You are on page 1of 10

1

Musyawarah sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa


Bab I
Pendahuluan
Sengketa merupakan suatu fenomena sosial yang senantiasa ada sejak
mulainya kehidupan manusia. Hal ini disebabkan karena manusia mempunyai
kepentingan, atau keinginan yang tidak seragam[1]. Kompleksitas dan tingginya
persaingan dalam kehidupan modern cenderung semakin meningkatkan potensi
timbulnya sengketa diantara manusia. Dalam hal terjadi sengketa, hukum telah
menyediakan dua jalur, yaitu: jalur litigasi dan jalur non-litigasi yang dapat
digunakan pihak-pihak yang bersengketa untuk mendapatkan keadilan.
Penggunaan salah satu jalur tersebut ditentukan oleh konsep tujuan
penyelesaian sengketa yang tertanam di pikiran pihak-pihak yang bersengketa,
kompleksitas serta tajamnya status sosial yang terdapat dalam masyarakat[2],
dan budaya atau nilai-nilai masyarakat[3].
Di Indonesia, bila terjadi sengketa pada umumnya masyarakat masih banyak
menggunakan jalur pengadilan untuk mendapatkan keadilan. Kondisi ini telah
menyebabkan arus perkara yang mengalir melalui pengadilan melaju dengan
cepat, sehingga terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung, pada bulan
September 2001 saja telah mencapai 16.233 perkara[4], kemudian pada awal
tahun 2005 tunggakan perkara telah meningkat menjadi 21.000 perkara. Akibat
adanya tunggakan perkara tersebut, proses penanganan suatu perkara sampai
mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap di Indonesia rata-rata
membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan ada yang sampai 12 tahun[5]. Bagi
pihak-pihak yang bersengketa lamanya proses mendapatkan keadilan tersebut
jelas tidak menguntungkan, baik dari energi pikiran yang terbuang maupun
banyaknya biaya yang dikeluarkan. Kondisi tersebut ternyata tidak menyurutkan
para pihak yang bersengketa untuk tetap memberikan kepercayaan lembaga
pengadilan untuk menyelesaikan sengketanya.
Kecenderungan masyarakat yang lebih suka menggunakan model penyelesaian
sengketa menang–kalah atau win-lose solution melalui lembaga pengadilan
cukup menarik. Di dalam Masyarakat Indonesia sebenarnya mempunyai nilai
2

yang hidup dalam kehidupan sehari-hari, yaitu musyawarah. Namun demikian


dalam realitas penyelesaian sengketa, masyarakat nampaknya telah kehilangan
penghayatan dan pengamalan pada nilai musyawarah, yang terlihat sekarang ini
justru berkembangnya penyelesaian sengketa dengan kekerasan dan budaya
gugat menggugat (suing society)[6]. Untuk itu dipandang perlu dicarikan jalan
keluar agar budaya musyawarah bisa dikembangkan untuk menyelesaikan
sengketa yang menguntungkan kedua belah pihak atau win-win solution yang
prosesnya lebih cepat dan biaya relatif murah serta tidak menimbulkan rasa
permusuhan pihak-pihak yang bersengketa.

Bab II
Pembahasan
Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution secara Global
Dalam literatur hukum terdapat dua pendekatan yang sering digunakan
untuk menyelesaikan sengketa. Pendekatan pertama, menggunakan model
penyelesaian sengketa melalui Jalur Litigasi. Suatu pendekatan untuk
mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan (the adversary system)[7] dan
menggunakan paksaan (coersion) untuk mengelola sengketa yang timbul dalam
masyarakat serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-
pihak yang bersengketa. Sedangkan pendekatan kedua, menggunakan model
penyelesaian sengketa non-litigasi. Model ini dalam mencapai keadilan lebih
mengutamakan pendekatan ‘konsensus’ dan berusaha mempertemukan
kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan mendapatkan hasil
penyelesaian sengketa ke arah win-win solution.
Keadilan yang dicapai melalui mekanisme penyelesaian sengketa
win-lose solution dinamakan keadilan distributif, sedangkan keadilan yang
diperoleh melalui mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution dinamakan
keadilan komutatif[8].
3

Menurut Marc Galanter[9],


dalam hal menyelesaikan sengketa, masyarakat bisa mendapatkan
keadilan melalui forum resmi yang telah disediakan oleh negara
(pengadilan), maupun forum tidak resmi yang terdapat di masyarakat.
Keadilan yang diperoleh oleh pihak-pihak yang bersengketa melalui
pendistribusian secara eksklusif oleh negara, dalam hal ini pengadilan,
dinamakan ‘sentralisme hukum’ atau ‘paradigma sentralisme hukum’.
Sedangkan keadilan yang didapat oleh pihak-pihak yang bersengketa
melalui forum-forum di luar jalur litigasi dengan mendasarkan pada hukum rakyat
atau hukum pribumi dinamakan desentralisme hukum atau paradigma
desentralisme hukum.
Dalam literatur hukum, penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa
win-win solution biasanya disebut Penyelesaian Sengketa Non-litigasi atau
disebut ADR (Alternative Dispute Resolution)[10] atau Alternatif Penyelesaian
Sengketa[11]. Model yang digunakan di dalam pengadilan disebut Court
Connected ADR[12] / ADR inside the court[13] /Court Dispute Resolution
(CDR)[14] meliputi: Perdamaian di Pengadilan; Pemeriksaan Juri Sumir;
Evaluasi Netral secara Dini (Early Neutral Evaluation); Pencarian Fakta yang
bersifat Netral (Neutral Fact-Finding). Sedangkan model yang digunakan di luar
pengadilan di antaranya meliputi: Negosiasi; Mediasi; Konsiliasi; Persidangan
Mini (Mini Trial), dan Ombudsman atau Ombudsperson
Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi memang bukan merupakan
panacea yang mampu mengatasi semua sengketa, namun demikian dengan
menggunakan jalur ini beberapa keuntungan yang bisa diperoleh [15], yaitu:

