. Tampilan corak dan warna juga lebih fleksibel menyesuaikan konteks. Pengakuan pakaian jilbab sebagai salah satu mode berpakaian ini dimulai dari pergeseran selera dan gaya berbusana masyarakat kalangan menengah atas. Hingga akhir tahun 1990-an, jilbab mulai marak digunakan masyarakat terutama

kalangan menengah atas saat menghadiri berbagai acara. Akan tetapi, di era ini jilbab masih harus bersaing ketat dengan tren pakaian serba mini mulai dari baju hingga celana atau rok. Celana jins juga mulai mendominasi kembali dengan model hipster. Model ini lebih banyak mengadopsi dari penyanyi Christina Aguilera atau Britney Spears. Memasuki abad 21 yang ditandai dengan dibukanya keran kebebasan berekspresi, beraktivitas, dan kebebasan menentukan arah kehidupan di masa depan, kebangkitan dalam beragama termasuk dalam berbusana mulai berkembang pesat. Indonesia menjadi terlihat semakin agamis dan saleh. Industri fesyen maupun budaya berlabel agama mulai menunjukan eksistensinya. Selain industri fesyen kita dapat melihat maraknya sinetronsinetron religi, lagulagu pop religius, dan nasyid yang mengalun di pusatpusat hiburan dan perbelanjaan, teknologi SMS digunakan untuk menyebarkan doa ke publik, ceramahceramah keagamaan yang digelar di tempat umum bersama ustadz atau dai gaul, meningkatnya frekuensi selebritis atau kelas elit untuk umroh dan ibadah haji, pergelaran Islamic Fashion Show di hotelhotel berbintang hingga training atau seminar becoming moslems superwomen.7 Fenomena ini dapat dipandang sebagai awal perkembangan jilbab funky. Produk-produk konsumsi banyak diberi label islami, termasuk jilbab. Sentuhan industri budaya telah mendorong jilbab sebagai salah satu ikon gaya hidup dalam tren fesyen. Ketika busana muslim mendapat makna baru pada periode kontemporer, posisi busana dalam kehidupan muslimah telah melampaui indikatorindikator
7

Ibrahim, Idi Subandy. Budaya Populer Sebagai Komunikasi (Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontempore)r. Yogyakarta: Jalasutra. 2007 hlm 245

orientasi Islam atau non-Islam.8 Ungkapan takwa dalam pentas budaya popular banyak didaur ulang menjadi ungkapan gaya berbusana. Di sini fesyen bernuansa keagamaan dijadikan komoditas untuk menunjukan identitas kemodernan selera dan gaya hidup islami. Peran media massa dalam mendorong kemajuan tren mode pakaian jilbab nampaknya tidak bisa ditinggalkan. Globalisasi beserta seluruh perangkat penyebarannya, televisi, majalah, dan bentuk-bentuk media massa yang lain, juga menyebabkan standarisasi dan peniruan gaya yang sama (homogen). Televisi, majalah, koran, radio kini memang tidak bisa lepas dari kehidupan sosial masyarakat. Bahkan perbincangan dalam hubungan sosial masyarakat bisa sangat tergantung pada informasi yang didapat dari media. Mereka hadir dengan beragam informasi seputar tren jilbab. Acaraacara TV bernuansa agamis lengkap dengan busana muslim(ah) hadir menyuguhkan tontonan penyejuk hati. Tontonan bernuansa agamis biasanya mencapai titik puncak saat bulan Ramadhan tiba, dimana semua stasiun TV berlombalomba menghadirkan acara berbau agama. Sinetron, infotaiment, komedi, dan berita penuh dengan informasi ketakwaan. Majalah dan tabloid Islam juga terbit dengan segala jenis gaya dan perawatan kecantikan islami. Didukung kalangan artis dan publik figur lainnya yang ikut menyemarakan jilbab sebagai busana muslimah untuk berbagai acara dan kondisi. Sebagai trend setter mode pakaian, para artis mulai berani memposisikan diri sebagai ikon selebritis muslimah. Contohnya artis Inneke Koesherawati. Sebagai salah satu artis terkenal dia berani merubah penampilan dengan berjilbab.
8

ibid hlm 249

Padahal sebagai seorang artis, penampilan merupakan faktor penting agar tetap eksis dan menjual. Apalagi saat itu, Inneke dikenal sebagai artis seksi dengan gaya pakaian serba mini. Tetapi keberanian Inneke untuk merubah citra saat itu mengantarkan dia sebagai ikon artis muslimah. Inneke menjadi tren setter mode pakaian muslim (baca: jilbab) dengan ragam dan model gaya berjilbabnya. Trend setter tersebut kini juga disandang oleh Zaskia Adya Mecca yang tampil sebagai artis muslimah. Keikutsertan publik figur yang sering dijadikan idola oleh masyarakat ini jelas semakin menguatkan posisi jilbab sebagai pilihan busana untuk mengkomunikasikan identitas yang dimiliki perempuan muslim.

B. Perumusan Masalah Perkembangan jilbab menjadi tren fesyen merupakan suatu hal yang paradoks. Di satu sisi, Kebangkitan nilainilai agama di Indonesia turut mengantarkan jilbab pada posisi terhomat di masyarakat sehingga banyak digemari perempuan muslim. Di sisi lain, esensi dan hakikat pakaian jilbab mengalami pendangkalan makna. Gaya dan model jilbab bergerak sangat cepat sesuai pasar atau momen yang sedang hangat diperbincangkan. Momen menjelang lebaran menjadi bukti bagaimana gaya dan mdel diciptakan dengan berbagai kreasi, pernakpernik asesoris dan bahan yang digunakan. Tujuannya adalah turut berpartisipasi merayakan kemeriahan lebaran. Saat ini jilbab sudah menjadi sebuah gaya hidup tersendiri. Bagaimana bisa tampil cantik dengan jilbab. Model dan gaya jilbab apa yang dapat menunjang penampilan. Padahal jilbab sebenarnya bukanlah mode, bukan pula ditujukan untuk mempercantik diri. Jilbab dikenakan untuk menjaga kehormatan dan harga diri perempuan. Hal ini terlihat dari bentuk pakaian yang longgar sehingga tidak memperlihatkan bentuk lekuk tubuh. Pemakaian jilbab juga bertujuan untuk menjaga aurat perempuan dari segala macam bentuk godaan orang lain. Dalam Islam sendiri seruan mengenakan jilbab bagi muslimah secara tegas disebutkan di beberapa surat dalam kitab Al Quran yaitu Surat al-Ahzab : 59 Hai Nabi, katakanlah kepada istriistrimu, anakanak perempuanmu dan istriistri orang mukmin,Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.9
9

Muhyidin: Op. Cit. hlm 235-236

Surat an-Nur ayat 30 : Katakanlah kepada orang lelaki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih baik bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.10 Surat an-Nur ayat 31 : Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutup kain tudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasan kecuali kepada suami mereka, atau putraputra mereka, atau putraputra suami mereka, atau saudara lakilaki mereka, atau putraputra saudara lakilaki mereka, atau putraputra suadara wanita mereka, atau wanitawanita Islam, atau budakbudak yang mereka miliki, atau pelayan lakilaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anakanak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan jangalah mereka menghentakan kakikaki agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang orang yang beriman, supaya kamu beruntung.11 Dari aspek kesopanan, jilbab yang kebanyakan dikenakan remaja (disebut jilbab funky) masih rentan mengundang harsrat. Hal ini terkait dengan tampilan fisik jilbab sering kali masih menonjolkan lekuk tubuh pemakainya. Kita dapat melihat pada sebagian besar pengguna jilbab yang memakai pakain ketat sehingga terlihat seksi. Apalagi ketika dipadu dengan celana bahan legging yang terlihat tipis dan mengikuti lekuk tubuh pemakainya. Dari deskripsi fenomena jilbab diatas dapat dikaji bahwa hadirnya jilbab sebagai salah satu tren fesyen yang sedang berkembang saat ini membawa perubahan seseorang dalam memaknai jilbab. Perburuan tentang gaya dan model terkini dengan segala asesoris, aksen, dan bahan yang digunakan berpotensi mengaburkan esensi dari makna jilbab sebagai identitas perempuan muslim. Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang menjadi masalah yaitu identitas

10 11

Ibid hlm 234 Ibid hlm 234-235

apakah yang ingin dikomunikasikan jilbabers melalui gaya dan model jilbab yang dikenakan?

C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti ingin menggali pengalaman subyektif muslimah dalam mengomunikasikan identitasnya melalui jilbab.

D. Signifikansi Penelitian
1. Signifikansi Teoritis Penelitian mengenai jilbab ini dapat menambah kajian teoritis dalam ilmu komunikasi terutama dalam ilmu komunikasi nonverbal. Hingga saat ini kajian komunikasi nonverbal masih sangat minim dan lebih banyak terkonsentrasi pada pesan nonverbal tubuh. Maka dari itu, peneliti mencoba meneliti mengenai komunikasi artifaktual yaitu tren fesyen jilbab. Jilbab sebagai fesyen dipandang mampu mengkomunikasikan berbagai identitas sesuai citra yang dinginkan pemakainya. Sebagai bentuk reprensentasi dari diri kita, fesyen dapat berucap banyak menyampaikan pesan kepada orang lain mengenai karakter atau kepribadian pemakainya. Sebagai komunikasi artifaktual penelitian jilbab sebagai fesyen diharapkan dapat menjadi referensi bagi pembaca yang ingin mengkaji tentang komunikasi nonverbal. 2. Signifikansi Praktis Dalam kajian praktis diharapkan penelitian ini bisa menambah pengetahuan pembaca mengenai perkembangan jilbab sebagai fesyen dan pemahaman berbagai fungsi, tujuan serta hakekat dari jilbab itu sendiri. Perkembangan tren jilbab yang begitu cepat mendorong kita bisa lebih berkreasi dan kreatif dalam memilih atau

memadukan jilbab sesuai kepribadian. Selain itu, kita juga dituntut untuk lebih jeli dalam menyikapinya supaya tidak mudah terseret arus fesyen tanpa mengetahui makna yang dikomunikasikan fesyen tersebut.

E. Bangunan Teoritis
Kehadiran jilbab sebagai tren mode saat ini telah memberikan warna tersendiri dalam kajian fesyen. Kemajuan mode jilbab yang menjadi konsumsi khalayak umum tak pelak memicu timbulnya beragam pandangan seputar eksistensi jilbab yang sesungguhnya. Hal ini membawa jilbab pada ruang perdebatan dari berbagai sudut pandang. Data-data historis sepanjang sejarah Islam mengungkapkan bahwa pandangan para ulama tentang jilbab tidaklah tunggal, melainkan sangat beragam. Setidaknya, pandangan ulama dapat dikelompokkan kedalam tiga pola. Pertama, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan tangan, kecuali bagian mata. Kedua, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian muka dan tangan. Ketiga, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi tubuhnya, selain muka dan tangan hanya ketika melaksanakan ibadah salat dan thawaf. Di luar itu, perempuan boleh memilih pakaian yang disukainya sesuai adab kesopanan yang umum berlaku dalam masyarakat tertentu. Rambut kepala bagi golongan ini bukanlah aurat sehingga tidak perlu ditutupi.12 Perbedaan pandangan para ulama soal busana perempuan ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan pandangan tentang batas-batas aurat yang harus
12

Siti Musdah Mulia. Memahami Jilbab Dalam Islam. http://www.icrponline.org/wmprint.php? ArtID=524 diakses tanggal 21 oktober 2008 jam 18.58 WIB

ditutupi perempuan. Untuk mengkaji permasalahan tersebut, kita mulai dengan menelusuri arti kata jilbab itu sendiri. Kata jilbab berasal dari kata kerja jalaba dalam bahasa Arab yang bermakna menutup sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Dari pengertian tersebut, secara spesifik masih banyak ulama yang berbeda pendapat tentang pengertian jilbab. Sebagian pendapat mengatakan jilbab itu mirip Rida (sorban), sebagian lagi mendefinisikannya dengan kerudung yang lebih besar dari Khimar. Khimar adalah istilah umum untuk pakaian penutup kepala dan leher. Sebagian lagi mengartikannya dengan Qina yaitu penutup muka atau kerudung lebar.13 Menurut Al-BiqaI sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, menyebut beberapa pendapat antara lain, baju longgar atau kerudung penutup kepala perempuan atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya atau semua pakaian yang menutupi perempuan. Kalau yang dimaksud adalah baju, maka harus menutupi tangan dan kakinya. Jika kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Apabila maknanya pakaian yang menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaiannya.14 Sedangkan Al-Maraghiy memaknai jilbab sebagai baju kurung yang meliputi seluruh tubuh perempuan, lebih dari sekedar baju biasa dan kerudung.15 Mengutip Ibn Mandzur dalam Lisan al-Arab, pengertian jilbab yang lazim adalah berupa selendang atau pakaian lebar yang dipakai kaum wanita untuk
13
14

Ibid. Rustam Ibrahim. Jilbab WajibJilbab Tidak WajibSemarang : PRIMAMEDIA PRESS. 2008 hlm 27-28 15 Ibid hlm 28

menutupi kepala, punggung, dan dada. Sedangkan Imam Raghib dalam AlMufradat Fii Gharib mengartikan jilbab sebagai pakaian longgar yang terdiri dari baju panjang dan kerudung yang menutupi badan, kecuali wajah dan telapak tangan.16 Bila beberapa tokoh agama diatas lebih memandang jilbab dari segi besarnya pakaian yang harus dikenakan, maka Muhandy Ibn. Haj lebih memberikan gambaran mengenai persyaratan yang harus dipenuhi sehingga jilbab sah untuk dipakai. Beberapa syarat tersebut yaitu : 1. Busana (jilbab) yang menutupi seluruh tubuhnya selain yang dikecualikan. Bagian yang dikecualikan ini meliputi muka dan telapak tangan sesuai dengan ketentuan beberapa hadis dari Nabi Muhammad SAW. 2. Busana yang bukan untuk perhiasan kecantikan atau tidak berbentuk pakaian aneh, menarik perhatian, dan tidak berparfum (wangiwangian). 3. Tidak tipis sehingga tampak bentuk tubuhnya. 4. Tidak sempit sehingga tampak bentuk tubuhnya. 5. Busana yang tidak menampakan betisnya (kaki) atau celana panjang yang membentuk kakinya dan kedua telapak kakinya pun harus tertutup. 6. Tidak menampakan rambutnya walau sedikit dan tidak pula lehernya. 7. Busana tidak menyerupai pakaian lakilaki dan tidak menyerupai pakaian wanitawanita kafir yang tidak islami.17Artinya bentuk pakaian

16 17

Ibrahim: Loc. Cit. Mulhandy Ibn. Haj, Kusumayadi dkk. Enam Puluh Satu Tanya Jawab Tentang Jilbab. Yogyakar ta: Semesta. 2006. hlm 18

tidak terbuka seperti pakaian mini yang sering menampakan dada, pusar, dan paha (kaki). Dari berbagai pengertian diatas, dapat dipahami bahwa ternyata pengertian jilbab tidaklah tunggal. Berbagai pijakan digunakan untuk mendefinisikan dan memaknai jilbab sebagai pakaian perempuan muslimah. Masingmasing pijakan mempunyai hukum atau landasan tersendiri berdasarkan faktor asal mula jilbab dan konteks yang mengiringi turunnya jilbab. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan adanya perbedaan cara atau metode menginterpretasikan teks (nash) baik dari hadis Nabi Muhammad maupun dari Al-Quran. Akibatnya, dalam Islam terdapat dua perspektif berkaitan dengan hukum mengenakan jilbab. Pertama, perspektif dogmatis. Prespektif ini bersifat absolut dan tidak dapat ditawar. Perspektif dogmatis memandang jilbab merupakan perintah langsung dari Tuhan. Ketentuan berjilbab sudah dianggap jelas atau gamblang sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mentaatinya. Semua perempuan muslim diwajibkan mengenakan jilbab sesuai ketentuan agama Islam. Kedua, perspektif humanisme/pragmatisme, yang muncul dengan

memandang jilbab secara fungsional/esensial sebagai penutup aurat, dimana terkandung ajaran kesusilaan/kesopanan. Dari perspektif ini, ajaran jilbab memiliki konsekuensi bersifat relatif, kondisional, dan kontekstual, sebab terkait dengan persoalan nilai-nilai yang dianut subjek bersangkutan dan nilainilai lokal yang berlaku. Kedua perspektif ini mempunyai orientasi yang berbeda. Perspektif pertama berorientasi kepada Allah SWT, subjek pembuat perintah. Perspektif dogmatis merefleksikan paradigma teosentris. Perintah mengenakan jilbab hanya

didasarkan agama seperti yang tertera pada kitab suci Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Pada perspektif pragmatisme/humanisme lebih berorientasi pada manusia, subjek dari suatu perintah. Perspektif ini merefleksikan paradigma antroposentris18. Ketentuan berjilbab berasal dari ajaran agama yang disesuaikan dengan faktor lokal atau budaya masyarakat tertentu. Para ulama yang berasal dari perspektif ini memandang jilbab tidak wajib dikenakan oleh perempuan muslim. Para ulama memandang kewajiban mengenakan jilbab hanya ditujukan pada keluarga Nabi Muhammad saja. Alasannya, pada waktu itu salah satu keluarga nabi dan juga perempuan di Arab sering digoda lakilaki dan saat itu belum ada pembeda yang jelas antara perempuan merdeka dan budak. Maka turunlah perintah mengenakan jilbab yang bertujuan untuk membedakan perempuan merdeka dan budak. Kala itu, yang diwajibkan berjilbab adalah perempuan merdeka dan budak dilarang berjilbab. Karena sistem perbudakan saat ini sudah tidak ada, maka ketentuan mengenakan berjilbab pun bersifat sunnah. Ketentuan pakaiannya pun tidak harus seperti pakaian budaya Arab, tetapi disesuaikan dengan kultur pakaian lokal. Persinggungan norma agama dan budaya berkaitan dengan keberadaan jilbab semakin terlihat dalam perkembangan tren jilbab saat ini. Bahkan banyak model dan gaya jilbab yang mencoba keluar dari pijakan agama dan budaya. Selera pasar menjadi pilihan baru sebagai pijakan karena dianggap modern dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibatnya, tidak sedikit pihak yang menganggap perkembangan mode jilbab dan fesyen pada umumnya telah kehilangan jati diri.
18

Ishaputra. Jilbab dan Relativitas Nilai (antara dogma dan humanisme). Dalam http://www. formermuslims.com/forum/viewtopic.php?f=3&t=3302 diakses pada tanggal 21 Oktober 2008 jam 18.32 WIB

Semangat kebebasan dan keterbukaan abad 21 telah menggiring masyarakat ke wilayah baru dengan konsep budaya baru. Budaya baru ini lahir dari massa atau rakyat yang memiliki kecenderungan nilai sama tapi tanpa latar belakang yang jelas, sehingga budaya ini sering disebut budaya massa. Budaya ini mengalir, bergerak, dan berubah tanpa perlu mengikatkan diri atau terpancang pada sebuah pondasi yang tetap (ideologi, kepercayaan, pengetahuan). Prinsip utama yang ditawarkan budaya massa adalah prinsip kesenangan. Ciriciri budaya massa adalah obyektivikasi, alienasi, dan pembodohan. Budaya massa memiliki karakteristik yaitu : 1. Budaya massa dibangun atas permisivitas akan nilai dan moralitas. Di sini, nilai dan moralitas tidak lagi dijadikan pijakan atau pegangan dalam pergaulan dan tata kehidupan. Para perempuan muslim yang memakai jilbab tidak lagi terlalu terbatasi dengan nilainilai agama yang mengikat sehingga mereka tetap bisa bergaul seperti biasa. 2. Budaya massa bersifat instan. Artinya budaya massa memberikan pemuasan sesaat, pasif, dan cenderung dangkal. Budaya massa sering kali indentik dengan seksualitas, konsumerisme, pemujaan atas kesenangan, waktu luang, dan gaya hidup. Model dan gaya jilbab press body yang berkembang saat ini menggambarkan bahwa para muslimah bisa tampil seksi walau dengan jilbab yang menutupi seluruh tubuh. Selain itu, bahan dan corak pakaian jilbab yang dikenakan dapat menyiratkan kelas sosial dan gaya hidup seseorang.

3. Budaya massa bersifat massa dimana penyebarannya sangat cepat melalui teknologi komunikasi. Kelebihan media elektronik seperti TV dan media cetak yang mampu menjangkau khalayak luas dan tersebar sangat efektif dalam menyebarkan tren jilbab yang sedang berkembang, sehingga dalam waktu singkat tren tersebut dapat dipakai diberbagai daerah lainnya. 4. Budaya massa didukung oleh kapitalisme yang lebih menekankan pertumbuhan ekonomi dan produksi secara besarbesaran. Maka dari itu, budaya massa sering disebut budaya komoditi.19 1. Fesyen Sebagai Bentuk Komunikasi Arti kata fesyen sebenarnya mengacu pada kegiatan, fesyen merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang. Tidak seperti dewasa ini yang memaknai fesyen sebagai sesuatu yang dikenakan seseorang. Setiap hari kita memutuskan peran dan posisi sosial seseorang pada apa yang dikenakannya. Makna fesyen dalam perkembangannya pun sering kali mengalami tumpang tindih dengan berbagai istilah lain seperti pakaian, busana, gaya, dan dandanan.20 Katakata ini sering menjadi rancu ketika dilekatkan pada obyek tertentu. Sehingga tidak ada garis tegas untuk mendefinisikan makna yang ditimbulkan. Wittgenstein menyebut istilah istilah tersebut mempunyai kemiripan keluarga. Jadi tidak ada makna tunggal yang
19

20

Dadan Nugraha, Winny Kresnowiati. Komunikasi Antarbudaya (Konsep dan Aplikasinya). Jakarta : Jala Permata. 2008 hlm 176 Masingmasing istilah itu memiliki sesuatu yang umum. Jadi meski semua pakaian adalah dandanan tapi tidak semua dandanan itu fashionable. Meski semua pakaian adalah dandanan, namun tidak semua fesyen adalah pakaian. Dapat pula dikatakan meski semua fesyen itu dandanan tapi tidak semua fesyen itu pakaian. Dan meski semua butir busana itu akan tampil pada gaya tertentu tapi tidak semua butir busana itu akan berlalu dalam fesyen tertentu. Meski setiap butir busana itu akan berlalu dalam fesyen tertentu tapi tidak semua fesyen bisa dimasukan dalam antigaya. Dan akhirnya meski semua fesyen itu bergaya namun tidak semua fesyen itu merupakan butir dari busana. Lihat Barnard, 2006. hlm 15.

dapat mendefinisikan istilahistilah tersebut dalam penggunaannya pada obyek tertentu. Polhemus dan Procter menunjukan bahwa dalam masyarakat komtemporer barat, istilah fesyen sering digunakan sebagai sinonim dari istilah dandanan, gaya, atau busana.21 Adanya jaringan rumit dan silang menyilang makna istilah tersebut mengakibatkan terjadi tumpang tindih dalam penggunaannya. Pandangan Simmel mungkin dapat memberikan gambaran faktorfaktor yang membentuk fesyen. Menurutnya terdapat dua kecenderungan sosial yang penting dalam membentuk fesyen. Pertama, kebutuhan untuk menyatu dan kedua adalah kebutuhan untuk terisolasi. Individu harus memiliki hasrat untuk menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar seperti kelompok atau masyarakat dan individu harus juga memiliki hasrat untuk menjadi dan dipandang sebagai bagian yang terlepas dari keseluruhan itu.22 Orang ternyata perlu menjadi bagian dari suatu kelompok atau masyarakat dan menjadi bagian yang terpisah dari kelompok tersebut secara bersamaan. Kedua kebutuhan tersebut merupakan kajian pokok Simmel dalam mengkaji fesyen, dan bila salah satu kebutuhan hilang maka tidak ada fesyen dalam masyarakat tersebut. Dalam kehidupan masyarakat tradisional, kebutuhan pakaian lebih didasarkan pada kebutuhan untuk menyatakan keanggotaan pada kelompok atau golongan tertentu, seperti golongan ningrat, masyarakat biasa, pedagang atau agamawan. Sedangkan dalam masyarakat modern, kebutuhan pakaian digunakan untuk menyatakan sebagai bagian dari kelompok atau golongan serta sebagai

21 22

Polhemus danProcter, 1978 : 9 dalam Barnard, 2006. hlm 13 Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosda Karya. 2005 hlm 17

bentuk ekspresi yang unik dari individu. Ini seperti yang dikatakan Wilson kita ingin serupa dengan teman kita namun tidak mau menjadi klonnya.23 Fesyen dalam masyarakat bukan lagi dipandang sebagai hal yang remeh. Kehadiran fesyen selalu mengikuti kondisi sosio ekonomi masyarakat. Sehingga kemunculan fesyen selalu searah dengan kemajuan zaman. Fesyen menempati posisi penting bagi masyarakat modern yang cenderung dikenal sebagai masyarakat tontonan. Kehadirannnya sama pentingnya dengan berbagai masalahmasalah sosial, ekonomi maupun politik. Maka tidaklah heran, banyak orang menghabiskan sebagian besar waktu dan uang mereka untuk memilih atau mendapatkan setelan pakaian yang pas. Tentunya juga disertai kualitas nomor wahid. Kemajuan perkembangan fesyen di kalangan masyarakat modern telah membawa dampak baru. Fesyen bukan lagi dipandang sebagai bentuk rancangan pakaian yang digunakan sebagai perlindungan atau kesopanan tetapi lebih sebagai dekorasi tubuh.24 Featherstone (1992) dalam Subandy (2007: 242) menyatakan bahwa pakaian dirancang untuk merayakan bentuk tubuh yang alami. Dalam perkembangan gaya hidup, fesyen telah menjadi ikon tersendiri dengan pola dan karakter sehingga mereprentasikan identitas tertentu. Peredaran gaya hidup
23 24

Wilson, 1992a : 34 dalam Barnard, 2006. hlm 17 Selain sebagai bentuk dekorasi tubuh, lebih lanjut Barnard juga mengemukakan beberapa fungsi dari fesyen. Pertama, fungsi perlindungan yakni pakaian dipakai untuk melindungi tubuh dan jiwa. Mulai dari melindungi dari cuaca, panas, dingin, serta dari gangguan moral yang berimbas bagi ketenangan jiwa atau psikologis. Kedua, fungsi kesopanan dan penyembunyian. Artinya pakaian digunakan untuk menyembunyikan bagianbagian tubuh yang dianggap tidak senonoh. Ketiga, ketidaksopanan dan daya tarik. Di sini pakaian dianggap berfungsi untuk menarik perhatian seksual. Biasanya hal ini dilakukan oleh kalangan perempuan untuk menarik perhatian dari lakilaki. Keempat, fungsi komunikasi. Pakaian dan fesyen digunakan untuk mengomunikasikan pesan tertentu kepada orang lain. Baik identitas atau mencerminkan kondisi tertentu seperti kondisi berkabung atau upacara adat. Fungsi lainnya seperti pernyataan ekspresi individu, sebagai nilai sosial dan peran sosial, hingga sebagai simbol sejarah, politis dan magis atau religius. Semua fungsi tersebut menyiratkan pesan tertentu untuk disampaikan kepada orang lain. Barnard. 2006. hlm 71-95

merupakan makna simbolik dari artefakartefak yaitu apa yang terlihat merepresentasikan tentang dan melebihi identitas mereka yang jelas.25 Gaya hidup adalah bentuk khusus pengelompokan status modern. Modernitas dengan tipe asosiasi seperti ini sebagian terletak pada cara status dihargai melalui keanggotaan kelompok. Pada tahap dimana gaya hidup merupakan salah satu kerangka utama untuk menata dan membentuk identitas sosial, maka gaya hidup terutama terartikulasi melalui perubahan secara konstan pada tontonan dari penampilan penampilan tampakan luar. Dalam gaya hidup tampakan luar menjadi perhatian utama. Banyak kasus yang meletakan sebuah label pada bagian luar pakaian seseorang. Seperti jilbab yang juga digunakan untuk menekankan bahwa memang pada penampakan luarlah gerak isyarat modis yang paling penting.26Dalam perburuan citra (image), konsumen atau lingkungan hiburan mencoba melakukan ilusiilusi tentang diri. Artinya bahwa mereka menarik para pelanggan yang terlihat dalam bahasabahasa penampilan yang digunakan oleh industriindustri budaya massa. Mereka diberi ilusiilusi tertentu tentang keunikan dalam gaya hidup personal yang menyilaukan sehingga terperangkap dalam penampakan luar dimana mereka tidak memiliki kendali. Mereka didorong untuk selalu mengikuti arus perubahan tanda, makna, citra dan identitas yang mengalir tanpa henti. Dalam bidang kajian Ilmu Komunikasi, fesyen dan pakaian dipandang sebagai sarana menyampaikan pesan kepada orang lain. Pakaian berperan besar dalam menentukan citra seseorang. Lebih dari itu, Barnard mengungkapkan,
25

Chaney, David. Lifestyles (Sebuah Pengantar Komprehensif). Penerjemah Nuraeni. Yogyakarta: Jalasutra. 2003 hlm 91 26 Ibid hlm 180

pakaian dapat mengomunikasikan identitas, status, hierarki, jender, nilai simbolik pemakainya dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Fesyen dan pakaian dipandang sebagai bentuk komunikasi nonverbal karena tidak menggunakan kata kata atau tulisan unuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Metafora Eco Berbicara melalui pakaiannya menunjukan bahwa pakaian dibentuk menjadi sesuatu yang menyerupai kata atau kalimat.27 Dengan melihat pakaian yang dikenakan seseorang maka kita dapat mengambarkan orang tersebut melalui uraian kata atau kalimat. Komunikasi non verbal merupakan bentuk komunikasi selain katakata. Mark L. Napp menjelaskan bahwa istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar katakata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbolsimbol verbal.28 Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image) dan apa yang melekat pada tubuhnya. Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya kita membentuk citra tubuh dengan pakaian dan kosmetik. Di sini jilbab berfungsi untuk menyampaikan pesan artifaktual melalui model dan gaya yang dikenakan seseorang. Teori fungsional dari Patterson mengemukakan bahwa komunikasi nonverbal memiliki lima fungsi yaitu memberikan informasi,

27

Barnard, Malcolm. Fesyen Sebagai Komunikasi (Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, Dan Gender). Penerjemah Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta : Jalasutra. 2006 hlm 39 28 Dadan. Op. Cit. hlm 58

mengekspresikan keintiman, mengatur interaksi, melaksanakan kontrol, dan membantu pencapaian tujuan.29 Memberikan informasi antara lain model jilbab yang kita pakai memberikan gambaran mengenai kepribadian pemakainya. Melaksanakan kontrol sosial seperti menjaga tindakan dan pergaulan dengan orang lain.

2. Makna Yang Terkandung Dalam Jilbab Bentuk pakaian jilbab yang menutupi seluruh tubuh memberikan kesan tersendiri baik pemakainya maupun bagi orang yang melihatnya. Apalagi jika bentuk jilbab yang dikenakan tidak populer dalam masyarakat pada umumnya. Dulu ketika jilbab masih berupa kain lebar dan pakaian yang serba longgar, orang menilai perempuan tersebut religius, memiliki pemahaman baik tentang agama. Walaupun di sisi lain banyak juga yang memandang jilbab tersebut tidak fleksibel, monoton dan ribet. Tapi bagi pemakainya, inilah pakaian yang islami. Ketika kita melihat seorang perempuan yang memakai pakaian jilbab serba hitam dan memakai cadar, kita langsung mempersepsikan bahwa dia termasuk golongan ekstrim tertentu seperti teroris. Berbeda ketika melihat perempuan yang memakai jilbab yang disusun berlipat dengan ditambah bandana, sisa kain dimasukan kedalam baju. Kemudian memakai baju warna cerah dengan bordir, tunik dan beberapa aksen serta tambah dengan make up yang serasi maka kita akan mengatakan muslimah tersebut cantik dan modis.

29

S. Djuarsa Sendjaja, dkk. Teori Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka. 1994. hlm 252

Dalam citra saat ini, penggunaan tanda atau simbolsimbol yang melekat pada suatu obyek tertentu akan melahirkan makna tertentu dan dapat membentuk identitas. Dalam teori makna yang dikemukakan oleh Brodbeck terdapat tiga corak makna suatu tanda atau simbol. Makna pertama adalah makna inferensial, yakni makna satu kata (lambang) adalah obyek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Dalam uraian Ogen dan Richard (1946), proses pemberian makna (reference process) terjadi ketika menghubungkan lambang dengan yang ditunjukan lambang. Dalam hal ini pengunaan bahan jilbab tertentu memberikan makna tersendiri. Contohnya jenis bahan seperti katun dan chiffon banyak dipakai karena sifat bahannya adem dan nyaman. Makna yang kedua menunjukan arti (significance) suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsepkonsep lain. Sebagai upaya mix & match jilbab muslim modern, para muslimah dapat membuat jilbab dengan model bertumpuk, padanan rok panjang, celana pipa dan cut brai sebagai setelan, serta pelengkap aksen. Makna ketiga adalah makna intensional, yakni makna yang dimaksud oleh seorang pemakai lambang. Makna ini tidak dapat divalidasi secara empiris atau dicarikan rujukannya. Makna ini terdapat pada pikiran orang, hanya dimiliki dirinya saja. Dua makna intensional bisa saja serupa tapi tidak sama.30 Setiap muslimah mempunyai tujuan masingmasing untuk menggambarkan dirinya walaupun memakai model dam gaya yang sama. Gaya kasual misalnya, banyak dipakai untuk menggambarkan kepribadian yang santai, sederhana, praktis atau kalem. Contoh lain seperti jilbab modis ingin menggambarkan kepribadian yang modern, up to date, feminin.
30

Jalaluddin. Op. Cit. hlm 277-278

3. Identitas Seorang Muslimah Setiap orang didunia ini pasti mempunyai identitas. Tanpa kita sadar waktu kita lahir pun kita sudah mempunyai identitas. Faktor Keluarga, lokasi kita lahir, budaya tempat tinggal kita, komunitas, suku bahkan bangsa menentukan identitas pada diri kita. Walaupun kita sama dengan orang lain sebagai manusia tetapi faktor diatas membuat kita menjadi berbeda dengan orang lain. Faktor diatas juga menentukan status dan peran kita di lingkungan masyarakat. Identitas ini merupakan identitas yang terberi dan kita dituntut untuk menyesuaikan dan menerima tanpa perlu memperdebatkan. Di sisi lain, Identitas dapat dilihat sebagai medan dialog, identitas tersebut dicari, dibangun, terkadang diperebutkan, dipertentangkan, diubah, dipengaruhi, dilupakan atau ditinggalkan. Identitas digunakan untuk menjelaskan berbagai cara kita diposisikan dan sekaligus memposisikan diri kita secara aktif dalam suatu lingkungan, masyarakat bahkan dapat sebagai narasi sejarah setelah kita tidak lagi memiliki identitas tersebut. Sifat identitas adalah sesaat dan dinamis, selalu mengalami perubahan pada kadar sekecil apapun sesuai dengan perubahan waktu, lingkungan, sejarah dan kebudayaan.31 Tajfel dalam Hogg (1988) menyatakan bahwa pada setiap individu melekat berbagai identitas, tidak hanya identitas personal yang membedakan individu A dengan individu B. Individu A atau B juga memiliki identitas lain yakni identitas sosial, misal sebagai muslimah, mahasiswi, karyawan, atau identitas etnis bahkan

31

Artikel Mencari Sebuah Identitas Dalam Budaya Pop. Dari sumber http://parekita.wordpress. com /2007/12/04/55/ Diakses tanggal 4 November 2008 jam 22.48 WIB

kebangsaan seperti Indonesia.32 Identitas ini mengandung adanya perasaan memiliki suatu kelompok sosial bersama, melibatkan emosi dan nilai-nilai signifikan pada diri individu terhadap kelompok tersebut. Dalam teori Identitas Diri yang dikemukakan Marcia, menjelaskan bahwa identitas merupakan konsep yang koheren tentang diri sendiri terdiri dari tujuan, nilai-nilai dan keyakinan pada seseorang yang komitmennya sudah solid. Identitas personal lebih menekankan mengenai konsep diri. Artinya seberapa besar kita dapat memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita bersikap sesuai kepribadian kita. Dengan memahami kelebihan dan kelemahan serta potensi yang kita miliki akan mempengaruhi cara kita bersikap dan bersosialisasi dengan orang lain. Dalam teori ini disebutkan bahwa ada empat status identitas yang dapat dialami oleh seseorang atau remaja yang ada hubungannya dengan aspek kepribadiannya, yaitu: a. Identity Achievement Status identitas digambarkan oleh Marcia yang ditandai oleh komitmen untuk mengambil keputusan setelah mengalami krisis. Dalam masa ini perempuan muslim aktif mencari informasi seputar jilbab baik melalui konsultasi, membaca buku, melihat lingkungan atau media. Berbagai informasi digunakan untuk memantapkan diri saat mengambil keputusan untuk memakai jilbab. b. Foreclosure Status identitas yang digambarkan oleh Marcia, yaitu ketika seseorang tidak melewati suatu krisis, tapi mempunyai komitmen yang keputusan
32

Ardiningtiyas Pitaloka. Identitas dan Harga Diri Kelompok. http://www.epsikologi.com/sosial/ 071003.htm diakses tanggal 4 November 2008 jam 23.29 WIB

diambil orang lain untuk hidupnya. Kondisi ini sering dialami oleh muslimah dimana keluarga atau lingkungan sudah menetapkan jilbab sebagai pakaian kesehariannya. Keputusan yang diberikan orang tua kepada anaknya diterima dan dipahami tanpa melakukan pertentangan. Hal ini karena sejak kecil sudah dibiasakan mengenakan jilbab dan orang tua telah memberikan pengertian atau pemahaman mengenai manfaat jilbab. c. Moratorium Status identitas yang digambarkan Marcia, yaitu ketika seseorang mempertimbangkan alternatif-alternatif (menunjukkan ia berada dalam satu krisis) dan sepertinya ia tidak menemukan komitmen apapun. Hal ini sering dialami muslimah yang kurang memiliki dasar atau pemahaman yang kuat tentang jilbab sehingga mereka sering bingung ketika menentukan tipe atau model jilbab yang ingin dikenakan. Sering kali para muslimah mencobacoba berbagai model atau gaya yang sesuai keinginan atau karakternya. Hal ini dapat terlihat dengan seringnya bergantiganti model atau gaya tanpa mengetahui makna yang ada atau yang ingin disampaikan. d. Identity Difussion Status identitas yang ditandai ketidakhadiran komitmen dan kurangnya keseriusan dalam mempertimbangkan alternatif-alternatif dalam hidup (tidak melalui suatu krisis). Identitas ini dapat dilihat dari para muslimah yang memakai jilbab asalasalan. Artinya dalam

mengenakan jilbab tidak disertai pemahaman jilbab yang cukup sehingga banyak sekali kaidah dan pedoman tentang jilbab yang diabaikan. Keempat kategori diatas dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya krisis dan komitmen pada remaja tersebut. Kedua hal tersebut dipandang oleh Marcia sebagai hal yang penting dalam pembentukan identitas. Krisis yang dimaksud adalah periode ketika seseorang mengalami kebingungan saat harus mengambil keputusan. Sedangkan komitmen adalah penetapan modalitas diri tentang pekerjaan atau sistem keyakinan seseorang.33 Di sisi lain, Teori Identitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980) lebih memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Hal ini karena dalam proses pembentukan identitas seseorang juga harus bercermin pada Yang Lain (The Other). Ia tidak bisa lepas dari pengakuan/pengukuhan orang lain. Peter L. Berger, salah seorang tokoh konstruksionis yang mengemukakan teori konstruksi sosial dalam tesisnya mengatakan bahwa manusia dan masyarakat adalah produk dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat.34

33

34

Ketika Anak Anda Beranjak Remaja. http://psychemate.blogspot.com/2007/12/ketika-anakanda-beranjak-remaja.html diakses tanggal 4 November 2008 jam 23.27 WIB Eriyanto. Analisis Framing (Konstruksi, Ideologi, Dan Politik Media). Yogyakarta: LKiS. 2002. hlm 13-14

Seseorang baru menjadi seorang yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Proses dialektis antara manusia dengan masyarakat digambarkan Berger dalam tiga momen secara simultan. Pertama, eksternalisasi yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Manusia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia melakukan penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Sehubungan dengan jilbab, di sini industri mode menuangkan ide mengenai konsep jilbab modern yang dapat dipakai oleh semua orang dan dalam kondisi apapun. Ide itu kemudian direalisasikan ke dalam bentuk jilbab yang simple, modis, dan praktis. Kedua, objektivasi yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas obyektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Objektivasi merupakan proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Dalam konteks tren jilbab, keberagaman bentuk dan variasi gaya jilbab merupakan hasil interaksi industri mode dengan masyarakat (yang kemudian disebut selera pasar) sehingga pakaian jilbab kini dapat bersaing dengan mode pakaian lain. Ketiga, internalisasi yaitu proses penyerapan kembali dunia obyektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.35 Di sini individu mengidentifikasi diri dengan lembagalembaga sosial atau organisasi
35

