You are on page 1of 10

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1 Kajian Terhadap Kondisi Nyata Kompetensi Tenaga Kerja Lapangan pada Industri Jasa Konstruksi di Indonesia Kondisi nyata dari kompetensi tenaga kerja lapangan pada industri jasa konstruksi di Indonesia dapat dilihat melalui beberapa indikator, seperti: tingkat pendidikan, jumlah dan kualitas tenaga kerja, serta pelaksanaan pengelolaan sumber daya manusia konstruksi/ tenaga kerja lapangan pada industri jasa konstruksi baik oleh asosiasi maupun pemerintah (Soekiman et al., 2010). Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 menunjukkan bahwa industri jasa konstruksi di Indonesia mampu menyerap tenaga kerja mencapai 4,9 juta jiwa dengan perincian, 10% merupakan tenaga ahli, 30% tenaga terampil, dan 60% tenaga tidak terampil. Namun sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat dilihat pada Tabel 1 (Soekiman et al., 2010). Tabel 1 Tingkatan pendidikan tenaga kerja lapangan Pendidikan Terakhir Sampai dengan lulus SD Sampai dengan lulus SMP Sampai dengan lulus SMA TOTAL
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007 dalam Soekiman et al., 2010

Persentase 57,5% 28,7% 13,8% 100%

17

18 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah tenaga kerja lapangan tersebut berasal dari berbagai latar belakang pendidikan. Namun bagian terbesar dari tenaga kerja lapangan tersebut berpendidikan lulusan sekolah dasar atau kebawah, hanya sebagian kecil saja yang berpendidikan sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas. Dan banyak diantara pekerja tersebut tumbuh dan berkembang melalui proses learning by doing tanpa didukung oleh pengetahuan teknik yang cukup, mereka berasal dari masyarakat yang bercirikan tradisional. Komposisi tersebut diatas menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja lapangan masih perlu ditingkatkan, jika tidak maka akan banyak hambatan yang ditemui dilapangan karena kompleksitas pekerjaan saat ini menuntut dinamika kerja yang tinggi, baik dari sisi kemampuan teknologi maupun kemampuan sumber daya manusia dalam mendukung persaingan pelaku jasa konstruksi dipasar lokal maupun internasional. Tenaga kerja lapangan pada industri jasa konstruksi di Indonesia terdiri dari tenaga kerja lapangan tetap dan tenaga kerja lapangan tidak tetap/musiman. Dan perbandingan dari jumlah tenaga kerja lapangan tetap dibandingkan dengan tenaga kerja lapangan tidak tetap/musiman relatif sangat kecil, yakni seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan jasa konstruksi tiap tahunnya sekitar 2,3% s.d 2,9% meningkat pula jumlah tenaga kerja lapangan tetap yang direkrut oleh perusahaan konstruksi yakni sekitar 4,6% s.d 9,3% namun bila dibandingkan dengan pertambahan nilai pasar industri konstruksi sekitar 11,3% s.d 14,2% maka akan sangat tidak seimbang (BPS, 2007 dalam Soekiman et al., 2010).

19 Dan berdasarkan data LPJKN (2008) menunjukkan hingga saat ini telah terdapat 252.833 orang tenaga kerja lapangan yang telah memiliki sertifikat keterampilan, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kualifikasi dan jumlah tenaga kerja lapangan bersertifikat Kualifikasi TK - III TK - II TK - I TOTAL
Sumber: LPJKN, 2008

Jumlah 24.620 orang 99.236 orang 128.977 orang 252.833 orang

Persentase 9,74% 39,25% 51,01% 100%

4.2

Kajian Terhadap Kondisi Ideal Kompetensi Tenaga Kerja Lapangan pada Industri Jasa Konstruksi di Indonesia Menurut Soekiman et al. (2010), pertumbuhan nilai pasar industri konstruksi

