You are on page 1of 6

I W.

Mudita (2004)

DASAR-DASAR PENGEDALIAN HAMA TERPADU: Tanaman Kelapa1


I W. Mudita Dosen pada PS Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Undana, Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang 85001, NTT, e-mail: mudita.mailto@gmail.com

A. Apa Itu PHT? PHT merupakan singkatan dari Pengendalian Hama Terpadu atau Pengelolaan Hama Terpadu. Secara legal PHT adalah Pengendalian Hama Terpadu, tetapi secara konseptual PHT adalah Pengelolaan Hama Terpadu. Pengendalian mengandung makna menguasai tanpa kompromi, pengelolaan mengandung makna menjaga keselarasan melalui kompromi. PHT merupakan falsafah, cara berpikir, dan cara pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah hama dengan berdasarkan pada pertimbangan keseimbangan ekologis dan efisiensi ekonomi untuk mengelola ekosistem pertanian (agroekosistem) secara bertanggung jawab dalam rangka mewujudkan pertanian berkelanjutan. Hama dalam konteks PHT meliputi berbagai macam pengganggu dan gangguan yang dapat terjadi pada tanaman. Hama dalam konteks PHT mencakup binatang hama (hama dalam arti sempit), penyakit, dan gulma. Penyakit mencakup penyakit patogenik maupun non-patogenik (penyakit fisiologis). PHT dengan demikian mencakup pengelolaan binatang hama secara terpadu, pengelolaan penyakit secara terpadu, dan pengelolaan gulma secara terpadu. Dengan kata lain, hama dalam konteks PHT adalah Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dalam tataran legal atau binatang hama, penyakit, dan gulma dalam tataran akademik. B. Mengapa Harus PHT? Setidak-tidaknya terdapat tiga raison detre atau alasan mendasar mengenai mengapa harus PHT. Ketiga alasan mendasar tersebut adalah: (1) kegagalan pengendalian hama dengan pendekatan konvensional, (2) kepedulian yang semakin meningkat akan kualitas lingkungan hidup, dan (3) kebijakan pemerintah dalam bidang perlindungan tanaman. Pengendalian hama dengan pendekatan konvensional dilakukan dengan sasaran untuk memberantas hama, terutama dengan metode pengendalian kimiawi. Metode pengendalian kimiawi dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi yang sesungguhnya adalah racun tetapi justeru disebut sebagai obat. Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dalam arti luas dan caedo yang berarti membunuh. Pestisida sebenarnya adalah racun hama dan bukan obat hama karena insektisida digunakan untuk membunuh serangga, akarisida untuk membunuh tungau, molusisida untuk membunuh moluska, fungisida untuk membunuh jamur, bakterisida untuk membunuhn bakteri, dan herbisida untuk membunuh gulma. Karena mudah digunakan untuk membunuh maka penggunaan pestisida meningkat dengan pesat. Tidak mengherankan bila pada awal-awal penemuan dan penggunaan pestisida, sedikit-sedikit orang main semprot insektisida. Namun dalam perkembangan selanjutnya ternyata bahwa yang mati bukan hanya hama yang menjadi sasaran penyemprotan. Hama yang menjadi sasaran penyemprotan pintar bersembunyi sehingga luput atau menerima sedikit pestisida dan kemudian berkembang menjadi hama tahan pestisida. Mahluk hidup lain justeru banyak yang mati, di antaranya ada yang justeru berperan sebagai musuh alami hama. Karena musuh alaminya berkurang, hama yang luput dari penyemprotan pestisida menjadi bebas untuk berkembang sehingga timbul resurgensi hama dan ledakan hama bukan sasaran.

