You are on page 1of 5

Hasil Penelitian Tahun 2000

Aksesbilitas Usaha Kecil Di Pedesaan Terhadap Lembaga Keuangan Bukan


Bank: Studi Kasus Perum Pegadaian.

Rekomendasi

1. Perum Pegadaian dalam jangka pendek perlu membenahi dan


memperkuat data base dengan meminta nasabah untuk mengisi formulir
permohonan kredit dengan benar dan kemudian direkam dalam
komputer oleh staf khusus yang menangani pengolahan data. Hal ini
dimaksudkan agar Perum Pegadaian dapat menunjukkan kepada
pemerintah bahwa kegiatan chanelling dapat dilakukan lebih baik
melalui instansi Pegadaian sehingga potensi Perum Pegadaian sebagai
lembaga Micro Financing bisa terealisir dalam waktu dekat.

2. Perum Pegadaian harus memperhatikan pencapaian surplus merupakan


efisiensi dari penggunaan input (SDM dan modal kerja) yang digunakan
sebagai pendukung dalam pengukuran IPC. Pengukuran efisiensi
berguna sebagai acuan Perum Pegadaian untuk mengoptimalkan
SDM maupun modal kerja pada setiap Kanda / Kanca.

3. Perum Pegadaian perlu mengkaji ulang tentang keberadaan UTE di


setiap kanca berdasarkan prospeknya di masa mendatang. Kaji ulang
yang dapat dilakukan dengan melihat efektivitas tenaga kerja terhadap
omzet serta persediaan emas di masing-masing UTE. Apabila hasil
kajian menyatakan tingkat efektivitas relatif rendah maka keberadaan
UTE tersebut perlu direlokasi mendekati pasar bahkan dapat dilikuidasi.
Sebaliknya, apabila tingkat efektivitas relatif tinggi maka keberadaan
UTE perlu diupayakan sebagai unit usaha mandiri yang dapat memperoleh
keuntungan (profit center).

Permasalahan Perum Pegadaian

1. Perum Pegadaian cenderung memprioritaskan “Bisnis Oriented” untuk


mendapatkan “surplus” daripada “Programme Oriented” yang
cenderung “defisit”. Prioritas tersebut terlihat dari usaha yang telah
ditempuh dalam mendiversifikasikan produk, misalnya pengembangan
Unit Toko Emas (UTE), Penjualan Koin Emas ONH, Jasa Titipan, Jasa
Penilaian dan Jasa Sertifikasi.

2. Kecenderungan tersebut disebabkan oleh adanya kenaikan biaya modal


(cost of capital) sebagai dampak dari meningkatnya “debt to equity ratio”
dari sebesar 0,9 tahun 1995 menjadi 2,0 tahun 2001. Ratio ini
memberikan arti bahwa peningkatan sumber dana dari pemerintah
relatif kecil dibandingkan dengan peningkatan sumber dana dari
1
utang yang berasal dari pinjaman komersial, misalnya dari perbankan
dan penerbitan obligasi dengan tingkat bunga yang relatif tinggi.

3. Kecenderungan tersebut juga berdampak pada penurunan jumlah


nasabah golongan A antara tahun 1995 – 1999 baik dipandang secara
besarnya nilai pinjaman yang turun sebesar 8,79% maupun jumlah
barang jaminan turun sebesar 38,12%. Sedangkan pada periode yang
sama, terjadi pula peningkatan nasabah golongan D rata-rata diatas
300% baik dari sisi nilai pinjaman maupun total barang jaminan.

4. Dampak yang timbul selanjutnya adalah kurangnya keberpihakan


Perum Pegadaian untuk membantu masyarakat golongan menengah
kebawah dalam rangka mendapatkan pinjaman dengan dasar hukum
gadai, artinya aksesibilitas terhadap pinjaman dana murah semakin
sulit didapat. Akibatnya, pengembangan ekonomi kerakyatan semakin
jauh dari kenyataan.

Prospek Peran Perum Pegadaian

1. Peran Perum Pegadaian dapat dilihat sebagai institusi keuangan yang


mampu meningkatkan pengembalian kredit melalui dasar hukum
gadai. Dengan demikian, Perum Pegadaian telah berpengalaman dalam
penyaluran kredit (chanelling) ke semua lapisan masyarakat dengan
tingkat risiko kredit macet (bad debt) yang relatif rendah. Potensi ini
perlu dimunculkan sampai ke tingkat nasional bahwa dengan melalui
dasar hukum gadai dapat dilakukan penyaluran kredit program dan
juga mendorong law enforcement untuk membayar cicilan pokok dan
bunganya.

