You are on page 1of 4

Pada sepotong sore, di sebuah terminal bayangan di bilangan Depok, Jawa Barat.

Seseorang bernama Debby sedang sibuk dengan urusannya. Ia sedang menelepon seorang sahabat lamanya. Wajahnya sangat berantusias dan bibirnya terus saja melafalkan cerita-cerita menarik pada sahabat lamanya. Tanpa ia sadari, seorang perampok sedang memerhatikan gerak-geriknya. Debby: Iya, beneran nih elo jadian sama dia? Sejak kapan? (Dengan wajah penasaran dan bertolak pinggang) Apa?! Sejak 2 minggu yang lalu? Ya ampuuun! Masih umur jagung banget yah. (Tatapan mata terbelalak, menutup mulut dengan telapak tangan) Padahal waktu SMA dulu kalian seperti kucing dan tikus lho! Hobinya berantem terus! Seseorang menatap Debby dengan tatapan tak sabar. Orang tersebut melangkah... Melangkah... Dan melangkah mendekati Debby. Langkahnya semakin dekat... Dekat... Dan dekat. Pergerakkannya yang sembunyi-sembunyi dan diam-diam itu tak disadari oleh Debby. Seseorang itu lalu merenggut handphone dari genggaman Debby begitu juga dengan tas yang dibawa olehnya. Debby: Tolong! Tolong! (Mengerucutkan bibir, meletakkan telapak tangan di dekat mulut) Ada rampok! Ada rampok! (Dengan wajah kebingunganan) Sayangnya... Suara Debby tersamar oleh suara kendaraan yang lalu-lalang saat itu. setiap orang juga sibuk pada urusannya masing-masing. Debby yang matanya mulai berlinangan air mata terduduk di bangku terminal. Wajahnya terlihat lesu, ia sangat kebingungan. Dalam suasana menyedihkan itu, seorang polisi melewati Debby yang tengah bersandar pada bangku terminal. Raymond: Adik, ada apa? Mengapa wajahmu terlihat lesu (memegang bahu Debby) Debby: (menatap polisi dengan wajah sedih) saya... saya... saya habis kerampokan, Pak (berbicara dengan terbata-bata) Raymond: (terheran-heran) Kamu kerampokkan? Kok bisa? Debby: (menunduk) Saya tadi sedang menelepon teman lama saya, saking asyiknya saya tidak melihat keadaan sekitar, Pak. Raymond: Kalau begitu itu salahmu dong! (berbicara dengan nada menyalahkan) Debby: Memang salah saya, Pak. (dengan nada menyesal) Raymond: Baguslah kalau kamu sudah menyadari kesalahan kamu. Lain kali jangan diulangi ya! Debby: Iya, terimakasih, Pak. (tersenyum dengan getir) Raymond: Wah, ada Kopaja tuh! Harus ada pungutan untuk bus besar! Saya melanjutkan pekerjaan saya dulu ya! (berjalan meninggalkan Debby) Polisi tersebut acuh tak acuh pada kondisi Debby. Polisi yang seharusnya melayani masyarakat dan membasmi kejahatan malah bersikap acuh tak acuh pada seseorang yang harusnya dilindungi dan

ditolong olehnya. Beberapa menit berikutnya, seorang anak sekolahan melewati Debby. Anak itu terlihat kaya dan berkecukupan. Tasnya terlihat mahal, sepatunya terlihat mahal, begitu juga gadget yang ia gunakan terlihat mahal. Anak itu berjalan melewati Debby yang sedang dirundung kesedihan. Anggi: Kakak, kakak kenapa? (bertanya dengan wajah penasaran) Debby: (menatap Anggi) habis kerampokan, tas dan handphone. (menjawab singkat dan seadanya, wajah masih terlihat lesu) Anggi: Oh, gitu ya, Kak. Emh... aku sebenarnya ingin membantu Kakak, tapi... aduh! (menatap ke arah jam tangan) sebentar lagi aku mau les nih! Aku buru-buru banget! Udah dulu ya, Kak! Lain kali hati-hati! Debby: (menatap sosok Anggi yang segera berlalu dari hadapannya) Bayangkan saja! Ada dua orang yang bahkan tak mau tahu kegetiran yang dialami Debby. Padahal, bukankah sudah seharusnya sesama manusia harus saling tolong-menolong? Bukankah seharusnya sesama manusia harus saling menjadi bahu ketika seseorang di antaranya menangis dalam penderitannya? Bukankah manusia diciptakan untuk saling menguatkan satu sama lain? Tapi... apa yang terjadi? Semua orang tak peduli! Semua orang sibuk pada urusannya sendiri! Mereka tak mau tahu! Debby semakin tenggelam pada kesedihannya. Beberapa menit setelahnya, seorang mahasiswi sederhana melewati sosok Debby yang sedang tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Mahasiswi itu penasaran akan raut wajah Debby yang terlihat sangat sedih. Ia menghampiri Debby yang sedang duduk dengan wajah murung. Anggi: Permisi, boleh duduk di sini? (bertanya dengan wajah ramah) Debby: (menatap pada Anggi) Boleh, silahkan. Anggi: (terdiam beberapa detik) Mukanya kok sedih? Sedang ada masalah ya? Debby: (menatap pada Anggi dan memaksakan senyum di bibir) Enggak ada apa-apa kok. (acuh tak acuh) Anggi: (tersenyum ke arah Debby) Mau tahu sesuatu? Debby: Apa? (bertanya dengan wajah penasaran) Anggi: Mulut manusia bisa berbohong, tapi tatapan matanya enggak bisa berbohong. Debby: (tertunduk dan hening sesaat) (mulai berani membuka suara) Aku tadi kerampokan. Handphone dan tasku juga dirampok. Anggi: (dengan wajah keheranan) Oh, ya? Lalu?

