You are on page 1of 18

ENVIRONMENTAL DETERMINISM (DETERMINASI LINGKUNGAN)

Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur Mata Kuliah Seminar Masalah-masalah/Isu-isu Lingkungan

Dosen Pembimbing: Dr. Imam Hanafi, M.Si,. MS Kelas B Disusun Oleh:

SHINTIA MARTHAPURI VIANA DHAMA YANTIE SURATUN

(0810310124) (0810313044) (0810310365)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK MALANG 2011

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr Wb Puji syukur kehadirat kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan kekuatan kepada kami untuk menyeleseikan makalah ini. Tidak lupa sholawat serta salam tetap kami curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, uswah dan pembimbing kami dari zaman jahiliyyah menuju islam yang membawa cahaya penerang Sajian berupa makalah ini ditujukan untuk menyeleseikan tugas Seminar Masalah/isu-isu Lingkungan. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi semua mahasiswa khususnya jurusan administrasi publik. Akhir kata penyususn mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada semua pihak yang telah membantu menyeleseikan makalah ini. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwasannya makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu perbaikan yang lebih lanjut akan kami teruskan. Kami menharap saran, kritik, dan masukan dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini. Semoga dalam makalah ini akan semakin membantu dalam memperkaya khazanah ilmu.

MALANG, Mei 2011

DAFTAR ISI Kata pengantar .. 2 Daftar isi ..3 Daftar gambar...4 Pendahuluan 5 Pengertian determinisme lingkungan 6 Sejarah determinasi lingkungan ...9 Determinisme lingkungan dan geografi awal ....10 Determinisme lingkungan dan geografi modern ...11 Jejak-jejak Determinisme Lingkungan (A.L. Kroeber) 11 Penurunan determinisme lingkungan .12 Relation of environmental and cultural factors ..12 Vegetasi alam .14 Iklim ..14 Daftar pustaka 18

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Gambar Hubungan Lingkungan Dengan Kebudayaan7 1.2 Gambar Hubungan Manusia dengan Lingkungan8

PENDAHULUAN Alam yang indah dan lestari merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup manusia dan segala lapisan kehidupan yang ada di dalamnya. Untuk menjamin kelangsungan hidup kita dan generasi mendatang diharapkan agar tetap memiliki kehidupan dan lingkungan dalam suasana yang baik dan menyenangkan, banyak hal dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup alam semesta, setidaknya kita harus merubah sikap dalam memandang dan memperlakukan alam sebagai hal bukan sebagai sumber kekayaan yang siap dieksploitasi, kapan dan dimana saja. Walaupun alam tidak memiliki keinginan dan kemampuan aktif-eksploitatif terhadap manusia, perlahan tapi pasti, apa yang terjadi pada alam, langsung atau tidak langsung, akan terasa pengaruhnya bagi kehidupan manusia. Lingkungan yang indah dan lestari akan membawa pengaruh positif bagi kesehatan dan bahkan keselamatan manusia. Begitupun sebaliknya, lingkungan yang rusak dan terancam punah, akan membawa pengaruh buruk bagi kehidupan manusia. Menurut survey Environmental Performance index (EPI) 2008 dari Universitas Yale, Indonesia kini berada di urutan ke-102 dari 149 negara yang berwawasan lingkungan, sedangkan Mlaaysia menempati peringkat 26 jauh diatas Indonesia. Lingkungan dalam Ensiklopedi Indonesia (1984: 2021) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang ada di luar sutu organisme, yang meliputi: Pertama, lingkungan benda mati atau fisik: adalah lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup; seperti bahan kimia, suhu, cahaya, gravitasi, atmosfer dan lain-lain. Kedua, Lingkungan hidup (biotik); lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri atas organisme hidup; seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Lingkungan adalah salah satu faktor yang mempunyai peran besar dalam membangun sebuah kepribadian, terutama kepribadian manusia. Lingkungan bisa dikatakan sebagai cerminan diri. Lingkungan dapat diartikan sebagai sebuah pemandangan atau lokasi daerah sekitar kita yang indah jika kita rawat dengan baik dan juga bisa jelek kita abaikan. Menurut Wikipedia lingkungan juga berarti kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya,mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut sedangkan dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Manusia adalah sesuatu yang biasa paling dekat dengan lingkungan. Manusia juga pun yang mempunyai peran penting dalam merawat, melestarikan maupun menjaga suatu lingkungan. Banyak manfaat yang dapat kita ambil dari lingkungan. Oleh sebab itu, pribadi manusia tumbuh dari faktor lingkungan yang tentunya dari pergaulan lingkungan,bukan dari pemandangannya. Seseorang bisa dikatakan berhasil pasti salah satu faktornya adalah faktor lingkungan. Karena jika lingkungan sekitarnya itu dipenuhi dengan masyarakat yang baik, suasana lingkungan yang tenang pasti seseorang itu dapat tenang dalam melakukan rutinitasnya. Orang tersebut bergaul dengan orang yang baik, dukungan moral yang baik dan benar dari orang orang sekitarnya, tentunya akan menghasilkan pribadi yang baik dan benar pula. Manfaat dari pergaulan yang seperti ini yaitu banyak dikelilingi teman yang dapat mengajarkan ke jalan yang 5

