You are on page 1of 77

I.

PENDEKATAN TERHADAP PASIEN DENGAN PENYAKIT NEUROLOGIS

Neurologi dikenal sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran yang paling sulit. Pada awalnya mahasiswa dan residen yang baru mendalami ilmu neurologi mungkin akan mudah merasa gamang dan takut dengan kompleksitas sistem saraf saat mereka pertama kali berkontak dengan neuroanatomi, neurofisiologi, neuropatologi, neurogenetik dan biologi sel. Kebiasaan yang selanjutnya mereka lihat berupa serangkaian prosedur yang disusun untuk membangkitkan tanda klinis tertentu pada pasien neurologi sering dirasakan sulit untuk diterima, sementara pada kenyataannya prosedur tersebut sering membingungkan pemeriksa dalam proses berpikir untuk menegakkan diagnosis. Lebih lanjut, para mahasiswa juga hanya memiliki sedikit dan bahkan hampir tidak ada pengalaman sama sekali tentang berbagai teknik khusus dalam pemeriksaan neurologiseperti pungsi lumbal, elektromiografi (EMG), elektroensefalografi (EEG), CTScan, MRI dan pemeriksaan pencitraan lainnyadimana mereka juga kurang memiliki kemampuan dalam menginterperetasikan hasil pemeriksaan tersebut. Buku ajar neurologi hanya menjelaskan secara detail beberapa hal yang meragukan pada kasus-kasus sistem saraf yang jarang ditemukan. Penulis pencaya bahwa kesulitan dalam memahami teori neurologi tersebut bisa diatasi dengan mempelajari prinsip dasar kedokteran klinis. Suatu hal yang sangat penting disini adalah mempelajari teknik dan mencukupkan alat yang digunakan dalam metode klinis. Tanpa apresiasi yang tinggi terhadap metode ini, maka para mahasiswa akan mengalami kesulitan saat menghadapi suatu masalah klinis baru, sama halnya dengan ahli pertanian dan ahli kimia yang ingin menyelesaikan masalah penelitian namun tidak terlebih dahulu memahami langkahlangka dalam metode ilmiah. Bahkan, seorang neurologis berpengalaman yang

dihadapkan dengan masalah neurologis yang rumit pendekatan dasar kedokteran klinis ini.

juga akan bergantung pada

Metode klinis dianggap lebih memiliki arti penting dalam mempelajari penyakit neurologis dibandingkan dengan ilmu kedokteran lainnya. Pada sebagian besar kasus, metode klinis memiliki beberapa langkah sebagai berikut : 1. Tanda dan gejala didapatkan pelalui anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. 2. Gejala dan tanda fisik yang dianggap berhubungan dengan masalah tertentu diinterpretasikan secara fisiologis dan anatomis untuk menggambarkan ganguan fungsi dan struktur anatomi menggambarkan gangguan struktur yang dikenai. 3. Dengan analisis ini, para klinisi bisa menentukan lokasi terjadinya proses penyakit, misalnya menentukan bagian dari sistem saraf yang terkena. Langkah ini dinamakan diagnosis anatomis atau topografik. Kumpulan tanda dan gejala yang khas sering dikelompokkan menjadi sindrom anatomis, fisiologis maupun temporal. Perpaduan tanda dan gejala ini dalam satu

kesatuan akan sangat membantu untuk mengetahui proses perjalanan alamiah peyakit. Langkah ini disebut diagnosis sindrom dan sering dihubungkan secara pararel dengan diagnosis anatomi. 4. Dari diagnosis anatomi dan data medis lainnyaterutama mengenai cara dan lama onset, perkembangan penyakit, keterlibatan sistem organ nonneurologis, riwayat penyakit dahulu dan riwayat keluarga yang berhubungan serta hasil pemeriksaan laboratoriumakan didapatkan dignosis patologik, dan ketika mekanisme serta penyebab penyakit telah dapat ditentukan, maka diagnosis etiologi juga dapat ditegakkan. Hal ini bisa mencakup etiologi secara genetik dan molekuler, yang jumlahnya bisa meningkat tajam jika sudah dilakukan serangkaian pemeriksaan khusus. Klinisi ahli sering berhasil menegakkan diagnosis sementara yang tepat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, baik yang mempertajam diagnosis ataupun untuk menyingkirkan penyakit

khas lainnya. Dalam prakteknya diperlukan proses berpikir yang fleksibel untuk menghindari terperangkap dalam keterangan yang salah dan secara selektif mengeluarkankan data yang meragukan. Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan neurologis sesuai dengan proses kerja sistem saraf. 5. Akhirnya, para klinisi harus menentukan tingkat disabilitas dan memutuskan apakah kelainannya bersifat temporer atau permanen (diagnosis fungsional) karena hal ini penting dalam manajemen pasien dan menentukan potensi pemulihan fungsi. Semua langkah ini dilakukan untuk mendapatkan terapi efektif, yang merupakan suatu harapan yang sedang berkembang dalam neurologi. Seperti telah ditekankan berulang-ulang pada bagian berikut ini, selalu ada proses diagnosis premium dalam menemukan penyakit yang bisa diobati, bahkan jika pengobatan khusus tidak tersedia, diagnosis yang akurat pun dapat menjadi terapi, karena ketidakjelasan penyebab dari suatu penyakit saraf akan lebih menjadi masalah bagi pasien dibandingkan dengan penyakitnya itu sendiri.

Gambar 1-1 tentang diagram prosedur pemecahan masalah klinis berupa serangkaian langkah berurutan yang sederhana yang kemudian disimpulkan menjadi diagnosis penyakit saraf. Pendekatan skematik ini, yang memungkinkan penentuan lokasi pasti dan bahkan diagnosis yang tepat, merupakan satu dari daya tarik intelektual dalam bidang neurologi. Solusi untuk masalah klinis tentu saja tidak selalu perlu skematisasi dengan cara ini. Terdapat berbagai variasi yang luas dalam hal urutan dan tata cara metode klinis untuk mengumpulkan informasi dan menginterpretasikannya. Kenyataannya pada beberapa kasus, tidak perlu selalu mengikuti pola formal. Dalam hubungannya dengan diagnosis sindromik yang tersebut di atas, sekali muncul biasanya gambaran penyakit tersebut akan sangat khas, misalnya pada penyakit Parkinson. Pada kasus lain, tidak perlu melakukan analisis klinis melebihi tingkat diagnosis anatomis, dimana hal itu sebenarnya mungkin mengindikasikan penyebab penyakit. Contohnya ketika vertigo, ataksia serebellar, sindrom Horner unilateral, paralisis pita suara, dan analgesia wajah pada onset akut, digabung dengan hilangnya rasa nyeri dan sensasi suhu pada lengan, batang badan dan tungkai sisi yang berlawanan, maka penyebabnya adalah suatu oklusi arteri vertebralis, karena semua struktur yang terlibat terletak pada medulla lateralis, yang merupakan daerah dari arteri ini. Jadi diagnosis anatomis menentukan dan membatasi kemungkinan etiologi. Bila tandatanda klinis mengarahkan pada penyakit saraf perifer, biasanya tidak perlu memikirkan penyebab penyakit pada medulla spinalis. Terdapat beberapa tanda spesifik, misalnya opsoklonus untuk degenerasi paraneoplastik serebelar dan pupil Argill Robertson untuk neurosifilitik atau neuropati okulomotor diabetik. Meskipun demikian, tetap hati-hati untuk menyebut suatu tanda sebagai patognomonik ditengah tanda-tanda pengecualian yang didapatkan. Klinisi berpengalaman terbiasa mengelompokkan setiap kasus dalam sekumpulan gejala khas, atau disebut sindrom. Perlu diingat bahwa sindrom bukanlah suatu bentuk penyakit, tetapi lebih merupakan abstraksi yang disusun klinisi untuk mempermudah mendapatkan diagnosis. Contohnya, kompleks gejala konfusi kanan-

kiri, ketidakmampuan menulis, berhitung dan mengenali jari-jari sendiri, yang sering disebut sebagai sindrom Gerstmann, penemuan yang demikian menentukan lokus anatomis penyakit (regio girus angularis kiri), dan pada saat yang sama membatasi faktor-faktor etiologi yang mungkin.

Pada analisis awal dari suatu kelainan neurologis, penentuan lokasi anatomis lebih diutamakan daripada diagnosis etiologi. Untuk mencari penyebab penyakit sistem saraf tanpa lebih dahulu memastikan bagian atau struktur mana yang dipengaruhi akan analog dengan mencari diagnosis etiologi tanpa mengetahui apakah penyakit tersebut melibatkan paru-paru, perut ataupun ginjal pada bagian ilmu penyakit dalam. Memastikan penyebab suatu sindrom klinis (diagnosis etiologi) memerlukan pengetahuan yang menyeluruh. Disini perlu adanya pengetahuan klinis yang rinci, termasuk onset, perjalanan penyakit, dan riwayat alamiah dari beragam penyakit. Fakta-fakta ini disusun dan disajikan pada bab-bab berikutnya. Ketika dihadapkan pada sekumpulan tanda-tanda klinis yang tidak memiliki analisis

sederhana atau berurutan, terpaksa mengingat pembagian klasik yang luas dari penyakit dalam berbagai cabang ilmu kedokteran, seperti dirangkum pada tabel 1-1. Terlepas dari proses berpikir yang digunakan dalam memecahkan suatu masalah klinis tertentu, langkah dasar dalam menegakkan diagnosis selalu mencakup bagaimana mendapatkan gejala dan tanda klinis yang akurat, serta interpretasi yang benar berkenaan dengan kerusakan fungsi sistem saraf. Sering ditemukan bahwa saat terdapat ketidakpastian atau ketidaksepakatan terhadap diagnosis, diketahui ternyata penyebabnya adalah kesalahan dalam menginterpretasikan gejala dan tanda klinis. Jadi, apabila keluhan pusing lebih diidentifikasi sebagai vertigo daripada nyeri kepala ringan atau serangan epilepsi parsial kontinua disalahartikan sebagai gangguan ekstrapiramidal seperti halnya tremor atau koreoatetosis, maka arah pemeriksaan klinis akan salah dari awal.

PREVALENSI DAN INSIDEN PENYAKIT NEUROLOGIS Tabel 1-2 menampilkan estimasi prevalensi rata-rata penyakit neurologis di Amerika Serikat yang diambil dari berbagai sumber, termasuk NIH, guna memperluas perspektif klinisi mengenai frekuensi penyakit neurologis. Donaghy dkk telah membuat daftar yang serupa namun dalam cakupan yang lebih luas dari insiden berbagai penyakit neurologis yang sering ditemukan oleh dokter umum di Inggris. Mereka mencatat stroke sebagai penyakit yang paling banyak ditemukan, diikuti dengan berbagai penyakit neurologis lain seperti terlihat pada tabel 1-3. Survei yang lebih mendalam, seperti yang dilakukan oleh Hirst dkk, memberikan gambaran angka prevalensi yang sama, dimana migrain, epilepsi dan sklerosis multipel sebagai penyakit yang paling sering ditemukan pada populasi umum (121.7,1 dan 0,9 per 1000 penduduk pertahun); stroke,cedera kepala dan cedera medulla spinalis terjadi sebanyak 183,101 dan 4,5 per 100.000 penduduk pertahun; alzhimer, parkinson dan sklerosis lateral amiotropik (ALS) di antara para lansia sebanyak 67, 9.5 dan 1.6 per 100,000 pertahun. Data-data ini cukup membantu dalam mendorong sumber daya

masyarakat untuk mengobati berbagai kondisi tersebut, namun agak kurang membantu para klinisi dalam menegakkan diagnosis Diperlukan prioritas hal mana yang lebih mungkin untuk menjadi diagnosis, kecuali jika mereka selalu berpegang pada diktum tak tertulis keadaan biasa yang lazim terjadi.

MELAKUKAN ANAMNESIS Dalam ilmu neurologi, klinisi lebih tergantung kepada kerjasama pasien untuk mendapatkan riwayat penyakit yang reliable melebihi bidang spesialisasi lain, terutama mengenai gambaran gejala yang tidak disertai dengan tanda pemeriksaan fisik yang jelas. Jika gejalanya berupa gangguan sensorik, maka hanya pasienlah yang dapat mengatakan apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Sebagai langkah awal dalam pemeriksaan klinis adalah mendapatkan kepercayaan dan kerjasama pasien serta menekankan pentingnya anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sangat dianjurkan untuk selalu membuat catatan di bangsal atau ruangan. Keluhan pasien sebaiknya langsung dicatat karena hal ini menjamin reliabilitas
8

maksimal, namun seberapa reliabel pun riwayat penyakit tersebut, tetap diperlukan verifikasi cerita passion dengan pihak lain yang objektif dan banyak mengetahui kondisi pasien. Beberapa hal di bawah ini yang patut diketahui dalam melakukan anamnesis neurologi: 1. Kita harus memberikan perhatian khusus supaya tidak mengarahkan secara subjektif dalam menganamnesis keluhan pasien. Sering terjadi kesalahan dan inkonsistensi dari pencatatan riwayat penyakit, baik kesalahan dari dokter maupun keterangan yang salah dari pasien. Kita perlu mencegah pasien agar tidak merangkai keluhan sesuai dengan penyakit yang pernah didengarnya, disisi lain pasien harus didorong untuk memberikan deskripsi gejala seakurat mungkin, misalnya diminta memilih kata yang sederhana dan paling tepat untuk mendeskripsikan rasa nyeri dan menggambarkan secara tepat apa yang ia maksud dengan keadaan tertentu seperti dizziness, imbalansi atau vertigo. Ppasien yang memberikan keterangan yang berbelit-belit dapat diatasi dengan memberikan pertanyaan langsung mengenai keluhannya. 2. Keadaaan dimana terjadinya penyakit, onset dan perjalanan penyakit merupakan hal yang sangat penting. Kita harus mempelajari bagaimana setiap gejala muncul dan berkembang. Jika informasi di atas tidak bisa didapatkan dari pasien maupun keluarganya, maka perlu untuk melihat perjalan penyakit dari apa yang bisa dilakukan pasien pada waktu yang berbeda (seperti berapa jauh dia bisa berjalan, kapan tidak bisa lagi menaiki tangga atau melakukan pekerjaan seperti biasa) atau perubahan temuan klinis dari pemeriksaan yang berulang-ulang. 3. Karena penyakit neurologis sering menimbulkan gangguan fungsi mental, maka penting bagi seorang dokter untuk memutuskan pasien dengan penyakit neurologis mana yang dapat dipercaya dalam memberikan keterangan tentang penyakitnya. Jika kemampuan atensi, memori dan berfikir koheren pasien tidak adekuat maka riwayat penyakit harus didapatkan dari istri atau suami,

kerabat dan teman. Juga pada penyakit yang ditandai dengan kejang atau konfusi episodik, akan menghilangkan atau mengurangi ingatan pasien tentang hal yang terjadi selama episode itu. Secara umum dokter sering ceroboh dalam menentukan status mental pasien. Berbagai usaha dilakukan untuk mendapatkan riwayat penyakit pada pasien yang mengalami gangguan kognitif atau yang merasa bingung kenapa mereka berobat ke dokter.

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS Pemeriksaan neurologis diawali dengan mengobservasi pasien sementara ia dianamnesis. Cara pasien menceritakan riwayat penyakitnya mungkin saja membingungkan, terdapat pola piker yang inkoheren, ingatan atau pendapat yang salah, maupun kesulitan dalam memahami atau mengungkapkan suatu maksud. Dokter sebaiknya mempelajari bagaimana cara untuk mendapatkan informasi tersebut tanpa membuat pasien merasa malu. Kesalahan yang biasa terjadi adalah terlampaunya batas inkonsistensi dalam cerita serta ketidaktepatan dalam hal waktu dan gejala, yang akhirnya sering ditemukan bahwa hal yang terlewatkan itulah sebenarnya yang merupakan bagian terpenting dari penyakit pasien. Menyuruh pasien untuk menginterpretasikan sendiri suatu gejala terkadang dapat menimbulkan pemahaman yang keliru pada pasien, membuat kecemasan, kecurigaan, atau bahkan pemikiran yang delusional. Dokter muda dan mahasiswa juga memiliki

kecenderungan untuk menganggap normal keadaan pasien, sering salah presepsi dengan mengikuti harapan keluarga bahwa sebenarnya tidak ada masalah yang nyata. Usaha menunjukkan simpati yang demikian itu tidak akan ada gunanya untuk pasien, malah dapat memperlambat diagnosis penyakit yang memiliki harapan untuk disembuhkan. Selanjutnya satu hal yang menjadi hasil dari pemeriksaan nervus kranial, leher dan pemeriksaan motorik tungkai, reflek, dan fungsi sensorik tungkai atas dan bawah. Hal ini dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi spingter dan sistem saraf

10

otonom serta tes untuk iritasi meningen dengan memeriksa kelemahan pada leher dan tulang belakang. Cara berjalan dan posisi berdiri sebaiknya diobservasi sebelum dan sesudah pemeriksaan. Pada saat ditemukan sesuatu yang abnormal, baik kognitif, motorik, ataupun sensorik penting untuk menganalisis masalah tersebut secara yang lebih terperinci. Pemeriksaan secara luas yang lebih rinci selanjutnya akan dibahas pada bab lain (motorik: bab 3, 4, dan 5; sensorik : bab 8 dan 9; fungsi kofnitif dan kelainan berbahasa: bab 22 dan 23). Pemeriksaan neurologis sebaiknya dilakukan dan dicatat dengan cara yang relatif seragam dengan tujuan untuk menghindari adanya hal yang tidak tercantum dan untuk memudahkan analisis berikutnya dari suatu catatan kasus. Beberapa variasi urutan pemeriksaan antara dokter yang satu dengan dokter yang lain biasanya masih dapat dimengerti, namun setiap pemeriksa sebaiknya membentuk suatu pola yang lazim. Meskipun ada kalanya tidak dapat dilakukan pemeriksaan dalam cara yang biasa, seperti pada pasien yang tidak kooperatif dikarenakan usianya ataupun karena adanya defisiensi kognitif, tetap perlu dicatat semua hasil pemeriksaan tersebut sesuai urutan. Jika ada bagian pemeriksaan tertentu yang tidak dilakukan (misalnya tes penciuman pada pasien yang sama sekali tidak kooperatif), kekurangan ini sebaiknya tetap dicantumkan, sehingga siapapun yang pada waktu berikutnya membaca

keterangannya tidak akan ragu apakah suatu kelainan tidak terdeteksi sebelumnya. Ketelitian pemeriksaan neurologis yang diperlukan harus disesuaikan dengan gejala klinis yang ditunjukkan pasien. Menghabiskan waktu setengah jam atau lebih untuk memeriksa fungsi serebral, serebelar, saraf kranial dan sensorimotorik pada pasien yang sedang membutuhkan pengobatan untuk suatu kelumpuhan nervus ulnaris akibat kompresi ringan merupakan hal yang tidak perlu dan sia-sia. Pemeriksaan juga harus disesuaikan dengan keadaan pasien. Pada kenyataannya, banyak bagian pemeriksaan yang tidak dapat dilakukan pada pasien koma, bayi dan anak kecil serta pasien dengan penyakit kejiwaan, harus dilakukan pemeriksaan secara khusus.

11

Bagian tertentu dari pemeriksaan fisik umum yang mungkin memberikan informasi penting pada pasien dengan penyakit neurologis, sebaiknya dimasukkan. Misalnya pemeriksaan denyut nadi, tekanan darah, serta auskultasi karotis dan kardiak, merupakan hal yang penting pada pasien stroke. Demikian juga halnya kulit, dapat pula memberikan gambaran berbagai kondisi yang berhubungan dengan penyebab kongenital, metabolik, dan infeksi dari suatu penyakit saraf.

