You are on page 1of 11

LAPORAN UTAMA KEMITRAAN PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PELAYANAN PUBLIK Caroline Paskarina1

Pengantar Perkembangan paradigma pemerintahan dewasa ini telah mengubah tata kelola pemerintahan menjadi lebih terbuka, sehingga ada pembagian peran dan kerjasama antara unsur-unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik yang semakin meningkat mendorong pemerintah untuk berbagi peran dengan unsur-unsur non pemerintah. Pemerintah tidak mungkin lagi mengerjakan semua urusan karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia, sehingga kerjasama dan kemitraan dengan pihak-pihak lain harus dilakukan agar kualitas pelayanan publik tetap dapat dipenuhi sesuai dengan tuntutan masyarakat. Berbagai bentuk kerjasama sebenarnya telah dipraktikan sejak lama, antara lain dalam bentuk privatisasi, contracting out, build operation transfer, build own operates, dll. Namun, model-model ini sebenarnya berbeda dengan model public and private partnership (PPP). Bentuk-bentuk kerjasama selain PPP mensyaratkan kerjasama yang terus-menerus antara pemerintah dan swasta, dengan pemerintah menetapkan persyaratan dan peraturan yang harus dipatuhi oleh sektor swasta yang menjadi mitranya. Sebaliknya, dalam konsep PPP, ada peluang yang lebih besar untuk berkompetisi dalam rangka menyediakan pelayanan publik, baik yang diberikan oleh sektor swasta sendiri, maupun melalui kerjasama antara pemerintah dan swasta. Privatisasi cenderung menciptakan monopoli, sehingga manfaat dari kemitraan pemerintah dan swasta tidak optimal. Sebagai suatu konsep, PPP diprediksi dapat meningkatkan kualitas pelayanan public. Namun operasionalisasi konsep ini memerlukan pergeseran mendasar dalam pola pikir penyelenggara pemerintahan. Keberhasilan pemerintahan tidak hanya diukur dari input yang diperoleh, melainkan melalui outcome yang dapat dihasilkan. PPP bukanlah konsep yang dapat diterapkan untuk setiap kondisi, tetapi lebih merupakan konsep yang situasional (tailored model) yang dapat dibentuk dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Karena itu, sebelum memilih PPP sebagai alternatif model penyediaan pelayanan publik, perlu

Penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad dan Staf Peneliti pada Puslit Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lemlit Unpad

LAPORAN UTAMA diketahui dulu dimensi-dimensi PPP, berbagai tipe yang dapat diaplikasikan, serta prakondisi untuk menerapkan PPP dengan berpatokan pada konteks dan kebutuhan Jawa Barat.

Dimensi Kemitraan Pemerintah dan Swasta PPP merupakan pengaturan antara pemerintah dan sektor swasta untuk menyediakan berbagai jenis pelayanan publik, seperti pembangunan infrastruktur, penyediaan fasilitasfasilitas komunitas, dan berbagai jenis pelayanan lainnya. PPP bercirikan adanya pembagian investasi, risiko, pertanggungjawaban, dan penghargaan antara pemerintah dengan sektor swasta yang menjadi mitranya. Alasan yang melatarbelakangi lahirnya model tersebut umumnya berkaitan dengan pembiayaan, perancangan, konstruksi, operasionalisasi, dan pemeliharaan pelayanan infrastruktur. Dengan adanya kemitraan, maka kelebihan yang dimiliki oleh pemerintah maupun sektor swasta dapat dipadukan. Peran dan

pertanggungjawaban dari kemitraan bisa beragam, bisa jadi peran pemerintah lebih banyak atau sebaliknya, peran swastalah yang lebih banyak dalam suatu bentuk kemitraan. Namun, peran pemerintah yang kuat dan efektif tetap diperlukan dalam pembuatan kebijakan. Pemerintah tetap menjadi pihak yang bertanggung jawab dan akuntabel untuk menjamin kualitas pelayanan publik. Pada prinsipnya, dalam PPP, terdapat dua pelaku yang terlibat, yakni pemerintah dan swasta. Keduanya bekerjasama sebagai mitra, dalam hal ini tidak ada pihak yang bersifat membawahi pihak lain. Dalam PPP ada tujuan bersama berdasarkan komitmen yang hendak dicapai, dan berdasarkan komitmen tanggungjawab sendiri. Setiap pihak memberikan input, bisa finansial atau sumber daya lainnya. Kedua belah pihak bersedia menanggung risiko dan pembagian keuntungan berdasarkan pertimbangan input yang diberikan (share) dalam kesepakatan perjanjian. Terdapat sejumlah tipe PPP yang didasarkan pada derajat risiko yang ditanggung kedua belah pihak; jumlah keahlian yang diperlukan dari setiap pihak untuk menegosiasikan perjanjian; serta implikasi yang muncul dari hubungan tersebut. Berikut ini gambaran singkat mengenai berbagai tipe PPP.

