You are on page 1of 17

ANTIHIPERTENSI 1.

Pendahuluan Hipertensi atau Darah Tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal atau kronis (dalam waktu yang lama). Hipertensi merupakan kelainan yang sulit diketahui oleh tubuh kita sendiri. Satu-satunya cara untuk mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah kita secara teratur. Diketahui 9 dari 10 orang yang menderita hipertensi tidak dapat diidentifikasi penyebab penyakitnya. Itulah sebabnya hipertensi dijuluki pembunuh diam-diam atau silent killer. Seseorang baru merasakan dampak gawatnya hipertensi ketika telah terjadi komplikasi. Jadi baru disadari ketika telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung, koroner, fungsi ginjal, gangguan fungsi kognitif atau stroke. Hipertensi pada dasarnya mengurangi harapan hidup para penderitanya. Hipertensi selain mengakibatkan angka kematian yang tinggi (high case fatality rate) juga berdampak kepada mahalnya pengobatan dan perawatan yang harus ditanggung para penderita. Perlu pula diingat hipertensi berdampak pula bagi penurunan kualitas hidup. Hipertensi sebenarnya dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Jika salah satu orang tua terkena hipertensi, maka kecenderungan anak untuk menderita hipertensi adalah lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki orang tua penderita hipertensi. Jika sudah terkena penyakit jantung dan tekanan darah tinggi, maka kita harus waspada terhadap gejala-gejala penyakit stroke. Gejala penyakit stroke diantaranya adalah migrain-migrain, kepala sering pusing, leher kaku-kaku, pundak terasa pegal, punggung linulinu, tangan sering kesemutan, apalagi sampai kolesterol tinggi, asam urat hingga terjadi pembengkakan. Semua berawal dari keadaan darah yang tinggi, pengentalan darah dan penyumbatan pembuluh darah. Apabila terjadi penyumbatan pada pembuluh darah di otak, maka terjadilah stroke. Jika penyumbatan terjadi di pembuluh darah arteri kiri/kanan di leher (middle cerebral artery), maka pasien akan mengalami stroke berat sampai lumpuh sebagian/seluruh tubuhnya. 2. Diagnosis Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastoliknya melebihi 140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg). Sistolik adalah tekanan darah pada saat jantung memompa darah ke dalam pembuluh nadi (saat jantung mengkerut). Diastolik adalah tekanan darah pada saat jantung mengembang dan menyedot darah kembali (pembuluh nadi mengempis kosong). Sebetulnya batas antara tekanan darah normal dan tekanan darah tinggi tidaklah jelas, sehingga klasifikasi Hipertensi dibuat berdasarkan tingkat tingginya tekanan darah yang mengakibatkan peningkatan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Menurut WHO, di dalam guidelines terakhir tahun 1999, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHG dinyatakan sebagai hipertensi; dan diantara nilai tsb disebut sebagai normal-tinggi, batasan tersebut diperuntukkan bagi individu dewasa diatas 18 tahun. 3. Gejala Gejala yang sering dikeluhkan adalah nyeri kepala, biasanya hanya pada hipertensi berat, kebanyakan terlokalisir di daerah oksipital dan hanya muncul pada saat bangun di pagi hari, dan akan hilang spontan setelah beberapa jam. Keluhan lain yang berhubungan dengan
Page | 1

peningkatan tekanan darah antara lain: pusing, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal, palpitasi, cepat lemas dan impotensi. Keluhan lain yang menunjukkan penyakit vaskular termasuk di antaranya adalah epistaksis, hematuri, penglihatan kabur. Dampak lain yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi adalah kerusakan ginjal, pendarahan pada selaput bening (retina mata), pecahnya pembuluh darah di otak, serta kelumpuhan. 4. Komplikasi Kebanyakan pasien hipertensi meninggal akibat penyakit jantung, stroke dan/atau gagal ginjal, selain itu juga dapat ditemukan komplikasi retinopati. Komplikasi yang sering dijumpai adalah komplikasi pada mata, epistaksis, saraf (sefalgi), jantung (payah jantung), ginjal, metabolik (hiperlipidemia), serta kombinasi. Gagal jantung dan gangguan penglihatan banyak dijumpai pada hipertensi berat atau hipertensi maligna yang umumnya juga disertai oleh gangguan fungsi ginjal sampai gagal ginjal. Pada hipertensi ringan dan sedang komplikasi yang terjadi adalah pada mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai kebutaan. a. Komplikasi jantung Jantung mengalami peningkatan kerja akibat peningkatan tekanan darah sistemik mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri. Kemudian katup akan mengalami kemunduran fungsi, dilatasi kavitas, sehingga gejala dan tanda gagal jantung akan muncul. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat di samping kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi pendarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroanerisma. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemi otak sementara (transient ischemic attack). b. Komplikasi neurologi Dibagi menjadi retinal dan sistem saraf pusat. Disfungsi sistem saraf pusat sering muncul pada pasien hipertensi, sakit kepala oksipital pada pagi hari, pusing, vertigo, tinitus disebabkan oleh pembuluh darah yang macet, perdarahan dan encephalopati. Selain itu hipertensi merupakan faktor risiko utama gangguan peredaran darah otak (stroke). c. Komplikasi ginjal Yang sering terjadi adalah penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) dan disfungsi tubular, proteinuri dan hematuri mikroskopik (10%). Kematian pada hipertensi dapat berasal dari gagal ginjal. Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama dan pada proses akut seperti pada hipertensi maligna. Pada hipertensi maligna yang berkomplikasi ke retina, terjadi kerusakan sel endothelial yang akan menimbulkan obiterasi atau robeknya retina. Hal ini dapat diperiksa melalui funduskopi. Gangguan ginjal dapat berupa nekrosis fibrinoid pembuluh aferen dan penebalan intima pada arteri interlobularis yang dapat menimbulkan nekrosis kapiler glomerulus. Usaha penurunan tekanan darah yang cepat pada hipertensi maligna, dapat menurunkan perfusi ginjal sehingga akan terjadi gangguan fungsi ginjal. 5. Penyebab

