You are on page 1of 12

Urgensi Penegakan Hukum Di Indonesia Dalam Rangka Mencapai Keadilan Dikaitkan Dengan Filsafat Hukum

1. Pendahuluan a. Latar Belakang Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia1. Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai2. Sebagai contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada kenyataannya proses ini sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili suatu perkara. Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam pelaksanaannya. Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata. Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian, tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata hanya melihat apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi3. Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu

1 2

http://anggara.org/Carut Marut Dunia Hukum di Indonesia Ibid, 3 Ibid,

tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum4. Dikaitkan dengan wacana reformasi hukum di indonesia, dalam sebuah panel diskusi bertajuk "Peluang Peradilan satu Atap dalam Membangun Profesioanlisme dan Integritas Hakim", Satjipto Rahardjo mengatakan perlu adanya rekonseptualisasi makna hukum - apa yang kita maknai hukum (what mean by law). Satjipto Rahardjo menilai dominasi pemahaman hukum yang terjadi saat ini cenderung legalistik - positifistik. Satjipto berkeyakinan bahwa hukum itu not only stated in the book tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat (living law). Reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 harus diakui telah melahirkan sejumlah perubahan instrumental, meski diakui juga bahwa perubahan tersebut masih banyak kelemahannya. Banyaknya kelemahan tersebut karena reformasi tidak punya paradigma dan visi yang jelas alias hanya tambal sulam, contohnya reformasi peradilan yang terwadahi dalam empat paket undang-undang yang berkaitan dengan peradilan hanya lebih banyak memfokuskan pada peradilan satu atap (Beny K. Harman).5 Bila dikaitkan dengan reformasi di bidang hukum di indonesia, Gambaran yang disampaikan oleh Beny K.Harman dan Satjipto tersebut bisa menjadi gambaran bagi kita semua dalam melihat wajah reformasi hukum Indonesia. Benar bahwa saat ini telah banyak aturan hukum yang mendorong kearah reformasi sebagaimana tuntutan masyarakat. Bahkan benar pula bahwa di indonesia saat ini sudah banyak lembaga yang memiliki peran untuk memperbaiki sistem peradilan kita, sebut saja misalnya lahirnya KPK, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan Timtastipikor. Bila diperhatikan, ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan baru dan lembaga baru tersebut sangat tinggi. Namun sayangnya ekspektasi masyarakat seringkali tidak sejalan dengan realitas yang ada di lapangan. Kita sering mendengar banyak tersangka koruptor tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan akhirnya. Mengapa sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidak-tidaknya hukumannya sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan pemahaman fakta hukum di persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi hukum apa yang mereka pergunakan, adakah paradigma legalistik-posifistik semata yang dipergunakan ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi - adalah deretan pertanyaan publik yang belum ada akhirnya. Lembaga peradilan sebagai institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
4 5

Ibid, http://jodisantoso.blogspot.com/

Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan6. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung tuntas bagi para penegak hukum bangsa ini, tidak hanya bagi penegak hukumnya saja,tapi juga pemerintah, pihak pihak birokrat, bahkan sampai ke tataran masyarakat yang sadar hukum, dengan semata mata mencapai pada satu keadaan dimana penegakan hukum ini menjadi suatu peluang dalam mencapai sebuah keadilan. Karena memang permasalahan yang ada saat ini adalah bagaimana menjadikan politik hukum sebagai suatu sarana dalam hal mngejawantahkan tujuan hukum pada khususnya lewat regulasi regulasi untuk mencapai sebuah keberhasilan hukum dalam kehidupan berbangsa bernegara. Semua regulasi yang dijadikan sebagai instrumen hukum haruslah menjadi senjata yang memang bisa menjadikan tujuan dari hukum itu benar benar tercapai. Tapi pada prakteknya memang hal itu tidaklah muda. Jika kita perhatikan dari beberapa permasalahan, sebagai contoh di bidang korupsi, Harus diakui kenyataannya sampai saat ini berbagai instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi. Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) penanganannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa dalam bingkai due process of law, tidak dilakukan dengan cara konvensional7. Seharusnya, Dengan adanya intstrumen hukum yang sudah memadai saat ini, mestinya pemberantasaan KKN relatif lebih mudah. Hanya saja penyelesaiannya sangat tergantung pada political will. Pemberantasan korupsi hanya akan tercapai manakala kekuasaan politik dan penegak hukum dipegang oleh orang yang punya integritas dan keberanian. Berbagai kasus yang melibatkan pejabat publik yang tidak jelas ujungnya tidak saja melecehkan hukum akan tetapi menghina rasa keadilan masyarakat. Karena itu setiap aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang sama untuk memberantas korupsi, meminjam istilah Satjipto ketika seorang aparat penegak hukum menangani kasus korupsi dia tidak boleh datang dengan netral tetapi harus datang predesposisi tertentu dengan semangat untuk memberantas korupsi. Dengan demikian penegakan hukum akan menyentuh kepastian dan keadilan bagi masyarakat8. Jika kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia.