LAPORAN UTAMA Gambar 1 Tipe-tipe Public Private Partnership Spektrum Tipe-Tipe PPP Publik Penyedia Investasi Pemerintah Swasta Fasilitator dan Regulator
Konsesi BuildOperatesTransfers BuildOperatesOwn Lepas

Kontrak Pelayanan

Kontrak Pengelolaan

Sewa

Sumber: Adaptasi dari Kumar dan Prasad, 2004 Gambar 1 menunjukkan 5 (lima) tipe umum dari model PPP yang diklasifikasikan berdasarkan spektrum investasi dan peran pemerintah. Bentuk kontrak pelayanan (service contract) merupakan bentuk PPP yang lebih banyak menitikberatkan pada peran pemerintah, baik dari sisi investasi maupun penyediaan jasa layanan. Sebaliknya, model build operatesown secara lepas merupakan bentuk PPP yang menitikberatkan investasi dan penyediaan pelayanan pada sektor swasta. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator. Perbedaan yang lebih rinci dari tiap tipe diuraikan dalam tabel-tabel berikut ini: Tabel 1 Perbedaan Antar Tipe PPP

Sumber: Adaptasi dari Kumar dan Prasad, 2004

LAPORAN UTAMA Selain kelima model tersebut, terdapat beberapa varian lain dari model PPP, antara lain seperti dikemukakan oleh Ministry of Municipal Affairs (1999) yang mengklasifikasikan tipe PPP ke dalam 10 varian, yakni: operations and maintenance (operasionalisasi dan pemeliharaan)2; design-build (perencanaan dan pengembangan)3; turnkey operation (pengoperasian)4; wrap arround addition (penambahan dalam fasilitas yang sudah ada)5; lease-purchase (sewa-beli)6; temporary privatization (privatisasi sementara)7; lease-developoperate or buy-develop-operate (sewa-pengembangan-operasionalisasi Build-Transfer-Operate atau belipengembangan-operasionalisasi)8; pengalihan)10;

(pembangunan-pengalihan-

pengoperasian)9; Build-Own-Operate-Transfer (pembangunan-kepemilikan-pengoperasiandan Build-Own-Operate (pembangunan-kepemilikan-pengoperasian)11.

Pengklasifikasian ini didasarkan pada pembagian peran di antara pihak-pihak yang bermitra serta jenis pelayanan yang cocok untuk masing-masing tipe, yang umumnya digunakan pada berbagai jenis pelayanan, termasuk penyediaan air bersih dan pembuangan air, pembuangan sampah padat, pemeliharaan taman, arena olah raga, fasilitas rekreasi, fasilitas parkir, gedung-gedung pemerintah, serta saluran pembuangan.
Model ini didasari oleh kontrak antara pemerintah dan swasta untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas publik. 3 Didasari oleh kontrak pemerintah dan swasta untuk merencanakan dan mengembangkan fasilitas yang memenuhi standar dan prasyarat kinerja pemerintah. Ketika fasilitas itu telah dibentuk, maka pemerintah akan menjadi pemilik yang bertanggung jawab terhadap penggunaan fasilitas tersebut 4 Pemerintah menyediakan dana untuk melaksanakan kegiatan, tapi melibarkan sektor swasta untuk mendesain, membangun, dan mengoperasikan fasilitas utnuk jangka waktu tertentu. Sasaran kinerja ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah yang menjadi pemilik dari fasilitas tersebut 5 Pihak swasta membiayai dan membangun fasilitas tambahan pada fasilitas yang sudah ada. Selanjutnya, pihak swasta dapat mengoperasikan fasilitas tambahan ini untuk jangka waktu tertentu sampai dapat mengembalikan investasi dan keuntungan dari investasi tersebut 6 Kontrak pemerintah dengan pihak swasta untuk mendesain, membiayai, dan membangun fasilitas pelayanan publik. Pihak swasta kemudian menyewakan fasilitas tersebut pada pemerintah untuk jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu itu habis, maka fasilitas akan menjadi milik pemerintah. Model ini dapat diterapkan bila pemerintah memerlukan suatu fasilitas tapi tidak punya cukup biaya untuk membangunnya 7 Kepemilikan fasilitas publik yang sudah ada diberikan pada pihak swasta untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan fasilitas. Fasilitas itu kemudian dimiliki dan dioperasikan oleh pihak swasta dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam kontrak atau sampai pihak swasta sudah dapat mengembalikan modal investasi ditambah keuntungannya 8 Mitra swasta menyewa atau membeli sebuah fasilitas dari pemerintah, kemudian mengembangkan atau memodernisasikannya, selanjutnya mengoperasikannya sesuai dengan kontrak yang dibuat bersama pemerintah. Pihak swasta diharapkan untuk berinvestasi dalam pengembangan fasilitas dan diberi jangka waktu yang pasti untuk mengembalikan dan memperoleh keuntungan dari investasi tersebut 9 Didasari kontrak pemerintah dengan swasta untuk membiayai dan membangun fasilitas, di mana setelah fasilitas itu selesai dibangun, maka pihak swasta mengalihkan kepemilikan fasilitas itu pada pemerintah. Pemerintah kemudian menyewakan fasilitas itu lagi kepada swasta berdasarkan sewa jangka panjang yang memungkinkan swasta mengembalikan investasi dan memperoleh keuntungan 10 Pihak pengembang swasta memperoleh hak franchise secara ekslusif untuk membiayai, membangun, mengoperasikan, memelihara, mengelola, dan mengumpulkan biaya pungutan selama periode tertentu untuk mengembalikan investasi. Di akhir hak franchise, kepemilikan dialihkan kembali pada pemerintah 11 Pemerintah dapat mengalihkan kepemilikan dan tanggung jawab atas suatu fasilitas yang sudah ada, atau mengadakan kontrak dengan swasta untuk membangun, memiliki, dan mengoperasikan fasilitas yang baru dibangun. Pihak swasta menyediakan dana untuk pembangunan fasilitas tersebut
2