benar maupun disenangi oleh orang banyak dan tentunya kita mempunyai banyak teman yang selalu mendukung orang tersebut. Sedangkan sebaliknya jika beradaptasi dan bergaul dengan pergaulan lingkungan yang salah maka pastinya orang itu akan jadi individu yang salah pula. Hal ini dikarenakan orang itu mencontoh dari tingkah laku lingkungannya tersebut. Orang itu memperhatikan dari gerak gerik sikap masyarakat dan lingkungan yang ada disekitarnya. Dengan hal ini yang membuat seseorang menjadi mengikuti adaptasi pergaulan lingkungan tersebut. Dengan pergaulan yang salah seperti ini mempunyai dampak yang buruk untuk orang tersebut, seperti pastinya akan dijauhi banyak orang, tidak disenangi orang lain dan selalu dikucilkan oleh orang banyak. Lingkungan banyak memberi kita motivasi dalam diri kita. Lingkungan juga dapat memberikan kita semangat dan dapat juga memberikan sebuah inspirasi kita dalam bertindak. Untuk selanjutnya tergantung diri pribadi yang mengatur,menyaring dan mengembangkan setiap hal-hal yang ada dilingkungan tersebut. Pengertian Determinisme Lingkungan Determinisme lingkungan adalah teori yang menyatakan bahwa karakteristik manusia dan budayanya disebabkan oleh lingkungan alamnya. Penganut fanatik deteriminisme lingkungan adalah Carl Ritter, Ellen Churchill Semple dan Ellsworth Huntington. Hipotesis terkenalnya adalah iklim yang panas menyebabkan masyarakat di daerah tropis menjadi malas dan banyaknya perubahan pada tekanan udara pada daerah lintang sedang membuat orangnya lebih cerdas. Iklim di percaya menjadi keseimbangan suasana hati, Oleh karena itu, perbedaan geografis menentukan bentuk fisik dan kepribadian. Orang yang hidup di iklim panas (tropis) seringkali bernafsu (penuh gairah), suka kekerasan, malas, hidupnya pendek dan tangkas yang dipengaruhi oleh udara panas dan kekurangan air. Determinisme lingkungan adalah teori yang menyatakan bahwa karakteristik manusia dan budayanya disebabkan oleh lingkungan alamnya. Dampak iklim pada kepribadian dan kecerdasan ditentukan oleh urusan manusia lainnya terutama pemerintahan dan agama. Ahli geografi determinisme lingkungan mencoba membuat studi itu menjadi teori yang berpengaruh. Sekitar tahun 1930-an pemikiran ini banyak ditentang karena tidak mempunyai landasan dan terlalu mudahnya membuat generalisasi (bahkan lebih sering memaksa). Determinisme lingkungan banyak membuat malu geografer kontemporer, dan menyebabkan sikap skeptis di kalangan geografer dengan klaim alam adalah penyebab utama budaya (seperti teori Jared Diamond). (http://djunijanto.wordpress.com/materi/perkembangan-sejarah-geografi/) Dalam Wikipedia, Determinisme lingkungan, juga dikenal sebagai determinisme iklim atau determinisme geografi, adalah pandangan bahwa lingkungan fisik, bukannya kondisi sosial, yang menentukan kebudayaan. Penganut pandangan ini mengatakan bahwa manusia ditentukan oleh hubungan stimulus dan respon (hubungan lingkungan-perilaku) dan tidak bisa menyimpang dari hal itu. Argumen dasar dari penganut determinisme lingkungan adalah bahwa aspek dari geografi fisik, khususnya iklim, memengaruhi pemikiran individu, yang pada gilirannya akan menentukan perilaku dan budaya yang dibangun oleh individu tersebut. Sebagai contoh, iklim tropis dikatakan menyebabkan kemalasan dan sikap santai, sementara seringnya perubahan cuaca di daerah sub-tropis cenderung membuat etos kerja yang lebih bersemangat. Karena pengaruh lingkungan ini secara lambat laun memengaruhi 6

1.1 Gambar Hubungan Lingkungan Dengan Kebudayaan

kondisi biologis manusia, maka perlu untuk merunut migrasi dari kelompok untuk melihat kondisi lingkungan tempat mereka berevolusi. Pendukung utama pendapat ini diantaranya Ellen Churchill Semple, Ellsworth Huntington, Thomas Griffith Taylor dan mungkin pula Jared Diamond, walau statusnya sebagai pendukung determinisme lingkungan masih diperdebatkan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Determinisme_lingkungan). Teori determinisme lingkungan yang menyatakan bahwa lingkungan dapat membentuk kebudayaan manusia ini berlangsung sampai tahun 1920an. Faktor lingkungan bukan saja menentukan karakteristik kebudayaan tetapi juga membentuk kebudayaan. Seluruh aspek kebudayaan manusia dan tingkah laku disebabkan secara langsung oleh pengaruh lingkungan. (Mukhlis, Maulana dalam http//:blog.unila.ac.id/maulana). Determinisme (khususnya determinisme kausal) adalah konsep bahwa peristiwa dalam diberikannya paradigma terkait oleh kausalitas sedemikian rupa bahwa setiap negara (dari suatu obyek atau peristiwa) benar-benar, atau setidaknya untuk beberapa derajat besar ditentukan oleh Negara-negara sebelumnya. Dalam fisika prinsip ini dikenal sebagai penyebab-dan-efek atau timbal balik. Determinisme juga merupakan nama yang lebih luas filosofis pandangan, sebagai dugaan bahwa setiap jenis aktivitas, termasuk manusia kognisi (perilaku, keputusan, dan tindakan) adalah kausal ditentukan oleh peristiwa sebelumnya. Dalam argument filosofis, konsep determinisme dalam domain tindakan manusia sering dikontraskan dengan kehendak bebas. Argument disebut indeterminisme (dinyatakan nondeterminism) meniadakan kausalitas deterministik sebagai factor dan menentang argument deterministic. Determinis percaya setiap sistem ditentukan sepenuhnya diatur oleh hukumhukum sebab-akibat yang dihasilkan hanya dalam satu Negara mungkin setiap titik waktu. Sebuah perdebatan dalam determinisme ada tentang ruang lingkup 7