Page | 2

a. Berdasarkan penyebabnya, Hipertensi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu : 1. Hipertensi esensial atau primer Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini masih belum dapat diketahui. Namun, berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan hereditas (keturunan). Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong Hipertensi primer sedangkan 10% nya tergolong hipertensi sekunder. 2. Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, antara lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme), dan lain lain. Karena golongan terbesar dari penderita hipertensi adalah hipertensia esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih banyak ditujukan ke penderita hipertensi esensial. b. Berdasarkan faktor akibat Hipertensi terjadi peningkatan tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara: 1. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. 2. Terjadi penebalan dan kekakuan pada dinding arteri akibat usia lanjut. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. 3. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat. c. Berdasarkan faktor pemicu Hipertensi dibedakan atas yang tidak dapat dikontrol seperti umur, jenis kelamin, dan keturunan. Pada 70-80% kasus Hipertensi primer, didapatkan riwayat hipertensi di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan Hipertensi primer lebih besar. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur), apabila salah satunya menderita Hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran didalam terjadinya Hipertensi. Sedangkan yang dapat dikontrol seperti kegemukan/obesitas, stress, kurang olahraga, merokok, serta konsumsi alkohol dan garam. Faktor lingkungan ini juga berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi esensial. Hubungan antara stress dengan Hipertensi, diduga melalui aktivasi saraf simpatis. Saraf simpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas, saraf parasimpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita tidak beraktivitas.

Page | 3

Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat meningkatkan tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Apabila stress berkepanjangan, dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti, akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota. Berdasarkan penyelidikan, kegemukan merupakan ciri khas dari populasi hipertensi dan dibuktikan bahwa faktor ini mempunyai kaitan yang erat dengan terjadinya hipertensi dikemudian hari. Walaupun belum dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi esensial, tetapi penyelidikan membuktikan bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingan dengan penderita yang mempunyai berat badan normal. 6. Pencegahan Hipertensi dapat dicegah dengan pengaturan pola makan yang baik dan aktivitas fisik yang cukup. Hindari kebiasaan lainnya seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol diduga berpengaruh dalam meningkatkan resiko Hipertensi walaupun mekanisme timbulnya belum diketahui pasti. 7. Pengobatan Olah raga lebih banyak dihubungkan dengan pengobatan hipertensi, karena olah raga isotonik (spt bersepeda, jogging, aerobic) yang teratur dapat memperlancar peredaran darah sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga juga dapat digunakan untuk mengurangi/ mencegah obesitas dan mengurangi asupan garam ke dalam tubuh (tubuh yang berkeringat akan mengeluarkan garam lewat kulit). Pengobatan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis yaitu: a. Pengobatan non obat (non farmakologis) Pengobatan non farmakologis kadang-kadang dapat mengontrol tekanan darah sehingga pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan atau sekurang-kurangnya ditunda. Sedangkan pada keadaan dimana obat anti hipertensi diperlukan, pengobatan non farmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan efek pengobatan yang lebih baik. Pengobatan non farmakologis diantaranya adalah : 1. Diet rendah garam/kolesterol/lemak jenuh 2. Mengurangi asupan garam ke dalam tubuh. Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dilaksanakan. Cara pengobatan ini hendaknya tidak dipakai sebagai pengobatan tunggal, tetapi lebih baik digunakan sebagai pelengkap pada pengobatan farmakologis. 3. Ciptakan keadaan rileks. Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol sistem saraf yang akhirnya dapat menurunkan tekanan darah.

Page | 4

4. Melakukan olah raga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak 3-4 kali seminggu. 5. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol b. Pengobatan dengan obat-obatan (farmakologis) Ada tiga pendekatan utama dalam terapi antihipertensi yaitu : menurunkan curah jantung, menurunkan volume darah dan menurunkan resistensi perifer. Terdapat banyak jenis obat antihipertensi yang beredar saat ini, yaitu : 1. Diuretik Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (lewat kencing) sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat impuls kalsium. Hal ini terlihat jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang mulai menunjukan efek hipotensi pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah jantung akan kembali ke normal, namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan resistensi perifer. Penelitianpenelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskuler diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan maupun sedang. a. Golongan Tiazid Golongan obat ini bekerja dengan menghambat transfort bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga eksresi Na+ dan Cl- meningkat. Ada beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain Hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortaridon). Hidroklorotiazid (HCT), merupakan prototipe golongan tiazid dan dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan maupun sedang dan dalam kombinasi dengan berbagai antihipertensi lain. dalam dosis yang ekuipoten berbagai golongan tiazid mempunyai efek dan efek samping sama. Perbedaan utama terletak pada masa kerjanya. Bendroflumetiazid memiliki waktu paruh 3 jam, Hidroklorotiazid 10-12 jam dan indapamid 15-25 jam. Golongan tiazid umumnya kurang efektif pada gangguan fungsi ginjal, dapat memperburuk fungsi ginjal dan pada pemakaian lama menyebabkan hiperlipidemia (peningkatan kolesterol, LDL dan trigliserida). Efek hipotensif tiazid baru terlihat setelah 2-3 hari dan mencapai maksimum setelah 2-4 minggu. Karena itu, peningkatan dosis tiazid harus dilakukan dengan interval waktu tidak kurang dari 4 minggu. Indapamid memiliki kelebihan karena masih efektif pada pasien gangguan fungsi ginjal, bersifat netral pada metabolisme lemakdan efektif meregresi hipertrofi ventrikel. Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan efektivitas diuretik dan antihipertensinya. Untuk pasien ini dianjurkan penggunaan diuretik kuat. Tiazid terutama efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah, misalnya pada orang tua. Pada kebanyakan pasien, efek antihipertensi mulai terlihat dengan dosis HCT 12,5 mg/hari. Bila digunakan
Page | 5

