You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam proses belajar mengajar atau belajar terdapat suatu sistem yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan agar apa yang disampaikan dapat diterima oleh para murid-murid. Di indonesia sering terjadi perubahan sistem yang dipakai dalam proses pembelajaran, hal ini dailakukan agar hasil yang didapat dalam kegiatan pembelajaran dapat semaksimal mungkin. Model perencanaan pembelajaran yang ideal yang pernah diterapkan di Indonesia pasti pernah mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan kebutuhan masing-masing individu yang berbeda-beda. Alasan tersebut yang mendasari terjadinya perubahan dalam pengunaan model perencanaan pembelajaran yang diterapkan di indonesia.

B. Rumusan Masalah 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan model perencanaan IDI(Instructional Development Institute)? 2. Jelaskan langkah-langkah dalam penerapan model perencanaan

IDI(Instructional Development Institute)?

C. Tujuan Penulisan 1. Dapat mengetahui pengertian dari model perencanaan IDI (Instructional Development Institute) 2. Dapat mengetahui tentang langkah-langkah dari model perencanaan IDI (Instructional Development Institute)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian IDI (Instructional Development Institute) Terdapat tiga alasan pengembangan model instruksional yang dilakukan dalam teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat untuk dikomunikasikan kepada calon peserta didik dan pihak lainnya. Kedua, sebagai rancangan yang digunakan dalam pengelolaan pembelajaran. Ketiga, model yang sederhana memudahkan untuk dikomunikasikan kepada calon peserta didik serta model yang rinci akan memudahkan dalam pengelolaan dan pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yang generik memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya untuk mengimplementasikan dalam berbagai macam setting. Apabila diklasifikasi modelmodel yang berkembang dapat digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu model mikro yang diantaranya dikembangkan oleh Banathy (1968) dan model makro yang dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yang disebut dengan the Instructional Development Institute (IDI). Model IDI bertujuan untuk membantu sekolah yang memiliki keterbatasan resources, adanya sejumlah guru yang memiliki dedikasi yang kuat dan ingin membantu peserta didik, dan mengharapkan untuk menemukan inovasi sebagai solusi yang efektif untuk memecahkan masalah belajar dan pembelajaran.1 Model ini dikembangkan oleh University Consortium for Instructional Development and Technology (UCIDT) yang terdiri dari University of Sourthern California (USC). International University di San Diego, Michigan State University (MSU), Syracuse University, dan Indiana University. Sejak mulai dikembangkannya, model ini telah dicobakan dengan berhasil di lebih dari 344 institusi pendidikan di Amerika Serikat dan di Negara-negara Asia atau Eropa.2

1 2

http://www.bungsucikal.com/2011/06/model-pembelajaran-intructional.html Drs. Mudhoffir, 1996, Teknologi Instruksional,(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya), hal 46

B. Langkah-langkah Model Perencanaan IDI (Instructional Development Institute) Adapun bagan dari langkah-langkah dari model perencanaan IDI (Instructional Development Istitute) adalah sebagai berikut: Tahap 1 Penentuan (define) Fungsi 1 Identifikasi masalah: Analisis kebutuhan Tentukan prioritas Rumusan masalah Fungsi 2 Analisis setting Audience Kondisi Sumber Fungsi 3 Pengelolahan Tugas Tanggung jawab Jadwal

Tahap II Pengembangan (develop)

Fungsi 4 Indentifikasi objective (TIK) Tujuan akhir Tujuan antara

Fungsi 5 Tentuka metode Belajar mengajar media amateri

Fungsi 6 Buat prototipe Paket pelajaran Instrumen Evaluasi

Tahap III Penilaian (evaluasi)