Ibid. hlm 14-15

sosial tempat individu menjadi anggotanya. Terkait dengan masalah jilbab, keberagaman bentuk dan variasi gaya jilbab yang ada dengan citra yang ditampilkan oleh masingmasing gaya, mendorong para muslimah untuk berpenampilan sesuai citra yang melekat pada jilbab tersebut. Proses dialektis ini berlangsung terus menerus baik dari muslimah ke industri mode atau dari muslimah satu ke muslimah lainnya. Dalam interaksi sosial, Pada dasarnya setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang positif. Hal tersebut menurut Hogg dan Abram (1988) dalam rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain dan persamaan sosial (social equality).36 T.J Lan mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Dalam pandangan teori identitas sosial,37 keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses social comparison yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya. Proses social comparison merupakan serangkaian pembandingan dengan orang/kelompok lain yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain. Di sini fesyen digunakan untuk menegaskan identitas sosial maupun identitas individu secara bersamaan. Bila salah satu faktor diatas tidak terdapat dalam masyarakat maka dapat dikatakan dalam masyarakat tersebut tidak ada
36

37

Hogg, M.A. & Abram, D.(1988)yang dikutip dari penelitian DP. Budi Susetyo. Krisis Identitas Etnis Cina di Indonesia. http://www.unika.ac.id/fakultas/ psikologi/artikel/bs-1.pdf diakses tanggal 4 November 2008 jam 23.21 WIB Ibid. lihat Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M.(1994). Theories of Intergroup Relations. London: Praeger.

fesyen. Simmel menyebutnya sebagai masyarakat primitif.38 Jadi apa yang dikenakan oleh masyarakat primitif bukan disebut fesyen tapi lebih sebagai busana. Pertimbangan pernyatan tersebut adalah fesyen digunakan untuk melukiskan kondisi masyarakat yang lebih kompleks. Artinya dorongan untuk mengekspresikan identitas diri sebagai bagian yang terpisah dari suatu kelompok maupun identitas sosial sebagai bagian dari suatu kelompok berkembang secara dinamis. Flugel menggambarkannya sebagai relasi oposisi ruang dan waktu. Menurutnya kostum yang tetap berubah lamban sekali dalam waktu tapi sangat beragam variasinya dalam ruang. Kalau kostum yang modis atau fashionable berubah sangat cepat dalam waktu tapi secara tidak beragam dalam ruang.39

F. Metodologi Penelitian
1. Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan kaitannya terhadap orangorang biasa dalam situasi tertentu. Fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin mengetahui. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orangorang yang sedang diteliti. Langkah penelitian fenomenologi dimulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti.40 Yang ditekankan dalam penelitian Fenomenologi adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Peneliti berusaha untuk
38 39

Barnard. Op. Cit. hlm 17 Ibid hlm 19 40 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2001. hlm 9.

masuk kedalam dunia konseptual para subjek yang sedang diteliti sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh subjek penelitian di sekitar peristiwa dalam kehidupan seharihari. Stanley Deetz, pendukung fenomenologi seperti yang dikutip oleh Littlejohn (2002 : 185 dalam Pawito, 2007 : 56) mengidentifikasi tiga prinsip dasar yang menjadi pilar dari fenomenologi : a. Bahwa pengetahuan (knowledge) diperoleh secara langsung melalui pengalaman yang sadar atau disengaja. Hal ini memiliki arti bahwa pengetahuan tidak diperoleh dari pengalaman, tetapi ditemukan secara langsung dari pengalaman secara sadar. b. Bahwa makna tentang sesuatu bagi seseorang sebenarnya terdiri dari atau terbangun oleh potensi pengalaman seseorang berkenaan dengan objek bersangkutan. Artinya, bagaimana seseorang memiliki hubungan dengan objek akan menentukan makan objek bersangkutan bagi seseorang. c. Bahwa bahasa merupakan kendaraan yang mengangkut maknamakna. Orang memperoleh pengalamanpengalaman melalui bahasa yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan pengalaman.41 2. Jenis Data a. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian di lapangan baik melalui proses wawancara maupun dari pengamatan peneliti.
41

Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara. 2007 hlm 56.

b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber kedua selain data lapangan seperti data litelatur buku, majalah, internet, hasil penelitian sebelumnya. Data sekunder digunakan sebagai pelengkap data primer. 3. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah mahasiswa. Alasan pemilihan mahasiswa karena penulis memandang mahasiswa sebagai individu yang memiliki tingkat kebebasan lebih tinggi dalam mengekspresikan identitas diri dibanding kelompok lainnya. Selain itu, mahasiswa identik dengan proses pencarian jati diri, sehingga dalam menentukan segala sesuatunya lebih didasarkan pada keinginan diri sendiri bukan tuntutan dari pihak luar. 4. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu sebagai perempuan muslim. 5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data a. Teknik pengumpulan data Dalam proses pengumpulan, peneliti menggunakan teknik

wawancara mendalam (in-depth interview) untuk memperoleh informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Tujuan wawancara mendalam adalah untuk mendapatkan data lengkap dan mendalam

dari informan dengan lebih memfokuskan pada persoalanpersoalan yang menjadi pokok penelitian. Dalam pengumpulan data, peneliti juga menggunakan teknik pengamatan (observasi) untuk melengkapi data dari hasil wawancara mendalam. Pengamatan ini bersifat non partisipan, dimana peneliti mengamati secara langsung subjek penelitian untuk

mendeskripsikan subjek penelitian yang belum didapat melalui wawancara mendalam. b. Alat pengumpulan data Alat yang digunakan untuk melakukan wawancara berupa pedoman wawancara (interview guide) dan beberapa peralatan teknis sebagai pendukung seperti alat rekam dan pencatat. 6. Teknik Pengolahan Data Tahap pengolahan data merupakan tahap mengolah datadata dan keterangan yang diperoleh dari lapangan atau wawancara mendalam dengan unit analisis yang dikerjakan dan dianalisa untuk menyimpulkan kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab masalah penelitian. 7. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data dari Von Eckartsberg (1986) yang meliputi tiga tahap yaitu : a. The problem and question formulationThe Phenomenon

Peneliti menggambarkan fokus penelitian dengan merumuskan pertanyaanpertanyaan yang dapat dimengerti atau dipahami oleh unit analisis berkaitan dengan masalah penelitian.

b. The data generating situationthe protocol life text Peneliti memulai wawancara dengan narasi deskriptif yang diberikan oleh subjek yang dipandang sebagai informan kemudian mengamati dan berdialog dengan informan. c. The data anallysisExplication and interpretation Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya yaitu membaca dan meneliti dengan cermat data hasil wawancara untuk mengungkap konfigurasi atau susunan makna yang melibatkan struktur makna dan bagaimana makna tersebut diciptakan.42

42

Moustakas, Clark. Phenomenological Research Methods. SAGE. 1994. hlm 15-16.

BAB II PENGGUNAAN JILBAB DI KALANGAN MAHASISWA


A. Gaya Hidup Mahasiswa
Mahasiswa sebagai sumber daya manusia merupakan potensi vital dan strategis dalam proses pembangunan bangsa. Selain itu, mahasiswa mempunyai identitas khusus yang menempatkannya pada posisi terhormat. Artinya keberadaan mahasiswa di tengahtengah lingkungan sosial tampak disegani dan dihormati. Status mahasiswa seolah memberikan prestise tertentu. Hal ini diisyaratkan dengan stereotipe kemampuan intelektual mahasiswa yang lebih tinggi dari masyarakat umum. Dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi tersurat secara jelas mengenai

tanggung jawab mahasiswa, meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Harapannya mahasiswa dapat memberikan kontribusi secara maksimal guna terciptanya kondisi masyarakat sejahtera. Kampus sebagai wadah besar, memainkan peran sentral dalam membentuk mahasiswa. Di sini, mahasiswa berproses dan membekali diri dengan ilmu baik secara teoritis maupun praktik. Mahasiswa juga belajar menemukan atau menciptakan sesuatu melalui penelitian. Melalui berbagai pendekatan ilmiah, mahasiswa belajar memecahkan masalah dan memberikan solusi atas permasalahan tersebut. Tak ayal, mahasiswa mendapat predikat kaum intelektual. Aktivitas berwacana melalui diskusi, seminar, atau kegiatan berorganisasi telah menjadi ciri mahasiswa. Melalui organisasi, mahasiswa mendapat pengalaman dalam kerja sama, koordinasi, mengelola orang, dan manajemen konflik. Aktivitas tersebut

merangsang mahasiswa untuk membedah suatu permasalahan, mengkaji dan menganalisis faktorfaktor yang berpengaruh. Selanjutnya befikir mencari solusi sebagai tahap pemecahan masalah yang dikaji. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa dikenal sebagai pihak yang kritis terhadap berbagai keadaan. Mereka selalu bergerak menuju arah perbaikan dari kondisikondisi yang dianggap menyimpang. Di sini, mahasiswa memperoleh status agent of change karena kontribusinya dalam pemecahan berbagai permasalahan sosial, ekonomi maupun politik. Peran mahasiswa dalam berbagai pergerakan perubahan bangsa seperti pergerakan tahun 1966, peristiwa Malari tahun 1974, dan pelengseran rezim Soeharto tahun 1998 menjadi bukti eksistensi mahasiswa. Selain itu, keberanian mahasiswa dalam menyuarakan kehendak rakyat dengan berbagai aksi seperti demonstrasi, dialog, maupun melalui wacana menempatkan mahasiswa sebagai salah satu pilar penting bagi Negara Indonesia. Tidak hanya sebatas itu, likaliku kehidupan mahasiswa dalam ruang sosial maupun kehidupan pribadinya selalu mempunyai sisi unik untuk digali dan dipelajari. Sebagai pribadi yang berada diantara masa remaja dan dewasa, mahasiwa sebenarnya berada dalam masa bingung. Artinya masa peralihan dari remaja menuju dewasa dikenal sebagai tahap pematangan diri. Masa remaja yang mulai beranjak dewasa konon sangat identik dengan masa untuk mencari kepuasan diri, pengakuan diri, dan masa untuk mencari identitas diri.43 Secara psikologis, mahasiswa tergolong kedalam masa ingin menunjukan diri (show off). Perilaku ini ditujukan untuk menegaskan eksistensinya di lingkungan teman atau masyarakat luas. Pada umumnya mahasiswa memiliki rasa
43

Hadi, Solichul. Jilbab Funky Tapi Syari. Yogyakarta : Diwan. 2006 hlm 40

ingin tahu yang tinggi (high curiosity). Mahasiswa cenderung ingin berpetualang, mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya. Sering kali mahasiwa melakukan perbuatanperbuatan menurut normanya sendiri karena terlalu banyak menyaksikan ketidakkonsistenan di masyarakat, antara apa yang sering dikatakan di dalam berbagai forum dengan kenyataan dilapangan nyata. Contohnya seperti katakata moral didengungkan dimanamana tapi kemaksiatan juga disaksikan dimanamana.44 Kondisi ini membuat mahasiswa selalu mencari konsep yang ideal bagi dirinya. Rasa ingin tahu yang tinggi akan mendorong mahasiswa untuk melakukan hubungan sosial dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Hubungan sosial di sini dimaknai sebagai caracara individu bereaksi terhadap orangorang disekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya.45 Hubungan sosial juga menyangkut penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitar. Berangkat dari sisi kebebasan, mahasiswa mempunyai stereotipe sebagai kalangan yang bebas dalam banyak hal. Pola karakter dinamis, ekspresif, dan idealis menjadi bangunan dasar yang selalu menyertai perjalanan dan perkembangan mahasiswa. Latar belakang mahasiswa yang belum banyak terikat dengan aturan dan tuntutan memberikan ruang pada mahasiswa untuk bebas berekspresi. Sebagai mahkluk yang sedang dalam proses menjadi, mahasiswa selalu ingin menemukan identitasidentitas baru. Identitas ini sangat berguna bagi pengukuhan konsep diri dan perannya dalam kehidupan sosial. Pembentukan identitas dalam kondisi yang selalu dinamis memang bukan persoalan sederhana. Ia tidak pernah bergerak secara otonom atau berjalan atas
44

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja (perkembangan peserta didik). Jakarta: Bumi Aksara. 2008. 45 Anna Alisyahbana, dkk., 1984 dalam Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, hal 85

inisiatif diri sendiri saja, tapi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang beroperasi bersama-sama. Faktor-faktor tersebut bisa diidentifikasi sebagai kreativitas, bahwa semua orang diwajibkan untuk kreatif supaya tampak berbeda dan dianggap berbeda pula. Pengaruh ideologi kelompok dan tekanan teman sepermainan sebaya mempunyai peran besar. Di sini, persoalan merek pakaian atau jenis pakaian bisa jadi persoalan besar karena ikut menentukan apakah seseorang dianggap memenuhi syarat untuk diterima dalam kelompok tertentu atau tidak. Faktor lainnya adalah status sosial dan unsur kesenangan (pleasure and fun). Unsur kesenangan ini dipakai untuk menjelaskan dan memahami nilai kebebasan diatas. Maksudnya, rasa senang menciptakan kondisi yang tidak pernah berhenti mengeksplorasi kemampuan dan kapasitas diri. Tentunya, dalam hal ini, mahasiswa juga tidak lepas dari pengaruh di luar dirinya. Dalam era kapitalis sekarang ini, mahasiswa nampaknya menghadapi tantangan lebih berat. Gempuran globalisasi yang mendorong ke arah konsumtif dan budaya tontonan sangat rentan menggoyah eksistensi mahasiswa sebagai kaum intelektual. Hal ini karena sasaran yang dituju adalah individu. Akibatnya proses dialogis dengan orang lain untuk merumuskan penangkal globalisasi beserta budaya yang dibawanya menjadi lemah. Strategi pendekatan kemajuan teknologi yang menyediakan kesenangan dan kenyamanan terasa ampuh untuk menggerus idelisme mahasiswa. Bila tidak disikapi secara kritis maka dampaknya adalah pendangkalan citra agen perubahan yang selama ini disandang. Kondisi ini ditandai semakin kecilnya minat baca dan kurangnya sensitifitas terhadap masalah sosial. Budaya diskusi dan berorganisasi terlihat menurun drastis.

Di sisi lain, Mobilitas mahasiswa lebih banyak diarahkan pada pemenuhan gaya hidup material. Pilihan gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas diri dan aktivitas keseharian. Mengingat, gaya hidup mahasiswa secara materi merupakan gaya hidup kelas menengah. Hal ini dicirikan dengan kemampuan mengkonsumsi produk seperti hand phone (HP), komputer atau laptop, kamera, MP3 atau Ipod, pakaian bermerek, kendaraan motor atau mobil. Barang barang tersebut secara perlahan terus menggusur status mahasiswa sebagai kaum intelektual menjadi kaum lookism. Apalagi dalam berbagai judul sinetron, kampus hanya menjadi aktivitas untuk kisah cinta sempit yang bernama pacaran dengan gaya hidup yang menonjolkan tampilan fisik (baca: kecantikan atau ketampanan), trendi-trendian dan gaul-gaulan.46 Era gaul! Era ini nampaknya telah merubah cara pandang seseorang dalam lingkup berhubungan dengan orang lain dan proses pembentukan konsep diri. Mahasiswa harus berusaha tampil modis dan eye catching. Orang akan dikatakan tidak gaul jika tidak mampu mengikuti perkembangan tren atau informasi tempat nongkrong baru. Stigma ini memiliki makna destruktif, dimana seseorang di-cap ketinggalan jaman, kuper (kurang pergaulan), lemot (baca: lama mikir) karena tidak mampu mengimbangi topik pembicaraan diantara teman-temannya. Secara psikologis efeknya akan membuat orang tersebut merasa teralienasi dari lingkungan pergaulan atau mempunyai derajat lebih rendah dari temantemannya. Untuk menjadi gaul, mahasiswa dituntut selalu dapat mengontrol dan memainkan peran melalui penampilannya. Di sini kampus selain sebagai wahana
46

Nurani Soyomukti. Dari Demontrasi Hingga Seks Bebas (Mahasiswa Di Era Kapitalisme Dan Hedonisme). Yogyakarta: Garasi.2008.

menimba ilmu juga menjadi ajang trenditrendian berbusana. Aktivitas mahasiswa/i masa kini sebagian besar tidak jauh dari gosip, diskusi tentang tempat nongkrong, musik, sinetron atau film, jalanjalan, shopping, chatting di friendster atau facebook, serta mengeluhkan berbagai tugastugas kuliah. Walau tidak secara keseluruhan, tetapi itulah sisi lain dari mahasiswa tidak terkecuali mahasiswi yang berjilbab. Kegiatan mereka semakin menjauh dari aktivitas keagamaan dan akademis. Di luar lingkup tersebut, globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya semacam industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasehat, industri gosip, kegandrungan terhadap merekmerek asing, makanan serba instan (fast food) turut mengancam budaya akademis mahasiswa. 47 Bacaan kawula muda ini banyak menawarkan gaya hidup dengan budaya selera di seputar perkembangan tren busana, problema gaul, pacaran, bersolek, dan acara hang out. Aktivitas ini cepat atau lambat membentuk budaya kawula muda yang berorientasi gaya hidup fun.48 Aktualisasi fenomena diatas ditunjukan salah satunya melalui fesyen dalam berpenampilan. Walapun tidak secara utuh, fesyen memiliki pengaruh besar dalam penampilan. Banyak mahasiswa menyampaikan ekspresi, pesan maupun kesan melalui fesyen. Cara penampilan mahasiswa selalu hadir dengan gaya tertentu. Tidak berlebihan bila mahasiswa mendapat predikat orang yang fashionable. Mahasiswa termasuk salah satu garda depan perubahan tren pakaian. Kita bisa melihat ketika tren celana cutbray, orang ramairamai
47

Idi Subandy Ibrahim. Budaya Populer Sebagai Komunikasi (Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer). Yogyakarta: Jalasutra. 2007). Hal 133 48 Ibid. Hal 134

memakai celana jins cutbray. Mereka berlomba membesarkan bagian bawah celana jins. Ketika tren berubah menjadi hipster, tidak lama berselang sudah banyak mahasiswi memakai hipster. Tren hipters ini diiringi dengan berkembangnya baju mini. Bagi yang memakainya terlihat seperti memakai baju adiknya, karena memang bentuk baju yang kecil dan press body. Tak ayal, ketika baju ini dipadu dengan jins hipster maka menimbulkan banyak penampakan. Bagian yang terlihat biasanya bagian dada dan punggung. Apalagi ketika duduk, pemandangan celana dalam pun seolah sudah menjadi hal yang lumrah. Entah mereka merasa malu atau tidak, tapi yang terlihat, tren tersebut tetap diminati oleh kalangan mahasiswi. Perjalanan tren jins berlanjut ke model baggy atau kebanyakan orang menyebutnya celana pensil. Tren ini sebenarnya bukanlah tren baru, karena hanya mengulang tren era 1980 hingga 1990-an sebelum tren celana cutbray. Sedangkan untuk tren pakaian, model pakaian distro mulai merebak di kalangan mahasiswa. Model distro ini terkesan lebih bebas, kreatif, dan banyak mengekspresikan makna melalui sablon atau gambar di baju.

B.

Jilbab Sebagai Busana Muslimah


Setiap budaya, agama, instansi, organisasi maupun golongan selalu

mempunyai busana tertentu. Di Indonesia setiap suku mempunyai busana daerah yang berbeda satu sama lain. Busana untuk beribadah setiap agama juga berbedabeda. Apalagi instansi atau organisasi, busana yang ditampilkan semakin beragam

jenisnya. Perbedaan busana ini menunjukan ciri dan karakteristik tersendiri dari yang lain. Masing-masing mempunyai sisi unik dan ketentuan sendiri berdasarkan aturan atau kesepakatan bersama. Dalam Islam busana yang dianjurkan juga beragam. Busana untuk beribadah biasa seperti sholat berbeda dengan busana ketika menunaikan ibadah haji. Laki-laki dan perempuan pun juga berbeda. Busana laki-laki dikenal dengan pakaian koko, sedangkan perempuan dikenal dengan mukena. Bagi perempuan, terdapat busana khusus yang harus dipakai untuk keseharian. Busana inilah yang biasa dikenal dengan sebutan jilbab. Hampir semua orang tahu bahwa jilbab merupakan busana seorang muslimah. Ketentuan tata cara memakainya pun diatur dalam Al Quran dan hadis, terutama berkaitan dengan aurat yang harus ditutupi. Dalam surat Al-Araf ayat 26 dijelaskan kegunaan pakaian sebagai penutup aurat dan sebagai hiasan bagi pemakainya. Aurat yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak wajar dilihat orang lain dan rawan kecelakaan.49 Terlepas dari perbedatan wajib atau tidaknya jilbab bagi muslimah, jilbab telah menjadi ciri perempuan muslim. Siapapun yang memakai jilbab, bagi orang lain akan dipandang sebagai muslimah. Jilbab memang lahir sebagai busana pembeda antara perempuan Islam dengan perempuan nonmuslim. Seorang perempuan ketika mengenakan jilbab, dimanapun dia berada maka dapat langsung diketahui identitasnya. Selain itu, jilbab memberikan rasa aman kepada pemakainya. Muslimah yang mengenakan jilbab akan terhindar dari berbagai godaan orang lain. Setidaknya
49

M. Quraish Shihab. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati. 2004 hal 42

bisa meminimalkan halhal yang bersifat negatif. Fungsi tersebut juga diatur dalam surat An Nahl ayat 81 tentang fungsi pakaian untuk memelihara manusia dari sengatan panas dan dingin serta membentengi dari hal-hal yang dapat mengganggu ketenteraman.50Hal ini dikarenakan penampakan dari seorang muslimah tertutup dengan jilbabnya. Tampilan fisik tidak menimbulkan rangsangan, terutama dari lakilaki yang berniat untuk menggoda. Muslimah juga akan merasa lebih dihormati dan dihargai keberadaannya. Jilbab longgar bagi muslimah akan memberikan rasa nyaman karena tidak merasa risih dengan pakaian ketat yang menimbulkan banyak penampakan bagian tubuh. Orang lain akan memahami dengan berlaku lebih sopan dan halus kepada muslimah. Mengenakan pakaian merupakan usaha muslimah untuk menutupi berbagai kekurangannya, menghindari dari apa yang dinilai buruk atau tidak disenangi serta upaya memperbaiki penampilan dan keadaan dirinya dalam kehidupan sosial.51 Kehadiran jilbab dalam bentuk tertutup memberikan karakteristik tersendiri. Bentuk jilbab yang besar, menjulur hingga dada dan menutup kepala dengan rapat menghalangi orang lain untuk dapat rambut, telinga, leher hingga dada. Kain jilbab diusahakan tebal agar tidak tembus pandang, terutama ketika ditempat terang atau terkena sinar matahari. Bentuk baju juga lebih longgar dengan ukurannya yang lebih besar dari tubuh muslimah. Hal ini ditujukan agar lekuk tubuh pemakainya tidak terlihat jelas. Bagi orang lain juga lebih terjaga pandangannya, sehingga menghindarkan dari pikiran-pikiran negatif.
50 51

Ibid. hal 43 Ibid. hal 42

Tampilan jilbab secara keseluruhan tidak boleh terlihat seperti pakaian lakilaki. Perempuan berbeda dengan laki-laki. Perbedaan tersebut bukan hanya secara biologis saja, tetapi juga dalam penampilan. Maka dari itu, perempuan yang berjilbab lebih dianjurkan untuk memakai rok. Bentuk rok pun harus panjang hingga pangkal tumit. Tujuannya untuk menutupi kaki, mengingat kaki merupakan salah satu sumber keseksian perempuan. Apabila tidak dijaga dikhawatirkan akan menimbulkan pikiran negatif dari orang lain. Pemilihan warna jilbab biasanya berwarna netral atau cenderung gelap seperti hitam, coklat, putih, abu-abu kecoklatan, hijau pucat. Sebenarnya untuk warna jilbab tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Penggunaan warna tersebut biasanya lebih ditujukan untuk menciptakan kesan tentram, damai, dan lebih adem. Kondisi yang sedikit berbeda ditunjukan oleh para santriwati di lingkungan pesantren atau masyarakat pesantren. Para muslimah di lingkungan tersebut tidak terikat sama sekali dengan warna kain jilbab. Mereka lebih menyesuaikan dengan warna baju yang ada. Maksudnya, dalam pemilihan baju yang dibeli misalnya, tidak harus membeli baju degan warna khusus. Asalkan baju tersebut menutup aurat maka boleh-boleh saja. Bentuk busana jilbab dari muslimah di lingkungan pesantren juga tergolong bebas tapi tetap menutup aurat. Muslimah bisa memakai baju lengan panjang yang tidak terlalu longgar atau sedikit membentuk tubuh. Jilbab penutup kepala pun berbeda. Mereka biasanya hanya menggunakan jilbab kecil atau orang biasa menyebutnya kerudung. Akan tetapi, seiring semakin banyaknya ragam warna dan corak busana jilbab, kini muslimah banyak yang menggunakan jilbab dengan warna

cerah. Gradasi warna atau kain juga banyak diminati untuk memberi kesan lebih hidup dan dinamis. Muslimah saat ini banyak mengeksplorasi busana jilbab guna memperoleh setelan yang cocok dan pas dengan bentuk fisiknya.

C.

Fesyen Jilbab Dikalangan Mahasiswi


Minat mahasiswi mengenakan jilbab di kampus pada awalnya tergolong

sangat minim. Kondisi ini berlangsung hingga akhir tahun 1990-an. Masa itu, jilbab masih dilihat sebelah mata oleh para mahasiswi. Kondisi lingkungan sosial yang tidak mendukung membuat banyak mahasiswi muslim mengesampingkan perintah tersebut, walaupun sebenarnya mempunyai pemahaman tentang agama atau perintah berjilbab. Kalau pun ada, hal itu karena kuliah di universitas yang berlandaskan Islam seperti Muhammadiyah atau UIN. Universitas tersebut memang mengharuskan mahasiswinya mengenakan jilbab. Di peguruan tinggi negeri atau swasta yang lebih umum, jilbab biasanya hanya digunakan oleh segelintir mahasiswi. Latar belakangnya, ada memang karena keinginan, faktor keluarga atau faktor sekolah sebelumnya seperti MAN. Adapun organisasi kemahasiswaan berlandaskan Islam yang mengajurkan mengenakan jilbab seperti organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMNU), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Orang memakai jilbab sering kali dipandang bahwa dia ikut kelompok atau aliran Islam tertentu. Selain itu, jilbabers secara otomatis mempunyai konsekuensi yang harus ditanggung. Contohnya selain dengan muhrim maka perempuan

dilarang bersentuhan seperti bersalaman atau bergandeng tangan. Sebenarnya ini berlaku bagi semua perempuan muslim, tetapi sering kali hal ini lebih ditekankan pada orang berjilbab. Mungkin karena orang berjilbab dianggap lebih mewakili ajaran agama Islam. Dalam pergaulan di kampus sesama teman, jilbabers juga mempunyai kendala menyangkut kebebasan. Misalnya, saat berbincang atau ngobrol, maka jilbabers tidak boleh melihat mata karena dikhawatirkan menimbulkan syahwat. Bahkan bila mengobrol dengan orang selain muhrim maka harus ditemani agar tidak menimbulkan fitnah. Dari sudut pandang agama, hal ini memang sudah merupakan suatu ketentuan untuk menjaga perempuan dari halhal negatif. Lain halnya dari sisi hubungan sosial, sikap tersebut akan dianggap sebagai sikap yang kurang ramah, terkesan kaku. Proses komunikasi pun dirasakan kurang akrab atau hangat. Akibatnya, orang lain biasanya akan memberikan jarak ketika berhubungan dengan orang berjilbab. Melihat beratnya konsekuensi yang harus dijalankan, banyak mahasiswi enggan mengenakan jilbab. Mereka tidak mau hubungan sosial merasa terhambat atau bahkan terkucilkan hanya karena pakai jilbab. Seiring semakin menguatnya nilainilai spiritual di berbagai kalangan masyarakat awal tahun 2000, jilbab mulai berkembang menjadi tren busana baru. Bermula dari pergerakan tren jilbab yang dipakai oleh artisartis dalam sinetron religi di stasiun TV TPI, jilbab merambah ke berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Masyarakat mulai sadar, keberadaan jilbab sebagai pakaian perempuan muslim telah memberikan ciri tersendiri di tengahtengah gempuran perkembangan mode pakaian. Kalangan ibuibu mulai sering mengenakan jilbab ke berbagai

acara, bahkan sudah menjadi pakaian seharihari. Kalangan muda mulai ramai cobacoba tampil dengan jilbab di sekolah atau kampus. Sejalan dengan itu, media semakin sering mengeksplorasi jilbab melalui berbagai sinetron, film, atau iklan. Munculnya iklan sampo sunsilk khusus perempuan berjilbab seolah menawarkan solusi dari kerontokan rambut akibat panas oleh jilbab. Dalam sinetron, peran perempuan berjilbab selalu digambarkan sebagai tokoh yang shaleh, pemaaf, sabar dalam menghadapi fitnah dan kekerasan. Hal tersebut tergambar dalam beberapa sinetron seperti Munajah Cinta, Muslimah, Para pencari Tuhan, film AyatAyat Cinta yang mendapat apresiasi besar dari kalangan masyarakat. Apalagi, bintang sinetron atau film tersebut merupakan bintang yang punya banyak fans seperti Marshanda, Zaskia Adya Mecca, Titi kamal. Fenomena ini akan mencapai puncak pada bulan ramadhan dan idul fitri, dimana seluruh televisi pasti mempunyai acara bertajuk religi dengan pakaian jilbab sebagai kostumnya. Kalangan desainer juga semakin gencar melakukan inovasi model dan corak jilbab. Mereka terus bereksplorasi, menghasilkan karyakarya modern dan personal. Artinya produk yang dihasilkan sebisa mungkin sesuai dengan karakter pemakainya. Maka tidak heran, dalam waktu singkat mode jilbab telah berkembang pesat. Beragam variasi mulai dari model, gaya, bahan, dan corak muncul sebagai bagian dari mode jilbab. Sebagai contoh dalam pengembangan busana muslim, hadir Fenny Mustafa, desainer Shafira yang menunjukkan eksistensinya sebagai trendsetter mode busana muslim Indonesia. Konsep awal Shafira adalah untuk

menciptakan busana muslim modern dan anggun, namun tetap mengikuti kaidahkaidah yang berlaku dalam berbusana bagi seorang muslim dan muslimah. Kekuatan koleksi Shafira terletak pada style yang wearable dan saleable. Sebuah fashion brand yang mempercayakan basic line-nya pada satu pernyataan bahwa gaya dan kenyamanan selayaknya berjalan seimbang. Busana Muslim dinilai memiliki kekuatan karismatik tersendiri ketika sentuhan-sentuhan mode tersebut selalu mengalir dalam estetika. Perkembangan arah gaya busana muslim pun bergerak cepat searah perkembangan tren busana paling mutakhir. Nuansanya diselaraskan dengan gaya dan selera berpakaian orang Indonesia secara umum. Beberapa perkumpulan desainer pakaian selalu gencar melakukan berbagai ajang fashion show, misalnya Islamic Fashion Festival atau lkatan perancang Busana Muslim (IPBM) Jawa Barat yang rutin setiap tahun menggelar milad yang menampilkan kreasi terbaru para anggotanya. Fashion show ini diadakan untuk mengetahui perkembangan dan kreativitas para desainer dalam merancang pakaian. Merry Pramono contohnya, dia menggarap busana muslim dengan kekuatan warna dan permainan kerut serta gelembung. Merry Pramono banyak bermain dengan bunga sehingga bagi yang mengenakan akan terlihat feminin dan elegan. Busananya serba tertutup dan sangat pas dengan kaidah-kaidah baju muslim yang memang harus serba tertutup dan tidak pas badan bagi yang memakainya. Selaras dengan Merry, pada karya Anne Rufaidah, busana muslim tampil dengan menampilkan banyak bunga dan kerutan sehingga tampil elegan dan modern. Melihat besarnya peluang, industri fesyen cepat merespon dengan memproduksi pakaian jilbab secara massal. Sampai tahap ini jilbab telah memasuki

industri penampilan. Industri meletakan landasan dan konsep baru mengenai jilbab. Permintaan pasar dijadikan acuan utama dalam memproduksi pakaian jilbab. Standar baru ditancapkan, yakni model atau gaya apa yang banyak diminati konsumen, maka itu yang akan diproduksi. Strategi yang digunakan industri penampilan adalah menciptakan ikonikon gaya dan model. Tugas ikon-ikon tersebut menciptakan suasana yang berwarna, berbeda dan dinamis sehingga produksi akan tetap berjalan. Di sisi lain, supaya masyarakat tidak jenuh dengan banyaknya variasi bentuk jilbab. Pelibatan media dalam berbagai ajang fashion show menjadi faktor pendukung tersebarnya model, corak ataupun gaya jilbab. Sebagai agen informasi, media banyak memberikan porsi informasi melalui berbagai acara. Hadirnya berbagai sinetron atau film yang menampilan peran berjilbab, iklan hingga presenter menjadi bukti pengukuhan jilbab di wilayah publik. Produkproduk jilbab mulai membanjiri tokotoko pakaian. Gerai khusus muslim banyak bermunculan. Mereka menawarkan beragam variasi bentuk jilbab. Segmennya pun lengkap, mulai dari anak-anak hingga dewasa dari berbagai kelas. Peran media memainkan peran penting dalam mempengaruhi atau mengubah persepsi khalayak tentang jilbab. Hal-hal yang disorot cenderung pada sisi positif dan manfaat jilbab bagi perempuan, terutama perempuan muslim. Label islami dilekatkan pada produk jilbab untuk menarik minat masyarakat. Untuk memberikan antitesis dari tren sebelumnya, produk pakaian jilbab diberi citra religius dan modern. Lebih jauh, industri penampilan berusaha menjadikan jilbab

sebagai gaya hidup tersendiri. Hal ini diciptakan untuk menumbuhkan loyalitas perempuan pada jilbab. Gejala ini ditandai dengan semakin banyaknya media yang mengungkap tentang seluk beluk jilbab. Model, corak, bahan, gaya dan cara

mengolaborasikannya tersaji dalam satu majalah atau tabloid. Dalam setiap edisi, jilbab selalu hadir dengan kreasi baru. Kreasikreasi tersebut hadir khusus sesuai dengan konteks pemakainya. Dalam arti tersedia beragam model dan gaya sesuai dengan jenis aktivitas pemakai, karakter, usia, atau kondisi yang dihadapi. Fenomena di atas berdampak terhadap cara berpakaian sebagian besar masyarakat muslim. Di kalangan mahasiswi terdapat perubahan cara pandang terhadap jilbab. Terdorong oleh rasa penasaran tinggi, mereka mencoba menggali sisi lain jilbab. Mereka mencari informasi seluk beluk jilbab, melihat dari berbagai media atau lingkungan sekitar. Hasilnya, Semakin hari semakin banyak mahasiswi yang memberanikan diri tampil berjilbab di kampus. Guna menghidari kesan sinis seperti sebelumnya, jilbabers menyiasati melalui kombinasi pakaian dan gaya jilbab terkini. Secara alami bagi perempuan, penampilan memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya. Mereka selalu tergoda untuk mencoba berbagai tren yang berkembang. Hal ini dilakukan sebagai wujud karakter pribadi Up to Date (baca: mengikuti hal- hal baru). Sebagai kaum yang beranjak dewasa, mahasiswi sangat penuh pertimbangan dalam berpakaian. Segala bentuk penampilannya harus selaras dan jauh dari kesan seadanya. Mereka tidak ketinggalan dari trentren baru, seperti tren jilbab yang hadir belakangan ini.

Bentuk pakaian yang tertutup tidak menjadi penghalang bagi jilbabers untuk mengenakan jilbab. Walaupun secara fisik, pakaian jilbab akan menutup beberapa bagian tubuh yang dianggap sumber kecantikan perempuan, seperti rambut, kulit, betis dan tangan. Hal ini karena pada tren sebelumnya, mode pakaian lebih terbuka dengan upaya mengeksplorasi bagianbagian tubuh tersebut. Pergeseran arah tren ini membawa dampak positif pada jilbab. Seolah mendapat legitimasi dari tren, para mahasiswi muslim berbondongbondong menyerbu pakaian jilbab. Mereka mengenakan jilbab dalam berbagai bentuk dan konteks. Mereka pun tidak takut lagi dipandang konvensional atau tradisional. Justru dengan jilbab, mereka ingin menunjukan sisi positif dari jilbab. Alhasil, jilbab berkembang menjadi fenomena tersendiri di kalangan mahasiswi di berbagai kampus Indonesia. Perkembangan tren jilbab disertai dukungan lingkungan, membuat keberadaan jilbab semakin diterima oleh mahasiswi dan masyarakat pada umumnya. Kehadiran jilbab benar-benar memberi nuansa baru dalam hal berbusana. Hadirnya jilbab dengan berbagai konsep baru mendorong mahasiswi berani berekspresi dengan jilbab. Apalagi keberadaan mode pakaian terbuka dan serba mini semakin sering mendapat pandangan miring atau negatif dari masyarakat. Sehingga jilbab menjadi pilihan baru sebagai busana keseharian mahasiswi. Mahasiswi dari kampuskampus berlandaskan Islam seperti

Muhammadiyah atau UIN atau IAIN pun serasa mendapat ruang kebebasan baru untuk berekspresi dengan jilbab. Setelah sebelumnya, mahasiswi dari kampus tersebut harus selalu berkutat pada model jilbab yang monoton. Banyak mahasiswi

sebelumnya mengenakan jilbab hanya sebagai formalitas karena terbentur peraturan kampus. Mereka mengenakan hanya saat kuliah saja. Setelah pulang maka jilbab tersebut dilepas kembali. Akibatnya banyak mahasiswi mengenakan jilbab atas dasar terpaksa, bukan atas kerelaan. Implementasi pemakaian jilbab saat ini pun semakin beragam. Sebagai salah satu cara merespon perkembangan tren jilbab, para mahasiswi menciptakan kreasi kreasi tersendiri dalam memakai jilbab. Dalam menciptakan kreasi tersebut tidak terlalu membutuhkan pedoman dan petunjuk yang benar mengenai tata cara memakai jilbab. Sehingga yang muncul adalah bentukbentuk kreasi jilbab tanpa standar jelas. Bajubaju yang tidak memenuhi standar pakaian jilbab,seperti lengan pendek tetap dapat dipakai dengan dikreasikan pakaian lain. Jadi para jilbabers tidak harus selalu membeli baju baru untuk busana jilbabnya. Dari hal diatas kita dapat melihat mahasiswi yang memakai jilbab dengan menampakan rambut bagian depan. Pakaian jilbab yang memakai lengan sampai siku (lengan 3/4) atau dengan memakai baju mini yang dapat memperlihatkan bagian pungung ketika duduk. Di sisi lain, ada juga yang memakai jilbab santun, dengan tipikal pakaian panjang dan longgar. Selain itu, banyak mahasiswi yang memakai jilbab modis, memadukan jilbab dengan pakaian cerah atau lembut di tambah beberapa asesoris sehingga terlihat anggun. Bagi yang suka tampil apa adanya, mereka lebih sering memakai jilbab dengan pakaian seadanya. Artinya mereka sering mengunakan jaket, kaos, jumper atau dekker sebagai pelengkap. Dalam bersikap dan berperilaku, mahasiswi yang berjilbab tidak harus terikat dengan ketentuan terkait jilbab. Para mahasiswi tetap berperilaku sesuai

karakternya. Mereka tetap melaksanakan aktivitas seperti biasa, bahkan untuk berolahraga atau berenang pun mereka tidak merasa ada hambatan. Para mahasiswi tidak terbatasi untuk aktivitas pergaulan baik dengan teman atau pacar. Mereka tetap bisa bersentuhan, bergandengan tangan atau memegang pundak. Pendek kata, jilbab tidak berarti membatasi aktivitas perempuan. Di sini jilbab digunakan sebagai sarana aktualisasi diri dalam proses hubungan dengan lingkungan sosial. Posisi jilbabers tetap sama dengan orang lain walaupun berbeda cara berpakaiannya. Melalui jilbab, seorang perempuan tetap punya kesempatan dan kemampuan sama dalam berkarya atau bersaing dengan orang lain. Diluar aktivitas kampus, para jilbabers tidak terlalu canggung jika harus keluar tanpa mengenakan jilbab lagi. Contohnya seperti saat mencari makan (bagi anak kos) waktu malam hari. Kalaupun mengenakan, biasanya tidak selengkap seperti yang ditampilkan di kampus. Jilbab atau baju terlihat transparan. Tapi hal ini tidak membuat mereka risih tampil di tempat umum. Layaknya seragam, banyak mahasiswi mengenakan jilbab hanya ketika di kampus saja. Ketika aktivitas diluar kampus mereka berpakaian seperti pada umumnya. Fenomena ini sekarang tidak lagi dianggap tabu bagi perempuan berjilbab. Nilai kebebasan sudah menjadi dasar dalam perkembangan jilbab saat ini. Bagi yang memakainya, sifat kebebasan tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada keharusan untuk memenuhi segala konsekuensi dari jilbab. Mereka tidak merasa terbebani harus mempelajari agama secara mendalam, harus tampak alim, dan pergaulannya menjadi terhambat. Tidak boleh bergaul dengan sembarang orang

atau membatasi kontak tubuh (baca:bersentuhan) dengan yang bukan muhrim (baca: yang diperbolehkan sesuai ketentuan agama). Melalui cara penampilan yang selalu dinamis dan ekspresif, jilbabers mulai memperhatikan atau berharap diperhatikan orang lain. Hal ini kebanyakan terjadi secara tidak sadar. Bagi yang memperhatikan, maka penampilan orang lain akan menjadi referensi dalam memilih model atau gaya yang sama saat membeli pakaian jilbab. Bagi yang diperhatikan, baru merasa sadar setelah beberapa hari kemudian sudah ada yang meniru gaya atau model jilbabnya. Berbagai mode jilbab yang diperoleh dari media, teman atau lingkungan sekitar akan menjadi informasi dalam menentukan sikap jilbabers. Dalam kondisi ini, jilbabers banyak dihadapkan pada beragam persoalan dan pilihan. Sehingga dalam proses pengambilan keputusan seperti model jilbab apa yang pantas untuk dirinya, jilbabers sering kali melihat pada sosok ideal diluar dirinya dari berbagai sumber. Sumber tersebut bisa dari media seperti televisi atau majalah atau lingkungan pergaulan. Ada proses negosiasi antara keinginan dengan kondisi lingkungan. Penemuan sosok ideal tersebut akan menjadi modal penguat dalam mengambil keputusan mengenai model dan gaya jilbab yang ingin dikenakan. Maka sebagian besar jilbabers selalu ingin terlihat identik dengan teman dan tidak ingin menjadi yang sangat kontras. Begitu cepatnya proses adopsi terhadap gaya atau model tertentu, membuat gaya tidak bertahan lama karena dianggap usang atau sudah umum. Faktor inilah yang mendorong mahasiswi harus selalu mencoba gayagaya terbaru. Nilai kebebasan memberikan keleluasaan mahasiswi untuk mengkonsumsi, meniru,

menciptakan gaya berjilbab atau mengambil bagian tertentu untuk dipadupadankan dengan bagian lain sehingga menjadi gaya baru. Proses ini berlangsung tanpa perlu memikirkan makna sesungguhnya dari jilbab. Arus kebebasan diatas semakin membawa pakaian jilbab ke arah yang tidak jelas. Hal ini sangat rawan terjadi distorsi pemaknaan terhadap jilbab. Kehadiran jilbab funky yang banyak diminati jilbabers sekarang ternyata mengandung banyak kelemahan. Kelemahan tersebut terlihat dari bentuk pakaian secara keseluruhan masih terbilang ketat. Tampakan fisik dari jilbab lebih mengikuti alur lukuk tubuh jilbabers. Bagian tubuh seperti dada dan pantat yang seharusnya ditutupi, justru terlihat semakin seksi. Pemilihan bahan pakaian jilbab yang tipis juga menimbulkan masalah baru. Rambut dan telinga masih sering samar terlihat. Alur underwear tampak jelas dibalik balutan busana jilbab. Tak urung, alih-alih ingin menutupi tubuhnya dengan pakaian jilbab, justru yang ditampilkan adalah hasrat baru yang lebih terpendam.