6 7

Ibid, Ibid, 8 Ibid,

Sekedar menyinggung konsep dalam Islam, bahwa Islam menilai hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat, karena putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi, disamping berhubungan dengan manusia secara langsung, juga berhubungan dengan Allah SWT,9 maka manusia disamping ia mengadopsi hukum-hukum yang langsung (baca ; samawi dalam Islam) wahyu Tuhan yang berbentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula kebenaran yang berserakan dalam kehidupan masyarakat,10 manusia akan melihat dari kenyataan empiris sebagai bekal mengkaji secara mendalam, memberikan makna filosofis dengan mengetahui hakikat kebenaran yang hakiki. Jika diKaitkan dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan disamping sebagai kepastian hukum dan kemanfaatan11 . Tentunya yang dimaksud dengan keadilan diatas adalah keadilan terkait antara hak dan kewajiban, dan tentu tanpa harus mengabaikan hak yang memang dianugerahkan dari Allah swt. Yaitu Hak Asasi Manusia yang sifatnya mendasar tanpa memebeda bedakan anatara ras, suku, agama, dan lain sebagainya sebagai salah satu aspek equality before the law. b. Identifikasi Masalah Apakah penegakan hukum di Indonesia sudah dapat dikatakan efektif? Jika sudah, bagaimana ke efektifan dari penegakan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan? Bagaimana kaitannya dengan filsafat hukum?

Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006, hal.24 Dalam penafsiran dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 5 ayat 1 yang berbunyi Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 11 Darji Darmodiharjo, dan ShidartaPokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI Mei 2006, hal. 154
10

2. Pembahasan a. Penegakan Hukum di Indonesia dalam rangka mencapai keadilan Sebagaimana dijelaskan di awal latar belakang diatas, Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Karena memang rasa keadilan tak jarang tidak dipenuhi dalam rangka penegakan hukum di indonesia, bahkan muncul pendapat bahwa hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Dewasa ini seseorang yang melakukan kejahatan ringan, tak jarang yang mendapatkan hukuman yang tidak ringan jika dibandingkan dengan penjahat penjahat korupsi di negeri ini, hal ini kadang menjadi suatu hal yang miris karena seolah olah politik hukum berubah seketika menjadi politik kepentingan, bahkan sampai hal terburuk menjadi politik uang. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara12. Menurut Prof. Jimly Ashiddiqie S.H., jika ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa13. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan law enforcement ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan penegakan hukum dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah penegakan peraturan dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah the rule of law versus the rule of just law atau dalam istilah the rule of law and not of man versus istilah the rule by law yang berarti the rule of man by law. Dalam istilah the rule of law terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan
12 13

Penegakan hukum oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH Ibid,

mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the rule of just law. Dalam istilah the rule of law and not of man dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

Berbicara tentang kekuasaan belaka, maka terkadang hukum digunakan untuk mendapatkan kekuasaan semata, atau bahkan hukum dijadikan sebuah amunisi untuk melindungi jabatan dan pejabatnya dari sebuah sanksi atau hukuman. Prof. Mahfud MD dalam tulisannya berjudul Hukum, Moral, dan Politik menyatakan bahwa salah satu yang sekarang sering timbul adalah terlepasnya sukma hukum yakni keadilan dari banyak proses penegakan hukum karena hukum kemudian dihayati sebagai persoalan teknis prosedural semata. Banyak sekali orang melanggar etika dan moral tetapi merasaatau bersikap seakan akan tidak bersalah karena belum diproses secara hukum, tepatnya belum dibuktikan sebagai tindakan yang salah secara hukum pengadilan padahal waktu yang bersamaan proses hukum di lembaga peradilan juga menghadapi masalah besar karena banyak dihinggapi oleh penyakit judicial Corruption. Akibatnya hukum dijadikan alat permainan untuk mencari kemenangan di dalam sengketa atau berperkara di pengadilan dan bukan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban di dalam masyarakat14. Pada saat ini dapat diaamati, dilihat dan dirasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penelilaan APBN dan APBD di kalangan birokrasi15. Daftar ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka kembali lembaran-lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret di Papua dan lainlainnya. Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum diatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum16.

Bagaimanapun juga masih banyak warga masyarakat yang tetap menghormati putusan-putusan yang telah dibuat oleh pengadilan. Meskipun demikian sah-sah juga kiranya apabila
14 15

Hukum, Moral, dan politik oleh Prof. Moh. Mahfud. MD Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan Oleh Prof. Zudan Arif Fakrulloh, Sh., Mh 16 Yang dimaksudkan dengan lembaga-lembaga hukum adalah Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Organisasi Pengacara. Perilaku individu-individu yang ada dalam lembaga tersebut secara agresif membentuk citra lembaga. Tertangkapnya Jaksa yang menjadi pengedar narkoba, pengacara yang menyuap hakim, maupun rekening tabungan polisi yang di luar kewajaran, secara simbolik menunjukkan bahwa dalam lembaga-lembaga tersebut terdapat masalah yang harus diselesaikan lebih dahulu secara internal

masyarakat mempunyai penilaian tersendiri terhadap putusan tersebut. Adanya penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum/pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari struktur sosial masyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilaku-perilaku sosial lingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yang dipandang tertentangan dengan nilai-nilai keadilan hidup dan tumbuh ditengah-tengah masyarakat17.