PEMERIKSAAN PASIEN DENGAN GEJALA NEUROLOGIS Banyak panduan untuk memeriksa sistem saraf yang telah tersedia (lihat referensi pada akhir bab ini). Untuk laporan lengkap pada berbagai metode ini, pembaca diarahkan kepada beberapa skema diagnosis seperti Bickerstaff dan Spillane, Campbell dan Mayo. Terdapat sangat banyak sekali bentuk pemeriksaan neurologis yang telah dirumuskan, namun tidak akan dibahas semuanya dalam buku ini. Beberapa diantaranya akan dibahas lebih rinci pada bab tertentu, sesuai dengan kelainan neurologis yang dijelaskan, fungsi nervus kranialis, sensorik, dan saraf otonom. Banyak pemeriksaan yang membingungkan dan juga merupakan pengulangan dari pemeriksaan yang lebih sederhana, pemeriksaan yang demikian itu tidak perlu diajarkan kepada mahasiswa neurologi. Untuk melakukan semua pemeriksaan pada seorang pasien memerlukan memerlukan waktu beberapa jam, dan sebagian besar contoh kasus menunjukkan bahwa hal itu tidak membuat si pemeriksa menjadi lebih paham. Yang berbahaya dari semua pemeriksaan klinis adalah lebih meyakininya sebagai indikator penyakit yang tak terbantahkan daripada sebagai cara untuk menemukan gangguan fungsi dari sistem saraf. Beberapa pendekatan berikut ini relatif simpel dan memberikan informasi paling berharga.

TES FUNGSI LUHUR Fungsi ini diuji secara rinci apabila riwayat penyakit pasien atau tingkah lakunya selama pemeriksaan umum memberikan cukup alasan untuk mencurigai

12

adanya beberapa kerusakan. Secara luas disebutkan bahwa pemeriksaan status mental mempunyai dua komponen utama, meskipun pembagiannya agak dibuat-buat, yaitu aspek kejiwaan yang menggabungkan afektif, keadaan kejiwaan serta kenormalan proses berpikir dengan isi pikiran; aspek neurologis yang mencakup tingkat kesadaran, tingkat pemahaman (atensi), bahasa, memori, serta kemapuan visiospasial. Pertanyaan-pertanyaan pertama kali ditujukan untuk menentukan orientasi tempat, waktu dan wawasan diri pasien terhadap masalah kesehatannya saat ini. Keseluruhan dari atensi, kecepatan dalam memberikan respon, kemampuan memberikan jawaban terhadap pertanyaan sederhana, dan kapasitas usaha mental yang tahan dan koheren, akan memberikan hasil observasi yang sebenar-benarnya. Terdapat banyak bedside test terhadap atensi, konsentrasi, memori, dan kejelasan berpikir pasien, termasuk disini adalah pengulangan angka-angka berurutan maju dan mundur, pengurangan 3 atau 7 yang berurutan dari 100, dan menyebutkan kembali tiga buah informasi atau suatu cerita singkat setelah interval waktu 3 menit. Cara pemeriksaan yang lebih rinci terdapat dalam bab 20-23. Cerita pasien tentang riwayat penyakit sekarang, tanggal masuk rumah sakit, serta ingatannya hari ke hari tentang timbulnya penyakit merupakan uji memori yang sangat baik; cerita tentang penyakit dan pemilihan kata-kata oleh pasien (kosakata) memberikan informasi tentang kemampuan berbahasanya dan pikiran yang koheren. Apabila muncul kesan terdapat gangguan bahasa atau bicara, perlu diperhatikan bagaimana cara pasien berbicara spontan. Sebagai tambahan, sebaiknya dinilai juga ketepatan membaca, menulis, dan mengeja, melakukan perintah yang diucapkan, mengulang kata-kata dan ungkapan yang diucapkan pemeriksa, menamai benda-benda dan bagian-bagian benda, serta memecahkan soal hitungan sederhana. Kemampuan melakukan tugas yang diperintahkan (praksis) memiliki tingkat kepentingan yang besar dalam mengevaluasi beberapa aspek dari fungsi kortek. Membagi dua sebuah garis, menggambar sebuah jam, denah rumah atau peta negara

13

dan meniru gambar berguna untuk menguji presepsi visuospasial dan diindikasikan jika dicurigai adanya kelainan serebral.

TES NERVUS KRANIALIS Fungsi nervus kranialis umumnya harus diperiksa secara lebih lengkap pada pasien yang memiliki gejala neurologis dibandingkan dengan yang tidak memiliki gejala. Jika dicurigai terdapat lesi pada fossa anterior, maka perlu diperiksa indera penciuman pada kedua lubang hidung, kemudian perlu ditentukan apakah dapat membedakan bau busuk atau tidak. Lapangan pandang perlu digambarkan dengan menggunakan tes konfrontasi, yang pada beberapa kasus dilakukan dengan menguji kedua mata secara terpisah. Jika ada abnormalitas yang dicurigai, perlu diperiksa dengan perimeter dan ditemukan skotoma pada layar tangensial, atau untuk lebih akurat lagi dengan menggunakan perimeter terkomputerisasi. Ukuran pupil serta reaktivitas terhadap terang, reflek langsung, konsensual dan selama konvergensi, posisi kelopak mata, dan luas lapangan pandang selanjutnya juga perlu diobservasi. Sensasi di permukaan wajah diperiksa dengan menggunakan peniti dan segumpal kapas. Juga, dapat pula`ditentukan ada atau tidaknya reflek kornea, langsung maupun konsensual. Mimik wajah sebaiknya diobservasi pada saat pasien berbicara dan tersenyum, karena kelemahan ringan bisa tampak lebih jelas pada kondisi seperti ini dibandingkan kalau disuruh bergerak sesuai perintah. Membran pendengaran timpani dan meatus perlu diinspeksi memakai otoskop. Garputala berfrekuensi tinggi (512 Hz) yang diletakkan di samping telinga dan di atas mastoid akan menyingkap hilangnya pendengaran dan membedakan antara tuli telinga tengah (konduktif) dengan tuli saraf. Audiogram dan tes khusus lain untuk menilai fungsi pendengaran dan keseimbangan diperlukan bila dicurigai adanya penyakit pada nervus VIII, atau pada organ kokhlea dan ujung labirin (lihat bab 15). Pita suara harus dilihat dengan instrumen khusus pada kondisi dicurigai

14

adanya penyakit medula atau nervus vagus, terutama ketika terdapat suara parau. Elevasi faring secara volunter dan reflek yang didapatkan memiliki arti jika ada perbedaan pada kedua sisinya; tidak adanya reflek muntah bilateral jarang memiliki arti penting. Perlu juga dilakukan inspeksi lidah, baik saat dijulurkan maupun saat istirahat, dimana mungkin terlihat adanya atrofi, fasikulasi maupun kelemahan. Deviasi ringan dari lidah yang dijulurkan sebagai temuan tunggal biasanya dapat diabaikan, namun deviasi luas menggambarkan gangguan dari nervus hipoglosus dan otot pada sisi tersebut. Pengucapan kata-kata sebaiknya diperhatikan. Reflek jaw jerk, reflek snout, reflek bukal dan reflek mengisap sebaiknya diperiksa, khususnya jika ada keraguan berupa disfagi, disartri, dan disfoni.

TES FUNGSI MOTORIK Pada penilaian fungsi motorik, perlu tetap diingat bahwa observasi dari kecepatan dan kekuatan gerak otot, irama dan koordinasi merupakan hal yang paling informatif dan dianggap berhubungan dengan keadaan reflek tendon. Tes kemampuan lengan pada posisi supinasi dalam melawan gravitasi memiliki arti luas. Pada keadaan lengan yang lemah, akan terjadi keletihan pada fase awal yang kemudian segera akan diikuti dengan posisi melengkung; atau pada saat terdapat lesi kortikospinal, maka posisi tangan akan kembali lagi ke posisi pronasi yang natural (pronator drift). Kekuatan otot kaki dapat diperiksa dengan cara yang sama pada pasien dengan posisi telungkup serta kaki fleksi pada sendi panggul dan lutut, dan mengobservasi penyimpangan ke bawah dari kaki yang mengalami kelemahan. Pada posisi supinasi saat istirahat, kelemahan akibat suatu lesi upper motor neuron (UMN) menyebabkan rotasi eksternal dari panggul. Jangan menutupi tungkai dengan apapun agar dapat diamati apakah ada atrofi dan fasikulasi. Abnormalitas dari gerakan, sikap badan dan tremor bisa terlihat dengan mengobservasi saat istirahat maupun saat bergerak (lihat bab 4, 5 dan 6). Selanjutnya dilihat bagaimana pasien mempertahankan tangan yang direntangkan

15

dalam posisi pronasi maupun supinasi; melakukan tugas-tugas ringan, misalnya secara bergantian menyentuh hidung dan jari si pemeriksa; membuat gerak cepat bergantian yang mengharuskan aselerasi dan deselerasi mendadak serta perubahan arah, seperti menepukkan tangan yang satu di atas yang lain sambil bergantian pronasi dan supinasidari telapak tangan; secara cepat menyentuhkan ibu jari ke ujung kuku; menyelesaikan tugas sederhana seperti memasang dan membuka kancing baju, atau menggenggam suatu alat. Memperkirakan kekuatan kaki pada pasien yang terbaring di tempat tidur adalah hal yang kadang-kadang sulit dilakukan karena mungkin saja akan terlihat sedikit atau tidak ada kelemahan meskipun pasien tersebut tidak dapat bangkit dari kursi atau dari posisi berlutut bila tanpa bantuan. Secara bergantian menyentuh jari si pemeriksa dengan menggunakan jari kaki dan lutut yang berlawanan dengan tumit, serta secara ritmik menyentuh tumit dan lutut merupakan satu-satunya tes koordinasi yang perlu dilakukan di tempat tidur.

TES`REFLEK Tes reflek bisep, trisep, supinator radiobrakialis, patella, achiles, kutaneus abdomen dan plantar memberikan sampel yang cukup untuk aktifitas reflek medulla spinalis. Untuk mendapatkan reflek tendon memerlukan keadaan otot yang rilek; dimana reflek yang menurun atau menghilang dapat disebabkan oleh kontraksi volunter otot-otot lainnya (manuver Jendrassik). Kita sering kesulitan untuk mendapatkan respon plantaris karena adanya berbagai respon reflek selain babinski yang dapat dicetuskan dengan merangsang telapak kaki bagian luar, dari arah tumit menuju mata kaki, antara lain (1) dalam keadaan normal, reaksi menghindar yang cepat menyebabkan pasien menarik kaki dan tungkai, (2) gangguan patologik ringan, reflek nosiseptif/proteksi fleksor spinal (fleksi sendi lutut dan panggul serta dorsofleksi jari kaki, yang merupakan tripel fleksi). Dorsofleksi dari ibu jari kaki dan plantar fleksi jari-jari yang lainnya lazimnya dikenal sebagai tanda babinski.(3) reflek genggam plantar dan (4) reaksi

16

suportif pada bayi. Reflek menghindar dan menarik dapat mengganggu interpretasi tanda babinski dan hal ini dapat diatasi dengan menggunakan beberapa stimuli alternatif (seperti meremas betis dan tendon achiles, menjentikkan jari manis kaki, menggores bagian depan tungkai dari atas ke bawah, mengangkat tungkai dan lain lain) atau dengan menggores telapak kaki pasien. Hilangnya reflek superfisial abdomen, kremaster, dan reflek lainnya berguna sebagai informasi tambahan untuk mendeteksi lesi kortikospinal apabila ditemukan pada posisi unilateral.

TES FUNGSI SENSORIK Oleh karena pemeriksaan ini hanya didapatkan melalui respon subjektif pasien, maka sangat dibutuhkan pasien yang kooperatif. Karena alasan yang sama, maka bisa saja terjadi overinterpretasi dan penekanan yang tidak tepat. Biasanya, tes sensorik dilakukan pada akhir pemeriksaan, jika hasil pemeriksaan ini telah dapat dipercaya maka jangan dilakukan lebih dari beberapa menit. Setiap tes sebaiknya diberi penjelasan secara singkat; terlalu banyak menjelaskan secara rinci akan menyebabkan pasien melaporkan variasi intensitas rangsangan yang tidak bermakna. Pemeriksaan ini tidak harus dilakukan pada semua permukaan kulit. Pemeriksaan secara cepat pada muka, leher, lengan, badan, dan tungkai dengan menggunakan jarum hanya memerlukan waktu beberapa detik. Biasanya pemeriksa mencari perbedaan sensasi antara kedua sisi badan (lebih baik ditanyakan apakah rangsangan pada sisi yang berlawanan dirasakan sama, dari pada ditanyakan apakah ada perbedaan pada kedua sisi), pada tingkat mana sensasi menghilang, daerah analgesi relatif atau absolute (hilang sensasi nyeri) atau anastesi (hilang sensasi raba). Selanjutnya diperiksa secara lebih teliti daerah yang mengalami defisit sensorik dan hasilnya kemudian dipetakan. Disarankan untuk mulai memberikan rangsangan dari daerah yang sensasinya berkurang ke area yang normal karena hal ini dapat mempertinggi persepsi dari perbedaan sensasi tersebut.

17

Sensasi getar dapat diperiksa dengan membandingkan antara ambang rasa getar pada bagian penonjolan tulang pasien dan pemeriksa. Pemeriksa dianjurkan untuk menghitung berapa detik waktu yang diperlukan sampai sensasi getar pada maleolus hilang. Jika didapatkan hiperestia (sensasi meningkat), maka hal ini merupakan tanda kerusakan sensasi superfisial. Gejala sensorik yang bervariasi menggambarkan bahwa pemeriksaan yang berbeda bisa memberikan respon yang berbeda pula.

TES CARA BERJALAN DAN BERDIRI Pemeriksaan fisik dilengkapi dengan penilaian cara pasien berdiri dan berjalan. Abnormalitas cara berdiri atau berjalan bisa saja merupakan kelainan neurologis yang paling menonjol atau bahkan satu-satunya yang didapatkan, seperti halnya pada beberapa kasus tertentu yang disebabkan oleh gangguan serebelar dan kerusakan lobus frontal; demikian juga gangguan postural dan gerakan adaptasi otonomik cepat dalam berjalan, dapat menjadi point diagnostik untuk beberapa penyakit, misalnya Parkinson. Pasien yang berjalan dua-dua atau berjalan menggunakan sisi samping telapak kakinya, dapat menjadi tanda untuk distonic posture lengan dan batang badan. Gaya berjalan menyeret atau bertumpu pada satu tungkai menunjukkan suatu gangguan keseimbangan atau kelemahan, sedangkan gaya berdiri dengan kaki sejajar dan mata tertutup menunjukkan ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh hilangnya sensasi dalam (tes Romberg).

TES UNTUK PASIEN TANPA GEJALA NEUROLOGIS Dalam hal ini kecekatan sangat diperlukan, namun setiap langkah pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti. Seperti yang tertera pada tebel 1.4, orientasi, wawasan, penilaian dan integritas fungsi bahasa harus diperiksa dalam menegakkan diagnosis. Berkenaan dengan nervus kranial, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, gerakan bola mata, ketajaman penglihatan dan pendengaran,

18

gerak otot wajah, palatum dan lidah harus diperiksa. Pemeriksaan lengan untuk atropi, kelemahan, tremor atau gerakan abnormal, kekuatan genggam dan dorsofleksi pergelangan tangan, menanyakan adanya gangguan sensorik, memeriksa reflek bisep dan trisep merupakan pemeriksaan rutin pada anggota gerak atas.

Pemeriksaan fisik dasar lainnya adalah inspeksi gerak fleksi dan ekstensi dari sendi pergelangan kaki, jari, lutut dan paha; reflek patella, reflek Achilles, reflek plantar; tes sensasi getar serta sensasi posisi jari tangan dan jari kaki; pemeriksaan koordinasi dengan meminta pasien secara bergantian menyentuh hidungnya dan jari pemeriksa serta mengangkat tumitnya kemudian diturunkan di depan kaki yang berlawanan, dan pemeriksaan cara berjalan akan melengkapi bagian penting dalam rangkaian pemeriksaan neurologis. Keseluruhan prosedur pemeriksaan fisik ini dapat dilakukan hanya dalam beberapa menit, namun pada pasien yang dengan gangguan kesadaran, hanya dilakukan beberapa pemeriksaan rutin yang sederhana. Misalnya, pada pasien yang diduga menderita neuropati diabetik dan neuropati alkoholik, didapatkan reflek achiles yang negatif dan berkurangnya sensasi getar pada kaki dan tungkai. Pemeriksaan denyut karotis telah dijadikan sebagai skrining dalam pemeriksaan

19

neurologis, serta pemeriksaan denyut dan irama jantung, tekanan darah dan auskultasi jantung merupakan hal rutin yang juga harus diperiksa pada pasien stroke. Pencatatan yang akurat untuk hasil yang negatif berguna dalam mengarahkan diagnosis.

PASIEN KOMA Walaupun terkendala oleh pemeriksaan yang terbatas, pemeriksaan yang teliti pada pasien stupor dan koma akan menghasilkan informasi yang bermakna

sehubungan dengan fungsi sistem saraf. Hal yang luar biasa, selain pemeriksaan fungsi kognitif, hampir semua sistem saraf, termasuk nervus kranial, dapat dievaluasi pada pasien koma. Munculnya tanda penyakit serebral fokal atau batang otak dan tanda rangsang meningeal sangat penting dalam menyusun diagnosis banding pada penyakit yang menyebabkan stupor dan koma. neurologis dijelaskan pada bab 17. Adaptasi dalam pemeriksaan

PASIEN PSIKIATRIK Satu hal yang menjadi kendala dalam pemeriksaan pasien psikiatrik adalah mereka tidak kooperatif dan kurang bisa dipercaya serta kita tidak terbiasa dengan pendapat dan pernyataan mereka. Misalnya pada pasien depresi, sering mengeluh hilang daya ingat dan kelemahan walaupun sebenarnya tidak terdapat amnesia atau tanda penurunan kekuatan otot, demikian juga pada pasien dengan gangguan sosial atau hysteria, sering juga bepura-pura lumpuh. Sebaliknya, terkadang ada juga yang benar; pasien psikotik bisa memberikan keterangan yang jelas tentang penyakitnya tapi hal ini sering terabaikan oleh pemeriksa dikarenakan oleh gangguan mentalnya. Seandainya pasien tersebut dapat sedikit lebih kooperatif, banyak hal yang bisa dipelajari tentang integritas fungsi dari berbagai bagian sistem saraf. Dari cara pasien menyampaikan idenya, cara berbicara atau menulis, kita sudah dapat menentukan waham dan halusinasi, gangguan memori, atau gejala gangguan otak lainnya yang dapat dianalisis selama kita melihat dan mendengar keluhan pasien.

20

Gerakan okuler dan lapang pandang dapat diperiksa dengan mengamati respon pasien terhadap stimulus yang bergerak dan ancaman yang terdapat dalam lapang pandang. Nervus kranial, fungsi motorik dan reflek dapat diperiksa dengan cara seperti biasa, namun yang perlu diingat adalah bahwa pemeriksaan neurologis tidak akan pernah lengkap kecuali bila pasiennya dapat diajak bicara selama pemeriksaaan dan kooperatif. Di lain sisi, pasien yang bisu atau yang melawan dan dianggap psikotik ternyata terbukti mengalami gangguan serebral yang luas seperti hipoksia atau ensefalopati hipoglikemik, tumor otak, lesi vaskuler, atau lesi demielinisasi yang luas.

BAYI DAN ANAK Sebagi pedoman adalah metode pemeriksaan khusus dari Gessel dan

Amatruda, Thomas, Paine dan Oppe, klinik Mayo, dan lain-lain. Hampir semua dari pemeriksaan ini membahas tentang aspek perkembangan sistem saraf anak, dan walaupun beberapa tanda klinis sulit dianalisis terkait masalah umur, namun pemeriksaan-pemeriksaan tersebut di atas sampai sekarang masih menjadi gold standar.

PEMERIKSAAN MEDIS UMUM Hasil pemeriksaan medis umum sangat sering menemukan penyakit-penyakit sistemik yang mendasari timbulnya kerusakan sekunder pada sistem saraf. Kenyataannya, banyak masalah neurologis serius yang berasal dari gangguan seperti ini. Dua contoh yang umum yaitu adenopati atau neoplasi dengan gambaran infiltrate pada paru atau sarkoidosis sebagai penyebab kelumpuhan nervus kranial multiple, serta munculnya gejala demam subfebris, anemia, bising jantung dan splenomegali pada pasien stroke yang etiologinya tidak jelas, yang mengarahkan pada suatu diagnosis endokarditis bakterialis dengan oklusi emboli pada arteri serebri. Sudah pasti semua pemeriksaan pada pasien stroke belum menjadi belum lengkap tanpa

21

pemeriksaan terhadap hipertensi, bising karotis, bising jantung dan denyut jantung yang ireguler.