LAPORAN UTAMA Berdasarkan model-model tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPP terutama memberikan keuntungan dalam bentuk efisiensi dan efektivitas dalam penyediaan pelayanan publik yang berkualitas. Namun, di sisi lain, peran swasta dalam pendanaan (investasi) fasilitas pelayanan tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab pemerintah untuk merumuskan regulasi yang menjamin standar pelayanan dan biaya yang tetap terjangkau bagi semua masyarakat pengguna jasa. Pemerintah menetapkan aturan dasar untuk menentukan model PPP yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kontrol pemerintah memang berkurang dalam sejumlah tipe PPP, tetapi sebenarnya pemerintah tetap berperan penting dalam menjamin kualitas pelayanan yang diberikan oleh pihak swasta. Karena itu, tanggung jawab dan akuntabilitas tetap berada di tangan pemerintah. Model PPP juga dapat menjadi alternatif untuk mendorong investasi karena ada kepastian pengembalian modal dan keuntungan bagi pihak swasta yang menanamkan modalnya. PPP tidak hanya visibel bagi proyek-proyek infrastruktur yang padat modal, tapi juga dapat diterapkan untuk berbagai jenis pemeliharaan fasilitas publik, seperti pemeliharaan jalan, tempat rekreasi, dan gedung-gedung pemerintah. Biaya pemeliharaan fasilitas tersebut umumnya menjadi beban anggaran publik, padahal biaya yang diperlukan cukup besar, sehingga melalui PPP, biaya tersebut dapat ditanggung bersama oleh pihak-pihak yang bermitra. PPP akan kurang tepat diterapkan untuk penyediaan pelayanan yang termasuk public goods, seperti penegakan hukum, perlindungan lingkungan hidup, dan pelayanan sosial. Model tersebut juga kurang tepat untuk jenis-jenis pelayanan dasar, seperti jasa keamanan, pemadam kebakaran, dan pelayanan-pelayanan darurat lainnya. Sebaliknya, model PPP akan lebih efektif diterapkan untuk jenis pelayanan pemeliharaan fasilitas rekreasi, manajemen penyediaan air, dan pengelolaan sampah. Meskipun demikian, berbagai risiko yang mungkin muncul juga perlu

dipertimbangkan sebelum memilih untuk menerapkan PPP, termasuk risiko politik manakala perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam skema PPP gagal mencapai tujuan yang diharapkan. Image pemimpin politik dapat menurun akibat kegagalan dalam menerapkan PPP, bahkan dapat dipolitisasi untuk mendelegitimasi pemerintah. Bias dalam memilih mitra swasta, konflik kepentingan, bahkan isu-isu ketenagakerjaan dapat dikembangkan sebagai alasan untuk mendiskreditkan PPP.