b. Kaitan Penegakan Hukum Dalam Rangka Mencapai Keadilan Dengan Filsafat Hukum

Seseorang yang berfilsafat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintangbintang, dia ingin mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak puas jika mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi saja). Ia juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga berfikir dengan sifat spekulatif (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan18.

berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum, Anthoni DAmato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum19.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat20. Bahkan Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto menyebutkan sembilan arti hukum, yaitu21 : 1) Ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. 2) Disiplin, yaitu suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.

17 18

Op.cit .Prof. Zudan Arif Fakrulloh, Sh., Mh Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Cet.XVI, 2003 19 Filsafat Hukum Dan Perannya Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia Oleh : Huda Lukoni, S.H.I., S.H. 20 Op.cit, Darji Darmodiharjo dan Shidarta, hal. 11
21

Ibid, hal.12

3) Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan. 4) Tata Hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis. 5) Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) 6) Keputusan Penguasa, yakni hasil proses diskresi 7) Proses Pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan 8) Sikap tindak ajeg atau perilaku yang teratur, yakni perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan mencapai kedamaian 9) Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.

Kita tahu bersama bahwa Salah satu tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan. Sebelumnya perlu diketahui bahwa Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Butiran pemikiran demikian itu akan dijumpai dalam banyak gagasan tentang hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah sekedar logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science),(Satjipto Rahardjo melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal dibelakang hukum, keinginan untuk melihat logika sosial dari hukum lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan), yang seharusnya selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Pemikiran konvensional yang selama ini menguasai/mendominasi karakteriktik berpikir ilmuwan hukum, bagi Satjipto merupakan tragedi pemikiran, penulis sebut saja parsialisme pemikiran atau belum out of the box22.

22

Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma "Thawaf" oleh Turiman

Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda), hukum Islam (baca ; AlQuran) sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim, contoh konkrit dari hukum Islam yang masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.23

Menurut penulis Hukum adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi negara Indonesia, sebagai contoh dengan adanya Undang-undang Agraria, kemudian munculnya Undang-undang Otonomi daerah, yang pada intinya memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen, terlebih cenderung yang berada didaerah. Maka dengan filsafat hukum yang dikembangkan melalui ide dasar Pancasila akan dapat mengakomodir berbagai kepentingan, berbagai suku, serta menyatukan perbedaan ideologi dalam masyarakat yang sangat beraneka ragam, dengan demikian masyarakat Indonesia akan tetap dalam koridor satu nusa, satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, yang menjunjung nilai-nilai luhur Pancasila.

23

Op.cit, Huda Lukoni, S.H.I., S.H

3. kesimpulan

a. Pada dasarnya, terkait dengan penegakan hukum di indonesia menurut penulis sudah cukup dapat dikatakan baik, hanya saja masih perlu dilakukan perbaikan perbaikan yang sifatnya vertikal ataupun horizontal secara sistem dan struktural, terlebih dalam rangka mencapai keadilan masih menjadi hal yang relatif subjektif dan belum memenuhi nilai nilai objektif. b. Kaitannya dengan filsafat hukum, dalam rangka penegakan hukum di indonesia demi mencapai keadilan maka perlu diperhatikan filsafat hukumnya sebagaimana Filsafat hukum dalam menyikapi masalah, kita diajak untuk berfikir kritis dan radikal, atau dalam artian kita diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif semata, karena jika kita hanya mempelajari arti hukum dalam arti positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik, jika demikian adanya ketika ia menjadi seorang pengadil (hakim) misalnya, ia hanya menjadi corong undang-undang belaka.

4. Daftar Pustaka

Buku :
I. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Cet.XVI, 2003 II. Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006, hal.24 Darji Darmodiharjo, dan ShidartaPokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI Mei 2006, hal. 154

III.

Artikel I. II.
Penegakan hukum oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH Filsafat Hukum Dan Perannya Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia Oleh : Huda Lukoni, S.H.I., S.H.

III. IV. V.

Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan Oleh Prof. Zudan Arif Fakrulloh, Sh., Hukum, Moral, dan politik oleh Prof. Moh. Mahfud. MD Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma "Thawaf" oleh Turiman

Internet I.
II. http://anggara.org/Carut Marut Dunia Hukum di Indonesia http://jodisantoso.blogspot.com/

Makalah Politik Hukum

Urgensi Penegakan Hukum Di Indonesia Dalam Rangka Mencapai Keadilan Dikaitkan Dengan Filsafat Hukum

Oleh : Handika Suryo S. Npm : 110113080017 Dosen: - Indra Prawira S.H.,M.H - Rahayu Prasetianingsih S.H.,M.H

Universitas Padjadjaran Bandung 2011

You might also like