PENTINGNYA PENGETAHUAN TENTANG NEUROANATOMI, NEUROFISIOLOGI, GENETIKA MOLEKULER DAN NEUROPATOLOGI Pada awalnya mahasiswa dan residen yang baru menguasai teknik untuk mendapatkan data klinis yang terpercaya mungkin masih akan merasa kurang yakin dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan tersebut karena pengetahuan ilmu dasar neurologi yang mereka miliki masih kurang. Karena alasan tersebut maka bab-bab berikutnya akan meninjau ulang sistem motorik, sensasi, indera khusus, kesadaran, dan fungsi bahasa, dengan mengulang pembahasan anatomis dan fisiologis yang dirasa penting dalam memahami kelainan klinis yang dimaksud. Minimal seorang klinisi harus tahu tentang anatomi traktus kortikospinal, unit motorik (sel kornu anterior, saraf dan otot), hubungan motorik ganglia basal dan serebelar, jalur utama sistem sensorik, nervus kranialis, hipothalamus dan hipofisis, formasio retikularis dan thalamus, sistem limbik, area kortek serebral dan koneksi utamanya, jaras penglihatan, jaras pendengaran, sistem otonom, dan aliran LCS. Pengetahuan neurofisiologi ini mencakup pemahaman tentang perjalanan impuls syaraf, transmisi neuromuskular, proses kontraksi otot, reflek spinal, neurotransmisi sentral, proses eksitasi dan inhibisi saraf, aktivasi kortikal serta munculnya kejang. Pentingnya biologi genetika dan biologi molekuler pada penyakit saraf telah meningkat pada beberapa dekade terakhir. Setidaknya, dokter umum harus terbiasa dengan terminologi genetika mendel dan mitokondria, serta penyimpangan dalam kode genetik yang meningkatkan resiko timbulnya penyakit saraf. Berdasarkan cara membuat diagnosis kerja dan menentukan terapi, kita yakin bahwa spesialis saraf sangat bergantung pada pengetahuan patologi anatomi, misalnya perubahan neuropatologis yang disebabkan oleh proses penyakit seperti infark, hemoragik, demielinisasi, trauma fisik, kompresi, inflamasi, neoplasma dan infeksi, menjadi suatu bentuk yang lebih umum. Memahami bentuk mikroskopis dan

22

makroskopis dari proses penyakit akan sangat meningkatkan kemampuan dalam menjelaskan berbagai efek klinis. Kemampuan membayangkan ketidaknormalan penyakit pada saraf, otot, otak, medula spinalis, meningeal dan pembuluh darah, akan menimbulkan pemahaman yang kuat tentang tanda klinis mana yang diharapkan ada pada suatu penyakit tertentu serta tanda klinis mana yang tidak bisa ditemukan atau tidak berhubungan dengan diagnosis tertentu. Sebagai tambahan, manfaat lain yang didapatkan dari neuropatologis tentu saja adalah bahwa klinisi akan bisa lebih baik dalam mengevaluasi perubahan patologis dan melaporkan hasil pemeriksaan bahan yang didapatkan dari biosi.

DIAGNOSIS LABORATORIUM Dari penjelasan metode klinis sebelumnya, tampak bahwa penggunaan laboratorium dalam membuat diagnosis penyakit sistem saraf idealnya didahului dengan pemeriksaan klinis yang teliti. Seperti pada ilmu kedokteran umumnya, pemeriksaan laboratorium perlu direncanakan dengan tepat berdasarkan informasi klinis. Jangan membalik proses ini karena mudah menghasilkan informasi yang tidak relevan. Pencegahan penyakit saraf memerlukan dua pendekatan lain yaitu informasi genetik dan tes skrining laboratorium, tidak cukup dengan metode klinis saja. Tes penyaringan biokimia dapat dilakukan pada keseluruhan populasi, dan

memungkinkan untuk mendapatkan identifikasi penyakit saraf secara individual, terutama pada bayi dan anak-anak yang belum menunjukkan gejala untuk pertama kali; pengobatan untuk beberapa penyakit dapat dilakukan sebelum sistem saraf mengalami kerusakan. Demikian pula halnya pada dewasa, skrining untuk aterosklerosis dan penyebab metabolik yang mendasarinya akan bermanfaat pada beberapa populasi tertentu sebagai cara untuk mencegah stroke. Informasi genetik akan memungkinkan spesialis saraf membuat diagnosis penyakit tertentu serta

23

mengidentifikasi resiko berkembangnya penyakit tersebut pada pasien dan keluarganya. Metode laboratorium yang tersedia untuk diagnosis neurologis dibahas dalam bab berikutnya dan bab 45, pada pembahasan elektrofisiologi klinis. Prinsip yang relevan dari metode skrining genetik dan laboratorium untuk memperkirakan penyakit ditampilkan pada diskusi pemeriksaan mana yang dapat dilakukan untuk penyakit tertentu.

KEKURANGAN METODE KLINIS Jika benar-benar bergantung kepada pemeriksaan klinis, maka diagnosis neurologis benar-benar akan menjadi sederhana. Dalam banyak kasus kita dapat dengan mudah menegakkan diagnosis anatomi tapi untuk menentukan diagnosis etiologi jauh lebih sulit dan tidak jarang harus disokong oleh pemeriksaan laboratorium yang khusus dan rumit, sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Bagaimanapun, walau telah dilakukan serangkaian pemeriksaan klinis dan laboratorium yang teliti, masih saja terdapat sejumlah pasien yang penyakitnya tidak bisa didiagnosis. Pada keadaan yang demikian, kita biasanya tertolong oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jika salah dalam menginterpretasi gejala utamajika tremor dikira ataksia atau fatigue dikira kelemahanmaka pemeriksaan klinis akan menjadi salah arah dari awal. Fokuskan analisis klinis pada gejala dan tanda klinis utama serta jangan sampai terganggu oleh gejala-gejala dan tanda-tanda minor yang meragukan. 2. Hindari menegakkan diagnosis yang terlalu cepat. Sering hal ini terjadi akibat fiksasi yang terlalu cepat pada beberapa hal yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, sehingga menutup pikiran kita dari berbagai kemungkinan diagnosis banding. Untuk membuat diagnosis awal, sebaiknya diperhatikan bahwa hal itu merupakan hipotesis yang harus bisa diuji dan bisa dimodifikasi

24

jika didapatkan informasi baru yang terpercaya. Gejala dan tanda klinis akan muncul seiring dengan waktu perkembangan penyakit dan diagnosis penyakit pun akan makin jelas. 3. Ketika gejala-gejala penyakit tidak mayor yang merupakan bentuk khas dari sebuah maka perlu dibuat diagnosis banding.

mencukupi,

Bagaimanapun juga, secara umum orang lebih sering menemukan manifestasi klinis yang jarang dari suatu penyakit yang lazim, daripada menemukan manifestasi klinis yang khas dari suatu penyakit yang jarang (ungkapan dari teori Bayes). 4. Diagnosis lebih baik ditegakkan berdasarkan pengalaman klinis dengan tanda dan gejala yang dominan, bukan berdasarkan analisis statistik dari frekuensi fenomena klinis. Pada sebagian besar kasus, penggunaan metode analisis keputusan berdasarkan pada probabilitas terbukti mengecewakan dalam menegakkan diagnosis neurologis, karena hal itu tidak bisa menentukan seberapa pentingnya setiap data klinis yang ada. Yang perlu dipenuhi dalam semua metode diagnosis adalah penilaian terhadap semua penyebab yang mungkin dari tanda klinis atau sindrom sehubungan dengan karakteristik demografis yang luas, berupa umur, jenis kelamin, ras, etnik dan keadaan geografis. Sebagai contoh, neurologis di Amerika menganggap bahwa meningitis kronis tidak jarang yang disebabkan oleh penyakit bechet, namun neurologis di Turki berpendapat sebaliknya. Lebih lanjut, seperti yang disebutkan sebelumnya, neurologis menempati posisi yang tinggi dalam menemukan penyakit yang bisa diobati, bahkan pada saat temuan klinis tidak mendukung ke arah diagnosis. Sebagaimana dijelaskan oleh Chimowitz, mahasiswa kedokteran cenderung melakukan kekeliruan sehingga gagal mengenali suatu penyakit yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Sementara klinisi yang berpengalaman bisa saja tidak menyadari munculnya varian yang jarang dari suatu penyakit lazim. Tentu saja ada beberapa klinisi yang lebih mahir dalam memecahkan masalah yang rumit dibandingkan dengan klinisi lainnya. Kemampuannya itu tidaklah berdasarkan intuisi

25

belaka sebagaimana yang biasanya dianggap, tetapi hal itu dihasilkan dari perhatian yang besar terhadap pengalaman mereka yang terperinci sehubungan dengan berbagai penyakit dan telah menyusun suatu daftar sebagai referensi untuk masa yang akan datang. Kasus yang tidak lazim akan terekam dalam memori dan bisa menjadi bahan pemikiran apabila suatu saat muncul kasus yang serupa.

TERAPI DALAM NEUROLOGI Diantara bidang spesialisasi kedokteran, neurologi telah lama menempati posisi yang agak anomali, dimana kebanyakan orang menganggap posisinya hanya sedikit saja lebih tinggi dari sekedar bidang yang pemikirannya menekankan pada pembuatan diagnosis untuk penyakit-penyakit tak terobati. Pandangan seperti ini terhadap posisi kita tidaklah sepenuhnya benar. Terdapat peningkatan jumlah penyakit, baik pada bidang bedah maupun nonbedah, yang sekarang telah memiliki terapi spesifik, seiring dengan meningkatnya kemajuan di bidang neurosains. Sebagai tambahan, banyak penyakit yang fungsi neurologisnya dapat dipulihkan pada tingkat yang bermacam-macam melalui tindakan rehabilitasi yang tepat atau dengan penggunaan secara bijak agen terapeutik yang belum sepenuhnya terbukti benar. Tuntutan akan keefektifan terapi khusus yang didasarkan pada analisis statistik dari penelitian klinis skala besar harus dipenuhi dengan hati-hati. Perlu dikaji terlebih dahulu, apakah penelitian tersebut telah disusun dengan baik dalam hal hipotesis dan kriteria hasil, apakah konsisten dengan proses random untuk memilih kasus yang akan dimasukkan dalam penelitian, apakah metode statistik sudah tepat, dan apakah data kontrol benar-benar bisa digunakan sebagai pembanding. Pengalaman telah menunjukkan bahwa merupakan hal yang bijaksana untuk menunggu sampai terdapat penelitian lebih lanjut yang bisa memperjelas manfaat dari terapi yang demikian. Walaupun di satu sisi kita mendukung agar berpegang pada evidence based medicine, namun di sisi lain kita juga setuju dengan pernyataan Caplan bahwa banyak dari bukti-bukti ini yang tidak dapat diterapkan dalam memberikan terapi individual dengan kasus rumit. Hal ini sebagian benar, karena pada saat diterapkan sebagai terapi pasien secara individual, mungkin saja didapatkan

26

efek kecil yang memiliki makna penting secara statistik. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa data yang didapatkan dari percobaan harus digunakan dalam konteks kondisi pasien secara keseluruhan, baik fisk maupun mental dan juga usia. Lebih jauh, untuk kebanyakan kasus neurologis, saat ini belum terdapat evidence based medicine yang cukup. Disini pasien memerlukan klinisi terampil untuk membuat keputusan berdasarkan pada data yang jumlahnya hanya sebagian atau tidak cukup. Bahkan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, saat ini klinisi harus bisa mengobati pasien dengan menggunakan sekumpulan pengalaman pribadinya secara bijak, serta menggabungkannya dengan data-data terbaik saat ini. Bahkan ketika tidak ada terapi efektif yang mungkin, diagnosis neurologis tetap lebih dari pemikiran masa lalu. Langkah pertama dalam penelitian ilmiah tentang suatu proses penyakit adalah mengidentifikasi pasien yang hidup. Selanjutnya metode klinis dari neurologi memberikan hasil berupa arahan untuk menegakkan diagnosis, prognosis dan pengobatan bagi klinisi, dan bahan untuk penelitian tentang mekanisme dan penyebab penyebab penyakit bagi ilmuan klinis. Terdapat beban penyakit yang luar biasa pada sistem saraf di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat. Dalam hal ini tidak hanya kondisi seperti trauma otak dan medulla spinalis, stroke, epilepsi, retardasi mental, penyakit mental dan demensia yang terdapat dimana-mana dan menjadi penyakit utama, hanya di beberapa tempat yang menempati posisi kedua setelah penyakit infeksi, namun hal ini tetap menimbulkan disabilitas yang tinggi dan bersifat kronis serta dapat merubah kehidupan individu yang dikenai secara mendasar. Lebih lanjut, melebihi bidang spesialisasi lain, harapan penyembuhan atau perbaikan dengan adanya teknik baru seperti biologi molekuler, terapi genetika dan keterlibatan komputerisasi otak telah mengundang perhatian luas dan menjadi alasan untuk memasukkan aspek pengkajian ilmiah terkini pada bagian yang tepat.

27

II. PEMERIKSAAN KHUSUS UNTUK DIAGNOSIS NEUROLOGIS

Analisis serta interpretasi data yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang hati-hati bisa dianggap cukup untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium khusus tidak lebih dari penguat kesimpulan klinis. Bagaimanapun, perjalanan penyakit tidak dapat dilihat hanya dari sisi studi kasus saja, dimana kemungkinan diagnosis mungkin bisa diciutkan menjadi dua atau tiga, namun diagnosis yang sesungguhnya masih belum dapat dipastikan. Dalam keadaan ini perlu dilakukan pemeriksaan tambahan. Tujuan seorang neurologis adalah menegakkan diagnosis akhir dengan seni menganalisis data klinis yang dibantu dengan sedikit mungkin pemeriksaan laboratorium. Pada beberapa dekade yang lalu, pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk bidang neurologis hanya analisis cairan serebrospinal (LCS), radiologi konvensional kepala dan tulang belakang, mielografi dengan kontras,

pneumoensefalografi dan elektroensefalografi. Sekarang ini, dengan berkembang pesatnya teknologi ilmiah, maka senjata para klinisi untuk menegakkan diagnosis juga bertambah dengan adanya neuroimaging yang beragam serta metode biokimia dan genetika. Beberapa metode baru ini sangat mengesankan dan membuat kita tergoda untuk menjadikannya sebagai pengganti anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pemeriksaan laboratorium untuk tujuan seperti ini tidak dianjurkan. Sebagai gambaran, dari pemeriksaan yang teliti terhadap 86 pasien neurologis yang dirawat, tampak bahwa hasil temuan laboratorium (termasuk MRI) pada 40 orang pasien berhasil mengklarifikasi diagnosis klinis, namun gagal pada 46 kasus lainnya (Chimowitz, dkk). Lebih lanjut, sering terjadi pada praktek modern penggunaan pemeriksaan tambahan untuk mengklarifikasi abnormalitas yang sebenarnya tidak begitu penting dalam persoalan klinis yang sedang ditangani. Oleh karena itu, para neurologis diharapkan terbiasa melakukan pemeriksaan penunjang sesuai dengan penyakit saraf yang dihadapi, tingkat reliabilitas dan resiko tindakan tersebut.

28

Berikut ini disajikan penjelasan tentang pemeriksaan laboratorium yang digunakan pada berbagai kasus penyakit saraf. Penjelasan yang berhubungan dengan dengan kompleks gejala khusus atau sekelompok penyakit tertentuaudiogram untuk menilai tingkat ketulian, elektronistagmografi (ENG) untuk kasus vertigo, elektromiografi (EMG) dan penilaian konsuksi saraf , serta biopsi saraf dan otot saat terdapat penyakit neuromuskulerdibahas pada bab yang sesuai dengan penjelasan kelainan tersebut.

PUNGSI LUMBAL (LP) DAN PEMERIKSAAN CAIRAN SEREBROSPINAL (LCS) Informasi yang didapatkan dari analisis LCS sangat penting dalam menegakkan diagnosis pada beberapa penyakit saraf tertentu, khususnya pada kasus infeksi dan peradangan, perdarahan subarakhnoid, dan penyakit yang dapat merubah tekanan intracranial. Kombinasi tertentu atau gabungan dari hasil pemeriksaan LCS umumnya menunjukkan suatu kelompok khusus penyakit yang seperti terangkum dalam tabel 2-1.

29

INDIKASI PUNGSI LUMBAL 1. Untuk mengetahui tekanan LCS dan mendapatkan sampel LCS untuk pemeriksaan sel, sitologi, kimia dan pmeriksaan bakteriologis. 2. Membantu dalam hal terapi dengan cara pemberian anastesi spinal, akses pemberian antibiotik, zat antitumor atau dengan menurunkan tekanan LCS. 3. Untuk menyuntikkan bahan radioopak (kontras) seperti pada prosedur mielografi, atau zat radioaktif seperti pada sisternografi radionukleotida. LP memiliki resiko tertentu jika tekanan intrakranial (TIK) sangat tinggiditandai oleh sakit kepala dan udem papilkarena hal itu meningkatkan resiko herniasi tentorial dan herniasi serebelar yang bisa berakibat fatal. Risiko LP menjadi sangat besar jika papil udem disebabkan oleh massa intrakranial, namun resiko ini menjadi lebih rendah pada pasien dengan perdarahan subarakhnoid (SAH), hidrosefalus yang semua ventrikelnya saling berhubungan atau pada pseudotumor otak, dimana LP ulangan digunakan sebagai follow up terapi. Pada pasien meningitis purulenta, juga terdapat resiko herniasi ringan, namun hal ini tidak perlu menjadi penghalang mengingat kebutuhan akan LP dalam menegakkan diagnosis definitif dan sebagai sarana penanganan yang tepat sedini mungkin. Dengan pengecualian di atas, secara umum LP sebaiknya didahului dengan pemeriksaan CT atau MRI jika dicurigai adanya peningkatan TIK. Jika gambaran radiologis tadi memperlihatkan massa yang menyebabkan pergeseran jaringan otak ke arah tentorial atau foramen magnum (dimana massa tunggal sering luput dari perhatian) dan jika dianggap sangat dibutuhkan informasi dari analisis LCS maka LP dapat dilakukan dengan beberapa perhatian khusus. Sebaiknya menggunakan jarum spinal nomor 22 atau 24 dan jika tekanan LCS sangat tinggi (lebih dari 400mmH2O) sebaiknya sampel LCS yang diambil sesedikit mungkin, dan kemudian berdasarkan kondisi pasien dan penyakit yang diduga mendasarinya, diberikan manitol lalu penurunan tekanan diobservasi

30

dengan menggunakan manometer. Deksametason dan kortikosteroid lain yang setara juga diberikan secara intravena dengan dosis inisial 10 mg, diikuti dengan dosis 4-6 mg setiap 6 jam dengan tujuan untuk menurunkan TIK. Kortikosteroid terutama berguna untuk mengatasi peningkatan TIK yang disebabkan udem serebral vasogenik. Pungsi sisterna dan pungsi subarachnoid servikal lateral , meskipun cukup aman jika dilakukan para ahli, namun sangat berbahaya jika dilakukan oleh klinisi yang belum berpengalaman dan mencegah peningkatan TIK. Sebenarnya LP lebih dianjurkan saat dibutuhkan sampel LCS dari sisterna atau untuk mielografi di atas lesi, kecuali pada keadaan terdapat blok spinal yang nyata.