sekitar 11,3% s.d 14,2% belum sebanding dengan pertumbuhan jumlah tenaga kerja lapangan tetap yang direkrut oleh perusahaan konstruksi yakni sekitar 4,6% s.d 9,3%. Idealnya kedua pertumbuhan tersebut seimbang agar tidak terjadi gap atau kesenjangan yang cukup besar anatar kebutuhan dengan ketersediaan tenaga kerja lapangan, namun kenyataannya tidaklah demikian sehingga masih ada kekosongan atau ruang tenaga kerja lapangan pada industri jasa konstruksi yang seharusnya dapat dipenuhi. Menurut Sumaryanto (2009), terjadinya kesenjangan (mismatch) tenaga kerja lapangan pada industri jasa konstruksi karena tidak semua tenaga menganggur memiliki keahlian seperti dipersyaratkan. Tenaga kerja yang tidak memiliki keahlian itu setidaknya harus diberikan pelatihan terlebih dahulu.sebelum nantinya diterjunkan di sektor konstruksi.

20 Berdasarkan data BP Konstruksi tahun 2010, jumlah tenaga kerja pada industri jasa konstruksi di Indonesia saat ini sekitar 5,7 juta orang dengan perincian, 30% tenaga terampil, 60% tenaga tidak terampil dan sisanya tenaga ahli. Menurut Goeritno (2010), idealnya kondisi ini terbalik, yakni dari total jumlah tenaga kerja industri jasa konstruksi seharusnya terdiri dari 60% tenaga terampil, dan hanya sekitar 10% tenaga tidak terampil serta sisanya tenaga ahli. Selain dari segi jumlah dan komposisi tenaga kerja, idealnya semua tenaga kerja lapangan memiliki serifikat keterampilan sebagai bukti dan pengakuan atas kemampuan atau kompetensi kerja yang mereka miliki, karena sesuai dengan amanat dari UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, pada Bab 3 Pasal 8 dan 9 disebutkan bahwa tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian dan atau keterampilan kerja sebagai bukti dan pengakuan atas kemampuan atau kompetensi kerja yang mereka miliki. Di Indonesia, kompetensi tenaga kerja konstruksi telah dibakukan ke dalam suatu Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), yakni suatu rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Standar kompetensi inilah yang seharusnya dimiliki oleh para tenaga kerja konstruksi agar mereka mempunyai kemampuan kerja dan daya saing yang tinggi di mana pun dan kapan pun mereka bekerja.

21 Lebih lanjut lagi apabila dari segi jumlah, komposisi, serta sertifikasi kompetensi tenaga kerja telah terpenuhi dengan baik, maka idealnya pula bagi para tenaga kerja jasa konstruksi tersebut dapat diwadahi dalam suatu asosiasi tenaga kerja konstruksi yang representatif agar mereka dapat memiliki sarana komunikasi dan saling berbagi untuk kepentingan bersama.

4.3

Kajian Terhadap Upaya-Upaya Nyata yang Telah Dilakukan Dalam Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja Lapangan pada Industri Jasa Konstruksi di Indonesia

Pentingnya peningkatan kompetensi tenaga kerja lapangan pada industri jasa konstuksi telah dirasakan oleh para pelaku jasa konstruksi, namun hanya sedikit dari pelaku usaha jasa konstruksi yang benar-benar peduli akan masalah ini. Oleh karena itu peran atau upaya-upaya dari pemerintah yang harus menonjol untuk melakukan peningkatan kompetensi tenaga kerja pada industri jasa konstuksi. Selama ini telah dilakukan upaya-upaya oleh Pemerintah dalam peningkatan kompetensi tenaga kerja industri jasa konstruksi, diantaranya adalah: a. pelatihan-pelatihan terhadap tenaga kerja lapangan yang dilakukan melalui Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi (Pusbin KPK), yakni: i. Pelatihan Peningkatan Kemampuan Mandor Pelatihan ini berupa pelatihan keterampilan para mandor konstruksi dengan maksud dan tujuan tersedianya tenaga-tenaga mandor konstruksi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai sebagai mandor konstruksi;