sebagai menoterapi, dosis maksimal sebaiknya tidak melebihi 25 mg HCT atau klortalidon per hari, karena peningkatan dosis selanjutnya akan meningkatkan efek samping lainnya tanpa meningkatkan efek antihipertensi yang nyata. Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan dan sedang, atau dalam kombinasi dengan antihipertensi lain bila tekanan darah tidak berhasil diturunkan dengan diuretik saja. Tiazid jarang menyebabkan hipotensi ortostatik dan ditoleransi dengan baik, harganya murah, dapat diberikan 1 kali sehari dan efek antihipertensinya bertahan pada pemakaian jangka penjang. Tiazid seringkali dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga dosis ini dapat dikurangi, tiazid mencegah retensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek obat-obatan tersebut dapat bertahan. Efek antihipertensi tiazid mengalami antagonisme oleh antiinflamasi non steroid (AINS), terutama indometasin karena AINS menghambat sintesis prostaglandin yang berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal dan transfort air dan garam. Akibatnya terjadi retensi natrium dan air yang akan mengurangi efek samping semua obat antihipertensi. Efek samping tiazid terutama dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis. Efek samping ini dapat dihindari bila tiazid diberikan dalam dosis rendah atau dikombinasi dengan obat lain seperti diuretik hemat kalium, atau penghambat enzim konversi angiotensin (ACE-inhibitor).sedangkan suplemen kalium tidak lebih efektif. Tiazid juga dapat menyebabkan hiponatremia dan hipomagnesemia serta hiperkalsemia. Selain itu, tiazid dapat menghambat eksresi asam urat dari ginjal, dan pada pasien hiperurisemia dapat mencetuskan serangan gout akut. Untuk menghindari efek metabolik ini, tiazid harus digunakan dalam dosis rendah dan dilakukan pengaturan diet. Tendensi hiperkalsemia oleh tiazid dilaporkan dapat mengurangi risiko osteoporosis. Tiazid dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dan trigliserida, tetapi kemaknaanya dalam peningkatan risiko penyakit jantung koroner belum jelas. Pada penderita DM, tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia karena mengurangi sekresi insulin. Pada pasien pria, gangguan fungsi seksual merupakan efek samping tiazid yang kadang-kadang cukup mengganggu. b. Obat Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretic) Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransfort Na+, K+, Cl- dan menghambat reabsorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid, oleh karena itu diuretik kuat jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatin serum > 2,5 mg/dL) atau gagal jantung. Yang termasuk dalam golongan diuretik kuat antara lain furosemid, bumetamid dan asam etakrinat. Waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari. Efek samping diuretik kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali bahwa diuretik kuat menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah, sedangkan tiazid menimbulkan hipokalsiuria dan meningkatkan kadar kalsium darah. c. Diuretik Hemat Kalium Amilorlid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah hipokalemia. Diuretik hemat
Page | 6

kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila diberikan pada pasien dengan gagal ginjal, ARB, beta blocker, AINS atau dengan suplemen kalium. Penggunaan harus dihindarkan bila kreatininserum lebih dari 2,5 mg/dL. Spironolakton merupakan antagonis aldosteron sehingga merupakan obat yang terpilih pada hioperaldosteronisme primer (sindrom conn). Obat ini sangat berguna pada pasien dengan hiperurisemia, hipokalemia dan dengan toleransi glukosa. Berbeda dengan tiazid, spironolakton tidak mempengaruhi kadar Ca 2+ dan gula darah. Efek samping spironolakton antara lain ginekomasti, matodinia, gangguan menstruasi dan penurunan libido pada pria. Interaksi obat, efek hipokalemia dan hipomagnesia akibat tiazid dan diuretik kuat mempermudah terjadinya aritmia oleh digitalis. Pemberian kortikosteroid, agonis -2 dan amfoterisin B memperkuat efek hipokalemia diuretik. Pengunaan diuretik bersamaan dengan kuinidin dan obat lain yang dapat menyebabkan aritmia ventrikel polimorfik akan meningkatkan risiko efek samping ini. Semua diuretik mengurangi kliens litium sehingga meningkatkan risiko toksisitas litium.AINS mengurangi efek antihipertensi diuretik karena menghambat sintesis prostaglandin di ginjal. AINS, menghambat ACE dan blocker dapat meningkatkan risiko hiperkalemia bila diberikan bersama diuretik hemat kalium. 2. Penghambat Adrenergik (Betabloker) a. penghambat adrenoseptor beta (-bloker) Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian betabloker dapat diakibatkan dengan hambatan reseptor 1 antar lain : penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung, hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II, efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin. Penurunan tekanan darah oleh -bloker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh penurunan TD lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan hipotensi ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air dan garam. -bloker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner, pasien dengan aritmia supraventrikel tanpa kelainan konduksi, pada pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik, dan pada pasien yang memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik karena efek antihipertensi -bloker tidak dihambat oleh obat-obatan tersebut. -bloker lebih efektif pada pasien muda dan kurangg efektif pada pasien usia lanjut. Dari berbagai -bloker, atenolol merupakan obat yang sering dipilih. Obet ini bersifat kardioselektif dan penetrasinya ke SSP minimal, sehingga kurang menimbulkan efek samping sentral dan cukup diberikan sekali sehari. Dosis lazim adalah 50-100 mg per oral sekali sehari. Efek samping dan kontraindikadi, -bloker dapat menyebabkan bradikardi blokade AV, hambatan nodus SA dan menurunkan kontraksi miokard. Oleh karena itu, golongan obat ini
Page | 7