TEKNIK LUMBAL PUNGSI Pengalaman telah menunjukkan betapa pentingnya ketelitian dalam

melakukan LP. LP haris dilakukan dalam kondisi local yang steril. Xylokain diinjeksikan di bawah kulit untunk mengurangi nyeri. Dengan sedikit menggesek vial xylokain ternyata seseddikit mengurangi ransa terbakar sewaktu di injeksikan. Pasien berada pada posisi miring, sebaiknya miring ke kiri untuk pemeriksa yang menggunakan tangan kanan dengan panggul dan lutut difleksikan, dan kepala ditekukkan kearah lutut. Panggul pasien harus datar, punggung harus lurus dan segaris dengan teppi tempat ttidur dan bantal diletakkan dibawah telinga pasien. LP lebih mudah dilakukan pada daerah di antara L3-L4 sejajar dengan bidang aksial Krista iliaka., atau satu tingkat di atas atau di bawahnya. Anastesiologis yang

berpengalaman menganjurkan semakin kecil jarum yang digunakan semakin baik dan bevelnya diarahkan pada bidang longitudinal dari serat dural (sebaiknya digunakan jarum atraumatik. Biasanya celah intervetebralis dapat teraba dan dan ketika jarum dimasukkan akan terasa sedikit tahanan ketika menembus membrane

subarachnoid.Setelah itu jarum trokar harus ditarik secara perlahan lahan untuk mnecegah mencederai syaraf yang nantinya dapat menyebabkan nyeri radik.Jika terjadi nyeri sciatic ketika jarum spinal ditusukkan merupakan tanda bahwa arah jarum terlalu ke lateral. Jika aliran LCS yang keluar Lambat, kita coba untuk sedikit

31

meninggikan kepala pasien. Kadang-kadang LP dengan menggunakan jarum spinal khusus dapat mengatasi tahanan dari cairan LCS yang kental. Jika gagal setelah 2 sampai 3 kali percobaan maka dianjurkan melakukan LP pada pasien dengan posisi duduk. Jika cairan LCS tidak keluar pada LP lebih sering disebabkan dari posisi jarum yang tidak tepat dari pada obliterasi ruang subarachnoid yang disebabkan lesi kompresif di cauda equina atau arachnoiditis adhesive. LP memiliki beberapa komplikasi yang serius. Yang paling sering adalah sakit kepala,terjadi pada satu dari 3 pasien, namun jarang yang bekembang menjadi sakit kepala hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan tekanan LCS dan dan penarikan pembuluh darah dural dan serebral jika pasien berdiri. Walaupun tidak terlalu membantu, posisi berbaring sering disarankan dan obat analgetik oral sering diberikan untuk mangatasi hal ini. sStrupp dan kawan-kawan mengatakan bahwa penggunaan jarum spinal atraumatik menurunkan angka kejadian sakit kepala. Anehnya kejadian sakit kepala terjadi dua kali lipat lebih sering dibandingkan setelah prosedur LP diagnostik, sama halnya dengan setelah dilakukan anestesi spinal. Berdasarkan pengalaman, pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat sakit kepala akan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami sakit kepala setelah LP. Sakit kepala hebat biasanya diikuti dengan muntah dan kaku leher. Walaupun jarang, kelumpuhan nervus VI secara unilateral atau bilateral maupun nervus lainnya (nervus VII dan VIII), dapat terjadi dengan atau tanpa disertai sakit kepala. Sindrom akibat penurunan tekanan LCS diatasi dengan blood patch. Perdarahan ke dalam meningen medulla spinalis atau rongga epidural dapat terjadi pada pasien yang sedang mendapat terapi antikoagulan (umumnya dengan rasio normalisasi internasional/INH > 1.7), jumlah trombosit yang rendah (<50.000/m3) atau mengalami ganguan fungsi trombosit (alkoholisme,uremia). Hal ini diatasi dengan pemulihan terhadap koagulopati, dan pada beberapa kasus dilakukan terapi badah evakuasi bekuan darah. Terjadinya meningitis purulenta dan infeksi pada diskus merupakan komplikasi yang jarang dari LP yang diakibatkan oleh teknik sterilisasi yang kurang steril serta masuknya benda asing ke dalam ruang subarakhnoid medulla spinalis juga dapat menyebabkan meningitis steril.

32

PROSEDUR PEMERIKSAAN Sekali ruang subarakhnoid dapat ditembus, nilai tekanan, dinamik dan sampel LCS bisa didapatkan. Gambaran makroskopis LCS harus dicatat dan kemudian dibagi dalam beberapa tabung sebagai sampel untuk pemeriksaan (1) jumlah dan jenis sel serta jenis kuman (2) kadar protein dan glukosa (3) sitologi sel tumor (4) kadar gamaglobulin, fraksi protein lainnya, keberadaan pita oligoklonal dan tes serologis (5) pigmen laktat, ammonia, pH, CO2, enzim dan substansi yang dihasilkan tumor (contohnya 2 mikroglobulin) dan (6) bakteri dan jamur (melalui kultur), antigen kriptokokus dan organism lainnya, DNA virus herpes, citomegalovirus dan kuman lainnya (menggunakan PCR) dan isolasi virus.

TEKANAN DAN ALIRAN Pada pasien dengan posisi lateral dekubitus, tekananan LCS diukur menggunakan manometer dengan jarum spinal yang terhubung ke dalam rongga subarachnoid. Pada dewasa normal, tekanan LCS biasanya 100-180 mmH2O atau 814 mmHg. Pada anak tekanan berkisar antara 30-60mm H2O. Tekanan yang lebih dari 200 mmH2O pada pasien dengan kondisi rileks dan posisi kaki lurus merupakan tanda peningkatan TIK. Pada pasien dewasa, tekanan 50 mmH2O atau kurang merupakan tanda hipotensi intrakranial yang biasanya disebabkan oleh kebocoran LCS atau dehidrasi sistemik. Jika pengukuran dilakukan dengan jarum ke dalam kantong lumbal dan pasien dengan posisi duduk, cairan dalam manometer mencapai level sisterna magna (tekanan rata-rata dua kali lipat daripada posisi berbaring), namun tidak bisa mencapai sistem ventrikel karena merupakan sistem yang tertutup di bawah tekanan yang sedikit negatif. Cairan dalam manometer dipengaruhi oleh tekanan atmosfir. Secara normal, ketika jarum dalam posisi yang benar berada dalam ruang subarakhnoid, cairan pada manometer akan turun naik secara cepat sekitar beberapa millimeter sebagai respon terhadap denyut nadi dan nafas, meningkat oleh batuk, mengedan serta kompresi vena jugular dan abdominal. Tekanan yang rendah juga bisa disebabkan oleh jarum yang tidak masuk ruang suarachnoid secara

33

sempurna, hal ini dapat dibuktikan kurangnya fluktuasi tekanan dengan maneuver di atas. Blok aliran LCS pada subarakhnoid spinalis pada masa sebelumnya dapat dikonfirmasi dengan kompresi vena jugularis (tes quecken-stedt, yang merupakan tes untuk peningkatan tekanan yang cepat jika vena jugularis dikompresi). Namun tes ini harus dilakukan secara hati-hati meningkatkan TIK. karena dapat memperberat blok spinal, dan

GAMBARAN MAKROSKOPIK DAN PIGMEN Normalnya, cairan LCS bening dan tidak berwarna. Perubahan kecil pada warna dapat diamati dengan membandingkan tabung tes dengan air pada bidang berlatar putih dengan pencahayaan (lebih baik dengan pencahayaan matahari daripada iluminasi floresen), atau dengan mengamati tabung tersebut dari arah atas (pemeriksaan dengan tabung mikrohematoktrit jarang dilakukan). Adanya eritrosit dalam LCS memberikan gambaran yang tidak jelas, setidaknya harus ada 200 eritrosit per millimeter kubik (mm3) untuk bisa mendeteksi perubahan warna. Jumlah eritrosit 1000-6000/mm3 akan memberikan warna sedikit merah muda atau merah, dan

tergantung pada jumlah eritrositnya, dan dengan sentrifugasi akan didapatkan endapan eritrosit. Leukosit dengan jumlah ratusan dalam LCS (pleositosis) dapat menyebabkan cairan LCS menjadi berwarna agak keruh. Pada proses LP yang berdarah, dimana darah dari pleksus vena epidural bercampur dengan cairan LCS, akan meragukan dalam menegakkan diagnosis, karena jika tidak hati-hati bisa salah interpretasi dengan SAH subklinis. Untuk membedakannya, diambil dua sampai tiga sampel secara serial pada waktu yang sama. Pada keadaan LP yang berdarah, akan terdapat penurunan jumlah eritrosit pada sampel kedua dan ketiga. Biasanya pada LP yang berdarah, tekanan LCS biasanya normal dan jika jumlah darah yang bercampur cukup banyak maka akan terbentuk bekuan dan benang fibrin. Hal ini tidak akan tampak pada campuran darah yang berasal dari SAH subklinis, dimana darah sudah bercampur dengan LCS secara

34

merata dan mengalami defibrinasi. Pada SAH, eritrosit akan mengalami hemolisis dalam beberapa jam sehingga memberikan warna merah muda (eritrokromia) pada cairan supernatan, kemudian dalam beberapa hari akan berubah warna menjadi kuning kecoklatan (xantokorm). LP yang berdarah akan memberikan warna bening jika disentifugasi dan hanya jika jumlah eritrosit lebih dari 100.000/mm3 yang akan memberikan warna xantokorm apabila disentrifugasi, hal ini terjadi karena terdapat kontaminasi dari bilirubin serum dan lipokrom. LCS dari LP yang berdarah biasanya mengandung satu atau dua leukosit per 1000 eritrosit yang menunjukkan bahwa kadar hematokrit dalam batas normal, tapi dalam kenyataannya rasio ini memiliki variasi yang luas. Pada SAH, jumlah leukosit meningkat seiring dengan proses hemolisis eritrosit, kadang-kadang mencapai jumlah ratusan per millimeter kubik. Namun hal ini tidak bisa dijadikan pegangan untuk membedakan LP yang berdarah dengan SAH subklinis. Kedua bentuk perdarahan ini memiliki kesamaan berupa krenasi eritrosit. Mekanisme mengapa eritrosit mengalami hemolisis secara cepat masih belum jelas. Yang pasti hal ini tidak disebabkan oleh perbedaan osmolaritas, dimana osmolaritas LCS dan plasma pada dasarnya adalah sama. Fishmen mengatakan bahwa penurunan kadar protein pada cairan LCS akan mengganggu keseimbangan membrane eritrosit. Perubahan warna cairan LCS pada SAH disebabkan oleh oksihemoglobin, bilirubin dan methemoglobin. Dalam bentuk yang murni, pigmen ini berwarna merah, kuning muda, dan coklat. Oksihemoglobin mulai tampak beberapa jam setelah onset dan mencapai jumlah maksimal dalam 36 jam, kemudian berkurang setelah 7 sampai 9 hari. Bilirubin mulai tampak setelah 2-3 hari dan meningkat sesuai dengan penurunan jumlah oksihemoglobin. Methemoglobin terbentuk apabila eritrosit mengalami lokulasi atau enkistik dan terpisah dari aliran LCS. Teknik spektrofotometri dapat membedakan berbagai bentuk gangguan produksi hemoglobin dan kemudian memperkirakan waktu perdarahan rata-rata.

35

Tidak semua LCS yang xantokrom disebabkan oleh hemolisis eritrosit. Pada ikterus yang berat, bilirubin I dan II menyebar masuk ke dalam LCS. Jumlah bilirubin dalam cairan LCS berkisar antara 1/10 sampai 1/100 dari kadar dalam serum. Peningkatan kadar protein dalam LCS menyebabkan warna sedikit opak dan xantokromia, serta peningkatan atau penurunan proporsi albumin-fraksi bilirubin. Perubahan warna LCS hanya dapat diamati secara makroskopik jika kadarnya lebih dari 150 mg/100 mL. Hiperkarotenemia dan hemoglobinemia (melalui gangguan produksi hemoglobin, khususnya oksihemoglobin) juga menyebabkan warna kuning pada cairan LCS, seiring pembekuan darah dalam ruang subdural atau epidural otak maupun medulla spinalis. Mioglobin tidak ditemukan dalam LCS karena ambang klirens renal yang rendah untuk pigmen ini sehingga memungkinkan terjadinya ekskresi yang cepat dari dalam darah.

SELULARITAS Dalam bulan-bulan pertama kehidupan, cairan LCS mengandung sel monosit dalam jumlah kecil. Setelah itu dalam keadaan normal cairan LCS hampir aselular ( sel limfosit dan mononuklear lainnya < 5/mm3). Peningkatan jumlah leukosit biasanya merupakan reaksi terhadap bakteria dan agen infeksius lainnya, darah, substansi kimia dan inflamasi imunologis, neoplasma, atau vaskulitis. Jumlah leukosit dapat dihitung dengan menggunakan kamar hitung biasa, namun untuk identifikasi harus menggunakan sentrifugasi cairan dan sedimentasi dengan pewarnaan Wright atau penggunaan filter Millipore, fiksasi dan pewarnaan. Melalui hal tersebut dapat diketahui jumlah netrofil dan eusinofil (yang kemudian akan menjadi jelas pada penyakit Hodgkin, beberapa infeksi parasit dan emboli kolesterol), limfosit, sel plasma, sel mononuclear, sel arachnoid, makrofag dan sel tumor. Bakteri, jamur dan fragmen ecinococcus dan sistiserkosis dapat terlihat dengan pewarnaan sel atau sediaan dengan preparat gram. Preparat Tinta india berguna untuk membedakan limfosit dengan kriptokokus dan candida. Kuman basil tahan asam juga dapat

36

ditemukan dalam sampel dengan pewarnaan yang tepat. Monograf Dufresne dan Hartog-jager serta artikel Bigner merupakan metode sitologi lama namun masih merupakan pemeriksaan pilihan dalam sitologi LCS. Pemeriksaan imunologi khusus dan teknik imunostaining juga dapat digunakan sebagai marker sel limfoma, protein asam fibril glial, elemen selular khusus dan antigen.

PROTEIN Bertolak belakang dengan jumlah protein yang tinggi dalam darah (5.5008000 mg/dL), pada orang dewasa jumlahnya dalam LCS berkisar 45-50mg/dL atau kurang. Kadar protein pada sisterna basal 10-25mg/dL dan pada ventrikel 5-15 mg/dL. Hal ini menggambarkan bahwa protein LCS memang berasal dari cairan plasma melalui sawar darah otak. LCS berasal dari ultrafiltrasi darah di pleksus khoroideus pada ventrikel lateral dan ventrikel IV yang analog dengan filtrasi urin di glomerulus. Jumlah protein dalam LCS sebanding dengan lamanya kontak dengan sawar darah otak. Setelah memasuki ventrikel jumlah protein biasanya menurun. Makin ke arah kaudal di daerah sisterna, kadar protein makin tinggi dan kadar protein tertinggi terdapat pada daerah lumbal. Pada anak, konsenterasi protein LCS rata-rata lebih rendah pada setiap level (<20mg/dL pada daerah lumbal). Peningkatan jumlah yang melebihi normal mengindikasikan suatu proses patologis pada daerah sekitar ependim dan meningen, otak, medulla spinalis ataupun serabut syaraf, meskipun penyebab peningkatan sedikit kadar protein (dalam kisaran 75mg/dL) kadang-kadang membingungkan. Pada perdarahan ruang ventrikel dan subarachnoid, tidak hanya terjadi perembesan eritrosit tapi juga protein serum. Jika konsentrasi protein serum normal, peningkatan konsentrasi protein LCS kira-kira 1mg per 1.000 eritrosit dimana tabung LCS yang sama dapat digunakan untuk menghitung jumlah sel dan kadar protein. (hal yang sama juga berlaku pada LP berdarah). Pada SAH kadar protein bisa meningkat

37

beberapa kali lipat karena efek iritasi dari eritrosit yang mengalami hemodialisis pada leptomeningen. Kadar protein dalam LCS pada meningitis bakterialis dimana perfusi koroid dan meningeal, sering meningkat mencapai 500mg/dL atau lebih. Infeksi virus

menyebabkan peningkatan padar protein yang lebih sedikit, terutama reaksi dari limfosit, biasanya 50-100mg/dL tapi kadang-kadang dapat mencapai 200mg/dL sedangkan pada beberapa kasus meningitis virus kadar proteinnya bisa normal. Tumor paraventrikel sering menyebabkan peningkatan protein sampai 100mg/dL. Nilai protein yang meningkat sampai 500mg/dL ditemukan pada keadaan khusus seperti pada sindroma gillain barre dan polineuropati demielinisasi kronik. Pada blok aliran LCS didapatkan jumlah LCS yang meningkat sampai 1000mg/dL atau lebih, perubahan warna kuning gelap dan timbulnya pembekuan darah terjadi karena

adanya fibrinogen yang dikenal dengan froin syndrome. Blok parsial LCS akibat ruptur medula spinalis atau tumor biasanya dapat menyebabkan peningkatan kadar protein menjadi 100-200mg/dL. Jumlah protein LCS yang rendah didapatkan pada meningismus (pada suatu keadaan demam dengan tanda rangsang meningeal tapi LCS normal), hipertiroid, atau kondisi penurunan tekanan LCS. Melalui teknik elektroforesis dan imunokimia memperlihatkan adanya sebagian besar protein serum dengan berat molekul yang kurang dari 150.000200.000. Fraksi protein LCS yang telah diidentifikasi dengan teknik elektroforesis biasanya terdiri dari prealbumin, albumin, alpha1, alpha2, beta1, beta2 dan gammaglobulin. Imunoglobulin utama yang terdapat dalam LCS adalah IgG. Pada tabel 2-2 dapat kita lihat kadar kuantitatif dari berbagai fraksi LCS. Dengan metode imunoelektroforesis juga dapat diidentifikasi adanya glikoprotein, seruloplasmin, hemopeksin, beta-amiloid dan protein tau. Molekul-molekul besar seperti fibrinogen, IgM dan lipoprotein. Ada beberapa perbedaan lainnya yang bisa diamati antara fraksi protein LCS dan plasma. LCS selalu mengandung fraksi prealbumin sedangkan plasma tidak.

38

Walaupun LCS berasal dari plasma, namun karena suatu penyebab yang belum dapat dijelaskan, fraksi ini justru terkonsentrasi dalam cairan LCS dan kadarnya lebih tinggi di ventrikel dibandingkan lumbal. Selain itu, fraksi Tau (beta2-transferin) hanya terdapat pada cairan LCS dengan konsentrasi yang lebih tinggi juga pada ventrikel. Konsentrasi protein Tau dibandingkan dengan beta-amiloid telah diketahui dapat digunakan dalam diagnosis alzheimer. Konsentrasi gamaglobulin dalam LCS adalah 70% dari konsentrasi serum. Sekarang ini diketahui , hanya sedikit protein yang dihubungkan dengan penyakit sistem saraf. Yang terpenting adalah IgG, yang jumlahnya dapat mencapai 12% dari jumlah protein total dalam LCS pada penyakit seperti sklerosis multipel, neurosifilis, panensefalitis sklerosing subakut, meningoensefalitis virus kronik lainnya. IgG serum tidak ikut meningkat pada kondisi ini yang berarti bahwa immunoglobulin ini secara alami berasal dari sistem saraf. Bagaimanapun, peningkatan gamaglobulin serumseperti pada sirrosis, sarkoidosis, miksedem dan multiple myelomaakan diikuti dengan peningkatan konsentrasi globulin dalam LCS. Karena itu terjadi penigkatan gamaglobulin LCS, maka perlu juga untuk mengamati pola elektroforesis protein serum. Perubahan. kualitatif dari pola imunoglobulin LCS yang dapat diamati secara elektroforesis, yang menampilkan masing-masing immunoglobulin akan didiskusikan pada bab 36. Fraksi albumin LCS meningkat secara umum pada penyakit susunan saraf pusat dan gangguan medulla spinalis yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas sawar darah otak, namun tidak ada korelasi klinis yang jelas. Enzim-enzim tertentu yang terdapat dalam otak, terutama kreatinin kinase (CK-BB), enolase dan neopterin, dapat ditemukan di LCS pada keadaan pasca stroke, hipoksia iskemik global, trauma dan sudah menjadi penanda kerusakan otak pada studi eksperimental. Marker spesifik lain seperti protein 14-3-3 yang berguna dalam diagnostik penyakit Prion, mungkin berguna dalam keadaan khusus lainnya.

39

GLUKOSA Konsentrasi glukosa LCS normal adalah 45-80 mg/dL, kira-kira duapertiga dari konsentrasi serum (0,6-0,7). Peningkatan konsentrasi di serum pararel dengan konsentrasi di LCS, namun pada kasus hiperglikemia hal ini justru berbanding terbalik dengan konsentrasinya pada LCS (0,5-0,6). Pada kadar glukosa serum yang sangat rendah, kadar dalam LCS justru meningkat mencapai 85%. Secara umum kadar glukosa yang menurun di bawah 35 mg/dL. Setelah injeksi

glukosa intravena, konsentrasinya dengan LCS baru seimbang setelah 2 sampai 4 jam, hal serupa juga terjadi dalam penurunan kadar glukosa darah. Dikarenakan oleh alasan ini, maka sebaiknya dilakukan secara serentak pemeriksaan kadar glukosa LCS dan darah pada saat puasa, atau diambil sampel serum beberapa jam sebelum dilakukan LP. Jumlah glukosa yang rendah (hipoglikorasia) dengan munculnya pleositosis biasanya menandakan meningitis piogenik, tuberkulosis atau jamur, meskipun juga terdapat pada infiltrasi tumor yan g luas ke meningen dan sarkoidosis serta SAH (biasanya terjadi pada minggu pertama). Peningkatan jumlah laktat pada meningitis purulenta menandakan suatu proses glikolisis anaerob. Sudah sejak lama diketahui bahwa meningitis bakteri menurunkan kadar glukosa LCS karena proses metabolisme aktifnya, namun kadar glukosa yang masih subnormal setelah 1-2 minggu terapi dianjurkan untuk

operasi. Secara teori, kondisi penurunan kadar glukosa dalam LCS juga dapat disebabkan oleh gangguan entry glukosa ke LCS karena rusaknya sistem transfer membran. Di sisi lain, meningitis virus tidak menurunkan kadar glukosa LCS meskipun kadar glukosa yang rendah juga dilaporkan pada beberapa kasus meningoencepalitis mumps dan herpes simplek serta herpes zoster.