1.2 Gambar Hubungan Manusia dengan Lingkungan

sistem ditentukan, dengan beberapa mempertahankan bahwa seluruh alam semesta adalah sistem menentukan tunggal dan lain-lain mengidentifikasi sistem lain menentukan lebih terbatas. Dalam sejarah banyak perdebatan, banyak variasi dan posisi filosofis tentang masalah determinisme ada yang paling menonjol perdebatan kehendak bebas yang melibatkan compatibilsm dan incompatibilsm Predeterminism mengusulkan ada tak terputus rantai kejadian sebelum peregangan kembali ke asal usul semesta. Seterminisme tidak boleh bingung dengan penentuan nasib sendiri dari tindakan manusia dengan alas an, motif, dan keinginan atau dengan predestinasi, yang secara khusus factor-faktor kemungkinan adanya Tuhan yang menjadi ajaran, apalagi determinisme tidak secara eksplisit menyatakan bahwa prediksi adalah mungkin, apapun berarti ini adalah pertanyaan epistemologis secara terpisah. Determinisme iklim atau determinisme lingkungan merupakan aspek geografi ekonomi juga kadang-kadang disebut paradoks katulistiwa. Menurut teori ini, sekitar 70%dari pembangunan ekonomi suatu Negara dapat diprediksi dari jarak antara Negara dan katulistiwa. Dengan kata lain, semakin jauh dari khatulistiwa Negara lebih mengembangkan cenderung. Paradoksnya berlaku sama baik utara maupun selatan khatulistiwa. Australia misalnya memiliki tingkat yang lebih tinggi pembangunan ekonomi dari Indonesia. Paradoks ini juga berlaku di Negara-negara bagian AS utara lebih berkembang dibandingkan dengan Negara bagian AS selatan. Singapura adalah counter terkemuka-contoh: terletak pada 1,22 LU dan merupakan salah satu dunia yang paling makmur negara tersebut. kesejahteraan ini didasarkan pada posisinya sebagai port. pengecualian lain untuk paradoks cenderung memiliki sumber daya alam yang besar. Saudi Arabia adalah contoh yang baik. Salah satu teori populer untuk menjelaskan fenomena ini adalah pembangunan yang kurang diperlukan di daerah tropis - "Anda dapat berbaring di tempat tidur dan bersantai-santai," yang bertentangan dengan kebutuhan untuk menciptakan pertanian dan ekonomi dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan dan bertahan. Penjelasan ini, sedangkan nyaman, mungkin tidak cukup rumit untuk benar-benar menjelaskan paradoks khatulistiwa. Patut dicatat bahwa paradoks khatulistiwa hanya muncul dari Era Modern dan seterusnya, dengan sangat maju budaya dan ekonomi yang lebih banyak hadir di tropis dan subtropisdaerah dari luar. Dalam konteks analisis statistik, paradoks mungkin lebih merupakan akibat dari penaklukan dan penjajahan . Yang terakhir semua tapi ditangkap pembangunan ekonomi dan infrastruktur, kecuali yang 8

diperlukan untuk memenuhi tujuan kekuasaan kolonial. Determinisme iklim yang sangat dipelajari oleh Ellsworth Huntington . Determinisme lingkungan telah diadopsi oleh bidang desain perkotaan untuk menggambarkan dampak lingkungan yang dibangun mungkin pada perilaku. Ini adalah dasar dari konsep Pencegahan Kejahatan Melalui Desain Lingkungan (CPTED) yang mencoba untuk memodifikasi perilaku mengganggu melalui desain yang sesuai dari lingkungan fisik. Konsep ini juga merupakan dasar ruang aktif yang mencoba untuk mendorong kegiatan melalui desain sebuah ruang. Sepanjang studi geografi, ada sejumlah pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan perkembangan masyarakat dunia dan budaya. Salah satu yang menerima banyak menonjol dalam sejarah geografis, tetapi telah menurun dalam beberapa dekade terakhir penelitian akademik determinisme lingkungan. Determinisme lingkungan adalah keyakinan bahwa lingkungan (terutama faktor fisik seperti bentang alam dan / atau iklim) menentukan pola kebudayaan manusia dan pembangunan sosial. Lingkungan determinis percaya bahwa itu adalah faktor-faktor lingkungan, iklim, dan geografis saja yang bertanggung jawab untuk budaya manusia dan keputusan individu dan / atau kondisi sosial hampir tidak berdampak pada pengembangan kebudayaan. Argumen utama determinisme lingkungan menyatakan bahwa karakteristik fisik daerah seperti iklim memiliki dampak yang kuat terhadap prospek psikologis penghuninya. Pandangan ini bervariasi kemudian menyebar ke seluruh populasi dan membantu menentukan keseluruhan perilaku dan budaya suatu masyarakat. Misalnya dikatakan bahwa wilayah di daerah tropis kurang berkembang daripada lintang yang lebih tinggi karena cuaca terus hangat di sana membuat lebih mudah untuk bertahan hidup dan dengan demikian, orang yang hidup di sana tidak bekerja keras untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Contoh lain dari determinisme lingkungan akan teori bahwa negara kepulauan memiliki ciri-ciri budaya yang unik semata-mata karena isolasi mereka dari masyarakat kontinental. Sejarah determinasi lingkungan Sejarah determinasi lingkungan berawal dimana dalam abad medis dianggap berasal dari Hippocrates; udara, air, wilayah. Pada zaman romawi tersebut misalnya, ditemukan dalam karya ahli geografi Yunani yang bernama Strabo yang menulis iklim yang mempengaruhi disposisi psikologis dari ras yang berbedaa. Beberapa kaum Cina kuno membentuk determinisme lingkungan seperti yang ditemukan dalam karya Guan Zhong yang ditulis pada abad ke-2 SM. Dalam bab Water and Earth" (Shuidi ) ditemukan pernyataan seperti "Now the water of [the state of] Qi is forceful, swift and twisting. Therefore its people are greedy, uncouth, and warlike," and "The water of Chu is gentle, yielding, and pure. Therefore its people are lighthearted, resolute, and sure of themselves." Penganut awal determinasi lingkungan yang lainnya pada abad pertengahan Afro-Arab seorang penulis al-Jahiz, yang menjelaskan bagaimana lingkungan dapat menentukan karakteristik fisik penghuni sebuah komunitas tertentu. Dia menggunakan teori awal mengenai evolusi untuk menjelaskan asalusul yang berbeda seperti warna kulit manusia, khususnya kulit hitam, yang dia yakini sebagai hasil dari lingkungan. Dia mengutip sebuah daerah berbatu hitam basalt di utara Najd sebagai bukti dari teorinya tersebut. Dia juga mengatakan Sangat tidak biasa bahwa rusa dan burung unta, serangga dan lalat, rubahnya, domba dan keledai, kuda dan burung yang semua hitam kehitaman dan putih 9

