You are on page 1of 5

Pesantren Dan Tantangan Era Modern

Oleh SUKRON ABDILAH


M Dawam Rahardjo (1995: 3) mengungkapkan bahwa pesantren adalah
lembaga yang mewujudkan proses wajah perkembangan sistem pendidikan
Nasional. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman an
sich, melainkan menampakkan keaslian (indegeneous) daerah Indonesia; sebab
lembaga yang serupa sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha,
sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.
Pondok pesantren Islam sebetulnya banyak berperan mendidik sebagian
bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang
cenderung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan pesantren acapkali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang
khas Indonesia. Pondok pesantren berkembang pesat dan lebih dikenal
kegiatannya kira-kira sejak tahun 1853 dengan jumlah santri sekitar 16.556 dan
tersebar pada 13 kabupaten di pulau Jawa (Z. Dhofier; 1994).
Dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami peningkatan yang signifikan,
hingga pada tahun 1981 terdaftar hampir sekitar 5.661 pondok pesantren dengan
jumlah santri 938.597 yang diasuh dan dididik pesantren (A. Syamsuddin, 1989).
Dan, sudah dapat dipastikan jika pada tahun 2000-an jumlahnya telah mencapai
ratusan ribu pesantren di seluruh Indonesia dengan puluhan juta santri yang telah
dan sedang dididik oleh pesantren.
Lantas, pertanyaan yang patut diajukan dalam tulisan ini adalah:
bagaimana peta tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga pendidikan warisan
dari perpaduan budaya asli Indonesia dan khazanah keislaman dalam menjawab
tantangan modernitas? Apakah mesti menyesuaikan (ngigeulan) zaman ataukah
sampai pada mengelola tantangan era modern yang cenderung menggusur
manusia pada pemahaman positivistik?
Sebab, sebagai satu-satunya lembaga pendidikan swasta, pesantren
memiliki kekuatan yang teramat dahsyat hasil dari motivasi dari para pendirinya
(founding fathers) untuk mencerdaskan bangsa tanpa mengurusi “tetek bengek”
keuntungan ekonomis. Melainkan menjalankan amanat pendidikan pofetik yang
digariskan oleh ajaran Islam sebagai penghantar terwujudnya manusia yang
memiliki harkat, derajat dan martabat yang sangat urgen untuk dimiliki oleh setiap
manusia di era modern ini. Seperti yang terdapat dalam sebuah pepatah Rasulullah
yang memerintahkan setiap muslim untuk mencari dan mengajarkan ilmu dari
mulai lahir sampai desah nafas tidak lagi terdengar (baca: wafat).
Pesantren dan Santri
Menurut catatan sejarah, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
yang diwariskan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim sekitar abad 16-17 M,
seorang guru “walisongo” yang menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa.
Sedangkan secara kebahahasaan, pesantren berasal dari kata “santri” yang berarti
guru mengaji (bahasa tamil) dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti
tempat tinggal (mondok moe) para santri. Dengan demikian, pesantren merupakan
mesin copy-an yang bertugas mem-print out manusia yang pintar agama (tafaquh
fi al-din) dan mampu menyampaikan keluhungan ajaran Islam serta populer
disebut dengan “santri”.
Sebagai ladang penghasil santri, tentunya pesantren harus menghasilkan
santri (output) yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Output
tersebut selain berimplikasi secara personal, juga berdampak positif secara sosial.
Adapun hasil implikasi tersebut dapat dilihat dari intensitas keuntungan yang
besar yang diproduksi pesantren terhadap lingkungan sekitar, di antaranya berupa
keuntungan pragmatis bagi aspek yang berdimensi budaya, edukatif dan sosial.
Dalam dimensi kultural, kehidupan seorang santri di pesantren ternyata
seringkali dihiasi dengan prinsip hidup yang mencerminkan kesederhanaan dan
kebersamaan melalui aktivitas “mukim”. Kalau saja “abdi negara” ataupun
masyarakat modern mampu melakukan hal seperti mereka, akan muncul
solidaritas sosial terhadap sesama manusia. Lalu, dari aspek edukatif pesantren
juga mampu menghasilkan calon pemimpin agama (religious leader) yang piawai
menaungi kebutuhan praktik keagamaan masyarakat sekitar, hingga aktivitas
kehidupannya mendapat berkah dari Tuhan. Sedangkan dalam aspek sosial,
keberadaan pesantren seakan telah menjadi semacam “community learning
centre” (pusat kegiatan belajar masyarakat) yang berfungsi menuntun masyarakat
hingga memiliki life style agar hidup dalam kesejahteraan.
Namun, kendati secara output tidak selalu sesuai dengan kebutuhan,
setidak-tidaknya secara ideal pendidikan di Pesantren mampu mencetak calon-
calon ahli agama yang siap diterjunkan ke masyarakat. Tidaklah heran jika
pesantren sebagai “laboratorium sosial” banyak membidani kelahiran tokoh-
tokoh yang dihormati serta ikut andil dalam pembangunan bangsa lewat
sumbangsih pemikiran yang brilian.
Misalnya saja, K.H.A.Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H.A.Hasan
(tokoh Persatuan Islam), Hasyim Asy’ari (pendiri NU), H.O.S Tjokroaminoto
(pencetus SI), Muhammad Natsir (bekas Perdana menteri), Dien Syamsuddin,
Abdurrahman Wahid, Nurchalis Madjid dan yang lainnya merupakan aktor
intelektual yang dididik oleh lembaga pendidikan Islam seperti Pesantren.
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa: “ Hendaklah ada di antara kamu
sekalian segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang
beruntung” (Q.S. Ali-Imran, 3 : 104). Artinya, dengan kreasi kultural berupa