2. Untuk mendukung peran tersebut maka selayaknya pemerintah


membantu Perum Pegadaian dalam rangka menurunkan biaya
modalnya dengan menambah modal melalui Penyertaan Modal
Pemerintah (PMP) atau melalui penerusan pinjaman dengan tingkat
bunga yang relatif rendah.

3. Gambaran mekanisme pelaksanaan kredit program dapat dilihat dalam


UU Nomor 23 tentang Bank Indonesia terutama pada penjelasan atas
Pasal 74 Ayat 1, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia tidak dapat
lagi menyalurkan dana KLBI untuk kredit program. Untuk itu,
Departemen Keuangan mengeluarkan keputusan Nomor
487/KMK.017/ 1999 tentang penunjukkan BUMN untuk mengelola 16
skim kredit program eks. KLBI, antara lain : a) BRI, b) BTN, dan c) PT.
Permodalan Nasional Madani (PNM).

4. Pada sisi lain, terdapat keengganan dari perbankan untuk menyalurkan


dana bagi kredit program. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya
2
pengawasan penggunaan kredit yang tercermin dari tingginya tingkat
tunggakan kredit rata-rata 74,4% untuk kredit usaha tani (KUT) TP
1999/2000. Hal ini merupakan peluang bagi Perum Pegadaian untuk
membuktikan bahwa institusi ini telah berpengalaman, mempunyai
banyak nasabah, dan mampu menyalurkan kredit kepada seluruh
lapisan masyarakat serta dapat mengurangi tunggakan kredit.
Diharapkan nantinya, pemerintah tidak ragu-ragu menunjuk Perum
Pegadaian sebagai salah satu BUMN yang dapat menjadi pelaksana
bahkan koordinator dalam penyaluran dan penagihan kredit program.

5. Penunjukkan Perum Pegadaian tersebut sangat logis serta beralasan,


karena Perum Pegadaian merupakan BUMN yang sehat dengan
kemampuan menyalurkan kredit ke semua lapisan masyarakat dengan
tingkat risiko relatif rendah sehingga potensi Perum Pegadaian sebagai
lembaga Micro Financing bisa terealisir dalam waktu dekat.

Kinerja Kanda Perum Pegadaian

1. Kecenderungan Perum Pegadaian pada “bisnis oriented” dapat terlihat


pada Kanda Jakarta yang diindikasi dari prosentase total uang pinjaman
(UP) seluruh Indonesia sebesar 20% dan untuk prosentase total barang
jaminan sebesar 11% tahun 2000. Tendensi yang sama juga terlihat pada
Kanda Surabaya dan Semarang, meskipun tidak sebesar prosentase
pada Kanda Jakarta.

2. Namun, kecenderungan pada “programme oriented” masih terlihat pada


Kanda Bandung, Malang, Jember, Jogjakarta dan Surakarta yang
ditandai dengan prosentase total barang jaminan lebih besar daripada
total uang pinjaman.

3. Dua hal tersebut memberikan gambaran bahwa keberadaan/lokasi


Kanda maupun Kanca Perum Pegadaian berpengaruh kuat dalam
perolehan surplus maupun defisit usaha. Tidak hanya hal itu, daerah
perdagangan seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang cenderung lebih
mudah mencapai kondisi “surplus”, daripada daerah-daerah pertanian
seperti Jogjakarta dan Surakarta. Dengan kata lain, daerah-daerah
pertanian cenderung “kurang surplus”.

Faktor-faktor Yang Berpengaruh Pada Kinerja Kelembagaan

1. Faktor lokasi (daerah urban dan rural) sangat berpengaruh kuat pada kinerja
kelembagaan. Hasil penelitian menunjukkan daerah urban mempunyai
tendensi lebih mudah mencapai surplus yaitu rata-rata Rp 1,7 milyar,
relatif lebih tinggi daripada daerah rural yang hanya mampu mencapai
surplus Rp 507,8 juta. Selain itu, daerah urban lebih mampu
meningkatkan omzet dan jumlah nasabah daripada daerah rural.