1)

Materi Pelatihan Petugas Sekolah Lapang Pengelolaan Hama Terpadu Tanaman Kakao dan Kelapa yang Diselenggarakan Dinas Perkebunan Provinsi NTT di Kupang pada 27 September-9 Oktober 2004

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

Selain mematikan mahluk hidup bukan sasaran, pestisida juga terakumulasi dalam tubuh mahluk hidup dan berpindah dari mahluk hidup yang satu ke mahluk hidup lainnya melalui proses makan memakan. Melalui proses makan memakan ini pestisida akhirnya sampai juga ke dalam tubuh manusia dalam jumlah yang terakumulasi karena memakan banyak mahluk lain dalam jangka waktu lama. Kita makan ikan, padahal ikan makan banyak serangga air, dan serangga air makan lebih banyak lagi plankton yang hidup di perairan yang tercemar pestisida. Pestisida pun menumpuk dalam ikan yang kita makan. Ditambah lagi dengan sayuran dan buah-buahan yang mengandung residu pestisida maka berapa banyak pestisida yang masuk ke dalam tubuh kita. Tidak mengherankan bila lama kelamaan banyak orang menderita sakit kronis akibat mengkonsumsi makanan yang tercemar pestisida. Orang kemudian menjadi sadar dan menjadi semakin peduli ketika Rachel Carson menulis buku berjudul Musim Semi yang Sunyi yang menggemparkan. Penggunaan pestisida secara sembarangan ternyata dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Akibatnya orang mulai menganggap penting suara katak dan jengkrik di malam hari, orang rindu kembali melihat burung-burung beterbangan di sawah dan kebun-kebun, dan akhirnya orang menginginkan makan makanan yang bebas pestisida. Kini berkembang konsep pertanian organik untuk menghasilkan produk bebas bahan kimia, terutama bebas pestisida. Meningkatnya kesadaran akan bahaya pestisida maka banyak negara kemudian menetapkan kebijakan melarang impor hasil pertanian yang tercemar residu pestisida. Ekspor hasil pertanian kita pun ditolak di banyak negara, terutama di negara-negara Amerika Utara dan Eropah. Menanggapi hal ini maka pemerintah Indonesia mau tidak mau harus mengambil kebijakan mengurangi penggunaan pestisida. Kebijakan tersebut dituangkan dalam bentuk INPRES No. 3 Tahun 1986 tentang Kebijakan Perlindungan Tanaman dan Pelarangan Peredaran dan Penggunaan Pestisida Tertentu. INPRES tersebut menjadi lebih kuat dengan ditetapkannya UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang menetapkan bahwa kegiatan perlindungan tanaman dilakukan dengan pendekatan PHT dan penggunaan pestisida secara sembarangan diberikan sanksi yang berat.

C. Konsep dan Prinsip PHT Konsep menyatakan uraian yang lebih luas daripada sekedar pengertian singkat mengenai PHT. Konsep PHT mencakup konsep mengenai: (1) hama sebagai komponen ekosistem pertanian, (2) pengelolaan untuk menurunkan padat populasi hama, dan (3) keterpaduan pelaksanaan. Pada pihak lain prinsip menyatakan hal-hal utama yang mendasari pelaksanaan dan pengembangan PHT. Prinsip PHT mencakup: (1) mengutamakan mekanisme pengendalian alami, (2) memadukan metode dan teknik pengendalian secara efisien, dan (3) menggunakan pestisida sebagai pilihan terakhir. Berikut ini diuraikan konsep dan prinsip tersebut satu demi satu. Konsep PHT mengenai hama mengacu pada padat populasi suatu jenis mahluk hidup yang meningkat dengan cepat sehingga merusakkan tanaman. Peningkatan padat populasi suatu jenis mahluk hidup dalam ekosistem pertanian dapat terjadi dengan mudah karena jumlah jenis yang ada pada umumnya jauh lebih sedikit daripada jumlah jenis yang terdapat dalam ekosistem alami. Hal ini terjadi karena lahan untuk pertanian terlebih dahulu dibersihkan sebelum digunakan untuk menanam kelapa. Karena jenis-jenis tanaman dibatasi maka jenis-jenis binatang dan mikroba yang dapat hidup dan berbiak juga terbatas, khususnya jenis-jenis binatang yang memerlukan binatang lain sebagai makanan maupun tempat perbiakan. Akibatnya, bila suatu jenis binatang pemakan tanaman kelapa meningkat maka jenis binatang tersebut tidak ada yang memakannya atau kalaupun ada, jenis binatang lain yang memakannya sangat sedikit. Akibatnya jenis pemakan tanaman kelapa tersebut bebas berkembang biak sehingga padat populasinya menjadi tinggi dan sebagai akibatnya tanaman menjadi rusak. Jenis binatang atau mikroba perusak tanaman tersebut kemudian dinamakan hama (dalam arti luas). Jadi, konsep hama dalam PHT tergantung pada padat populasi dan kerusakan yang ditimbulkan pada tanaman, tidak semata-mata pada jenis binatang atau mikroba. Aspidiotus destructor atau Aleurodicus destructor yang jumlahnya hanya beberapa ekor dalam satu hektar areal

