You are on page 1of 11

ANALISIS KEPUTUSAN KOMITE ETIK KPK TERHADAP PELANGGARAN ETIKA OLEH PIMPINAN KPK Oleh: Tamtowil Mustofa

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada UndangUndang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Berdasarkan Pasal 6 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002, maka tugas dari KPK ini meliputi: melakukan koordinasi dan supervisi terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Keberhasilan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tentu tidak lepas dari peran pimpinan KPK dalam memberikan komando kepada anggota KPK dalam menangani setiap kasus korupsi yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa para pimpinan KPK memegang peranan yang sangat penting dalam tubuh KPK itu sendiri. Karena memegang peranan yang sangat penting dalam tubuh KPK, maka pimpinan KPK sering kali mendapatkan gangguan-gangguan dari pihak luar yang mempunyai kepentingan pribadi maupun golongan. Adanya gangguan-gangguan tersebut tentu akan mempengaruhi kinerja pimpinan KPK yang akan berimbas pada lembaga KPK itu sendiri. Oleh sebab itu, untuk mengatasi atau mencegah adanya gangguan-gangguan yang melibatkan pimpinan KPK maka perlu dibuat kode etik yang ditujukan kepada seluruh anggota maupun pimpinan KPK.
1

Kode etik KPK terutama yang ditujukan kepada pimpinan KPK meliputi larangan kepada pimpinan KPK untuk bermain golf dan menerima pemberian dari siapa pun dan dalam bentuk apa pun. Kode etik tersebut melengkapi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Secara garis besar berdasarkan kode etik KPK, pimpinan KPK dilarang untuk menemui pihak lain yang sedang terkait dengan tindak pidana yang ditangani oleh KPK. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari persepsi yang buruk tentang KPK dari masyarakat. Dengan adanya kode etik tersebut, KPK diharapkan mampu untuk menjalankan tugasnya sebagai lembaga pemberantas korupsi di Indonesia. Akhir-akhir ini banyak sekali media massa yang membahas tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Hal ini tentu saja mengakibatkan persepsi yang beraneka ragam dari masyarakat. Bagaimana pimpinan KPK bisa melanggar kode etik yang telah dibuat? Mengapa hal itu bisa terjadi? Kode etik apa yang dilanggar? Mungkin itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak masyarakat. Hal lain yang mungkin muncul di benak masyarakat adalah tentang keputusan Komite Etik KPK terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Terdapat dissenting opinion atau perbedaan pendapat dalam keputusan yang dibuat oleh Komite Etik KPK. Adanya dissenting opinion tersebut tentu menimbulkan pertanyaan besar pada masyarakat. Mengapa hal itu bisa terjadi? Selain itu Komite Etik sepakat tidak mau membeberkan nama-nama anggotanya yang berbeda pendapat (dissenting opinion) saat memutuskan hasil pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran etik oleh pimpinan dan pegawai KPK. Komite juga bungkam saat ditanya alasan perbedaan pendapat itu. Lembaga KPK adalah milik masyarakat, jadi harus transparan dan membuka dirinya untuk masyarakat. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang masalah-masalah yang telah dijelaskan di atas. Pembahasan akan difokuskan pada keputusan Komite Etik KPK terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK serta adanya dissenting opinion dalam keputusan yang dibuat oleh Komite Etik KPK. 1.2 Rumusan Masalah Dalam penulisan paper ini, masalah yang akan dibahas adalah tentang analisis bagaimana keputusan yang dibuat oleh Komite Etik KPK terhadap pelanggaran etika yang dilakukan oleh pimpinan KPK.
2

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan dan manfaat dari penulisan paper ini secara umum adalah untuk menganalisa secara lebih detail tentang keputusan yang dibuat oleh Komite Etik KPK terhadap pelanggaran etika yang dilakukan oleh pimpinan KPK. 2. LANDASAN TEORETIS 2.1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Salah satu landasan kode etik KPK adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang antara lain menyebutkan, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: (1) mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau tidak langsung dengan pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun; (pasal 36). 2.2 Tuduhan Pelanggaran Kode Etik Oleh Pimpinan dan Anggota KPK Berikut adalah tuduhan yang disebut oleh Nazaruddin yang menjadi tersangka kasus suap wisma atlet SEA GAMES kepada pimpinan dan anggota KPK: 1) Muhammad Busyro Muqoddas Disebut pernah bertemu dengan Nazaruddin. 2) M. Yasin Diduga terlibat merekayasa kasus wisma atlet yang melibatkan Nazaruddin. 3) Chandra M. Hamzah Diduga terlibat suap dan rekayasa kasus wisma atlet saat bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Chandra juga diduga menerima uang dari pengusaha yang terbelit kasus korupsi. 4) Haryono Umar Disebut pernah bertemu dengan Nazaruddin. 5) Ade Rahardja Diduga terlibat suap dan merekayasa kasus wisma atlet saat bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. 6) Bambang Sapto Pratomo Sunu Disebut pernah bertemu dengan Nazaruddin.
3