3
2. Faktor eksternal yang meliputi jenis komoditi dan perilaku masyarakat
setempat juga ikut berpengaruh kuat pada kinerja kelembagaan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Kanca Pamekasan lebih mudah
mencapai surplus sebesar Rp 460 juta daripada Kanca Purworejo
dengan nilai surplus sebesar Rp 7,3 juta. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan komoditi pertanian terutama tembakau serta perilaku
masyarakat Madura yang lebih menyukai emas perhiasan (daerah
Pamekasan).

3. Faktor lain adalah tidak selalu ada hubungan (korelasi) antara Indeks Prestasi
Cabang (IPC) dengan surplus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di
daerah rural tidak ada hubungan antara IPC dengan surplus. Namun, di
daerah urban menunjukkan hubungan yang positif antara IPC dengan
surplus. Hasil analisis DEA menunjukkan bahwa pencapaian surplus
merupakan output dari efisiensi penggunaan input (SDM dan modal
kerja) yang dapat digunakan sebagai pendukung dalam pengukuran
IPC. Pengukuran efisiensi berguna sebagai acuan Perum Pegadaian
yang akan mengoptimalkan SDM maupun modal kerja pada setiap
Kanda / Kanca.

Karakteristik Nasabah Perum Pegadaian

1. Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada


nasabah, maka Perum Pegadaian perlu mengetahui karakteristik
nasabah agar intensitas pinjaman dapat ditingkatkan sekaligus sebagai
sarana informasi kepada pemerintah mengenai peranan Perum
Pegadaian dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan. Selain itu, data
nasabah tersebut sangat bermanfaat dalam membantu pemerintah
menetapkan target / sasaran program yang tepat, misalnya program JPS
dan Kredit Program.

2. Menurut kelompok umur, nasabah yang dominan adalah umur 31 – 51


tahun (usia produktif) merupakan nasabah aktif sebesar 56% dari total
responden. Menurut jenis kelaminnya, nasabah yang dominan adalah
wanita sebesar 60% dari total responden. Menurut tujuan
peminjamannya yang paling banyak untuk kebutuhan konsumsi sebesar
31%, untuk kebutuhan produksi sebesar 29% (biasanya untuk
membayar upah / gaji), untuk kebutuhan biaya pendidikan anak
sebesar 19%, dan selebihnya 21% untuk kebutuhan membayar utang
dan kebutuhan lain-lain.

F. Potensi Tabungan Emas

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel penghasilan responden


memberikan respon yang negatif terhadap rencana pengembangan
produk tabungan emas, artinya bagi responden masih belum tertarik
dengan sistem tabungan emas karena emas yang dibeli / dimiliki
4
responden kebanyakan dalam bentuk perhiasan. Hal ini sejalan dengan
variabel pembelian emas itu sendiri yang menyatakan bahwa responden
yang suka membeli emas juga kurang tertarik dengan rencana produk
tabungan emas.

2. Untuk itu, Perum Pegadaian sebaiknya menunda dahulu peluncuran


produk tabungan emas. Namun, justru memperkuat produk yang
sudah ada seperti emas ONH karena responden menginginkan
pembelian emas ONH bukan cuma koin saja tetapi bisa mengirimnya
naik haji seperti yang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya
(perbankan).

Potensi Unit Toko Emas (UTE) Galeri 24

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan nasabah tentang


keberadaan UTE masih relatif seimbang yaitu 56% dari total responden
dan selebihnya sebesar 44% menyatakan tidak mengetahui keberadaan
UTE di Kanca Perum Pegadaian. Hal ini memberikan indikasi bahwa
kegiatan promosi yang dilakukan baik oleh Kanca maupun UTE sendiri
adalah kurang gencar, kecuali pada Kanca Jember yang sangat gencar
melakukan promosi karena Kanca tersebut concern terhadap
perkembangan UTE.

2. Selain itu, gambaran efektivitas per tenaga kerja UTE berdasarkan


omzet tahun 2000 menunjukkan bahwa UTE Pasar Senen mempunyai
efektivitas yang paling tinggi sebesar Rp.1,2 milyar per tahun dan
kemudian UTE Jember dengan efektivitas sebesar Rp.0,6 milyar per
tahun. Sebaliknya, UTE Kebayoran Baru mempunyai efektivitas per
tenaga kerja yang paling rendah sebesar Rp.64 juta per tahun dan
kemudian UTE Tangerang dengan efektivitas hanya Rp.74 juta per
tahun.

You might also like