You are on page 1of 8

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Mata Kuliah Kewarganegaraan

Pertikaian Antarideologi yang Berdampak pada Disintegrasi Bangsa

Oleh : Hafida Rayni KIAOO4O17

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2006

BAB I PENDAHULUAN
Sebuah negara membutuhkan Weltanschauung atau landasan filosofis. Atas dasar Weltanschauung itu, disusunlah visi, misi, dan tujuan negara. Tanpa itu, negara bergerak seperti layangan putus, tanpa pedoman. Dalam perspektif negara, empat function paradigma Parson yang harus terus dilaksanakan masyarakat Indonesia agar dapat hidup dan berkembang, kerangka sistemiknya termanifestasikan (terkristalisasi) dalam Pancasila yang merupakan Weltanschauung bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat bhineka yang terdiri dari beraneka ragam budaya, suku, agama, bahasa, dan adat istiadat. Pancasila merupakan sublimasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang menyatukan masyarakat kita yang beraneka ragam menjadi bangsa yang satu yaitu Indonesia. Ideologi Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa Indonesia. Ideologi adalah sekumpulan gagasan, ide, keyakinan yang sistematis dan menyeluruh yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Ideologi Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia memiliki banyak keunggulan dibandingkan falsafah negara lain. Pancasila memandang manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial sebagai satu kesatuan. Ideologi Pancasila dalam penghayatan dan pengamalannya masih belum sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila, bahkan saat ini sering diperdebatkan. Ideologi pancasila cenderung tergugah dengan adanya kelompokkelompok tertentu yang mengedepankan faham liberal atau kebebasan tanpa batas, demikian pula faham keagamaan yang bersifat ekstrim. Nilai sosial terpenting dari Pancasila adalah toleransi, terutama dalam masalah agama. Pancasila menjunjung tinggi keberadaan agama. Pemerintah diwajibkan untuk membimbing rankyatnya sehingga menjadi rakyat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila berhasil meyakinkan kaum nasionalis sekuler baik yang beragama Islam maupun tidak, bahwa negara baru ini tidak akan memprioritaskan Islam di atas yang lainnya. Sebaliknya, Pancasila menyatakan meski secara filosofis berdasarkan pada agama, negara

tidak mendukung salah satu agama. Kompromi politis ini berarti bahwa pemerintah menghormati keberagaman agama rakyatnya. Akhir-akhir ini agama sering dijadikan pokok masalah dalam terjadinya konflik di negara ini, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap agama yang dianut dan agama lain. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan bijaksana pada akhirnya dapat menimbulkan terjadinya kemungkinan disintegrasi bangsa, oleh sebab itu perlu adanya penanganan khusus dari para tokoh agama mengenai pendalaman masalah agama dan komunikasi antar pimpinan umat beragama secara berkesinambungan.

BAB II ISI
Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik sosial. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhirakhir ini, merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat. Indonesia adalah sebuah negara yang terlalu banyak meributkan masalah ideologi dibanding negara-negara lain. Indonesia, terutama para elite bangsanya, sangat memikirkan masalah ideologi sehingga mereka seringkali terbenam dalam polemik tak berkesudahan. Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuasa SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan, apabila kondisi ini tidak dimanage dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa. Pertentangan cara pandang mengenai ideologi Pancasila dengan agama merupakan salah satu hal yang dapat memicu disintegrasi bangsa. Agama dimengerti sebagai sistem budi-daya. Yang mana dalam arti ini, agama dapat disejajarkan dengan ideologi. Ideologi dalam hal ini cukup dimengerti sebagai suatu sistem gagasan yang mengkaji keyakinan dan hal-hal ideal secara filosofis, ekonomis, politis, maupun sosial. Hanya saja, berbeda dari ideologi, agama justru ditempatkan sebagai suatu sumber dinamika perubahan sosial, bukan sebagai pelanggeng struktur masyarakat. Di sini kata ideologi dapat bermakna peyoratif sebagai pemutlakan suatu gagasan yang ternyata tidak sesuai dengan realitas tertentu. Beberapa tahun belakangan terlihat adanya kebangkitan kembali pertentangan-pertentangan ideologi, terutama pertikaian antara Islam dan nasionalisme. Kalangan nasionalis (kubu sekularisme politik yang menganggap Pancasila sebagai dasar negara yang sudah final) cemas tatkala masalah-masalah dasar negara diungkit-ungkit kembali, seperti upaya penerapan kembali piagam