TES SEROLOGIS DAN VIROLOGIS

40

Pemeriksaan antigen permukaan criptokokus merupakan suatu hal yang rutin jika infeksi ini dicurigai. Hasil positif palsu bisa terjadi pada peningkatan titer faktor rheumatoid atau antibody antitreponema, namun di sisi lain pemeriksaan ini memiliki nilai diagnostik lebih tinggi dari pada pemeriksaan dengan tinta india. Tes darah antibodi nontreponema-VDRL dan RPR-juga dapat diperiksa pada LCS. Hasil positif terdapat pada neurosifilis, tapi nilai positif palsu juga dapat terjadi pada penyakit kolagen, malaria, frambusia dan kontaminasi LCS dengan darah yang seropositif. Tes yang dilakukan tergantung dari antigen mana yang digunakan, termasuk tes imobilisasi treponema palidum dan tes antibodi floresen treponema lebih spesifik untuk menyingkirkan nilai positif palsu. Pemeriksaan dan diagnosis neurosifilis akan didiskusikan pada bab 32. Tes serologis spirokaeta dilakukan pada keadaan yang diduga disebabkan oleh agen ini. Tes serologis untuk virus akan memakan waktu, namun tes ini berguna dalam menentukan secara restrofektif sumber meningitis atau encepalitis. Rapid tes yang menggunakan PCR mulai digunakan secara luas terutama untuk herpes dan sitomegalovirus. Tes ini sangat berguna dalam minggu-minggu pertama infeksi dimana virus mulai bereproduksi dan material virus mulai menyebar, namun setelah 1 minggu pemeriksaan secara serologis lebih bermanfaat. Rapid tes dengan menggunakan PCR juga berguna dalam mendiagnosa tuberkel secara cepat dan diikuti dengan kultur yang memakan waktu beberapa minggu. Tes ini juga dapat digunakan dalam mendeteksi protein prion pada LCS pada encepalopati spongiform namun hasilnya kadang-kadang membingungkan.

PERUBAHAN KONSENTRASI DAN KOMPONEN LAIN Osmolalitas LCS rata-rata 295 mOsm/L sama dengan osmolalitas plasma. Osmolalitas plasma meningkat jika diberikan larutan hipertonik seperti manitol atau urea dalam beberapa jam. Hiperosmoloritas menyebabkan dehidrasi otak dan penurunan volume LCS.

41

Pada tabel 2-2 ditampilkan profil sodium, potassium, kalsium dan magnesium LCS dan serum. Penyakit-penyakit neurologis tidak akan meningkatkan konsentrasi dari elektrolit di atas. Konsentrasi klorida yang rendah bisa terdapat pada meningitis bakteri namun tidak spesifik dan sedikit meningkat pada peningkatan kadar protein LCS. Keseimbangan asam basa pada LCS berhubungan dengan asidosis dan alkalosis metabolic namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Nilai PH normal LCS kira-kira 7.31, sedikit lebih rendah dari PH darah arteri yang bernilai 7.41. Nilai Pco2 LCS kira-kira 45-49mmHg, sedikit lebih tinggi dari PH darah arteri(40mmHg).

Kadar bikarbonat arterial dan LCS relatif sama. Nilai PH LCS relatif stabil walaupun sudah terjadi alkalosis atau asidosis metabolik berat. Perubahan asam basa pada LCS tidak dapat menggambarkan kondisi otak dan tidak spesifik sebagai indikator perubahan sistemik. Kadar ammonia pada LCS sepertiga sampai setengah dari jumlahnya dalam darah. Amaonia biasanya meningkat pada encepalopati hepatik, hiperamonemia kongenital dan sindroma rey, dimana konsentrasinya meningkat seiring dengan beratnya encepalopati. Kandungan asam urat LCS adalah 5% dari serum dan dapat meningkat pada gout, uremia dan meningitis dan menurun pada penyakit Wilson. Konsentrasi urea sedikit rendah dibandingkan serum; pada keadaan uremia, terjadi peningkatan yang lebih lambat dibandingkan plasma. Injeksi urea meningkatkan kadar urea darah dalam waktu cepat, namun proses ini berlangsung lebih lambat pada LCS,mengakibatkan suatu dehidrasi osmotik yang berakibat pada jaringan SSP dan LCS. Sebanyak 24 jenis asam amino sudah diisolasi dari LCS. Konsentrasi asam amino LCS sepertiga dari jumlahnya dalam plasma. Peningkatan kadar glutamin didapatkan pada koma hepatik dan sindroma reye, sementara penilalanin, histidin, valin, leusin, isoleusin, tirosin, dan homosistein meningkat pada aminoasiduria. Sejumlah enzim dapat meningkat pada beberapa kasus dan biasanya terkait dengan meningkatnya kadar protein LCS. Tidak ada satupun peningkatan enzim yang

42

dapat menjadi indikator spesifik penyakit neurologis, kecuali laktat dehidrogenase, khususnya isoenzim 4 dan 5 yang dihasilkan dari sel granulosit. Enzim ini meningkat pada meningitis bakteri namun tidak pada meningitis virus dan aseptik. Laktat dehidrogenase juga meningkat pada metastase meningeal dan begitu juga antigen kranioembrionik, namun antigen kranioembrionik tidak meningkat pada meningitis bakteri, virus dan fungi. Profil lipid LCS sukar untuk dihitung dan jumlahnya dalam LCS sedikit. Katabolit dari katekolamin LCS dapat ditentukan. Homovanilic acid (HVA), katabolit mayor dari katekolamin, dan 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), katabolit mayor dari serotonin terdapat secara normal pada LCS dengan kadar 5-6 kali lebih tinggi dilumbal dibanding ventrikel. Jumlah katabolit ini menurun pada penderita Parkinson. Akhirnya, dengan makin berkembangnya teknik mikrokimia untuk

menganalisis LCS diharapkan kita dapat lebih mengerti tentang mekanisme metabolik otak, terutama penyakit penyakit metabolik herediter. Pemeriksaan gasliquid kromatografi dapat menemukan banyak produk katabolik baru yang berguna dalam penegakan diagnosis. Thompson telah melakukan analisis biokimia dan kegunaannya untuk tujuan diagnosis.

TEKNIK PENCITRAAN PADA OTAK DAN MEDULA SPINALIS Pada masa lalu, pemeriksaan foto polos merupakan suatu hal yang rutin pada pasien neurologis, namun keterangan yang didapatkan dari pemeriksaan ini relatif kecil. Meskipun foto polos cranium merupakan pemeriksaan penunjang utama pada cedera kepala, fraktur hanya ditemukan 1 dari 16 kasus dengan biaya ribuan dolar per fraktur dan resiko dari radiasi. Selain fraktur, dari foto polos juga dapat dinilai perubahan pada kontur tulang, erosi dan hiperostosis, infeksi pada sinus paranasal dan mastoid serta perubahan pada foramen basalis. Dari foto polos vertebre dapat

43

dilihat osteofit, lesi vetebre destruktif, neoplasma dan infeksi, fraktur dislokasi dan spondiloestesis, penyakit pott dan paget. Serangkaian teknik radiologis canggih telah memberikan nilai diagnostik yang tinggi dalam beberapa kasus khusus, terlebih sejak ditemukannya CT Scan dan MRI. Kedua teknik pemeriksaan ini menunjukkan kemajuan terkini dalam

memvisualisasikan suatu kelainan.

TOMOGRAFI KOMPUTER Pada prosedur ini, sinar X yang digunakan dapat menembus tulang, LCS, substansia grisea dan substansia nigra serta pembuluh darah. Intensitas radiasi yang dikeluarkan diatur dan diintegrasikan secara terkomputerisasi. Pencapaian penting ini merupakan pengembangan dari teknik foto polos oleh Hounsfield dan kawan-kawan. Lebih dari tigapuluh ribu per 2 sampai 4 mm gelombang radiasi dipancarkan secara horizontal ke arah kranium dan menembus tulang, LCS, pembuluh darah, substansia alba dan grisea dengan densitas yang berbeda. Berdasarkan hal itu kita dapat mengamati perdarahan, udem, abses, posisi dan ukuran ventrikel dan midline. Jumlah radiasi yang digunakan tidak lebih basar dari foto polos. CT Scan generasi terakhir dapat menampilkan gambaran otak dan tulang belakang dengan sangat jernih. Seperti yang ditampilkan pada gambar 2-1A-D, pada potongan tranversal, dapat diamati nukleus kaudatus dan nukleus lentikular, kapsula interna dan thalamus. Posisi dan pelebaran sulkus dapat diukur dan nervus kranial serta otot rektus medial dan lateral juga tampak pada bagian posterior orbita. Batang otak, serebelum dan medulla spinalis mudah dilihat pada tingkatan yang tepat. Selain itu CT Scan juga berguna dalam menentukan gangguan saraf perifer, tumor, lesi inflamasi dan hematom. CT Scan memiliki beberapa kelebihan dibanding MRI, terutama pada kasus perdarahan dan terdapatnya protese logam, biayanya lebih rendah, waktu pemeriksaan lebih pendek dan lebih tajam dalam memvisualisasikan

44

proses kalsifikasi, lemak, terutama basis kranii dan vetebre. Jika monitoring dan alat resursitasi harus terpasang ketika pemeriksaan harus dilakukan, hasil pemeriksaan dengan CT Scan lebih jelas dibandingkan MRI. Perkembangan teknologi CT scan pada masa sekarang meningkat dengan cepat terutama di bidang vaskularisasi seperti CT angiografi.

MIELOGRAFI KONTRAS Dengan menginjeksikan 5 sampai 25 mL kontras melalui jarum LP, semua ruang subarachnoid medula spinalis dapat dinilai (Gambar 2-1E dan F). Prosedur ini memiliki resiko yang relatif sama dengan LP kecuali pada kondisi spinal blok komplit karena penumpukan kontras pada daerah sekitar blok menyebabkan nyeri dan mioklonus. Herniasi diskus lumbal dan servikal, spondilosis servikal, pergeseran radik nervi spinalis dan tumor medulla spinalis dapat didiagnosa secara akurat. Pantopaque-zat kontras larut lemak- masih boleh digunakan terbatas pada keadaan tertentu (gambaran obstruksi komplit medula spinalis bagian atas). Jika kontras tersisa dalam ruangan subarachnoid, menandakan adanya darah atau eksudat yang mengindikasikan arachnoiditis otak dan medula spinalis. Pada CT Scan badan dapat diamati kanalis spinalis dan foramen intervetebral dan dengan penggunaan kontras dapat membantu memvisualisasikan lesi spinal dan fosa posterior. Mielogafi kontras dapat memvisualisasikan daerah-daerah kecil pada daerah kanalis spinalis seperti ressses lateral dan pergeseran radik nervi spinalis. MRI menghasilkan gambaran yang lebih tajam pada kanalis spinalis dan isinya, begitu juga dengan vetebre dan diskus intervetebre yang secara luas dapat menggantikan fungsi mielografi kontras.

Magnetic Resonance Imaging

45

Pada dasarnya MRI juga menampilkan gambar bagian-bagian otak dari berbagai sudut, dan teknik ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan CT dalam hal penggunaan energi tanpa ionisasi dan penyajian resolusi yang lebih baik dari struktur-struktur yang berbeda di dalam otak dan organ lainnya. Dengan kata lain, MRI adalah prosedur yang terbaik untuk menvisualisasikan hampir semua penyakit syaraf. Pemeriksaan MRI dilaksanakan dengan cara menempatkan pasien di dalam sebuah medan magnet yang kuat, yang menyebabkan isotop dalam (atom) jaringan dan LCS di dalam posisi longitudinal di medan magnet. Penggunaan gelombang radio dengan frekuensi beberapa milidetik ke dalam medan magnet menyebabkan berubahnya koordinat posisi atom dari longitudinal ke bidang transversal. Ketika frekuensi radio dimatikan, maka atom-atom tersebut akan kembali ke posisi semula. Energi frekuensi radio yang telah diserap tersebut akan menghasilkan pancaran sinyal magnetik yang dapat dideteksi dengan menggunakan gulungan elektromagnetik. Untuk mendapatkan penggambaran jaringan yang berbeda, penggunaan getaran frekuensi radio harus dilakukan beberapa kali (rangkaian getaran), dimana sinyal magnetik yang dihasilkan diukur di setiap getaran yang diberikan. Scanner kemudian akan menyimpan sinyal-sinyal tersebut sebagai matriks data yang selanjutnya akan dilakukan analisis komputer untuk mengetahui penggambaran yang diperoleh. Resonansi magnetik Nuclear dapat dideteksi berdasarkan sejumlah isotop dalam, tetapi teknologi dewasa ini umumnya menggunakan sinyal-sinyal yang berasal dari atom hidrogen (1H) karena hidrogen merupakan elemen yang paling banyak terdapat dalam jaringan serta menghasilkan sinyal magnetik yang paling kuat. Gambar yang dihasilkan pada dasarnya adalah peta dari kandungan hidrogen jaringan dimana sebagian besarnya berupa konsentrasi air, yang kemudian juga dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan kimia dari atom hidrogen tersebut. Jaringan yang berbeda mempunyai tingkatan pelepasan proton yang berbeda pula, yang kemudian menghasilkan intensitas sinyal yang berbeda sehingga jaringannya pun berbeda. Istilah T1 dan T2 digunakan dalam kaitannya dengan waktu konstan yang

46

digunakan untuk pelepasan proton; waktu tersebut dapat diubah dengan tujuan untuk memperhatikan ciri-ciri tertentu dari struktur jaringan. Gambar yang dihasilkan

dalam T1, warna LCS tampak gelap dan batas lapisan serta substansi alba jelas terlihat sebagaimana halnya dengan gambar CT, namun gambar yang dihasilkan dalam T2 menunjukan LCS berwarna putih. Gambar dalam T2 menunjukan perubahan dalam substansia alba seperti infark, demielinasi, dan udem (Tabel 2-3). Rangkaian gradient-echo (GRE) merupakan satu tipe teknik yang sensitif terutama terhadap darah dan produk nekrosis, yang ditampilkan sebagai daerah gelap pada gambar. Teknik FLAIR (fluid-attenuated inversion recovery) merupakan teknik yang memberikan sinyal kuat terhadap lesi pada jaringan parenkim, dan sinyal yang lemah pada LCS. Teknik ini sensitif terhadap kalsium dan zat besi di dalam jaringan otak yang menunjukan tahap awal dari infarks, yang menekankan pada lesi demielinasi. Gambar yang dihasilkan oleh alat MRI terbaru benar-benar luar biasa (Gambar 2-2A sampai C). Karena tingkat perbedaan yang tinggi antara substansi alba dan grisea, seseorang dapat mengidentifikasi semua struktur nuklir yang berlainan dan lesi yang terdapat di dalamnya. Lesi dalam pada lobus temporal, fossa posterior,

sevikomedular junction dapat dilihat dengan lebih baik dibandingkan dengan CT; strukturnya dapat ditampilkan dari tiga sudut dan tidak dirusak oleh sinyal-sinyal yang berasal dari struktur tulang yang berdekatan. Lesi demilienasi tampak dengan sangat jelas, serta jaringan infark dapat dikenali pada tahap awal dibandingkan dengan CT. Hasil-hasil dari metabolisme eritrosit metemoglobin, hemosiderin, dan ferritin- juga dapat diketahui, sehingga membantu seeorang dalam memperkirakan lamanya pendarahan yang berlebihan dan kemudian mencari solusinya seperti yang didiskusikan pada Bab 34 dan 35. Begitu juga halnya dengan LCS, lemak, kalsium, dan zat besi yang memiliki karakteristik sinyal tersendiri dari rangkaian gambar yang berbeda. Penggambaran tulang belakang menyajikan gambaran yang jelas mengenai korpus vetebre, diskus intervetebralis, medulla spinalis, dan cauda equina (gambar 2-

47

2d sampai F), demielinasi, dan abses). Teknik ini telah menggantikan teknik mielografi dengan kontras kecuali untuk beberapa kondisi ketika dibutuhkan gambar radik nervus serta medulla spinalis dengan resolusi yang sangat tinggi. Pelaksanaan dari gadolinium, sebuah alat paramagnetik yang dapat meningkatkan proses pelepasan proton selama rangkaian T1 pada MRI, bahkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas serta menunjukan daerah-daerah disekitar lesi tersebut dimana gangguan aliran darah otak, medulla spinalis atau radik. Penggunaan MRI terbatas pada anak-anak dan orang dengan gangguan kognitif karena mereka biasanya tidak kooperatif. Kelompok seperti ini perlu diberikan obat penenang, sehingga kebanyakan rumah sakit telah menyediakan pelayanan agar dapat memberikan obat penenang untuk pemeriksaan ini. Mempelajari pasien yang membutuhkan ventilator agak susah tapi lebih terarah dengan menggunakan ventilasi tangan atau ventilator nonferromagnetik. Bahaya utama penggunaan MRI adalah tenaga putaran, pencabutan, atau pemanasan potongan metal pada pembuluh darah, dan peralatan kedokteran gigi serta objek ferromagnetik lainnya serta fragmen metal di dalam orbit yang seringkali diabaikan oleh operator. Untuk alasan ini, maka akan bijaksana jika pada pasien tertentu dilakukan radiografi pada tulang kepala sehingga dapat dideteksi kandungan logam di daerah ini. Fragmen logam kornea dapat diangkat melalui operasi mata jika MRI dirasa sangat diperlukan. Hadirnya terobosan baru yang berhubungan dengan gangguan jantung, defibrillator, atau stimulator yang dicangkokan pada otak atau medulla spinalis sama sekali tidak dianjurkan dengan penggunaan MRI sebagai medan magnet yang dapat memicu arus-arus yang tidak diinginkan pada peralatan serta kabel-kabel yang keluar dari peralatan tersebut. Walau demikian, kebanyakan dari katup jantung ferromagnetic buatan, port intravaskular, klips pada aneurisma, shunt ventrikular, serta katup jantung buatan bukanlah menjadi resiko bagi pengunaan magnetic imaging. Begitu juga halnya dengan prostese sendi. Daftar peralatan yang telah diuji kerentanan ferromagneticnya serta keamanannya dalam penggunaan MRI

48

dapat ditemukan dalam monogram Shellock yang terus diupdate secara teratur. MRI akan beresiko dalam situasi ini jika tidak ada pengetahuan langsung yang berhubungan dengan material yang digunakan. Begitu banyak contoh kejadian dimana dokter terburu-buru membawa pasiennya yang sedang kritis ke ruangan MRI dan lupa mengeluarkan instrumen logam yang terdapat dalam saku mereka sehingga dapat mengganggu pasien atau medan magnet tersebut. Karena penggunaan MRI menyebabkan meningkatnya jumlah penderita katarak pada janin hewan, maka muncul keraguan akan penggunaan MRI bagi pasien yang hamil terutama pada triwulan pertama. Walau bagaimanapun, data terbaru menunjukan bahwa teknik yang digunakan memerlukan kajian secara medis. Dalam sebuah studi dimana 1000 teknisi MRI yang hamil memasuki medan magnet berulang kali (magnetnya tetap dalam prosedur yang ada) ditemukan hasil tidak adanya dampak yang merugikan bagi janin (Kanal et al) Beberapa tipe dari gambaran artefak MRI yang diketahui, kebanyakan diantaranya berkaitan dengan malfungsi elektronik pada medan magnet, dan para ahli yang terlibat dalam prosedur ini (untuk penjelasan lebih lanjut, lihat monograf Hulk et al). Yang paling umum dan problematik adalah aliran LCS di dalam medulla spinalis torakal, yang memberikan pengaruh pada massa intradural; penyimpangan struktur bentuk pada bagian dasar otak yang berasal dari peralatan kesehatan gigi ferromagnetik serta garis yang melewati gambar yang dipicu oleh aliran darah serta gerakan pasien. Dalam beberapa tahun terakhir, resiko tambahan dari fibrosis nefrogenik telah dapat diidentifikasi dalam kaitannya dengan penggunaan gadolinium. Hal ini umumnya dialami oleh pasien dengan gejala gagal ginjal. Karena alasan itulah maka sudah lazim dilakukan pengukuran kreatinin dan BUN sebelum pemasangan alat. Masalah ini kurang disadari sebelumnya karena jarang (frekuensinya belum dapat ditentukan), dan juga karena lambatnya efek toksik terhadap ginjal, yang berkisar antara beberapa hari sampai dua bulan.