Debby: Aku tidak bisa pulang ke rumah. Anggi: Wah, sabar ya. (memegang bahu Debby) memangnya rumahmu di mana? Debby: Di daerah Depok Dua. Anggi: Wah, kalau gitu arah rumah kita sama. Debby: Oh, ya? Anggi: Iya! Mau pulang bareng aku enggak? Kebetulan angkot kita sama. Debby: ongkosku gimana? Uangku enggak ada. Anggi: enggak usah khawatir, ongkosnya bareng aku aja. Debby: beneran? Aku jadi enggak enak nih sama kamu Anggi: lho, kok enggak enak? Debby: takut merepotkan. Anggi: enggak kok, justru aku yang harusnya enggak enak sama kamu kalau aku tidak membantu kamu. Debby: kamu kok baik banget? (mulai tersenyum dan melupakan kesedihannya) Anggi: baik itu relatif. Bukan mahluk sosial namanya kalau tak saling tolong-menolong dan bahumembahu. Debby: terimakasih banyak ya. Oh iya, namamu siapa? Anggi: anggi. (mengulurkan tangan) kalau namamu? Debby: (turut menyambut uluran tangan Anggi) aku Debby. Anggi: yaudah, langsung pulang aja yuk. Terlalu lama di sini bisa kena polusi. Debby: yuk! Anggi dan Debby: (berjalan meninggalkan bangku terminal) Lihat! Ternyata masih ada orang-orang yang menyadari hukum kasih yang sesungguhnya. Menolong memang tak memandang perbedaan dalam hal apapun. Dengan menolong dan mengasihi sesama manusia adalah wujud dari mengasihi Allah Tuhan kita. Tuhan adalah pencipta

manusia. Dengan mengasihi ciptaanNya sama saja kita mengasihi Penciptanya. Mari mengasihi sesama manusia seperti kamu mengasihi diri sendiri! Raymond: pencuri dan polisi Anggi: anak sekolah dan orang Samaria Debby: yang dirampok Dwita: narator Persoalaan dua peran, peran perampok sengaja tidak dimunculkan dalam percakapan. Jadi, sementara narator bercerita, maka pemain di belakang (Debby dan Raymond) memerankan perannya masing-masing. Konstum Raymond di sini cukup dengan kostum polisi dengan masker dan jaket angkatan kita. Setelah adegan itu, narator akan berbicara dan bercerita panjang lebar sehingga Raymond punya waktu dan kesempatan untuk melepas jaket beserta masker. Persoalan dua peran, peran anggi sebagai anak SMA menggunakan konstum seragam biasa dan menggunakan kacamata. Seusai adegan tersebut, narator kembali berbicara dan bercerita panjang lebar, sehingga anggi bisa berganti konstum menjadi konstum mahasiswa (jaket angkatan dan melepas kaca mata, rambut digerai). Setelah narator selesai berbicara, BAM! Anggi langsung keluar dengan kenampakan yang berbeda. Kostum Debby mau pakai baju sekolah atau baju bebas? Oh iya, kalau bisa bawa tas kecil juga yang bisa ditenteng di tangan. Persoalan narator, ngerasa dapet feel jadi narator hehehe :D Di sini monolog narator sengaja di buat lebih berisi dan bermakna. Ditambah juga beberapa pesan moral supaya pesan yang ada di pasal dan ayat tersebut juga lebih ngena dan terasa. Soal latar dan properti, kita Cuma butuh tulisan TERMINAL DEPOK sama beberapa kursi. Gimana? Ada hal yang harus dikoreksi?

You might also like