BAB III PENGALAMAN MAHASISWI DALAM MENGOMUNIKASIKAN IDENTITAS MUSLIMAH MELALUI JILBAB
Bab III berisi deskripsi temuan penelitian mengenai pengalaman individual informan selama mengenakan jilbab. Keberadaan jilbab sebagai pakaian perempuan muslim sesuai ketentuan Islam yang kafah (baca: sebenarnya) dan hadirnya jilbab sebagai salah satu tren mode saat ini turut mempengaruhi cara informan dalam memaknai jilbab. Informan dalam penelitian ini adalah mahasiswi muslim. Semua informan tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Diponegoro. Selain kuliah, beberapa informan juga memiliki aktivitas lain seperti bekerja di instansi swasta dan aktif dalam organisasi intra kampus. Dalam penentuan informan, peneliti terlebih dahulu melakukan observasi non partisipan. Tujuan observasi ini adalah untuk memilih informan yang unik dari segi alasan pemakaian jilbab, pemahaman tentang jilbab dan identitas yang disampaikan melalui jilbab. Setelah dilakukan observasi non partisipan, peneliti memperoleh enam informan sebagai subyek penelitian. Penentuan jumlah tersebut didasarkan pada tujuan penelitian dimana peneliti tidak lagi memperoleh keragaman informasi tentang pengalaman informan dalam memakai jilbab. Artinya, sudah ada kecenderungan yang sama dari jawaban-jawaban yang diberikan informan dalam hal pemahaman dan pesan yang ingin disampaikan. Para informan mengaku, setelah

memakai jilbab mereka menjadi lebih mudah dikenali identitas keagamaannya dan dihormati teman-temannya. Para informan juga dapat melindungi auratnya dari pandangan negatif lawan jenis. Jadi, mereka merasa lebih aman dari berbagai macam godaan orang lain terutama dari laki-laki yang suka menggoda.

A.IDENTITAS INFORMAN
Setelah melakukan penentuan informan, peneliti memberikan deskripsi mengenai identitas informan dan model pakaian jilbab yang dikenakan informan. Informan pertama adalah Liesnawati yang sering dipanggil Liesna oleh teman temannya. Ia merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Dalam proses kuliahnya, Muslimah asal Salatiga ini kos di Jl. Siwalan No. 26 A Semarang. Di lingkungan kos-nya, dia bercampur dengan temanteman non-Islam. Di lingkungan kampus, dia aktif dalam organisasi intra kampus yaitu Ketua Senat Fakutas Isip. Akibatnya, perempuan jurusan Ilmu Pemerintahan ini mempunyai pergaulan yang luas, tidak hanya teman satu jurusannya saja. Temantemannya juga banyak yang mengenakan jilbab, tapi untuk temanteman sepergaulannya hanya sedikit yang mengenakan jilbab. Dalam mengenakan jilbab, Liesna lebih memilih jilbab dengan kain segi empat yang dimasukan ke dalam baju. Terkadang Liesna juga menjulurkan jilbabnya sampai ke dada. Jenis pakaian yang dipilih Liesna adalah warnawarna cerah seperti pink, kuning muda atau hijau. Untuk celananya, Liesna sering menggunakan celana jins. Tidak ketinggalan juga make up untuk menyempurnakan penampilannya. Informan kedua bernama Diah Ayu Berliana. Sering dipanggil Ayu. Muslimah jurusan Ilmu Komunikasi ini merupakan putri bungsu dari empat

bersaudara. Dalam mengenakan jilbab, Ayu memilih jilbab mini sekali pakai (Bargo) dan kain segi empat yang dijepit bros atau peniti. Bros digunakan untuk membantu merapikan dan mengreasi jilbab. Ayu cenderung memilih pakaian yang press body. Ukuran baju disesuaikan dengan bentuk tubuh. Jika baju berlengan pendek maka Ayu sering menggunakan dekker untuk menutupi tangan. Untuk bawahan, Ayu masih memakai jins dengan model skinny jeans atau biasa disebut celana pensil. Pemilihan warnanya lebih cenderung warna-warna cerah seperti pink, hijau, kuning, merah atau kembang-kembang. Informan ketiga adalah Siti Saadah. Teman-temannya biasa memanggil Saadah. Saadah tercatat sebagai mahasiswi jurusan Administrasi Bisnis angkatan 2002. Selain sebagai mahasiswi, dia juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Organisasi ini memang identik dengan busana jilbabnya bagi seorang muslimah. Jenis model jilbab yang dikenakan Saadah merupakan jilbab besar dengan kain lebar yang menutup hingga dada. Pakaian yang dikenakan Saadah adalah pakaian gamis yaitu baju longgar dan panjang hingga paha. Untuk bawahannya, Saadah terbiasa memakai rok lebar hingga ujung kaki, sehingga tampilannya tidak membentuk tubuh. Saadah hampir tidak pernah memakai hiasan seperti make up, kalung atau bros. Informan keempat adalah Titik Ansoriah yang akrab disapa Titik. Mahasiswa regular II jurusan Pemerintahan ini berasal dari Cilacap. Pendidikan SMA Titik ditempuh di pesantren Persatuan Islam (Persis) Benda Tasikmalaya selama dua tahun. Saat naik kelas tiga Titik pindah ke SMA Negeri. Sebelum

melanjutkan studi di Universitas Diponegoro, Titik pernah menempuh pendidikan Diploma III di Institut Pertanian Bogor jurusan Komunikasi Pembangunan Pertanian. Saat ini jilbab yang sering dikenakan Titik adalah jilbab mini, sekali pakai. Gaya pakaian jilbabnya terkesan lebih cuek dan praktis. Model dan corak jilbab Titik tidak terlalu modis yang banyak memperhatikan mix and macth serta detail warnanya. Penampilan make up juga tidak terlalu dominan. Kalaupun memakai hanya sekedar pakai bedak saja. Pemilihan baju yang dipakai, mahasiswi berkarakter humoris ini mempunyai koleksi baju seperti hem, blus, dan kaos. Titik lebih senang memakai jins. Menurutnya jins tidak ribet dan lebih bebas bergerak. Informan kelima yaitu Ulfiana Cahyaningrum. Perempuan dari dua bersaudara ini kerap dipanggil Ulfi, baik di lingkungan rumah atau lingkungan kampus. Sebagai mahasiswa jurusan Public Relation (PR), Ulfi sekarang aktif di Berita Kampus Fisip. Kesibukan tersebut digunakan untuk mendukung program studinya, sekaligus menambah pengalamannya dalam bidang audio visual. Di Berita Kampus, Ulfi banyak belajar sebagai kameramen, presenter, Voice Over (VO) hingga mengolah data. Dalam penampilannya dengan jilbab, Ulfi lebih memilih jilbab funky yaiu dengan menggunakan kain yang menutupi rambut dan sisanya dililitkan di leher atau dimasukan ke dalam baju. Jenis pakaiannya lebih suka baju lengan panjang atau kaos berkerah prees body. Untuk bawahan, Ulfi lebih suka memakai jins, karena memang Ulfi paling tidak bisa memakai rok. Baginya memakai rok terlalu ribet. Model jins yang digunakan Ulfi adalah model skinny jeans.

Cara berjilbab Ulfi lebih banyak memanfaatkan jenis pakaian jilbab yang ada seperti T-shirt lengan pendek, hem lengan panjang atau jaket model jamper. Ulfi hanya memadukan pakaian tersebut dengan jilbab. Apabila ada kekurangan dalam menutup aurat maka Ulfi akan melengkapinya dengan dekker. Cara berpakaian Ulfi sesuai dengan pola karakternya yang cuek, mobile, praktis. Baginya, asal pakaian jilbab tersebut nyaman, itu sudah cukup. Informan keenam adalah Dera Andrita Fitra Resna yang biasa dipanggil Dera. Di kalangan teman-temannya Dera dikenal sebagai sosok yang supel dan cerewet. Mahasiswi jurusan Ilmu Komuikasi ini, selain kuliah aktivitas sehariharinya adalah bekerja di perusahaan telekomunikasi yaitu Telkomsel. Sebagai pribadi yang terbuka terhadap orang lain, Dera tidak malu untuk bertanya pada orang lain apabila menemui suatu kendala, seperti ketika ia ingin memutuskan mengenakan jilbab. Dia banyak bertanya ke teman-temannya seputar jilbab. Saat ini dalam mengenakan jilbab, Dera memakai model jilbab mini sekali pakai dengan tetap menjulurkan sisa kain jilbabnya. Dera sering memakai blus sebagai pakaiannya. Kemudian untuk bawahan ia sering memakai celana, baik celana bahan, jins, maupun legging. Dera dalam berjilbab mempunyai variasi, diantaranya bila jilbabnya kecil, Dera mengenakan baju gombrong atau longgar, dan sebaliknya. Pemilihan pakaian jilbab tersebut bagi Dera sebagai bentuk kreasi agar bentuk tubuh tidak terlihat. Dera menyukai warna hitam atau coklat tua, tetapi tidak menutup kemungkinan juga Dera sering tampil dengan jilbab warna cerah seperti pink, hijau atau merah.

B.HASIL WAWANCARA MENDALAM

Wawancara mendalam telah dilakukan pada enam informan dari berbagai latar belakang dalam mengenakan jilbab. Hasil wawancara dalam pemaparannya mengalami penyuntingan dari peneliti. Hal ini bertujuan menghilangkan hal-hal yang tidak relevan dengan tujuan penelitian untuk menghindari jawaban dan tumpang tindih pembahasan. Temuan penelitian dari setiap pengalaman informan dideskripsikan secara tekstural dan struktural. Deskripsi tekstural menggambarkan keterkaitan pengulangan

pengalaman informan terhadap proses mengenakan jilbab. Jawaban yang diberikan informan kemudian dikelompokan dalam sub pembahasan sesuai dengan alur permasalahan dan tujuan penelitian. Pembahasan tersebut meliputi : 1. Latar Belakang Muslimah Dalam Mengenakan Jilbab, membahas: a. Alasan Muslimah dalam mengenakan jilbab. b. Faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan

berjilbab. c. Modal yang dimiliki muslimah untuk mengambil keputusan berjilbab. d. Masalah dan kekhawatiran muslimah dalam proses mengenakan jilbab. e. Komentar orang lain terhadap muslimah saat mengenakan jilbab.

2. Pemahaman Muslimah Tentang Jilbab, membahas :

a. Pandangan muslimah tentang jilbab. b. Pemahaman muslimah tentang aurat. c. Konsep jilbab ideal menurut muslimah. d. Pandangan muslimah terhadap perkembangan tren jilbab saat ini. e. Peran media sebagai sumber informasi bagi informan. 3. Mengomunikasikan Identitas Muslimah Melalui Jilbab, membahas : a. Hakikat memakai jilbab bagi muslimah. b. Identitas yang disampaikan kepada orang lain melalui jilbab. c. Hubungan jilbab dengan kesalehan menurut informan. Langkah selanjutnya adalah melakukan deskripsi struktural terhadap pengalaman informan. Di sini peneliti menggambarkan pengalaman unik dari informan terkait pemahaman, kendala, faktor yang mempengaruhi, dan pesan yang ingin disampaikan melalui jilbab. Setelah menyusun deskripsi tekstural dan struktural, peneliti menggabungkan kedua deskripsi tersebut ke dalam deskripsi tekstural dan deskripsi struktural gabungan. Di sini peneliti melakukan pembahasan dengan menarik benang merah dari kedua deskripsi di atas sehingga diperoleh kecenderungan pengalaman dari informan.

1. DESKRIPSI TEKSTURAL INDIVIDU


a. Latar Belakang Muslimah Dalam Mengenakan Jilbab Masing-masing informan mempunyai lika-liku dalam memutuskan untuk mengenakan jilbab. Banyak faktor yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan muslimah. Faktor dari dalam seperti kesiapan mental informan. Kemudian faktor luar seperti keluarga, lingkungan kampus, teman atau pacar, dan organisasi. Ayu mulai berjilbab sejak awal Januari 2008 lalu. Pergantian tahun 2007 ke 2008 dijadikan Ayu sebagai momen untuk merubah penampilan. Saat itu ia merasa mendapat hidayah dari Allah untuk mengenakan jilbab. Selain itu, Ayu merasa terlalu banyak orang seperti keluarga dan teman yang berkata tidak enak terhadap cara penampilannya yang cenderung menampakan aurat. ya mungkin karena aku memang ini ya..pertama, gak tau ya, ya mungkin hidayah dari Allah. Ya aku itu pingin karena aku pingin menutup (aurat), ya karena udah ajuran. Kedua, ya aku tu ngeliat untuk ini aja, aku ngerasa terlalu banyak orang yang berkatakata tidak enak karena ya dulu pakaian aku terlalu ini (terbuka). Ya kompleinlah, memberi saran yang terbaik itu seperti ini, agak dijaga sebagai seorang, sebenarnya sih nasehat dari orangorang yang menurutku kritikan yang bisa membuatku berubah. Bapakku gak suka misalnya anaknya itu memakai baju yang pendek-pendek. Udah gak terlalu bagus bagi seorang wanita, cerita Ayu. Nasehat atau kritik dari keluarga dan teman-teman dijadikan Ayu sebagai bahan evaluasi. Dari situ, Ayu akhirnya berniat merubah cara berpakaiannya dengan berjilbab. Ayu masih ingat pesan yang diberikan

ayahnya bahwa jika mau dihormati orang maka harus dapat menjaga penampilan dengan baik. Liesna juga tergolong baru dalam memakai jilbab. Ia mulai memakai jilbab bulan Juli 2008. Sebenarnya sudah sejak SMA Liesna punya keinginan mengenakan jilbab. Akan tetapi, saat itu dia merasa belum siap lahir dan batin. Kalau aku sendiri berjilbab enam bulan terakhir ini (red:wawancara pada bulan februari) karena pertama nazar dan kedua karena karena memang keinginan aku dari SMA tetapi memang dari dulu belum siap dan sekarang baru siap berjilbab seperti ini, kata Liesna. Status SMA Negeri 1 Salatiga tempat Liesna bersekolah memang tidak mengharuskan atau menganjurkan siswinya memakai jilbab. Seragam yang dipakai juga lebih umum yaitu rok dan baju lengan pendek. Selain itu, Jilbab belum banyak dipakai siswi SMA pada saat itu. di lingkungan SMA ku dulu masih terbuka atau umum. Dan saya masih belum siap menerima segala konsekuensinya. Dulu waktu di SMA juga belum tren ya, itu kan sedikit banyak juga mempengaruhi, cuma yang memakai hanya beberapa. Jadi masih mikirmikir pandangan orang lain, tutur Liesna. Lain halnya dengan Saadah, dia mulai dari kecil sudah dibiasakan mengenakan jilbab. Kebiasaan tersebut bukan hanya ketika sekolah, menghadiri acara atau ingin bepergian saja, tapi jilbab sudah menjadi pakaian keseharian Saadah. Tetapi jilbab yang digunakan Saadah masih seadanya yaitu yang penting dapat menutup kepala. Saadah baru benar-benar paham setelah menginjak pendidikan di SMA bahwa jilbab merupakan salah satu perintah Islam kepada muslimah.

saya pakai ya sudah terbiasa karena keluarga saya membiasakan itu. Tapi setelah SMA, seiring berjalannya waktu saya semakin banyak pengetahuannya. Saya juga banyak baca. Jadi saya tahu kalau wajib. Kalau dulu mungkin karena kebiasaan jadi ya seadanya. Jadi maksudnya yang saya pakai ya biasa gitu, belum sampai sempurna yang diajarkan oleh Islam. Jadi SMA itu baru saya semakin yakin. Oh ternyata seperti ini yang menurut Al Quran itu disuruhnya seperti ini yang benar. Baru saya menyempurnakan itu ya SMA,cerita Saadah. Dalam adab berpakaian seorang muslimah, Saadah mendasarkan pada Al Quran surat Al Ahzab dan surat An Nur. Kedua surat tersebut dijadikan pegangan Saadah untuk lebih menyempurnakan cara berjilbabnya dengan jilbab besar. Itu salah satu perintah dalam agama Islam dan dalam surat Al Ahzab ayat 59 atau surat An Nur ayat 31 itu dijelaskan di sana bawasannya, secara wanita yang beragama Islam ya diwajibkan memakai jilbab. Nah di situ baru saya ngerti, oh ternyata harus pakai jilbab,tutur Saadah. Titik mulai mengenakan jilbab setelah lulus SMP. Sebagai remaja, sebenarnya dia belum mau memakai jilbab karena dia masih ingin bebas bermain seperti teman-temannya. Titik belum mau terikat ketentuan baik dalam berperilaku maupun berpenampilan dengan jilbab. Awalnya belum karena masih anakanak ya. Pinginnya mainmain. Remaja kan senengnya ngikutin tren, gayagaya, cerita Titik. Sebagai anak muda Titik masih suka mencoba hal-hal baru, bahkan tidak sedikit aktivitas Titik yang dianggap melanggar ajuran orang tua. namanya anak muda, ABG-ABG gitu, belajarnya gak benar, main mulu. Kenang Titik sewaktu masih remaja dulu. Melihat aktivitas Titik yang seperti itu, orang tua Titik memutuskan untuk memasukannya ke pesantren. Harapannya, Titik bisa belajar dengan baik dan terhindar dari pengaruh negatif yang menghambat masa depan Titik.

Akhirnya, Titik dimasukan ke pesantren Persatuan Islam (Persis) Benda daerah Tasikmalaya. Di pesantren inilah awal Titik dalam mengenakan jilbab. Awalnya dari situ. Ya karena akhirnya ketemu di lingkungan situ (pesantren) ya mau gak mau, pakai. Kan lihat temanteman kayak gitu, tutur Titik. Perjalanan Dera dalam mengenakan jilbab juga melalui dua tahap yaitu pakai terus dilepas kemudian pakai lagi. Keduanya dilalui saat Dera sudah di Perguruan Tinggi. Tahap pertama, Dera mengenakan jilbab saat mulai masuk perguruan Tinggi yaitu saat berlangsungnya Orientasi dan Sosialisasi Pendidikan Kampus (Ospek). aku pakai itu pas kuliah, jadi kuliah aku mengalami dua periode. Yang pertama semester satu, pas Ospek, kata Dera. Keputusan berjilbab Dera tahap pertama bukan dari diri Dera sendiri, tetapi karena permintaan pacarnya yang bernama Andre Widya Kusuma. Pacar Dera menginginkan dia memakai jilbab supaya tidak diganggu orang lain. ya ada seseorang yang kemudian membuat aku pakai jilbab. Aku paham dengan apa alasannya. Ya memang seorang muslim itu harus Biar melindungi diri atau apalah, kata Dera menirukan ucapan pacarnya. Permintaan Andre ini kemudian dipenuhi Dera. Sewaktu Ospek dia mulai mengenakan jilbab. Tapi hal tersebut hanya bertahan satu minggu. Selama memakai jilbab tahap pertama ini Dera merasakan kegundahan. Muncul pemberontakan dari dalam dirinya terhadap keputusan yang diambilnya. Dera merasa belum siap untuk berjilbab.

Setelah aku dilebih dalam lagi akupakai jilbab itu kan, dalam hatiku sendiri aku harus siap dulu kan. Sebenarnya dari dalam diri kalau cewek itu belum siap, hal itu akan jadi apa ya ..sesuatu yang dia anggap akan mengganggu, Dera beralasan. Setelah melalui perdebatan dengan pacarnya, Dera memutuskan melepas jilbabnya. Dera tidak mau kalau langkah berjilbabnya hanya setengah-setengah, karena hanya akan menjadi beban bagi dirinya sendiri. Setelah lama melepaskan jilbab, Dera kembali memakai jilbab. Niat tersebut terealisasi pada pertengahan bulan Oktober tahun 2007. Pada saat itu, Dera sedang magang di Telkomsel untuk memenuhi syarat studinya. Pas bulan februari, aku KKN, aku magang itu September. Kayaknya Oktober deh iya sekitar Oktober 2007, pas aku magang di Telkomsel dan itu akuhatiku sendiri, ini untuk Allah. Aku benerbener gak bisa ceritain, hanya bisa dirasain. ketika aku mengenakan jilbab itu rasanya itu tenang, nyaman, pokoknya rasanya lebih adem, tuturnya. Dera tidak trauma dengan pengalamannya yang lalu, karena menurutnya keinginan berjilbab kali ini berasal dari diri sendiri. Jadi menjalaninya pun juga semangat. Sesuatu kalau berangkat dari diri sendiri itu lebih ihklas. ini benar, ini untuk Allah. Aku saja sampai curhat, apa yang aku rasain ke temen temen,kata Dera. Seperti beberapa informan sebelumnya, dalam mengenakan jilbab Ulfi juga dituntut oleh faktor luar. Ulfi disuruh orang tuanya untuk mengenakan jilbab. Setelah mencapai masa puber dan memasuki masa remaja, Ulfi mulai diarahkan orang tuanya untuk mengenakan jilbab. Model jilbab yang harus dikenakan diserahkan sepenuhnya pada Ulfi. pertama itu dari orang tua termasuk keluarga. Ya lebih baik sih ya, tapi keluarga menyarankan sepenuhnya pada aku, kata Ulfi.

Sebagai anak yang penurut, Ulfi mengikuti anjuran orang tua untuk mengenakan jilbab. Ajuran orang tua Ulfi bukan hal yang asing lagi. Perempuan di keluarga inti maupun keluarga besar Ulfi, sebagian besar juga mengenakan jilbab. Jadi pasti ada keuntungan dari maksud orang tua Ulfi agar dia mengenakan jilbab. Saat Ulfi ikut organisasi Himpunan Remaja Islam Blora

(HIMPARISBA), ia memakai jilbab besar. Setelah masuk perguruan tinggi, cara berjilbab Ulfi berubah drastis. Tidak adanya pihak yang mengikat atau mengatur Ulfi seperti di organisasi sebelumnya, mendorong Ulfi tampil apa adanya. karena dulu waktu aku berorganisasi jilbabku besar, dan aku walaupun gak nyaman pakai rok, aku pakai rok, tapi sekarang karena lingkunganku udah berbeda, aku jadi apa ya.. ya udah apa adanya aku aja. Dulu sih agak tertekan juga sih pertama pakai. Karena faktor luar ya bukan dari dalam diri aku sendiri, agak tertekan juga, cerita Ulfi. Kini Ulfi tidak lagi memakai rok dan pakaian longgar seperti di organisasi HIMPARISBA dulu. Jilbab mini atau kecil dan baju lengan panjang biasa menjadi pilihannya. sekarang udahlah fleksibel aja, temenku juga fleksibel ya udah dan mereka juga menerima aku, kalau dulu kan ditentukan organisasi, jadi kalau kita gak pakai gede kadang ditegur atau kita yang malu sendiri untuk masuk lingkungan organisasi itu, kata Ulfi. Peraturan pesantren yang masih konservatif, juga mempengaruhi Titik dalam mengenakan jilbab. Sebagai santriwati, ia wajib mengenakan jilbab besar. Di melihat teman-temannya di situ memakai jilbab besar semua, sehingga ia juga harus menyesuaikan dengan lingkungan barunya.

budaya di pesantren itu sendiri masih sangat kental atau konservatif, jadi di sana ada standarnya sendiri yaitu gak boleh menyerupai lakilaki seperti pakai celana. harus benerbener menutup aurat. Telapak kaki juga gak boleh, kan cuma wajah dan telapak tangan yang boleh. Jadi pakai kaos kaki juga. Ya kayakkayak gitulah. Kalau dibilang standarnya Arab gitu, tutur Titik. Titik bertahan di pesantren hanya 2 tahun. Kelas 3 ia melanjutkan di SMA negeri biasa. Alasan Titik keluar dari pesantren karena bercita-cita melanjutkan sekolahnya hingga universitas. Bagi Titik, di Pesantren itu kelebihannya pendidikan agamanya, tapi untuk standar sekolah umumnya sangat jauh. aku SMA kelas 3 keluar. Aku sengaja untuk nyiapin UMPTN, karena kan kalau di pesantren itu kelebihannya agama tapi untuk standar sekolahnya jauh banget. Jadi karena aku ngejar biar bisa kuliah, jadi aku pindah, kata Titik. Keluarnya Titik dari pesantren turut mempengaruhi cara berjilbabnya. Kondisi lingkungan yang tidak seketat waktu di pesantren mendorong Titik lebih bebas berjilbab. Jilbabnya tidak lagi jilbab besar, pakaiannya juga fleksibel seperti baju lengan panjang, kaos kecil atau longgar tetap bisa dipakai. Kini Titik juga bisa mengenakan celana panjang atau jins. Menurutnya, asalkan masih menutup aurat masih bisa dipakai. Ya setelah keluar akhirnya nyeleneh lagi. pemahamannya aja yang belum banget. Kembali lagi keimanannya yang kurang, Titik beralasan. kita tahu keimanan itu kan naik turun, harus kita sendiri yang ngecharge-nya. Kita sendiri yang harus mencari. Hidayah gak akan turun sendiri, harus dari pikiran yang kuat dari kita, lanjut Titik. Setelah lulus SMA dan masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan Komunikasi Pembangunan Pertanian, gaya berpakaian Titik berubah lagi seperti di pesantren dulu.

perubahan ituya gitulah maju mundur. Gini akuterus masuk IPB. Nah IPB itu kan terkenal dengan Institute Pesantren Banget. Jadi di situ kalau aku lihat agamanya benarbenaraku di situ merasa kembali lagi, lingkungan dapat.cerita Titik. Dihadapkan pada lingkungan yang kental suasana agamanya, Titik merasa mendapatkan suasana yang mendukung untuk berbusana dengan jilbab besar dengan baju longgar dan rok lebar hingga ujung kaki. Di sana ia banyak belajar ilmu agama disamping ilmu bidang yang ditekuninya. Setelah lulus kuliah dan mulai bekerja radio berita di Cilacap, cara berjilbab Titik berubah lagi menjadi lebih praktis dengan jilbab mini yang dimasukan ke baju. Cara berjilbabnya disesuaikan dengan tuntutan kerja. yabeda kalau misalnya kita wiraswasta atau usaha sendiri, mau pakai baju gimana, kalau di Instansi kan punya standar sendiri, gak mungkinlah kita pakai cadar atau dengan jilbab besar gitu, gak mungkin.kata Titik menguatkan alasan. Jalan yang ditempuh Titik adalah mencari pakaian panjang yang dapat diterima di instansi tempat ia bekerja. Usia berjilbab dengan jilbab mini tidak berlangsung lama. Titik kembali memakai jilbab besar saat bekerja di Darul Tauhid yang bergerak di bidang media. Salah satunya usahanya adalah media Manajemen Qolbu (MQ). Pasang surut perjalanan Titik dalam mengenakan jilbab berlanjut hingga saat ini kuliah lagi di Universitas Diponegoro (Undip). Di Undip dia mengambil jurusan Ilmu Pemerintahan. Di lingkungan kampus Undip atau Fisip khususnya, cara berjilbab Titik berubah lagi menjadi lebih cuek dengan jilbab sekali pakai. Berbeda dengan lingkungan di IPB dulu, dimana pakaian jilbabnya hampir sama yaitu memakai jilbab besar. Di Undip, Titik banyak memakai model atau gaya berbeda-beda. Bisa

dikatakan gaya berjilbabnya mengikuti tren yang banyak dipakai orang. Hal ini Karena selain kuliah, Titik juga bekerja sampingan di To Be Consulting yang bergerak dalam bidang Event Organizer (EO) berbagai seminar dan pelatihan. dari modelmodel kerudung dari yang pertama heboh yang model segitiga yang pakai bordir, nah sekarang itu udah gak jaman gitu kan. Sekarang lebih yang lengkungan, udah jarang yang pakai peniti-peniti. Sekarang yang lebih modern yang lebih simple lebih banyak. Terus gaya sendiri juga udah macammacam. Sekarang karena udah mulai hebohnya batik, ada motif batiknya, terus sekarang ada model kerudung tapi kesannya baju. Itu ada. Jadi kita kesannya pakai kerudung tapi modelnya baju,kata Titik. Faktor lingkungan seperti pergaulan ternyata sangat berpengaruh terhadap keputusan informan dalam berjilbab. Aktivitas Liesna sebagai anak band juga turut menjadi pertimbangan dalam memakai jilbab. Kalau pergaulan tidak se-ekstrim pergaulan remaja, bukan untuk pergaulan yang negatif. Ya Cuma aku sendiri dari SMP dan SMA itu anak band. Memang belum sepenuhnya. Jadi harus sepenuhnya dulu baru mengenakan jilbab, cerita Liesna. Peran keluarga juga besar bagi informan dalam proses mengenakan jilbab. Informan biasa mendapatkan referensi informasi, perintah atau ajuran berjilbab dari keluarga. Kondisi keluarga dengan Background Islamnya yang kental menjadi pendorong Liesna dalam menguatkan tekad mengenakan jilbab. memang dari keluargaku kan dasar atau background Islamnya kental. Saudarasaudaraku yang cewek juga berjilbab semua dan kadang ada pengajianpengajian. tutur Liesna. Perjalanan Dera mengenakan jilbab pada tahap kedua dipengaruhi oleh teman Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dera sangat bersyukur dipertemukan

dengan teman-teman yang paham agama dan jilbab. Saat KKN dalam satu desa, dia bertugas bersama delapan temannya. Pokoknya ada 8 orang, yang satu itu ikut rohis, yang cewek, aku dekat sama dia karena memang orangnya enak diajak ngobrol. Namanya Tiyas Pangesturi, dia dari jurusan Biologi. Dia pakai jilbab gede gitu, yang benarbenar gitu (besar) bangetlah. Terus kalau yang satunya cowok, dia itu mantan rohis, namanya Rifaidia kayak gitu anaknya, dia yang memberikan pemahamanpemahaman ke aku, sama satu cowok lagi, dia Kordesku, namanya Yanto dari fakultas Perikanan. Dia bukan rohis tapi dia itu juga sangat berpengaruhlah untuk bantu aku mendalami agama. Dan kebetulan, syukur Alhamdulillah aku juga dapat desa yang suasananya agamis banget. Kulturnya agamis bangetdan aku ikut terus, akhirnya aku memiliki pemahaman, cerita Dera semasa KKN dulu. Momen KKN menjadi titik tolak bagi Dera untuk menjulurkan jilbabnya sampai ke dada. Dera mengaku kalau pemahamannya tentang agama masih minim. Maka dari itu, Dera banyak bertanya ke teman-teman KKN tentang cara memakai jilbab yang benar dan mengikuti kegiatan atau acara keagamaan yang diadakan di desa tempatnya KKN daerah Kalinyamatan, Jepara. Dulu itu aku waktu pertamatama itu gak langsung kaya gitu (sempurna). Jadi kalau aku di dalam rumah, walaupun ada temenku cowok aku cuek aja. Paling Cuma pakai celana panjang atau celana , baju cowok yang gombrong tapi gak pakai jilbab. Begitu aku KKN, Alhamdulillah aku dipertemuin sama orangorang yang lebih memiliki pemahaman jilbab lebih baik, tutur Dera. Teman KKN Dera banyak memberikan arahan dan nasehat kepada Dera untuk lebih menyempurnakan jilbab yang dikenakannya sampai ke dada. Kalau sebelumnya Dera hanya memakai jilbab ketika keluar rumah, tapi setelah mendapat arahan temannya Dera akhirnya tetap memakai jilbabnya walaupun di dalam rumah.

Dera bukan Cuma keluar rumah aja, kalau ada di dalam rumah, itu ada cowok yang bukan muhrimnya kayak temenmu cowok atau saudaramu, kamu udah pakai jilbab ya harus pakai jilbab. Kecuali itu kayak bapak, saudara atau muhrim gak masalah buka jilbab. Akhirnya jilbab tetap aku pakai. Jilbab hanya aku lepas dalam kamar cewek aja. Begitu keluar dari kamar akhirnya aku pakai. Dan jilbab ku itu dulu jilbab kecil, segini (di atas dada). Jilbab kecil masih aku pakai sebagai ganti, tutur Dera menjelaskan arahan dan nasehat yang diberikan teman KKN-nya dulu. Ilmu yang didapat Dera dari teman maupun dari lingkungan dimanfaatkan untuk menambah pemahaman Dera tentang agama dan penampilan jilbabnya. Dari situlah Dera akhirnya berjilbab secara utuh. Artinya sekarang Dera mengenakan jilbab di segala tempat dan kondisi, walaupun di dalam rumah dia tetap memakai. Pemahaman tentang jilbab yang diperoleh Titik sewaktu di pesantren dan di IPB belum membuat Titik punya pegangan kuat dalam berjilbab. Kondisi lingkungan yang selalu berubah turut menentukan cara berjilbab Titik. sudah tahu, dari awal sebelum pakai sudah tahu, Cuma kanJadi berubahnya banyak, bingung. Jadi aku tipikal gak pegang prinsip, berdasarkan lingkungan, kata Titik. Sewaktu awal-awal pakai jilbab Titik masih merasa terbebani. Beban tersebut muncul dari dalam dirinya sendiri, karena memang sebelumnya dia belum terbiasa berpakaian tertutup dengan jilbab. Dia merasa seperti bukan dirinya sendiri, seperti orang lain. awalnya pas pertama pakai, perasaan itu bukan diri kita gitu. Gak PD, apalagi jamanjaman aku pakai itu, jilbab itu masih aneh, gak modis. Kalau sekarang kan udah bener-bener jadi mode. Sekarang banyak banget deh trentren dan pakaian yang mengkhususkan untuk pakaian kerudung. Kalau jaman ku dulu nyari pakaian panjang susah banget. Sekarang gampang, Katanya.

Dulu Titik masih merasa susah ketika mencari baju berlengan panjang. Penyebabnya, waktu itu pakaian jilbab sangat sedikit peminatnya. Sehingga ketika Titik memakai jilbab ditengah-tengah masyarakat menjadi risih, seolah ada yang salah dengan penampilannya. Selain itu, dia harus berjauhan dengan orang tua karena di pesantren ia mondhok. Perasaan tertekan karena ketidaksiapan mental ternyata membawa dampak terhadap kenyamanan muslimah dalam berjilbab. Dera mengalami hal tersebut pada tahap pertama berjilbab. Semakin kuatnya pemberontakan dari dalam diri Dera membuat dia akhirnya melepas jilbab. Dera banyak berfikir mengenai niatnya dan keinginan-keinginan pacarnya. Alasan hubungan romantis dengan pacar, menurut Dera sangat lemah untuk dijadikan pijakan. kalau dia mengatakan sebagai perempuan muslim aku akan lebih menerimanya, tapi ketika mengatakan supaya kamu tidak diganggu orang orang luar, karena kamu kan pacarku. Sohanya alasan seperti itu kah. Sangat lemah sekali, tapi ketika aku balik, aku sendiri mencobatapi aku ndak terima dengan alasan ituaku pakai jilbab atas dasar orang lain, ndak mau akuberarti ibadahku kemana donk. Aku berarti bukan ibadah donk, untuk pacar, enak aja, tutur Dera dengan nada kesal. Dera merasa kesal karena ternyata ajuran Andre (pacarnya) tersebut hanya didasarkan pada hal hubungan romantis yaitu pacaran saja. Hal tersebut membuat Dera seperti orang yang munafik. Dera ingin ketika memakai jilbab benar-benar didasarkan karena perintah Allah. Nah dengan alasan itu aku langsung bilang gini, jadi aku disuruh pakai jilbab hanya karena aku pacarmu. Aku ingin ketika suatu saat kali ternyata memang diijinkan untuk memakai jilbab kembali, aku ingin itu adalah waktu aku pakai jilbab yang kedua dan terakhir. Itu karena bener

bener karena Allah bukan karena aku pacarmu. Aku bilang gitu. Dua kesalahan ketika aku mengenakan jilbab karena alasan mengikuti kamu dan itu aku merasa diriku adalah orang yang munafik, lanjut Dera menceritakan pertentangan dengan pacarnya. Kalau Ulfi, meskipun merasa dirinya sangat belum siap berjilbab, dia mengambil langkah aman dengan menuruti kemauan orang tua. Ulfi tahu yang dihadapi adalah orang tua, jadi Ulfi tidak berani menolak perintah orang tuanya. sebelumnya aku sih belum mau tapi karena udah perintah dari orang tua dan keluargaku mayoritas .aku agak tertekan juga tapi alangkah baiknyaaku nurut aja. Lagi pula anggota keluarga sebagian besar juga memakai jilbab," ungkap Ulfi. Faktor pergaulan teman juga dapat menjadi pertimbangan dalam mengenakan jilbab. Ayu tidak mau temannya merasa enggan atau takut untuk berhubungan dengannya. Ayu lebih suka dalam pergaulan tetap bisa terbuka dengan temannya dan sebaliknya. Ayu tidak mau kalau ada temannya yang seolah menjaga jarak kalau dia memakai jilbab besar. soalnya apa, karena kalau misalnya kita terlalu mengikuti agama itu nanti orangorang akan, apa ya..temenlah yang pasti akanbukan sulit sihagak enggan untuk berteman. Dalam arti kata mungkin melihat kita itu wah terlalu religi banget nanti takut apa ya .. ada sesuatu yang bikin temen itu takut apa yaa..untuk lebih terbuka, lebih berbicara apa yaa..berbicara lepas aja. Akan lebih menjagajaga. Kalau menurutku dalam pergaulan itu sulitnya kalau kayak gitu, lebih nyaman kalau kita terbuka, tutur Ayu menjelaskan. Dalam mengenakan jilbab, yang penting bagi Ayu adalah belajar menutup diri dan aurat saja. Apalagi, niat Ayu mengenakan jilbab sempat mendapat pertentangan dari keluarganya. Seperti yang dialami kakaknya, keluarga Ayu tidak setuju jika perempuan mengenakan jilbab.