LAPORAN UTAMA Prakondisi untuk Operasionalisasi PPP Model PPP tidak selalu cocok digunakan dalam setiap kondisi karena tiap jenis pelayanan memiliki karakteristik khusus yang tidak selalu tepat disandingkan dengan model PPP. Pemerintah dapat mulai mempertimbangkan untuk menerapkan PPP bila penyediaan pelayanan publik menghadapi kendala-kendala sebagai berikut: Tabel 2 Alasan-alasan Diterapkannya Model PPP Pemerintah menghadapi keterbatasan dana dan sumber daya manusia yang kompeten dalam menyediakan pelayanan tersebut; Pihak swasta dapat memberikan pelayanan dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan bila diberikan oleh pemerintah; Pihak swasta dapat menjamin bahwa pelayanan dapat diberikan lebih cepat dibandingkan bila disediakan oleh pemerintah; Ada dukungan dari pengguna jasa untuk melibatkan pihak swasta sebagai penyedia pelayanan; Ada peluang kompetisi di antara para calon mitra swasta; Tidak ada ketentuan perundang-undangan yang melarang pelibatan pihak swasta dalam penyediaan jasa pelayanan; Luaran dari pelayanan dapat dengan mudah diukur dan ditetapkan tarifnya dengan rasional; Biaya pelayanan dapat diperoleh kembali melalui penetapan tarif penggunaan jasa layanan; Ada peluang inovasi dalam penyediaan pelayanan; Ada rekam jejak (track record) atau pengalaman kemitraan antara pemerintah dan swasta yang sudah dilakukan sebelumnya; Ada peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kemitraan tersebut. Sumber: terjemahan bebas dari The Stationery Office, London, 2000 Jika salahsatu dari alasan-alasan tersebut tidak terpenuhi, maka model PPP sebaiknya tidak diterapkan karena model tersebut, rentan dengan risiko-risiko finansial maupun politis yang dapat membebani masyarakat pengguna jasa layanan di kemudian hari. Sebelum memutuskan untuk menerapkan PPP, ada sejumlah prakondisi yang perlu dipersiapkan agar PPP dapat mencapai hasil yang dikehendaki. Untuk menjamin keberhasilan PPP, diperlukan kondisi-kondisi di bawah ini yang juga dikenal sebagai process conditions (Kouwenhoven, 1993: 119-130), yaitu: (1) mutual trust; (2) unambiguity and recording of objectives and strategy; (3) unambiguity and recording of the division of cost, risks and returns; (4) unambiguity and recording of the division of responsibilities and authorities; (5) phasing of the project; (6) conflict regulation laid down beforehand; (7) legality; (8) protection of the third parties interests and rights; (9) adequate support and control facilities; (10) business

LAPORAN UTAMA and market oriented thinking and acting; (11) internal coordination; dan (12) adequate project organization. Prakondisi tersebut mempertegas diperlukan perencanaan yang matang oleh pemerintah sebagai landasan dalam memulai PPP. Model tersebut tidak otomatis memberikan hasil yang diharapkan, sehingga perlu ada strategi yang jelas untuk mengantisipasi kendala dan risiko yang mungkin muncul. Sebagai suatu proses, PPP merupakan siklus yang berkesinambungan mulai dari tahap perencanaan (input) hingga ke tahap implementasi dan monev (output) yang menghasilkan masukan balik untuk memperbaiki input. Gambar 2 Siklus Kegiatan Kemitraan

Sumber: Purwoko, 2006 Pada tahap input, PPP diawali oleh kegiatan identifikasi kebutuhan yang mencakup pemetaan potensi, masalah, kepentingan, dan fasilitas pelayanan publik yang akan dikelola melalui PPP. Hasilnya yang berupa kebijakan akan melandasi proses realisasi PPP secara substantif maupun administratif. Dimensi substantif antara lain mencakup kriteria dan metode untuk memilih mitra swasta, jenis pelayanan yang akan dikelola, penentuan kriteria evaluasi, dan metode pelibatan publik untuk menjamin akuntabilitas proses. Sementara dimensi administratif mencakup prosedur dan mekanisme yang ditempuh dalam merealisasikan perjanjian kemitraan tersebut. Kinerja kemitraan ini akan terlihat pada tahapan output yang secara konkret tampak dari realisasi program kerja dan hasil monev sebagai bahan masukan bagi perbaikan kinerja pelayanan di masa mendatang. Dalam konteks pembangunan Jawa Barat yang semakin kompleks, model PPP cukup menarik untuk dikembangkan sebagai alternatif dalam penyediaan pelayanan publik, apalagi 7