Fungsi 7 Testing prototipe Uji coba Kumplan data

Fungsi 8 Analisis hasil Tujuan Metode Teknik evaluasi

Fungsi 9 Evaluasi Review Revisi Tentukan selanjutnya

Pengembangan instruksional model IDI, sebagaimana model-model yang lain, menerapkan prinsip-prinsip pendekatan sistem. Istilah sistem adalah suatu konsep yang abstrak.3 Definisi tradisional menyatakan bahwa sistem adalah seperangkat komponen atau unsure-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Ada tiga tahapan besar pendekatan sistem, yaitu penentuan (define), pengembangan (develop), dan evaluasi (evaluate). Ketiga tahapan tersebut dihubungkan dengan umpan balik (feedback) untuk mengadakan revisi. Selanjutnya tiap tahapa tersebut terbagi lagi kedalam tiga fungsi atau langkah, sehingga kita dapati 9 fungsi atau langkah. 4 a. Tahap I : penentuan atau perumusan, dengan fungsinya : 1. Identifikasi masalah (analisis kebutuhan, menentukan prioritas, merumuskan masalah) Identifikasi masalah dimulai dengan need assessment. Seperti kita ketahui, pemdidikan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan individu (anak didik dan keluarganya) dan kebutuhan masyarakat. Pada prinsipnya need assessment berusaah menemukan perbedaan (discrepancy) antara apa yang ada sekarang dan apa yang idealnya diinginkan. Jika digambarkan dalam bentuk bagan dapat dilihat sebagai berikut:

Perbedaan

Keadaan sekarang

(discrepany)

Kedaan ideal

Kebutuhan

Masalah
3 4

Oemar malik, 2002, perencanaan pengajaran berdasarkan pendekatan sistem, (Jakarta, Bumi aksara) hal 1 Drs. Harjanto, 1997, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta, PT. Rineka Cipta) hal 30

Perbedaan atau discrepancy tersebut menyebabkan adanya kebutuhan untuk memperdekat atau, kalau mungkin menghilangkannya. Ini berarti pula tibul masalah. Bila perbedaan dapat ditemukan, tujuan pemecahan masalah dapat kita carikan. Oleh karena kebutuhan yang kita hadapi banyak, maka perlu ditentuan skala prioritasnya. Contoh: a. Analisis kebutuhan : Keadaan ideal : mahasiswa fakultas pertanian semester VIII harus mengetahui berbagai cara memberantas hama wereng dan mampu mempraktekkan berbagai cara tersebut. Keadaan sekarang: mereka belum tahu cara-cara memberantas hama wereng, dan belum mamapu mempraktekkan berbagai cara

memberantas hama wereng. b. Menentukan prioritas: Kebutuhan: mereka perlu mempelajari cara-cara memberantas hama wereng c. Merumuskan masalah: Bagaimana caranya agar mereka dapat mengetahui dan mampu memberantas hama wereng. 2. Analisis setting (audience (karakteristik siswa), kondisi, sumber-sumber yang relevan) a. Karakteristik siswa: kegiatan instruksional hendaknya berorientasi pada siswa. Siswa tidak lagi dipandang sebagai onjek yang bersifat pasif dan dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh pegajar, tetapi sebagai subjek yang masin-masing mempunyai cirri dan karakteristik sendiri-sendiri.

Oleh karena mereka berbeda-beda, maka kegiatan instruksional yang kita sajikan hendaknya kita sesuaikan dengan kekhususan kekhususan tersebut. Informasi tentang siswa yang perlu kita cari dalam mengembangkan program instruksional anatara lain meliputi jumlah, jenis kelamin, latar belakang akademis, latar belakang social-budayaekonomi, gaya belajar, motivasi, dan pengalaman atau pengetahuannya di tingkay atau bidang yang akan dipelajari. b. Kondisi: berbagai hambatan yang mungkin kita jumpai hendaknya diidentifikasikan juga untuk selanjutnya. c. Sumber-sumber yang relevan: kecuali hambatan, sumber-sumber yang tersedia, baik yang bersifat human maupun nonhuman, baik yang sengaja dirancang maupun yang dapat kita manfaatkan, hendaknya diidentifikasikan pula. Termasuk dalam sumber-sumber ini juga ketersediaan biaya. 3. Pengelolaan organisani: (tugas, tanggung jawab, jadwal) Pengelolaan organisasi pada hakikatnya penegmbn instruksional adalah pekerjaan suatu tim.maka pertanyaan penting yang perlu dijawab agar memenuhi ketiga fungsi dalam pengelolaan organisasi adalah a. Tugas: apa yang harus dikerjakan? b. Tanggung jawab: - Siapa atau apa yang akan mengrjakan itu? - Siapa atau apa yang mempunyai kemampuan untuk mengerjakan itu? c. Jadwal: kapan dan dimana harus dikerjakan?5 mempertimbangkan langkah-langkah