1. Untuk mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court


congestion) di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke
pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali
berkepanjangan dan memakan biaya yang tinggi serta sering
memberikan hasil yang kurang memuaskan.
4

2. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum)


atau memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam proses
penyelesaian sengketa.
3. Untuk memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.
4. Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian
sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh
semua pihak. Sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding
dan kasasi.
5. Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah.
6. Bersifat tertutup/rahasia (confidential).
7. Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan
kesepakatan, sehingga hubungan pihak-pihak bersengketa di masa
depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik.
8. Mengurangi merebaknya “permainan kotor” dalam pengadilan.

Keuntungan itulah yang menyebabkan banyak negara seperti (Amerika,,


Jepang, Korea, Australia, Inggris, Hongkong, Singapura, Srilangka, Filipina[16],
dan Negara-negara Arab[17]) sekarang ini telah mendayagunakan mekanisme
penyelesaian sengketa win-win solution untuk menyelesaikan sengketa.
Bahkan sekarang ini keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif
dan efisien telah menjadi salah satu daya tarik utama yang dipromosikan oleh
suatu negara yang hendak mengundang atau menarik investor asing
menanamkan modal.
Jadi dari sistem ekonomi, ideologi, budaya, hukum, struktur sosial serta agama
yang berbeda di setiap Negara dapat muncul paralelisme sikap untuk
menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution, dengan kata
lain penggunaannya mampu menembus sekat perbedaan sistem ekonomi,
ideologi, budaya, hukum, struktur sosial, dan agama.
5

Dalam hal Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi, pemerintah


pada masa lalu tidak mendukung pengembangan budaya musyawarah untuk
menyelesaikan sengketa melalui pranata-pranata adat, tapi justru meniadakan
sarana-sarana yang dipakai masyarakat adat untuk mengimplementasikan
penyelesaian sengketa secara konsensus, dengan melakukan unifikasi lembaga
peradilan secara nasional.

Dalam kaitan ini Satjipto Rahardjo[18] mengemukakan,


“Memang tidak dapat disangkal bahwa musyawarah untuk mufakat itu
merupakan sebagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia.

Namun dalam konteks masyarakat yang semakin terbuka dan individualistis


serta pengorganisasian masyarakat secara modern, maka pranata tersebut
masih membutuhkan penyempurnaan secara kelembagaan serta penghayatan
oleh masyarakat Indonesia sendiri”.

Budaya Musyawarah secara rasional

Dalam masyarakat yang mempunyai budaya gotong royong, tenggang


rasa, musyawarah, dan guyub (gemeinschaft) seperti di Indonesia, keberadaan
mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution, yang mendasarkan pada
konsensus dan musyawarah sebenarnya pernah atau masih berlangsung
dalam praktik-praktik penyelesaian sengketa di masyarakat[31]. Namun
demikian, nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia tersebut di
atas belum dikembangkan secara rasional ilmiah untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa dari yang sederhana sampai sengketa modern yang multikomplek.

Hal ini juga dikemukakan oleh L.M. Friedman[19],


Faktor budaya ikut menentukan perilaku seseorang yang sedang
terlibat suatu sengketa untuk membawa sengketanya pada lembaga
peradilan atau membawa sengketanya melalui jalur non-litigasi.
6