7) Johan Budi Disebut pernah menemani Ade Rahardja dalam pertemuan dengan Nazaruddin. 8) Roni Tamtama Dituding telah menerima suap dari Nazaruddin untuk penghentian kasus. 2.3 Keputusan Komite Etik KPK Berikut adalah hasil keputusan lengkap Komite Etik KPK yang dibacakan oleh anggota Komite Etik, Mardjono Reksodiputro, di Gedung KPK, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan terhadap pelanggaran etika yang dilakukan oleh pimpinan dan anggota KPK: 1) Pertama, Muhammad Busyro Muqoddas. Putusannya adalah, Komite Etik beranggapan tidak ditemukan indikasi pelanggaran pidana maupun pelanggaran kode etik pimpinan yang dilakukan oleh terperiksa. Dengan demikian, terperiksa dinyatakan bebas, tidak bersalah, atas semua hal yang dipersangkakan pada dirinya. Keputusan ini diambil dengan suara bulat. 2) Kedua, M. Yasin. Terhadap Saudara M. Yasin, Komite Etik beranggapan tidak ditemukan pelanggaran pidana maupun pelanggaran kode etik, baik berupa penerimaan uang maupun pertemuan khusus dengan Saudara Nazaruddin. Komite Etik menetapkan bebas, tidak bersalah dari semua sangkaan terhadapnya. Putusan terhadap Saudara Yasin juga diambil dengan suara bulat. 3) Ketiga, Chandra M. Hamzah. Komite etik telah melakukan dua kali pertemuan dengan Saudara Chandra. Berdasarkan fakta-fakta dalam wawancara itu, Komite Etik berkesimpulan tidak ditemukan indikasi pelanggaran pidana dan pelanggaran kode etik. Namun, dari 7 anggota Komite Etik, 3 di antaranya mempunyai pendapat yang berbeda. Tetapi perbedaan itu hanya terbatas pada soal pelanggaran ringan oleh Chandra Hamzah. Pada dasarnya, menurut mereka yang mempunyai pendapat berbeda itu, sebagai pimpinan KPK, sepatutnya beliau harus lebih berhati-hati. 4) Keempat, Haryono Umar. Terhadap Saudara Haryono Umar juga ditemukan tidak ada indikasi pelanggaran hukum pidana ataupun pelanggaran kode etik. Dari 7 anggota, ada 3 pendapat yang berbeda. Sebagian merasa, tetap ada pelanggaran ringan yang telah dilakukan oleh Saudara Haryono Umar, mengingat beliau sebagai pimpinan KPK harus lebih paham dan hati-hati dalam perilakunya.

5) Kelima, Ade Rahardja. Oleh Komite Etik, dia dianggap telah melakukan kesalahan pelanggaran ringan atas kode etik pegawai KPK. Putusan ini diambil dengan dua perbedaan pendapat. Untuk terperiksa Ade Rahardja, sebenarnya apa yang dilakukan itu masih dapat diterima. 6) Keenam, Bambang Sapto Pratomo Sunu. Komite Etik berpendapat, telah terjadi pelanggaran kode etik pegawai. Dari 7 komite etik, ada 3 yang mempunyai pendapat berbeda. Apa yang terjadi dalam perilaku Saudara Bambang masih dapat ditolerir dalam kode etik pegawai. 7) Ketujuh, Johan Budi. Berdasarkan fakta-fakta yang terkumpul dalam wawancara dan sepanjang pengetahuan Komite Etik, dia diputuskan bebas, tidak melakukan pelanggaran pidana maupun pelanggaran kode etik. Putusan ini dibuat dengan suara bulat. 8) Terakhir, Roni Tamtama. Dari fakta-fakta yang diterima Komite Etik, dia bebas, tidak melakukan pelanggaran kode etik pegawai KPK. Keputusan diambil diambil dengan suara bulat. Sanksi ringan berupa teguran tertulis. Ada 37 orang yang dimintai keterangan. Terdiri dari 4 pimpinan KPK, 4 pegawai KPK, 17 saksi internal, dan 12 saksi eksternal. 3. ANALISIS 3.1 Analisis Terhadap Kode Etik KPK Hingga saat ini belum ada kode etik yang secara khusus ditujukan kepada pimpinan KPK. Kode etik yang ada saat ini secara umum ditujukan kepada anggota KPK. Kode etik untuk pimpinan KPK yang ada saat ini hanya merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang antara lain menyebutkan, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: (1) mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau tidak langsung dengan pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun; (pasal 36). Dari penjelasan di atas menunjukkan ketidakseriusan atau kurangnya komitmen dalam pembuatan kode etik yang secara khusus ditujukan kepada para pimpinan KPK. Padahal
5