Jakarta yang diusung sebagai komoditi oleh sejumlah kalangan umat Islam. Sebagian yang lain juga cemas melihat bangkitnya kembali primordialisme Islam politik. Sementara bagi kelompok (kubu) Islam, Pancasila dianggap tak mampu mewadahi seluruh perjuangan dan menjadi spirit dalam kehidupan berbangsa dan mengklaim Islam sebagai ideologi universal yang melampaui Pancasila. Sungguh disayangkan jika sampai sekarang masih terjadi mutual misunderstanding antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Jika ditelisik, letak kesalahpahaman itu sejatinya lebih didominasi kepentingan politik ketimbang substansi. Secara substantif, mestinya tidak perlu terjadi kesalahpahaman. Substansi keduanya jelas berbeda, Islam adalah agama, sementara kebangsaan adalah ideologi. Agama dapat menjadi ideologi, sementara ideologi tidak bisa berperan sebagai agama. Permainan politiklah yang mengeksploitasi perbedaan itu supaya meruncing. Usaha-usaha untuk mendudukan perkaranya secara jernih banyak dilakukan, tapi semuanya tenggelam oleh hiruk pikuk politik. Kubu nasionalis dan kubu Islam kerapkali mengambil posisi diametral, berseberangan. Bagi sebagian kubu Islam, isu penerapan kembali piagam Jakarta merupakan komoditas politik yang layak jual dalam pemilu, minimal untuk meraih simpati massa. Isu ini dikemas sedemikian rupa sehingga banyak masyarakat yang tertarik. Antusiasme ini didukung dengan situasi krisis berkepanjangan, masyarakat kehilangan pegangan dan butuh jawaban kepastian. Dalam konteks itu, agama (Islam) yang dapat memberi jawaban. Di sisi lain, kondisi sosial politik umat Islam sepanjang sejarah yang seringkali dipinggirkan oleh penguasa membuat sekelompok umat Islam tak mau lagi ditindas, ingin merebut kekuasaan dan masuk dalam struktur negara. Sementara, bagi kubu nasionalis, kelompok Islam merupakan saingan berat yang memiliki afiliasi primordial cukup kuat. Mereka menganggap Islam bertentangan dengan spirit kebangsaan, memandang agama sebagai sektarian dan primordial anti kebangsaan. Isu ini terus digulirkan hingga sekarang. Alhasil kedua kubu terlarutlarut dalam perseteruan tak berkesudahan. Pertentangan Islam dan kebangsaan sebenarnya juga berlaku untuk agama lain. Dapat dipertentangkan Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha disatu pihak

dengan kebangsaan dipihak lain. Sementara, kebangsaan yang merupakan nilai objektif adalah common denominator, rujukan bersama yang bukan semata milik kubu nasionalis. Antara Islam dan kebangsaan itu seperti dua sisi dari satu mata uang, kata Natsir. Atau dalam logika ada istilah, unity of the opposites, kesatuan dari yang bertentangan. Tidak selayaknya pertentangan ini selalu di-blow up.

Studi Azyumardi Azra (Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Rosdakarya, 1999), menyatakan bahwa dalam kasus Indonesia, Islam menjadi unsur genuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Menurut Azra, hal ini terlihat dari kemunculan Sarikat Islam (SI) yang merefleksikan nasionalisme keislaman-keindonesiaan, sekaligus respons kebangkitan

nasionalisme dikalangan masyarakat Cina Hindia Belanda baik Cina Keturunan maupun Cina totok. Pada saat bersamaan, Islam juga mampu menjinakkan etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada entitas lebih tinggi. Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama dan keamanan yang saling tumpang tindih. Apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi masalah yang berkepanjangan. Upaya mengatasi disintegrasi bangsa perlu diketahui terlebih dahulu karakteristik proses terjadinya disintegrasi secara komprehensif serta dapat menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pada tahap selanjutnya. Keutuhan NKRI merupakan suatu perwujudan dari kehendak seluruh komponen bangsa diwujudkan secara optimal dengan mempertimbangkan seluruh faktor-faktor yang berpengaruh secara terpadu.

BAB III PENUTUP


a. Kesimpulan 1. Ideologi pancasila cenderung tergugah dengan adanya kelompokkelompok tertentu yang mengedepankan faham liberal atau kebebasan tanpa batas, demikian pula faham keagamaan yang bersifat ekstrim. 2. Disintegrasi terjadi sebagai akibat akumulasi permasalahan Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama dan keamanan yang saling tumpang tindih. 3. Pancasila dianggap tak mampu mewadahi seluruh perjuangan dan menjadi spirit dalam kehidupan berbangsa dan mengklaim Islam sebagai ideologi universal yang melampaui Pancasila. 4. Pertentangan cara pandang mengenai ideologi Pancasila dengan agama merupakan salah satu hal yang dapat memicu disintegrasi bangsa. b. Saran 1. Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan dikalangan rakyat Indonesia. 2. Meningkatkan pemahaman terhadap sila pertama pancasila agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap ideologi Pancasila dan ideologi agama. 3. Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa. 4. Meredam segala bentuk konflik yang terjadi. 5. Mengetahui terlebih dahulu karakteristik proses terjadinya disintegrasi secara komprehensif serta dapat menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi pada tahap selanjutnya. 6. Menyelenggarakan penanganan khusus dari para tokoh agama mengenai pendalaman masalah agama dan komunikasi antar pimpinan umat beragama secara berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA
Rizasihbudi CS. 2001. Bara Dalam Sekam. Lemhannas: Jakarta. Sudrajat, MPA, Mayor Jenderal TNI. 2001. Mengatasi Gerakan Sparatis di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Pendekatan Ketahanan Nasional. Lemhannas: Jakarta. Tri Poetranto, S.Sos. Pengembangan Strategi Pertahanan untuk Menanggulangi Kemungkinan Disintegrasi Bangsa. Available from URL:

http://www.balitbangdephan.cbn.net.id/disintegrasi/index.html. Diakses 29 Desember 2005. Siswono Yudo Husodo. Pancasila dan Keberlanjutan NKRI. Available from URL: http://www.kompas.com/kesehatan/index.html. Diakses 2 Januari 2006. Imam Cahyono. Mengakhiri Pertikaian Antarideologi. Available from URL: http://www.sinarharapan.co.id/opini/index.html. Diakses 2 Januari 2006.

You might also like