dikontraindiksikan pada keadaan bradikardi, blokade AV derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome dan gagal jantung yang belum stabil. Khusus pada gagal jantung, pendapat lama mengatakan bahwa -bloker merupakan kontraindikasi karena bersifat inotropik negatif. Namun pendapat baru membuktikan bahwa -bloker, terutama carvedilol dan juga bisoprolol terbukti bermanfaat dan telah direkomendasikan dalam JNC VI dan VII untuk pengobatan gagal jantung dalam kombinasi dengan ACE inhibitor. -bloker merupakan obat yang baik untuk hipertensi dengan angina stabil kronik, tapi dapat memperberat gejala angina Prizmental, sehingga pemberiannya pada pasien dengan angina harus memperlihatkan perbedaan kedua jenis angina ini. Selain itu, penghentian bloker pada pasien dengan angina tidak boleh dilakukan secara mendadak karena dapat menimbulkan kambuhnya serangan hipertensi ke tingkat yang lebih tinggi, kambuhnya angina bahkan infark miokard pada pasien angina pektoris. Bronkospasme merupakan efek samping yang penting pada pasien dengan riwayat asma bronkial atau PPOK, sehingga pemakaian -bloker termasuk yang kardioselektif merupakan kontraindikasi untuk keadaan ini. Efek sentral beruap depresi, mimpi buruk, halusinasi dapat terjadi dengan -bloker yang lipofilik seperti propanolol dan oksprenolol. Gangguan fungsi seksual sering terjadi akibat pemakaian -bloker, terutama yang tidak selektif. Pemakaian bloker pada pasien DM yang mendapat insulin atau obat hipoglikemik oral, sebaiknya dihindari. Sebab -bloker dapat menutupi gejala hipoglikemia, kondisi dimana kadar gula dalam darah turun menjadi sangat rendah yang bisa berakibat bahaya bagi penderitanya. b. penghambat adrenoseptor alfa (-bloker) Hanya -bloker yang selektif menghambat reseptor alfa 1 yang digunakan sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa 2 di ujung saraf andrenergik akan meningkatkan aktivitas simpatis. Hambatan alfa 1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama), menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian jangka panjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensi tetap bertahan. -bloker mimiliki beberapa keunggulan antara lain efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi dengan dislipidemia atau DM. -bloker sangat baik untuk pasien dengan hipertropi prostat, karena hambatan reseptor alfa 1 akan merelaksasikan otot polos prostat dan spingter uretra sehingga mengurangi retensi urin. Obat ini juga memperbaiki insufisiensi vaskular perifer, tidak mengganggu fungsi jantungg, tidak mengganggu aliran darah ginjal dan tidak berinteraksi dengan AINS. Hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian dosis awal atau pada peningkatan dosis, terutama dengan obat yang kerjanya singkat seperti prazosin. Pasien dengan deplesi cairan dan usia lanjut lebih mudah mengalami gejala ini. Gejalanya dapat berupa pusing sampai sinkop. Untuk menghindari hal ini, sebaiknya penggunaan dimulai dengan dosis kecil dan diberikan sebelum tidur. Efek samping antar lain sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung tersumbat, mual, dan lain-lain. c. Adrenolitik Sentral

Page | 8

Yang paling sering digunakan adalah metildopa dan klonidin. Guanabenz dan guanfasin sudah jarang digunakan, dan analog klonidin yaitu moksonidin dan rilmedin masih dalam penelitian. 1. Metildopa Metildopa merupakan prodrug yang dalam SSP menggantikan kedudukan DOPA dalam sintesis katekolamin dengan hasil akhir -metilnorepinefrin. Diduga efek antihipertensinya lebih disebabkan karena stimulasi reseptor -2 di sentral sehingga mengurangi sinyal simpatis ke perifer. Metildopa menurunkan resistensi vaskular tanpa banyak mempengaruhi frekuansi dan curah jantung. Tapi pada pasien usia lanjut, dilatasi vena, penurunan beban hulu dan penurunan frekuensi jantung dapat menyebabkan curah jantung menurun. Efek maksimal tercapai 6-8 jam setelah pemberian oral atau IV. Walaupun penurunan tekanan darah waktu berdiri lebih besar dibandingkan waktu berbaring, hipotensi ortostatik lebih jarang terjadi dibandingkan dengan pemberian obat yang bekerja di perifer atau di ganglion otonom. Aliran darah ginjal tidak dipengaruhi oleh metildopa. Pada pemakaian jangka panjang sering terjadi retensi air sehingga efek efek antihipertensinya makin berkurang. Metildopa merupakan obat antihipertensi tahap 2 dan efektif jika dikombinasikan dengan diuretik. Dosis efektif minimal adalah 2 x 125 mg tiap 6 jam. Efek samping yang paling sering adalah sedasi, hipotensi postural, pusing, mulut kering dan sakit kepala. Efek samping lain adalah depresi, gangguan tidur, impotensi, kecemasan, penglihatan kabur dan hidung tersumbat. Penghentian mendadak dapat menimbulkan fenomena rebound berupa peningkatan tekanan darah mendadak. Bila hal ini terjadi, metildopa harus diberikan kembali atau diberikan obat lain. 2. Klonidin Klonidin terutama bekerja pada reseptor alfa-2 di susunan saraf pusat dengan efek penurunan simpatheic outflow. Efek hipotensif klonidin terjadi karena penurunan resistensi perifer dan curah jantung. Penurunan tonus simpatik menyebabkan penurunan kontraktilitas miokard vdan frekuensi denyut jantung. Absorpsi oral berlangsung cepat dan lengkap dengan bioavaibilitas mencapai 95%. Klonidin juga dapat diberikan secara transdermal dengan kadar plasma setara dengan pemberian per oral. Sekitar 50% klonidin dieliminasi dalam bentuk utuh melalui urin. Dosisnya 0,075 mg dua kali sehari dan dapat ditingkatkan sampai 0,6 mg/hari. Klonidin digunakan sebagai obat kedua atau ketiga bila penurunan tekanan darah dengan diuretik belum optimal. Efek samping yang dapat terjadi yaitu mulut kering, sedasi, pusing, mual dan impotensi. Efek sentral berupa mimpi buruk, insomnia, cemas dan depresi. Retensi cairan dan toleransi semu terutama terjadi bila klonidin diggunakan sebagai dosis tunggal. Bradikardia, blokade sinus dan AV dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi nodus SA atau nodus AV atau yang mendapat obat yang mendepresi nodus AV. Reaksi putus obat sering terjadi pada penghentian mendadak. Ditandai dengan rasa gugup, tremor, sakit kepala, nyeri abdomen, takikardia dan berkeringat. Gejala putus obat biasanya terjadi 18-36 jam setelah dosis terakhir, terutama pada pasien yangg mendapar dosis lebih dari 0,3 mg/hari dan lebih sering lagi bila betabloker yang diberikan bersamaan juga dihentikan.