Pertimbangannya, jilbab dapat menghambat masa depan perempuan untuk bekerja, karena perempuan juga harus maju. dari keluargaku Cuma kakakku doank. Malah banyak pertentangan kok dengan memakai jilbab. Karena orang tuaku ada yaa lebih banyak pertimbangan. Karena ini faktor kerjaan. Karena keluarga pingin seorang wanita juga tetep maju tapi gitu harus menjaga penampilannya itu tidak harus dengan pakai jilbab. kata Ayu menceritakan alasan keluarganya saat menentang Ayu berjilbab. Walaupun mendapat pertentangan dari keluarga terhadap keputusan berjilbabnya, Ayu tetap melanjutkan langkahnya. Baginya alasan keluarga bahwa berjilbab itu akan sulit mendapat kerja tidak sepenuhnya benar. aku memandang, ya udah yang menentang aku itu sebagai ya mereka punya alasan itu tapi aku di sini tetap berkeyakinan dengan alasannya mereka itu tidak semua, karena aku melihat tidak semua orang yang berjilbab itu juga sulit untuk dapat kerja, tidak. Jadi aku melihatnya, ohh gak juga. Semua kan ada yang ngatur, jadi aku tetap maju. Karena juga ada yang mendukung, aku bilang ada faktor yang mendukung juga jadi aku tetep, tutur Ayu menguatkan keyakinannya. Keyakinan Ayu untuk merubah diri menjadi lebih baik dengan jilbab nampaknya sudah bulat. Ayu yakin walaupun sekarang banyak ditentang oleh keluarga tapi nanti pasti mendukung juga. Karena perubahan, kita berubah menjadi lebih baik kenapa nggak, walaupun mungkin mereka menentang tapi kalau untuk menjadi yang lebih baik kan mereka akhirnya dengan kita punya alasan yang kuat memakai jilbab itu aja. Mereka akan tetap mendukung, Tidak adanya dukungan keluarga, memang sempat berpengaruh terhadap keyakinan Ayu. Hal tersebut menimbulkan keraguan terhadap masa depannya nanti. ohh apakah ini perubahan yang lebih baik atau tidak, ngerasa ya keraguan bisa dibilang keraguan, karena aku berfikir juga ke depan, apakah

ini bener-bener bisa lebih baik. Apakah ke depannya aku bisa mendapat kerja atau gak, tapi aku kalau misal aku mikir kayak gitu terus itu gak akan bisa maju. Aku menjalani aja apa yang ada. kata Ayu. Perjuangan Ayu pun ternyata tidak sia-sia. Walaupun awalnya agak kaget melihat Ayu sudah mengenakan jilbab tapi akhirnya orang tua dan keluarga besar mendukung juga. orang tua awalnya kaget ya, terutama kalau keluarga besarku sih, kalau keluarga intiku memang tidak karena yang mendapat pertentangan itu awalnya kakakku sih. Jadi aku dibilang melanjutkanlah kakakku. Jadi pas udah tahu kayak gitu kaget sih, oo..ini mau berubah tapi mereka berfikir oo..ini karena emang keinginannya dia untuk menjadi lebih baik kenapa ngak. Toh keluarga juga tahu kalau di situ ada dalilnya dalam Al Quran itu tahu. Terus kalau dari keluarga besar paling Cuma bertanyaapa kamu yakin dengan perubahan yang kamu ambil? ya paling gitu sih, cerita Ayu menirukan komentar keluarganya. Dukungan juga mengalir dari teman-teman kampus dan sahabat dekatnya. Teman-teman yang dulu komplain sekarang juga mendukung. sahabat malah mendukung, cowok, mantan cowok yang pasti itu malah mendukung banget. Pokoknya semua orang yang deket sama aku, itu mendukung selama itu baik, kata Ayu. Perubahan penampilan Liesna dari sebelum dan sesudah mengenakan jilbab mendapat tanggapan dari beberapa kalangan. Dari keluarga merasa bersyukur, akhirnya Liesna mengenakan jilbab juga. Teman-teman Liesna di kampus memberikan ucapan selamat atas keputusan Liesna mengenakan jilbab. Temen-temen Liesna memandang bahwa dia telihat lebih cantik dengan memakai jilbab. Senada dengan teman-teman Liesna, pacarnya pun memberi dukungan penuh ketika dia memutuskan untuk berjilbab. Tidak ada perubahan sikap yang bersifat negatif walaupun setelah berjilbab hubungan Liesna dengan

pacarnya harus lebih di batasi. Hal tersebut terutama menyangkut hubungan fisik seperti bergandengan tangan atau merangkul. Biasa saja. Gaya pacarannya memang dijaga. Kalau dulu pacaran pakai pegang-pegangan tangan, nah sekarang sudah bisa dijaga, sekarang jarang berinteraksi fisik, tegas Liesna.

b. Pemahaman Muslimah Tentang Jilbab Pemahaman konsep jilbab berkaitan erat dengan pemahaman aurat seorang perempuan. Dalam mengenakan jilbab seorang muslimah dituntut memahami ilmu tentang aurat serta batas-batas yang harus ditutup dan dilindungi. Hal ini karena pakaian jilbab mengandung nilai ketertutupan terhadap aurat perempuan. Menurut pemahaman Saadah, aurat perempuan itu sama seperti ketika salat. Jadi aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Hal ini sama dengan ketentuan perempuan dalam memakai jilbab. Bagian tubuh yang boleh tampak hanyalah kedua bagian tersebut. Bentuk pakaiannya harus mengikuti ketentuan salat. Dalam arti, pakaian jilbab muslimah harus longgar sehingga lekuk atau bentuk tubuhnya tidak kelihatan. sebenarnya kalau dalam Al Quran itu semua ya, semua pernah saya baca jugaayatnya saya lupa Cuma sama seperti aurataurat wanita itu sama seperti kita salat. Semuanya kecuali wajah dan telapak tangan, kata Saadah. Secara geografis, perbedaan lingkungan di Arab dengan di Indonesia banyak mempengaruhi cara persepsi atau cara pandang orang tentang jilbab. Menurut pandangan Titik, di lingkungan Arab dalam mengenakan jilbab bisa

konsisten karena di sana tidak ada pemisahan antara agama dengan negara. Hukum yang digunakan juga berlandaskan Islam. kalau aku lihat di Arab kenapa mereka konsisten. Jadi mereka itu kan tidak ada pemisahan agama itu agama, Negara itu Negara. Tapi negaranya mereka emang benerbener Islam. Sampai hukumnya pun, mereka berdasarkan Islam, kata Titik. Adanya aturan atau hukum yang didasarkan pada agama ini berperan besar dalam menciptakan budaya masyarakat. Titik menjelaskan bahwa pemakaian jilbab bagi muslimah Arab itu memang sudah ketentuan adat berbusana sana seperti itu. Hal tersebut sudah kewajiban dan bagi yang melanggar pasti ada sanksinya. Jadi budaya itu timbul emang berdasarkan sama aturanaturan yang sudah ada berdasarkan agama itu. Kalau di sana ya itu bukannya budaya tapi emang kewajibannya seperti itu. Jilbab itu seperti apa sih, penutup seluruh badan, itu harus sesuai dari badan sampai kaki. Makanya pakai jubah, Jelas Titik. Kemudian terkait pemakaian cadar oleh muslimah, menurut Titik sebenarnya hal tersebut bukan suatu keharusan untuk selalu dipakai. Alasannya, lingkungan geografis Arab berupa padang pasir banyak menimbulkan debu. Maka dari itu, ketika melihat orang di luar banyak yang bercadar. nah terus kenapa mereka pakai cadar, itu juga sebenarnya mereka itu dibuka. Cadarnya itu dibuka. Itu mereka keluar karena di sana berdebu banget, debunya itu benerbener banyak, makanya biar aman ditutup. Udah panas banget juga kan. Tapi kalau di ruangan ketemu walaupun itu lakilaki, gak masalah kok. Salatnya aja pasti dibuka, emang kalau harus kena kening ketika sujud. Kayak yang terusterusan pakai cadar itu gak. Tutur Titik. Berbeda dengan lingkungan di Indonesia. Titik berpandangan kalau di Indonesia kultur berjilbabnya tidak jelas, tidak ada standar jelas yang

mengatur tata cara serta ketentuan berjilbab. Apakah harus menutup semua tubuh, atau kecuali muka dan telapak tangan atau yang penting menutup kepala saja. Para remaja misalnya, mereka tidak mengetahui secara pasti baiknya itu seperti apa. kita itu gak punya standar sebenarnya yang bener itu gimana, terus gak ada panutan sebenarnya. Siapa dan kita sekarang panutannya kita kalau untuk anakanak lihatnya lebih berdasarkan asumsi. Sekarang yang lebih menjadi raja untuk adopsi itu media. Nah sekarang kita selalu dipengaruhi sama media. Sedangkan TV, tontonannya kayakkayak gitu. Nah kalau pun emang artis yang pakai kerudung ya kayak gitu, tidak bisa jadi panutan, Kata Titik menyikapi buruknya acara-acara di televisi. Menurut Liesna, jilbab besar seperti yang dipakai orang Arab merupakan bentuk jilbab ideal seperti yang diperintahkan Islam. Semua pakaiannya menutupi seluruh tubuh. Mereka memakai rok besar, pakai kaos kaki dan yang kelihatan hanya telapak tangan dan mata saja. Walaupun sempurna, akan tetapi bagi Liesna, jilbab dari kultur Arab dianggap kurang sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Menurut aku jilbab yang sebenarbenarnya itu seperti orang Arab dengan cadarnya dan batasbatas aurat seperti itu, tetapi kalau dikondisikan di Indonesia sekarang ini dengan budayanya plural kan, pastinya kalau aku sendiri sih tidak begitu setuju soalnya hukum Islamnya di sini tidak begitu kental. Menurutku jilbab itu idealnya seperti itu (yang dikenakan orang arab) tapi kalau aku lebih ke nyamannya aja dengan lingkungan juga, tutur Liesna. Liesna menilai, jilbab besar seperti yang dipakai muslimah Arab kurang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Keragaman agama dan adat istiadat menjadi salah satu penyebabnya. kalau di Arab kan memang lingkungannya seperti itu, dan Indonesia seperti ini, jadi untuk bisa menerima jilbab seperti itu (yang dikenakan orang Arab) kurang ada interest. Kalau hukum di Indonesia seperti di Aceh

memang sudah sedikitsedikit mengikuti. Mungkin menurut saya, agama di Indonesia ada lima dan berbagai macam masyarakat, adat istiadat. Itu mungkin hal yang mempengaruhi, tutur Liesna. Liesna sendiri merasa belum siap jika harus berjilbab seperti orang Arab. Hal ini karena konstruksi orang berjilbab besar dengan cadar di Indonesia sering dikatakan mirip ninja. Keberadaan jilbab tersebut telah menjadi stereotipe di kalangan masyarakat umum. Melihat stereotipe tersebut Liesna akhirnya lebih memilih jilbab modis yang lebih populer di kalangan mahasiswi. Biasanya kalau disini tidak bisa dipungkiri juga kalau orang yang bercadar itu seperti ninja. Tapi memang bentuk idealnya seperti itu. Cuma kalau aku sendiri belum siap mengenakan seperti itu. Yang aku siap dan nyaman sekarang ini adalah jilbab seperti ini (yang ia kenakan). saya sendiri, karena sering mendengar bahwa jilbab bercadar itu seperti ninja. dari lingkungan, kita lagi duduk bareng sama teman kampus atau orang tidak dikenal dan orang itu (jilbab bercadar) lewat maka dikatakan ninja ninja. waktu di SMA juga seperti itu. Memang dari dulu terkonstruksi seperti itu, Tutur Liesna. Dalam keseharian, Biasanya Liesna tidak terlalu risih ketika menemui tamu tanpa mengenakan jilbab. Liesna pernah mengalami tidak memakai jilbab ketika tiba-tiba ada temannya cowok datang dan dia belum sempat mengenakan jilbab. Terkadang kalau keluar walau untuk sekedar mencari makan ia juga tidak memakai jilbab. Aku mayoritas memakai jilbab. kalau di kosan kan hanya cewek cewek, jadi kadang tidak pakai. kalau makan itu kadang malas juga. memang ada perasaan seperti itu tapi cuma jarang, tuturnya. Ulfi juga masih melepas jilbabnya ketika di kos atau di rumah. Kalaupun misal ada teman atau tamu laki-laki atau bukan muhrim yang datang tiba-tiba Ulfi terkadang menemuinya tanpa mengenakan jilbab.

biasanya kalau misalnya gak sempat aku paling pakaiannya baju panjang atau celana panjang. Tapi kalau misalnya aku tahu dia mau main, kadang kan posisi kita di rumah gak tahu, tibatiba, dia datang dan kita gak siap kan. Gak lucu dong, dia udah tahu posisi kita kayak gimana, kita masuk, ya kalau udah kepalang basah, paling gak sih, kata Ulfi. Masalah konsistensi memakai jilbab secara utuh memang menjadi permasalahan bagi beberapa informan yang tergolong baru. Demikian halnya Ayu yang belum konsisten memakai jilbab. Di beberapa tempat seperti di kos atau di rumah ia masih melepas jilbabnya, sehingga apabila ada teman atau tamu yang bukan muhrim maka sering kali terlihat tanpa mengenakan jilbab. aku pernah kayak gitu, tapi aku berusaha untukokelah dia bisa melihat aku sekilas, terus aku tetep berusaha menjaga itu, dalam arti kata kalau misalnya kelihatan sebentar itu bagiku mungkin kekhilafan akuya sebagai manusia, kita kan tidak tahu kondisinya seperti apa tapi aku berusaha untuk tetep kalau sedapat mungkin tiu aku bisa tetep menutup, kata Ayu. Sebagian besar dari muslimah mengetahui jilbab adalah penutup aurat. Lebih dari itu, informan masih tampak gamang untuk menjelaskan lebih luas dan lebih dalam tentang jilbab. Pemahaman tersebut antara lain terkait dengan ketentuan yang mengatur jilbab, pemahaman tentang aurat, bentuk jilbab hingga sikap dan perilaku yang menyertainya. Liesna masih tampak ragu menyebutkan dasar atau landasan perintah mengenakan jilbab. Kalau aku sendiri Cuma seringsering dengar aja. Dasarnya apa aku sendiri sekarang masih belum tahu, tetapi ada suratsurat An Nisa atau apa yag mengatakan bahwa wanita muslim seharusnya berjilbab dan menutupi auratnya. Seharusnya seperti itu. Katanya juga ada timbal baliknya ntar di akhirat kalau yang tidak berjilbab, akan disiksa karena rambutnya kelihatan, katanya! demikian pengakuan Liesna. Senada dengan Liesna, Ayu mengaku pemahamannya tentang jilbab masih sangat minim. Pemahaman yang dimiliki hanya sebatas bahwa jilbab

itu untuk menutup aurat. Selebihnya, ia belum banyak tahu tentang jilbab. Mengenai landasan perintah berjilbab, Ayu juga tidak tahu surat apa yang mengatur tentang perintah atau tata cara berjilbab seorang muslimah. nah itu dia, ayatnya aku gak tahu, tapi aku pernah baca, tapi aku lupa.kalau suratnya? Aku juga lupa, itulah kelemahan seorang muslim ini, Ayu mengaku. Berkaitan dengan pemahaman aurat Ayu menjelaskan bahwa selama laki-laki itu melihatnya tidak akan terangsang atau membangkitkan libido, maka tidak menjadi masalah. waduh, aku juga bingung, kalau aku batasannya aja ya.. aurat itu, menurut pemikiranku itu sesuatu yang membikin lawan jenis itu merasa membentuk suatu pemikiran yang buruk, kata Ayu. Ayu berpendapat selama aurat yang terbuka hanya sedikit dan tidak terlalu banyak maka hal tersebut sudah dianggap menutupi. Bagian tubuh yang bisa dilihat menurutnya mencakup pergelangan tangan, kaki, dan muka. kalau aku yang pasti, batasan menurutku itu cowok itu melihatnya tidak akan terangsang, membuat atau membangkitkan libido. Paling yang hanya bisa lihat tiu tangan atau pergelangan tangan dan kaki. Itu kan orang tidak mungkin melihat kita itu sampai ke kaki. Mungkin yang lebih dilihat itu muka, kalau muka ada yang ditutupi, ada yang nggak, tapi menurutku tidak karena orang juga untuk melihat ekspresinya itu harus melihat muka secara keseluruhan, tutur Ayu. Hal yang sama dialami Dera. Dia merasa pemahamannya tentang jilbab masih lemah, karena dalam implementasinya pemakaian jilbab Dera belum sampai ke dada. Dera juga merasa belum siap untuk memakai jilbab besar. Pertama-tama pakai jilbab, Dera tidak langsung secara utuh. Ia hanya memakai jilbab saat keluar rumah saja. Kalau di dalam rumah walaupun ada

teman laki-laki dia masih acuh saja. Menurut Titik penggunaan jilbab hanya untuk menutup rambut agar tidak kelihatan. kalau dari aku pribadi, aku sih belum sempurna, kalau pemahamanku jilbab itu cuma penutup kepala aja. Menutup rambut. Jadi Cuma penutup kepala aja supaya rambutnya tidak kelihatan. Nah sedangkan jilbab yang kafah, yang bener itu seperti apa kan gak hanya menutup aurat, Kata Titik. Ulfi mengaku jilbab yang dikenakan sekarang belum sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ulfi masih suka memakai pakaian ketat dan memakai celana jins. karena apa ya, kadang masih suka pakai ketat. Ya ketat bukan berarti menonjolkan gak, tapi kan kalau menurut agama itu harus pakai rok dan dia juga harus longgar, dan aku tidak pernah nyaman dengan itu. Jadi memang belum bisa untuk ke sana, untuk pakai yang sempurna seperti yang di aturan Al Quran itu belum bisa, Ulfi beralasan. Mengenai konsep jilbab sempurna. Informan mempunyai beberapa deskripsi sesuai pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh. Menurut Ayu, jilbab dikatakan ideal apabila tidak kelihatan lekuk tubuh pemakainya. Terutama di bagian tengah antara perut ke atas dan perut ke bawah. Bagian tersebut menurut Ayu tidak boleh ada penjedaan, sehingga dari atas hingga ke bawah bentuknya harus sama. Maka dari itu mengapa pakaian Islam untuk muslimah lebih dianjurkan untuk memakai gamis atau abaya. konsep yang lebih ideal itu kayak pemakaian, apa yaa..perempuan itu kan gak boleh ada lekukan tubuh, terutama di bagian tengah, antara perut ke atas, dan perut ke bawah. Itu seharusnya tidak ada penjedahan. Kalau dalam Islam kan lebih diutamakan pemakaian gamis, karena tidak akan membentuk suatu apapun. Baju itu harus dari atas ke bawah itu bentuknya sama. Pokoknya dalam pemakaian yang ideal itu memang seharusnya itu penggunaan rok, dalam arti kata selama tidak membentuk tubuh, entah yang di tengah, entah itu kaki, jelas Ayu.

Ulfi menambahkan, jilbab islami harus menutup aurat dari atas sampai bawah kecuali tangan dan muka. Aurat yang harus ditutupi terutama dada dan pinggul. Bentuk pakaian harus agak longgar sampai bawah. kalau perempuan terutama dada ya, dada sama bagian pinggul, itu b iasanya yang harus ditutupi. Pakaian juga harus agak longgar sampai bawah. Terus jilbab juga menutupi dada, jelas Ulfi. Menurut pengalaman Ulfi biasanya orang berjilbab besar itu sangat antusias untuk mempersuasi orang agar masuk dalam lingkungan mereka. Bagi mereka, kata Ulfi, faktor siap atau tidak siap itu bukan menjadi pertimbangan. sangat berbeda sekali, karakter orangnya pun berbeda. Jadi kalau menurut pengalamanku ya, aku pernah bergaul dengan mereka, yang besar, mereka lebih cenderung untuk mempersuasi kita masuk ke lingkungannya untuk..., ayo kamu pakai jilbab. Mereka sangatsangat antusias sekali untuk mempengaruhi itu, walaupun mereka ndak tahu siap atau gak siap mereka harus pakai. Siap itu ntar dulu. Kadang itu aku merasa apa ya...merasa minder untuk masuk ke lingkungan itu karena takut gitu lho, dipaksapaksa untuk seperti itu, dulu soalnya udah pernah sih. Jadi menurutku sih ada ya walaupun gak langsung sih ada perbedaan, kata Ulfi. Tetapi Ulfi menilai kalau untuk masalah ahklak itu kembali ke masingmasing individu, tidak bisa digeneralisasi pada semua muslimah.

Menurutnya, muslimah dengan jilbab besar belum tentu memiliki akhlak yang lebih baik di banding muslimah yang memakai jilbab mini. kalau dilhat secara kasat mata dan sesuai aturan agama sih ya lebih sempurna yang ukhti ya dari pada aku,karena memang harusnya seperti itu. Tapi kalau dari ahklak dan pribadi masingmasing itu kembali ke individu. Belum tentu juga yang pakaiannya besar itu dia lebih baik dan sifatnya tidak ada penyakit hatinya juga belum tentu kok, tutur Ulfi.

Dera memandang jilbab besar itu lebih baik, lebih islami. Walaupun sama-sama menutup aurat dengan jilbab yang ia kenakan tetapi jilbab besar itu benar-benar baju kurung, kalau aku cuma pakai jilbab untuk penutup kepala. Selain itu, bagi Dera Jilbab itu tidak boleh kelihatan rambutnya, tidak boleh terlalu ngepres. Kemudian bentuk kuping jangan sampai terlalu kelihatan. Jangan terlalu tipis dan leher jangan sampai kelihatan. Apa yaayang islami itu jilbab yang tidak boleh kelihatan rambutnya, gak boleh terlalu ngepres (mepet atau ketat), terus bentuk kuping jangan sampai terlalu kelihatan, terus jilbab yang terlalu tipis atau terawang, sama saja gak pakai jilbab, itu aja sih, terus leher jangan sampai kelihatan, kata Dera. Melihat perkembangan jilbab saat ini, Titik berpendapat jilbab sekarang sangat fluktuatif yaitu pergerakan pakaian jilbab naik turun secara tidak menentu. Kalau zaman dulu pakaiannya masih tergolong sopan dengan bentuk yang panjang dan longgar. Saat ini orang bebas memakai jilbab dengan celana mepet atau legging, kemudian baju lengan pendek yang ditambah dekker. kalau dilihat dari jaman dulu sampai sekarang itu fluktuatif bangetlah, sampai kemanamana. Kalau jaman dulu yang penting, yang namanya kerudung tipis doank, kayak selendang doank yang ditutupi dah selesai. Tetapi mereka pakai bawahnya panjang. Beda sekarang udah beragam. Kayak anak-anak mudanya aja sekarang udah banyak banget. Aku pernah ngalami pada masamasa aku sangat sedikit banget orang pakai kerudung. Antara jilbab dan kerudung bagiku beda. Kerudung itu cuma menutup kepala, kalau jilbab keseluruhan. Jilbab itu penutup seluruh badan kita. Nah aku sendiri ini belum jilbab. Cuma menutup kepala, masih kerudung namanya Kata Titik. Secara pribadi, Saadah mengakui bahwa dirinya juga mengikuti perkembangan tren jilbab saat ini. Jilbab yang ia kenakan juga disesuaikan

dengan tren, tetapi tetap dalam batasan jilbab syari yaitu sesuai ketentutan ajaran Islam. Menurut ketentuan Islam dalam menutup aurat tidak harus dengan pakaian berwarna gelap. Muslimah bisa memakai jilbab yang berwarna-warni atau dengan corak bunga-bunga, asalkan tidak tembus pandang dan menutup dadanya. Saadah merasa senang karena sekarang sudah banyak orang yang memakai jilbab. Jadi bagi orang yang berjilbab bisa lebih leluasa memilih model jilbab yang disukai. Banyaknya model jilbab membuat orang tidak cepat bosan melihatnya. Kalau dulu mungkin banyak orang yang tidak mau berjilbab karena monoton sehingga tidak menarik untuk dilihat. kalau melihat tren sekarang sih pada dasarnya saya seneng. Maksudnya sekarang udah mulai banyak orang pakai jilbab. Sekarang udah mulai bebas pakai. Kalau dulu kan kalau mau pakai jilbab, mau sekolah itu susah. Kalau sekarang sudah ada tren-nya, banyak modelnya. Lebih leluasa orang mengenakan jilbab, kalau saya pribadi sih seneng bisa ada model model yang banyak, jadi orang tidak bosan ngelihatnya. Cuman ya tadi, kalau prinsip saya pribadi eeada halhal yang harus di titik tekankan ketika kita menggunakan jilbab walaupun mungkin awalannya dari tren tapi lamakelamaan dia bisa belajar seperti apa seharusnya dia itu berjlbab. Cuman saya pada dasarnya seneng gitu ya dengan melihat semakin banyaknya orangorang yang menggunakan jilbab karena dia bisa menutup auratnya cuman kan nanti beriring waktu dia nanti akan semakin tahu.tutur Saadah. Terkait masalah ketentuan berjilbab, Saadah berpendapat bahwa tidak ada ketentuan pasti mengenai model, warna atau coraknya. Tidak ada kewajiban untuk mengenakan jilbab misalnya dengan warna hitam, putih atau jilbab harus polos. Hal yang harus ditekankan seperti tidak tembus pandang. Jilbab tidak harus panjang cuma menurutnya harus dapat menutupi badannya,

kepalanya sampai ke dadanya. Kedua, pakaian atau jilbabnya tidak boleh tembus pandang atau tipis. Ketiga, tidak boleh membentuk tubuh. Kalau dalam Al Quran dijelaskan seperti itu. Jadi yang saya tahu seperti itu. Jadi ya harapan saya bisa menggunakan bisa juga orang tahu gitu bawasannya bukan ingin fanatik, biar beda gitu bukan, tapi memang yang saya tahu gitu. Ilmu yang saya ketahui di Al Quran ya memang gitu. Memang kita eedisuruhnya, ditetapkannya ketika kita menutup aurat itu ya tadi selain karena perintah Allah, Katanya menguatkan opini. Sebenarnya, sebagai tahap awal, muslimah mengenakan jilbab itu sudah bagus karena tidak semua perempuan muslim mau mengenakan jilbab. Niat Awalnya bisa dari tren tapi menurut Saadah diharapkan lama kelamaan bisa dia bisa belajar cara memakai jilbab seperti yang seharusnya sesuai Al Quran. kalau udah pakai jilbab itu sudah punya niatan yang baik untuk bisa menutup auratnya gitu. Karena tidak semua orang bisa menutup. Bisa memutuskan diri untuk menutup, memakai jilbab. Kalau menurut saya sih baik, semuanya baik. Cuman alangkah lebih baiknya kalau dia mau menyempurnakan tadi, kalau belum tapi bisa dirapikan pakaiannya, kalau jilbabnya masih belum dijulurkan ke dadanya gitu sesuai Al Quran ya dirapikan. Cuma kalau menurut saya, udah baik. Maksudnya sudah mau mempersiapkan dirinya untuk pakai jilbab, tutur Saadah. Banyaknya perkembangan tren jilbab saat ini dipandang Saadah karena kuatnya pengaruh dari luar seperti tren yang disebarkan oleh media. Ada tren diikuti, kalau tidak maka dipandang ketinggalan zaman. Kebanyakan muslimah hanya mengikuti saja apa yang disajikan oleh media sehingga muslimah masih lemah dalam menilai tren jilbab tersebut baik untuk dikenakan atau tidak. kalau saya pikir orang-orang yang membuat busana muslim yang seperti itu maksudnya tidak longgar, maksudnya sempit itu, kalau saya pikir, itu janganjangan itu bukan orangorang yang memang paham dengan ajaran Islam. Tapi karena tadi ya budayabudaya yang sudah banyak kan orangorang kan mungkin melihatnya, ada tren dia ikuti, kalau gak

ketinggalan jaman. Jadi kalau menurut saya sih begitu. Jadi karena ada desakan dari luar, dari tren, misalkan dari TV gitu, ada model baru dari artis ini, dia ngikutin. Jadi karena mengikuti, orangorang itu mengikuti aja. Mungkin kalau mereka itu paham ya gak akan seperti itu, tutur Saadah menjelaskan dominannya pengaruh televisi dalam tren jilbab. Para muslimah saat ini lebih memilih mengikuti perkembangan zaman. Mereka merasa takut apabila ingin menyempurnakan jilbabnya dengan jilbab besar. Ketakutan tersebut biasanya lebih karena faktor pekerjaan. saya pernah nanya temanteman ada juga yang mungkin masih merasa takut gitu. Ketika dia ingin menyempurnakan itu, masa depannya tidak bisa berlangsung dengan baik, ada juga kan yang seperti itu, lebih ke arah masa depan pekerjaan, kata Saadah. Menurut Saadah di Indonesia sekarang ini masih ada beberapa instansi pemerintah atau swasta tidak mau menerima perempuan berjilbab. Apalagi jilbab yang dikenakan adalah jilbab besar. Stigma negatif mengenai jilbab tampaknya belum sepenuhnya hilang. Akibatnya, hal tersebut masih menjadi penghalang bagi muslimah untuk menyempurnakan jilbabnya. karena kan kalau di Indonesia masih ada beberapa instansi pemerintah maupun swasta yang ketika dia berjilbab harus melepaskan jilbabnya, kan masih ada yang seperti itu, atau ketika jilbabnya besar dia tidak bisa bekerja di situ. Mungkin ketakutan itu yang masih menghinggapi mereka gitu. Karena banyak temanteman yang mau mengenakan jilbab gak jadi karena itu, kata Saadah. Betapa pentingnya penampilan bagi para muslimah membuat mereka sangat memperhatikan gaya berbusananya. Titik menganggap penampilan merupakan cerminan diri kita. penampilan itu kan cerminan dari kita, cerminan seperti apa sih diri kita. Apalagi kalau aku kemanamana tasnya pasti dibawa. Ya namanya perempuan pastilah. Ya itu awal. Nah terus ketika kita bertemu sama orang kita senang kan ketika orangnya seger, enak dilihat dan secara otomatis kita juga memberikan yang baik juga, tutur Titik.

Bagaimana karakter dan kebiasaan seseorang bisa diketahui melalui penampilan. Orang yang berpakaian rapi akan dipandang berbeda dengan orang yang lusuh. Hal tersebut juga akan mempengaruhi proses kelangsungan interaksi kita sama orang lain. Liesna menganggap penampilan merupakan sarana yang bisa menarik orang lain untuk berhubungan dengan kita. Kalau aku sih dari dulu penampilan itu penting, Karena orang melihat pertama itu kan melihat penampilan. Kalau memang terlihat bagus (good looking) itu bisa menarik, tapi bukan untuk menarik hasrat. Kalau orang enak dilihat kan kitanya juga adem. Katanya. Penampilan menjadi modal awal untuk lebih percaya diri. Penampilan menarik bisa membuat orang nyaman ketika berinteraksi dengan kita. Orang lain juga tidak merasa risih dan mau berlama-lama dengan kita, sehingga muslimah juga harus memberikan yang baik kepada orang lain agar mendapatkan kesan yang baik juga. Untuk itu, Titik lebih memilih jilbab yang mengikuti tren. kalau misal standar model, baik atau gak baik itu berdasarkan pemahaman orang. Kalau berdasarkan aku, kalau emang yang bener-bener baik yang sesuai dengan standar yang islami, walaupun aku sendiri belum tapi menurutku emang itu yang baik. Kalau ngomongin baik ya. Tapi tetep ada proses menuju ke sana, tutur Titik. Sedangkan Ulfi penampilan sangat penting dalam menjalin hubungan atau interaksi dengan orang lain. Ulfi mengaku kalau dirinya sangat memperhatikan penampilannya walaupun dirinya termasuk orang yang cuek. Penampilan yang baik atau menarik akan membuat diri kita nyaman. menurutku penampilan itu penting banget. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain dan orang lain nyaman melihat kita itu kita juga PD (percaya diri). Ya kemanamana tu rasanya nyaman aja, aku sih mengutamakan penampilan, kata Ulfi.

Kalau bagi Dera, penampilan menurutnya bisa membentuk kesan atau image kita sendiri di depan orang lain. Orang menilai kita, itu tergantung cara penampilan kita karena orang akan mempersepsikan apa yang kita tampilkan. pentingya penampilan itu membentuk kesan atau image kamu sendiri di depan orang lain. Gini, gimana orang akan menilai kamu itu tergantung diri kamu sendiri. Kita pertama kenal orang, kita langsung membuat penilaian dari penampilannya. Terus dia ngomong, kita udah melakukan penilaian lagi. Terus sinkronisasi antara dia ngomong dan dia bergerak, verbal dan non-verbalnya benar atau gak kita lakukan penilaian lagi. Selanjutnya terserah anda, tutur Dera. Bagi Saadah penampilan merupakan hal penting dalam bersosialisasi dengan orang lain. Ketika berintaksi dengan orang lain sebaiknya muslimah dapat memperhatikan penampilannya. Apabila kita melihat orang yang berpakain gelap maka orang akan merasa takut untuk mendekati. ya, penting ya. Penampilan, karena ketika kita hidup itu kan bersosialisasi ya, ketika kita tidak bisa kita tidak sama dengan yang lain akan menjadi jarak walaupun tidak, bukan sangat dominan penampilan. Cuman ya tadi ketika kita berinteraksi dengan orang kan, ketika penampilannya kok kayak gitu, gak enak dilihatnya, ya bisa menyesuaikan dengan lainnya. Jadi orang juga melihat kita gak takut. Pakaiannya yang gelap dan lain lainnya, orang melihatnya takut, mendekat aja takut. Kalau kita tadinya mengikuti tren, pakai pakaian yang bermodelah kan lebih enak dilihatnya. Orang ingin mendekati juga enak,tutur Saadah. Jilbab modis menurut Ulfi adalah tipe jilbab yang menarik, tidak harus ketat. Jilbab modis itu merupakan perpaduan jilbab dengan pakainnya sehingga menghasilkan keserasian dan enak dilihatnya. jilbab yang modis itu gak harus ketat, tapi modis itu rapi dan pakaiannya itu simple, gak terlalu gombrong atau gede gitu. Gede pun juga bisa modis asalkan bisa dipadupadankan antara jilbab dengan bawahan. Itu juga bisa modis. Bagaimana keserasiannya aja dan enak dilhat lah, tuturnya.

Dalam perkembangan fesyen jilbab, para muslimah tidak ketinggalan tren jilbab. Titik selalu menyesuaikan tren yang sedang banyak dipakai orang. Perubahan tren berarti perubahan penampilan jilbabnya. ya, aku banget ngikutin tren. Pas lagi model kayak gini pasti kebawa, misalnya sekarang lagi heboh batik, pasti punya batik, gak mungkin gak ada orang gak punya batik,kata Titik. Titik menceritakan pengalamannya dalam mengikuti perubahan tren jilbab. Dia mengikuti tren dari model jilbab yang lagi heboh bentuk segitiga dengan border, kemudian model jilbab lekungan tanpa peniti. Setelah udah bosan, Titik ganti model jilbab yang lebih praktis sekali pakai. dari modelmodel kerudung dari yang pertama heboh yang model segitiga yang pakai border, nah sekarang itu udah gak jaman gitu kan. Sekarang lebih yang lengkungan, udah jarang yang pakai peniti-peniti. Sekarang yang lebih modern yang lebih simple lebih banyak. Terus gaya sendiri juga udah macammacam. Sekarang karena udah mulai hebohnya batik, ada motif batiknya, terus sekarang ada model kerudung tapi kesannya baju. Itu ada. Jadi kita kesannya pakai kerudung tapi modelnya baju. jadi satu paket sama bajunya, pokoknya lucu deh, di semarang belum ada,cerita Titik. Sedangkan Ayu untuk penampilan kesehariannya, lebih memilih jilbab yang simple, nyaman dipakai. Pemilihan jilbab funky menurutnya lebih enak dilihat karena banyak variasinya. Dia bisa mengreasikan atau

mengolaborasikan jilbab dengan pakaian yang diinginkan. Ayu pada dasarnya adalah orang yang suka mengkreasi pakaian dengan jilbabnya baik dari unsur corak atau warna. Dari situ Ayu merasa jilbab yang dipakainya merupakan cerminan dirinya. Ayu berpandangan penampilannya yang press body sudah cukup menutup auratnya.

Aku lebih yang se-simple-nya aku aja atau nyamannya aku, terus dilihat orang enak, dan yang pasti menutup, walaupun kadangkadang agak sedikit membentuk (tubuh). Tapi sebenarnya tergantung situasi juga sih. Kalau misalnya ke tempat kuliah gitu lebih ke bentukbentuk yang simple aja. Tapi kalau misalnya ke acaraacara entah itu pesta perkawinan itu kan kita harus lebih glamor, katanya. Saadah biasa mendapatkan informasi tentang jilbab dari majalah. Majalah langganan Saadah adalah majalah Tarbawi dan Annida. Dari majalah tersebut Saadah dapat melihat beberapa tren jilbab. Tren itu memberikan informasi bagi Saadah dalam mengetahui perkembangan jilbab. Jadi ketika ada keinginan untuk membeli jilbab maka ia sudah mempunyai referensi tentang model atau corak jilbab yang diinginkan. Ulfi juga tidak ketinggalan tren jilbab yang sedang marak. Walau dirinya tidak terlalu mengikuti (baca:memakai) tren jilbab, tetapi dirinya tidak ketinggalan informasi seputar perkembangan tren jilbab. Ulfi banyak mengetahui tren jilbab yang ada saat ini, misalnya tren jilbab yang hadir dengan model kebaya. banyak sih, dari model kebaya aja yang dulu gak ada, sekarang udah ada yang model modifikasi dari jilbab. Terus dari model gamisgamis kayak gitu. Terus model yang pendek pakai dekker. Ya kayakkayak gitu. Sekarang kan udah umum, kalau dulu aneh. Tapi kalau sekarang udah semakin maju,tutur Ulfi. Media saat ini mempunyai pengaruh besar dalam menentukan persepsi khalayak mengenai mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus diikuti dan mana yang harus ditinggalkan. Sekarang yang lebih menjadi raja untuk diadopsi adalah media. Terus yang bikin tren nya itu pelakupelakunya. Sehingga akhirnya menjadi tren. Kalau misalnya kita hanya mengadopsi aja, dia biasanya Cuma nonton, dan kembali lagi pada diri kita, gimana kita bisa memisahkan mana ikut,

mana yang nggak. Kalau kepingin merubah, kalau kita pingin gak ngikutin ya kita mempunyai pembatas sendiri kan, Terang Titik. Opini, sikap hingga perilaku kita saat ini banyak dipengaruhi oleh media. Media, terutama televisi memainkan peran penting dalam menentukan jilbab yang keren, modis dan bergaya. Penentuan ini ditampilkan melalui artis-artis dalam berbagai acara sinetron. Ulfi mengaku biasa

mendapatkannya dari media massa seperti televisi dan majalah. Ulfi banyak melihat model-model jilbab dari acara-acara televisi seperti sinetron atau iklan yang ditampilkan oleh artis. Sedangkan untuk majalah Ulfi banyak membaca majalah Hai atau majalah cewek lainnya. iklan bisa, sinetron juga bisa, kadang kan kalau misalnya puasa banyak ya iklaniklan religi. Kayak gitu aja buat referensi, tuturnya. Hal sama dikatakan Titik. Menurutnya media merupakan sumber informasi bagi masyarakat luas. Saat ini masyarakat sangat tergantung pada kehadiran media untuk mengetahui perkembangan dunia diluar

lingkungannya. Media dipandang mempunyai pengaruh besar dalam membentuk atau mengubah persepsi masyarakat. Informasi yang disampaikan media akan menjadi referensi masyarakat untuk berpendapat atau berperilaku. kalau menurutku itu (media). Yang punya dominasi terbesar untuk mempengaruhi dari persepsi anakanak. Oh..jilbab yang keren, yang gaya, yang modis itu seperti ini. Jadi menurutku berdasarkan dari media itu. Bukan berasarkan Islam yang kafah, yang sebenarnya itu seperti ini, jelas Titik. Media yang paling berpengaruh dalam menentukan tren jilbab yang baik untuk ikuti adalah televisi. Tren tersebut muncul melalui program acara seperti sinetron atau film dan iklan.

semua media itu mempengaruhi, kalau cuma audio gak mungkin ya. Kecuali itu internet. tapi kalau yang paling berpengaruh TV, audio visual. dari iklan atau sinetron? apa yaa..lebih sering kalau iklan ya bisa. Ya dari acaraacara TV lah. Kita lihat tren dari situ, kata Titik. Selain televisi, menurut Titik media cetak seperti majalah juga sangat mendukung musimah dalam memperoleh informasi tren jilbab. Majalahmajalah fesyen seperti Modis, Paras, Nurani, atau majalah remaja seperti Olga dan Hai sangat membantu muslimah mengamati tren jilbab. Dalam majalah biasanya tersaji beragam model dan gaya jilbab sesuai kepribadian, kondisi aktivitas atau beragam kolaborasi yang dapat dilakukan. Lain halnya dengan Dera, ia justru biasa mendapat informasi tentang perkembangan jilbab dari pergaulan dengan teman di lingkungan kampus. Kalau informasi dari majalah dan televisi porsinya kecil. Dia sering bertanya ke teman-temannya yang sudah mengenakan jilbab lebih dulu atau ke teman yang dinilainya mempunyai pemahaman agama lebih. Kemudian Dera juga suka mencari informasi melalui internet. Informasi yang dicari biasanya seputar model jilbab, ilmu agama baik umum ataupun yang berkaitan dengan jilbab. Biasanya dari pergaulan lingkungan kampus, kalau keluarga Cuma aku aja. Dalam lingkungan masyarakat rumahku sendiri jarang banget. terus kalau aku ngenet, aku banyak caricari lewat internet. Kalau media cetak ya lumayan, tapi aku gak terlalu suka nonton TV. Jadi lebih banyak pergaulan dan internet, kata Dera. Adanya pengaruh mode pada jilbab menurut Dera tidak menjadi masalah. Dera mengaku dirinya memang secara tidak sadar mengikuti tren jilbab yang berkembang. Tetapi yang menjadi acuan utama adalah tren

tersebut harus sesuai dengan dirinya, apabila tidak maka ia tidak akan mengikuti. iya, kan itu pakaian jilbabya kita gak munafik, kita ada di dunia yang memintaginigini kita anak kuliahanalangkah lebih baiknya kalau kita rapi, bukannya aku mengatakan kalau jilbab gede itu gak rapi, tapi rapi dan enak dipandang. Ok masukan mode itu memang masuk ke dalam itu. Tapi alangkah lebih baik kita memandang bijak terhadap mode itu sendiri, jangan asal ditelan mentah-mentah, jelas Dera. Banyak manfaat yang didapat dengan jilbab , Saadah misalnya, mengikuti tren jilbab supaya lebih segar dan ceria. Sekarang muslimah dapat berganti mode itu tidak masalah asal masih sesuai syariat Islam. Hal tersebut justru mendorong muslimah untuk lebih dinamis dalam berpenampilan. kalau dulu orang pakai jilbab besar warnanya kalau gak hitam ya putih, monoton gitu ya. Kalau sekarang kan bisa lebih fresh gitu ya penampilannya. Ketika kita ganti mode dalam syariat yang benar, ya gak papa. Lebih dinamis, jelas Saadah. Jilbab yang sering digunakan oleh Saadah adalah model gamis yaitu bentuk baju longgar dan panjang sampai paha. Model ini dijadikan Saadah sebagai busana kuliah. Jilbab model abaya (pakain terusan) panjang dari atas sampai kaki dikenakan untuk acara diluar kampus. Ulfi tidak memungkiri, ketika memakai jilbab merasakan keterbatasan dalam melakukan beberapa aktivitasnya. Misalnya saat ini Ulfi sedang mencari tempat magang untuk kegiatan akademisnya, dia merasa sangat sulit menemukan instansi yang menerima anak magang berjilbab. Hal ini juga terkait dengan bidang studi Ulfi yaitu Public Relation. Kadang kan kegiatan apapun, ada yang mengharuskan susah untuk pakai jilbab, diterima di lingkungan, seperti saat ini kan aku lagi magang, susah sekali mencari tempat magang, perusahaan yang menerima

mengenakan jilbab. Apalagi aku di public relation (PR) itu kebanyakan mereka gak memakai jilbab kan jadi banyak sekali penolakan, apalagi di hotel ya, banyak penolakan dari sana. Jadi merasa terbatasi dan kadang kadang itu, diskriminasi banget padahal dinegara kita kan, Negara Islam, kenapa sih orang pakai jilbab dibatasi seperti itu. Jadi kadang menyesalkannya di situ, kata Ulfi mengutarakan kekecewaannya. Selain itu, Ulfi kini tidak dapat lagi aktif dalam hobinya yaitu pecinta alam. Setelah berjilbab ia berhenti total dari aktivitas tersebut. Ulfi merasa tidak nyaman lagi ketika harus melakukan hal-hal menantang naik gunung atau panjat dinding. dari dulu aku suka ikut acara atau program kegiatan pecinta alam gitu sih. Jadi jadi sebelum pakai jilbab seperti itu. Tapi setalh pakai jilbab jadi gak bisa lagi, sama sekali aku harus berhenti. Soalnya sangat susah sekali kalau misalnya kayak aku naik gunung, harus panjat tebing dengan memakai jilbab, rasarasanya susah dan gimana ya, susah ajalah kalau melakukannya pakai jilbab, jadi ya langsung berhenti, kata Ulfi. Lingkungan pergaulan teman ternyata mempunyai pengaruh besar dalam pemilihan bentuk jilbab yang dipakai. Ayu misalnya, walaupun punya keinginan untuk memperdalam ilmu tentang agama tetapi dalam

implementasinya ia tidak mau terlalu religi. Artinya ilmu agama yang didapat cukup dijadikan sebagai proses pembelajaran sebagai seorang muslim. untuk kita mengikuti aturan agama itu kalau dari sisi aku itu sulit. Untuk mengikuti yang benerbener. Kita harus pakai jilbab itu yang bener bener longgar itu sulit. Jadi untuk ngeliat, ya perkembangan jaman aja ya. Aku mengikuti perkembangan jaman kalau misalnya jilbab itu gini, bisa diragamkan aja. Yang penting untuk saat ini, aku belajar untuk menutup diri, menutup auratku aja, Kata Ayu. Saat mulai menutup aurat dengan jilbab, Ayu perlu melakukan beberapa penyesuaian menyangkut kebiasaannya. Contohnya, dulu temanteman sering mengajak Ayu keluar malam baik ke acara pesta ultah teman atau sekedar hang out bareng sampai tengah malam. Setelah memakai jilbab

Ayu merasa perlu membatasi diri untuk keluar hingga tengah malam. Dalam lingkup pergaulan dengan teman, Ayu agak menghindari teman-teman yang mempunyai perilaku buruk seperti dugem, suka minum. Walaupun Ayu tidak melakukan hal tersebut tetapi Ayu tetap membatasi interaksi dengan mereka. Hal ini karena secara langsung atau tidak langsung pasti mempunyai dampak pada dirinya. gini kalau berteman kan kadangkadang ada temen yang berperilaku yang tidak baik itu kita agak sedikit menghindar. Dalam arti kata temen sekolah yang suka dugem, minumminum, nah aku akan menjaga untuk tidak ke situ, kata Ayu. Dalam mengatasi perubahan tersebut kini Ayu menambah waktu untuk kegiatan yang lebih positif seperi ikut kegiatan ESQ. Dari keluarga saat ini juga banyak mengingatkan pada hal-hal baik, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh diperbuat Ayu. disini kan sudah melakukan perubahan, berarti kita kan nggak cuma berubah dalam fisik saja, tapi harus dari dalam juga. Dan sekarang keluarga juga selalu mengingatkan ya. Pada halhal yangbaik, yang nggak, yang boleh yang nggak. Kalau kemarin aku terbiasa ngikutin kebisaaanku yang dulu sekarang udah mulai diingatkan kamu itu sudah berubah, jadi kamu tidak boleh,tutur Ayu. Ayu merasa dengan memakai jilbab dia mempunyai tanggung jawab membawa nama baik agama. Apabila dirinya berbuat hal buruk atau negatif maka secara tidak langsung juga akan merusak citra Islam di mata orang lain. Karena gini lho, aku ngerasa kita itu dengan memakai jilbab kita itu membawa nama baik agama. Kalau misalnya kita melakukan halhal yang buruk dengan kita memakai jilbabdalam arti kita ketika pakai jilbab terus kita ke tempattempat tidak baik. Kita ngerasa itu orang akan memandang ternyata agama ini tidak baik, kata Ayu.