tersebut sebenarnya disebabkan oleh sifat daerah, juga sebagai oleh sifat Tuhan yang diberikan air dan tanah dan oleh kedekatan atau jauh dari matahari dan intensitas atau keringanan dari panas Para sosiolog Arab dan polymath, Ibnu Khaldun, juga merupakan penganut determinisme lingkungan. Dalam karyanya Muqaddimah (1377), ia menjelaskan bahwa kulit hitam ini disebabkan oleh iklim panas sub-Sahara Afrika dan bukan karena garis keturunan mereka. Ia kemudian dibantah oleh teori Hamitic, di mana anak-anak Ham dikutuk dengan menjadi hitam, sebagai mitos. Banyak terjemahan Ibn Khaldun dijabarkan selama era kolonial untuk sesuai dengan mesin propaganda kolonial. The Negro Land of the Arabs Examined and Explained ditulis pada tahun 1841 dan memberikan kutipan dari terjemahan lama yang bukan bagian dari propaganda kolonial. Ibnu Khaldun menunjukkan hubungan antara penurunan Ghana dan bangkit dari Murabitun. Namun, ada sedikit bukti dari sana benar-benar menjadi seorang penaklukan Murabitun Ghana. Ibnu Khaldun juga mengantisipasi meteorologi teori iklim yang kemudian diusulkan oleh Montesquieu pada abad ke-18. Seperti Montesquieu, Ibnu Khaldun mempelajari lingkungan fisik di mana manusia hidup untuk memahami bagaimana hal itu mempengaruhi dia dalam siftanya non-fisik. Dia menjelaskan perbedaan antara masyarakat yang berbeda, baik orang-orang yang nomaden atau berpindah-pindah, yang menjadi kebiasaan mereka dan institusi, dalam hal lingkungan mereka "habitat-fisik, iklim, tanah, makanan, dan cara yang berbeda di mana mereka dipaksa untuk memenuhi kebutuhan mereka dan memperoleh nafkah. " Ini adalah keberangkatan dari teori iklim yang diungkapkan oleh penulis dari Hippocrates ke Jean Bodin . Ia telah mengemukakan bahwa Ibn Khaldun mungkin memiliki pengaruh terhadap teori Montesquieu melalui musafir Jean Chardin , yang bepergian ke Persia dan menjelaskan teori menyerupai's iklim teori Ibnu Khaldun. Determinisme lingkungan menjadi terkenal di akhir abad 19 dan awal abad 20 ketika itu diambil sebagai teori sentral oleh disiplin geografi (dan pada tingkat lebih rendah, antropologi ). Profesor Ellen Churchill dari Semple Clark University dikreditkan dengan memperkenalkan teori ke Amerika Serikat setelah belajar tentang geografi manusia dengan Friedrich Ratzel di Jerman. Keunggulan determinisme dipengaruhi oleh profil tinggi evolusi biologi , meskipun cenderung lebih menyerupai sekarang didiskreditkan Lamarckisme daripada Darwinisme. Determinisme lingkungan dan Geografi Awal Meskipun determinisme lingkungan adalah pendekatan yang lumayan baru untuk mempelajari geografis formal, asal-usulnya kembali ke zaman kuno. faktor iklim misalnya digunakan oleh Strabo, Plato , dan Aristoteles untuk menjelaskan mengapa orang-orang Yunani begitu jauh lebih berkembang pada usia dini dari masyarakat di iklim panas dan dingin. Selain itu, Aristoteles datang dengan nya sistem klasifikasi iklim untuk menjelaskan mengapa orang-orang terbatas pada permukiman di daerah-daerah tertentu di dunia ini. Awal ulama lain yang juga digunakan determinisme lingkungan untuk menjelaskan tidak hanya budaya suatu masyarakat tetapi alasan di balik karakteristik fisik orang suatu masyarakat. Al-Jahiz, seorang penulis dari Afrika Timur, misalnya dikutip faktor lingkungan sebagai asal warna kulit yang berbeda. Dia percaya bahwa kulit yang lebih gelap dari Afrika banyak dan berbagai burung, mamalia, dan serangga merupakan hasil langsung dari prevalensi batu basal hitam di 10