Page | 9

3. Guanfasin dan Guanabenz Sifat-sifat farmakologik dan efek sampingnya mirip dengan klonidin. Efek antihipertensi Guanabenz mencapai maksimal setelah 2-4 jam setelah pemberian per oral dan menghilang 10 jam kemudian. Bioavaibilitasnya tinggi, waktu paruh sekitar 6 jam dan sebagian besar obat ini dimetabolisme. Guanabenz mempunyai waktu paruh relatif panjang (14-18 jam). Obat ini dieliminasi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan metabolik. Dosis pemberian 0,5-3 mg/hari, sebaiknya diberikan sebelum tidur. 4. Moksonidin dan Rilmedin Obat ini mempunyai struktur yang mirip klonidin, tapi 600 kali lebih selektif terhadap reseptor imidazolin dibandingkan dengan klonidin. d. Penghambat Saraf Andrenergik 1. Reserpin Reserpin merupakan obat pertama yang diketahui dapat menghambat sistem saraf simpatis pada manusia, dan penggunaannya menandai era baru dalam pengobatan hipertensi secara efektif. Pemberiian reserpin mengakibatkan penurunan curah jantung dan resistensi perifer. Hipotensi ortostatik jarang terjadi pada dosis rendah yang dianjurkan. Frekuensi denyut jantung dan sekresi renin berkurang. Pada pemakaian jangka panjang sering terjadi retensi air dan menyebabkan pseudotoleransi, terutama bila tidak disertai dengan pemberian diuretik. Obat inin cukup diberikan sekali sehari dan harganya murah. Setelah efek antihipertensi tercapai, efektivitas kombinasi ini bertahan dan hanya sedikit perubahan walaupun pasien makan obatnya tidak teratur. Dosis harian dapat dimulai dengan 0,05 mg sekali sehari bersama diuretik dan jangan melebihi 0,25 mg/hari. Pada dosis yang dianjurkan sampai 0,25 mg/hari tidak banyak menimbulkan efek samping. Efek samping biasanya bersifat sentral seperti letargi, mimpi buruk, depresi mental. Depresi mental dapat terjadi sewaktu-waktu. Gejala depresi dapat bertahan lama setelah penghentian obat. Bila timbul tanda-tanda depresi, maka obat harus segera dihentikan. Depresi kadang-kadang berat dan menyebabkan tendensi bunuh diri sehingga pasien perlu dirawat di rumah sakit. Pada dosis tinggi dapat terjadi menimbulkan gangguan ekstrapiramidal. Pada sistem kardiovaskuler dapat terjadi bradikardi dan hipotensi ortostatik. Efek samping lain adalah kongesti nasal, hiperasiditas lambung dan eksaserbasi ulkus peptikum dan muntah. 2. Guanetidin dan Guanadrel Guanetidin bekerja pada neuron adrenergik perifer. Obat ini ditransfor secara aktif ke dalam vesikel saraf dan menggeser norepinefrin ke luar vesikel. Guanetidin menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan curah jantung dan resistensi perifer. Efek venodilator yang kuat dari obat ini disertai terhambatnya refleks kompensasi simpatis, menyebabkan seringnya terjadi hipotensi ortostatik. Obat ini juga menyebabkan diare dan kegagalan ejakulasi. Retensi cairan sering terjadi sehingga efek antihipertensinya berkurang pada pemakaian jangka panjang. Untuk mengatasinya digunakan kombinasi diuretik. Dosis lazim berkisar antara 10-50 mg sekali sehari. Obat ini tidak dapat menembus sawar adarh otak sehingga tidak menimbulkan efek samping