Di sisi lain, langkahnya untuk berjilbab membawa kosekuensi bagi Dera. Dia harus membeli pakaian khusus jilbab. Kemudian hobi Dera nonton balap mobil atau motor baik secara langsung atau nonton bareng juga berhenti. Suasana kafe menurutnya tidak lagi cocok dengan penampilan jilbabnya. Setelah berjilbab Dera mulai menjauhi tempat-tempat tersebut. adaptasi pakaian iya, aku beli pakaian lagi. Dulu sebelum aku pakai jlbab aku suka nonton balap modil atau motor, seperti nonton bareng kayak di kafe mana gitu. Pokonya aku suka banget. Terus kalau ada balap di PRPP gitu aku juga suka nonton sampai panaspanasan. Aku mulai menyadari, tahu sendiri kan kafe kayak apa, setelah aku pakai jilbab aku merasa itu bukan tempatku, jadi menurutku mending jangan, abis itu mereka kan juga menyediakan minuman keras kan, kan gak boleh, cerita Dera. Menurut Titik, merasa terbatasi dengan memakai jilbab itu wajar. Titik menilai bentuk jilbab yang lebih tertutup pasti akan membatasi aktivitas muslimah karena muslimah tidak akan sebebas ketika sebelum mengenakan jilbab. terbatasi itu wajar. Kalau masalah terbatasi mau gak mau yang namanya kita pakai jilbab ya kita harus membatasi donk. Contohnya gini aja, kalau pas belum ada pakaian renang, kita mau berenang susah banget kan. Nah sekarang udah ada pakaian renang untuk muslim dan itu hampir sama kayak gini (dengan pakaian jilbab) cuma pakaiannya sama kita pakai sehari hari Cuma bahannya, bahan untuk di air gitu, aku kan seneng berenang. Dulu aku merasa susah banget, jadi gak bisa, kalau sekarang udah banyak, langsung plus sama kerudungnya gitu, cerita Titik. Mengenai tanggapan orang lain seperti keluarga atau teman terhadap keputusan berjilbab informan, keluarga menyambut baik Titik ketika memutuskan berjilbab. Berbeda dengan teman-temannya Titik, mereka ada yang mendukung dan ada yang mempertanyakan keputusan berjilbab Titik.

ya cuma nyengir (ketawa) ah nanti paling berubah lagi. ada yang mencibir, wah beneran nih? Tapi ada yang mendukung, Wah hebat! kata Titik. Banyak yang tidak menyangka Titik akan berjilbab dan mau masuk pesantren. Dulu Titik terbilang sebagai anak yang suka mengikuti tren pakaian dan lebih senang bermain, setelah dipesantren dia harus pintar-pintar menjaga sikap untuk lebih santun. Yang namanya pakai kerudung itu paling identiknya harus bener bener orang yang taat, walaupun dari kita mungkin biasa aja. Orang itu selalu menuntut seperti itu kan. Biasanya selalu disalahin, orang pakai kerudung itu begini, gayanya begini, omongannya begini gitu. Ya paling gitu harus lebih berhatihati aja. Kan kalau aku pribadi masih susah. Terbebani juga sih. Jadi kesannya orang kalau pakai kerudung harus yang santun, harus perempuan banget. Tutur Titik. Perilakunya juga harus lebih sopan baik kepada sesama santri maupun kepada para kiai. Hal yang paling susah Titik lakukan adalah menjaga omongannya. Gaya berbiara Titik yang ceplas-ceplos sulit untuk dikontrol. Gaya ceplas-ceplos tersebut bagi perempuan dianggap tidak sopan. Seorang perempuan, apalagi muslimah harus bertutur kata lembut dan sopan atau lirih. Kondisi Titik yang tertekan membuat Cara penanganan masalah tersebut tidak maksimal. cara menenganinya sampai sekarang ini aku juga untuk mengendalikan itu kadang pas lagi ingat ya iya. Kalau pas lagi nggak ya bebas aja. Gak tahu tergantung mood. Pokoknya semua kembali kepada keimanan, kata Titik. Kontras dengan informan sebelumnya, selama memakai jilbab hingga saat ini, Saadah tidak merasakan adanya keterbatasan. Dia juga tidak merasa khawatir dengan lingkungan kerja yang mungkin menuntut perubahan bentuk jibabnya.

kalau sampai saat ini, mudahmudahan sampai ke depan ya, itu gak ada. Saya berkomunikasi dengan temanteman bahkan dengan tetangga tetangga di sekitar kos saya juga masih bisa. Tidak ada kendala ataupun pekerjaan juga saya pernah masuk dalam lingkungan perkerjaan juga tidak ada masalah, jelasnya. Justru dengan jilbab, Saadah berharap dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelum-sebelumnya. Lebih baik tersebut baik mengenai ilmu tentang ahklak maupun ilmu agama secara umum. Ya harapannya saya berusaha senantiasa berusaha untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari pada orang lain. Ya tapi tidak menjadi diri orang lain. Tapi tetep bisa berubah menjadi lebih baik kalau misalnya kayakkalau yang saya rasakan sih ya dibandingkan dulu, Cuma yang menilai orang ya, kalau ini takutnya dianggap., tutur Saadah.

c. Mengomunikasikan Identitas Muslimah Melalui Jilbab Hakikat berjilbab merupakan suatu nilai yang melandasi atau dijadikan sebagai panduan oleh muslimah dalam proses mengenakan jilbabnya. Pemahaman hakikat jilbab dapat berangkat dari bagaimana pemahaman muslimah terhadap jilbab. Sehingga para muslimah dapat menemukan nilai yang terkandung dalam jilbab. Penggunaan jilbab oleh para muslimah mempunyai fungsi dasar yaitu penutup aurat. Lebih dari itu, penggunaan jilbab diharapkan bisa melindungi aurat muslimah agar tidak tampak baik secara jelas maupun samar-samar. Liesna berpendapat bahwa berjilbab itu suatu kewajiban bagi wanita muslim, tidak hanya berjilbab fisiknya saja tapi juga sifat dan sikap juga berjilbab. Walau begitu, dalam implementasinya Liesna jujur mengakui jilbabnya belum menutup aurat secara sempurna.

Kalau aurat sih, setiap orang pasti bedabeda. Kalau aku sih hampir menutup aurat. Katanya kan tidak boleh pakai celana jins. Tutur Liesna. Upaya menutupi aurat dengan jilbab menurut Liesna juga tergantung dari bentuk tubuh pemakainya. Bila orang yang mempunyai bentuk tubuh besar maka bisa saja lekuk tubuhnya akan terlihat jelas. Liesna melihat, ada juga yang beralasan masih dalam tahap belajar, sehingga masih sering menggunakan pakaian atau celana yang ketat. Faktor lain mungkin sayang membuang baju atau celana sebelum berjilbab, sehingga tetap digunakan dengan cara dipadupadankan dengan dekker atau jaket. Kalau saya sendiri, ya memang sayang ya. Selama itu tidak terlalu seksi atau mepet ya masih bisa dipakai, kata Liesna. Menurut Ayu dalam memakai jilbab, asalkan tidak menimbulkan hasrat atau rangsangan terhadap laki-laki maka tidak menjadi masalah. Hal tersebut dipandang sudah menutupi aurat. Meskipun perempuan tidak tahu batasan laki-laki bisa terangsang atau tidak tapi kalau hanya terlihat sedikit saja maka tetap sudah menutup. ya mungkin aku juga gak tahu alasannya mereka itu apa tapi kalau aku memandangnya itu sudah menutupi aurat, sebagianlah. Karena selama itu tidak menimbulkan kita kan tidak tahu batasan cowok merasa terangsang atau gak. Mungkin mereka itu berfikir, apa ya hanya dengan memperlihatkan sedikit lebih untuk memperlihatkannya lagi mereka merasa itu tidak akan menimbulkan masalah, tutur Ayu. Bagi Liesna, memilih jilbab modis digunakan sebagai tahap awal untuk berproses menuju lebih sempurna. Dia belum siap jika langsung memakai jilbab besar, meskipun jilbab ideal menurutnya adalah jilbab besar seperti yang dipakai orang Arab.

Perubahan itu kan bertahap, aku nyaman dengan yang seperti ini. Lambat laun bila ALLAH memberi petunjuk akan berubah sendiri, tetapi aku pikir ketika aku sudah berani untuk mengenakan jilbab itu sudah bagus. Kalau dulu, awalawal aku pakai jilbab yang terbuka (pendek), tapi sekarang aku nyaman pakai jilbab yang segi empat yang lebih besar. Ya bertahaplah untuk ke depannya, tutur Liesna. Lain lagi buat Ayu, berjilbab sudah merupakan kewajiban setiap muslimah. Sebagai orang yang beragama islam, Ayu memandang perintah jilbab itu suatu keharusan yang harus dilaksanakan perempuan. karena aku, agamaku kan Islam, panutanku kitab Al Quran, jadi aku memandang di situ. Allah sudah mengatakan itu wajib, berarti ada sesuatu keuntungan dari kewajiban itu pasti ada, dan aku memandangnya kenapa gak. Dia aja (Allah) memandang itu wajib, ya berarti aku memandangnya juga wajib,kata Ayu. Dengan memakai jilbab Ayu dapat merasakan keuntungan yang tidak dirasakan sebelum berjilbab. Dia kini tidak merasa malu lagi dengan pakaian yang lebih tertutup. Lebih dari itu, menurutnya laki-laki juga lebih menghargai dirinya. keuntungan yang aku peroleh banyak. Aku gak merasa malu, setiap orang itu tidak akan melihat, dalam arti kata melihat auratku, terus yang pasti aku merasa cowok itu akan lebih menghargai aku. Jadi itu yang biasanya dulu gak pernah pakai jilbab suka digodain. Walaupun sekarang ya suka digodain, tapi paling gak meminimalkan orangorang untuk menggoda. Jadi orang lebih menghormati, tutur Ayu. Teman-teman tidak lagi punya pikiran negatif terkait cara

penampilannya dengan jilbab. Hal senada dikemukakan Titik, sebagai umat muslim pasti ingin melaksanakan perintah agama secara sempurna. Kewajiban berjilbab ini merupakan salah satu perintah yang harus dijalankan perempuan muslim.

Jadi menurut saya tidak akan sempurna namanya wanita muslim itu tidak mengenakan jilbab. Jadi kita kan menjalankan agama pinginnya yang sempurna kan. Nah itu (berjilbab), merupakan salah satu kewajiban juga. Jadi bukannya sunah, yang namanya wajib ya pasti harus, tidak ada yang nggak, jelas Titik. Kewajiban mengenakan jilbab sudah tertera dalam Al Quran dalam surat An Nur. Menurut titik sebenarnya itu bukan perintah berjilbab tetapi perintah menutup aurat. Perintah menutup aurat ini menjelaskan cara dan bagian tubuh mana saja yang harus ditutup. Akhirnya munculah jilbab sebagai pakaian untuk menutup aurat muslimah. Walaupun begitu, Titik mengaku saat ini masih memakai kerudung belum jilbab. Jilbab dan kerudung bagi Titik itu berbeda. kerudung itu Cuma menutup kepala, kalau jilbab keseluruhan. aku sendiri gak bisa mengaplikasikan aja. Tahu ilmu tapi belum bisa mengimplementasikan secara nyata, kata Titik. Jilbab bagi seorang muslimah adalah wajib hukumnya. Ketika seorang perempuan muslim sudah mencapai usia dewasa atau baligh maka dia wajib mengenakan jilbab. Menurut Ulfi bagaimanapun perilakunya tetap harus memakai jilbab. Tidak ada lagi alasan bahwa berjilbab itu harus ada kesiapan hati atau perilakunya baik dulu. dulu kan aku pernah dapat pengalaman, pernah menyangkal, aku belum siap pakai jilbab, tapi itu bukan masalah siap gak siap, tapi itupada peraturan, kayak misalnya salat pun kita sebuah kewajiban, bukan masalah karena sudah salat apa gak, tapi itu sudah kewajiban sebagai umat muslim., kata Ulfi. Setiap muslimah memiliki pesan atau kesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Menurut Titik pesan tersebut diharapkan dapat membentuk atau mengubah persepsi orang lain tentang diri muslimah. Selain itu,

diharapkan orang lain dapat memberikan sikap dan berperilaku sesuai dengan pencitraan jilbab para muslimah. paling gak kita sudah terlindungi, bahwa kita itu muslim. Itu pastilah. Jadi secara otomatis kalau kita dengan pakaiannya yang terbuka itu kan sama saja dengan kita kepingin memperlihatkan dengan tontonan aurat. Jadi kan orang juga lebih kesannya memandang kita yang gak baik. Jadi setidaknya orang juga melihat kita baik atau setidaknya mempersepsikan dalam dirinya wah kita ini seorang muslim berarti setidaknya mereka punya batasan tersendiri. Tidak sebebas dengan orang yang tidak mengenakan jilbab,jelas Titik. Menurut Titik, dengan memakai jilbab ia berharap orang lain akan mempersepsikan hal positif tentang dia. Jadi, dengan jilbab ada suatu penghalang yang membatasi orang lain melihat apa saja yang kelihatan dari aurat muslimah. Ada suatu penghalang, tidak bener-bener yang bercampur baur, dia (orang lain) berhak untuk melihat apa aja yang kelihatan, nggak. Walaupun karena belum bener berjilbab yang kafah, aku juga nggak mau dilihatin yang memang bukan haknya dia gitu, kata Titik. Lain halnya dengan Ulfi, melalui jilbab yang dikenakan, ia ingin menyampaikan kesan bahwa ia mempunyai kepribadian yang tidak ribet, lebih apa adanya. Hal itu disampaikan Ulfi melalui pemilihan model jilbab yang praktis. ya sih, aku gak suka ribet, jadi ya gini, gini aja. Apa adanya. Yang penting nyaman dan aku kemanamana juga nyaman aja, tutur Ulfi. Banyak niat yang menjadi landasan orang untuk berjilbab. Misalnya Titik, gaya pergaulannya yang cuek, cara berbicara yang ceplas-ceplos, dan tuntutan orang tua untuk masuk pesantren ditangkap lain oleh Titik saat

mengenakan jilbab. Titik memaknai jilbab sebagai sarana untuk memutihkan kulitnya. awal aku pakai kerudung itu bukan karena kewajiban. Tapi kepingin putih. Kan nggak kena matahari. Wah aku liat orangorang itu pada putih putih he itu secara gak langsung emang kayak gitu, kata Titik. Titik tertarik saat melihat orang-orang berjilbab kulitnya lebih putih. Dengan kulit putih maka perempuan terlihat lebih menarik dan lebih bersih. Tujuan lain Titik berjilbab juga supaya terlihat lebih santun. Seorang perempuan harus terlihat feminin. Sikap tersebut akan membuat perempuan lebih dihormati dan dihargai dalam lingkungan masyarakat. pertama, dari diri kita sendiri, kita harus selalu menambah ilmu, itu pasti. Baca, namanya baca buku itu pasti mempengaruhi banget pokoknya yang terkait dengan keimanan. Terus lingkungan sekitar kita, yang emang men-support kita berbuat baik. Itu kan lingkungan kita atau teman deket kita. Itu kan cerminan kita sendiri, sebenarnya kan. Kalau diri kita bebas gak mungkin kita bergaul dengan orangorang yang seperti itu. Pasti kita mencari yang beda, gak mungkin kita dengan orang yang menjaga kebebasan gitu, kata Titik. Menyikapi banyaknya muslimah yang berjilbab tetapi sering kali masih menampakan auratnya, Saadah berpendapat hal tersebut dikembalikan lagi kepada tujuan masing-masing muslimah. Ada yang dulu saya punya teman juga. Dia pakai jilbab pertama itu, nanya ke saya kalau aku pakai jilbab lebih cantik gak? ya lebih cantik, dan dia akhirnya mau pakai jilbab. Jadi itu tujuan ada yang pingin terlihat lebih cantik, ada juga tujuannya karena temen, macammacam tujuan. Cuma kalau saya lihat yang membuat tren itu jadi banyak macammacamnya itu, tidak hanya jilbab, pakaian itu ya karena tadi, banyak pengaruh dari luar, cerita Saadah.

Keragaman model jilbab saat ini menurut Saadah hanya karena perbedaan bentuk saja. Bagi Saadah, dirinya lebih memilih model jilbab besar sebagai busana kesehariannya. saya yakin apa yang ada di dalam Al Quran itu yang diperintahkan Allah, karena memang agama yang saya anut kan Islam, berarti ketika saya berislam, saya harus beraturan Allah, bukan aturan siapapun ya itu kenapa saya mengenakan jilbab yang seperti ini, ya karena perintah Allah, kata Saadah. Berjilbab bagi Saadah adalah untuk menyempunakan semua yang Allah perintahkan. Agar dirinya bisa menjaga diri dan lebih terjaga dari orang-orang usil. Saadah percaya janji Allah dalam surat Al Ahzab. jilbab itu bagi seorang muslimah atau bagi saya pribadi ya sangat penting ya. Ya karena janji Allah itu dalam surat Al Ahzab memang ketika seorang wanita itu menggunakan jilbabnya maka dia akan lebih terlindungi gitu dan saya rasakan itu. Ketika saya menggunakan jilbab saya merasa lebih bisa menjaga diri dan bisa lebih terjaga dari orangorang yang usil gitu. Jadi saya lebih terjaga dengan menggunakan jilbab. Jadi ya sangat penting. Ya harapannya saya tidak akan melepaskan ini sampai saya dipanggil, terangnya. Jilbab dalam pemahaman Saadah diyakini dapat melindungi diri dari nafsu. Melalui jilbab muslimah diharapkan dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal negatif yang dapat merusak nama baik dirinya dan agama Islam. Dari sisi luar menurut Saadah, jilbab dapat memberikan rasa aman dari ulah orang asing. untuk diri pribadi, melindungi diri dari nafsu kita ketika ingin melakukan hal yang gak baik. Malu gitu dengan penampilan fisik kita, kok sudah berjilbab masih melakukan hal yang jelek. Ya itu menahan diri dari halhal yang buruk. Yang kedua, dari luar itu ya lebih terjaga, ketika kita jalan di tempat asing, ketika kita memakai pakaian yang rapi yang saya rasakan senantiasa terjaga karena orangorang diluar yang sukaya mungkin mereka cuma ingin menyapa gitu, cuma jadinya nyapanya itu kan lebih baik ketika dengan pakaian yang seperti ini (berjilbab), tutur Saadah.

Dera merasakan banyak manfaat dengan mengenakan jilbab. Manfaat tersebut muncul dari dalam diri Dera dan dari lingkungan. Dari dalam diri, Dera merasakan ketenangan dan lebih sadar ibadah. Dari luar, Dera merasa lebih aman dari gangguan orang lain seperti orang yang suka menggoda perempuan. yang pertama dari dalam aku ngrasa lebih adem, lebih tenang, lebih ngrasa sadar ibadah, lebih sadar agama, ada suatu daya kontrol. Kalau dari luar, aku ngrasa gak perlu melakukan perisai. Artinya gini aku ngrasa lebih bahaya dengan lawan jenis, jadi aku juga bisa melakukan kontrol pada diriku maupun pada orang lain. Jadi orang itu lebih appreciate ke aku.selama pakai jilbab, aku lebih aman. Kalau dulu terus terang untuk sampai membuat diriku aman, aku harus latihan bela diri, tutur Dera. Tujuan berjilbab bagi Ayu selain melaksanakan kewajiban agama, juga untuk menegaskan identitas muslimahnya. Dimana pun dia berada maka dapat diketahui bahwa ia beragama Islam. karena ya itu jilbab sebagai suatu kewajiban. Karena dalam agama kelihatan kan, ada ayat yang mengatur tentang jilbab, penutup aurat. Itu setiap wanita diwajibpin, itu aku suatu kewajiban, itu suatu keharusan. Ya aku memandang itu aja. Kedua, sebagai identitas seorang muslim. Identitas dalam arti kata, dengan kita apa yaa..kalau kita ngeliat orang itu kalau udah ngeliat kita, oh pakai jilbab, ..oo berarti dia seorang muslim, tutur Ayu. Hal yang membuat Ayu tertarik untuk mengenakan jilbab adalah bentuk bajunya yang panjang dan lebih nyaman dipakai. Menurut Ayu jilbab mempunyai banyak manfaat, diantaranya untuk menjaga kesehatan. oo..banyak, untuk menjaga kesehatan, dalam arti kata ya mungkin aku mencari pengetahuan juga selain aku tahu manfaat jilbab itu sebagai identitas. Kau juga pingin tahu apa sih,kenapa sih kok kita diwajibkan memakai jilbab itu apa ternyata pas aku baca itu, jilbab juga bisa menjaga kepala kita dalam hal apapun, misalnya dari panas, itu akan menjaga. Jilbab itu ternyata bisa menutup kepala itu dari sinar matahari secara langsung mengenai kepala kita walaupun mungkin ada rambut, tapi rambut itu kan juga bisa berubah menjadi atau memberikan efek yang buruk juga kalau kita

bersentuhan dengan itu (sinar matahari). Terus kulit juga kalau misalnya terlalu sering sinar matahari ternyata membawa dampak yang berakibat kanker. Ternyata jilbab itu bisa menjaga kesehatan, tutur Ayu. Jilbab menurut Ayu selain untuk menegaskan identitasnya sebagai seorang muslimah juga digunakan untuk mengekspresikan dirinya yang terbuka. Ayu ingin meskipun berjilbab tetapi tetap bisa bergaul dengan siapapun. Ayu justru khawatir kalau dirinya terlalu religi, dia takut temannya akan memberi batasan, terutama bila teman itu dari non-Islam. aku gak pingin terlalu juga karena aku ngrasa ya lingkungan aku, bukan lingkungan religi. Aku bukan pingin terlihat religi juga, aku pingin religi tapi tidak terlalu religi, dalam arti kata benerbener mendalami itu nggak. Aku tetep pingin bergaul sama siapapun karena kalau misalnya aku terlalu religi aku akan punya batasan batasan teman karena paling gak kalau misalnya ada yang dari non itu (non-Islam) akan memandang aku terlalu religi itu jadi agak sulit untuk bergaul. Aku pingin tetep bisa masuk dari manapun tapi tidak meninggalkan religi aku, tutur Ayu. Secara tidak langsung dengan mengenakan jilbab, Saadah ingin menyampaikan pesan tentang jilbab besar yang dipakainya. Saadah berharap ada orang yang bertanya seputar jilbab yang dipakainya. Baik tentang alasan dia memakai, apa yang dirasakan dengan jilbab besar dan lainnya. Jadi Saadah berharap bisa menjelaskan berbagai pertanyaan seputar jilbab besar yang dipakainya. secara tidak langsung ya pastinya ada ya, ya inginnya mereka juga tahu yang baik itu yang selama ini aku rasakan sih, ketika saya menggunakan ini (jilbab besar) banyak orang yang nanya,oopakaiannya kayak gitu berartikan orang tahu dan nanya, kenapa begitu, ya ingin saya sampaikan ya tadi. Jadi orang tahu gitu bawasannya, ada ni jilbab yang model yang seperti ini. Kenapa? Nanti kan mereka akan bertanya,oo ternyata seperti ini. Kalau yang saya rasakan seperti ini. Yang ingin saya sampaikan jadi orang juga tahu pakai jilbab itu yang begini, katanya.

Menurut Liesna orang yang sudah berjilbab belum tentu saleh. Liesna sering melihat sendiri banyak teman yang dikenalnya walau sudah berjilbab tapi tetap saja punya kelakuan dan sikap yang sama dari sebelum pakai jilbab. kalau menurutku tidak ya, kalau zaman sekarang ini banyaklah, tetap ada aktivitas negatif yang mereka lakukan. Aku lihat beberapa yang aku kenal, sebelum dan sesudah pakai jilbab kelakuannya sama saja. Misalnya aja temanku sendiri yang sudah berjilbab dari SMA. Tapi kalau aku lihat di belakang itu, dia masih punya sikap yang negatif seperti suka berbuat curang, ngomongin orang di belakang, tutur Liesna. Ketika jilbab hanya dilihat secara kasat mata, itu mungkin dapat menjadi simbol keagamaan seseorang. Menurut Titik cara dan gaya berjilbab seorang muslimah itu merupakan cermin keimanannya. Kalau kita hanya berdasarkan pada kasat mata berdasarkan hanya pada visual saja mungkin itu bisa sebagai simbol, kalau misalkan jilbabnya seperti ini berarti itu kadar keimanannya seperti ini, tapi dikembalikan, kalau misalnya Allah menilai itu kan tidak hanya secara visual tapi dari kedalaman hati seseorang. Dan kedalaman hati kita gak bisa menilai, Cuma Allah doank yang berhak. OK simbol aku setuju tapi secara visual aja. Terang titik. Apabila kita melihat muslimah yang pakai jilbab saja tetapi masih menunjukan lekuk tubuhnya maka pasti orang tersebut masih dalam tahap belajar. Kemudian apabila cara memakai jilbabnya masih acak-acakan berarti dia baru kepingin coba-coba. biasanya gitu.wah kalau yang kayak gini ini pastinya standarnya segini, kalau yang masih pakai doank tetapi pakaian lekuk ini masih orang orang yang baru belajar gitu kan. Ada juga kalau misalnya pakai kerudungnya yang pakai selendang doank yang masih nempel mungkin dia baru belajar atau kepingin nyoba. Biasanya gitu, sampai ke tahaptahapan sampai akhirnya menurut dia sempurna, kata Titik. Secara kasat mata memang banyak orang yang memakai kerudung tetapi sikapnya jelek. Kelakuannya tidak mencerminkan sebagai seorang

muslimah. Akan tetapi menurut Titik, semua orang pasti mempunyai standarnya sendiri. setiap muslimah mempunyai cara tersendiri yang menurutnya itu yang baik untuk dirinya. Melihat perkembangan orang memakai jilbab sekarang, banyak yang mempertanyakan perilaku dan bentuk jilbab yang dianggap kurang sesuai dengan ajuran Islam. Ayu berpendapat sekarang ini jilbab bukan lagi sebagai lambang kesalehan muslimah. Meskipun sekarang banyak perempuan memakai jilbab tetapi mereka masih memperlihatkan bentuk-bentuk tubuhnya. aku ngeliatnya sekarang gak, karena udah sekarang gini aja deh..kita ngeliatnya dari pakaian orang itu udah berbeda. Dalam arti kata tidak mengikuti ajuran agama yang seharusnya, walaupun memang cuma menutupi aurat tapi kan tetep aja mereka itu memperlihatkan bentukbentuk tubuhnya. Tetep aja, kata Ayu. Hal ini sedikit banyak kerena pengaruh mode pakaian yang membanjiri kaum muda. Menurut Ayu kesalehan seseorang itu tidak hanya diukur melalui penampilan jilbab saja. gini ya, identitas kita sebagai muslim dengan memakai jilbab kan belum tentu mengatakan kita sebagai seorang yang soleh itu gak juga. Kesalehan itu kalau sekarang dilihat tidak hanya dari itu, karena dari pengetahuan dia tentang agama itu baru. Orang kan tahu dia soleh atau tidak kan dari situ. Sekarang kan tidak bisa dikatakan dengan memakai jilbab itu seorang soleh, tutur Ayu. Apalagi sekarang ini banyak orang yang mengenakan jilbab itu bermuka dua. Artinya sebenarnya mereka berperilaku buruk tapi mereka tidak mau terlihat keburukannya. Jilbab bagi mereka akhirnya digunakan sebagai tameng atau kamuflase.

orang juga lihat dengan perkembangan jaman gini, orang banyak yang dengan menggunakan jilbab itu bermuka dualah. dalam arti kata mereka itu sebenarnya berperilaku yang buruk tapi itu untuk tidak mau terlihat seperti itu. Mereka itu menggunakan jilbab sebagai tameng atau kamuflase dia yang aslinya seperti itu, tapi tidak ingin terlihat, jelas Ayu. Hal senada dikemukakan Ulfi, Alasannya kesalehan itu bukan tergantung pada jilbab. Jilbab menurutnya hanya kewajiban memakai saja, sehingga tidak terkait langsung dengan kesalehan seseorang. banyak kok orang pakai jilbab yang gak salat. ya, itu banyak dan itu tementemen ku sendiri, aku tahu dan mereka juga biasa aja. Gak merasa risih atau terbebani. Jadi kalau tingkat kesalehan nggak sih menurutku, kata Ulfi. Ulfi menilai jilbab sebisa mungkin dapat mencerminkan kepribadian muslimah sebagai umat Islam walaupun mungkin banyak yang menggunakan jilbab sebagai simbol penampilan religi semata. mungkin karena takut hitam, ya kayak gitugitu. Banyak kok yang karena rambutnya krebo, jadi kayak gitu, tapi dia biasa aja kalau misalnya keluar dia gak pakai, kalau misalnya dia kuliah dia pakai, keluar gak pakai. Kayak gitu kan kita tahunya dia berjilbab di sekolah tapi saat di luar gak. Kita gak bisa dong bilang dia soleh apa gak, kata Ulfi.

2. DESKRIPSI STRUKTURAL INDIVIDU


a. Latar Belakang Muslimah Dalam Mengenakan Jilbab

Dalam proses penentuan mengenakan jilbab, muslimah banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor tersebut berasal dari internal seperti kesiapan diri muslimah maupun faktor eksternal seperti keluarga, lingkungan sekolah, teman atau pacar. Beberapa informan seperti Ulfi, Titik, dan Saadah dalam mengenakan jilbab berawal dari tuntutan, anjuran atau dukungan keluarga khususnya orang tua. Keluarga sebagai lingkungan terkecil dan lingkungan inti dari muslimah memainkan peran besar dalam proses penentuan arah muslimah. Sebagai pihak yang mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan anak, orang tua sangat memperhatikan perkembangan dan potensi anak. Dalam hal penampilan, orang tua selalu menganjurkan untuk memilih pakaian yang sopan dan baik. Jilbab menjadi pilihan bagi putri mereka sebagai pakaian yang islami. Pemilihan jilbab didasarkan pada karakter jilbab yang lebih tertutup, sopan, dan santun. Saadah sudah dari kecil dibiasakan orang tuanya untuk mengenakan jilbab. Kebiasaan tersebut bukan hanya ketika Saadah sekolah atau bepergian saja tetapi dalam segala aktivitas keseharian, Saadah dibiasakan mengenakan jilbab. Sedangkan Ulfi, sebenarnya dia belum mau mengenakan jilbab, tapi karena itu perintah orang tua, Ulfi menurut saja. Perjalanan berjilbab Ulfi berlanjut saat Ulfi ikut dalam organisasi HIMPARISBA. Di sini Ulfi memperoleh pengetahuan tentang jilbab dan dia diarahkan untuk memakai model jilbab besar.