pembuatan kode etik dalam suatu organisasi sangat penting apalagi lembaga independen seperti KPK yang bertugas untuk menangani dan memberantas kasus korupsi di Indonesia. Dengan minimnya kode etik terhadap pimpinan KPK, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah dalam tubuh KPK karena seringkali pimpinan KPK mendapatkan gangguan-gangguan dari pihak luar yang mempunyai kepentingan. Hal ini tentu akan mengganggu kinerja dan kredibilitas dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi. Dalam pembuatan kode etik terhadap pimpinan KPK tersebut harus mengatur tentang perilaku dan ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan serta harus memuat sanksi terhadap pelanggaran yang telah dilakukan secara jelas. Kode etik tersebut bersifat mengikat dan wajib dipatuhi oleh setiap pimpinan KPK dalam menjalankan tugasnya demi menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas Komisi Pemberantasan Korupsi. 3.2 Analisis Terhadap Keputusan Komite Etik KPK Keputusan Komite Etik KPK yang memutuskan, empat unsur pimpinan KPK yang menjadi terperiksa tidak melakukan pelanggaran pidana maupun etika. Dua unsur pimpinan KPK, Chandra M. Hamzah dan Haryono Umar, bebas dengan keputusan Komite Etik yang tidak bulat. Tiga anggota komite Etik yang tidak disebut namanya, memuat pendapat berbeda. Putusan untuk M. Busyro Muqoddas dan M. Jasin diambil Komite Etik secara Bulat. Tiga dari tujuh anggota Komite Etik KPK menilai, Chandra M. Hamzah, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, melakukan pelanggaran kode etik. Perbedaan tersebut terdapat pada jenis pelanggaran ringan yang dilakukan oleh Chandra. Dari penjelasan di atas terdapat dissenting opinion atau perbedaan pendapat yang dikeluarkan oleh anggota Komite Etik KPK. Perbedaan pendapat terhadap hasil pemeriksaan
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra M Hamzah, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar, Mantan Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja dan Sekretaris Jenderal KPK Bambang Sapto Praptomosunu. Meski Chandra, Haryono dinyatakan tidak bersalah, tapi

terdapat tiga orang Anggota Komite Etik yang berbeda pendapat dengan putusan tersebut. Demikian pula dengan Bambang, namun ia dinyatakan melakukan pelanggaran ringan. Keputusan bersalah atas pelanggaran ringan juga dijatuhkan Komite untuk Ade. Terdapat dua Anggota Komite yang berbeda pendapat. Adanya dissenting opinion dalam keputusan yang diambil oleh Komite Etik KPK tersebut menjadi isyarat bahwa dalam tubuh KPK
6