49

Teknologi MRI ini terus berkembang. Visualisasi pembuluh darah yang berada di otak ( magnetic resonance angiography), tumor, lesi kompresif, lesi traumatik syaraf perifer (Filler et al) serta kerusakan perkembangan pada SSP adalah beberapa alasan mengapa penerapan teknologi MRI sangat menjanjikan. Perhatian khusus harus ditujukan pada diffusion-weighted imaging (DWI), sebuah prosedur yang hanya membutuhkan waktu satu menit serta tidak terhingga nilainya dalam mendeteksi tahapan paling dini dari stroke iskemik ( biasanya dalam 2 jam atau kurang dari waktu serangan); disamping itu DWI juga berguna untuk membedakan antara penyebaran kanker pada otak dengan abses. Disini, penyebaran air yang terbatas pada daerah infark otak ditunjukan dengan sinyal putih terang. Perfusionweighted imaging (PWI) bisa digunakan untuk mendeteksi daerah yang mengalami kekurangan perfusi; sejalan dengan DWI, PWI juga dapat menggambarkan daerah iskemik yang jaringannya belum mati sehingga dapat disertakan dalam pemulihan aliran darah dengan berbagai teknik (Bab 34). Kapasitas MRI yang digunakan untuk mengukur struktur anatomi juga dapat memberikan kemungkinan demonstrasi atrofi sel syaraf. Setiap beberapa tahun, sejumlah perkembangan dalam menginterpretasikan karakteristik sinyal dan perubahan morfologi bermunculan, begitu juga dengan munculnya cara-cara baru dalam penggunaan teknologi ini dalam kaitannya dengan kajian metabolisme otak serta aliran darah ( MRI fungsional atau fMRI). Gambar fungsional ini diperoleh dari pasien normal selama pelaksanaan tugas-tugas kognitif dan motorik, sedangkan pada pasien dengan gangguan syaraf dan kejiwaan

diterapkan pola baru aktivasi otak dan mengubah beberapa konsep tradisional fungsi selaput otak serta lokalisasi. Teknik utama yang dewasa ini digunakan adalah mengukur perbedaan antara oxy dan deooxyhemoglobin yang menggambarkan

pengiriman darah ke sebuah bagian. Sinyal blood oxygen level-dependent ini dapat diperoleh dari data MRI dan digunakan sebagai pengganti bagi aktivitas metabolisme otak lokal.

50

Meningkatnya penggunaan diffusion tensor imaging (DTI) umumnya untuk menggambarkan serat traktus syaraf pada otak, akan tetapi algoritma lainnya sedang dikembangkan sebagai kajian khusus. Teknik ini tergantung pada observasi, dimana air serta molekul-molekul lainnya bergerak secara acak karena penyebaran, yang menyelidiki jaringan diluar resolusi gambar yang biasa digunakan. Pergerakan molekul-molekul tersebut dalam tiga dimensi dihalangi oleh jaringan otak sehingga tidak ada yang seragam; DTI mengukur tingkat keberagaman ini, atau anisotrofi yang memberikan gambaran sangat detail dari struktur jaringan dengan resolusi yang luar biasa. Meningkatnya penggunaan MRI serta kepekaan mesin-mesin dan algoritma komputer dewasa ini secara tidak langsung berefek pada penemuan sejumlah penemuan yang tidak penting sehingga menimbulkan kecemasan yang tak sewajarnya dan terkadang mendorong seseorang untuk melakukan konsultasi syaraf. Tapi walau demikian, jumlah yang mengejutkan berkaitan dengan konsekuensi lesi otak juga dikemukakan. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian berskala besar pada orang dewasa yang tidak menunjukan gejala penyakit yang tergabung dalam Rotterdam Study menunjukan kesesuaian dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa ditemukannya penderita aneurisma kurang lebih 2 persen, meningioma sebanyak 1 persen, dan dengan persentase yang lebih kecil dan tidak signifikan adalah vestibular schwannomas dan tumor kelenjar pituitary, tapi lain halnya dengan aneurisma yang meningkat sejalan dengan usia. Satu persen menderita sindroma Arnold-Chiari, dan beberapa menderita kista arachnoid. Selanjutnya, tujuh persen pasien diatas 45 tahun menderita occult stroke (stroke yang susah untuk dideteksi) yang pada umumnya berupa lacunar. Karena penelitian ini dilaksanakan tanpa menggunakan gadolinium, maka diharapkan kerusakan yang bahkan lebih kecil dapat diatasi. (Vernooij et al) Teknik magnetic resonance spectroscopy sebenarnya berasal dari nuclear magnetic resonance (NMR). Penggunaannya mulai meningkat dalam menganalisis kerusakan tertentu pada otak depan. Penggunaan terbaru adalah dalam analisis bagian

51

otak dan rangkaian frekuensi magnetic resonance yang digunakan sehingga dapat mendeteksi sinyal dari relaksasi ikatan elektrokimia dari berbagai unsur jaringan otak. Yang paling utama adalah choline (senyawa ammonia) dan N-acetyl-aspartate (kerusakan bagian pada otak); kolin biasanya terkandung dalam membrane myelin dan NAA merupakan penanda bagi sel syaraf. Disamping itu juga dapat dideteksi gangguan produk pada myelin yang muncul di sebelah kanan NAA pada spectrogram. Dalam hal ini, kerusakan yang disebabkan oleh infark, tumor, atau demielinasi dapat dibedakan. Penggunaan CT scanning dan MRI dalam mendiagnosis penyakit syaraf tertentu dianggap dalam bab pembahasan yang sesuai. Angiografi Teknik ini telah berkembang selama lebih dari 50 tahun dimana ini merupakan metode yang aman dan berguna dalam mendiagnosis aneurisma, malformasi vaskular, oklusi arteri dan vena, diseksi arteri dan angitis. Sejak munculnya teknik CT dan MRI, penggunaan angiografi secara praktikal hanya terbatas pada diagnosis gangguan vaskular, dan perbaikan dari dua teknik terdahulu ( magnetic resonance angiography (MRA) serta CT scanning spiral, yang nanti akan dijelaskan lebih lanjut) diharapkan dapat mengurangi penggunaan angiografi x-ray yang konvensional. Walau demikian, prosedur endovascular yang baru untuk pengangkatan jaringan aneurisma, malformasi arteri vena dan tumor vaskular masih membutuhkan angiografi konvensional. Setelah dilakukan anastesi lokal, suntikan biasanya diberikan pada arteri bagian femoralis atau brakialis, kanul tersebut kemudian akan diteruskan melalui jarum suntik ke sepanjang aorta dan cabang arteri yang akan digambarkan. Dalam

hal ini, media kontras dapat disuntikan untuk melihat arkus aorta, pangkal pembuluh arteri karotis, artessi vetebralis dan perjalanannya menuju rongga kranium. Arteriogafer yang berpengalaman dapat menvisualisasikan arteri serebri dan spinalis

52

sampai arteri dengan diameter lumen 0.1 mm (dalam kondisi yang optimal) serta pembuluh vena dengan ukuran yang sebanding. Angiograpi bukan tanpa resiko. Penggunaan dalam konsentrasi yang tinggi pada medium yang disuntikan dapat memicu spasme vaskular, oklusi, dan penggumpalan bisa terjadi pada ujung kateter dan emboli arteri. Gangguan penyakit secara keseluruhan dari prosedur ini berkisar antara 2.5 persen, umumnya seperti memburuknya kondisi lesi vaskular atau dari komplikasi pada lokasi pungsi. Terkadang menghasilkan frank brain serta lesi iskemik pada tungkai yang mungkin dihasilkan material atheromatous (penumpukan lemak pada arteri), atau seringkali diseksi yang disebabkan oleh kateter. Pasien bisa menderita hemiplegi, quadraplegi, kebutaan; oleh karena alasan inilah prosedur ini sebaiknya tidak dijalankan jika prosedur ini tidak terlalu dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosis yang jelas atau digunakan sebagai antisipasi dari operasi yang memerlukan informasi lokasi pembuluh. Mielopati servikal adalah komplikasi yang jarang terjadi tapi cukup berbahaya sebagai akibat dari komplikasi arteri vetebralis; akibat tersebut akan ditunjukan dengan perasaan nyeri pada bagian belakang leher segera setelah penyuntikan. Iskemia progresif yang berasal dari nyeri pada patologi vaskular terjadi selama beberapa jam berikutnya. Komplikasi yang sama juga terjadi pada level lain di angiograf bagian visceral. Dengan adanya perkembangan dalam teknik radiologi yang menggunakan proses komputer digital pada data radiologi agar dapat menghasilkan gambaran dari pembuluh arteri pada leher dan tengkorak, maka pembuluh akan dapat divisualisasikan dengan menggunakan kateter yang lebih kecil dibandingkan dengan yang digunakan sebelumnya Magnetic resonance dan Computed Tomographic Angiografi Keduanya merupakan teknik noninvasif untuk menvisualisasikan pembuluh arteri intrakranial. Mereka dipercaya dapat mendeteksi lesi vaskular dalam intrakranial serta stenosis arteri ekstrakranial, serta juga menggantikan angiografi

53

konvensional. Keduanya mendekati, walaupun belum bisa menyamai resolusi radiografi dari angiografi invasif untuk pembuluh distal dan dalam memperoleh perincian yang jelas mengenai kerusakan oklusi. Meski demikian, mereka sangat berguna untuk mengukur kejelasan dari pembuluh vena servikal dan basis( Gambar 23A sampai D). Visualisasi dari pembuluh vena sebri juga memungkinkan dalam hal ini. Berbeda halnya dengan MRA, teknik CT membutuhkan injeksi cairan intravenous yang berguna untuk memvisualisasikan pembuluh darah dan kelainan yang berkaitan dengan tulang dan otak (gambar 2-3E). Penggunaan metode-metode ini serta metode lainnya dalam rangka mendeteksi gangguan pada arteri karotis ( akan didiskusikan lebih lanjut pada bab 34 dalam kaitannya dengan gangguan vascular otak bagian depan) Positron Emission Tomografi Teknik ini yang umumnya dikenal sebagai PET digunakan untuk mengukur konsentrasi otak regional dari isotop radioaktif yang diatur secara sistematis. Positron-emitting isotopes (biasanya dalam bentuk 11C, 18F, 13N, dan 15O) dihasilkan dalam partikel akselerator atau akselerator linear dan kemudian digabungkan dengan senyawa aktif biologi di dalam tubuh. Konsentrasi isotop pada berbagai bagian otak ditentukan secara noninvasif dengan menggunakan alat pendeteksi yang berada di luar tubuh, dan gambar tomography (struktur tubuh) dihasilkan dengan menggunakan teknik yang serupa dengan yang digunakan para CT dan MRI. Pola lokal pada aliran darah otak, uptake oksigen, penggunaan glukosa dapat diukur dengan menggunakan PET scanning, prosedur ini telah terbukti berguna dalam meneliti tumor otak primer, dan membedakan antara jaringan tumor dengan nekrosis karena radiasi, menempatkan focus epileptic, dan terutama dalam membedakan tipe-tipe penyakit demielinisasi. Teknik ini baru-baru ini digunakan dalam melabeli molekul dari spesies kimia patologi seperti beta-amyloid, memungkinkan pemerolehan gambar dari penyimpanan protein di dalam otak sebagai metode eksperimen untuk mendeteksi penyakit Alzheimer. Tidak diragukan lagi,

54

pendekatan ini akan menjadi sangat berguna dalam mempelajari berbagai jenis penyakit degeneratif dan juga responnya terhadap perlakuan yang diberikan. Kemampuan teknik ini dalam menghitung neorutransmitter, serta reseptornya juga sangat penting dalam mempelajari penyakit Parkinson serta penyakit degeneratif lainnya. Sayangnya teknologi ini membutuhkan fasilitas yang mahal sehingga persediaannya sangat terbatas saat ini. Single-Photon Emission Computed Tomografi Teknik yang dikembangkan dari PET ini menggunakan isotop yang tidak memerlukan partikel akselerator dalam produksinya. Radioligand (biasanya terdiri dari iodine) digabungkan dengan senyawa aktif biologik yang hanya akan menghasilkan satu photon. Prosedur ini memungkinkan untuk meneliti aliran darah pada otak depan regional dalam keadaan isckemik serebral atau selama metabolism jaringan yang intens. Resolusi anatomi terbatas yang dihasilkan oleh single-photon emission computed tomography (SPECT) juga telah membatasi manfaat klinisnya, tetapi ketersediaannya yang lebih banyak menjadi pertimbangan dalam

penggunaannya. Hal tersebut telah dibuktikan dalam membedakan antara penyakit Alzheimer dengan sejumlah atrofi serebri, serta pada penempatan dari focus epileptic pada pasien yang berpotensi mengalami reseksi kortikal. Ketika diinjeksikan, isotop dengan cepat berada pada otak dengan penyerapan regional yang proporsional dengan aliran darah, dan stabil selama satu jam atau lebih. Oleh karena itu, memungkinkan untuk menyuntikan isotop pada saat awal serangan, sementara itu pasien mendapatkan video dan electroencephalographic monitoring, dan untuk melakukan scaning pasien kemudian. Ultrasonografi Pada beberapa tahun belakangan ini, teknik ini telah dikembangkan pada tahap dimana teknik ini telah menjadi metodologi prinsip dalam penelitian klisnis yang berkaitan dengan otak janin atau bayi serta tes tambahan yang penting pada pembuluh darah otak pada orang dewasa. Instrumen yang digunakan dalam aplikasi

55

ini terdiri dari transduser yang mampu mengubah energi listrik menjadi gelombang ultrasound dengan frekuensi berkisar antara 5 sampai 20 kHz. Gelombang ini

kemudian dikirimkan melalui tulang tengkorak menuju otak. Jaringan yang berbeda memiliki variable tahanan akustik dan kemudian gemanya dikirimkan kembali ke transduser, yang menampilkannya sebagai gelombang dari variabel tinggi atau sebagai poin dari kepadatan yang bervariasi. Dengan cara ini, seseorang dapat memperoleh gambar dari jaringan membran mata bayi, atrium jantung, serta massa nuklir pusat. Biasanya beberapa potongan koronal dan sagital diperoleh dengan meletakkan transduser didepan fontanel atau pada calvarium pada anak. Pendarahan intraserebral, perdarahan subdural, lesi massa dan gangguan kongenital juga dapat divisualisasikan. Instrumen yang sama juga digunakan untuk menginsonasi pembuluh basal sirkulus Willisi ( transkranial Dopler), pembuluh arteri karotis dan pembuluh vetebralis dan pembuluh arteri temporal yang berguna untuk mempelajarai gangguan pada pembuluh darah serebrovaskular. Kegunaan utamanya adalah untuk mendeteksi dan tingkat penyempitan dari pembuluh arteri karotis interna. Disamping menyajikan gambar suara dari struktur vaskular, perubahan frekuensi Doppler yang disebabkan karena mengalirnya eritrosit menunjukan kecepatan dalam setiap bagian di dalam pembuluh. Dua teknik yang digabungkan disebut carotid dupleks; teknik ini memungkinka lokalisasi yang akurat dari tempat stenosis maksimal sebagaimana yang ditunjukan oleh nilai aliran dan turbulensi terbesar. Skala perubahan yang ditampilkan oleh Dopler adalah berupa kode warna sehingga penggambaran isonasi dan pemetaan aliran dapat dengan mudah terlihat dan diinterpretasikan. Transkranial Dopler menggunakan getaran sinyal 2-MHz yang dapat menembus tulang kalvaria pada orang dewasa yang kemudian menerima sinyal perubahan frekuensi dari aliran darah pada lumen pembuluh basal. Teknik ini dapat mendeteksi penyempitan vaskular serta peningkatan kecepatan aliran darah yang disebabkan oleh vasospasme pada perdarahan subarachnoid.

56

USG pada dasarnya memiliki beberapa keuntungan. Terutama karena ini adalah teknik noninvasif, tidak berbahaya (sehingga dapat digunakan berulangkali), mudah dilakukan karena instrumennya yang mudah dipindahkan, serta tidak mahal. Aplikasi yang lebih spesisfik dari tenik ini akan dijabarkan dalam Bab 38 pada bagaian perkembangan penyakit dalam system syaraf, dan pada bab 34 yang berhubungan dengan stroke. Teknik yang berhubungan dengan pemerikasaan jantung menggunakan peralatan ultrasound echocardiografi juga memiliki peranan utama dalam mengevaluasi stroke sebagaimana yang dijelaskan pada bab 34. Elektroencephalografi(EEG) Pemeriksaan EEG selama beberapa tahun merupakan prosedur laboratorium standar dalam kaitannya dengan kajian dan lokalisasi dari semua bentuk gangguan pada serebral dimana untuk kasus yang kajian luas digantikan oleh CT dan MRI untuk tujuan lokalisasi. Meskipun demikian, teknik ini tetap merupakan bagian penting dalam mempelajari pasien yang menderita kejang-kejang (seizure) atau yang diduga menderita kejang, begitu juga halnya dengan kematian otak (brain death) serta masalah tidur (polysomnography). Teknik ini juga digunakan untuk mengevaluasi dampak penyakit pada system metabolism pada otak bagian depan, dan juga untuk memonitor aktivitas otak pada pasein yang sedang dibius. Untuk beberapa penyakit seperti infeksi pada otak subakut, teknik ini dapat digunakan dalam tes laboratorium. Teknik tersebut akan dijabarkan disini secara detail, karena kegunaannya secara umum pada neorologi. EEG merekam aktivitas elektrik spontan yang terdapat pada kortek serebri. Aktivitas ini menggambarkan arus elektrik yang mengalir pada ruang ekstrasel otak yang berupa dampak summasi dari potensi sinapsis inhibitor dan eksitator yang sangat banyak pada neuron kortikal. Aktivitas spontan pada kortek seringkali dipengaruhi dan disinkronisasikan oleh struktur subkortek, umumnya pada bagian thalamus dan formasio retikularis batang otak. Impuls aferen pada struktur dalam

57

bertanggung jawab dalam menimbulkan syaraf cortical untuk menghasilkan karakteristik ritme pada pola gelombang otak, seperti ritme alfa dan kumparan tidur. Elektroda yang berupa disk klorida berwarna perak atau keperakan berdiameter 0.5 cm dilekatkan pada kulit kepala dengan menggunakan pasta konduktif.electroencephalograph memiliki 8 sampi 32 atau lebih unit kuat yang dapat merekam daerah pada kulit kepala pada saat yang bersamaan. Ritme pada otak dikenal dengan gelombang pada aktivitas otak dalam frekuensi yang berkisar antara 0.5 sampai 30 Hz (putaran perdetik) dalam ukuran tampilan standar 3 cm/s. Sebelumnya, sinyal kuat direkam dengan pinggiran pena, tetapi sekarang ini format digital ditampilkan pada layar computer dan disimpan dalam format digital. Hasil dari electroencephalogram (EEG) pada dasarnya berupa voltage-versus-time grafik yang merupakan jumlah dari garis gelombang simultan parallel atau channels (Gambar 2-4A). Setiap channel mewakili perbedaan dalam potensi elektrik antara dua elektroda (elektroda umum digunakan sebagai tempat perekaman, akan tettapi channel masih menggambarkan perekaman pada dua kutub). Channel tersebut disusun untuk menampilkan campuran standar yang umumnya digunakan untuk membandingkan aktivitas dari suatu bagian pada lapisan luar otak depan dengan bagian lain pada sisi yang berlawanan. Pasangan elektroda yang digunakan dewasa ini berdasarkan system Internasional 10-20 yang menggunakan 10 elektroda di setiap sisi tengkorak dan lebih ditekankan pada daerah di dekat otak untuk memudahkan inspeksi visual pada rekaman. Pasien biasa diperiksa dengan kondisi mata tertutup dan berbaring di kursi atau tempat tidur. Oleh karena itu, EEG yang umum digunakan akan menggambarkan aktivitas elektrocerebral yang direkam dibawah kondisi tertentu, biasanya pada periode tidur atau bangun, dari beberapa bagian lengkungan otak depan selama sebagian kecil segment pada kehidupan seseorang. Disamping rekaman utuh, beberapa prosedur aktivasi juga diterapkan. Pertama, pasien diminta untuk menarik napas dalam-dalam sebanyak 20 kali per