22 ii. Uji Keterampilan dan Sertifikasi Tukang Uji keterampilan dan sertifikai tukang meliputi pembekalan dan pengujian terhadap para tukang kontruksi yang telah berpengalaman di bidangnya dengan maksud dan tujuan tersedianya tenaga tukang yang produktif, memiliki kompentesi, berdaya saing tinggi serta bertanggung jawab atas hasil kerjanya. b. adanya program-program yang mengarah pada peningkatan kompetensi tenaga kerja lapangan pada industri konstruksi, salah satunya melalui program three in one yaitu mengintegrasikan pelatihan, sertifikasi dan penempatan dalam satu koordinasi supaya bisa meningkatkan kompetensi dan daya saing tenaga kerja lapangan. Adapun upaya lain yang dilakukan untuk peningkatan kompetensi tenaga kerja lapangan pada industri jasa konstruksi dalam hal ini oleh LPJK ialah penyelenggaraan proses sertifikasi (uji kompetensi) yang didelegasikan oleh LPJK kepada Asosiasi Profesi dan Institusi Diklat berdasarkan ketentuan yang diterbitkan oleh Dewan Pengurus LPJK Nasional dalam Pedoman Akreditasi No. 70/2001, No. 112/2004, dan No. 113/2005. Pelaksanaan sertifikasi tenaga kerja lapangan dilakukan oleh Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK) Asosiasi Profesi atau Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK) Institusi Pendidikan dan Pelatihan (Institusi Diklat) yang telah mendapat akreditasi dari LPJK. Kemudian tenaga kerja lapangan yang telah mendapat sertifikat keterampilan kerja wajib mengikuti registrasi yang dilakukan oleh LPJK. BSK tersebut hanya dapat menerbitkan sertifikat untuk klasifikasi dan kualifikasi tertentu yang menjadi wewenangnya berdasarkan ketetapan akreditasi.

23 Namun adanya ketidaktegasan aturan mengenai bakuan/standar kompetensi yang digunakan memungkinkan pelaksanaan program sertifikasi untuk suatu klasifikasi bidang/sub bidang yang sama menggunakan standar kompetensi yang berbeda. Dalam proses sertifikasi oleh BSK terdapat 2 (dua) jenis bakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi yang dapat digunakan, yakni: a. b. Bakuan Kompetensi yang disusun oleh organisasi induk BSK; Bakuan Kompetensi (SKKNI: Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang disusun melalui Konvensi dan ditetapkan oleh LPJK. Begitu juga untuk Asesor yang melakukan penilaian kelulusan peserta keterampilan kerja tertentu, terdapat dualisme standar kompetensi Asesor yang berbeda. Asesor yang tidak kompeten akan menghasilkan penilaian yang keliru sehingga pengakuan kompetensi dalam sertifikat tidak menunjukkan kompetensi tenaga kerja konstruksi yang sebenarnya. Dalam proses sertifikasi oleh BSK terdapat 2 (dua) jenis Asesor yang dapat digunakan, yakni: a. b. Asesor yang ditetapkan oleh organisasi induk BSK; Asesor yang telah mendapat pelatihan asesor oleh LPJKN.

Faktor lain adalah kemauan pihak perusahaan konstruksi untuk melakukan upaya peningkatan kompetensi tenaga kerja khususnya tenaga kerja terampil sangat rendah, hal ini disebabkan bahwa tenaga kerja tersebut adalah pekerja musiman yang hanya bekerja untuk satu periode proyek tertentu, sehingga perusahaan merasa rugi untuk mengeluarkan biaya terhadap tenaga kerja yang tidak pasti akan bekerja di tempat mereka untuk jangka waktu yang lama.