sebenarnya ada masalah. Isyarat tersebut menunjukan bahwa KPK tidak benar-benar telah bebas dari masalah yang ada sebelumnya Perbedaan pendapat tersebut merupakan dampak dari ketidakseriusan Komite Etik KPK dalam menindak para pelaku. Perbedaan pendapat tersebut dapat dihindari jika ada aturan yang jelas yaitu mengenai kode etik yang secara khusus mencakup hal-hal yang harus dilakukan, dilarang, serta sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan Selain itu perlu juga dibuat Dewan Kode Etik dalam tubuh KPK yang anggotanya ahli di bidang etik, ahli di bidang code of conduct. Adanya Dewan Kode Etik tersebut dimaksudkan sebagai tempat bertanya bagi seluruh pimpinan dan anggota KPK tentang masalah etika. Selain itu, Komite Etik KPK juga merahasiakan siapa saja yang Dissenting Opinion (mempunyai pendapat yang berbeda) dalam pengambilan keputusan mengenai pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan dan anggota KPK. Hal ini sebenarnya tidak boleh dilakukan karena Lembaga KPK adalah milik masyarakat, jadi harus transparan dan membuka dirinya untuk masyarakat. Bila hal tersebut terus dibiarkan, dikhawatirkan akan menimbulkan persepsi negatif serta munculnya ketidakpercayaan publik terhadap KPK. Mengingat KPK beberapa waktu lalu terlibat dalam permasalahan yang hingga saat ini masih mengambang. Jangan sampai masalah yang ada sekarang menambah polemik baru di tubuh KPK. Keputusan Komite Etik KPK adalah keputusan konspiratif untuk mengamankan unsur pimpinan KPK. Hal tersebut karena Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto yang menjadi anggota Komite Etik sebenarnya masih berstatus tersangka. Meski kasus Bibit dan Chandra deponeering, Bibit masih berstatus tersangka. Secara etis, tidak dapat dibenarkan. Letak kontroversi putusan Komite Etik yang lain adalah mekanisme pengambilan keputusan dan hasil akhir putusan. Selama ini pengambilan keputusan kasus etik di sejumlah lembaga relatif jarang menggunakan cara voting. Dari isi perkara, pengambilan putusan kasus etika juga berbeda dengan kasus pidana yang selama ini mengenal pendapat berbeda (dissenting opinion). Bisa jadi kasus etik lebih besifat kualitatif yang tidak bisa dinilai secara hitam putih. Terlepas dari isi putusan, cara kerja komite etik bisa menyuburkan praktik semangat korps sebuah lembaga saat anggotanya terlibat sebuah

kasus pidana. Seperti diberitakan, pelanggaran etika acapkali mengawali sebuah kasus pidana. Selain itu, yang sulit dipahami adalah kesan dari putusan yang menganggap pertemuan pimpinan KPK dengan Nazaruddin sebagai pertemuan biasa. Semua orang tahu siapa Nazaruddin. Karena itu, awam pun meyakini, jika memang benar ada pertemuan, Nazaruddin dan pimpinan KPK pasti membicarakan sebuah kepentingan. Entah kepentingan Nazaruddin, pimpinan KPK, atau kepentingan pihak lain. Apalagi, seperti diakui Chandra, pertemuan dengan Nazaruddin dilakukan empat kali (Jawa Pos, 24/9). Yang lebih sulit dipahami, mengapa komite etik tidak langsung merujuk pengakuan Chandra tersebut dengan pasal 36 UU KPK. Isi pasal itu jelas menyebut pimpinan KPK dilarang berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung dalam hubungan yang luas, terkait dengan perkara yang ditangani. Artinya, pimpinan KPK dilarang berhubungan dengan tersangka yang beperkara. Kedepan KPK diharapkan harus lebih berhati-hati, khususnya terhadap serangan dari dalam maupun dari luar dengan jurus konspiratif yang di permukaan secara nyata tak ada kaitan dengan tugas KPK memberantas korupsi. Pimpinan KPK ke depan harus selalu menyadari sepenuhnya siapa dirinya, lalu menjaga martabatnya. Pertemuan dengan pihak lain harus dihindari, terutama yang apabila suatu saat akan bisa mengancam kredibilitas KPK dan menimbulkan persepsi yang salah dalam masyarakat. Menjadi pimpinan KPK harus siap kehilangan silaturahmi dan juga privasi. Artinya selalu ingat dirinya bukan salesman yang harus rajin menemui klien di luar kantor. 3.3 Analisis Terhadap Dissenting Opinion Keputusan Komite Etik KPK Ada beberapa poin yang menyebabkan dissenting opinion dalam keputusan yang dibuat oleh Komite Etik KPK, antara lain: Tidak adanya aturan yang jelas (Kode Etik) yang ditujukan kepada pimpinan KPK. Dengan tidak adanya aturan yang mencakup hal yang harus dilakukan, dilarang, serta sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan akan membuat Komite Etik KPK membuat keputusan berdasarkan opini individu. Yang mana kita tahu bahwa opini/pendapat setiap individu berbeda. Hal itu akan menyebabkan dissenting opinion dalam pengambilan keputusan.