Kondisi Ulfi yang masih labil membuatnya tidak punya pegangan sehingga dia hanya mengikuti alur yang ditentukan oleh lingkungan. Ulfi merasa tertekan dengan ketentuan jilbab besar yang harus dikenakan oleh muslimah di organisasi. Ulfi terpaksa memakai rok untuk bawahan meskipun Ulfi tidak pernah nyaman pakai rok. Setelah Ufi menginjak perguruan tinggi, cara berjilbab Ulfi berubah drastis. Ulfi tidak lagi mengenakan jilbab besar dengan baju besar dan bawahan rok. Kini dia tampil dengan jilbab mini dengan baju prees body dan celana jins. Titik juga didukung oleh keluarganya walaupun berjilbab Titik dimulai saat dia masuk pesantren. Di mata orang tuanya, Titik dianggap terlalu banyak bermain dan malas belajar. Maka dari itu, diputuskan bahwa Titik harus dimasukan ke pesantren. Tujuannya agar Titik dapat belajar dengan baik dan terhindar dari bentuk pergaulan negatif. Dalam perjalanan memakai jilbab Titik banyak mengalami pasang surut. Meskipun tidak sampai melepas jilbabnya, namun Titik banyak merubah model jilbab yang dikenakannya. Lemahnya faktor dari dalam diri Titik mengakibatkan Titik tidak mempunyai pegangan atau prinsip yang kuat dalam berjilbab. Titik mengaku sebenarnya dia paham tentang bentuk dan ketentuan muslimah dalam berjilbab, tetapi Titik masih merasa berat untuk mengimplementasikannya dalam keseharian. Ketika di pesantren ia memakai jilbab besar, kemudian setelah keluar dia memakai jilbab mini. Saat kuliah di IPB ia kembali lagi pada jilbab besar

dan saat bekerja radio berita Cilacap ia berubah lagi dengan jilbab yang lebih praktis dengan memasukan jilbabnya ke dalam baju. Ketika Titik bekerja di perusahan Darul Tauhid, ia kembali berjilbab besar, tapi setelah keluar dan kuliah kembali di Undip Titik memakai jilbab mini sekali pakai. Dera juga mengalami dua tahap dalam mengenakan jilbab. Periode pertama, keputusan berjilbab Dera berasal faktor eksternal yaitu karena permintaan pacarnya agar tidak diganggu orang lain. Pada tahap ini hanya berlangsung selama satu minggu, Dera sadar niat berjilbab Dera hanya berdasar hubungan romantis saja. Kegundahan Dera mendorong terjadinya pertentangan dengan pacar Dera yang berakibat Dera melepas jilbabnya. Faktor lingkungan tempat muslimah beraktivitas seperti sekolah dapat berpengaruh pada keinginan berjilbab muslimah. Liesna sudah sejak SMA mempunyai keinginan mengenakan jilbab, tetapi baru terealisasi saat Liesna kuliah. Status SMA Negeri 1 Salatiga tempat Liesna sekolah memang tidak menganjurkan siswinya untuk mengenakan seragam khusus seperti jilbab. Teman-teman SMA Liesna masih sedikit yang berjilbab. Apalagi sejak SMP Liesna merupakan ikut grup band musik, sehingga ketika ingin mengenakan jilbab Liesna masih memikirkan pandangan orang lain. Faktor internal yang mempengaruhi muslimah dalam berjilbab adalah masalah kesiapan diri. Hal ini menyangkut kesiapan mental muslimah untuk menutup penampilannya dengan jilbab. Ketika muslimah memutuskan untuk

berjilbab maka mereka harus siap dengan konsekuensinya. Hal yang paling terhambat adalah kebebasan berekspresi muslimah dalam penampilannya. Faktor internal seperti keinginan untuk mengenakan jilbab juga dapat menjadi motivasi tersendiri bagi muslimah. Seperti yang dialami Dera, pada tahap kedua, Dera kembali berjilbab setelah ia mendapat hidayah dari Allah yaitu saat magang di Telkomsel pada semester tujuh. Dera banyak bertanya kepada teman-teman yang dianggap mempunyai pemahaman lebih tentang jilbab. Pergantian tahun 2007 ke 2008 menjadi momen perubahan diri bagi Ayu. Pada saat itu, Ayu merasa telah mendapatkan hidayah dari Allah untuk merubah penampilannya. Selain itu, Ayu juga ingin merubah citra diri di mata keluarga dan temannya menjadi lebih tertutup dengan jilbab. Berbeda dengan Saadah atau Ulfi yang didukung oleh keluarga, Ayu justru sempat mendapat pertentangan dari orang tua dan keluarga besarnya. Keluarga mengatakan bahwa Ayu memang harus merubah cara

penampilannya, tetapi penampilan yang sopan itu tidak harus dengan jilbab. Faktor pekerjaan menjadi pertimbangan utama orang tua Ayu. Alasannya, perempuan harus tetap bisa maju dengan berkarir, sedangkan jilbab di dunia kerja masih dipandang sebagai penghambat. Dalam proses pengambilan keputusan untuk mengenakan jilbab, para informan mengaku hanya sedikit memiliki bekal pengetahuan dan pemahaman tentang jilbab terkait masalah aurat yang harus ditutup atau

bentuk jilbab yang sesuai anjuran Islam. Mereka banyak belajar dan memperdalam pemahaman setelah berjilbab. Saadah yang sudah dibiasakan dari kecil mengenakan jilbab menganggap jilbab sebagai kebiasaan saja. Para informan sebelum memakai jilbab hanya sering mendengar dari berbagai sumber baik media atau pengajian bahwa jilbab itu penutup aurat. Mereka belum secara aktif mencari informasi mengenai jilbab. Kondisi di atas membawa informan pada masa krisis. Dalam kondisi ini, informan banyak mengalami pertentangan baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Keputusan berjilbab Ulfi, Titik, dan Dera yang berasal dari faktor luar dirinya berdampak pada timbulnya gejolak di dalam diri mereka. Di satu sisi, informan masih ingin bebas berpakaian tanpa jilbab, tapi di sisi lain mereka tidak kuasa menolak perintah atau anjuran orang tua dan pacar. Lemahnya posisi informan membuat mereka menuruti kehendak orang tua atau pacar. Dalam kondisi terpaksa, Ulfi, Titik, dan Dera mau mengenakan jilbab. Titik merasa berat melaksanakannya, sehingga ketika memakai jilbab besar, Titik tidak percaya diri dan merasa seperti orang lain. Sedangkan Dera pada tahap pertama mengenakan jilbab merasa seperti orang munafik, karena dia merasa tidak ikhlas dalam menjalankannya. Selain keluarga, lingkungan pergaulan turut mempengaruhi Ayu dalam mengenakan jilbab. Ayu sengaja tidak ingin terlalu terlihat religi dengan

jilbab karena Ayu tidak mau temannya akan memberi jarak dengannya. Ayu ingin tetap bisa bersikap terbuka ketika berinteraksi dengan temannya. Sikap Ayu mendapat tanggapan positif dari teman-temannya. Mereka mendukung langkah Ayu untuk berjilbab. Keluarga akhirnya turut memberikan dukungan walaupun awalnya merasa kaget karena sebelumnya sempat menentang keras. Informan lain seperti Dera banyak mendapat dukungan dari teman, pacar dan keluarga. Mereka menyatakan senang dan memberi ucapan selamat atas keputusan Dera mengenakan jilbab. b. Pemahaman Muslimah Tentang Jilbab Dalam memahami jilbab, muslimah mempunyai cara dan standarnya sendiri. Banyak faktor teks yang atau sumber mempengaruhi yang dari muslimah diperolehnya media, dalam seperti

menginterpretasikan lingkungan

informasi informasi

pergaulan,

kemampuan

menganalisis informasi, dan kesiapan mental muslimah. Menurut Titik, adanya perbedaan kondisi geografis antara Arab dan Indonesia turut mempengaruhi konsep pemakaian jilbab. Di Arab bisa konsisten dalam memakai jilbab karena memang negara-negara di timur tengah berlandaskan Islam. Hukum yang digunakan juga berlandaskan Islam. Jadi budaya yang dihasilkan meliputi karya, perilaku, dan norma harus didasarkan pada Islam. Pemakaian cadar oleh para perempuan muslim di Arab menurut Titik hanya bersifat fungsional. Kondisi geografis yang berupa padang pasir mendorong perempuan menggunakan cadar untuk melindungi

dari debu. Ketika di dalam ruangan cadar tersebut juga dilepas walaupun bertemu dengan laki-laki bukan muhrim. Kondisi Arab berbeda dengan lingkungan di Indonesia. Titik menilai di Indonesia tidak ada standar jelas yang mengatur tentang tata cara dan ketentuan berjilbab terkait model dan batas aurat yang harus ditutup. Sebagian besar muslimah dalam mengenakan jilbab hanya berdasar informasi media seperti televisi dan majalah. Artis yang dipandang sebagai figur juga tidak dapat dijadikan contoh oleh muslimah. Titik juga menilai, berbagai tayangan televisi saat ini banyak yang tidak mendidik. Liesna menambahkan, faktor pluralisme budaya dan agama sangat mempengaruhi pemakaian jilbab di Indonesia. Keragaman tersebut membuat Indonesia tidak bisa menerapkan satu aturan yang bersifat kelompok atau golongan. Walaupun mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam, tetapi keberadaan agama lain tidak bisa dihilangkan. Menurut Liesna muslimah di Indonesia juga kurang tertarik untuk memakai jilbab besar seperti budaya Arab. Selain itu konstruksi jilbab besar seperti budaya arab, justru dicap sebagai aliran ekstrim atau ninja. Dari segi pemahaman, para informan juga mengaku walau sudah berjilbab tapi pengetahuan dan pemahaman mereka tentang jilbab masih minim. Liesna jujur hanya sering mendengar saja tentang bagaimana memakai jilbab secara baik, dasar perintah memakai jilbab. Begitu juga Ulfi dan Ayu, mereka merasa jilbabnya memang belum sesuai dengan ajuran

Islam yang sebenarnya. Alasannya, Ulfi masih memakai celana dan bajunya ngepres badan, padahal jilbab seharusnya memakai rok dan pakaiannya harus longgar. Sedangkan Ayu, pemahaman jilbab cukup menjadi proses pembelajaran saja, karena memang dia tidak mau terlihat terlalu religi. Dalam memakai jilbab yang terpenting bagi Ayu sudah menutup aurat. Itu pun tidak harus sempurna. Artinya selama yang terlihat hanya sedikit dan tidak menimbulkan rangsangan bagi laki-laki maka tidak masalah. Berbeda kalau menurut Saadah, seorang muslimah yang mengenakan jilbab harus menutup aurat secara penuh. Batasannya seperti ketika salat, yang boleh terlihat hanya muka dan telapak tangan. Bentuk pakaian menurut Saadah harus longgar sehingga tidak membentuk tubuh. Ketentuan batas aurat ini terkait dengan konsep jilbab ideal yang dipandang informan sesuai dengan ajaran Islam. Dera menggambarkan bahwa jilbab ideal atau islami itu seperti memakai baju kurung. Tidak boleh kelihatan rambutnya, jilbab harus besar sehingga bentuk kuping dan leher tidak kelihatan. Pakaian jilbab tidak boleh ngepres dan tipis. Ayu menambahkan bahwa memakai jilbab tidak boleh ada penjedaan sehingga tampak lekuk tubuhnya, terutama di bagian tengah antara perut ke atas dan perut ke bawah. Maka dari itu, setiap muslimah dianjurkan memakai baju gamis atau abaya. Melihat perkembangan tren jilbab saat ini yang sedemikian cepat dan bervariasi, sebagian besar informan menyatakan senang dengan semakin

banyaknya model, corak maupun gaya jilbab. Titik menyadari, perkembangan jilbab saat ini sangat fluktuatif. Dulu, perempuan pakai jilbab itu hanya sederhana yaitu cukup mengunakan selendang saja. Pakaiannya masih minim variasi tapi tergolong sopan dengan bentuknya yang longgar. Kalau sekarang, Titik memandang jilbab sudah sangat beragam seperti model segitiga pakai bordir, model jilbab dengan motif bunga atau batik, dan model jilbab mini yang berwarna warni. Saadah turut menyambut positif adanya tren jilbab saat ini. Keberadaan tren yang bergerak dinamis membuat muslimah tidak cepat bosan dalam memakai jilbab. Hal ini berbeda dengan dulu dimana jilbab masih tampak monoton dengan kain polos dan besar serta berwarna gelap seperti hitam atau cokelat. Hanya saja, menurut Saadah tetap ada hal-hal yang harus ditekankan pada muslimah dalam mengenakan jilbab. Dari bentuk dan warna tidak ada ketentuan pasti asalkan jilbab tidak tembus pandang. Selain itu, menurut Saadah jilbab harus menutupi dada dan pakaian jilbab tidak membentuk tubuh. Dera memberikan catatan bagi muslimah dalam mengikuti tren jilbab saat ini. Setiap muslimah dalam mengikuti tren harus memperhatikan karakter dirinya dan muslimah harus mempunyai pegangan dalam menyikapi tren jilbab. Hal ini menurut Dera sangat berguna agar muslimah tidak mudah terseret arus tren yang mungkin tidak cocok bagi muslimah. Jadi selama tren itu baik bagi muslimah tidak masalah diikuti, tetapi kalau hal tersebut justru dapat merusak citra muslimah sebaiknya jangan diikuti.

Perkembangan tren jilbab sangat mempengaruhi pemilihan jilbab muslimah. Dalam mengikuti tren, para informan lebih menyukai model dan gaya jilbab yang simple. Titik lebih memilih gaya jilbab yang simple dan praktis. Ayu dan Ulfi menambahkan bahwa jilbabnya juga harus nyaman. Maka dari itu, Ayu memilih warna pakaian jilbab yang cerah. Gradasi warna jilbab seperti pink, hijau, kuning atau merah silih berganti mewarnai penampilan Ayu. Saadah berpendapat bahwa ada ketakutan pada diri muslimah untuk lebih menyempurnakan jilbabnya. Ketakutan tersebut menurut Saadah disebabkan oleh faktor pekerjaan. Saat ini walaupun jilbab sudah diterima secara luas di kalangan perempuan Indonesia, tetapi masih ada instansi pemerintah atau swasta yang tidak mau menerima karyawan perempuan berjilbab. Saadah menilai, stigma negatif tentang citra jilbab terdahulu belum sepenuhnya hilang. Adanya penolakan dari berbagai instansi tersebut dialami langsung oleh Ulfi. Ketika Ulfi mencari tempat magang untuk kegiatan studinya, ia banyak mengalami penolakan seperti di instansi hotel. Menurut Ulfi bidang studi Public relation sebagian besar tidak mengenakan jilbab, sehingga Ulfi merasa masih ada diskriminasi antara yang berjilbab dengan perempuan tidak berjilbab. Perubahan muslimah dari sebelum dan setelah mengenakan jilbab memang menimbulkan keterbatasan dalam beberapa aktivitas. Setelah

memakai jilbab Liesna tidak bisa lagi ikut bermain musik. Liesna tidak lagi percaya diri jika harus tampil di panggung dengan menggunakan jilbab. Sama dengan Ulfi, ia tidak bisa lagi ikut kegiatan pencinta alam seperti sebelumnya. Menurut Ulfi akan terasa susah bila harus naik gunung atau panjat dinding dengan menggunakan jilbab. Bagi Titik terbatasi dalam memakai jilbab itu merupakan hal yang wajar. Muslimah memang harus melakukan beberapa penyesuaian terkait hobi, perilaku atau aktivitas sehari-hari. Contohnya, Dera harus beli pakaian baru lagi, Karena setelah memakai jilbab, pakaiannya dulu sudah tidak terpakai lagi. Selain itu Dera juga menghentikan hobinya nonton balapan baik di lapangan maupun di kafe-kafe. Menurut Dera setelah memakai jilbab, tempat kafe sudah tidak cocok lagi baginya. Titik juga harus belajar mengontrol gaya bicaranya yang ceplas-ceplos menjadi lebih santun. Peran media dalam proses perkembangan tren jilbab sangat besar. Titik berpendapat kebanyakan muslimah hanya mengikuti saja apa yang disajikan media. Tidak ada filter dari dalam diri muslimah terhadap informasi yang disampaikan media. Misalnya, ada artis yang memakai model jilbab tertentu seperti artis Marshanda, maka dengan cepat banyak beredar model jilbab Marshanda. Padahal artis Marshanda sendiri dalam kenyataannya tidak memakai jilbab. Titik menilai media merupakan sumber informasi bagi masyarakat luas. Saat ini masyarakat sangat tergantung pada kehadiran media untuk

mengetahui perkembangan dunia di luar lingkungannya. Media dipandang mempunyai pengaruh besar dalam membentuk atau mengubah persepsi masyarakat. Keyakinan masyarakat akan kebenaran berita atau informasi yang disajikan media masih tinggi. Media dapat menentukan mana jilbab dikatakan modis atau funky dan di sisi lain mengangap model lain ketinggalan zaman. Dalam mengkuti perkembangan tren jilbab, para informan banyak mendapat informasi dari televisi dan majalah. Untuk televisi, informan banyak melihat dari acara sinetron, film atau iklan. Sedangkan kalau dari majalah, Saadah biasa mengikuti informasi perkembangan tren dari majalah Tarbawi dan Anida. Sedangkan Titik dan Ulfi banyak membaca majalah fesyen atau anak remaja seperti Nurani, Olga, Hai atau Paras. Berbeda dengan informan lainnya, Dera justru banyak mendapatkan informasi dari pergaulan dan internet. Dera lebih sering bertanya ke teman-temannya yang dianggap mempunyai pemahaman lebih tentang jilbab. Selain itu, Dera juga sering mencari informasi jilbab melalui internet karena banyak tersedia model, gaya, dan corak jilbab. Tren budaya gaul turut berpengaruh dalam eksistensi muslimah di lingkungan pergaulan. Saadah memandang bila ada tren diikuti, bila tidak maka dipandang ketinggalan zaman. Faktor ini mendorong muslimah untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan, sehingga bila tidak mempunyai prinsip maka dengan mudah terseret dalam arus tren.

Peran penampilan dalam lingkungan sosial memang sangat penting guna membangun hubungan yang harmonis. Titik mengatakan bahwa penampilan adalah cerminan diri kita. Melalui penampilan maka kita atau orang lain dapat mengetahui kebiasaan dan karakter kita. Orang yang berpakaian rapi akan dipandang berbeda dengan orang yang lusuh. Hal tersebut juga akan mempengaruhi proses kelangsungan interaksi kita dengan orang lain. Menurut Ayu kesan pertama orang itu dilihat dari penampilannya, sehingga bagaimana bentuk dan gaya penampilan seseorang sangat menentukan sikap orang lain terhadap kita. Dera menyebutnya, penampilan dapat membentuk image kita sendiri. Liesna dan Saadah juga menambahkan bahwa penampilan sangat penting dalam menarik orang untuk berhubungan atau bersosialisasi dengan kita. Selain itu, Liesna mengatakan penampilan yang baik dan menarik menjadi modal awal kita untuk lebih percaya diri dan orang lain tidak akan risih melihat kita. Menurut Ulfi, dengan penampilan menarik kita akan merasa nyaman dimanapun kita berada. c. Mengomunikasikan Identitas Muslimah Melalui Jilbab Jilbab bagi muslimah saat ini bukan hanya sekedar pakaian yang digunakan untuk menutupi tubuh. Nilai-nilai yang terkandung dalam jilbab saat ini banyak dieksplorasi oleh para muslimah untuk menyampaikan pesan atau kesan kepada orang lain. Pesan tersebut bertujuan untuk mengubah atau

membentuk persepsi orang lain terhadap identitas muslimah. Jadi diharapkan, orang lain dapat memberikan umpan balik yang positif kepada muslimah. Sebagian besar informan seperti Ayu, Dera, Titik, dan Liesna dengan jilbabnya ingin menyampaikan sinyal kontrol kepada orang lain. Kontrol di sini meliputi kontrol dalam pandangan dan penilaian serta kontrol dalam bersikap dan berperilaku terhadap muslimah. Ketika orang lain terutama lakilaki melihat muslimah berjilbab maka mereka tidak akan mempunyai pikiran negatif terhadap muslimah. Titik mengatakan bahwa dengan memakai jilbab, maka akan membatasi pandangan orang lain untuk melihat auratnya. Perempuan muslim juga akan dipandang baik oleh orang lain. Selain itu, menurut Saadah dengan berjilbab, muslimah akan lebih terjaga dan dihormati laki-laki. Bagi Titik, pemakaian jilbab pada awalnya karena ingin memutihkan kulit. Titik merasa senang ketika melihat perempuan punya kulit putih. Menurutnya, kulit putih akan terlihat lebih bersih. Pesan kedua adalah Titik berjilbab supaya terlihat lebih santun. Seorang perempuan harus terlihat feminin. Sikap tersebut akan membuat perempuan lebih dihormati dan dihargai dalam lingkungan masyarakat. Sebagai muslimah kita dituntut untuk dapat mengontrol dan menempatkan diri sebaik-baiknya. Cara berbicara dan cara bergaul kita juga harus dijaga. Sedangkan Ulfi melalui jilbabnya, ia ingin menyampaikan karakter dirinya yang cuek dan praktis. Hal ini ditunjukan dengan pemakaian bentuk

dan gaya jilbab yang praktis. Kalau Ayu mengenakan jilbab untuk menegaskan identitas keagamaannya. Ketika memakai jilbab maka orang lain akan langsung mengetahui bahwa Ayu beragama Islam. Tujuan lainnya adalah memberitahukan bahwa jilbab sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan rambut dan kulit. Proses penyampaian pesan atau kesan kepada orang lain tersebut sangat berkaitan dengan pemahaman informan tentang hakikat jilbab. Pemahaman informan terhadap hakikat jilbab akan menjadi dasar atau landasan bagi informan dalam menentukan tujuan ia mengenakan jilbab. Saadah, Ulfi dan Ayu memahami bahwa jilbab merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslimah. Berjilbab merupakan perintah agama yang sudah diatur dalam Al Quran. Selebihnya, masing-masing informan mempunyai pemahaman tersendiri tentang hakikat jilbab. Liesna memahami jilbab sebagai sarana untuk berproses menuju diri yang lebih baik. Seseorang yang berjilbab itu bukan hanya secara fisiknya saja tetapi hati, sikap dan perilakunya juga harus berjilbab. Meski demikian, perubahan untuk ke arah lebih baik tersebut harus bertahap. Saadah memahami jilbab sebagai sarana untuk melaksanakan semua perintah Allah. Saadah yakin bahwa janji Allah dalam surat Al Ahzab dan surat An Nur adalah benar. Jadi Saadah berusaha untuk memakai jilbab sesuai dengan ketentuan Islam. Ulfi juga mengatakan bahwa tidak ada alasan bahwa berjilbab itu harus siap lahir dan batin dulu, Karena hal tersebut memang sudah merupakan perintah agama. Menurut Ulfi, dengan berjilbab pasti kita

akan terhindar dari segala hal negatif. Sedikit berbeda bagi Ayu, jilbab menurutnya digunakan sebagai penutup aurat, tetapi hal tersebut tidak harus secara penuh. Meskipun ada aurat yang terlihat asal itu tidak menimbulkan hasrat maka sudah dikatakan menutup aurat. Menyikapi masalah penggunaan jilbab sebagai lambang kesalehan seseorang, semua informan menyatakan tidak setuju dengan hal tersebut. Saadah berpendapat hal tersebut harus dikembalikan pada tujuan masingmasing muslimah. Tidak semua muslimah berjilbab murni ikhlas untuk melaksanakan perintah agama. Menurut Saadah ada yang berjilbab karena ingin tampil cantik atau karena dorongan dari luar seperti lagi trennya jilbab sehingga banyak perempuan muslim yang mengenakan jilbab. Ulfi juga sependapat dengan Saadah. Ulfi banyak melihat muslimah berjilbab termasuk temannya juga, tidak merasa risih atau terbebani ketika tidak melaksanakan salat. Hal tersebut merupakan contoh kecil bahwa perempuan yang berjilbab belum tentu juga dapat mencitrakan identitas keagamaannya dengan baik. Ulfi menambahkan bahwa bisa saja perempuan memakai jilbab karena ingin menutupi kekurangan rambutnya yang keriting. Ayu memandang tingkat kesalehan seseorang itu tidak bisa hanya diukur dari penampilannya saja. Menurut Ayu, sekarang ini masih banyak muslimah yang mengenakan jilbab tapi masih memperlihatkan lekuk tubuhnya. Banyak muslimah bermuka dua. Artinya muslimah banyak yang berperilaku buruk tapi mereka tidak mau terlihat keburukannya. Jilbab hanya

menjadi topeng kamuflase saja untuk menutupi perilaku buruknya. Berkaitan dengan hal ini, Liesna masih sering melihat temannya yang sudah berjilab dari sejak lama tapi sampai sekarang masih sering berbuat curang atau membicarakan orang dibelakang. Secara kasat mata, menurut Titik jilbab memang dapat dijadikan sebagai simbol yang mencitrakan sifat religius muslimah. Bentuk dan model jilbabnya pun dapat menjadi tolok ukur tingkat pemahaman seorang muslimah, misalnya jilbabnya masih nempel saja atau belum rapi berarti dia masih belajar memakai jilbab atau muslimah yang memakai jilbab hanya saat kuliah berarti masih coba-coba.

3. DESKRIPSI TEKSTURAL INDIVIDU DAN DESKRIPSI STRUKTURAL INDIVIDU GABUNGAN


a. Latar Belakang Muslimah Dalam Mengenakan Jilbab Berangkat dari latar belakang yang berbeda, informan memiliki persamaan faktor yang melatarbelakangi dalam proses mengenakan jilbab. Hampir semua informan dalam memutuskan memakai jilbab berawal dari pengaruh faktor di luar dirinya. Yang pertama adalah Faktor keluarga. Orang tua mempunyai peran sentral saat pertama kali muslimah memutuskan berjilbab. Peran orang tua ini dapat berupa dukungan, anjuran, perintah atau saran kepada muslimah untuk menggunakan jilbab. Hal ini dialami oleh Ulfi, Saadah, dan Liesna saat memutuskan berjilbab. Kontribusi keluarga dalam

meletakan pondasi penampilan bagi informan menjadi modal untuk berani menutup diri di tengah tren mode yang tampil lebih terbuka. pertama itu dari orang tua termasuk keluarga ya lebih baik sih ya, tapi keluarga menyarankan sepenuhnya pada aku. sebelumnya aku sih belum mau tapi karena udah perintah dari orang tua dan keluargaku mayoritas .karena keluarga sih faktor utama, kata Ulfi. Di sisi lain, keluarga juga dapat menjadi faktor penentang terhadap keputusan muslimah untuk berjilbab. Hal ini dialami oleh Ayu. Keluarga Ayu sebenarnya juga mengajurkan Ayu untuk menutup penampilannya, tetapi bukan dengan menggunakan jilbab. Pertimbangan keluarga dalam menentang Ayu mengenakan jilbab karena faktor pekerjaan. Keluarga Ayu ingin perempuan tetap bisa maju dan berkarir. Jilbab bagi keluarga Ayu masih dianggap menjadi penghambat masa depan Ayu. Citra jilbab yang konvensional, tidak mencerminkan perempuan modern, mobile, dan maju nampaknya masih belum lepas dari pandangan keluarganya. Malah banyak pertentangan kok dengan memakai jilbab. Karena orang tuaku ada yaa lebih banyak pertimbangan. Karena ini faktor kerjaan. Karena keluarga pingin seorang wanita juga tetep maju tapi gitu harus menjaga penampilannya itu tidak harus dengan pakai jilbab,kata Ayu. Faktor kedua yang turut melatarbelakangi keputusan muslimah adalah kondisi lingkungan dimana muslimah tinggal. Titik mulai mengenakan jilbab saat mulai masuk pesantren. Awalnya dari situ. Ya karena akhirnya ketemu di lingkungan situ (pesantren) ya mau gak mau, pakai. Kan lihat temanteman kayak gitu, tutur Titik.

Peraturan pesantren yang menurut Titik masih konservatif, mempunyai standar sendiri tentang bentuk atau model jilbab yang harus dikenakan oleh santriwati. Titik menilai standar tersebut masih mengikuti bentuk jilbab seperti jilbab di Arab. budaya di pesantren itu sendiri masih sangat kental atau konservatif, jadi di sana ada standarnya sendiri yaitu gak boleh menyerupai lakilaki seperti pakai celana. harus benerbener menutup aurat. Telapak kaki juga gak boleh, kan cuma wajah dan telapak tangan yang boleh. Jadi pakai kaos kaki juga. Ya kayakkayak gitulah. Kalau dibilang standarnya Arab gitu, tutur Titik. Faktor ketiga adalah faktor pacar. Dalam hubugan romantis yang biasa disebut pacaran, setiap pihak baik laki-laki maupun perempuan saling berperan dalam penentuan sesuatu hal seperti sikap dan penampilan. Setiap pasangan dapat saling menuntut, meminta, menyarankan hinga mungkin memerintah pasangan untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Kasus ini dialami oleh Dera yang diminta pacarnya untuk mengenakan jilbab. Status pacaran menjadi landasan pacar Dera untuk memintanya berjilbab. ya ada seseorang yang kemudian membuat aku pakai jilbab. Aku paham dengan apa alasannya. Ya memang seorang muslim itu harus Biar melindungi diri atau apalah, kata Dera menirukan ucapan pacarnya. Dalam hubungan romantis salah satu pihak biasanya mempunyai daya kontrol yang lemah terhadap diri sendiri. Banyak hal yang diperbuat seringkali hanya bertujuan untuk menyenangkan pacarnya saja. Dalam hal ini, Dera mau menuruti permintaan pacarnya untuk berjibab walaupun dia merasa belum siap lahir dan batin.

aku sendiri memang belum siapaku tahu pemahamannya, aku disini belum siap sebenarnya dari dalam diri kalau cewek itu belum siap, hal itu akan jadi apa ya ..sesuatu yang dia anggap akan mengganggu, kata Dera. Saat memutuskan dan mulai memakai jilbab Saadah yang dibiasakan dari kecil memakai jilbab awalnya menganggap jilbab sebagai kebiasaan saja seperti pakaian lainnya. Kalau saya pakai jilbab itu mulai, sebenarnya dari kecil. Dari SMP itu sudah mulai pakai jilbab, Cuma baru paham kenapa harus berjilbab itu ya SMA. Cuma pertama kali saya pakai jilbab itu ya enak gitu, udah kebiasaanmungkin dari keluarga. Kebiasaan pakai jilbab itu enak. gak tahu, enaknya aja pakai jilbab, nyaman, Rata-rata informan seperti Liesna, Ayu, dan Ulfi hanya sering mendengar dari berbagai acara seperti pengajian, ceramah agama atau dari media ketika melihat sinetron. Kalau aku sendiri Cuma seringsering dengar aja. Dasarnya apa aku sendiri sekarang masih belum tahu, tetapi ada suratsurat An Nisa atau apa yag mengatakan bahwa wanita muslim seharusnya berjilbab dan menutupi auratnya. Seharusnya seperti itu, ketika ada seorang artis yang memutuskan untuk berjilbab dan jilbabnya itu bervariasi sehingga membuat orang yang melihatnya ingin seperti dia. Karena artis kan pasti punya fans atau yang mengidolakan sehingga pingin seperti dia. Berjilbab kok cantik ya! kata Liesna. Setelah berjilbab, para infoman baru banyak mencari informasi dan mendalami pemahamannya. Mereka banyak mencari informasi mengenai ketentuan, tata cara, adab sikap atau perilaku muslimah berjilbab sesuai ketentuan Islam. proses itu ada, setelah memakai jilbab kita mencari secara detail itu. Pemakaian jilbab yang baik itu seperti apa, menurut agama itu seperti apa. Tapi untuk mempraktkannya masih berfikir karena pergaulan itu ya..pergaulan menuntut kita untuk tampil menarik walaupun memakai jilbab, kata Ayu.

Selain itu mereka juga banyak mencari informasi model atau gaya jilbab yang sesuai dengan dirinya dalam tren jilbab terbaru yang sedang hangat. Sebagai muslimah para informan juga tidak ingin ketinggalan informasi tren jilbab yang sedang berkembang. Pada awal-awal informan mengenakan jilbab, hampir semua informan mengalami masa krisis. Artinya informan berada pada posisi labil karena belum menemukan kesesuaian dengan penampilan barunya. Belum adanya kesiapan dari dalam diri informan dan minimnya pemahaman tentang jilbab membawa informan ke wilayah pertentangan. Pertentangan ini terjadi baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Ulfi sangat dapat merasakan bagaimana ia masih labil saat awal-awal memakai jilbab. aku masih labil ya..jadi kalau arahnya ke sana aku ke sana, arahnya ke sini aku ke sini, jadipakai kerudung aku pakai. Dera juga merasakan hal yang sama, ketidaksiapan dirinya dalam memakai jilbab membuat dirinya bertengkar dengan pacarnya yang berujung Dera melepas jilbabnya. Menurut Dera harus ada kesiapan dulu dari diri muslimah ketika ingin memakai jilbab. dialebih mengatakan, kamu perempuan muslimkalau dia mengatakan sebagai perempuan muslim aku akan lebih menerimanya, tapi ketika mengatakan supaya kamu tidak diganggu orangorang luar, karena kamu adalah perempuan. Sohanya alasan seperti itu kah. Sangat lemah sekali, tapi ketika aku balik, aku sendiri mencobatapi aku ndak terima dengan alasan ituaku pakai jilbab atas dasar orang lain, ndak mau aku berarti ibadahku kemana donk. Aku berarti bukan ibadah donk, untuk pacar, enak aja. Akhirnya aku melepas, aku merasa belummungkin bagi cowok atau lakilaki kelihatan pakai jilbab udah, beres aja, kata Dera.

Ketidaksiapan diri juga rentan menimbulkan konflik pribadi. Para informan merasa seperti menjadi orang lain. Rasa tidak percaya diri selalu membayangi Titik ketika awal-awal memakai jilbab. awalnya pas pertama pakai, perasaan itu bukan diri kita gitu. Gak PD, apalagi jamanjaman aku pakai itu, jilbab itu masih aneh, gak modis. Kalau sekarang kan udah bener-bener jadi mode. Sekarang banyak banget deh trentren dan pakaian yang mengkhususkan untuk pakaian kerudung. Kalau jaman ku dulu nyari pakaian panjang susah banget. Sekarang gampang, Katanya. Dera juga merasa seperti orang munafik karena niatnya berjilbab tidak ikhlas dari dirinya karena dia merasa mengenakan jilbab hanya karena keinginan pacar bukan benar-benar didasarkan perintah agama. Nah dengan alasan itu aku langsung bilang gini, jadi aku disuruh pakai jilbab hanya karena aku pacarmu. Aku ingin ketika suatu saat kali ternyata memang diijinkan untuk memakai jilbab kembali, aku ingin itu adalah waktu aku pakai jilbab yang kedua dan terakhir. Itu karena bener bener karena Allah bukan karena aku pacarmu. Aku bilang gitu. Dua kesalahan ketika aku mengenakan jilbab karena alasan mengikuti kamu dan itu aku merasa diriku adalah orang yang munafik, lanjut Dera menceritakan pertentangannya dengan pacarnya. Di sisi lain, keadaan lingkungan pergaulan juga sangat mempengaruhi muslimah dalam menentukan jilbab yang dipakai. Ayu melihat kondisi lingkungan teman-temannya lebih terbuka, jadi ia memutuskan untuk memilih jilbab modis yang memperhatikan keserasian jilbab dan pakaiannya agar lebih diterima di lingkungan teman. Keberadaan jilbab modis juga lebih populer dikalangan muslimah, jadi tidak menimbulkan jarak bagi orang lain. biasa pergaulan, soalnya apa, karena kalau misalnya kita terlalu mengikuti agama itu nanti orangorang akan, apa ya..temenlah yang pasti akanbukan sulit sihagak enggan untuk berteman. Dalam arti kata mungkin melihat kita itu wah terlalu religi banget nanti takut apa ya .. ada sesuatu yang bikin temen itu takut apa yaa..untuk lebih terbuka, lebih

berbicara apa yaa..berbicara lepas aja. Akan lebih menjagajaga. Kalau menurutku dalam pergaulan itu sulitnya kalau kayak gitu, lebih nyaman kalau kita terbuka, tutur Ayu. Keputusan informan dalam mengenakan jilbab mendapat tanggapan dari berbagai kalangan dekat. Informan Titik, Ulfi, dan Saadah mendapat tanggapan baik dari keluarga ketika mau mengenakan jilbab. keluarga mendukung penuh atas apa yang diambil informan. Keluarga Ayu yang awalnya menentang tapi akhirnya mendukung juga. orang tua awalnya kaget ya, terutama kalau keluarga besar ku sih, kalau keluarga inti ku memangtidak karena yang mendapat pertentangan itu aawalnya kakakku sih. Jadi aku dibilang melanjutkanlah kakakku. Jadi pas udah tahu kayak gitu kaget sih, oo..ini mau berubah tapi mereka berfikir oo..ini karena emang keinginannya dia untuk menjadi lebih baik kenapa ngak. Toh keluarga juga tahu kalau di situ ada dalilnya dalam Al Quran itu tahu. Terus kalau dari keluarga besar paling Cuma bertanyaapa kamu yakin dengan perubahan yang kamu ambil? ya paling gitu sih, aku kayak gitu menjawab yakin. Ya ini mungkin Cuma masalah pekerjaan doank sih ya yang menjadi pertimbangan mereka itu menentang ini semua. Ya hanya pekerjaan, terus aku bilang ya semua itu pasti ada jalannya lah, aku bilang. Bagi Liesna dan Dera selain dari keluarga juga mendapat dukungan dari pacarnya. Pacar mereka tidak merasa keberatan jika harus ada pembatasan terkait status informan yang sudah berjilbab. Kalau dia sih mendukung ya, jadi tidak masalah. waktu aku ulang tahun dia malah menasehati seharusnya kalau cewek yang berjilbab gak boleh salaman, kata Liesna. Para informan juga mendapat dukungan dari teman-teman mereka, walaupun beberapa teman Titik ada yang mempertanyakan keputusan Titik. ya macammacamlah. Ada mencibir, Wah ini bener nih, ada yang mendukung Wah hebat. Tementemen cuma nyengir (ketawa) ah nanti paling berubah lagi. lebih banyak mempertanyakan, kata Titik.

b. Pemahaman Muslimah Tentang Jilbab Pemilihan corak, model, gaya,dan paduan warna jilbab sebagian besar berangkat dari pola pemahaman muslimah tentang jilbab. Titik dan Liesna berpendapat bahwa perbedaan kondisi lingkungan di wilayah Arab dan di Indonesia sangat mempengaruhi cara muslimah mengenakan jilbab. Konsistensi muslimah memakai jilbab besar di daerah Arab ditentukan oleh bentuk Negara yang berlandaskan Islam. Negara dan agama menjadi satu kesatuan sehingga hukum dan budaya yang dihasilkan juga berdasarkan Islam. Sedangkan pemakaian cadar menurut informan lebih bersifat fungsional untuk melindungi dari debu yang berterbangan. kalau aku lihat di Arab kenapa mereka konsisten. Jadi mereka itu kan tidak ada pemisahan agama itu agama, Negara itu Negara. Tapi negaranya mereka emang benerbener islam. Sampai hukumnya pun, mereka berdasarkan islam. Jadi budaya itu timbul emang berdasarkan sama aturan aturan yang sudah ada berdasarkan agama itu. Kalau di sana ya itu bukannya budaya tapi emang kewajibannya seperti itu. Jilbab itu seperti apa sih, penutup seluruh badan, itu harus sesuai dari badan sampai kaki. Makanya pakai jubah, nah terus kenapa mereka pakai cadar, itu juga sebenarnya mereka itu dibuka. Cadarnya itu dibuka. Itu mereka keluar karena di sana berdebu banget, debunya itu benerbener banyak, makanya biar aman ditutup. Udah panas banget juga kan. Tapi kalau diruangan ketemu walaupun itu lakilaki, gak masalah kok. Sholatnya aja pasti dibuka, emang kalau harus kena kening ketika sujud. Kayak yang terusterusan pakai cadar itu gak. Kondisi di daerah Arab berbeda dengan di Indonesia. Menurut Liesna, adanya pluralitas agama, budaya, dan hukum di Indonesia menjadi faktor yang mempengaruhi muslimah di Indonesia untuk lebih bebas dalam memilih jenis jilbab yang dikenakan.

kalau di Arab kan memang lingkungannya seperti itu, dan Indonesia seperti ini, jadi untuk bisa menerima jilbab seperti itu (yang dikenakan orang Arab) kurang ada interest. Kalau hukum di Indonesia seperti di Aceh memang sudah sedikitsedikit mengikuti. Mungkin menurut saya, agama di Indonesia ada lima dan berbagai macam masyarakat, adat istiadat. Itu mungkin hal yang mempengaruhi, tutur Liesna. Menurut Titik banyak muslimah di Indonesia yang memakai jilbab hanya berdasarkan informasi yang disampikan media. Titik menunjukan, peran media sebagai sarana informasi tidak dapat dipertanggungjawabkan. Artis yang dipandang sebagai figur juga tidak dapat dijadikan contoh oleh muslimah. Titik juga menilai, berbagai tayangan televisi saat ini banyak yang tidak mendidik. kita itu gak punya standar sebenarnya yang bener itu gimana, terus gak ada panutan sebenarnya. Siapa dan kita sekarang panutannya kita kalau untuk anakanak lihatnya lebih berdasarkan asumsi. Sekarang yang lebih menjadi raja untuk adopsi itu media. Nah sekarang kita selalu dipengaruhi sama media. Sedangkan TV, tontonannya kayakkayak gitu. Nah kalau pun emang artis yang pakai kerudung ya kayak gitu, tidak bisa jadi panutan. Saadah beropini bahwa perkembangan tren jilbab saat ini lebih banyak ditentukan oleh pihak-pihak seperti industri pakaian, desainer yang sebenarnya tidak paham benar mengenai ketentuan jilbab. Mereka lebih fokus pada sisi fesyen dan tidak terlalu mempertimbangkan sisi agamanya. Dari sisi muslimah sendiri juga cenderung hanya mengadopsi saja tanpa ada filter. Akibatnya, muslimah sangat rentan terbawa arus tren tanpa prinsip atau pegangan agama. kalau saya pikir orang-orang yang membuat busana muslim yang seperti itu (baca: funky atau modis), maksudnya tidak longgar, maksudnya sempit itu, kalau saya pikir, itu janganjangan itu bukan orangorang yang memang paham dengan ajaran Islam. Tapi karena tadi ya budayabudaya yang sudah banyak kan orangorang kan mungkin melihatnya, ada tren dia

ikuti, kalau gak ketinggalan jaman. Jadi kalau menurut saya sih begitu. Jadi karena ada desakan dari luar, dari tren, misalkan dari TV gitu, ada model baru dari artis ini, dia ngikutin. Jadi karena mengikuti, orangorang itu mengikuti aja. Mungkin kalau mereka itu paham ya gak akan seperti itu, tutur Saadah menjelaskan dominannya pengaruh televisi dalam tren jilbab. Dera mengungkapkan, sebagai mahasiswi muslimah memang

seharusnya dapat berpenampilan menarik. Tidak menjadi persoalan apabila muslimah mengikuti tren asalkan muslimah tetap tahu diri. Dalam arti, muslimah harus dapat mengukur kapasitas dirinya sehingga muslimah tidak asal mengikuti tren jilbab, tetapi harus disesuaikan dengan karakter diri muslimah. ya kita gak munafik, kita ada di dunia yang memintagini gini kita anak kuliahanalangkah lebih baiknya kalau kita rapi, bukannya aku mengatakan kalau jilbab gede itu gak rapi, tapi rapi dan enak dipandang. Ok masukan mode itu memang masuk ke dalam itu. Tapi alangkah lebih baik kita memandang bijak terhadap mode itu sendiri, jangan asal ditelan mentah mentah. Menurut Dera jilbab islami itu seperti baju kurung. Bentuk jilbab besar, menutupi rambutnya, bentuk kuping tidak terlihat. Pakaian jilbab tidak boleh press body. Ayu juga menuturkan bahwa jilbab yang seharusnya tidak boleh ada penjedaan yang dapat memperlihatkan lekuk tubuhnya, terutama tubuh di bagian tengah. Menurut Ayu model pakaian jilbab yang ideal adalah pakaian gamis atau abaya. apa yaa..perempuan itu kan gak boleh ada lekukan tubuh, terutama dibagian tengah, antara perut ke atas, dan perut ke bawah. Itu seharusnya tidak ada penjedahan. Kalau dala mislam kan lebih diutamakan pemakaian gamis, karena tidak akan membentuk suatu apapun. Baju itu harus dari atas ke bawah itu bentuknya sama. Pokoknya dalam pemakaian yang ideal itu memang seharusnya itu penggunaan rok, dlam arti kata salaam tidak membentuk tubuh, entah yang di tengah, entah itu kaki.

