You are on page 1of 6

Kota Paris adalah salah satu kota terbesar di dunia.

Dihiasi oleh banyak landmark populer yang dianggap estetik dan historis serta citra-citra yang terasosiasi dengannya, Paris menjadi sebuah kota yang menjadi tujuan wisata mancanegara. Hingga kini Paris selalu akrab dengan julukan kota mode, secara mendunia Paris dianggap sebagai kota yang modis. FTV (Fashion TV), sebuah saluran TV kabel yang berkonsentrasi pada dunia fashion menjadikan Paris sebagai salah satu kota yang runway-nya selalu disorot dan ditampilkan setiap saat. Selain dianggap sebagai salah satu sentra fashion dunia, Paris juga akrab dengan citra-citra keromantisannya. Menara Eiffel yang romantis, gang-gang sempit yang misterius, kafe-kafe yang nyaman, french kiss di Paris, dan sebagainya adalah citra-citra yang kerap terasosiasi dengan Paris. Dibalik berbagai keindahan citra Kota Paris, telah dikenal sebuah penyakit yang diasosiasikan dengan Kota Paris, Paris syndrome. Paris syndrome adalah penyakit psikologis yang diderita oleh segelintir turis mancanegara (sejauh ini biasanya berasal dari Jepang) yang telah mengunjungi Paris. Penyakit ini diakibatkan oleh tabrakan antara citra dan realita yang dialami oleh turis, dan berimplikasi pada culture shock serta lebih jauh lagi dapat membuat orang menjadi sakit jiwa. Tabrakan antara citra dan realita yang dimaksud adalah betapa fantasi turis mengenai Paris yang ia dapat dari media ternyata tidak sesuai dengan realita yang kemudian ia alami ketika mengunjungi Paris, ketidaksesuaian ini tarafnya ekstrim, sehingga menggoncang psikologis turis. Saya akan mencoba melihat kasus Paris syndrome sebagai ekses dari globalisasi. Pemikiran Appadurai mengenai mediascape saya jadikan alat analisis utama untuk menganalisa Paris syndrome. Penempatan mediascape sebagai alat analisis utama, berangkat dari argumen saya bahwa Paris syndrome adalah sebuah penyakit psikologis yang disebabkan oleh tabrakan antara citra dan realita. Dalam dunia yang semakin terintegrasi dan terinterkoneksi ini, peran media tentu sangat integral dalam pembentukan citra-citra di dunia. Oleh karena itulah saya berfokus pada sudut pandang media.

...mediascape refer both to the distribution of the electronic capabilities to produce and disseminate information (newspapers, magazines, television stations, film production studios, etc.), which are now available to a growing number of private and public interests throughout the world; and to the images of the world created by these media. These images of the world involve many complicated inflections, depending on their mode (electronic or pre-electronic), their audience (local, national or transnational) and the interests of those who own and control them.1 [Mediascape mengacu pada distribusi dari kapabilitas elektronik untuk memproduksi dan menyebarluaskan informasi (surat kabar, majalah, stasiun televisi, studio produksi film, dan lain-lain), yang sekarang telah banyak tersedia untuk kepentingan publik dan privat; dan juga mengacu pada citra dari dunia yang diciptakan oleh media. Citra-citra dari dunia melibatkan infleksi rumit yang tergantung pada modanya (elektronik atau pre-elektronik), audiensinya (lokal, nasional, atau transnasional), dan kepentingan dari mereka yang memiliki dan mengontrolnya] Kutipan di atas menjelaskan apa yang dimaksud Appadurai ketika sedang membicarakan mengenai mediascape. Mediascape mengacu pada bagaimana aliran informasi terproduksi dan tersebar ke seluruh dunia dengan rapid, terutama lewat kapabilitas teknologi elektronik. Aliran informasi mengenai realita ini kemudian terbentuk dan tereduksi sedemikian rupa tergantung dari moda (yang membentuk), audiens (yang mempersepsikan), dan kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam produksi serta penyebarannya. Citra-citra yang terbangun mengenai Paris pada kognisi tiap-tiap orang, termasuk para calon turis terkonstruksi lewat media. Informasi mengenai hal-hal yang terasosiasi dengan Paris dianggap sebagai realita yang sesungguhnya. Padahal, yang terjadi adalah realita itu telah dikecilkan dalam reartikulasi
1

http://www.intcul.tohoku.ac.jp/~holden/MediatedSociety/Readings/2003_04/Appadurai.html#Media diakses pada 10 Januari 2012