Drs. Harjanto, 1997, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta, PT. Rineka Cipta) hal 132-134

b. Tahap II : Pengembangan dengan fungsinya : 1. Identifikasi tujuan (TIU (Tujuan Instruktur Umum), TIK (Tujuan Instruksional Khusus)) Pada tahap ini tujuan instruksional yang hendak dicapai perlu diidentifikasi. Ada dua macam tujuan instruksional, yaitu: TIU (Tujuan Instruktur Umum), atau disebut juga terminal objectives, dan TIK (Tujuan Instruksional Khusus), kadang-kadang disebut behavioral objectives atau enabling objectives. Karena TIK merupakan penjabaran lebih terinci dari TIU, maka bila TIK tercapai, kemungkinan akan tercapainya TIU akan lebih besar. Dengan demikian TIK perlu sekali dalam pengembangan instruksional. Dari segi lain perumusan TIK parlu karena: Membantu mahasiswa dan dosen memahai dengan jelas apa-apa yang diharapakan sebagai hasil suatu kegiatan instruksional. TIK merupakan building blocks dari kuliah yang kita berikan TIK merupakan penanda tingkah laku yang harus diperlihatkan mahasiswa sesuai dengan kegiatan instruksional. Bersama dengan perumusan TIK hendaknya telah dipikirkan (kalau mungkin dibuatkan) instrument evaluasinya. 2. Menentukan metode (belajar, mengajar, media dan materi) Dalam menentukan metode untuk mencapai tujuan-tujuan diatas, pertanyaan pertanyaan yang penting yang perlu dijawab adalah: a. Materi : bagaimanakah urutn isi atau bahan yang akn kita sajikan? Apakah akan kita pakai pendekatan yang bersifat induktif (dari hal-hal yang khusus atau contoh-contoh ke hal yang umum atau generalisasi) ataukan bersifat deduktif (dari hal yang umum kekhusus) b. Belajar, mengajar : bentuk instruksional yang bagaimana yang akan kita pakai? Kegiatan laboratorium, kegiatan di kelas, atau belajar sendiri?

c. Media: teknologi instruksional apa yang kita pilih sesuai dengan karakteristik siswa dan situasi kondisi disini? Apakah kita pakaii ceramah, field trip, diskusi, tugas individual, praktikum, dan sebagainya? 3. Membuat prototipe (paket perkuliahan, instrument evalusai) Pada tahap ini prototype bahan instruksional dikembangkan sesuai dengan TIK yang sudah dirumuskan. Dengan demikian antara TIK dan bahan instruksional harus ada hubungan yng erat (relevan). Pada tahap ini juga instrument evaluasi perlu disusun. Antara TIK dengan bahan evaluasi harus terdapat kaitan yang erat karenaevaluasi bertujuan utnuk mengetahui apakah TIK telah tercapai atau belum. Pada tahap ini pula, media yang diperlukan tetapi belum ada, harus dibuatkan propotipenya.6

c. Tahap III: Penilaiannya, dengan fungsinya: 1. Testing propotipe (uji coba, kumpulkan data) Setelah propotipe-propotipe program instruksional tersebut selesai kita susun, harus diujicobakan. Uji coba ini bisa dilakukan pada sample audience, mungkin pada teman-teman kita sendiri. Tujuan uji coba ini adalah untuk mengumpulkan data tentang kebaikan atau kelemahan dan efisinsi atau keefektifan program yang kita susun. 2. Analisis hasil (tujuan, metode, teknik evaluasi) Hasil uji coba perlu dianalisis. Tiga hal yang perlu disoroti: a. Tujuan : apakah tujuan yang dapat tercapai? bila tidak, dimanakah kesalahannya? Sudah tepatkah perumusannya? b. Metode: apakah metode atau teknik yang dipakai sudah cocok untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut mengingat karakteristik siswa seperti yang telah diidentifikasi?
6