Semenanjung Arab. Ibnu Khaldun , seorang sosiolog Arab dan sarjana, secara resmi dikenal sebagai salah satu determinis lingkungan pertama. Dia hidup 1332-1406, yang saat ia menulis sejarah dunia yang lengkap dan menjelaskan bahwa kulit manusia gelap disebabkan oleh iklim panas Sub-Sahara Afrika. Determinisme lingkungan dan Geografi Modern Determinisme lingkungan naik ke tahap yang paling menonjol dalam geografi modern di awal abad 19 an ketika itu dihidupkan kembali oleh Friedrich geografi Jerman Rtzel dan menjadi teori sentral dalam disiplin. Teman-teori Rtzel muncul setelah Charles Darwin dalam Origin of Species pada tahun 1859 dan sangat dipengaruhi oleh evolusi biologi dan dampak lingkungan seseorang memiliki terhadap evolusi budaya mereka. Determinisme lingkungan kemudian menjadi populer di Amerika Serikat pada awal 20th Century kapan mahasiswa Rtzel, Ellen Churchill Semple , seorang profesor di Clark University di Worchester, Massachusetts, memperkenalkan teori di sana. Seperti ide awal Rtzel's, Semple's juga dipengaruhi oleh evolusi biologi. Satu lagi mahasiswa Rtzel's, Ellsworth Huntington, juga bekerja pada perluasan teori sekitar waktu yang sama seperti Semple. karya Huntington meskipun, menyebabkan subset dari determinisme lingkungan, yang disebut determinisme iklim di awal 1900an.Teorinya menyatakan bahwa pembangunan ekonomi di suatu negara dapat diprediksi berdasarkan jarak dari khatulistiwa. Dia mengatakan daerah beriklim sedang dengan musim tumbuh pendek merangsang prestasi, pertumbuhan ekonomi, dan efisiensi.Kemudahan tumbuh hal-hal di daerah tropis di sisi lain menghambat kemajuan mereka. Jejak-jejak Determinisme Lingkungan (A.L. Kroeber) Berbagai studi antropologi ekologi yang mencoba memahami bagaimana manusia menjalani kehidupannya dengan lingkungan sebagai tempat dan ruang hidupnya, sepertinya tidak akan berakhir selama manusia dan lingkungan tidak mengalami kemusnahan. Begitu juga dengan ragam perspektif atau pendekatan yang berkembang dalam salah satu ranah kajian antropologi ini. Berbagai perspektif maupun pendekatan, tumbuh dan berkembang seiring dengan perjalanan perkembangan studi antropologi ekologi di berbagai belahan dunia. Akar dari berbagai studi antropologi ekologi yang telah jauh berkembang pada masa kini, sebenarnya telah tertanam sejak tahun 1930-an oleh Julian H. Steward dalam tulisannya The Economic and Social Basis of Primitive Bands di tahun 1936, dan juga aliran pandangan determinisme lingkungan oleh Kroeber; Russell; serta Huntington di era tahun 1930 dan 1940-an. Steward dalam tulisannya, menghadirkan pernyataan bagaimana interaksi antara kebudayaan dan lingkungan dapat dianalisis dalam kerangka sebab-akibat (in causal terms). Pernyataan teoritis dan metodologis ini kemudian tidak banyak berubah ketika dia menjelaskan secara lebih eksplisit tentang hubungan antara lingkungan dan kebudayaan dalam bukunya Theory of Culture Change (1955). Dalam buku ini ia menguraikan, mendefinisikan, serta mengembangkan apa yang dia sebut dengan ekologi budaya (cultural ecology). Dari perspektif yang diajukan oleh Steward, kemudian berkembang beberapa aliran perspektif yang cukup dikenal hingga kini, yaitu: pendekatan etnoekologi, pendekatan ekologi silang budaya (cross-cultural ecological approach), pendekatan ekosistemik kultural yang diwakili oleh buku Geertz (Agricultural Involution, 1963), dan pendekatan ekosistemik materialistik; seperti 11

yang terlihat dalam berbagai studi oleh para ahli antropologi, seperti Vayda (1961; 1967), Rappaport (1967; 1968; 1971), Harris (1966), dan Leeds (1965). Dua dari empat aliran ini (etnoekologi dan ekosistemik materialistik atau ekologi fungsional) masih tetap populer hingga kini (Ahimsa, 1994; 1-6). Sebagai sebuah pendekatan, masing-masing mereka memiliki sejumlah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi cara pandang terhadap persoalan dalam studi antropologi ekologi, yang kemudian tentu saja mencirikan bagaimana paparan dalam temuan-temuan studinya. Seperti apakah sejumlah asumsi tersebut, dan bagaimanakah pandangan mereka tentang relasi manusia dan lingkungannya? Hal inilah yang akan menjadi pembicaraan utama dalam tulisan ini, dengan tulisannya Alfred L. Kroeber (Relations of Environmental and Cultural Factors) sebagai acuan pembahasan. Apa yang dikemukakan oleh Kroeber dalam tulisannya, akan coba diulas kembali dan diungkap melalui simplifikasi, dengan penyertaan penalaran serta kritik pembelajaran yang hadir di beberapa bagian dalam paper ini. Penurunan Determinisme Lingkungan Meskipun berhasil di awal 1900-an, popularitas determinisme lingkungan mulai menurun pada tahun 1920 sebagai klaim yang sering ditemukan salah. Selain itu, kritikus menyatakan itu imperialisme rasis dan diabadikan. Carl Sauer misalnya mulai kritik-nya pada tahun 1924 dan mengatakan bahwa determinisme lingkungan menyebabkan generalisasi prematur tentang budaya suatu daerah tersebut dan tidak memungkinkan hasil berdasarkan pengamatan langsung atau penelitian lainnya. Sebagai akibat dari kritik dan lain-lain, geografer mengembangkan teori possibilism lingkungan untuk menjelaskan perkembangan budaya. Possibilism lingkungan sebagaimana dimuat oleh geografi Perancis Paul Vidal de la Blanche dan menyatakan bahwa lingkungan set keterbatasan bagi pembangunan kebudayaan tetapi tidak benar-benar mendefinisikan budaya. Budaya adalah bukan ditentukan oleh kesempatan dan keputusan yang manusia buat dalam respon untuk menangani keterbatasan tersebut. Pada tahun 1950-an, determinisme lingkungan hampir seluruhnya diganti dalam geografi oleh possibilism lingkungan, efektif mengakhiri terkenal sebagai teori sentral dalam disiplin.Terlepas dari kemunduran Namun, determinisme lingkungan merupakan komponen penting dari sejarah geografis pada awalnya diwakili oleh geografer upaya awal untuk menjelaskan pola-pola mereka melihat berkembang di seluruh dunia.

Relations of Environmental and Cultural Factors Jika coba diartikan, maka judul tulisan yang diajukan Kroeber ini memiliki pengertian sebagai Relasi-relasi dari Lingkungan dan Faktor-faktor Kebudayaan. Dalam tulisannya, Kroeber mengawali dengan mengajukan asumsi tentang kebudayaan; bahwa di satu sisi, kebudayaan menempati posisi keutamaan ketika dipahami dalam satuan faktor-faktor budaya, tetapi pada sisi yang lain; kebudayaan ternyata tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa referensi non-cultural yang dalam hal ini disebut dengan Lingkungan, yang memiliki relasi besar terhadap kondisi dimaksud. Kroeber kemudian mencoba membuktikan asumsinya melalui ilustrasi fenomena sosial-budaya dengan setting enam negara bagian Amerika, dan 12