Memakai jilbab berkaitan erat dengan aurat yang harus ditutupi. Hampir semua informan mengakui bila tingkat pemahaman mereka tentang jilbab masih minim. Rata-rata informan sekedar mengetahui bahwa jilbab adalah penutup aurat. Selebihnya, para informan masih sering mendengar saja dari pengajian, ceramah agama, atau media tentang bagaimana tata cara atau adab berjilbab seharusnya sesuai Islam. Seperti Ulfi dan Ayu, mereka merasa jilbabnya memang belum sesuai dengan ajuran Islam yang sebenarnya. Alasannya, Ulfi masih memakai celana dan bajunya ngepres badan, padahal jilbab seharusnya memakai rok dan pakaiannya harus longgar. kadang masih suka pakai ketat. Ya ketat bukan berarti menonjolkan gak, tapi kan kalau menurut agama itu harus pakai rok dan dia juga harus longgar, dan akau tidak pernah nyaman dengan itu. Jadi memang belum bisa untuk ke sana, untuk pakai yang sempurna seperti yang diaturan Al Quran itu belum bisa. Sedangkan Ayu, pemahaman jilbab cukup menjadi proses pembelajaran saja, karena memang dia tidak mau terlihat terlalu religi. Saat ini, Ayu masih ingin belajar menutup aurat dulu walaupun belum sempurna. kalau aku mikir, apa yaa..ini proses pembelajaran sebagai seorang musli. untuk kita mengikuti aturan agama itu kalau dari sisi aku itu sulit. Untuk mengikuti yang benerbener. Kita harus pakai jilbab itu yang bener bener longgar itu sulit. Jadi untuk ngeliat, ya perkembangan jaman aja ya. Aku mengikuti perkembangan jaman kalau misalnya jilbab itu gini, bisa diragamkan aja. Yang penting untuk saat ini, aku belajar untuk menutup diri, menutup auratku aja. Bagi Ayu dalam menutup aurat selama yang terlihat hanya sedikit dan tidak menimbulkan rangsangan bagi laki-laki maka tidak masalah. Berbeda kalau menurut Saadah, seorang muslimah yang mengenakan jilbab harus menutup aurat secara penuh. Batasannya seperti ketika salat, yang boleh

terlihat hanya muka dan telapak tangan. Bentuk pakaian menurut Saadah harus longgar sehingga tidak membentuk tubuh. Melihat perkembangan tren jilbab sekarang ini, para muslimah memberikan respon positif karena dinilai lebih bervariasi dan berwarna. Dulu banyak perempuan muslim tidak tertarik mengenakan jilbab karena model dan warna jilbab terlihat monoton. Sekarang dengan banyaknya model, corak, gaya, dan paduan warna membuat para muslimah lebih bebas dalam mengekspresikan cara penampilannya. Titik memandang kalau dulu jilbab masih yang besar dan berwarna gelap atau cukup menggunakan selendang saja. Kalau sekarang, menurut Titik banyak model dan gaya yang bis dipilih oleh muslimah sesuai keinginannya. Saadah memandang tren jilbab membuat muslimah tidak cepat bosan dalam memakai jilbab karena merka dapat berganti-ganti gaya dan corak jilbab. kalau jaman dulu orang pakai jilbab besarnya, warnanya kalau gak yang hitam, putih, monoton gitu ya. Kalau sekarang kan bisa lebih fresh gitu ya penampilannya. Ketika kita ganti mode dalam syariat yang benar, ya gak papa. Lebih dinamis. Hanya saja tetap harus ada titik tekan yang harus diperhatikan setiap muslimah. Hal tersebut seperti jilbab tidak boleh tembus pandang, harus menutupi dada, dan pakaian jilbab tidak membentuk tubuh. Menurut saya dalam Islam itu ketika kita menutup aurat tidak harus dengan pakaian berwarna gelap, tidak harus seperti itu, tapi warna apapun asal itu masih bisa dikatakan syarI, itu tidak tembus pandang dan menutup dadanya. Yaitu saya bilang sudah cukup gitu ya kalau menurut saya.

Dera menambahkan bahwa saat ini muslimah memang dapat lebih bebas dalam memilih jenis jilbab, tetapi tetap harus memperhatikan tren yang diikuti, apakah itu sesuai dengan ajuran Islam atau tidak? Karena menurut Ayu, muslimah yang memakai jilbab selain menutup aurat juga membawa nama baik agama Islam. Karena gini lho, aku ngerasa kita itu dengan memakai jilbab kita itu membawa nama baik agama. Kalau misalnya kita melakukan halhal yang buruk dengan kita memakai jilbabdalam arti kita pakai jilbab terus kita ke tempattempat tidak baik. Kita ngerasa itu orang akan memandang ternyata agama ini tidak baik. Kata Ayu. Dalam keseharian, sebagian besar muslimah lebih suka memilih gaya jilbab yang simple dan praktis. Gaya ini dipilih karena lebih cocok untuk mahasiswa dan lebih nyaman untuk menjalankan aktivitas kuliah. Model yang banyak diminati adalah model jilbab press body. Model ini dipandang informan lebih praktis, sehingga tidak banyak membatasi gerak muslimah. Dalam pemilihan warna, Ayu lebih suka memakai pakaian jilbab dengan komposisi warna-warna cerah seperti pink, kuning, hijau, merah. Warna ini untuk memberi kesan fresh dan ceria. Titik juga suka jenis jilbab yang modis karena lebih dinamis. aku itu lebih suka yang feminine tapi itu terlihat tetep funky. Tapi sebenarnya tergantung situasi juga sih. Kalau misalnya ke tempat kuliah gitu lebih ke bentuk bentuk yang simple aja. Tapi kalau misalnya ke acara acara entah itu pesta perkaawinan itu kan kita harus lebih glamor. Pemilihan jilbab modis dan funky para muslimah Karena dipandang lebih populer dan lebih cocok untuk kaum anak muda. Model tersebut juga lebih bisa menggambarkan karakter muslimah yang aktif, ekspresif, dan

dinamis. Di sisi lain ada faktor ketakutan apabila muslimah ingin menyempurnakan bentuk jilbabnya. Lingkungan pergaulan yang lebih terbuka menyebabkan muslimah memilih jilbab modis funky. Ayu menyatakan bahwa dirinya tidak ingin memaki jilbab besar karena dia tidak ingin ada jarak dengan teman-temannya. Dia tetap ingin dapat bergaul dengan siapapun walaupun menggunakan jilbab. aku gak pingin terlalu religius juga karena aku ngrasa ya lingkungan aku, bukan lingkungan religi. Aku bukan pingin terlihat religi juga, aku pingin religi tapi tidak terlalu religi, dalam arti kata benerbener mendalami itu nggak. Aku tetep pingin bergaul sama siapapun karena kalau misalnya aku terlalu religi aku akan punya batasan-batasan teman karena paling gak kalau misalnya ada yang dari non itu (non-islam) akan memandang aku terlalu religi itu jadi agak sulit untuk bergaul. Aku pingin tetep bisa masuk dari manapun tapi tidak meninggalkan religi aku kata Ayu. Faktor lain yang juga menghambat muslimah untuk menyempurakan jilbabnya yaitu masalah pekerjaan. Hal ini diungkapkan Saadah bahwa hingga saat ini masih ada instansi baik negeri maupun swasta yang tidak mau menerima pegawai atau karyawan perempuan berjilbab. karena kan kalau di Indonesia masih ada beberapa instansi pemerintah maupun swasta yang ketika dia berjilbab harus melepaskan jilbabnya, kan masih ada yang seperti itu, atau ketika jilbabnya besar dia tidak bisa bekerja di situ. Mungkin ketakutan itu yang masih menghinggapi mereka gitu. Karena banyak teman teman yang mau mengenakan jilbab gak jadi karena itu,kata Saadah. Faktor ini pula yang menjadi pertimbangan keluarga Ayu agar Ayu tidak mengenakan jilbab. Ulfi justru mengalami langsung masalah ini ketika ia ingin mencari tempat magang untuk memenuhi tugas studinya. Ulfi mengalami banyak penolakan dari beberapa instansi karena menurutnya di bidang PR banyak perempuan yang tidak mengenakan jilbab.

terbatasi juga iya. Kadang kan kegiatan apapun, ada yang mengharuskan susah untuk pakai jilbab, diterima di lingkungan, seperti saat ini kan aku lagi magang, susah sekali mencari tempat magang, perusahaan yang menerima mengenakan jilbab. Apalagi aku di public relation (PR) itu kebanyakan mereka gak memakai jilbab kan jadi banyak sekali penolakan, apalagi di hotel ya, banyak penolakan dari sana. Jadi merasa terbatasi dan kadangkadang itu, diskriminasi banget padahal di negara kita kan, Negara Islam, kenapa sih orang pakai jilbab dibatasi seperti itu. Jadi kadang menyesalkannya di situ. Adanya halangan atau keterbatasan dalam memakai jilbab merupakan hal yang wajar. Menurut Titik, muslimah memang harus beradaptasi dengan kondisi penampilan baru. Beberapa hal seperti hobi, perilaku dan aktivitas pasti akan menjadi kendala saat muslimah sudah mengenakan jilbab. Dera misalnya, dia harus membeli pakaian baru karena pakaiannya dulu tidak bisa dikenakan lagi. Informan lain seperti Titik, Liesna dan Ulfi tidak dapat lagi menyalurkan hobi berenang, bermain musik dan dalam kegiatan pencinta alam. Selain itu, Titik sekarang juga harus berusaha mengontrol gaya berbicaranya yang ceplas-ceplos. Peran media saat ini sangat besar dalam membentuk pemahaman dan mempengaruhi keputusan muslimah terhadap jilbab. Besarnya kebutuhan informasi para informan, membuat mereka banyak mencari informasi melalui media. Informasi ini akan menjadi referensi muslimah dalam memahami dan memilih model atau gaya jilbab. Titik berpendapat, kebanyakan muslimah hanya mengikuti saja apa yang disajikan media. Sekarang yang lebih menjadi raja untuk adopsi itu media. Nah sekarang kita selalu dipengaruhi sama media. Sedangkan TV, tontonannya kayakkayak gitu. Nah kalau pun emang artis yang pakai kerudung ya kayak gitu, tidak bisa jadi panutan. kalau menurutku itu. Yang punya dominasi terbesar untuk mempengaruhi dari persepsi anakanak. Oh..jilbab yang

keren, yang gaya, yang modis itu seperti ini. Jadi menurutku berdasarkan dari media itu. Bukan berasarkan islam yang kafah, yang sebenarnya itu seperti ini. Tidak ada filter dari dalam diri muslimah terhadap informasi yang disampaikan media. Misalnya, ada artis yang memakai model jilbab tertentu seperti artis Marshanda atau Saskia Adya Mecca, maka dengan cepat banyak beredar model jilbab Marshanda. Padahal artis Marshanda sendiri dalam kenyataannya tidak memakai jilbab. Media sebagai sarana informasi seringkali menjadi penentu mana model atau gaya jilbab yang cocok untuk muslimah. Corak jilbab yang disebut glamor, natural, modern atau tradisional. Jenis media yang digunakan para informan adalah media elektronik seperti televisi dan media cetak seperti majalah. Dari televisi, informan sering melihat perkembangan gaya jilbab melalui film atau sinetron. Dari situ, informan akan menilai apakah gaya tersebut cocok untuk dipakai dirinya atau tidak. semua media itu mempengaruhi, kalau cuma audio gak mungkin ya. Kecuali itu internet. tapi kalau yang paling berpengaruh TV, audio visual. dari iklan atau sinetron? apa yaa..lebih sering kalau iklan ya bisa. Ya dari acaraacara TV lah. Kita lihat tren dari situ, Kemudian kalau dari majalah, para informan sering melihat gambargambar gaya, corak atau model jibab terbaru. Selain itu muslimah juga dapat mengikuti kiat-kiat tampil menarikatau cantik dengan jilbab. Saadah biasanya mengikuti informasi perkembangan tren dari majalah Tarbawi dan Anida. Sedangkan Titik dan Ulfi banyak membaca majalah fesyen atau anak remaja seperti Nurani, Olga, Hai atau Paras. Berbeda dengan Dera, dia biasa

mendapat informasi dari teman-teman pergaulannya. Kemudian Dera juga mencari informasi dari internet. Biasanya dari pergaulan lingkungan kampus, kalau keluarga Cuma aku aja. Dalam lingkungan masyarakat rumahku sendiri jarang banget. terus kalau aku ngenet, aku banyak caricari lewat internet. Kalau media cetak ya lumayan, tapi aku gak terlalu suka nonton TV. Jadi lebih banyak pergaulan dan internet, kata Dera. Sebagai mahasiswa, penampilan sangat penting untuk menunjang citra dan eksistensi muslimah dalam lingkungan kampus. Titik mengatakan bahwa penampilan adalah cermin diri. penampilan itu kan cerminan dari kita, cerminan seperti apa sih diri kita. Apalagi kalau aku kemanamana tasnya pasti dibawa. Ya namanya perempuan pastilah. Ya itu awal. Nah terus ketika kita bertemu sama orang kita senang kan ketika orangnya seger, enak dilihat dan secara otomatis kita juga memberikan yang baik juga, tutur Titik. Melalui penampilan maka kita atau orang lain dapat mengetahui kebiasaan dan karakter kita. Orang yang terlihat rapi akan dipersepsikan berbeda dengan orang yang berpenampilan urakan. Menurut Ayu, hal tersebut karena kesan pertama seseorang dinilai dari penampilannya. Bentuk penampilan akan sangat mempengaruhi sikap seseorang terhadap kita. Dera menyebutnya, penampilan dapat membentuk image muslimah di mata orang lain. pentingya penampilan itu membentuk kesan atau image kamu sendiri di depan orang lain. Gini, gimana orang akan menilai kamu itu tergantung diri kamu sendiri. Kita pertama kenal orang, kita langsung membuat penilaian dari penampilannya. Terus dia ngomong, kita udah melakukan penilaian lagi. Terus sinkronisasi antara dia ngomong dan dia bergerak, verbal dan non-verbalnya benar atau gak kita lakukan penilaian lagi. Selanjutnya terserah anda, tutur Dera.

Liesna menambahkan bahwa penampilan dapat menjadi modal muslimah untuk lebih percaya diri dan orang lain tidak akan risih ketika berhubungan dengan kita. Selain itu, menurut Ulfi muslimah juga akan merasa lebih nyaman dimanapun kita berada. c. Mengomunikasikan Identitas Muslimah Melalui Jilbab Melalui jilbab yang dikenakan sebagian besar informan ingin menyampaikan sinyal kontrol kepada orang lain tentang identitasnya. Kontrol di sini meliputi kontrol dalam pandangan dan penilaian serta kontrol dalam bersikap dan berperilaku terhadap muslimah. Dera menyebut hal tersebut sebagai perisai. Muslimah yang memakai jilbab tidak perlu lagi membuat perisai yang menghindarkan dari orang usil. aku ngrasa gak perlu melakukan perisai. gini aku ngrasa lebih bahaya dengan lawan jenis, jadi aku juga bisa melakukan kontrol pada diriku maupun pada orang lain. Jadi orang itu lebih appreciate ke aku.selama pakai jilbab, aku lebih aman. Kalau dulu terus terang untuk sampai membuat diriku aman, aku harus latihan bela diri, Selain itu, para muslimah ingin menunjukan dengan jilbabnya bahwa mereka juga dapat tampil menarik sesuai perkembangan tren pakaian saat ini. Niat Titik saat mulai memakai jilbab adalah ingin memutihkan kulit. Titik merasa senang ketika melihat peremuan berkulit putih, karena baginya kulit putih terlihat lebih bersih. awal aku pakai kerudung itu bukan karena kewajiban. Tapi kepingin putih. Kan nggak kena matahari. Wah aku liat orangorang itu pada putih putih he itu secara gak langsung emang kayak gitu, kata Titik.

Sedangkan Ulfi saat memakai jilbab ingin menyampaikan karakternya yang terkesan cuek dan praktis. Ulfi tidak terlalu menyukai berbagai hal yang membutuhkan banyak proses seperti berdandan. ya sih, aku gak suka ribet, jadi ya gini, gini aja. Apa adanya. Yang penting nyaman dan aku kemanamana juga nyaman aja, tutur Ulfi. Sebagian muslimah mengenakan jilbab untuk menegaskan identitasnya sebagai orang Islam. Menurut Ayu, orang lain akan tahu jika dirinya beragama Islam tanpa harus memberitahu orang tersebut. karena ya itu jilbab sebagai suatu kewajiban. Karena dalam agama kelihatan kan, ada ayat yang mengatur tentang jilbab, penutup aurat. Itu setiap wanita diwajibpin, itu aku suatu kewajiban, itu suatu keharusan. Ya aku memandang itu aja. Kedua, sebagai identitas seorang muslim. Identitas dalam arti kata, dengan kita apa yaa..kalau kita ngeliat orang itu kalau udah ngeliat kita, oh pakai jilbab, ..oo berarti dia seorang muslim, tutur Ayu. Saadah dengan memakai jilbab besar ingin menunjukan sebagai muslimah yang taat agama. Saadah ingin menyampaikan bahwa ada bentuk jilbab besar seperti yang dipakainya. Saadah juga berharap dapat menyampaikan informasi seputar jilbab besar sesuai ketentuan Islam, sehingga akan semakin banyak muslimah yang tertarik memakai jilbab besar. secara tidak langsung ya pastinya ada ya, ya inginnya mereka juga tahu yang baik itu yang selama ini aku rasakan sih, ketika saya menggunakan ini (jilbab besar) banyak orang yang nanya,oopakaiannya kayak gitu berartikan orang tahu dan nanya, kenapa begitu, ya ingin saya sampaikan ya tadi. Jadi orang tahu gitu bawasannya, ada ni jilbab yang model yang seperti ini. Kenapa? Nanti kan mereka akan bertanya,oo ternyata seperti ini. Kalau yang saya rasakan seperti ini. Yang ingin saya sampaikan jadi orang juga tahu pakai jilbab itu yang begini, katanya. Dalam menyampaikan pesan kepada orang lain sangat terkait dengan pemahaman informan mengenai hakikat jilbab. Hal ini karena pemahaman

informan tentang hakikat jilbab akan menjadi dasar atau landasan tujuan mengenakan jilbab. Di sini, sebagian besar informan memahami jilbab sebagai sebuah kewajiban berbusana seorang muslimah. Ulfi menuturkan, tidak ada alasan pada diri muslimah merasa tidak siap lahir dan batin. Hal tersebut karena memang sudah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. dulu kan aku pernah dapat pengalaman, pernah menyangkal, aku belum siap pakai jilbab, tapi itu bukan masalah siap gak siap, tapi itupada peraturan, kayak misalnya salat pun kita sebuah kewajiban, bukan masalah karena sudah salat apa gak, tapi itu sudah kewajiban sebagai umat muslim., kata Ulfi. Saadah percaya pada janji Allah yang tertuang dalam surat Al Ahzab ayat 59 dan surat An Nur ayat 31 tentang perintah berjilbab bagi perempuan muslim yang sudah dewasa. jilbab itu bagi seorang muslimah atau bagi saya pribadi ya sangat penting ya. Ya karena janji Allah itu dalam surat Al Ahzab memang ketika seorang wanita itu menggunakan jilbabnya maka dia akan lebih terlindungi gitu dan saya rasakan itu. Ketika saya menggunakan jilbab saya merasa lebih bisa menjaga diri dan bisa lebih terjaga dari orangorang yang usil gitu. Jadi saya lebih terjaga dengan menggunakan jilbab. Jadi ya sangat penting. Ya harapannya saya tidak akan melepaskan ini sampai saya dipanggil, terangnya. Ayu memahami hakikat jilbab penutup aurat meskipun dalam menutupinya tidak secara sempurna. Baginya bila itu hanya kelihatan sedikit dan tidak menimbulkan rangsangan bagi laki-laki maka dianggap menutupi. kalau aku memandangnya itu sudah menutupi aurat, sebagianlah. Karena selama itu tidak menimbulkankita kan tidak tahu batasan cowok merasa terangsang atau gak. Mungkin mereka itu berfikir, apa ya hanya dengan memperlihatkan sedikit lebih untuk memperlihatkannya lagi mereka merasa itu tidak akan menimbulkan masalah, tutur Ayu.

Sedangkan Liesna memahami hakikat jilbab sebagai proses menuju diri yang lebih baik dalam sikap dan perilaku. Dia menjadi lebih sadar ibadah setelah mengenakan jilbab. Menurut Liesna seseorang yang mengenakan jilbab tidak hanya secara fisik saja tetapi hatinya juga harus berjilbab. Perubahan itu kan bertahap, aku nyaman dengan yang seperti ini. Lambat laun bila ALLAH memberi petunjuk akan berubah sendiri, tetapi aku pikir ketika aku sudah berani untuk mengenakan jilbab itu sudah bagus. Kalau dulu, awalawal aku pakai jilbab yang terbuka (pendek), tapi sekarang aku nyaman pakai jilbab yang segi empat yang lebih besar. Ya bertahaplah untuk ke depannya, tutur Liesna Saat ini memang bagi perempuan muslim, mengenakan jilbab belum pasti dikatakan saleh. Saadah menilai hal tersebut dikembalikan kepada niat masing-masing muslimah. Ayu memandang tingkat kesalehan seseorang itu tidak bisa hanya diukur dari penampilannya saja. Perilaku, sikap, dan aktivitas ibadah lainnya juga menjadi tolok ukur tingkat kesalehan muslimah. Liesna juga masih sering melihat temannya yang sudah berjilab dari sejak lama tapi sampai sekarang masih sering berbuat curang atau membicarakan orang dibelakang. kalau menurutku tidak ya, kalau zaman sekarang ini banyaklah, tetap ada aktivitas negatif yang mereka lakukan. Aku lihat beberapa yang aku kenal, sebelum dan sesudah pakai jilbab kelakuannya sama saja. Misalnya aja temanku sendiri yang sudah berjilbab dari SMA. Tapi kalau aku lihat di belakang itu, dia masih punya sikap yang negatif seperti suka berbuat curang, ngomongin orang di belakang, tutur Liesna. Dalam hal ini terkadang jilbab hanya dijadikan topeng atau kamuflase saja. Ayu mengatakan bahwa saat ini banyak muslimah yang berjilbab itu bermuka dua. Dalam arti banyak muslimah berjilbab tetapi sebenarnya banyak melakukan hal buruk.

orang juga lihat dengan perkembangan jaman gini, orang banyak yang dengan menggunakan jilbab itu bermuka dualah. dalam arti kata mereka itu sebenarnya berperilaku yang buruk tapi itu untuk tidak mau terlihat seperti itu. Mereka itu menggunakan jilbab sebagai tameng atau kamuflase dia yang aslinya seperti itu, tapi tidak ingin terlihat, jelas Ayu. Ulfi banyak melihat muslimah berjilbab termasuk temannya juga, tidak merasa risih atau terbebani ketika tidak melaksanakan salat. Dia menambahkan bahwa bisa saja perempuan memakai jilbab karena ingin menutupi kekurangan rambutnya yang keriting. banyak kok orang pakai jilbab yang gak salat. ya, itu banyak dan itu tementemen ku sendiri, aku tahu dan mereka juga biasa aja. Gak merasa risih atau terbebani. Jadi kalau tingkat kesalehan nggak sih menurutku. mungkin karena takut hitam, ya kayak gitugitu. Banyak kok yang karena rambutnya krebo, jadi kayak gitu, tapi dia biasa aja kalau misalnya keluar dia gak pakai, kalau misalnya dia kuliah dia pakai, keluar gak pakai. Kayak gitu kan kita tahunya dia berjilbab di sekolah tapi saat di luar gak. Kita gak bisa dong bilang dia soleh apa gak, kata Ulfi Saadah juga pernah menjumpai temannya yang ingin berjilbab agar terlihat lebih cantik. Menurut Titik, secara kasat mata jilbab memang dapat menjadi simbol identitas keagamaan seseorang. Model, gaya, corak, dan paduan warna yang dipilih akan menggambarkan karakter dan seberapa dalam pemahaman muslimah tentang jilbab. Kalau kita hanya berdasarkan pada kasat mata berdasarkan hanya pada visual saja mungkin itu bisa sebagai simbol, kalau misalkan jilbabnya seperti ini berarti itu kadar keimanannya seperti ini, tapi dikembalikan, kalau misalnya Allah menilai itu kan tidak hanya secara visual tapi dari kedalaman hati seseorang. Dan kedalaman hati kita gak bisa menilai, Cuma Allah doank yang berhak. OK simbol aku setuju tapi secara visual aja. Terang titik.

BAB IV

MEREPRODUKSI IDENTITAS ISLAMI MUSLIMAH MELALUI TAMPILAN JILBAB


Jilbab sebagai busana muslim telah dapat diterima oleh masyarakat luas. Perkembangan tren fesyen jilbab dengan beragam model, gaya dan bahannya mendorong perempuan muslim menjadikan jilbab sebagai pilihan pakaian keseharian. Muslimah dapat leluasa memilih model dan bahan jilbab yang ingin dipakai. Model jilbab tersebut dapat di cari di berbagai mall, pasar tradisional, outlet atau toko baju. Bahkan sekarang banyak outlet atau toko baju yang khusus menjual jilbab dan pakaian muslim. Keadaan tersebut semakin mempermudah para muslimah dalam mencari setelan pakaian jilbab yang cocok untuk dirinya. Jilbab kini telah menjadi milik semua orang. Siapa saja dapat mengenakan jilbab dengan tujuannya masing-masing. Jilbab tidak lagi ditakuti karena konsekuensi yang harus dilaksanakan seperti harus paham agama, harus tampak alim atau santun. Muslimah tetap dapat mengekspresikan karakter atau kepribadiannya walaupun memakai jilbab. Hal inilah yang kemudian menjadi titik tekan persoalan identitas jilbab yang dikenakan muslimah. Persoalan ini dihubungkan dengan falsafah jilbab islami itu sendiri untuk mengetahui bagaimana penampilan, sikap, dan perilaku muslimah dengan jilbab yang dikenakan.

A. Jilbab, Ragam Pakaian Penutup Aurat Dalam Penampilan Muslimah Jilbab saat ini semakin menunjukan keberadaannya sebagai salah satu pakaian yang banyak diminati oleh muslimah. Jilbab tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai busana yang konvensional. Fenomena ini menarik banyak kalangan mulai dari agamawan, desainer, industri, dan pengamat mode untuk menggali lebih jauh nilai-nilai yang terkandung pada jilbab. Dalam sub bab ini, peneliti mencoba membahas tentang pemahaman muslimah terhadap jilbab. Pada sub bab selanjutnya, peneliti akan membahas mengenai identitas dan pesan yang dibentuk dari pemahaman muslimah untuk menampilkan citra dirinya. Setelah dilakukan proses wawancara secara mendalam, diketahui bahwa jilbab menurut muslimah adalah kain untuk menutupi aurat dari pandangan orang lain bukan muhrim. Aurat merupakan bagian-bagian tubuh yang tidak boleh terlihat. Aurat yang harus ditutup sama seperti ketika salat yaitu seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan muka. Ada muslimah yang menekankan pada rambut atau kepala sebagai bagian yang harus ditutup dengan jilbab. Ada juga yang menekankan pada dada dan pinggul. Muslimah merasa belum dapat menerapkan pengetahuan tentang jilbab yang dimiliki dalam kehidupan seharihari. Hal ini terlihat dengan banyak muslimahnya yang memakai jilbab kecil untuk menutupi rambutnya. Sedangkan bila ingin benar-benar menutup aurat, seorang muslimah harus memakai baju kurung yang besar, jilbabnya harus panjang, dan pakai rok longgar. Muslimah masih merasa sulit untuk mengenakan jibab besar. Banyak diantara muslimah yang belum siap jika harus memakai jilbab besar.

Persoalan pemakaian jilbab tidak bisa terlepas dari persoalan aurat. Bahasan aurat dalam Islam adalah bahasan tentang bagian-bagian tubuh atau sikap dan kelakuan yang rawan, dapat mengundang bahaya.52 Aurat dipahami sebagai sesuatu yang buruk atau sesuatu yang hendaknya diawasi karena aurat itu rawan dan dapat menimbulkan bahaya serta rasa malu.53 Tubuh perempuan yang harus ditutup sebenarnya bukanlah hal yang buruk, tapi akan menjadi buruk atau berdampak buruk jika dipandang oleh yang bukan muhrimnya. Hal tersebut merupakan aurat dalam arti rawan yakni dapat menimbulkan rangsangan yang pada gilirannya jika dilihat oleh orang lain yang tidak berhak maka dapat menimbulkan kecelakaan, aib, dan rasa malu. Muhyidin menyebutkan, ada empat manifestasi pemakaian jilbab yang didasarkan pada sampai mana batas aurat yang harus ditutupi jilbab.54 Pertama, wajib bagi perempuan menutup seluruh tubuhnya, kecuali matanya. Muslimah menggambarkan jilbab ini seperti pakaian ala ninja yang menutupi tubuhnya dengan jilbab besar dan cadar kecuali bagian mata. Jilbab ini dipakai oleh muslimah di Negara Afganistan semasa pemerintahan Taliban. Kedua, wajib perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah. Ketiga, wajib bagi perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Pendapat ini banyak dijadikan acuan dan diimplementasikan muslimah dengan memakai jilbab. Keempat, wajib bagi perempuan muslimah untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah, telapak
52 53

M. Quraish Shihab. Op. Cit. hlm 47 Ibid hlm 46 54 Batas-batas jilbab yang dimaksud adalah perdebatan mengenai interpretasi dasar ayat yang dijadikan pijakan yaitu kalimat mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka pada surat Al Ahzab ayat 59 dan kalimat Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya pada surat An Nur ayat 31. Muhammad Muhyidin. Op. Cit hlm 28-29

kaki, dan telapak tangan. Pendapat keempat ini, saat ini juga banyak diimplementasikan muslimah dalam memakai jilbab, terutama oleh muslimah yang mempunyai pemahaman yang longgar tentang jilbab. Mengenakan jilbab bagi sorang muslimah sudah merupakan kewajiban dalam menjalankan perintah agama. Hal ini karena perintah berjilbab telah diatur di dalam Al Quran. Lebih tepatnya terdapat dalam surat Al Ahzab ayat 59 dan surat An-Nur ayat 31. Seorang muslimah tidak akan sempurna bila tidak mengenakan jilbab. Namun jilbab hanya wajib dikenakan oleh muslimah yang telah baligh. Siap atau tidak siap muslimah harus memakai jilbab, bagaimana pun perilaku dan kondisinya. Perintah jilbab ini di analogikan seperti perintah salat di mana setiap orang yang telah baligh diwajibkan melaksanakan perintah tersebut. Penulis mencoba mengutip kembali kedua ayat tersebut untuk memperjelas pendapat yang sedang dijelaskan. Surat al-Ahzab : 59 Hai Nabi, katakanlah kepada istriistrimu, anakanak perempuanmu dan istriistri orang mukmin,Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.55 Surat an-Nur ayat 31 : Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutup kain tudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasan kecuali kepada suami mereka, atau putraputra mereka, atau putraputra suami mereka, atau saudara lakilaki mereka, atau putraputra saudara lakilaki mereka, atau putraputra suadara wanita mereka, atau wanitawanita Islam, atau budakbudak yang mereka miliki, atau pelayan lakilaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anakanak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan jangalah mereka menghentakan kakikaki agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
55

Ibid hlm 235-236

Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orangorang yang beriman, supaya kamu beruntung.56 Kedua ayat di atas dijadikan hujjah (argmentasi) untuk mengatakan bahwa memakai jilbab merupakan kewajiban bagi setiap muslimah. Terlepas dari bagaimana perdebatan fighiyyah (hal-hal yang menyangkut hukum Islam) tentang batas-batas aurat pemakaian jilbab.57 Muslimah di Indonesia lebih cenderung menganut perspektif humanisme atau pragmatisme. Perspektif humanisme atau pragmatisme, yang memandang jilbab secara fungsional atau esensial sebagai penutup aurat, di mana terkandung ajaran kesusilaan dan kesopanan. Dari perspektif ini, ajaran jilbab memiliki konsekuensi bersifat relatif, kondisional, dan kontekstual, sebab terkait dengan persoalan nilai-nilai yang dianut subjek bersangkutan dan nilainilai lokal yang berlaku. Hal ini terlihat bahwa tidak semua muslimah di Indonesia mengenakan jilbab. Bagi muslimah yang mengenakan jilbab, mereka tidak terikat pada satu aturan tentang tata cara berjilbab, misalnya jilbab yang dikenakan harus jilbab besar. Bagi muslimah di lingkungan pesantren, mereka lebih banyak menggunakan kerudung dan kemeja lengan panjang. Kemudian kalau ibu-ibu pada umumnya lebih sering menggunakan selendang dengan dililitkan di leher dipadu dengan pakaian adat seperti kebaya. Proses menutup aurat tidak terpaku pada satu model jilbab tertentu. Saadah mengatakan, tidak ada ketentuan pasti mengenai jilbab yang harus dikenakan muslimah asalkan jilbab tersebut tidak tembus pandang, menutupi dada, dan tidak membentuk tubuh.
56 57

Ibid hlm 234-235 Ibid hlm 23-24

Dalam hal tata cara pemakaian jilbab, muslimah lebih fleksibel dan tidak harus terpaku dengan cara pemakaian muslimah di wilayah Arab. Muslimah mengatakan bahwa perbedaan kondisi geografis dan budaya di Indonesia dan Arab sangat mempengaruhi cara muslimah memahami dan memilih model jilbab yang dikenakan. Budaya di wilayah Arab yang berlandaskan Islam menjadi penyebab muslimah di sana memakai jilbab besar. Kemudian kondisi geografis yang panas dan berupa padang pasir mendorong muslimah untuk memakai pakaian jilbab yang menutupi seluruh tubuhnya. Muslimah juga menggunakan cadar untuk melindungi dari debu yang beterbangan. Kondisi di Indonesia berbeda dengan kondisi lingkungan di wilayah Arab. Menurut Titik di Indonesia belum mempunyai standar jelas yang mengatur tata cara muslimah dalam memakai jilbab. Liesna menjelaskan bahwa keragaman agama dan adat istiadat di Indonesia menjadi faktor pengaruh. Secara kultur, memang tidak ada satu budaya pun yang memakai jilbab sebagai busana adat atau busana keseharian masyarakat Indonesia. Hal lain yang juga mempengaruhi adalah konstruksi jilbab dengan cadar mempunyai stereotipe negatif di Indonesia. Walaupun tidak ada hubungannya secara langsung, tetapi hingga saat ini muslimah dengan jilbab bercadar diposisikan sebagai kalangan ekstrim atau garis keras dan identik dengan kelompok terorisme. Berdasarkan pandangan di atas kita dapat melihat banyak muslimah yang belum konsisten dalam memakai jilbab. Artinya jilbab hanya dikenakan pada momen-momen tertentu seperti saat kuliah atau mengikuti acara keagamaan. Di luar kegiatan tersebut, muslimah sering melepas jilbabnya.

Contohnya ketika di rumah atau di kos, banyak muslimah yang tidak mengenakan jilbab. Ketika ada tamu laki-laki pun mereka sering menemui tanpa menggunakan jilbab. Contoh lain ketika pergi jalan-jalan, ke tempat teman, mall atau lainnya, mereka juga sering tidak memakai jilbab. Dalam ucapan, sikap dan perilaku, belum ada perubahan yang signifikan seperti sebelum muslimah memakai jilbab. Banyak muslimah yang masih suka membicarakan kejelekan orang lain (baca: gosip), pacaran dengan sering berinteraksi fisik seperti bergandengan tangan atau merangkul. Kemampuan muslimah untuk berjilbab secara konsisten memang masih sangat minim. Konsistensi ini juga terkait dengan implementsi muslimah dalam memilih pakaian jilbab sesuai syarat Islam. Misalnya, Muslimah lebih sering memilih celana sebagai bawahannya, walaupun terkadang juga memakai rok. Jilbab terkadang menutup dada, terkadang dimasukan ke dalam baju. Bahan jilbabnya juga masih tipis sehingga rambut masih samar terlihat. Kemudian pemilihan baju lebih beragam lagi, muslimah sering berganti-ganti model seperti t-shirt, kemeja, blus, dll. Hal ini menunjukan pemilihan pakaian jilbab secara keseluruhan lebih didasarkan pada keinginan muslimah dengan beragam variasi model dan gayanya. Motif muslimah dalam mengenakan jibab memang bermacam-macam. Motif melingkupi semua penggerak, alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif. Motif muslimah jilbab dapat berupa motif tunggal atau motif gabungan.58 Peneliti menemukan sebagian besar muslimah
58

Gerungan. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. 2004 hlm 151

dalam berjilbab saat ini selain untuk motif teogenetis yaitu melaksanakan perintah agama, muslimah juga punya beragam motif. Macam-macam motif muslimah seperti motif biogenetis,59 yakni motif yang berkembang pada diri secara biologis. Muslimah ingin mendapatkan kenyamanan dengan memakai jibab. Ada juga yang karena ingin coba-coba pakai jilbab, ingin menutupi kekurangan atau memang ingin merubah diri dengan pakaian jilbab. Saadah pernah menjumpai temannya yang ingin berjilbab agar terlihat lebih cantik. Kedua, motif sosigenetis, yakni motif-motif yang dipelajari orang dan berasal dari lingkungan tempat individu berada atau berkembang.60 Faktor lingkungan seperti keluarga, lingkungan tempat tinggal, teman, organisasi, tren jilbab hingga media. Faktor tersebut tidak berdiri otonom tetapi saling berkaitan satu sama lain. Penulis akan mengurai faktor-faktor di atas secara lebih rinci sesuai pengalaman yang dialami oleh muslimah. Ketiga motif teogenetis, yakni motif yang berasal dari interaksi manusia dengan Tuhannya.61 Keberlangsungan motif berjilbab muslimah dipengaruhi oleh latar belakang muslimah, pendidikan atau pengetahuan muslimah tentang agama, dan kondisi psikologis muslimah. Keberhasilan muslimah untuk merubah diri ini tergantung pada kesiapan diri yaitu kesiapan lahir dan mental muslimah sendiri. Secara psikologis,

muslimah harus merasa siap terhadap pandangan atau penilaian orang lain. Dari sisi lahiriah, muslimah harus siap berpakaian tertutup dengan jilbabnya. Sifat ketertutupan jilbab membawa konsekuensi bagi muslimah yaitu muslimah tidak dapat lagi bebas memperlihatkan rambut, perut, betis, dan tangan. Bagi sebagian
59 60

Ibid hlm 154 Loc. Cit 61 Ibid hlm 155

besar perempuan bagian tersebut merupakan sumber kecantikan dalam penampilannya. Dari segi pemahaman tentang jilbab, informasi yang diperoleh muslimah masih bersifat umum atau garis besar seperti jilbab itu pakaian perempuan muslim, jilbab adalah pakaian untuk menutup aurat. Pemahaman menutup aurat ini dimaknai secara harafiah (baca: penampilan) yaitu pakaian untuk menutup bagian tubuh yang memang tidak boleh terlihat oleh orang lain yang bukan muhrim. Muslimah mengetahui informasi tentang jilbab tersebut dari ceramah, pengajian, dari guru waktu SMA, mentoring, dan dari media melalui acara religi atau rubrik majalah. Ada juga muslimah yang memperoleh informasi seputar jilbab dari membaca buku dan pergaulan dengan teman. Muslimah mengakui bahwa jilbab yang mereka pakai belum memenuhi kriteria yang ditetapkan Islam. Beberapa muslimah seperti Liesna, Ulfi, dan Ayu mengatakan bahwa jilbab mereka hampir menutup aurat. Hal ini karena mereka dalam memakai jilbab masih sering memakai baju atau celana ketat. Ulfi menuturkan, dirinya belum bisa menyempurnakan jilbabnya karena dia tidak pernah nyaman memakai rok atau baju longgar. Faktor eksternal yang mempengaruhi muslimah dalam mengenakan jilbab yaitu faktor keluarga sebagai lingkungan primer muslimah. Keluarga dapat berperan sebagai motivator atau sebaliknya, dapat sebagai pihak penentang muslimah dalam berjilbab. Model pendidikan dan pola asuh orang tua terhadap anak dapat menentukan sikap dan cara muslimah memaknai jilbab sebagai pakaian islami. Bagi muslimah seperti Ulfi, Saadah, dan Liesna

keluarga menjadi pendorong utama untuk mengenakan jilbab. Sedangkan bagi Ayu, keluarga justru menjadi penentang mengenakan jilbab. Cara pandang orang tua Ayu terhadap jilbab masih didasarkan stereotipe bahwa jilbab adalah penghambat perempuan untuk maju. Keluarga merupakan peletak pondasi muslimah terhadap dunia luar. Pola karakter, cara pandang, sikap muslimah sebagian besar dibentuk dari pola asuh dan pendidikan keluarga. Jadi bentuk sikap keluarga terhadap keputusan berjilbab muslimah akan berpengaruh terhadap kelangsungan dan kenyamanan muslimah. Kondisi lingkungan teman juga turut menentukan pandangan dan sikap muslimah dalam berjilbab. Di dalam lingkungan teman, muslimah dapat memproleh banyak informasi tentang banyak hal. Informasi tersebut selanjutnya akan menjadi bekal untuk menentukan cara penampilan yang sesuai. Tidak menutup kemungkinan muslimah juga meminta persetujuan atau masukan dari teman tentang bentuk penampilan yang cocok. Akibatnya, muslimah sering kali dalam penentuan penampilannya didasarkan pada kesepakatan opini teman. Hal ini berpengaruh terhadap kualitas pemahaman muslimah tentang jilbab yang sesungguhnya. Artinya, bila muslimah mendapatkan lingkungan teman yang memiliki pengetahuan baik terhadap jilbab maka muslimah dapat lebih baik lagi mengenakan jilbab. Sebaliknya, bila lingkungan teman tidak mempunyai pemahaman baik tentang jilbab maka hal ini dapat mengarah pada pendangkalan atau penyimpangan makna jilbab yang sebenarnya. Dalam teori Identitas yang dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980) mengatakan bahwa terdapat hubungan saling mempengaruhi di antara individu

dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Hal ini karena dalam proses pembentukan identitas seseorang juga harus bercermin pada Yang Lain (The Other). Ia tidak bisa lepas dari pengakuan/pengukuhan orang lain. Muslimah tidak bisa lepas dari pengakuan orang lain tentang keberadaannya dengan jilbab. Pengakuan tersebut dapat berupa penyambutan secara positif dan menerima muslimah ditengah-tengah lingkungan teman atau orang lain. Pengakuan keberadaan muslimah dengan jilbabnya juga melihat faktor penampilan perempuan lain yang tidak berjilbab. Perbedaan penampilan antara muslimah yang berjilbab dengan yang tidak akan menegaskan eksistensi muslimah. Diferensiasi ini memberikan pandangan baru dan persepsi yang baik kepada orang lain yang melihatnya. Faktor lain yang turut mempengaruhi adalah media. Muslimah banyak mendapat informasi tentang model atau tren jilbab dari berbagai rubrik atau acara media.Kemampuan media dalam menyebarkan informasi ke khalayak luas menjadi faktor pendorong diterimanya jilbab sebagai gaya berbusana. Dalam era infromasi seperti saat ini, ketergantungan muslimah terhadap media sangat tinggi. Pengetahuan muslimah tentang dunia sangat dipengaruhi oleh informasi dari media. Titik mengatakan, kebanyakan muslimah hanya mengikuti saja apa yang disajikan media. Media sebagai sarana informasi seringkali menjadi penentu mana model atau gaya jilbab yang cocok untuk muslimah. Di sini media melakukan fungsi pengawasan instrumental yaitu media melakukan

penyaluran informasi yang berguna dan membantu dalam kehidupan seharihari.62 Media baik elektronik maupun cetak saat ini banyak memberikan ruang yang memuat serba-serbi tren atau pernak-pernik jilbab. Dari media audiovisual seperti televisi, muslimah bisa mendapatkan informasi melalui acara sinetron, film, iklan yang menggambarkan sosok santun, lemah lembut, cantik, dan modis. Tak pelak, banyak nama model jilbab yang disesuaikan dengan nama film atau artis yang memakainya. Contohnya seperti jilbab Marshanda, jilbab ayat-ayat cinta, jilbab teh Ninih, jilbab Saskia. Padahal artis Marshanda sendiri dalam kenyataannya tidak memakai jilbab. Kemudian hadirnya toko-toko baju khusus muslim dan salon-salon kecantikan khusus muslim semakin menguatkan legitimasi jilbab di mata muslimah. Eksistensi jilbab menjadi semakin diakui dan diminati oleh semua kalangan. Muslimah berfikir bahwa sebagai masa belajar dan tahap awal, mereka mau memakai jilbab itu sudah merupakan bentuk kemajuan dan keberanian tersendiri. Hal ini karena tidak semua perempuan mau berjilbab. Muslimah juga merasa senang dengan perkembangan tren jilbab saat ini. Banyaknya pilihan model membuat jilbab lebih dinamis, sehingga muslimah yang memakainya tidak cepat bosan. Tampilan corak dan warna yang bervariasi mendorong muslimah dapat lebih bebas mengekspresikan bentuk jilbab yang disukai. Hal ini menjadi daya tarik yang kuat bagi muslimah untuk memilih jilbab sebagai pakaian kesehariannya. Berbeda dengan dulu, di mana jilbab tampak monoton