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

pertanaman kelapa tidak dapat dikatakan sebagai hama. Sebaliknya puluhan ekor sapi bali yang lepas dan menginjak-injak tanaman kelapa adalah hama. Konsep PHT mengenai pengendalian hama sesungguhnya mengacu pada pengertian pengelolaan. Sebelumnya, terutama selama era penggunaan pestisida, hama dipandang sebagai sesuatu yang harus diberantas, dibunuh, dan jika mungkin dibasmi. Dengan membasmi jenis hama maka dianggap tidak ada lagi yang akan merusakkan tanaman kelapa. Dalam kenyataannya, dengan berkurangnya jenis binatang dan mikroba perusak tanaman kelapa maka jumlah jenis dan individu binatang dan mikroba yang menjadikan binatang dan mikroba perusak tanaman kelapa sebagai makanan maupun tempat berbiak juga tidak dapat hidup dan berbiak. Keadaan ini dimanfaatkan oleh binatang dan mikroba pemakan tanaman kelapa untuk tumbuh dan berbiak dengan lebih cepat lagi sehingga padat populasinya yang semula rendah dapat kembali meningkat dengan cepat. Atas dasar hal ini maka pengendalian dalam konsep PHT diarahkan bukan untuk memberantas hama melainkan untuk menurunkan padat populasinya sehingga masih tersisa jumlah individu yang cukup sebagai makanan bagi musuh alami yang ada. Dengan kata lain, konsep pengendalian dalam PHT dilakukan dengan mengelola hama yang artinya bahwa kita harus berkompromi dengan padat populasi hama dan bersamaan dengan itu mengelola padat populasi musuh alami dengan menyediakan makanan berupa hama dengan padat populasi yang rendah. Keterpaduan dalam konsep PHT mempunyai pengertian yang sangat luas, mencakup: (1) keterpaduan dalam penyusunan dan pelaksanaan program pengendalian, (2) keterpaduan dalam pengembangan dan penerapan, (3) keterpaduan dalam penetapan komoditas prioritas, (4) keterpaduan dalam penentuan hama prioritas, dan (5) keterpaduan dalam menentukan metode dan teknik pengendalian. Penyusunan dan pelaksanaan program PHT idealnya memerlukan kerjasama pemerintah, swasta, dan petani. Setelah dilaksanakan, suatu program PHT perlu terus menerus dikembangkan sehingga benarbenar sesuai dengan keadaan agroekosistem setempat. Pengembangan PHT memerlukan kerjasama yang erat antara kelembagaan penelitian dan perguruan tinggi dengan instansi teknis pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pelaksanaan PHT dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya, waktu, dan tenaga sehingga perlu ditentukan prioritas mengenai komoditas dan hama yang akan menjadi sasaran utama. Penentuan komoditas dan hama prioritas harus didasarkan atas pertimbangan mengenai kepentingan yang luas. Penentuan metode dan teknik pengendalian dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian ekologis dan ekonomis secara bersamaan. Prinsip pertama dan utama PHT adalah mengupayakan terjadinya pengendalian alami. Hal dimungkinkan bila pada agroekosistem kelapa kita terdapat musuh alami dalam jumlah jenis dan individu yang memadai. Untuk maksud tersebut diperlukan pelaksanaan praktik budidaya yang mempertahankan keberadaan dan perkembangan musuh alami. Musuh alami yang dimaksud dapat berupa predator, parasitoid, patogen, antagonis, dan pemakan gulma. Predator, parasitoid, dan patogen merupakan musuh alami serangga hama, antagonis merupakan musuh alami patogen tanaman, dan pemakan gulma merupakan musuh alami gulma. Dengan adanya musuh alami ini maka diharapkan padat populasi binatang dan mikroba hama tidak dapat meningkat dengan cepat karena terjadinya peristiwa makan memakan atau penghambatan lainnya. Tindakan yang perlu dilakukan di antaranya adalah tumpangsari tanaman, penghindaran pembakaran, dan penggunaan insektisida berspektrum sempit. Prinsip kedua dalam PHT adalah pemaduan metode dan teknik pengendalian secara efisien. Pemaduan metode dan teknik pengendalian tidak berarti semua metode dan teknik pengendalian yang ada digunakan secara bersamaan. PHT dapat saja dilakukan dengan menggunakan hanya satu metode dan teknik pengendalian, asalkan metode dan teknik pengendalian yang digunakan dipilih berdasarkan prinsip-prinsip ekologis dan efisiensi. Secara ekologis, metode dan teknik pengendalian yang digunakan harus mampu menurunkan padat populasi hama dengan sesedikit mungkin menimbulkan dampak yang merugikan terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan masyarakat. Agar efisien maka metode dan teknik pengendalian yang digunakan harus yang memerlukan biaya pelaksanaan sesedikit mungkin dan mudah dilakukan oleh petani.