Page | 10

sentral. Guanadrel mempunyai mekanisme kerja, efek farmakodinamik dan efek samping mirip dengan guanetidin, tapi lebih jarang menimbulkan diare. e. Penghambat Ganglion Satu-satunya obat penghambat ganglion yang digunakan di klinik adalah trimetafan. Kerjanya cepat dan singkat dan digunakan untuk menurunkan tekanan darah dengan cepat seperti pada hipertensi darurat, menghasilkan hipotensi yang terkendali selama operasi besar. Obat ini diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-5 mg/menit. Efek hipotensi terjadi dalam 3-5 menit dan menghilang 15 menit setelah penghentian tetesan infus. Efek samping yang terjadi berkaitan dengan hambatan ganglion seperti ileus paralitik dan paralisis kandung kemih, mulut kering, penglihatan kabur dan hipotensi ortostatik. Selain itu trimetafan dapat menyebabkan pembebasan histamin dari sel mast sehingga dapat menimbulkan reaksi alergi. 3. Vasodilator Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Obat-obatan yang termasuk golongan ini adalah : a. Hidralazin Hidralazin bekerja langsung merelaksasikan otot polos arteriol denmgan mekanisme yang belum dapat dipastikan. Vasodilatasi yang terjadi menimbulkan refleks kompensasi yang kuat berupa peningkatan kekuatan dan frekuensi denyut jantung, peningkatan renin dan norepinefrin plasma. Hidralazin tidak digunakan sebagai obat tunggal karena takifilaksis akibat retensi cairan dan refleks simpatis akan mengurangi efek antihipertensinya. Obat ini biasanya digunakan sebagai obat kedua atau ketiga setelah diuretik dan betabloker. Retensi cairan dapat diatasi oleh diuretik dan refleks takikardia akan dihambat oleh betabloker. Dosis pemberian oral 25-100 mg dua kali sehari. Hidralazin diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna tapi bioavaibilitasnya relatif rendah. Hidralazin dapat menimbulkan sakit kepala, mual, flushing, hipotensi, takikardia, angina pektoris. Iskemia miokard dapat terjadi pada pasien PJK yang dapat dicegah dengan pemberian bersama betabloker. Efek samping lain adalah neuritis perifer, diskrasia darah, hepatotoksisitas dan kolangitis akut. Obat ini kontraindikasi pada hipertensi dengan PJK dan tidak dianjurkan pada pasien usia diatas 40 tahun. b. Minoksidil Obat ini bekerja dengan membuka kanal kalium sensitif ATP sehingga terjadi effluks kalium dan hiperpolarisasi membran yang diikuti oleh relaksasi otot polos pembuluh darah dan vasodilatasi. Obat ini menurunkan tekanan sistol dan diastol yang sebanding dengan tingginya tekanan darah awal. Efek hipotensinya minimal pada subjek yang normotensif. Minoksidil lebih kuat dan kerjanya lebih lama dibanding hidralazin. Efek hipotensinya diikuti oleh refleks takikardia dan peningkatan curah jantung. Curah jantung dapat meningkat 3-4 kali lipat. Minoksidil diserap dengan baik pada pemberian per oral. Minoksidil efektif untuk hiperrtensi akselerasi atau maligna dan pada pasien dengan penyakit ginjal lanjut karena obat ini meningkatkan aliran darah ginjal. Minoksidil harus diberikan bersama diuretik dan penghambat adrenergik untuk mencegah retensi cairan dan mengontrol refleks simpatis. Sediaan minoksidil berbentuk krim sering digunakan untuk
Page | 11

penyubur rambut. Dosis dapat dimulai dengan 1,25 mg satu atau dua kali sehari dan dapat ditingkatkan sampai 40 mg/hari. Tiga efek samping utama minoksidil yaitu retensi cairan dan garam, efek samping kardiovaskuler karena refleks simpatis dan hipertrikosis. Selain itu dapat terjadi toleransi glukosa dengan tendensi hiperglikemia, sakit kepala, mual, erupsi obat, rasa lelah dan nyeri tekan di dada. Retensi cairan dapat diatasi dengan pemberian diuretik. Efusi pleura dan perikardial biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat yang kemungkinan disebabkan oleh retensi cairan. Refleks simpatis berupa takikardi dan palpitasi dapat dicegah dengan pemberian betabloker. c. Diazoksid Obat ini merupakan derivat benzotiazid dengan struktur mirip tiazid, tapi tidak memiliki efek diuresis. Mekanisme kerja, efek farmakodinamik dan efek samping mirip dengan minoksidil. Walaupun diabsorpsi dengan baik melalui oral, diazoksid hanya diberikan secara intravena untuk mengatasi hipertensi darurat, hipertensi maligna, hipertensi ensefalopati, hipertensi berat pada glomerulonefritis akut dan kronik. Obat ini juga digunakan untuk mengendalikan hipertensi preeklamsia yang refrakter terhadap hidralazin. Pemberian bolus intravena akan menurunkan tekanan darah dalam waktu 3-5 menit dan berlangsung kira-kira 30 menit. Dapat juga diberikan secara infus iv dengan 1530 mg/menit. Diazoksid menghambat sekresi insulin dan menimbulkan hiperglikemia, sehingga obat ini sering digunakan untuk mengatasi hipoglikemia pada insulinoma. Hiperglikemia merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemberian diazoksid. Hal ini terjadi karena hambatan sekresi insulin dari sel-sel beta pankreas akibat stimulasi kanal kalium sensitif ATP. Respon tubuh terhadap pemberian insulin tidak dipengaruhi. Diazoksid menyebabkan relaksasi uterus sehingga dapat mengganggu proses kelahiran bila digunakan pada eklampsia. Pada penggunaan jangka panjang juga dapat terjadi hipertrikosis. Seperti minoksidil, diazoksid tidak boleh diberikan pada pasien PJK karena dapat mencetuskan iskemia miokard dan serebral. Juga tidak boleh untuk pasien dengan edema paru. Obat ini juga dikontraindikasikan untuk hipertensi dengan koarktasio aorta, shunt arterio-venosa, atau aneurisma disekans. d. Natrium Nitroprusid Natrium Nitroprusid merupakan donor NO yang bekerja dengan mengaktifkan guanilat siklase dan meningkatkan konversi GTP menjadi GMP-siklik pada otot polos pembuluh darah. Selanjutnya terjadi penurunan kalsium intrasel dengan efek akhir vasodilatasi arteriol dan venula. Denyut jantung tidak banyak berubah karena efek venodilatasi menurunkan beban hulu. Resistensi perifer juga menurun karena dilatasi arteriol, sehingga obat ini menurunkan kerja jantung sehingga berefek baik pada gagal jantung. Nitroprusid diberikan sebagai infus IV. Efek maksimal tercapai dalam 1-2 menit dan segera menghilang setelah infus dihentikan. Tekanan darah dapat diatur ke nilai berapa saja dengan mengatur kecepatan infus. Toleransi atau resistensi terhadap obat ini jarang terjadi. Nitroprusid merupakan obat yang kerjanya palinng cepat dan efektif untuk mengatasi hipertensi darurat, apapun penyebabnya. Pada pasien hipertensi dengan perdarahan serebral atau