Pendidikan Sebagai Sarana Mengembangkan Budaya Musyawarah

Dalam rangka mengembangkan kepercayaan masyarakat pada


mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution dan menjadikannya
merupakan bagian dari nilai budaya masyarakat Indonesia yang diyakini paling
sesuai bagi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan sengketa, sistem
pendidikan formal dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi harus
mulai memperkenalkan, mengembangkan, mengkomunikasikan keluhuran nilai
budaya musyawarah dan paham perdamaian dalam lingkungan pergaulan
mereka melalui keteladanan dan contoh-contoh kongkrit yang terjadi di
lingkungan pergaulan masyarakat. Dalam sistem pendidikan Jepang misalnya,
terdapat paham fasifisme atau paham perdamaian yang terus menerus dianut
sampai sekarang. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Jepang menjadi orang
yang cinta damai[20]. University of Technology, Sydney, Australia, merupakan
suatu contoh sebuah perguruan tinggi yang telah berhasil mempelopori,
mensosialisasikan penggunaan penyelesaian sengketa non-litigasi pada
masyarakat Australia. Sekarang ini perkembangan alternatif penyelesaian
sengketa tidak kalah dengan negara-negara maju lainnya, padahal ADR di
Australia munculnya belakangan bila dibanding dengan negara-negara lain.
Dalam upaya memasyarakatkan ADR, University of Technology mendirikan
Centre for Dispute Resolution. Selanjutnya dalam rangka pengembangan
profesionalisme, mereka juga telah membuka strata Master of Dispute
Resolution, juga membuka pelatihan atau kursus ADR. Di samping itu sejak
pertengahan tahun 2004, Fakultas Hukum UNS juga telah mendirikan Badan
Mediasi dan Bantuan Hukum, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya
keinginan masyarakat yang ingin menggunakan jalur non-litigasi untuk
menyelesaikan sengketanya[21].
7

Bab III
Penutup

Merubah suatu kepercayaan yang sudah lama dilakukan seseorang atau


masyarakat dalam menyelesaikan sengketa melalui pengadilan beralih melalui
mekanisme win-win solution memang bukan merupakan suatu hal yang mudah.
Untuk itu perlu secara terus menerus disosialisasikan lama dan mahalnya proses
penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, sampai melahirkan suatu
kesadaran atau gerakan dalam masyarakat untuk mencari alternatif
penyelesaian sengketa yang dipandang reliable, efisien, dan tidak menimbulkan
suasana permusuhan. Di samping itu secara terencana melalui lembaga
pendidikan dan media cetak maupun telivisi juga dilakukan usaha-usaha untuk
merangsang dan memotivasi masyarakat agar menggunakan mekanisme
penyelesaian sengketa Non-Litigasi yang mengedepankan win-win solution.
8

Daftar Pustaka

Al-Hejailan, Salah. ‘Mediation as a Means for Amicable Settlement of Disputes in


Arab Countries.” Conference on Mediation. Geneva, 29 Maret 1996.
Alle, Mark A. “Code, Culture, and Custom: Foundation of Civil Case Verdict in a
Nineteent-Century County Court”. Dalam Kathryn Bernhart and Philip C.C.
Huang. Civil Law in Qing and Republican China. California. Stanford University
Press. 1994.
Attali, Jacques. Milenium Ketiga. Terjemahan Eny Nor Hariati. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1999.
Situs Mahkamah Agung – RI, Http://www.ma-ri.go.id/ , 11 Maret 2008.
Auerbach, J.S. Justice Without Law. New York, Oxford : Oxford University Press.
1983.
Black, Henry Campbell. Black ’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern, Sixth
Edition. St. Paul, Minn: West Publising, Co.1990
Galanter, Marc. “Justice in Many Rooms”. Dalam Mauro Cappelletti. Acces to
Justice and The Welfare State. Italy: European University Institute. 1981.
Carbonneau, Thomas E. Alternative Dispute Resolution, Melting the Lances
and Diemounting the Steeds. Chicago: University of Illinois. 1989.
_______. “Keadilan Komutatif, Win-win Solution”, Kompas, 25 November 2000.
Muladi. “Sambutan Menteri Kehakiman pada Seminar Sehari Tentang Court
Connected ADR”. Jakarta: Depkeh R.I. 21 April 1999.
Santosa, Mas Achmad. “Court Connected ADR in Indonesia, Urgensi dan
Prasyarat Pengembangannya.” Makalah dalam Seminar Nasional Court
Connected-ADR. Jakarta: Departemen Kehakiman. 21 April 1999.
Liem Lei Theng, “Mediation in Singapore”, Makalah dalam seminar sehari
tentang Court Connected-ADR yang diselenggarakan oleh Departemen
Kehakiman Republik Indonesia dengan the Asian Foundation, tanggal 21 April
1999.
9

Edwart. “Alternative Dispute Resolution: Panacea or Anathema”. Harv. Law. Rev.


668, 1986.
Marriot, Arthur. “The Role of ADR in the Settlement of Commercial Disputes”.
Asia Pasicif law Review, Vol 1 Summer 1994.
Kemicha, Fathi. ”The Approach to Mediation in the Arab World”. Conference on
Mediation. Geneva, 29 Maret 1996.
Rahardjo, Satjipto. “ Piagam Islah Priok.” Kompas, 12 Maret 2001.
Friedman, Lawrence M. The Legal System. New York: Russell Sage
Foundation. 1975.
Kawashima, Takeyoshi. “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer”.
Dalam A.A.G. Peters dan Koesrini Siswosoebroto. Hukum dan Perkembangan
Sosial. Jakarta: Sinar Harapan. 1988.
______. “Menggagas Kode Etik Mediator”, Makalah Pelatihan Pilihan
Penyelesaian Sengketa di Bidang Lingkungan Hidup, Penyelenggara Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup UNS, Indonesian Centre Environmental Law
(ICEL), dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Surakarta 2-9 Juli 2002.
Sutanto, Limas. “Publik Pelaku Kejahatan.” Kompas, 20 Mei 2000.
10

You might also like