58

menit selama 3 menit. Hiperventilasi melalui mekanisme yang ditentukan mungkin dapat mengaktivasi pola karakteristik pada kejang-kejang atau kelainan lainnya. Kedua, sinar dengan intensitas cahaya tinggi ditempatkan sejauh 15 inci dari mata pasien dan dengan sinar dengan frekuensi 1 sampai 20 per detik dengan kondisi mata pasien dalam keadaan terbuka dan tertutup. EEG pada bagian belakang kepala menunjukan gelombang yang berhubungan dengan setiap sinar atau cahaya ( photo gambar 2-4B) atau stroke yang dapat memicu penghentian abnormalitas (Gambar 24C) EEG direkam setelah pasien tertidur secara alami atau dengan penggunaan obat sedative pada anak-anak. Tidur sangat membantu dalam memunculkan gejala kelainan terutama bagi yang diduga mengalami eplepsi bagian temporal dan sindromsindrom lainnya. Melalui medium dari rekama EEG (seperti yang digambarkan pada bab 19), berbagai kelainan yang dapat dikenali melalui tidur dapat ditampilkan serta aktivitas EEG sesuai dengan rekaman videographical dari aktivitas kejang. Yang juga berguna secara klinis adalah EEG yang direkam dengan peralatan digital kecil atau telemetri pasien yang dapat bergerak bebas tapi diduga memiliki kelainan seizure. Bab 16 akan mendiskusikan topic ini secara menyeluruh. Beberapa tindakan pencegahan sangat dibutuhkan jika

electroencephalography akan menjadi sangat berguna. Pasien seharusnya tidak diberikan obat-obatan sedative (kecuali sesuai dengan yang disebutkan di atas) dan tidak makan untuk beberapa saat lamanya karena obat-obatan sedative dan juga gula darah yang relative rendah (hypoglycemia) bisa saja mengubah pola EEG normal. Hal yang sama juga berlaku pada konsentrasi mental, kegelisahan atau rasa kantuk yang ekstrem, kesemuanya cenderung menekan ritme alfa normal, serta memicu otot dan bagian lainnya. Dalam kaitannya dengan pasien yang menderita epilepsy atau yang sudah mendapati penanganan dari penyakit ini, kebanyakan dokter lebih memilih untuk merekam EEG selama pasien masih menerima obat-obatan anti kejang

59

(anticulsovant). Pada kondisi tertentu, seperti dalam memonitoring pasien yang dirawat, penggunaan obat-obatan ini ditarik dalam satu atau dua hari dengan tujuan untuk meningkatkan kemungkinan untuk merekam berhentinya kejang-kejang. Interpretasi yang sesuai dari EEG melibatkan beberapa karakteristik dari pola normal dan abnormal serta ritme latar belakang(yang disesuaikan dengan usia pasien), untuk mendeteksi asimetri dan perubahan periodic pada ritme, dan yang lebih penting adalah membedakan objek buatan dengan kelainan bawaan. Tipe-tipe rekaman normal Rekaman normal pada orang dewasa menunjukan asimetri 8 sampai 12 per detik 50-mV gelombang alfa pada pembuluh dalam jaringan organ (sinusoid) dalam daerah belakang kepala serta parietal. Gelombang tersebut memperbesar dan meringankan secara spontan dan dilemahkan serta ditekan secara keseluruhan oleh mata yang terbuka atau aktivitas mental (lihat gambar 2-4A). Frekuensi pada ritme alfa berbeda-beda pada setiap pasien, walaupun rate pasien akan semakin lemah karena usia. Gelombang yang lebih cepat dari 12 Hz dan dengan amplitude yang lebih rendah (10 sampai 20 mV) dikenal dengan gelombang beta yang secara normal direkam dari bagian depan secara simmetris. Ketika subjek telah tertidur, ritme alfa melambat secara simetris dan gelombang karakteristikpun muncul (gelombang vertex dan kumparan tidur) (lihat gambar 19-1). Jika benzodiazepine atau obat-obatan sedative lainnya telah diberikan, peningkatan pada frekuensi normal biasanya terjadi. Sejumlah aktivitas teta (4-7 Hz) biasanya ditampilkan dalam bagian temporal, terutama pada orang berusia 60 tahun ke atas. Aktivitas delta( 1 sampai 3 Hz) biasanya tidak muncul pada orang dewasa normal yang terjaga. Selama stimulus stroboscopic, respon kepala bagian belakang terhadap setiap sinar atau cahaya biasanya dapat terlihat. Adanya respon semacam ini biasanya mengindikasikan bahwa setidaknya pasien dapat melihat cahaya, dan jika tidak,

60

pasien itu adalah pasien yang pura-pura sakit atau bereaksi terlalu berlebihan. Respon visual yang ditimbulkan adalah suatu alat pendeteksi kebutaan psikogenik yang bahkan lebih sensitive dibandingkan oksipital yang menggerakan EEG. Penyebaran respon oksipital pada rangsangan photic gelombang serangan yang hebat, dengan produksi yang abnormal atau rangsangan yang tidak

membuktikan

normal.(gambar.2-4B dan C). Pola serangan bisa terjadi selama pengujian EEG tipe ini, diikuti dengan sentakan miokloni yang kuat pada wajah, leher dan anggotaanggota badan(respon fotomiogenik atau fotomioklonik) atau dengan kejang -kejang (respon fotoparoksismal atau fotokonvulsif). Efek-efek seperti itu terjadi secara berkala selama bebas dari pengaruh alcohol atau obat penenang lainya. Anak-anak dan remaja lebih sensitif daripada orang dewasa pada semua prosedur. Suatu hal yang biasa rekaman pada anak-anak menghasilkan gelombang delta (3-4 Hz) selama periode hiperventilasi bagian tengah dan akhir. Aktifitas EEG ini disebut dengan beakdown of buildup, akan hilang setelah hiperventilasi

dihentikan. Frekuensi gelombang yang dominan pada bayi normalnya sekitar 3 Hz, dan sangat tidak beraturan. Dengan bertambahnya umur, terjadi peningkatan secara bertahap frekuensi dan keteraturan gelombang oksipital secara bertahap, gelombang alpha dicapai pada umur 6 tahun dan frekuensi pada orang dewasa dicapai pada umur 10 sampai 12 tahun; gelombang normal alpha adalah gambaran yang dominan (lihat bagian 28 untuk diskusi lebih lanjut tentang pertumbuhan otak seperti yang telah dipaparkan dalam EEG). Interpretasi hasil rekaman pada bayi dan anak membutuhkan keahlian karena pola normalnya memiliki rentang nilai yang luas pada pada setiap periode usia (lihat Hahn dan Tharp). Meskipun demikian, rekaman asimetris atau rekaman dengan gambaran kejang merupakan abnormalitas pada anak dengan semua tahapan usia. Pada janin, pola normal telah terbentuk dari bulan ke 7 dan seterusnya.

JENIS-JENIS REKAMAN ABNORMAL

61

Gambaran pola gelombang yang berkurang atau menghilang dapat ditemukan jika terdapat infark luas, nekrosis traumatik atau tumor atau adanya gumpalan darah yang terdapat di antara kortek serebri dan elektrode. Dengan temuan di atas, lokalisasi EEG dan abnormalitas menjadi sangat jelas, tapi tentu saja pada lesi yang tidak tampak. Walau bagaimanapun, pada lesi yang tidak terlalu luas, tergantung pada pengaturan rekaman, untuk mengakhiri gelombang otak, dan kemudian EEG juga merekam gelombang lambat abnormal yang muncul dari otak yang masih berfungsi pada pinggir lesi. 2 jenis gelombang abnormal, telah dijelaskan, yaitu gelombang dengan frekuensi rendah dan amplitude yang lebih tinggi dari normal. Gelombang dibawah 4 Hz dangan amplitude dari 50-350 mV disebut gelombang delta(fig.2-4G and H); gelombang dengan frekuensi 4 sampai 7 disebut gelombang theta. Aktivitas cepat (beta) cenderung menonjol dan biasanya menggambarkan efek dari obat-obat

penenang atau, jika fokal, biasanya disebabkan kerusakan tulang(tulang biasanya meredam aktivitas yang berlebihan pada kortek.) Gelombang paku atau tajam adalah pembentuk gelombang tegangan tinggi sementara yang memiliki puncak tertinggi pada kecepatan merekam dengan durasi 20 sampai 70 ms dan 70 sampai 200 ms(fig.2-4D). Gelombang tinggi yang terjadi pada orang dengan epilepsy atau seseorang dengan kecondongan genetik untuk mendapat serangan mendadak dianggap sebagai epileptic-form discharges. Gelombang cepat dan pelan yang tidak normal ini dapat digabungkan, dan ketika rangkaian terdapat diantara pola EEG normal dalam suatu serangan paroksismal dapat dipastikan sebagai suatu epilepsi. Tanda serangan absen adalah komplek gelombang paku dan ombak 2 gelombang permenit yang muncul dalam semua lead EEG secara simultan dan menghilang di akhir serangan(Gambar.2-4E). Temuan ini mengarah pada lokalisasi yang teoritis dari sebuah pencetus kejang umum primer yang dilepaskan dalam talamus atau substansia abu-abu subkortek lainnya (kejang centrencephalic), tapi pusatn belum diverifikasi secara anatomi atau fisiologi.

62

Temuan yang paling patologis dari semua adalah perubahan

pola EEG

normal oleh Electrocerebral silence, yang berarti hilangnya aktifitas elektris dari lapisan kortikal yang direkam dari kulit kepala. Gambaran artefak dengan berbagai macam jenis seharusnya dilihat seiring dengan ditingkatkannya amplifier(volume penguat gelombang), jika tidak, terdapat risiko lead yang tidak terhubung ke mesin. Intoksikasi obat dosis tinggi seperti barbiturat dapat sementara menghasilkan

rekaman EEG yang isoelektrik. Pada keadaan tidak terdapatnya pengaruh obat depresi sistem saraf atau hiportemia yang ektrim, rekaman isoelektrik (<2uV kecuali artefak) di semua bagian kepala hampir selalu ditemukan hipoksia serebral atau ischemia atau trauma dan peningkatan tekanan intrakranial. Pasien seperti itu-tanpa aktifitas EEG, reflek batang otak, respirasi spontan dan gerakan otot manapundianggap sebagai mati otak . Pada pasien seperti itu sebagian besar otaknya nekrosis dan tidak ada kemungkinan terjadi perbaikan secara neurologis. Bab 17 membahas mati otak lebih jauh.

KONDISI

NEUROLOGIS

YANG

MENYEBABKAN

ELECTROENCEPHALOGRMS ABNORMAL EPILEPSI Semua jenis serangan epileptik umum (grandmal tipikal dan absens atipikal; lihat bab 16) biasanya dihubungkan dengan beberapa abnormalitas rekaman EEG pada saat serangan mendadak. Juga, EEG biasanya tidak normal selama serangan kejang pada tipe yang lebih terbatas. Pengecualian yang jarang terjadi adalah serangan mendadak yang berlokasi pada daerah bagian dalam, medial dan fossa orbitofrontal, yang mana pelepasan gelombangnya tidak mencapai kulit kepala di amplitudo yang cukup untuk bisa dilihat berlawanan dengan aktifitas keadaan normal EEG. Sering sebagian besar, EEG yang benar-benar normal, selama masa kejangkejang mengindikasikan pseudoseizure (kejang psikogenik nonepilepsi).

63

Beberapa tipe serangan yang berbeda bisa dilihat pada gambar 2-4C, D dan E. Pola absens, mioklonik dan grandmal berhubungan erat dengan tipe serangan klinis dan dapat muncul pada bentuk yang lebih ringan pada EEG interiktal. Hal yang penting adalah, antara serangan kejang, 30 persen rekaman EEG tunggal menunjukkan pola normal dan 30 persen pasien dengan serangan absens dan 50 persen pasien dengan epilepsi grandmal(persentase ini lebih sedikit dengan rekaman ulangan). Terapi antikonvulsan juga cenderung mengurangi

ketidaknormalan EEG interiktal. Rekaman 30 sampai 40 persen lainnya pada pasien epilepsi walaupun terdapat ketidaknormalan antara serangan , tidak terlalu spesifik dan diagnosa epilepsi hanya dapat dibuat melalui intrepretasi data klinis yang tepat yang dikaitkan dengan abnormalitas rekaman EEG. LESI OTAK FOKAL(TUMOR OTAK, ABSES, STROKE, SUBDURAL HEMATOM, DAN ENCEPALITIS) Pada sebagian besar pasien, lesi massa intrakanial dikaitkan dengan fokal atau lokalisasi aktivitas gelombang pelan yang fokal dan terlokalisir (biasanya delta, seperti pada gambar 2-4F) atau, kadang-kadang, aktifitas serangan kejang. Walaupun EEG membantu dalam diagnosa beberapa kasus tumor otak dan abses, terutama ketika diintegrasikan dengan temuan klinis laboratorium klinis lainnya, dan sekarang yang sangat dipercaya yaitu CT dan MRI. Bagaimanapun, EEG tetap dianggap penting dalam diagnosis encepalitis herpes simplex dengan terdapat gelombang bertekanan tinggi secara berkala dan kompleks gelombang-pelan dengan interval 1-3 perdetik dalam daerah temporal. Pada encephalitis infeksius lain dihubungkan dengan aktifitas paku dan tajam, terutama jika sudah terjadi serangan. Gambar 2-4G menunjukkan pola gelombang tajam yang secara menonjol secara periodik pada penyakit CREUTZFELDT-JAKOB. EEG sekarang jarang digunakan dalam menegakkan diagnosa stroke , kecuali untuk membedakan TIA dengan kejang. Di masa lalu, nilai lebih ada pada

64

kemampuan untuk membedakan luka ischemik akut dalam distribusi arteri cerebri media, yang menghasilkan kelemahan yang luas dari infark lakunar dalam pada serebrum dan batang otak, yang mana EEG permukaan meskipun abnormalitas klinis yang menonjol. Setelah 3-6 bulan, secara garis besar 50 persen pasien dengan infrak di area yang didarahi arteri cerebri media, pelemahan EEG fokal menjadi normal. Mungkin setengah dari pasien ini rekaman EEGnya dapat normal bahkan dalam satu sampai dua minggu setelah onset stroke. Abnormalitas yang persisten biasanya dikaitkan dengan poprognosis yang jelek. Lesi yang luas pada diencepalon atau otak bagian tengah menghasilkan gelombang lambat sinkronus bilateral, tetapi lesi pada pons dan medulla(lesi dibawah mesencepalon) biasanya dikaitkan dengan pola EEG normal atau mendekati normal meskipun secara klinis berbahaya. Kejadian konkusio cerebri yang singkat pada binatang diikuti oleh gangguan EEG sementara, tapi pada manusia biasanya tak lagi jelas ketika rekaman dilakukan. Kontusio cerebri yang luas mengakibatkan perlambatan gelombang EEG fokal

seperti gambaran pada infark. Gelombang paku dan tajam kadang-kadang muncul selama gelombang lambat fokal dan dapat mendahului terjadinya epilepsi pasca trauma, EEG serial dapat menjadi prediktor untuk hal ini. Selama sinkop, rekaman EEG melambat dan amplitude berkurang bahkan ke titik saat menjadi datar. Saat pemulihan, sejumlah pola telah dijabarkan seperti yang didiskusikan lebih jauh di bab 18.

PENYAKIT-PENYAKIT YANG MENYEBABKAN KOMA dan PENURUNAN KESADARAN Hasil rekaman EEG abnormal pada hampir semua kondisi saat terjadi penurunan tingkat kesadaran. Sebagai contoh, terdapat korelasi yang cukup dekat antara severitas kerusakan anoksik akut yang disebabkan kardiak arest dan tingkat perlambatan EEG. Bentuk gambaran paling ringan terlihat aktifitas gelombang theta secara umum, pada kondisi yang lebih berat ditandai dengan gelombang delta yang

65

tersebar dan ketiadaan aktifitas background normal, dan kondisi yang paling berat dengan brust suppression, yang mana periode isoelektrik singkat diikuti dengan aktifitas gelombang tajam yang bervoltase tinggi dan gelombang delta yang tidak beraturan. Pola yang terakhir disebutkan biasanya berubah menjadi electrocerebral silence dari mati otak, suatu kondisi yang sudah dibahas sebelumnya. Istilah Alpha coma mengacu pada pola EEG yang unik yang mana aktifitas alpha pada kisaran 8-12 Hz menyebar secara luas pada hemisfer daripada pada lokasi normalnya pada daerah posterior. Jika dianalisa dengan hati-hati, aktifitas alpha nyata ini, tidak seperti alpha monoritmik yang normal, frekuensi berubah sedikt pada dengan jarak yang sempit. Hal ini biasanya pola transisi setelah anoksia global dan jarang terdapat pada lesi pontin akut luas. Dengan hipothiroid berat, konfigurasi gelombang otak normal tapi biasanya dengan penurunan frekuensi. Dalam proses peningkatan derajat kesadaran, semakin dalam penurunan kesadaran, secara umum, irama EEG semakin tidak nomal dan lambat. Dalam keadaan koma atau stupor, tampak gelombang lambat bilateral dengan amplitudo yang tinggi terutama pada daerah frontal Hal. ini berbeda pada meningitis akut dan encephalitis dan gangguan berat keseimbangan gas darah, glukosa, elektrolit dan keseimbangan air, uremia , koma diabetik, gangguan kesadaran yang disebabkan lesi cerebral luas yang telah dibahas di atas. Pada Hepapatitis kronis, tingkat

abnormalitas EEG berkorespondasi secara dekat dengan tingkat kebingungan, stupor dan koma. Karakteristik Hepatitis kronis adalah serangan gelombang trifasik yang tajam, bilateral, sinkronus walaupun bentuk gelombang seperti itu juga bisa dilihat pada encepalopati akibat gagal ginjal atau kegagalan pulmonar dan hidrosepalus akut (perlambatan bagian frontal lebih mengarah hidrosepalus). Rekaman EEG juga bisa membantu dalam diagnosa koma ketika anamnesa tidak dapat dilakukan dan dalam menegakkan status epileptikus pada kejang absesns (nonkonvulsif status epileptikus atau spike wave stupor) dan epilepsi parsial komplek yang menyebabkan suatu keadaan fugae. EEG juga dapat mengarahkan pada

66

penyebab yang tak diduga seperti encepalopati hepatik, di bawah pengaruh barbiturat atau obat sedative-hipnotik lainnya, cedera otak iskemia anoksia yang lama, katatonia atau histeria (rekaman EEG biasanya normal)

PENYAKIT DEGENERATIF YANG DIFUS Penyakit Alzheimer dan penyakit degeneratif lain yang menyebabkan gangguan fungsi serebrokortikal kronis diikuti oleh gambaran ringan atau

menyeluruh gelombang lambat theta (4-7 Hz), banyak rekaman normal pada stadium awal dan pertengahan penyakit. Penyakit yang menjadi progresif lebih cepat-seperti subakut sklerosing panencepalitis (SSPE), penyakit Creutzfelt Jakob, dan pada berkurang jumlah serebral lipidosis, sering memiliki perubahan EEG yang patognomonik yang terdiri dari letupan periodik dari gelombang tajam amplitudo tinggi, biasanya bisinkronus dan simetris(Gambar.2-4g). EEG normal pada pasien yang sangat apatis adalah suatu tanda untuk diagnosa histeria, katatonia, atau skizoprenia(lihat dibawah).

PENYAKIT CEREBRUM LAINNYA Beberapa penyakit pada otak yang hanya menyebabkan sedikit atau tidak sama sekali menyebabkan perubahan pada EEG. Sebagai contoh penyakit sklerosis multipel dan demielinisasi lainnya, walaupun sebanyak 50 persen untuk kasus lanjut akan memiliki rekaman yang abnormal dan nonspesifik (perlambatan fokal atau difus). Penyakit Delurim termens dan wernicke-korsakoff, meskipun sifat gambaran klinis dramatis, hanya menyebabkan perubahan minimal pada EEG. Beberapa tingkat perlambatan biasanya diikuti penurunan kesadaran dan beberapa klinisi menganggap sebagai delirium hipokinetik intoksikasi (bab 20). Menariknya, psikosa (Gangguan acid

bipolar/skizofrenia),

obat

halusinasi

seperti

lysergic

67

diethylanamide(LSD) dan sebagian besar kasus retardasi mental tidak ada perubahan rekaman normal ataupun abnormalitas minor nonspesifik kecuali bila terjadi kejang.