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

Prinsip ketiga dalam PHT adalah penggunaan pestisida sebagai alternatif terakhir. Sebagai alternatif terakhir tidak berarti bahwa pestisida baru digunakan setelah berbagai metode dan teknik pengendalian yang digunakan sebelumnya ternyata tidak berhasil. Sebagai alternatif terakhir berarti bahwa pestisida harus digunakan setelah mempertimbangkan bahwa penggunaan berbagai metode dan teknik pengendalian lainnya diperkirakan tidak akan efektif karena hama sedang dalam fase eksplosi (ledakan). Sebagai alternatif terakhir dapat saja pestisida digunakan sebagai metode pertama dan utama untuk mengendalikan hama tertentu, terutama bila hama tersebut sedang dalam fase eksplosi sebagaimana harus dilakukan misalnya bila terjadi letusan Aspidiotus destructor atau Aleurodicus destruktor. Bahkan pestisida dapat merupakan alternatif satusatunya untuk melakukan eradikasi hama yang baru menyebar di suatu daerah baru sebagaimana dilakukan terhadap Chromolaena odorata di Australia dan sebagaimana dilakukan sebagai tindakan eradikasi dalam pelaksanaan karantina tumbuhan.

D. Strategi, Taktik, dan Pendekatan PHT Strategi PHT adalah memadukan semua metode dan teknik pengendalian hama dengan memperhatikan keseimbangan ekologis dan efisiensi ekonomis. Hal ini dilakukan dengan menerapkan taktik PHT yang meliputi: 1) Pemanfaatan mekanisme pengendalian alami setempat. Mekanisme pengendalian alami adalah pengendalian hama oleh musuh-musuh alaminya. Musuh alami dapat berasal dari tempat di mana hama berkembang, dapat pula dimasukkan secara sengaja dari luar. PHT memberikan prioritas pada musuh alami setempat karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan biaya yang banyak. 2) Pengelolaan lahan pertanian dengan pendekatan ekologis. Pendekatan ekologis berarti bahwa kegiatan budidaya sedapat mungkin dilakukan dengan proses alam. Pertanian adalah ekosistem buatan yang dikembangkan daripada ekosistem alami yang semula sangat beraneka ragam. Di dalam ekosistem alam terdapat mahluk hidup yang berpotensi sebagai hama tetapi juga terdapat mahluk hidup yang berpotensi sebagai musuh alami. Pengelolaan pertanian dengan pendekatan ekologis dilakukan dengan sedapat mungkin meniru ekosistem alami. 3) Pemilihan pengendalian non-kimiawi. Dalam ekosistem alami tidak terdapat bahan kimia buatan kecuali yang memang terdapat di alam. Oleh karena itu, karena PHT bertumpu pada pengendalian alami, pengendalian hama dalam PHT juga harus sedapat mungkin menghindarkan penggunaan bahan-bahan kimia buatan. Banyak metode dan teknik pengendalian hama non-kimiawi yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama: mekanik, fisik, hayati, tanaman tahan hama, budidaya, dan perundang-undangan. 4) Penggunaan pestisida sebagai pilihan terakhir secara bijaksana dan bertanggung jawab. Dengan sedapat mungkin menghindarkan penggunaan bahan kimia bukan berarti bahwa PHT anti pestisida. PHT sama sekali tidak melarang penggunaan pestisida kimiawi. Pestisida dapat saja digunakan asalkan dilakukan dengana alasan yang tepat. Misalnya pestisida harus digunakan sebagai tindakan eradikasi hama yang datang dari luar atau harus digunakan ketika terjadi ledakan hama. Bila pestisida kimiawi terpaksa harus digunakan maka penggunaannya harus benar-benar dilakukan secara hati-hati. Pengendalian hama, sebagaimana dengan tindakan budidaya pertanian lainnya, merupakan suatu proses pengambilan keputusan. Demikian juga dengan tidakan pengendalian hama yang harus dilakukan petani. Keputusan pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan pendekatan tertentu. Dalam penerapan PHT, pengambilan keputusan pengendalian dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua pendekatan sebagai berikut: 1) Pendekatan ekologis. Pendekatan ekologis didasarkan terutama atas pertimbangan sederhana mengenai padat populasi hama dan musuh alami. Bila padat populasi dirasakan sudah cukup tinggi dan sementara itu padat populasi musuh alami masih kurang memadai maka keputusan pengendalian harus diambil. Biasanya pengalam empirik selama bertahun-tahun mengelola usataninya memberikan pengetahuan

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

kepada petani kapan sebaiknya harus melakukan pengendalian hama. Dalam hal ini keputusan pengendalian tidak didasarkan pada suatu nilai Ambang Ekonomi (AE) yang formal. 2) Pendekatan teknologi. Pendekatan ekologis merupakan pengambilan keputusan pengendalian hama yang didasarkan pada AE. AE adalah padat populasi hama yang harus segera dilakukan pengendalian untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar. Penerapan PHT dengan pendekatan teknologi terutama digunakan untuk pengambilan keputusan aplikasi pestisida kimiawi. Untuk menerapkan PHT dengan pendekatan teknologi diperlukan adanya nilai AE dan metode pemantauan ekosistem secara berkala.