dengan aktivitas pertanian (khususnya jagung) sebagai basis tinjauan atas praktik kebudayaan. Enam negara bagian dari Amerika Serikat yang merentang selaksa peregangan sabuk (dari Ohio ke Nebraska), merupakan daerah produksi tamanan jagung yang dapat memasok hampir separuh dari jumlah kebutuhan dunia akan jagung. Rentangan ini juga merupakan wilayah yang didiami oleh orang-orang Indian (American native people), yang juga menggemari tanaman jagung sebagai salah satu sumber daya pangan. Kroeber menyatakan bahwa telah terjadi perubahan (pasang-surut) dalam hasil produksi pertanian tanaman jagung di rentangan wilayah tersebut. Akan tetapi, menurut Kroeber ini bukan hanya pada persoalan tanaman maupun sesuatu yang fundamental dalam metode peningkatannya. Ini merupakan faktor ekstrinsik untuk budidaya itu sendiri yang telah mengubah wilayah pertumbuhan jagung berskala rendah, menjadi salah satu spesialisasi yang sukses. Faktorfaktor itu adalah: kebudayaan, hewan domestik, kebutuhan ekonomi dan fasilitas distribusi, metode transportasi, serta mesin-mesin maupun perlengkapan yang seringkali tidak terbukti. Di sini Kroeber menekankan pada kita, bahwa lingkungan (alam) juga mengingatkan hal yang sama sebagaimana pandangan maupun tanggapan kita terhadap kebudayaan tersebut. Kegiatan pertanian jagung, perilaku ekonomi dan praktik subsistensi lainnya, yang cenderung mengacu pada aktivitas budaya; menurut Kroeber sangat jelas terkondisikan oleh faktor alam, seperti iklim, tanah, dan drainase. Suatu musim dengan cuaca dingin (permukaan hamparan diselimuti es) harus menghangat dan berlangsung cukup lama, kemudian curah hujan juga harus mencukupi, dan berbagai hal terkait selanjutnya. Bilamana kondisi ini tidak terpenuhi, maka keterbatasan pertumbuhan tanaman jagung akan terjadi. Ketidakmampuan seperti ini cenderung berpeluang untuk mempengaruhi seluruh kebudayaan menjadi tidak dapat melakukan aktivitas bertani. Akan tetapi, tentu saja akan ada perbedaan yang terjadi sesuai situasi di suatu lokasi. Hal ini diungkap oleh Kroeber dengan wilayah California (di timur) dan Kanada (di utara) sebagai ilustrasi pembanding. Di kawasan Teluk California, bentangan alam sangat mendukung dalam menyediakan sumber daya pangan, sehingga dapat menyebabkan populasi penduduk dengan wilayah non-pertanian menjadi lebih padat. Kroeber meyakini bahwa budaya lokal dengan kondisi alam semacam ini akan mampu berkembang dengan berbagai tingkat kekuatan dan dengan kemerdekaan, dan tentu saja dengan tetap berada di sekitar lokus (alam dan budaya) tersebut. Sementara itu di utara, tidak ada pasokan pangan (alam) yang sebanding, dan diketahui bahwa jumlah populasi pemburu juga tergolong kecil. Hal ini kemudian menempatkan mereka pada posisi ketergantungan, keterbudayaan, dan pada populasi pertanian yang berdekatan. Pada nada yang sama, medium kebudayaan menjadi tercairkan oleh kemunginan aktivitas subsistensi terkecil, yakni banyaknya unsur/elemen dari budaya pertanian yang gagal untuk mendapatkan atau menghasilkan tumpuan maupun pijakan ke wilayah timur. Dengan ilustrasi singkat tersebut, Kroeber berusaha meyakinkan kita bagaimana faktor lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan kebudayaan. Ia kemudian mengatakan bahwa hal itu telah menunjukkan adanya kesepakatan antara area (budaya dan alam) sebagai suatu satuan ruang.

13

Vegetasi Alam Pada bagian ini, Kroeber mengajak kita untuk memahami bagaimana keterkaitan antara tegakan vegetasi alam dengan kebudayaan suatu kelompok komunitas. Hal itu ia coba paparkan dalam beberapa ilustrasi berikut: Jumlah kebudayaan di wilayah pesisir Northwest hampir sama sempurnanya dengan Hutan di Northwest. Di Southwest, sejarah garis pembelahan utama antara budaya Pueblo dan Sonora-Gila-Yuma, erat disejajarkan dengan pembagian wilayah di Southwest menjadi semi-gurun dan gurun-total. Afiliasi drainase Sungai Ular yang bukan dengan Columbia melainkan dengan Great Basin, sangat kuat dalam mempengaruhi pembentukan tanaman penutup, logat bicara, dan tentu saja terhadap bentuk budaya. Daerah tropis di Florida selatan, berkaitan dengan varian dari budaya lokal yang umum di Southeastern.

Iklim Iklim dianggap sebagai suatu hal yang bersifat insiden daripada sistematis sebagai pertimbangan pemikiran dalam tulisan Kroeber, dan tentu saja bukan suatu hal yang mudah untuk menyepakati pemikiran semacam ini. Sebagian besar karena komposisinya; suhu udara, curah hujan, rezim musim, dan faktor alam (minor) lainnya kesemuanya merupakan varian dengan berbagai pengaruhnya. Karakter suhu udara mungkin sama di dua daerah, namun hujan menyebabkan mereka sangat bervariasi sebagai habitat budaya, atau sebaliknya. Suatu klasifikasi iklim juga bertanggung jawab atas pembentukan suatu kebudayaan, dan Kroeber mencoba menjelaskan pemikirannya itu melalui monografi oleh Russell. Dari monografi itu, Kroeber memproduksi kembali dua peta dalam bentuk yang lebih disederhanakan. Peta 1, menunjukkan karakter iklim kering di Amerika Serikat yang diklasifikasikan menjadi iklim dingin dan panas di daerah padang rumput (steppe/S); kemudian iklim dingin dan panas (juga terik) di daerah gurun (desert/W). Peta ini mencoba menunjukkan bagaimana hubungan antara geografi dan kebudayaan, distribusi, dan juga keterhubungan dari beberapa area, sebagai berikut: Batas barat padang rumput dan gurun berhadapan dengan iklim lembab (humid) berada di bawah sebelah timur dari dinding Cascades-Sierra di Nevada. Lembah (valley) San Joaquin merupakan lahan kering atau tanah gersang yang di tengahnya merupakan gurun/padang pasir. Di wilayah pesisir, iklim ker ing diawali dari perantaraan Santa Barbara dan Los Angeles, berlanjut menuju ke Selatan. Maka, tidak hanya semua wilayah pesisir di Northwest-Amerika Serikat, tapi ternyata sebagian besar dari kebudayaan di California berkarakter lembab (humid); sedangkan selatan-California cenderung beraneka ragam, baik lembab maupun kering. Orang Achomawi dan Washo masih hidup terutama di daerah yang beriklim lembab. Di timur, batas wilayah padang rumput-lembab kerap mengikuti ratusan meridian. Sebagian besar dataran (plains; suatu bentangan daerah yang dibedakan dengan prairie; rumput yang luas sekali dan cenderung tanpa pohon) itu terletak di padang rumput (stepa). Batas iklim yang diberikan dapat dianggap tidak terlalu jauh dari batas timur dari rentang yang lama, budaya prehorse bersandar pada habitat Rocky Mountain dengan serangan musiman ke dataran. 14