media yang selektif demi kepentingan produksi dan penyebaran informasi tersebut. Misalnya, dengan kepentingan menarik turis-turis yang berorientasi berbelanja demi menjadi modis, media membangun citra-citra Paris yang sangat modis. Foto-foto sesi model profesional yang modis dilakukan di sebuah jalan di Paris, seakan-akan menggambarkan sebuah realita bahwa masyarakat lokal Paris adalah masyarakat yang sangat modis. Bahwa setiap orang di Paris selalu mengikuti trend fashion yang sedang berjalan serta selalu mengkonsumsi label-label fashion terkenal yang mendunia, sehingga Paris adalah tempat yang tepat untuk berbelanja dan menjadi modis. Hal yang kemudian menjadi masalah adalah ketika audiens menerima informasi yang disampaikan oleh media sebagai pengetahuannya akan realita. Appadurai, masih berkaitan dengan mediascape menyatakan bahwa: audiences throughout the world experience the media themselves as a complicated an interconnected repertoire of print, celluloid, electronic screens and billboards. The line between realistic and the fictional landscapes they see blurred, so that further away these audiences are from the direct experience of metropoloitan life, the more likely they are to construct ;imagined worlds s which are chimerical,..2 [audiens di seluruh dunia mengalami media sebagai repertoar dari cetakan, seluloid, layar-layar elektronik, dan baliho yang terinterkoneksi secara kompleks. Batasan di antara lanskap realistis dan fiksi yang mereka lihat menjadi kabur, semakin jauh audiens dari pengalaman kehidupan metropolitan, semakin mungkin mereka mengkonstruksikan; imagined worlds yang tidak masuk akal,] Audiens di seluruh dunia dihujani oleh informasi-informasi yang terus mengalir lewat media. Informasi ini berisi representasi-representasi realita. Dengan dihujaninya audiens dengan representasi realita yang dikecilkan dalam berbagai bentuk media, pengetahuan audiens mengenai apa yang merupakan realita

http://www.intcul.tohoku.ac.jp/~holden/MediatedSociety/Readings/2003_04/Appadurai.html#Media diakses pada 10 Januari 2012

sesungguhnya dan apa yang merupakan fiksi menjadi kabur. Batasan antara realita yang sebenarnya dengan realita yang telah tereduksi dalam bentuk informasi di media menjadi sulit diidentifikasi. Semakin jauh audiens dari realita yang disampaikan oleh media, maka audiens tersebut semakin berpeluang untuk mengkonstruksi imagined worlds; sebuah konsep yang saya mengerti sebagai dunia yang terkonstruksi atas pengetahuan pengkonstruksinya akan representasi-representasi realita. Bagi pengkonstruksinya, imagined worlds adalah dunia yang nyata meskipun ia hanya sempat bersentuhan dengan representasi realita dari dunia yang ada di imajinya itu. Dengan demikian, imagined worlds dapat disebutkan sebagai dunia yang tereduksi, dan maka dari itu bukan realita yang sesungguhnya. Paris syndrome disebabkan oleh imagined worlds yang telah terkonstruksi di dalam kognisi para turis. Imagined Paris yang romantis, estetik, dan modis menjadi ekspektasi spesifik bagi para turis yang ingin mengalami Paris secara nyata. Ekspektasi yang didasari reduksi realita itu tentu saja tidak sesuai dengan realita yang sesungguhnya, sehingga ketika turis mengalami Paris secara nyata untuk pertama kalinya, ia akan dihadapkan pada benturan antara citra Paris yang diekspektasikan dengan realita Paris yang sesungguhnya. Banyaknya copet dan acuhnya orang lokal adalah contoh realita yang belum tentu ditampilkan oleh media-media tertentu karena kepentingannya. Tabrakan tersebut kemudian memicu gangguan psikologis, Paris syndrome. Paradoks globalisasi sangat terlihat dalam fenomena Paris syndrome. Dunia yang semakin terinterkoneksi dan terintegrasi ternyata tidak menjamin ketersambungan di antara manusia dengan dunia di sekelilingnya. Paris syndrome adalah contoh fenomena yang disebabkan oleh terputusnya manusia dari realita. Aliran informasi yang menghujami manusia tidak membuat manusia semakin memahami dunia sebagai apa adanya, tetapi justru membuat manusia semakin bingung dan mendorongnya untuk mengkonstruksi realita yang tak sepenuhnya nyata.

Daftar Referensi
http://www.expatica.com/fr/news/local_news/paris-sends-japanese-into-suicidal-state-report14987.html (Paris sends Japanese into suicidal state report, AFP) diakses pada 10 Januari 2012. http://www.intcul.tohoku.ac.jp/~holden/MediatedSociety/Readings/2003_04/Appadurai.html#Media (Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy, Arjun Appadurai) diakses pada 10 Januari 2012. http://www.msnbc.msn.com/id/15391010/ns/travel-news/t/paris-syndrome-leaves-tourists-shock/ (Paris Syndrome leaves tourists in shock, Reuters) diakses pada 10 Januari 2012.

UJIAN AKHIR SEMESTER ANTROPOLOGI GLOBALISASI


Dosen: Drs. Iwan Meulia Pirous, MA

Paris Syndrome dalam Perspektif Globalisasi SINDHUNATA


0906526481

Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok 2012

You might also like