E. Sasaran dan Komponen PHT Pengendalian hama melalui penerapan PHT tidak dimaksudkan semata-mata untuk memberantas hama. PHT bahkan tidak dimaksudkan semata-mata untuk menjaga agar produksi pertanian tinggi. PHT dilakukan dengan sasaran: 1) Menjaga agar padat populasi hama tetap berada pada aras yang secara ekonomis tidak merugikan. Hama tidak perlu dibasmi sebab dalam jumlah terbatas diperlukan sebagai makanan atau tempat berbiak musuh alami. Selain itu membasmi hama memerlukan biaya yang semakin besar sehingga pada akhirnya, bila dilakukan, dapat saja merugikan petani karena biaya pengendalian menjadi sangat tinggi sedangkan nilai tambahan hasil tanaman tidak begitu besar. 2) Keseimbangan ekosistem tetap terjaga untuk mencapai kelestarian lingkungan hidup. Ekosistem pertanian (agroekosistem) terdiri atas berbagai komponen yang saling tergantung satu sama lain. Kesalingtergantungan tersebut memungkinkan padat populasi cenderung tidak bergejolak dalam jangka panjang. Bila keseimbangan terganggu maka dapat terjadi ledakan hama. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem maka tindakan budidaya, termasuk tindakan pengendalian hama, perlu dilakukan dengan prinsip pelestarian, yaitu upaya untuk mengelola pertanian sedapat mungkin mendekati ekosistem alami. 3) Meningkatkan produktivitas pertanian secara berkelanjutan. PHT tidak dilakukan sekedar untuk meningkatkan produksi, melainkan produktivitas. Bila produksi dihitung dalam satuan jumlah hasil maka produktivitas dihitung sebagai hasil bagi antara jumlah hasil dengan jumlah sarana produksi, misalnya hasilbagi antara jumlah hasil dengan luas lahan, hasil bagi antara jumlah hasil dengan jumlah sarana produksi yang digunakan, dan sebagainya. Dengan prinsip demikian maka PHT berusaha mempertahankan produksi dalam jangka panjang, bukannya menguras sumberdaya hanya untuk kepentingan sesaat, sehingga pertanian dapat dikembangkan secara berkelanjutan. 4) Meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat petani . Pada akhirnya, sasaran PHT bukanlah untuk sekedar mengendalikan hama, apalagi memberantas hama. Sasaran akhir PHT adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani sehingga pengendalian hama, karena dilakukan dengan memerlukan biaya, perlu dilakukan secara hati-hati. Pengendalian secara membabi buta dapat saja mengendalikan hama dan bahkan membasmi hama, tetapi bersamaan dengan itu petani harus merugi karena telah