Sejarah dan prasejarah budaya Pueblo terletak di padang rumput/steppe. Wilayah garapan orang-orang Pueblo pada gurun/padang pasir yang panas adalah di daerah paling bawah Rio Grande, Chihuahua, Hulu dan Gila (middle), dan bagian (phases) Selatan-Nevada, semuanya cenderung merupakan orang pemondok sementara; Gurun dingin juga meluas hingga ke San Juan yang memanjang seperti sebuah lengan. Orang-orang purbakala non-Pueblo yang menggemari penggunaan benda-benda budaya berkesan/berwarna merah (red-on-buff) berpusat di Gua dan berbaring sepenuhnya di wilayah padang gurun; sebagaimana sejarah budaya Colorado dalam jumlah kecil, yang berada di padang pasir terik. Wilayah budaya Great Basin sebagian besar terletak di padang rumput dan hampir semua di lahan kering/ tanah gersang yang beriklim dingin/sejuk. Di Nevada, iklim gurun berlaku, tapi rusak oleh hampir selusin rentangan paralel yang menyebabkannya meningkat menjadi iklim stepa. Garis batas yang memisahkan iklim dingin dari iklim panas yang kering, diperkirakan memisahkan suku-suku Plains utara dari suku-suku Plains selatan. Hal ini juga memisahkan wilayah yang diduduki oleh Pueblos keduanya baik di awal dan akhir dari wilayah tersebut hingga ke selatan, yang dimiliki oleh mereka hanya untuk sementara waktu (satu kali saja). Tapi hal ini kelihatannya tidak sesuai dengan signifikansi etnis atau budaya utama (menonjol) di Nevada dan California. Peta kedua Russell menunjukkan variasi curah hujan musiman di wilayah barat-Amerika Serikat. Pada peta kedua, Kroeber telah memadatkannya (meringkas) menjadi tiga peta. Jenis pertama (wilayah barat) disesuaikan dengan tipenya Russell S dan SF (musim panas yang kering, dan musim dingin yang basah), dengan curah hujan dalam dua bulan musim dingin terbasah berbanding 2:1 atau lebih, dan dibandingkan dengan dua bulan musim panas paling basah. Kedua (area timur) disesuaikan dengan tipenya Russell W, WF, FW, fw (musim dingin yang kering), dengan curah hujan pada bulan-bulan yang sama memiliki perbandingan 4:7 atau lebih kecil; dan yang Ketiga (area tengah) dengan tipenya Russell SF, sf, f, dengan rasio musim dingin-musim panas di bulan yang sama dengan perbandingan antara 2:1 dan 4:7, atau dianggap cukup berimbang. Untuk pemahaman yang lebih tepat atas skema ini, Kroeber tetap mengingatkan kita agar merujuk pada teks asli selengkapnya. Apakah peta ini dapat menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Pueblo yang kuno/purbakala dan modern, keberadaannya benar dalam suatu wilayah tertentu dengan kelebihan hujan musim panas. Seperti itu ataupun tidak, letaknya kemungkinan tidak jauh dari batas wilayah, yang kemudian termasuk dalam rezim Russell berikutnya, "f," untuk yang mana masih ada kelebihan musim panas, meskipun yang terendah berbanding sekitar 6:5 (batas barat ditunjukkan oleh garis putus-putus pada peta 2; Dimana curah hujan (deras/kabut putih) jelas berlebih, tetapi disana tidak ada kegiatan pertanian orang lokal/asli (native) sama sekali, kecuali di sepanjang daratan yang diairi melalui pengairan sendiri berupa potongan/bidang kecil (patch) di bagian bawah/dataran rendah Colorado. Setelah membahas keterkaitan antara klasifikasi iklim maupun distribusi musim dan wilayah persebaran kelompok-kelompok budaya melalui peta 1 dan 2, selanjutnya kita akan mencoba memahami deskripsi peta 3 terkait dengan musim pertumbuhan tanaman jagung, dan kebudayaan Pueblo sebagai acuan pemahaman. 15