24 4.4 Kajian Terhadap Upaya-Upaya yang Harus Ditempuh Dalam

Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja Lapangan pada Industri Jasa Konstruksi di Indonesia Upaya yang seharusnya dilaksanakan dalam meningkatkan kompetensi tenaga kerja lapangan di Indonesia harus dikaitkan dengan permasalahan mendasar yang ada dalam peningkatan kompetensi itu sendiri. Adanya ketidaktegasan aturan mengenai bakuan/standar kompetensi yang digunakan (dualisme aturan) dalam pelaksanaan program sertifikasi untuk suatu klasifikasi bidang/sub bidang yang sama namun menggunakan standar kompetensi yang berbeda. Hal ini harus diatasi dengan adanya pembakuan kompetensi penilaian terhadap standar kompetensi yang digunakan dalam program sertifikasi BSK pada saat akreditasi oleh LPJK. Program pelatihan-pelatihan terhadap tenaga kerja konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah tidak hanya terpusat dilakukan di Pulan Jawa. Hal ini dibuktikan dengan Kementrian Pekerjaan Umum yang sudah menjalin kerjasama dengan Kementrian Tenaga Kerja guna melakukan pelatihan-pelatihan terhadap tukang dan mandor yang dilaksanakan melalui Balai latihan Kerja (BLK) yang ada di daerah dengan tak lupa melibatkan LPJK di daerah dan pemerintah daerah. Namun kurangnya sosialisasi kepada tenaga kerja lapangan itu sendiri sehingga mengakibatkan tidak banyak tenaga kerja lapangan yang mengetahui adanya pelatihan tersebut ataupun tidak tertarik untuk mengikutinya. Sehingga pemerintah perlu melakukan kegiatan sosialisasi secara langsung dan intensif kepada tenaga kerja lapangan yang ada agar mereka mengetahui akan pelaksanaan pelatihan tersebut dan mengetahui manfaat dari mengikuti pelatihan itu.

25 Permasalahan dan tantangan yang harus dilakukan untuk mengatasinya dalam usaha peningkatan kompetensi tenaga kerja lapangan pada industri jasa konstruksi di Indonesia mengacu pada Soekiman et al. (2010), terbagi menjadi 7 (tujuh) permasalahan dan tantangan untuk mengatasinya baik yang harus segera dilakukan maupun untuk dilaksankan pada masa mendatang seperti pada Tabel 3 berikut: Tabel 3 Permasalahan dan tantangan untuk mengatasinya terkait kompetensi tenaga kerja lapangan
Permasalahan Kompetensi Tantangan Untuk Mengatasi Tenaga Kerja Konstruksi Permasalahan Kompetensi Tidak seimbangnya komposisi tingkat Pengembangan sistem pendidikan pendidikan tenaga kerja konstruksi nasional yang mendukung orang memperoleh pendidikan yang lebih tinggi Memenuhi kebutuhan akan tenaga Mengelola ketersediaan tenaga kerja pada kerja yang kompeten dan berkualitas di proyek konstruksi yang tidak pasti industri konstruksi akan datang Gambaran yang tidak baik kepada Kembangkan praktek yang baik di industri konstruksi sebagai pilihan karier dalam pengelolaan sumber daya manusia konstruksi termasuk permasalahan dalam keselamatan dan kesehatan kerja Kebutuhan akan tenaga kerja dengan Memenuhi kebutuhan akan tenaga kemampuan dasar serta keahlian tertentu kerja yang kompeten dan berkualitas di di industri jasa konstruksi yang terus industri konstruksi akan datang meningkat Tidak efektifnya pelaksanaan dari Kembangkan sistem sertifikasi yang efektif untuk mendukung jaminan sertifikasi tenaga kerja sebagai kualitas dan pengakuan dari penjaminan mutu/kualitas atas profesionalisme dari tenaga kerja kompetensi dan profesionalisme konstruksi di Indonesia Kebutuhan akan sistem pelatihan dan Kembangkan sistem yang konsisten dan fleksibel untuk mendukung tenaga pengembangan untuk tenaga kerja trampil kerja terampil di industri konstruksi Kurangnya perhatian ke arah riset dan Kembangkan riset yang intensif dan berkesinambungan pada sumber daya pengembangan pada sumber daya manusia konstruksi di Indonesia manusia konstruksi/ tenaga kerja lapangan
Sumber: Soekiman et al., 2010

26 Terkait dengan upaya-upaya yang harus ditempuh dalam peningkatan kompetensi tenaga kerja lapangan pada industri jasa konstruksi di Indonesia, tak dapat dipungkiri peran pemerintah yang memiliki proporsi cukup besar dan sangat penting untuk menjaga ketersedian lapangan kerja pada industri jasa konstruksi bagi penduduk Indonesia dan juga sebagai sumber pendapatan negara melalui kontribusi industri jasa konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

You might also like