pendirian pesantren dalam khazanah Islam Indonesia merupakan misi profetik
untuk mengaplikasikan kebaikan-kebaikan hingga dapat bermanfaat bagi
tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di tubuh dan jiwa umat, bangsa dan warga
masyarakat.
Tantangan Modernisasi
Jika mencari lembaga pendidikan yang asli Indonesia dan berakar kuat
dalam masyarakat, tentu akan menempatkan pesantren di tangga teratas. Namun,
ironisnya lembaga yang dianggap merakyat ini ternyata masih menyisakan
keberbagaian masalah dan diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan
zaman, terutama ketika berhadapan dengan arus modernisasi. Untuk mengubah
image yang agak miring ini tentunya memerlukan proses yang panjang dan usaha
tidak begitu mudah.
Proses modernisasi telah menguatkan subjektivitas individu atas alam
semesta, tradisi, dan agama. Manusia dalam subjektivitas dengan kesadarannya
dan dalam keunikannya telah menjadi titik acuan pengertian terhadap realitas.
Manusia memandang alam, sesama manusia, dan Tuhan mengacu pada dirinya
sendiri. Manusia juga menjadi bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa
campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Modernitas sebagai periode
sejarah yang khas dan superior telah membuat orang percaya bahwa zaman
modern lebih baik, lebih maju, dan memiliki referensi kebenaran lebih banyak
dari zaman sebelumnya. Selain itu, modernitas menciptakan sikap optimisme dan
berbagai kualitas positif tentang masa depan serta kemajuan menjadi tema utama
peradaban sejarah umat manusia (Fahrizal A. Halim, 2002: 19-20).
Dalam tradisi pesantren terdapat kaidah hukum yang menarik untuk
diresapi dan diaplikasikan oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mesti
merespon tantangan dan “kebaharuan” zaman. Kaidah itu berbunyi, “Al-
Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-ashalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”, artinya:
melestarikan nilai-nilai Islam lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang
lebih baik. Hal ini berarti pesantren patut memelihara nilai-nilai tradisi yang baik
sembari mencari nilai-nilai baru yang sesuai dengan konteks zaman agar tercapai
akurasi motodologis dalam mencerahkan peradaban bangsa.
Ulil Abshar Abdalla (2000) mengatakan bahwa jika tradisi besar Islam
yang direproduksi dan diolah kembali, umat Islam akan memeroleh keuntungan
yang besar sekali, di antaranya adalah memiliki “tradisi baru” yang lebih baik.
Pesantren ketika tampil dengan wajah baru akan menimbulkan apa yang disebut
oleh Cak Nur dengan psychological striking force (daya gugah baru).
Untuk itu, tidak layak kiranya jika para pengelola pesantren mengabaikan
arus modernitas sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik – meskipun ada
sebagian yang buruk – kalau pesantren ingin maju untuk mengimbangi perubahan
zaman. Namun, jika tidak mau maju sedikit pun di era yang serba maju ini,
silahkan menutup diri dari nilai-nilai baru dan peliharalah nilai-nilai lama yang
telah ketinggalam zaman (out of date).
Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di
pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan
(modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan
di dunia pesantren. Misalnya, mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga
administrasi, guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek
lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Jika aspek-aspek pendidikan seperti di atas tidak mendapatkan perhatian
yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimal disesuaikan dengan
kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan
mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin
Indonesia) akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan
pendidikan pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih
menjamin kualitas output-nya.
Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi
dan modernitas. Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya
berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas
tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur’an dan al-Hadis
serta kitab-kitab klasiknya, tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama
itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat.
Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan
di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan
anak didik (baca: santri) dapat lebih maksimal, di samping juga perlu
memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di
pesantren.
Dengan tidak meninggalkan ciri khas lokal, pesntren juga mesti merespon
perkembangan zaman dengan cara-cara yang kreatif, inovatif, dan transformatif.
Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan
menciptakan segala produk yang menyibakkan tirai-tirai batas ruang dan waktu
seperti dalam gejala global media infromasi dapat dijawab secara akurat, tuntas
dan tepat. Wallahua’lam
Kepustakaan
1. M. Dawam Rahardjo; Pesantren dan Pembaharuan, PT Pustaka LP3ES,
Jakarta: 1995.
2. Fahrizal A. Halim; Beragama dalam Belenggu Kapitalisme, Penerbit
Indonesia Tera, Magelang, 2002.
3. Karel A Steenbirk; Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1994.
4. Sukron Abdilah; Pesantren, Santri dan Modernitas, Surat Kabar Mingguan
Medikom, edisi 182 Tahun III 3-9 Juli 2006.
5. H.M. Yacub; Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat, Penerbit
Angkasa, Bandung, 1985.
6. Zamakhsyari Dhofier; Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai, LP3ES, Jakarta, 1994.

You might also like