You are on page 1of 2

Aktivis atau Akademisi? (By: Muhammad Syahriza, S.Ked) .

Ibnu Fulan: Maaf ayah,semester ini ananda tidak mendapat IP bagus Fulan: berapa IP mu nak? Ibnu Fulan: cuma 2,5 ayah. Fulan: kok rendah sekali?kamu gka belajar ya, ini pasti karena kamu sibuk organisasi aja, makanya kuliah kamu keteteran. ya sudah mulai semester depan ini, kamu gak usah masuk organisasi lagi! Kondisi di atas merupakan realita yang tidak jarang kita jumpai dikalangan mahasiswa. Semua kita pernah mencicipi indahnya bangku perkuliahan dengan berbagai bumbu yang selalu menjadi pelengkap kehidupan seorang mahasiswa. Tidak jarang benturan-benturan akan kita hadapi selama perkuliahan, baik itu benturan ringan atau bahkan kondisi yang dapat mengancam status kemahasiswaan kita. Kebanyakan masyarakat umum masih melihat kesuksesan seorang mahasiswa ketika ia mendapatkan indeks prestasi yang sangat memuaskan tanpa memperdulikan track record dari mahasiswa tersebut. Sehingga akan lahir mahasiswa-mahasiswa yang berjulukan marupus alias mahasiswa-rumah-kampus. Ia tidak menghiraukan kegiatan lain, karena takut akan membuatnya sulit meraih nilai yang cumlaude. secara tidak langsung mereka sudah mengalihakan fungsi dan peran yang sebenarnya dimilki oleh seorang mahasiswa yaitu fungsi agent of change dan social control. Berbicara tentang mahasiswa, berarti kita sedang berbicara tentang miniatur masyarakat secara umum. Konsep kemasyarakatan yang dijalankan oleh seorang mahasiswa tidak jauh berbeda dengan konsep masyarakat pada umumnya. Status mahasiswa merupakan predikat yang diberikan kepada sosok intelektual muda yang sedang mencari format-format kehidupan yang nantinya akan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Regenerasi kepemimpinan merupakan hal yang mutlak terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. pertanyaannya sekarang, bagaimana mencetak seorang pemimpin yang nilai sosialnya sangat kurang? atau pemimpin yang hanya memilki kemampuan interaksi dengan buku-buku atau jurnal-jurnal? tentunya akan sulit mencari jawabannya. Contoh kecil, kehidupan mahasiswa yang berkuliah di Fakultas Kedokteran, mereka kelak akan menjadi seorang dokter. Nah, Dokter adalah seseorang yang memilki kesempatan besar untuk berinteraksi dengan masyarakat (pasien). Keterampilan komunikasi, interaksi sosial merupakan hal pendukung utama yang harus dimilki oleh seorang dokter. Sedangkan keterampilan itu tidak kita bawa dari lahir, melainkan ia akan terasah dengan adanya latihan-latihan. Sehingga ketika terjun ke dalam masyarakat tidak canggung dalam hal interaksi sosial.

Fenomena lain yang juga kita dapatkan adalah seorang mahasiswa yang berjulukan marudipus alias mahasiswa-rumah-di-kampus. Sosok yang seperti ini adalah mahasiswamahasiswa yang kerjaannya hanya organisatoris, tanpa menghiraukan target utama yang harus di dapatkan. mereka terlena dengan kenikmatan berorganisasi dan mengesampingkan perkuliahan. sehingga generasi ini juga akan menjadikan suatu potret masyarakat yang cenderung mengandalkan retorika dan pembenaran dalam setiap tindakannya. Melihat dua fenomena tersebut, kita bisa menarik titik temu di antara persoalan yang sering dihadapi oleh seorang mahasiswa yaitu dilema antara memilih menjadi seorang aktivis atau seorang akademisi. Aktivis saja yang hanya mampu melahirkan komunitas retoris dan tindakan berdasarkan logika ataupun akademisi yang hanya mampu melahirkan masyarakat yang mengalami distorsi pemahaman interaksi sosial. Kalau kita melihat lebih jauh, ternyata dua poin tersebut bukanlah suatu pilihan yang hanya boleh memilih salah satu dari keduanya. Akan tetapi, dua hal tersebut merupakan proses yang harus jalan bersamaan dengan tumbuh kembangnya tingkat kedewasaan dari seorang mahasiswa. Ia bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi untuk menghasilkan suatu benda yang mempunyai nilai jual. Selain itu, Islam juga mengajarkan hal yang sama dalam melihat sisi-sisi kehidupan umatnya di dunia. Islam selalu datang dengan konsep tawazun (keseimbangan) antara satu dengan lainnya. Ketika manusia menerapkan prinsip keseimbangan dalam segala aktivitas mereka, maka keberhasilan dan kesuksesan bukanlah suatu hal yang sulit untuk didapatkan dalam hidup ini. Tongkat estafet kebangkitan umat dan agama berada di tangan orang-orang yang mampu menerapkan konsep keseimbangan dalam hidup mereka. Kekuatan suatu generasi merupakan tolak ukur bagi kemajuan generasi tesebut. Kemajuan generasi akan menentukan arah suatu peradaban, karena peradaban merupakan produk dari suatu generasi. Sehingga menjadi tanggung jawab kita semua untuk menjadikan konsep tawazun sebagai konsep hidup agar lahirnya generasi yang kuat dan peradaban yang maju.

You might also like