62

Heru Puji Winarso. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2005 hlm 29

dan minim variasi sehingga kurang ada minat dari muslimah untuk memakainya. Pilihan model pakaian lebih Beragam lagi, bagi muslimah yang ingin tampil benar-benar islami maka dapat memilih pakaian gamis atau abaya. Sedangkan bagi yang suka tampil modis, muslimah dapat memilih pakaian dengan aksen cerah. Kemudian bagi yang suka tampil kasual atau apa adanya maka dapat menggunakan t-shirt lengan panjang, jaket atau jumper. Sebagian besar muslimah banyak memakai jins sebagai celana. Model jins yang lagi tren saat ini adalah model skinny jeans. Model jins ini ketat dan mengikuti bentuk kaki pemakainya, sehingga musimah yang memakainya terlihat lebih seksi. Dalam tampilan jilbab funky, jins dan pakaian ketat telah menjadi paduan yang serasi untuk menutup atau menghiasi tubuh. Muslimah dapat bebas memakai jins dan jilbab tanpa perlu memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Justru muslimah membuat makna baru dari jins atau jilbab yang dikenakannya. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang memang sering berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image) dan apa yang melekat pada tubuhnya. Featherstone (1992) dalam Subandy (2007: 242) menyatakan bahwa pakaian dirancang untuk merayakan bentuk tubuh yang alami. Pakaian bukan lagi dipandang sebagai bentuk rancangan yang digunakan sebagai perlindungan atau kesopanan tetapi lebih sebagai dekorasi tubuh.63 Muslimah dalam
63

Selain sebagai bentuk dekorasi tubuh, lebih lanjut Barnard juga mengemukakan beberapa fungsi dari fesyen. Pertama, fungsi perlindungan yakni pakaian dipakai untuk melindungi tubuh dan jiwa. Mulai dari melindungi dari cuaca, panas, dingin, serta dari gangguan moral yang berimbas bagi ketenangan jiwa atau psikologis. Kedua, fungsi kesopanan dan penyembunyian. Artinya pakaian digunakan untuk menyembunyikan bagianbagian tubuh yang dianggap tidak senonoh. Ketiga, ketidaksopanan dan daya tarik. Di sini pakaian dianggap berfungsi untuk

mengenakan jilbab tidak perlu pusing memikirkan atau merasa terbebani bahwa mereka harus tampak alim, feminin, dan sabar. Layaknya ragam busana lainnya, jilbab juga dapat digunakan untuk mendadani tubuh sesuai citra yang diinginkan. Dalam Islam memang tidak mengatur secara detail dan jelas bentuk pakaian jilbab secara keseluruhan. Hal ini terkait masalah aurat yang menjadi perdebatan banyak ulama. Akan tetapi setidaknya kita bisa melihat batasan atau syarat yang menggambaran pakaian jilbab yang dianggap baik oleh Islam. Penulis mencoba mengutip kembali pernyataan Muhandy Ibn. Haj mengenai persyaratan yang harus dipenuhi sehingga jilbab sah untuk dipakai. Beberapa syarat tersebut yaitu : 1. Busana (jilbab) yang menutupi seluruh tubuhnya

selain yang dikecualikan. Bagian yang dikecualikan ini meliputi muka dan telapak tangan sesuai dengan ketentuan beberapa hadis dari Nabi Muhammad SAW. 2. Busana yang bukan untuk perhiasan kecantikan

atau tidak berbentuk pakaian aneh, menarik perhatian, dan tidak berparfum (wangiwangian). 3. Tidak tipis sehingga tampak bentuk tubuhnya.

menarik perhatian seksual. Biasanya hal ini dilakukan oleh kalangan perempuan untuk menarik perhatian dari lakilaki. Keempat, fungsi komunikasi. Pakaian dan fesyen digunakan untuk mengomunikasikan pesan tertentu kepada orang lain. Baik identitas atau mencerminkan kondisi tertentu seperti kondisi berkabung atau upacara adat. Fungsi lainnya seperti pernyataan ekspresi individu, sebagai nilai sosial dan peran sosial, hingga sebagai simbol sejarah, politis dan magis atau religius. Semua fungsi tersebut menyiratkan pesan tertentu untuk disampaikan kepada orang lain. Barnard, Malcolm. Fashion Sebagai komunikasi (Cara Mengomunikasikan identitas Sosial, Seksual, kelas, dan Gender). Terj. Fashion As Communication. Routledge. 1996 hlm 7195

4. 5.

Tidak sempit sehingga tampak bentuk tubuhnya. Busana yang tidak menampakan betisnya (kaki)

atau celana panjang yang membentuk kakinya dan kedua telapak kakinya pun harus tertutup. 6. tidak pula lehernya. 7. Busana tidak menyerupai pakaian lakilaki dan Tidak menampakan rambutnya walau sedikit dan

tidak menyerupai pakaian wanitawanita kafir yang tidak islami.64 Artinya bentuk pakaian tidak terbuka seperti pakaian mini yang sering menampakan dada, pusar, dan paha (kaki). Syarat di atas menyiratkan bahwa tubuh perempuan sangat penting untuk dilindungi. Hal ini karena semua bagian tubuh mulai dari rambut hingga kaki mempunyai daya tarik untuk dieksploitasi. Kecantikan atau keseksian perempuan misalnya, dapat didasarkan pada bagian tubuh seperti rambut, wajah, leher, payudara, perut, pinggul, paha, dan betis. Bagian tubuh tersebut sangat rawan menjadi komoditas yang justru merendahkan martabat perempuan. Sebagai mahasiswa, muslimah memang dituntut untuk dapat tampil menarik. Karakter mahasiswa yang dinamis, mobile, dan up to date terhadap hal-hal baru sebisa mungkin juga diterapkan dalam penampilan mereka. Penampilan mahasiswa sedapat mungkin sesuai tren yang sedang berkembang. Muslimah sadar bahwa jilbab yang dikenakannya saat ini belum sesuai dengan ketentuan Islam secara kafah. Beberapa muslimah mempunyai perbedaan mengenai bentuk jilbab yang sesuai ketentuan Islam. Contohnya Ayu
64

Mulhandy Ibn. Haj, Kusumayadi dkk. Op. Cit hlm 18

mendeskripsikan bahwa jilbab yang sesuai ketentuan Islam itu tidak kelihatan lekuk tubuhnya, tidak boleh ada penjedaan terutama di bagian perut ke bawah dan perut ke atas. Dera menggambarkan jilbab yang islami adalah baju kurung. Tampilannya tidak boleh kelihatan rambut, kuping, dan lehernya. Kemudian pakaian tidak press body dan tipis. Dalam ketentuan Islam secara kafah, Jilbab adalah pakaian lebar sekaligus kerudung (penutup kepala). Artinya jika muslimah mengenakan jilbab, maka harus mengenakan kerudung sekaligus pakaian yang lebar yang menutupi tubuh. Hal ini karena pada hakikatnya, jilbab sebenarnya tidak hanya untuk menutup aurat saja, melainkan juga untuk menjaga kesucian dan kehormatan seorang muslimah dari orang lain yang bukan muhrim.65 Ada empat tujuan utama muslimah berjilbab yaitu 1. Untuk menutup aurat 2. Untuk melindungi dari panas dan dingin 3. Untuk menjaga dan melindungi kesucian, kehormatan, dan

kemuliaannya sebagai perempuan


4. Untuk menjaga identitas sebagai muslimah yang membedakannya

dengan perempuan lain.66 Sebagai identitas muslimah, jilbab harus memenuhi dua fungsi pokok jilbab yaitu mampu menjaga identitas sebagai muslimah yang membedakan dengan perempuan lain dan mampu menjaga dan melindungi kesucian,
65 66

Muhyidin: Op. Cit. hlm 38-39 Ibid hlm 297-298

kehormatan, dan kemuliaan sebagai seorang muslimah. Selain ke empat tujuan diatas, secara sosiologis ada yang menggunakan jilbab sebagai perhiasan yaitu untuk mempercantik diri. Tujuan ini sebenarnya diperbolehkan untuk ditujukan kepada suami saja. Selain kepada suami, maka kecantikan tersebut tidak boleh ditampakan karena dikhawatirkan akan menimbulkan syahwat bagi orang lain yang melihatnya. Hal inilah yang menyebabkan jilbab mengesampingkan tujuan sebagai perhiasan. Muslimah masih memiliki ketakutan untuk menyempurnakan jilbab yang dipakai sesuai ketentuan Islam. Ketakutan tersebut antara lain terkait masalah pekerjaan di masa datang. Menurut muslimah, hingga saat ini masih banyak instansi baik instansi pemerintah atau swasta yang belum menerima jilbab sebagai pakaian kerja secara baik. Stigma negatif jilbab yang menghambat kerja belum sepenuhnya hilang. Ketakutan lain adalah kondisi lingkungan teman yang belum mendukung muslimah untuk memakai jilbab besar. Kemudian tren jilbab yang lebih menampilkan model jilbab funky. Muslimah mengaku banyak keterbatasan dengan memakai jilbab, apalagi dengan jilbab besar. Banyak muslimah setelah memakai jilbab tidak dapat lagi menyalurkan hobinya seperti bermain musik, ikut kegiatan pencinta alam, berenang. Muslimah harus membeli baju baru khusus pakaian jilbab. Muslimah juga merasa terbatasi mengenai waktu dan tempat yang dapat dikunjungi. Setelah berjilbab, muslimah merasa risih jika keluar sampai larut malam. Bahkan muslimah juga mengalami kesulitan saat mencari tempat magang untuk tugas studinya. Hal ini terkait bidang public relation yang

menjadi bagian penting dalam berhubungan dengan klien atau konsumen, dan jilbab dianggap kurang menarik untuk memperlihatkan kesan cantik.
B.

Membentuk Identitas Islami Muslimah Dalam Trend Jilbab Kemunculan tren pakaian jilbab mempunyai dampak besar terhadap

citra jilbab di mata muslimah. Tren pakaian jilbab hadir dengan beragam model, corak, dan gaya yang dinamis serta fleksibel. Muslimah merasa senang dengan dengan hadirnya tren jilbab. Hal ini karena jilbab semakin bervariasi sehingga tampilannya lebih menarik dan enak dilihat. Tren menjadikan muslimah tidak cepat bosan memakai pakaian jilbab karena dapat berganti-ganti model atau corak sesuai keinginannya. Mode atau tren dapat diartikan sebagai suatu perubahan dalam gaya berpakaian yang terus menerus. Pendapat lain mengatakan bahwa mode merupakan gaya tertentu yang berlaku dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Dalam dunia mode, pergantian atau perubahan mode itu berlangsung cepat, sehingga suatu ragam motif pakaian tidak akan memiliki daya tarik kekal dan harus disesuaikan dengan perkembangan masa. Perubahan mode ini juga menyesuaikan kondisi masyarakat dan permintaan pasar yang sedang berkembang. Perubahan mode dapat disebabkan karena adanya pengaruh politik, sosial, ekonomi, dan psikologi masyarakat.67 Kemunculan tren jilbab seolah menjadi alternatif dari tren pakaian yang umumnya bersifat terbuka. Sifat ketertutupan jilbab memberikan citra tersendiri di mata muslimah, sehingga banyak muslimah yang kini menggunakan jilbab
67

Vina Hamidah. Jilbab Gaul (Berjilbab Tapi Telanjang). Jakarta: Al-Ihsan Media Utama. 2008 hlm 30

untuk pakaian sehari-hari. Subandy Ibrahim berpendapat bahwa hampir semua perempuan yang memakai pakaian jilbab merasa yakin bahwa dirinya adalah muslimah yang lebih baik dari sebelumnya, walaupun secara esensi tidak berarti mereka selalu lebih saleh dari perempuan yang tidak berjilbab.68 Pemakaian jilbab jelas memberikan satu nilai plus, dimana citra religius dapat langsung melekat tanpa meninggalkan pernakpernik asesoris dan make up untuk berias diri. Label islami pada jilbab menjadi sarana untuk melegitimasi berbagai produk pakaian agar diterima masyarakat dengan baik. Selain itu, label islami diharapkan mampu mendorong minat masyarakat Indonesia yang sebagian berlatar belakang Islam untuk mengenakan jilbab. Penambahan label modern semakin menguatkan bahwa tren fesyen jilbab dapat merepresentasikan nilainilai spiritual dan material muslimah. Tapi dalam perkembangannya, tren jilbab mengundang pro dan kontra karena banyak memperkenalkan bentuk pakaian jilbab yang kurang lazim dipakai seorang muslimah, yaitu jilbab yang dililitkan ke leher, selanjutnya dipadukan dengan blus ketat, celana jins ketat sehingga sering menampilkan lekuk-lekuk tubuh yang indah. Secara umum, pilihan seseorang atas pakaian memang dapat mencerminkan kepribadiannya, apakah dia orang yang konservatif, religius, modern, dinamis, atau berjiwa muda. Pakaian sudah seperti rumah, kendaraan, dan perhiasan yang digunakan untuk memproyeksikan citra tertentu yang diinginkan pemakainya. Sebagaimana peribahasa, pakaian menjadikan orang.69 Artinya orang akan dipandang dan diperlakukan baik atau buruk,
68 69

Idi Subandy Ibrahim. Op. Cit. hlm 249 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar). Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005 hlm 347

tinggi atau rendah berdasarkan apa yang dipakai orang tersebut. Setidaknya hal ini terlihat pada kesan pertama atau awal proses interaksi. Jalaludin Rakhmat menggambarkan bahwa pakaian tertentu

berhubungan dengan perilaku tertentu. Umumnya, pakaian kita pergunakan untuk menyampaikan identitas kita, untuk mengungkapkan kepada orang lain siapa diri kita. Menyampaikan identitas berarti menunjukan kepada orang lain bagaimana sepatutnya memperlakukan kita. Selain itu, pakaian juga digunakan untuk menyampaikan perasaan, status, peranan, dan menunjukan situasi yang sedang dihadapi.70 Fenomena di atas tidak lepas dari persepsi muslimah tentang pentingnya penampilan dalam pembentukan citra dalam kehidupan sehari-hari. Penampilan merupakan faktor penting bagi semua orang tak terkecuali muslimah dalam membentuk kesan di mata orang lain. Menurut muslimah penampilan merupakan cerminan dari diri sendiri. Bentuk penampilan dapat menunjukan bagaimana kebiasaan dan karakter seseorang. Orang lain menilai kita tergantung dari cara dan bentuk penampilan kita. Penampilan yang menarik akan mendorong orang lain nyaman berhubungan dengan kita. Hal ini karena, kesan pertama diperoleh dari penampilan. Penilaian yang positif akan membuat orang lain senang berkomunikasi dengan kita. Bila penilaiannya negatif maka orang cenderung menghindar. Muslimah memandang penampilan sebagai modal untuk lebih percaya diri. Orang lain tidak akan risih apabila penampilan kita baik dan muslimah juga
70

Jalaludin Rakhmat. Kritik Paradigma Pasca Positivisme Terhadap Positivisme, Jurnal ISKI Vol.3/April, Bandung Rosda Karya. Dalam jurnal MediaTor. Konstruksi jilbab sebagai symbol keislaman. Vol.8/Desember 2007. hlm 237

merasa lebih nyaman. Pentingnya penampilan bagi eksistensi muslimah mendorong mereka untuk memperhatikan bentuk pakaian yang harus dikenakan. Barnard mengungkapkan, selain identitas pakaian dapat

mengomunikasikan status, hierarki, jender, nilai simbolik pemakainya dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu.71 Seperti halnya Ulfi, jilbab baginya merupakan bentuk ekspresi dari karakternya yang terkesan cuek dan praktis. Hal ini ditunjukan dengan seringnya Ulfi memakai t-shirt lengan panjang atau jaket dan jins sebagai pakaian jilbabnya. Dalam ungkapan Chaney, penampakan luar menjadi salah satu situs penting bagi gaya hidup.72 Halhal permukaan akan menjadi lebih penting dari pada substansi. Gaya dan desain menjadi lebih penting dari fungsi. Tampilan luar menggantikan substansi.73 Gaya hidup adalah istilah secara menyeluruh yang meliputi cita rasa seseorang di dalam fashion, modil, hiburan dan rekreasi, bacaan, dan hal lainnya. Gaya hidup digunakan untuk mengambarkan bagaimana orang berpakaian.74 Melengkapi perspektif di atas, terdapat dua poin lanjutan yang tersirat. Pertama, bahwa penampilan dari apa yang terlihat menjadi sangat penting karena merupakan sumber utama makna. Kedua, menyadari atas arti pentingnya penampilan, lantas para anggota budaya modern menghadirkan kepentingan yang besar untuk memantau penampilan diri mereka sendiri dan juga orang lain yang dapat mereka kontrol.75
71 72

Barnard, Op. Cit Chaney: Op. Cit hlm 138-139 73 Ibid. 74 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006 hlm 167 75 Chaney: Op. Cit hlm 170

Dalam memakai jilbab, muslimah memilih model jilbab sesuai tren fesyen. Para muslimah ingin menunjukan bahwa dengan jilbabnya, mereka juga dapat tampil menarik sesuai perkembangan tren pakaian saat ini. Modelnya dapat berupa jilbab kain segi empat dan model jilbab Bargo. Model tersebut banyak dikreasi muslimah dalam pemakaiannya. Contohnya ada yang dimasukan ke dalam baju, ada yang diurai sampai setengah dada, dan ada yang menutup dada secara penuh. Muslimah saat ini memakai jilbab tidak ingin terlihat kuno. Adanya tren membuat muslimah dapat tampil lebih segar, dinamis, dan berwarna. Pada intinya muslimah saat ini ingin mengikuti anjuran agama tapi tidak terlepas dari tren dan lingkungan tempat muslimah berinteraksi. Identitas digunakan untuk menjelaskan berbagai cara seseorang diposisikan dan sekaligus memposisikan dirinya secara aktif dalam suatu lingkungan masyarakat. Sifat identitas adalah sesaat dan dinamis, selalu mengalami perubahan pada kadar sekecil apapun sesuai dengan perubahan waktu, lingkungan, sejarah dan kebudayaan.76 Hadirnya tren jilbab yang selalu dinamis turut menentukan bentuk identitas yang diinginkan muslimah. Muslimah dapat tampil modis, kasual, feminin, natural secara bergantian seseuai keinginan dan tren yang berkembang. Jilbab yang semula hanya identitas keberagamaan atau religius muslimah kini mempunyai multi identitas. Dalam proses pembentukan identitas, orang bebas mengambil simbol pada suatu benda tanpa perlu terikat pada aturan ataupun konsekuensi dari
76

Artikel Mencari Sebuah Identitas Dalam Budaya Pop. Dari sumber http://parekita.wordpress. com /2007/12/04/55/ Diakses tanggal 4 November 2008 jam 22.48 WIB

simbol yang terdahulu. Kita tahu lambang atau simbol bersifat sembarang atau sewenang-wenang, artinya lambang dapat dimaknai apa saja oleh siapa saja sesuai kesepakatan. Maka dari itu, sebenarnya lambang tidak mempunyai makna tapi kitalah yang memberi makna sehingga tidak ada hubungan alami antara lambang dengan obyek yang ditunjuk (referent).77 Contohnya identitas dibentuk melalui pakaian yang dikenakannya, seseorang akan disangka dan diperlakukan sebagai polisi karena dia menggunakan seragam polisi walaupun sebenarnya dia bukan polisi. Hal yang sama juga dapat terjadi pada muslimah yang memakai jilbab, di mana muslimah akan dipandang sebagai perempuan alim (setidaknya dibandingkan dengan muslimah yang tidak berjilbab) walaupun belum tentu benar. Misalnya, muslimah dapat mengambil jilbab sebagai simbol

keislamannya dan memakai T-shirt serta celana jins sebagai simbol kebebasannya. Kita memang cenderung mempersepsikan dan memperlakukan orang dengan cara berbeda bila ia mengenakan pakaian yang berbeda. Muslimah akan dipandang semakin alim (atau justru dikatakan ekstrim) bila jilbabnya juga semakin sempurna. Artinya jilbab yang dikenakan muslimah dipandang sesuai ajaran Islam. Jilbab memang dapat menunjukan status keislaman muslimah. Sebagian muslimah mengenakan jilbab memang ingin menegaskan identitasnya sebagai orang Islam. Melalui jilbab, muslimah akan lebih mudah dikenal sebagai seorang muslimah di mana pun ia berada tanpa harus mengatakan dia seorang muslimah. Muslimah melalui jilbab yang dikenakan juga ingin menyampaikan
77

Deddy Mulyana. Op Cit. hlm 88

sinyal kontrol kepada orang lain tentang statusnya. Jilbab bagi muslimah digunakan sebagai penghalang bagi orang lain untuk melihat tubuh muslimah yang bukan haknya. Dera merasa lebih aman dari gangguan orang lain karena tidak perlu lagi membuat perisai untuk menghindari orang usil. Sedangkan dari dalam, Dera merasakan ketenangan dan lebih sadar ibadah. Perempuan berjilbab pun mempunyai statusnya sendiri berdasarkan bentuk jilbabnya. diantara semua perempuan berjilbab pun juga mempunyai tingkatan yang dianggap lebih sempurna atau lebih tinggi. Muslimah mengakui bahwa jilbab besar dipandang lebih sempurna dari pada jilbab yang dipakainya kebanyakan muslimah sekarang. Maka dari itu, muslimah memahami jilbab sebagai proses menuju diri yang lebih baik dalam sikap dan perilaku. Titik mengatakan bentuk jilbab menandakan kadar keimanan muslimah atau tahap muslimah dalam berjilbab. Apabila jilbab yang dipakai masih jilbab kecil maka dapat dikatakan masih dalam tahap belajar. Berbeda dengan muslimah yang memakai jilbab besar maka dikatakan pemahaman agamanya sudah kuat. Status pada dasarnya mengarah pada posisi yang dimiliki seseorang di dalam sejumlah kelompok atau organisasi dan prestise melekat pada posisi tersebut. Status akan menunjukan sejauh mana peran yang dapat diambil dan bagaimana ia akan dipandang dan diperlakukan oleh orang lain. Tujuan pemakaian simbol-simbol status ini adalah memproyeksikan citra diri seseorang. Seperti halnya Ayu yang memilih jilbab modis agar dirinya tetap bisa terbuka dan bergaul dengan siapa saja, dan orange lain juga tidak memberi jarak pada dirinya.

Saadah dengan memakai jilbab besar ingin menunjukan sebagai muslimah yang taat agama. Selain itu, dapat melindungi diri dari nafsu ketika ingin melakukan hal buruk. Jilbab akan memberikan rasa malu untuk berbuat negatif. Islam mengajurkan agar muslimah dapat konsekuen dan komitmen dalam berjilbab baik secara fisik maupun secara rohani untuk mencegah dari penyimpangan dan kemerosotan akhlak. Beberapa manfaat apabila muslimah dapat konsekuen dan komitmen dalam memakai jilbab yaitu adanya: 1. 2. 3. 4. Ketenangan jiwa Ketenangan sikap dan pebuatan Terkontrolnya ucapan, sikap, dan perbuatan. Ketidaktakutan menghadapi berbagai ancaman atau

halangan. Hal ini seperti halangan terhadap pekerjaan. 5. Terjaga kesucian, kemuliaan, dan kehormatan. Hal ini karena

orang lain tidak akan memandang muslimah dengan pandangan negatif atau penuh hasrat.
6.

Terangkatnya derajat dan martabat kemanusiaannya. Hal ini

karena orang lain akan lebih menghargai keberadaan muslimah sehingga orang lain akan memperlakukan muslimah dengan cara yang baik.78

78

Ibid hlm 279

Manfaat di atas sangat dipengaruhi oleh pemahaman muslimah mengenai hakikat jilbab. Hakikat jilbab merupakan suatu nilai yang melandasi atau dijadikan sebagai panduan oleh muslimah dalam proses mengenakan jilbabnya. Pemahaman hakikat jilbab dapat berangkat dari bagaimana penafsiran muslimah terhadap jilbab. Sehingga para muslimah dapat menemukan nilai yang terkandung dalam jilbab. Seperti halnya Ayu, dia memahami hakikat jilbab sebagai penutup aurat meskipun dalam menutupinya tidak secara sempurna. Pemahaman seperti ini akan berpengaruh terhadap cara dan pemilihan model jilbab yang dikenakan muslimah. Muslimah merasa sudah menutup aurat walau terkadang ketika memakai jilbab terlihat rambut, tangan atau kakinya. Dalam penelitian ini dapat terlihat bahwa muslimah ingin menjadi bagian dari tren jilbab, tetapi sekaligus ia ingin tampak berbeda dengan model yang dikenakannya dan terutama dari muslimah yang tidak berjilbab. Orang ternyata perlu menjadi bagian dari suatu kelompok atau masyarakat dan menjadi bagian yang terpisah dari kelompok tersebut secara bersamaan. Kedua kebutuhan di atas merupakan kajian pokok Simmel dalam mengkaji fesyen, dan bila salah satu kebutuhan hilang maka tidak ada fesyen dalam masyarakat tersebut. Pandangan Simmel mungkin dapat memberikan gambaran faktorfaktor yang membentuk fesyen. Menurutnya terdapat dua kecenderungan sosial yang penting dalam membentuk fesyen. Pertama, kebutuhan untuk menyatu dan kedua adalah kebutuhan untuk terisolasi. Individu harus memiliki hasrat untuk

menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar seperti kelompok atau masyarakat dan individu harus juga memiliki hasrat untuk menjadi dan dipandang sebagai bagian yang terlepas dari keseluruhan itu.79 Pemahaman Nas dan v.d Sande mengenai gaya hidup menunjukan bahwa individu memilih gaya tertentu berdasarkan pada frame of reference (kerangka acuan) yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku. Dua aspek yang ditekankan di sini adalah bahwa individu berusaha membuat seluruh aspek hidupnya berhubungan dalam suatu pola tertentu, dan mengatur strategi bagaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain. Aspek lain yaitu strategi berkomunikasi, penting karena mencerminkan bahwa pada dasarnya individu memiliki kebebasan untuk mengatur cara hidupnya.80 Dalam implementasi sehari-hari kita dapat melihat muslimah yang memakai jilbab karena temannya juga sudah memakai jilbab. Setidaknya sudah banyak muslimah yang mengenakan jilbab di lingkungannya seperti di lingkungan kampus. Melihat kondisi tersebut, banyak muslimah kemudian ingin mencoba memakai jilbab. Model jilbab yang dipilih juga disesuaikan dengan model yang populer dan banyak dipakai oleh teman atau di lingkungan kampus. Titik mengatakan bahwa muslimah saat ini dalam mengenakan jilbab hanya berdasarkan asumsi. Kondisi lingkungan dan teman yang sudah banyak mengenakan jilbab seolah memberikan legitimasi bahwa jilbab merupakan pakaian yang layak pakai dan diterima oleh semua orang.

79 80

Jalaluddin Rakhmat. Op. Cit. hlm 17 Sobur: Op. Cit hlm 168

BAB V

PENUTUP

A.

Kesimpulan

Jilbab merupakan pakaian yang ditujukan kepada muslimah untuk menutup dan melindungi aurat. Jilbab menjadi kewajiban bagi muslimah yang sudah baligh. Perintah kewajiban muslimah menutup aurat dengan jilbab tertera dalam Al Quran surat Al Ahzab ayat 59 dan surat An Nur ayat 31. Di dalam kedua surat tersebut muslimah diperintahkan untuk menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh dan dilarang menampakan perhiasannya selain yang memang biasa nampak kepada selain muhrimnya. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis temuan penelitian, peneliti memberikan kesimpulan bahwa: 1. Jilbab telah mengalami pendangkalan makna di mana jilbab dimaknai secara sempit sebagai penutup aurat dalam penampilan muslimah. Hal ini ditandai dengan wilayah operasi muslimah yang lebih memperhatikan tampakan luar jilbabnya. Orientasi muslimah kini lebih terfokus pada jibab fisik. Muslimah cenderung memanfaatkan simbol-simbol islami pada jilbab sebelumnya untuk menunjang penampilan mereka. Penampilan bagi muslimah sangat penting untuk membentu kesan islami di mata orang lain. Penampilan juga merupakan modal untuk lebih percaya diri ketika berinteraksi dengan orang lain. Akibatnya, pengembangan jilbab kini lebih kepada fungsi estetika pakaian jilbab. Jilbab diberi nilai-nilai tertentu yang dapat menarik minat muslimah

untuk mengenakan jilbab. Label islami dan modern dalam tren jilbab menjadi sarana untuk melegitimasi bahwa jilbab dapat merepresentasikan nilai-nilai spiritual dan material muslimah. 2. Tujuan orang memakai jilbab saat ini tidak lagi sekedar menunjukan identitas keislamannya tapi jilbab sudah menjadi multi identitas. Muslimah dengan jilbabnya ingin menciptakan kesan positif di mata orang lain seperti muslimah yang santun dan feminin. Muslimah ingin mengekspresikan karakternya bahwa dengan jilbab, mereka tetap bisa tampil modis dan cantik. Mereka juga bisa tampil menarik sesuai perkembangan tren saat ini. Ada juga muslimah yang berjilbab ingin menutupi kekurangannya seperti ingin kulitnya putih. Mulimah tidak ingin terlihat kuno. Singkatnya, muslimah saat ini ingin berjilbab sesuai ketentuan Islam dengan tetap memperhatikan tren yang sedang berkembang. 3. Muslimah dalam mengenakan jilbab mempunyai beragam motif. Alasan mengenakan jilbab tidak hanya karena sebuah kewajiban Islam (motif teogenetis) kepada perempuan muslim. Muslimah mempunyai alasan seperti ingin merubah diri menjadi lebih baik. Alasan yang berasal dari luar muslimah (motif sosiogenetis) seperti sudah kebiasaan dari kecil, perintah orang tua, lingkungan sekolah (pesantren), teman, organisasi dan dapat karena dorongan pacar. Berbagai hal tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi proses berjilbab muslimah. 4. Pemilihan bentuk atau model jilbab yang dikenakan muslimah tidak terlepas dari cara muslimah memaknai jilbabnya. Ada muslimah berjilbab karena ingin menyempurnakan perintah Allah sesuai yang telah ditetapkan di dalam Al

Quran. Kemudian ada yang memaknai sebagai sebuah proses atau tahap untuk menjadi diri yang lebih baik lagi. Jilbab yang mereka kenakan sekarang merupakan tahap awal untuk lebih sempurna lagi dalam menutupnya. 5. Kehadiran tren jilbab telah memunculkan golongan atau kelompok baru. Terkait dengan ketentuan bentuk jilbab, peneliti mengelompokan muslimah dalam dua golongan yaitu golongan yang melaksanakan perintah berjilbab secara ketat dan golongan yang melaksanakan perintah berjilbab secara longgar. Masing-masing golongan menunjukan status dan identitasnya tersendiri. Muslimah kelompok pertama ini sering disebut muslimah berjilbab besar. Muslimah yang melaksanakan perintah berjilbab secara longgar, bentuk jilbabnya lebih bervariasi. Ada muslimah yang memakai jilbab sebatas leher dan sisa di masukan ke dalam baju, ada yang memakai sampai pundak dan menutupi setengah dada. Sebutan untuk kelompok ini bermacam-macam, seperti jilbab modis, jilbab funky, atau jilbab mini. 6. Muslimah senang dengan adanya tren, model jilbab kini menjadi lebih bervariasi, dinamis, dan enak dilihat. Model dan coraknya yang beragam membuat orang tidak cepat bosan melihatnya. Hal ini merupakan simbol kebebasan bagi muslimah dalam memakai jilbab. Muslimah tidak lagi harus terpaku pada satu model jilbab tertentu. Muslimah memandang kehadiran tren telah menghilangkan citra negatif jilbab terdahulu. Muslimah mencoba menyatukan konsep kebebasan dan religius (yang kemudian disebut kebebasan yang islami). Artinya muslimah bebas memilih model, corak atau gaya jilbab tetapi masih dalam koridor batas minimal ketentuan jilbab.

7.

Jilbab kini tidak lagi melambangkan bentuk kesalehan seorang muslimah. Kecenderungan perilaku muslimah berjilbab sama saja dengan muslimah yang tidak mengenakan jilbab. Tidak ada perbedaan mendasar yang membedakan selain tampilan fisiknya dengan jilbab. Banyak muslimah yang tidak merasa risih melakukan hal-hal negatif seperti menggosip, tertawa terbahak-bahak, sering memperlihatkan auratnya, tidak melaksanakan salat, pacaran dengan pegangan tangan atau merangkul.

8.

Media memiliki peran besar dalam membentuk dan mempengaruhi persepsi muslimah. Media baik elektronik maupun cetak saat ini banyak memberikan ruang yang memuat serba-serbi tren atau pernak-pernik jilbab. Kemampuan media dalam menyebarkan informasi ke khalayak luas menjadi faktor pendorong diterimanya jilbab sebagai gaya berbusana. Dalam era infromasi seperti saat ini, ketergantungan muslimah terhadap media sangat tinggi. Pengetahuan muslimah tentang dunia sangat dipengaruhi oleh informasi dari media. Kebanyakan muslimah hanya mengikuti saja apa yang disajikan media. Media sebagai sarana informasi seringkali menjadi penentu mana model atau gaya jilbab yang cocok untuk muslimah.

B.

Rekomendasi

Pengaruh tren jilbab terhadap proses berjilbab muslimah nampaknya tidak bisa dihindari lagi. Cara berjilbab muslimah kini lebih banyak ditentukan oleh tren dan semakin jauh dari konsepsi jilbab yang kafah. Di harapkan muslimah dapat lebih bijak dalam menyikapi perkembangan tren jilbab. Tidak semua tren jilbab

sesuai dengan kaidah yang ditentukan oleh Islam. Akibatnya, mengikuti tren tanpa adanya filter atau kontrol diri sangat riskan adanya penyimpangan makna. Maka dari itu, seorang muslimah yang telah mengenakan jilbab, ia dituntut untuk memaknai, memahami, dan berkomitmen terhadap nilai-nilai yang ada di balik jilbab. Muslimah harus konsekuen terhadap cara pemakaiannya atau yang biasa disebut sebagai jilbab materi atau jilbab fisik. Muslimah juga harus dapat menunjukan sikap, ucapan, dan perbuatan yang memang dibangun dari falsafah Islam atau disebut sebagai jilbab rohani atau jilbab hati. Hal ini karena muslimah dengan jilbabnya membawa nama baik agama, sehingga baik buruknya agama, salah satunya terletak pada bagaimana ucapan, sikap dan perilaku muslimah. Jadi bukan hanya dari penampilan, tapi hati juga harus berjilbab. Hal ini karena Islam memandang jilbab sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara dimensi fisik jilbab dan dimensi rohaninya. Maka dari itu, muslimah perlu menambah pemahaman tentang jilbab dan agama pada umumnya melalui berbagai litelatur. Pemahaman tentang esensi jilbab selain menambah pengetahuan muslimah juga dapat mengokohkan pondasi muslimah dalam mengenakan jilbab. Terutama terkait perilaku muslimah sekarang tidak lagi mencerminkan identitasnya sebagai perempuan islami.

DAFTAR PUSTAKA
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006 Barnard, Malcolm. Fesyen Sebagai Komunikasi (Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, Dan Gender). Penerjemah Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta: Jalasutra. 2006. Chaney, David. Lifestyles (Sebuah Pengantar Komprehensif). Penerjemah Nuraeni. Yogyakarta : Jalasutra. 2003. Dadan Nugraha, Winny Kresnowiati. Komunikasi Antarbudaya (konsep dan Aplikasinya). Jakarta: Jala Permata. 2008. Dadi Ahmadi dan Nova. Konstruksi jilbab sebagai symbol keislaman. MediaTor, Vol.8/Desember 2007. Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar). Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005 Eriyanto. Analisis Framing (Konstruksi, Ideologi, Dan Politik Media). Yogyakarta: LKiS. 2002. Gerungan. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. 2004 Heru Puji Winarso. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2005 Idi Subandy Ibrahim. Budaya Populer Sebagai Komunikasi (Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer). Yogyakarta: Jalasutra. 2007 Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2005. ______ Kritik Paradigma Pasca Positivisme Terhadap Positivisme, Jurnal ISKI Vol.3/April, Bandung Rosda Karya. Dalam jurnal MediaTor. Konstruksi jilbab sebagai symbol keislaman. Vol.8/Desember 2007. hlm 237 Jurnal

Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2001. Majalah manunggal edisi I September/tahun I/2003 dalam rubrik Religi. Kian Funky, Kian Digemari. Moustakas, Clark. Phenomenological Research Methods. SAGE. 1994. Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja (perkembangan peserta didik). Jakarta: Bumi Aksara. 2008. Muhammad Muhyidin. Membedah Lautan Jilbab. Yogyakarta: DIVA press. 2007 Mulhandy Ibn. Haj, Kusumayadi dkk. Enam Puluh Satu Tanya Jawab Tentang Jilbab. Yoyakarta : Semesta. 2006. M. Quraish Shihab. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati. 2004 Nurani Soyomukti. Dari Demontrasi Hingga Seks Bebas (Mahasiswa Di Era Kapitalisme Dan Hedonisme).Yogyakarta: Garasi.2008. Rahmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.2006. Rustam Ibrahim. Jilbab WajibJilbab Tidak WajibSemarang: PRIMAMEDIA PRESS. 2008. Solichul Hadi. Jilbab Funky Tapi Syari. Yogyakarta: Diwan. 2006. S. Djuarsa Sendjaja, dkk. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. 1994. Vina Hamidah. Jilbab Gaul (Berjilbab Tapi Telanjang). Jakarta: Al-Ihsan Media Utama. 2008 Sumber Internet

Ardiningtiyas Pitaloka. Identitas dan Harga Diri Kelompok. http://www.epsikologi.com/sosial/ 071003.htm. Diakses tanggal 4 November 2008 jam 23.29 WIB Asnawi Ihsan. Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam. http://dunia.pelajarIslam.or.id/?p=156. Diakses tanggal 21 Oktober 2008 jam 18.57 WIB. Ishaputra. Jilbab dan Relativitas Nilai (antara dogma dan humanisme). Dalam http://www.formermuslims.com/forum/viewtopic.php?f=3&t=3302. Diakses pada tanggal 21 Oktober 2008 jam 18.32 WIB DP. Budi Susetyo. Krisis Identitas Etnis Cina di Indonesia.

http://www.unika.ac.id/fakultas/ psikologi/artikel/bs-1.pdf diakses tanggal 4 November 2008 jam 23.21 WIB Siti Musdah Mulia. Memahami Jilbab Dalam Islam. http://www.icrp-

online.org/wmprint.php? ArtID=524. Diakses tanggal 21 Oktober 2008 jam 18.58 WIB Fenomenologi Jilbab. http://vitasarasi.multiply.com/reviews/item/25. Diakses

tanggal 21 Oktober 2008 jam 19.16 WIB. Ketika Anak Anda Beranjak Remaja. http://psychemate.blogspot.com/2007/12/ ketika-anak-anda-beranjak-remaja.html. Diakses tanggal 4 November 2008 jam 23.27 WIB Mencari Sebuah Identitas Dalam Budaya Pop. Dari sumber http://parekita. wordpress.com/2007/12/04/55/ Diakses tanggal 4 November 2008 jam 22.48 WIB

You might also like