Dikatakan bahwa ketergantungan pertumbuhan tanaman jagung dalam Kebudayaan Pueblo tetap terbatas pada suatu daerah dengan curah hujan yang cukup selama musim pertumbuhan tanaman; yang dalam iklim kering berarti akan kelebihan hujan musim panas. Ke arah selatan, suatu batas budaya seperti ini mungkin ditetapkan oleh kegersangan, yang mencapai suatu titik di mana bahkan konsentrasi musim panas yang cukup tinggi tidak lagi mencukupi. Ke arah utara, batas itu jelas ditetapkan oleh musim dingin, hal ini seringkali menyebabkan penutupan-penutupan permukaan oleh embun beku (pembekuan) yang cukup fatal terhadap pembibitan dan juga aktivitas memanen jagung. Selanjutnya, Kroeber menduga native California gagal menjadi masyarakat pertanian disebabkan karakter musim panas kering di wilayah mereka, yang sejauh ini masih berkenaan dengan tanaman jagung tidak ada jumlah curah hujan musim dingin yang bisa mengimbangi kerugian/kegagalan tersebut. Umumnya/sebagian besar wilayah bagian timur di Amerika Serikat, cold winters dan curah hujan di musim dingin tidaklah menjadi suatu permasalahan besar, karena rendahnya elevasi (penaikan suhu) mengizinkan summer menjadi cukup panas dan berlangsung dengan waktu yang cukup lama pula. Dengan amat memungkinkan dan juga secara relatif, terdapat curah hujan yang cukup untuk turunnya hujan di musim panas, sehingga tanaman jagung dapat berkembang dengan baik. Jelas sekali, kalau kondisi ini juga menentukan distribusi jagung tahap modern, di mana California hari ini bukanlah negara khusus/utama sebagai penanam jagung. Seperti musim panas yang menyinari gurun di selatan New MexicoArizona, dan musim panas-kering pada iklim stepa yang panas di selatan California; Budaya Pueblo ternyata mampu dan telah merekat untuk membangun pondasi tanaman jagung, dan tetap bertahan meskipun sebelumnya berada pada situasi dan kondisi yang rawan/genting, tetapi tetap saja tidak mampu meskipun menjadi mapan/kokoh di tahun-tahun selanjutnya/nantinya. Hal ini terkait dengan kondisi banjir/luapan air alam lokal yang tidak dapat diprediksi, kecuali memiliki teknik khusus dalam pembuatan irigasi dengan skala pengukuran-yang layak atau tepat. Kebudayaan memang memiliki kekuatan dan juga kuasa untuk menjaga eksistensinya dengan segala keagungan maupun berbagai kecaman dalam perjalanannya mengiringi kehidupan manusia. Kita adalah diri, dan budaya adalah bayangan. Tetapi sebaiknya kita tidak lupa, bahwa lingkungan (alam) juga mengingatkan hal yang sama selaksa budaya, bahwa kebudayaan tidak sepenuhnya dapat dimengerti tanpa tumpuan referensi non-cultural, sebagai ruang di mana manusia dan budaya saling berkelindan. Lajur pemikiran inilah yang menjadi poin penting dalam sederet cerita (sains) oleh Alfred L. Kroeber, sebagaimana telah kita telusuri sejak awal. Sebagian dari kita boleh saja memandang asing atau klasik atas pemikiran Kroeber yang dekat dengan aliran pandangan environmental determinism, karena hadir pada abad 17 di belahan bumi eropa oleh para ahli ilmu alam, khususnya oleh orang-orang Yunani (klasik). Meskipun gagasannya tentang pendiktean (mekanisme) lingkungan (alam) terhadap suatu kebudayaan telah mengundang banyak kritikan, bahkan banyak yang menyatakan bahwa aliran pemikiran ini telah berakhir, ternyata dalam dekade ini, aliran pemikiran ini telah menemukan jalannya untuk hidup kembali. Bagaimana mungkin? Tentu saja, kenapa tidak. Mari kita palingkan sejenak ingatan kita pada beberapa peritiwa dalam kurun waktu terakhir, yakni tentang berbagai peristiwa pergerakan alam yang sering kita dengungkan sebagai peristiwa bencana alam. Mulai dari gempa tektonik berkekuatan 9,0 16

skala Richter di wilayah Propinsi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) yang diikuti dengan gelombang tsunami begitu besar, sehingga menyebabkan wilayah ini menjadi luluh lantak dan menyisakan deretan cerita lalu tentang negeri manusia dengan kebudayaannya yang agung, yang selama ini merasa telah menundukkan alam dan seakan-akan telah menaklukkannya dengan berbagai cara sampai dengan kisah bunda nestapa di ranah (tanah) minang yang diguncang oleh gempa tektonik berkekuatan 7,6 Skala Richter (BMG Indonesia) atau 7,9 Skala Richter (BMG Amerika). Peristiwa bencana alam ini juga meninggalkan berbagai kisah yang seakan-akan meruntuhkan suatu fase peradaban manusi. Tentu saja bukan suatu hal terlarang untuk menganggap pemikiran tentang kebangkitan environmental determinism seperti dipaksakan. Akan tetapi, sepertinya bukan suatu hal yang salah juga jika beranggapan bahwa environmental determinism telah menemukan jalannya untuk hidup atau bangkit kembali, meskipun dengan wajah baru, dengan senyum dan bisikan-bisikan argumentasi konstruksi pemikiran, untuk mendengungkan suara-suara environmental determinism kekinian (Neo-environmentalism).

17

DAFTAR PUSTAKA Wikipedia.2011.Environmentaldeterminism. http://en.wikipedia.org/wiki/Environmental_determinism.Diakses tanggal 13 Mei 2011 Hendriprima.2010.Pengaruh lingkungan terhadap pribadi. Http://hendriprima.blogspot.com/2010/12/pengaruhlingkungan-terhadappribadi.html.diakses pada tannggal 12 mei 2011 Wapedia.2011.Lingkungan. http://wapedia.mobi/id/Lingkungan. Diakses pada tanggal aniendriani.2011.teoriteori yang mempengaruhi, Http://aniendriani.blogspot.com/2011/02/teoriteori-yang-mempengaruhi.html.Diakses pada tanggal 13 Mei 2011 Baehaqiarif.2009.geografi.http://baehaqiarif.files.wordpress.com/2009/12/geograf i.pdf.diakses pada tanggal 13 Maret 2011 Wikipedia.tahun.determinismelingkungan. http://id.wikipedia.org/wiki/Determinisme_lingkunganhttp://www.scribd.co m/doc/6330078/Manusia-Dan-Lingkungan-Hidup. Diakses pada Tanggal Ahimsa-Putra, H.S. 1994 Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan Perkembangannya. Masyarakat Indonesia - Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Thn. XX (4): 1-50. Jakarta: LIPI.

pada

18

You might also like