MAKNA

KLINIS

ABNORMALITAS

MINOR

ELECTROENCEPHALOGRAM Abnormalitas EEG secara kasar telah dibahas diatas sudah jelas tidak normal dan data klinis mana saja yang dapat membantu mereka. Makin kecil derajat perbedaan antara gambaran yang benar-benar abnormal dengan yang sepenuhnya normal, maka makin sedikit makna klinisnya. Temuan gelombang paku 14 dan 6 per detik atau gelombang tajam yang rendah selama tidur, pancaran gelombang lambat 5 atau 6 perdetik, minor voltage asymmetris, dan munculan breakdown selama

beberapa menit setelah hiperventiasi diartikan sebagai variasi normal atau batas normal. Sedangkan deviasi nilai batas pada orang normal tidak memiliki makna tanpa gejala klinis, penemuan EEG sama yang diikuti dengan gejala dan tanda klinis tertentu menjadi penting. Makna rekaman EEG normal atau negatif pada pasien tertentu yang dicurigai memiliki lesi serebral telah dibahas sebelumnya. Sebagaimana prinsip klinis umum, hasil EEG, EKG dan EMG memiliki makna berdasarkan pertimbangan dan keadaan klinis pasien pada saat rekaman dilakukan. EVOKED POTENTIALS Stimulasi organ sensorik atau saraf perifer menimbulkan respon elektrik pada area reseptif kortikal yang berhubungan dan pada sejumlah area asosiasi subkortikal. Bagaimanapun, kita tidak bisa menempatkan electrode perekam dekat daerah

nukleus asosiasi dan tidak bisa mendeteksi potential hanya beberapa mikrovolts diantara aktivitas background yang lebih besar pada EEG. Penggunaan metode komputerisasi standar, diperkenalkan oleh Dawson tahun 1954, membantu dalam mengatasi masalah ini. Pada awalnya, ditekankan pada penelitian gelombang akhir

68

(lebih 75 ms setelah ransangan) karena memiliki amplitudo tinggi dan mudah direkam. Bagaimanapun, ada kegunaan klinis yang lebih dalam merekam lebih kecil, disebut bentuk gelombang laten pendek, yang diterima pada masing-masing nuklus asosiasi sistim sensorik utama. Bentuk gelombang ini dimaksimalkan oleh komputer ke suatu poin dimana latensi dan voltase dapat dengan mudah diukur. Salah satu sifat yang menonjol dari potensial evoked adalah resistensi terhadap anestesia, obat sedatif dandibandingkan pada aktifitas EEGkerusakan hemisfer serebral. Ini

memungkinkan kegunaannya dalam monitoring keutuhan jaras cerebral dalam situasi yang mana EEG tidak berguna. Teknik ini dapat direview pada monograph Chiappa. Interpretasi potensial evoked (visual, auditori dan somatosensorik) didasarkan pada perpanjangan dari latensi gelombang setelah rangsangan, latensi antar gelombang, dan asimetries waktu. Norma yang berlaku, disarankan untuk mengkonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Biasanya standar deviasi 2.5 atau 3 diatas latensi rata-rata untuk setiap pengukuran yang dianggap tidak normal(tabel 24). Sangat sedikit informasi yang bisa didapatkan dari amplitudo gelombang.

VISUAL EVOKED POTENTIALS Dalam beberapa tahun ini telah diketahui bahwa rangsangan cahaya ringan yang pada retina sering menginisiasi gelombang pada daerah oksipital. Pada EEG, respons seperti ini rangsangan cepat seperti ini disebut occipital driving respons(gambar.2-4B and C). Ini berawal 50 tahun yang lalu dimana suatu visual evoked potensial dihasilkan oleh perubahan yang tiba-tiba oleh pola pada layar. Respon ini, dihasilkan dengan pengulangan pola yang cepat, adalah lebih mudah untuk mendeteksi dan mengukur respon cahaya dan gelombang yang lebih konsisten antara satu individu dengan individu yang lain. Rangsangan tipe ini, diaplikasikan pertama ke satu mata dan kemudian ke mata yang lainnya, dapat mendemonstrasikan penundaan konduksi pada jalur visual pasien yang memiliki gangguan saraf optikterutama ketika tidak ada tanda penurunan ketajaman penglihantan, atau perubahan

69

reflek pupil. Lebih jauh, visual evoked yang normal

menyingkirkan penyebab

kebutaan dari suatu lesi di jalur visual anterior dan area proyeksi pada kortek oksipital. Prosedur ini, disebut pattern-shift visual evoked responses (PSVERs, atau VERs) atau Pola-potensials reversal visual evoked, telah secara luas di adopsi sebgai salah satu tes yang rumit lesi sistem penglihantan. Gambar 2-5 memperlihatkan PSVER normal dan 2 tipe respon lambat. Biasanya amplitudo dan durasi PSVER yang tidak normal mengikuti perpanjangan latensi yang abnormal, namun sulit untuk diukur. Latensi bermuatan kutub positif, yang biasanya defleksi ke bawah, PSVER mendekati 100 ms (dengn istilah P100); suatu latensi absolut dari rangsangan diatas 118 ms atau suatu perbedaan pada latensi yang lebih besar dari 9 ms antara 2 mata menandakan keterlibatan salah satu saraf optik(table2-4). Perpanjangan latensi bilateral, didemonstrasikan oleh stimulasi terpisah pada salah satu mata, dapat disebabkan oleh luka pada kedua saraf optik, kiasma optikum, atau jaras visual retrokiasma. Seperti terindikasi diatas, PSVER secara khusus penting dalam mendeteksi penyakit saraf optik aktif atau residuals. Pasien dengan riwayar neuritis optik akan memiliki latensi yang normal. Lebih jauh, perpanjangan PSVER ditemukan satu sampai tiga kali lipat pada pasien sklerosis multipel yang tidak memiliki riwayat atau bukti klinis keterlibatan saraf opti. Ini berarti bahwa penenmuan PSVER yang tidak normal pada seorang pasien dangan lesi klinis demielinisasi yang nyata ditempat lain pada SSP biasanya dapat diambil sebagai bukti sklerosis multipel. Suatu lesi kompressi saraf optik akan memiliki efek yang sama seperti lesi demielinisasi primer. Berbagai penyakit saraf optiklain -termasuk ambliopia toksik dan nutrisional, neuropati optik iskemik, neuropati optik herediter tipe Lebermenunjukan PSVER yangtidak normal. Glaukoma dan penyakit lainnya yang melibatkan struktur-struktur anterior ke sel-sel ganglion retina, jika cukup berat mempengaruhi saraf optik, juga biasa menghasilkan peningkatan latensi.

70

Terganggunya ketajaman penglihantan memiliki efek yang kecil pada latensi tapi tidak terlalu berhubungan dengan amplitudo PSVER (alat pengujian komputer pada ketajaman penglihantan). Kegunaan dalam mendeteksi kebutaan psikogenik telah dijelaskan. Dengan memberikan pola-stimulus secara bergantian ke satu bagian area lapang pandang, hal ini memungkinkan untuk mengisolasi lesi di bidang optik atau radiasi, atau lobus oksipital, tapi setidaknya lebih akurat daripada tes monokular biasa.

BRAINSTEM AUDITORY EVOKED POTENTIALS Efek rangsangan auditori dapat dipelajari dengan cara yang sama seperti pada penglihantan dengan suatu prosedur yang disebut brainstem auditory evoked repondises atau potentials (BAERs, atau BAEPs). Antara 1.000 dan 2.000 kenyutan, dihantarkan pertama pada satu telinga dan kemudian ke telinga yang lain, direkam melalui elektroda pada kulit kepala dan dimaksimalkan oleh komputer. Rangkaian tujuh macam gelombang muncul dalam 10 ms setelah tiap rangsangan. Didasari dengan kedalaman rekaman dan penelitian lesi pada kucing sebagaimana penelitian patalogik dari batang otak bahwa rekaman lima gelombang pertama menggambarkan struktur batang otak spesifik, seperti yang terlihat pada gambar.2-6, tapi ini tidak sepenuhnya pasti pada manusia. Bangkitan gelombang VI dan VII masih belum jelas. Interpretasi klinis dari BAERs didasarkan terutama pada pengukuran latensi gelombang I,II,dan V. Yang terpenting adalah latensi antar gelombang antara I dan III dan V (lihat tabel 2-4). Kehadiran gelombang I dan latensi absolutnya adalah nilai utama dalam pengujian keutuhan dari sistim saraf pendengaran. Lesi yang mempengaruhi salah satu dari stasiun relay atau koneksi intermediet yang dekat menyebabkan gambaran absennya atau berkurangnya

amplitudo gelombang berikutnya. Efeknya lebih tampak di sisi telinga yang dirangsang daripada secara kontralateral. Ini sulit dimengerti, sebagaimana mayoritas dari cochlear-superior olivary-lateral lemniscal-medial geniculate fibers menyebrang

71

ke sisi yang berlawanan. Ini juga mengejutkan bahwasanya lesi yang berat dari stasiun relay akan memberikan impuls, walaupun tertunda, untuk dilanjutkan dan direkam di kortek serebral. BAEPs memiliki makna sangat sensitif pada saraf kranial delapan (neuroma akustik dan tumor lainnya pada sudut serebelopontin) dan jalur pendengaran di batang otak. Hampir setengah pasien dengan sklerosis multiple menunjukkan abnormalitas pada BAEPs(biasanya perpanjangan latensi antar gelombang I sampai III atau III sampai V), bahkan gejala klinis dan tanda-tanda akan adanya gangguan di batang otak. BAEPs juga berguna dalam menguji pendengaran pada bayi yang telah terekspos obat-obat toksik, pada anak-anak yang tidak bisa bekerjasama dengan audiometri, dan anak-anak denga psikogenik atau ketulian yang dibuat-buat.

SOMATOSENSORY EVOKED POTENTIALS SEPs digunakan pada laboratorium neurofisiosiologi klinis untuk mengkonfirmasi lesi pada sistem somatosensorik. Teknik ini terdiri dari pemasangan ransangan elektrik transkutaneus tanpa rasa nyeri 5 per detik ke medial, peroneal, dan nervus tibia dan merekam potential evoked (untuk anggota tubuh bagian atas) saat mereka melewati plexus brachial melalui titik Erb diatas klavikula, melalui vetebre C2, melalui kortek parietal yang berlawanan, dan (bagian tubuh bagian bawah) berurutan diatas radik lumbal dari cauda equina, nuclei diatas vetebre servikal, dan kortek parietal yang berlawanan. Impuls yang cetuskan dalam saraf peraba dengan 500 atau lebih stimulus dan dihitung dengan komputer dapat dilacak melalui saraf periferal, radik nervus spinalis dan dan kolum posterior dan berlanjut ke nukleus nuklei Burdach dan Goll di Medula bagian bawah, melalui lemnicus medial ke thalamus kontralateral, dan traktus talamoparietal dan lobus parietal. Perlambatan antara

reseptor dan titik Erb (atau MS lumbalis) mengindikasikan penyakit saraf perifer; Perlambatan dari titik Erb (atau MS lumbalis) ke C2 mengimplikasikan abnormalitas pada radik saraf yang sesuai atau lebih sering pada kolum posterior; lesi di lemnicus

72

medial dan traktus talamoparietal dapat disimpulkan dari perlambatan gelombang berikutnya direkam dari kortek parietal(Gambar 2-7). Bentuk gelombang normal tandai dengan simbol P (positif) dan N (negatif), dengan nomor yang mengindikasikan waktu interval dalam milidetik dari stimulus yang direkam(N11, N1, P13, P22,dll). Sebagaimana muatan kutub dan latensi rata rata, gelombang terakhir yang direkam pada servikomeduler disebut N/P13, dan potensial kortikal dari ransangan nervus medianus dilihat dalam 2 gelombang berdekatan dari muatan kutub yang berlawanan disebut N19-P22. Gelombangyang berhubungan dengan aktifitas kortikal setelah rangsangan nervus tibial dan peroneal disebut N/P 37. Untuk tujuan interpretasi secara klinis, munculan gelombang SEP

diinterpretasikan dangan rangkaian serial sehingga perpanjangan gelombang dalam latensi menunjukkan gangguan konduksi antara bangkitan dari 2 puncak yang terlibat (Chiappa dan Ropper). Nilai normal ditunjukkan pada table 2-4. Perekaman untuk memverifikasi lesi patologis pada tahap ini ditemukan di monograph Chiappa. Tes ini sangat berguna dalam menentukan ada tidaknya lesi pada radik nervus spinalis, kolumna posterior dan batang otak pada penyakit seperti ruptur diskus lumbal dan servikal, multipel sklerosis pada daerah lumbal dan spondilosis servikal ketika data klinis meragukan. Bentuk yang mengimbangi, obliterasi gelombang kortikal (asumsi semua gelombang sebelumnya tidak berubah) menunjukkan lesi yang berat pada jaras somatosensorik pada hemisfer atau kortek somatosensorik. Sebagai akibat yag wajar, absennya gelombang somatosensorik kortikal bilateral setelah henti jantung adalah prediktor yang kuat untuk prognosa yang jelek, absennya potensial kortikal secara persisten setelah stroke biasanya menunjukkan lesi yang berat dengan kemungkinan pemulihan klinis yang terbatas. Teknik potensial evoked juga telah digunakan dalam studi ekperimental sensasi olfaktorik (lihat bab 12)

RANGSANGAN MAGNETIK SISTEM MOTORIK

73

Sekarang mungkin, dengan mengunakan ransangan magnetic single-pulse amplitude tinggi, untuk secara langsung mengaktifan kortek motorik(rangsangan magnetik transkranial) dan segmen vetebre servikal dan untuk mendeteksi penundaaan atau kurangnya konduksi dalam menurunnya jalur motorik. Teknik ini, diperkenalkan oleh Marsden dan kawan-kawan, rangsangan tanpa rasa nyeri hanya pada neuron motorik terbesar dan tercepat-mengkonduksikan akson. Stimulasi servikal dapat mengaktifkan serabut anterior. Perbedaaan waktu antara aktivasi motorik kortikal dan servikal pada otot tangan dan lengan bawah menunjukkan kecepatan konduksi dari kortikal- motor neuron servikal. Teknik ini telah digunakan untk memahami organisasi, fungsi dan rekoveri sistem motorik dan patofisiologi stroke, dan sklerosis multipel dan amyotrophic lateral sclerosis. Walaupun tingkat defisit fungsi tidak berkorelasi secara tepat dengan tingkat perubahan elektrofisiologi, yang satu berharap bahwa perbaikan dari teknik ini akan berguna dalam mengevaluasi status sistem lainnya. motorik kortikospinal sebagaimana fungsi kortikal

ENDOGENUS EVENT-RELATED EVOKED POTENTIALS Di antara potensial elektrik otak yang terbaru(>100-ms latensi), yang bisa diekstaksikan dari aktifitas background dengan metode komputer, adalah suatu kelompok yang tidak bisa diklasifikasikan sebagai impuls sensorik atau motorik lebih dari respon stimuli psikofisik. Respon ini memiliki voltase sangat rendah, seringnya singkat dan tidak tetap, dan asal anatominya tidak diketahui . Hampir semua studi menyatakan adalah 300 milidetik(P300) setelah sebuah subjek mengenali ransangan baru dan tidak terduga yang telah dimasukkan ke dalam rentetan ransangan yang beraturan. Hampir semua modalitas stimuli dapat digunakan dan potensial yang muncul ketika stimuli telah diabaikan dari pola yang teratur. Respon amplitudo bergantung pada tingkat kesulitan analisa dan memiliki hubungan terbalik dengan frekuensi dari kejadian yang tidak terduga atau aneh; latensi terganung pada

74

kesulitan analisa dan fitur lain. Karena itu tdak ada P300 tunggal; sebaliknya, ada banyak tipe, bergantung pada paradigma penelitian. Perpanjangan latensi ditemukan pada lanjut usia dan demensia dengan penyakit degeneratif seperti Parkison, progressive supranuclear palsy, dan Huntington chorea. Amplitude berkurang pada skizofrenia dan depresi. Potensial sudah diinterpretasikan oleh beberapa ahli sebagai refleksi subjeknya yang menyesuaikan kelakuan dan perhatian. Dan lainya, termasuk Donchin, yang menemuka fenomana, terkait dengan pembaharuan daerah pemaparan otak. P300 tetap misterus bagi ahli saraf karena ketidaknormalan terdeteksi hanya ketika kelompok besar dibandingkan dengan yang normal, dan tekniknya tidak bisa distandarisasi layaknya evoked potensial konvensional. Review subjek ini dapat

ditemukan pada bagian Altenmuller dan Gerloff dan Polich dalam text Niedermeyer dan Lopes DaSiva pada elektrocepalografi.

ELECTROMYOGRAPH AND NERVE CONDUCTION STUDIES Ini sudah dibahas di bab 45

PSIKOMETRI, PERIMETRI, AUDIOMETRI, AND TES FUNGSI LABIRIN Metode ini digunakan dalam mengukur dan mendefinisi sifat dari dampak psikologi khusus atau defisit panca indera yang diakibatkan oleh lesi sistem saraf. Metode ini dilakukan paling sering untuk memperoleh kepastian dari abnormalitas fungsi bagian tertentu dari sistem saraf atau untuk mengukur, dengan pemeriksaan lanjutan, progresifitas penyakit utama. Deksripsi metode ini dan pengunaan secara klinis dapat dilihat di bab yang berhunbungan dengan gangguan fungsi otak.(Bab 22), perkembangan penyakit di otak besar (Bab 28), dementia(bab 221) dan gangguan penglihantan(bab 13) dan gangguan pendengaran dan keseimbangan.

75

UJI GENETIK Banyak marker genetik penyakit heredofamilial telah dikenal oleh klinisi dan terdapat kemajuan yang besar dalam diagnosis dan klasifikasi penyebab penyakit dengan kategori yang masih belum jelas sampai sekarang. Pemeriksaan utama adalah analisa DNA yang diambil dari darah dan sel lain untuk identifikasi mutasi (contoh muscular distropi, atrofi spinoserebelar dan polineuropati genetik) dan pengukuran

pengulangan panjang yang abnormal dari rangkaian trinukleotida tertentu, sebagian besar digunakan untuk diagnosa korea huntington. Bidang tertentu dari genetik

mitokondrial memungkinkan deteksi seluruh kategori penyakit yang mengakibatkan gangguan struktur subselular , seperti yang dijelaskan di bab 37.

BIOPSI OTOT, KULIT SYARAF, PEMBULUH ARTERI TEMPORAL, OTAK, DAN JARINGAN LAINNYA Aplikasi cahaya dan mikroskop elektron pada analisis jaringan ini sangat banyak informasi. Penemuannya dibahas di bab 37, 45 dan 46. Biopsi temporal arteri dilakukan ketika dicurigai giant cell arteritis raksasa. Biopsi otak, disamping

manfaat utamanya dalam diagnonis neoplasma, juga berguna dalam diagnosis kasuskasus granulomatous angiitis, encepalitis, subacute spongiform encepalophati (biopsi jarang dilakukan karena resiko infeksi), dan sejumalah kasus langka lainnya. Biopsi pakimening atau leptomening bisa memperlihatkan vaskulitis, sarkoidosis, infiltrasi granulomatous lain, atau infeksi yang tak dikenal, tapi tingkat sensitifitasnya rendah. Hal ini biasanya dilakukan bersama-sama dengan biopsi dari jaringan otak yang terlibat. Biopsi lemak abdomen juga digunakan pada diagnosa amiloidosis. Kemajuan penting dalam beberapa tahun belakangan ini adalah penggunaan biopsi jarum terpimpin dengan CT SCAN atau MRI, yang sangat penting dalam diagnosa tumor dan memberikan resiko yang lebih kecil daripada dengan kraniotomi dan biopsi terbuka. Dalam pemilihan tindakan biopsy adalah penting dalam

76

menegakkan

diagnosa

definitif

biopsi

yang

memungkinkan

keberhasilan

penatalaksanaan atau sebaliknya memperberat penyakit.

77

You might also like