You are on page 1of 3

Komunikasi Politik dan Pers Komunikasi Politik - transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian

sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dan sistem politik merupakan unsur dinamis dari suatu sistem sistem politik; dan proses sosialisasi, partisipasi, dan pengrekrutan tergantung pada komunikasi.1

Pemerintah

Pesan

Media/ Saluran

Rakyat

Respon/ Feedback

Bagan di atas menunjukkan suatu sistem komunikasi yang terdiri dari sumber, pesan, saluran atau media, audiens dan suatu proses yang dikenal dengan umpan balik atau feedback. Dalam suatu komunikasi politik, sumber yang tipikal mungkin adalah seorang calon untuk pemilihan bagi suatu jabatan politik; pesannya akan merupakan serangkaian usul politik; salurannya berupa siaran televisi; pendengarnya adalah anggota kelompok pemilih yang kebetulan memperhatikan siaran; dan umpan baliknya adalah persetujuan-ketidaksetujuan terhadap asal-usulnya. Berbagai unsur suatu sistem komunikasi poltik tidak perlu merupakan bagian struktural dari sistem politik; juga peranan mereka dalam proses tidak usah

berkesinambungan, dan dapat berubah dari satu situasi ke situasi yang lain. Dalam satu situasi seseorang menjadi suatu pesan; dalam situasi yang lain ia adalah pendengar, dan pada peristiwa lainnya ia mungkin adalah saluran. Demikianlah, dalam suatu hal seorang pemegang jabatan politik adalah sumber suatu pesan kepada kumpulan pemilih; tetapi dalam hal reaksi dari pihak pemilih, peranan mereka sebaliknya; sedangkan dalam situasi ketiga,

Rush, Michael & Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.1997.

pemegan jabatan dapat menyampaikan kepada kumplan pemilih suatu pesan yang berasal dari sumber lain. Media massa di Indonesia pasca reformasi merasakan angin segar dalam manner kebebasan untuk memberitakan segala sesuatu hal dengan transparan terutama mengenai kinerja pemerintah. Jaman orde baru, pers disebut sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam memberitakan suatu hal yang dianggap membawa nama pemerintahan Soeharto terlihat baik di mata masyarakat. Sesungguhnya, pers tersebut dibredel dan dikekang oleh pemerintah dengan mengharamkan pemberitaan yang dianggap sebagai kritik kepada pemerintah. Tidak ada kebebasan di dalam tubuh pers pada masa itu. Yang ada hanyalah pendiktean dari pemerintah. Pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-

rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang sinifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yangturut mencengkeramkan kuku-kukunya pada kebebasan pers di masa lalu. Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika Tempo dan Detik dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika kita mencatat bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah. Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui model-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita lihat; pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa atau isu tertentu dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan kesalahan yang dilakukan oleh Pers.

Sentuk lain dari hegemoni negara atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi

informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan.

Kembali ke masa sekarang sekarang, di mana saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pers terlihat sebagai momok yang agak menakutkan. Hal-hal yang dianggap menyandung langkah SBY di dalam menjalankan pemerintahannya diekspos dengan sangat terbuka. Contoh kasus seperti Bailout Bank Century atau penahanan ketua KPK adalah bukti dari kemampuan pers dalam menggali berita kemudian menyampaikannya kepada audiens. Terlihat bagaimana masyarakat dapat beropini mengenai kasus tersebut, berkesimpulan berdasarkan pemberitaan tersebut dan men-judge kinerja SBY di dalam merespon kasus tersebut. Di sini dapat disimpulkan bahwa pers dapat merubah pandangan serta opini publik mengenai pemerintah dikarenakan masyarakat memandang pers sebagai sarana yang dapat dipercaya dan sebagai medium antara pemerintah dan masyarakat. Dapat dikatakan pula bahwa pers adalah sebagai alat kontrol sosial di masyarakat.

You might also like