Page | 12

subaraknoid, infus nitroprusid dapat menurunkan tekanan darah ke nilai yang diinginkan dan menaikannya kembali bila terjadi perburukan neurologis. Dosis pemberian biasanya 0,5-10 ug/kg/menit, dosis rata-rata 3 ug/kg/menit menurunkan tekanan diastolik sebesar 30-40%. Bila kecepatan infus 10 ug/kg/menit tidak menghasilkan penurunan tekanan darah yang cukup dalam 10 menit, pemberian harus dihentikan untuk menghindari toksisitas. Efek toksik akibat konversi nitroprusid menjadi sianida dan tiosianat dapat terjadi pada dosis tinggi dan efek ini dapat dicegah dengan pemberian natrium tiosulfat. Tiosulfat adalah metabolik nitroprusid yang dieksresi nke urin dengan waktu paruh 3-4 hari. Risiko keracunan tiosianat meningkat bila lama infus lebih dari 24-48 jam atau pada pasien gangguan fungsi ginjal kadar plasma tiosianat harus dimonitor dan tidak melebihi 0,1 mg/ml. 4. Penghambat Ensim Konversi Angiotensin dan Antagonis Resptor Angiotensin II a. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA) SRAA berperan dalam pengaturan tekanan darah dan volume cairan tubuh. Sistem ini tidak terlalu aktif pada individu dengan volume darah dan kadar natrium normal, tetapi sangat penting bila ada penurunan tekanan darah atau deplesi cairan atau garam. Reaksi pertama tubuh terhadap penurunan volume darah adalah peningkatan sekresi renin dari sel jusktagglomeruler di arteriol aferen ginjal. Renin adalah enzim proteolitik yang disintesis oleh sel-sel jusktagglomeruler di ginjal merupakan penentu aktivitas SRAA. Sekresinya meningkat bila terjadi penurunan aliran darah ginjal (misalnya akibat penurunan tekanan darah, stenosis arteri renalis, gagal jantung, perdarahan dan dehidrasi), hiponatremia (akibat diet rendah garam) dan rangsangan andrenergik melalui reseptor beta 1. Angiotensinogen adalah suatu alfa globulin yang disintesis dalam hati dan beredar dalam darah. Renin berfungsi mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I yang merupakan hormon yang belum aktif. Selanjutnya angiotensin I akan diubah oleh angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang memiliki efek vasiokontriksi yang sangat kuat dan merangsang sekresi aldosteron dari korteks adrenal. ACE disintesis dalam sel-sel endotel seluruh sistem vaskular terutama dalam sistem kapiler paru-paru dan ginjal. Disamping mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, ACE juga berperan dalam degradasi bradikinin menjadi kinin non aktif. Bradikinin merupakan vasodilator yang poten yang bekerja dengan meningkatkan sintesis EDRF dan prostasiklin di sel-sel endotel vaskular. Pada sistem kardiovaskular, angiotensin II menyebabkan vasokontriksi arteriol dan venula dan meningkatkan kontraksi miokard. Pada sistem neuroendokrin terjadi stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan retensi air dan natrium serta eksresi kalium di ginjal. Selain tiu, ditingkat SSP, angiotensin II menyebabkan stimulasi rasa haus dan peningkatan sekresi ADH, sehingga mempertinggi volume cairan dalam sirkulasi dan memperkuat efek vasokontriksi. Angiotensin II juga meningkatkan sekresi katekolamin dari ujung saraf simpatis dan menambah efek vasokontriksi dan stimulasi jantung. Semua ini akan berakibat pada peningkatan tekanan darah. Dalam jangka panjang angiotensin II merangsang proliferasi sel otot-otot polos pembuluh darah dan miokard dan memfasilitasi
Page | 13