LAPORAN UTAMA pemerintah tidak bisa lagi berperan tunggal untuk memenuhi semua tuntutan masyarakat. Banyak fasilitas pelayanan publik yang juga menjadi aset pemerintah, seperti gedung-gedung, tempat rekreasi, dan fasilitas infrastruktur yang terbengkalai pemeliharaannya, bisa dikelola dengan lebih baik melalui model PPP. Hal tersebut dapat menghindarkan pemerintah dari kehilangan aset akibat tidak terkelolanya aset dengan baik, sehingga beralih kepemilikan tanpa diketahui. Selain itu, pola kemitraan dengan swasta juga dapat membantu mengubah pola penganggaran, sehingga lebih banyak dana yang dialokasikan untuk pembiayaan pembangunan sosial, seperti untuk pendidikan, kesehatan, atau asuransi sosial. Bila model PPP ini diterapkan, setidaknya terdapat tujuh kemungkinan pola interaksi kemitraan, pertama, seratus persen pengaturan, kontrol dan evaluasi dilakukan pemerintah secara otonom dan mandiri. Kedua, ada interaksi antara sektor publik dan sektor swasta. Interaksi ini terjadi pada derajat yang berbeda, bisa 99% publik dan 1% swasta atau sebaliknya 1% publik dan 99% swasta. Ada elemen-elemen yang contracting out (misalnya perawatan kendaraan, kebersihan) atau pembagian tugas (tindakan preventif dan pembangunan saluran hidran). Ketiga, dimungkinan 100% peran sektor swasta, dengan tidak melibatkan masyarakat dan pemerintah, artinya penyediaan pelayanan sepenuhnya dikelola swasta, dengan tidak ada keterlibatan pemerintah baik pada regulasi maupun penyediaan fasilitas. Keempat, ada interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Pegawai fasilitas pelayanan, misalnya, merupakan kombinasi antara tenaga profesional pemerintah dan sukarelawan masyarakat. Kelima, urusan pelayanan publik 100% menjadi urusan masyarakat. Tidak ada organisasi pemerintah maupun swasta yang telibat dalam perencanaan, pengadaan, dan penanganan masalah tersebut. Keenam, kombinasi antara organisasi swasta yang berorientasi pada profit dengan LSM yang non profit. Lembaga penyedia pelayanan mungkin ditangani swasta, tetapi dikombinasikan dengan tenaga profesional dan warga masyarakat. Yang terakhir merupakan kombinasi dari tiga pilar governance: pemerintah (publik), swasta, dan masyarakat. Kombinasi tersebut sama dengan interaksi antara public-private tetapi dengan tambahan tenaga sukarelawan dari masyarakat. Dengan demikian, di masa mendatang, tidak hanya model PPP yang perlu dikembangkan dalam penyediaan pelayanan publik. Model kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat juga perlu dikembangkan agar penyediaan pelayanan publik menjadi lebih dekat dan mudah diakses masyarakat. Berbagai model jejaring kemitraan perlu dikembangkan tidak hanya untuk mengantisipasi tuntutan pelayanan publik, tapi juga untuk mengantisipasi dominasi pemerintah atau pasar dalam penyediaan barang dan jasa publik. Dominasi pemerintah akan menciptakan ketergantungan dan meminimalkan inovasi serta 8

LAPORAN UTAMA posisi tawar masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Sebaliknya, dominasi pasar dalam penyediaan public goods akan menyebabkan monopoli yang eksploitatif dan meminimalkan akses masyarakat terhadap pelayanan publik yang berkualitas. Karena itu, model jejaring kemitraan menjadi alternatif untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut agar pelayanan publik yang berkualitas menjadi lebih mudah diakses masyarakat.

Tepi Cikapundung, 13 Oktober 2007

Daftar Pustaka Kouwenhoven, Vincent. 1993. The Rise of The Public Private Partnership. Dalam Jan Koiman. Modern Governance. London: Sage Publications. Kumar, Sasi dan C. Jayasankar Prasad. 2004. Public-Private Partnerships in Urban Infrastructure. Dalam Kerala Calling, edisi Februari. Kumorotomo, Wahyudi. 1999. Kemitraan Usaha sebagai Alternatif dalam Pembiayaan Sektor Publik di Daerah. Dalam Jurnal Sosial-Politik, Volume 3, Nomor 1, Juli. Ministry of Municipal Affairs. 1999. Public-Private Partnership: A Guide for Local Government. British Columbia. The Stationery Office. 2000. Public Private Partnership: The Governments Approach. London. Purwoko, Bambang. 2006. Jejaring dan Kemitraan dalam Pengembangan Governance. Download dari www.bpurwoko.staff.ugm.ac.id

You might also like