Dissenting opinion yang terjadi dalam Komite Etik KPK merupakan cara dari Komite Etik KPK dalam mengamankan unsur pimpinan KPK. Pimpinan KPK yang dimaksud adalah Chandra. Di mana kita tahu bahwa Chandra masih menjadi tersangka kasus Cicak dan Buaya yang kasusnya sekarang deponeering. Mekanisme pengambilan keputusan oleh Komite Etik KPK yang bersifat voting. Selama ini pengambilan keputusan kasus etik di sejumlah lembaga relatif jarang menggunakan cara voting. Dengan menggunakan voting maka akan memperbesar terjadinya perbedaan pendapat. Kurangnya anggota Komite Etik KPK yang ahli di bidang etik, ahli di bidang code of conduct. Anggota Komite Etik KPK terlihat ditempati oleh jabatan politik, bukan jabatan strategis orang yang ahli di bidangnya. 4. PENUTUP 4.1 Temuan Menarik Temuan menarik yang penulis temukan dalam pembuatan tulisan ini adalah mengenai status Chandra yang divonis tidak bersalah oleh Komite Etik KPK dengan dissenting opinion. Mengingat bahwa Chandra masih menjadi tersangka dalam kasus Cicak dan Buaya yang kasusnya deponeering hingga saat ini. Selain itu, yang sulit dipahami adalah kesan dari putusan Komite Etik KPK yang menganggap pertemuan Chandra dengan Nazaruddin sebagai pertemuan biasa. Semua orang tahu siapa Nazaruddin. Karena itu, orang awam pun meyakini, jika memang benar ada pertemuan, Nazaruddin dan Chandra pasti membicarakan sebuah kepentingan. Entah kepentingan Nazaruddin, Chandra, atau kepentingan pihak lain. Apalagi, seperti diakui Chandra, pertemuan dengan Nazaruddin dilakukan empat kali. Yang lebih sulit dipahami, mengapa Komite Etik tidak langsung merujuk pengakuan Chandra tersebut dengan pasal 36 UU KPK Nomor 30 tahun 2002. Isi pasal itu jelas menyebut pimpinan KPK dilarang berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung dalam hubungan yang luas, terkait dengan perkara yang ditangani. Artinya, pimpinan KPK dilarang berhubungan dengan tersangka yang beperkara. 4.2 Kesimpulan Kesimpulan dari tulisan ini adalah: KPK tidak mempunyai Kode Etik yang secara khusus ditujukan kepada Pimpinan KPK.
9

Dissenting opinion yang dibuat oleh Komite Etik KPK merupakan wujud dari ketidak seriusan Komite Etik dalam menindak para pelaku. Adanya dissenting opinion dalam keputusan yang diambil oleh Komite Etik KPK tersebut menjadi isyarat bahwa dalam tubuh KPK sebenarnya ada masalah. Isyarat tersebut menunjukan bahwa KPK tidak benar-benar telah bebas dari masalah yang ada sebelumnya. Komite Etik KPK tidak seharusnya merahasiakan siapa saja yang Dissenting Opinion (mempunyai pendapat yang berbeda) dalam pengambilan keputusan mengenai pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan dan anggota KPK. Hal ini karena Lembaga KPK adalah milik masyarakat, jadi harus transparan dan membuka dirinya untuk masyarakat. Mekanisme pengambilan keputusan dan hasil akhir putusan yang dilakukan oleh Komite Etik KPK menggunakan cara voting. Pengambilan keputusan kasus etik di sejumlah lembaga relatif jarang menggunakan cara voting. 4.3 Rekomendasi Rekomendasi yang dapat penulis sampaikan antara lain: KPK harus membuat Kode Etik Pimpinan KPK yang mengatur tentang perilaku dan ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan serta harus memuat sanksi terhadap pelanggaran yang telah dilakukan secara jelas. Pembentukan Dewan Kode Etik dalam tubuh KPK yang anggotanya ahli di bidang etik, ahli di bidang code of conduct. Komite Etik KPK harus secara tegas merujuk pada pasal 36 UU KPK terhadap pelanggaran kode etik KPK. Isi pasal itu jelas menyebut pimpinan KPK dilarang berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung dalam hubungan yang luas, terkait dengan perkara yang ditangani.

10

DAFTAR PUSTAKA Beratnya Kehilangan Silaturahmi, Kompas, 24 September 2011. Chandra 4 kali Bertemu Nazar, jawa Pos, 24 September 2011. Komite Etik KPK Mentahkan Nyanyian Nazaruddin, Jawa Pos, 6 Oktober 2011. Pimpinan KPK Harus hati-Hati, Kompas, 6 Oktober 2011. hal. 15.

11

You might also like