Drs. Mudhoffir, 1996, Teknologi Instruksional,(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya), hal hal 49 - 50

c. Teknik evaluasi: apakah tidak ada kesalahan dalam pembuatan instrument evaluasi? Apakah sudah dievaluasi hal-hal yang seharusnya perlu dievaluasi?7 3. Implementasi (review, revisi, tindak lanjut)8

C. Kelebihan dari IDI (Instructional Development Institute) Model IDI ini memiliki keberhasilan yang sangat optimal dalam memecahkan pembelajaran peserta didik, dan para ahli mengakui bahwa model pembelajaran ini sebagai hasil rekayasa pembelajaran. Selain itu dalam perencanaan pembelajaran ini pelajar dituntut untuk dapat berinovasi untuk menciptakan sesuatu yang baru dan dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga dapat terpecahkannya suatu masalah yang timbul dimasyarakat.

D. Kekurangan dari IDI (Instructional Development Institute) Model perencanaan pembelajaran ini banyak diterapkan pada institute. Maka jika model ini diterapkan di sekolah-sekolah dasar atau menengah atas kurang cocok karena pada perencanaan model belajar ini banyak mendidik pelajarnya untuk menemukan sendiri masalah dan menutut peserta didiknya untuk berinovasi sendiri dalam pembleajaran.

7 8

Drs. Harjanto, 1997, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta, PT. Rineka Cipta) hal 135-136 Drs. Slameto, 1991, Proses Belajar Mengajar dalam Sistem Kredit Semester (SKS), (Jakarta. Bumi Aksara) hal 43

BAB III PENUTUP

A. Simpulan Model IDI dikembangkan oleh University Consortium for Instructional Development and Technology (UCIDT) yang terdiri dari University of Sourthern California (USC). International University di San Diego, Michigan State University (MSU), Syracuse University, dan Indiana University. Sejak mulai dikembangkannya, model ini telah dicobakan dengan berhasil di lebih dari 344 institusi pendidikan di Amerika Serikat dan di Negara-negara Asia atau Eropa. Model IDI ini memiliki keberhasilan yang sangat optimal dalam memecahkan pembelajaran peserta didik, dan para ahli mengakui bahwa model pembelajaran ini sebagai hasil rekayasa pembelajaran yang sangat matang. Langkah-langkah dari model perencanaan IDI ada tiga yaitu: 1. Kegiatan penentuan masalah dan pengorganisasian alat untuk memecahkan masalah, meliputi kegiatan: analisis kebutuhan mahasiswa, identifikasi karakteristik mahasiswa 2. Kegiatan analisis dan pengembangan pemecahan masalah, meliputi kegiatan: perumusan tujuan instruksional, analisis tugas dan jenjang belajar, strategi instruksional, pemilihan media dan pengembangan prototipe 3. Kegiatan evaluasi pemecahan masalah, meliputi kegiatan: uji coba, review dan revisi, implementasi, serta evaluasi.

10

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Harjanto. 1997. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta http://www.bungsucikal.com/2011/06/model-pembelajaran-intructional.html Malik, Oemar. 2002. Perecanaan Pengajaran berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara Drs. Mudhofir, M. Sc. 1996. Teknologi Instruksional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Drs. Slamaeto. 1991. Proses Belajar Mengajar dalam Sistem Kredit Semester (SKS). Jakarta: Bumi Aksara

11

You might also like