mengeluarkan biaya dalam jumlah besar. Agar dapat dilaksanakan, PHT memerlukan sejumlah komponen. Komponen tersebut adalah sebagai berikut: 1) Komponen teknologi. Komponen teknologi terdiri terdiri atas teknologi pengendalian, teknologi pemantauan, dan teknologi pengambilan keputusan. Teknologi pengendalian mencakup metode dan teknik pengendalian serta logistik pengendalian. Metode pengendalian dapat berupa pengendalian secara mekanik, fisik, kimiawi, hayati, dengan tanaman tahan hama, secara budidaya, atau dengan perundang-undangan. Logistik pengendalian berupa bahan dan alat serta biaya operasional pengendalian. Teknologi pemnatauan mencakup metode pemantauan dan logistik pemantauan. Metode meliputi teknik pemantauan (sampling) dan pengamatan hama, sedangkan logistik meliputi bahan dan alat serta biaya operasional pemantauan. Teknologi

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

I W. Mudita (2004)

pengambilan keputusan meliputi instrumen pengambilan keputusan dan teknologi komunikasi informasi. 2) Komponen pelatihan dan penelitian. Hama merupakan sesuatu yang dinamis sehingga PHT sebagai konsep maupun metode pengendalian perlu senantiasa dikembangkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pelaksanaan PHT perlu didukung dengan komponen pelatihan dan penelitian. Pelatihan diperlukan untuk memberikan keterampilan kepada petugas lapangan dan petani dalam menerapkan PHT, sedangkan penelitian diperlukan untuk mengembangkan seluruh komponen PHT agar tidak ketinggalan dari perkembangan hama. Oleh karena itu, penerapan PHT perlu melibatkan lembagalembaga penelitian dan perguruan tinggi. 3) Komponen kelembagaan. Implementasi PHT melibatkan tiga fungsi pengelolaan, yaitu (a) fungsi pemantauan, (b) fungsi pengambilan keputusan, dan (c) fungsi pelaksanaan program pengendalian. Agar ketiga fungsi tersebut dapat terlaksana sebagaimana yang direncanakan maka penerapan PHT perlu didukung dengan kelembagaan yang terorganisasi dengan baik, mulai dari tingkat petani, pemerintah daerah, sampai dengan pemerintah pusat.

Daftar Pustaka Danthanarayana, W. 1975. Integrated Pest Management: Part 1, Population Ecology. Universitas Udayana, Denpasar. (5) Untung, K. 1993a. Konsep Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset, Yogyakarta. Untung, K. 1993b. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Materi Pelatihan Petugas SLPHT Dinas Perkebunan Provinsi NTT

You might also like