proses aterosklerosis. Angiotensin II sendiri menyebabkan reaksi umpan balik negatif di ginjal yang mengurangi sekresi renin. b.Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE-inhibitor) Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama ditemukan dan banyak digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Secara umum ACE-inhibitor dibagi menjadi dua kelompok yaitu 1) yang bekerja langsung, contohnya kaptopril dan lisinopril. 2) prodrug, contohnya enalapril, kuinapril, peridopril, ramipril, silazapril, benazepril, fosinopril, dll. Obat-obat ini dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif yaitu berturut-turut enalaprilat, kuinaprilat, peridoprilat, ramipilat, silazaprilat, benazeprilat, fosinprilat, dll. ACE-inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menybabkan eksresi air dan natrium dan retensi kalium. ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun berat. Kombinasi dengan diuretik memberikan efek sinergitik, sedangkan efek hipokalemia diuretik dapat dicegah. Kombinasi dengan betabloker memberikan efek adaptif. Kombinasi dengan vasodilator lain, termasuk prozosin dan antagonis kalsium, memberi efek yang baik. Tetapi pemberian bersama penhambat adrenergik lain yang menghambat respons adrenergik alfa dan beta sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan hipotensi berat dan berkepanjangan. ACE-inhibitor terpilih untuk hipertensi dengan gagal jantung kongestif. Obat ini juga menunjukan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia, dan obesitas. Obat ini juga sering digunakan untuk mengurangi proteinuria pada sindrom nefrotik dan nefropati DM. Selain itu, ACE-inhibitor juga sangat baik untuk hipertensi dengan atropi ventrikel kiri, PJK, dll. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat ini diantaranya : 1. Hipotensi. Dapat terjadi pada awal pemberian ACE-inhibitor, terutama pada hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi. Pemberian harus hati-hati pada pasien dengan deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau yang mendapat kombinasi beberapa antihipertensi. 2. Batuk Kering. Merupakan efek samping yang sering terjadi dengan insidens 5-20%, lebih sering pada wanita dan terjadi pada malam hari. Diduga efek samping ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar bradikinin dan substansi P, atau prostaglandin. Efek samping ini bergantung pada besarnya dosis dan bersifat reversibel bila obat dihentikan. 3. Hiperkalemia. Dapat terjadi pada pasien dnegan gangguan fungsi ginjal atau pasien yang mengalami diuretik hemat kalium, AINS, suplemen kalium atau beta bloker. 4. Rash dan gangguan pengecapan lebih sering terjadi dengan kaptopril, tapi juga dapat terjadi dengan ACE-inhibitor yang lain. Sekitar 10% pemakai kaptopril mengalami rash makulopapular yang bersifat reversibel pada penghentian obat atau dengan pemberian antihistamin.

Page | 14

5. Edema angioneurotik terjadi pada 0,1-0,2 % pasien berupa pembengkakan di hidung, bibir, tenggorokan, laring dan sumbatan jalan nafas yang bisa berakibat fatal. Efek samping ini terjadi dalam beberapa jam pertama setelah pemberian ACE-inhibitor. Efek samping yang berat sering memerlukan epinefrin, antihistamin atau kortikosteroid. 6. Gagal ginjal Akut yang reversibel dapat terjadi pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi. Hal ini disebabkan dominasi ACE-inhibitor pada arteriol eferen yang menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus semakin rendah sehingga filtrasi glomerulus semakin menurun. 7. Proteinuria jika pemberian lebih dari 1 gram/hari. Secara umum, ACE-inhibitor diiindikasikan untuk mengurangi proteinuria, karena obat ini bersifat renoprotektif pada berbagai kelainan ginjal. 8. Eefek teratogenik. Terutama terjadi pada pemberian selama trimester 2 dan 3 kehamilan. Dapat menimbulkan gagal ginjal fetus atau kematian fetus akibat berbagai kelainan lainnya. Oleh karena itu, begitu ada kecurigaan kehamilan, maka ACEinhibitor harus segera dihentikan. Kaptopril diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral dengan bioavaibilitas 70-75%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorpsi sekitar 30% oleh karena itu obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Sebagian ACE-inhibitor mengalami metabolisme di hati, kecuali lisinopril yang tidak dimetabolisme. Eliminasi umumnya melalui ginjal, kecuali fosinopril yang mengalami eliminasi di ginjal dan bilier. ACE-inhibitor dikontraindikasikan pada wanita hamil karena bersifat teratogenik. Pemberian ibu menyusui juga kontraindikasi karena ACE-inhibitor dieksresi melalui ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal bayi. Dalam JNC VII, ACE-inhibitor diindikasikan untuk hipertensi dengan penyakit ginjal kronik. Namun harus hati-hati terutama bila ada hiperkalemia. Kadar kreatinin darah perlu dipantau selama pemberian ACE-inhibitor. Bila terjadi peningkatan kreatinin, maka obat ini harus dihentikan. ACE-inhibitor dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral pada keadaan ginjal tunggal. Pemberian bersama diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia. Pemberian bersama antasida akan mengurangi absorpsi, sedangkan kombinasi dengan AINS akan mengurangi efek antihipertensinya dan menambah risiko hiperkalemia. c. Antagonis Antireseptor Angiotensin II (Angiotensin receptor blocer, ARB) Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 terdapat di otot polos pembuluh darah dan di otot jantung. Selain terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantarai semua efek fisiologis Angiotensin II terutama yang berperan dalam homeostasis kardiovaskuler. Reseptor AT2 terdapat di medula adrenal dan mungkin juga di SSP, tapi sampai sekarang fungsinya belum jelas. Losartan merupakan prototipe obat golongan ARB yang bekerja selektif pada reseptor AT1. pemberian obat ini akan menghambat semua efek angiotensin II, seperti vasokontriksi, sekresi aldosteron, ranggsangan saraf simpatis, sekresi vasopresin, rangsangan haus, stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa hipertropi otot polos pembuluh darah dan miokard. Dengan kata lain, ARB menimbulkan efek yang mirip dengan ACE-inhibitor. Tapi karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin, maka obat ini dilaporkan tidak

Page | 15

memiliki efek samping batuk kering dan angioedema seperti yang sering terjadi pada ACEinhibitor. ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada pasien dengan hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan. Losartan diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna dan tidak dipengaruhi oleh adanya makanan di lambung. Losartan dan metabolitnya tidak dapat menembus sawar darah otak. Sebagian besar obat dieksresi melalui feses sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal termasuk pasien hemodialisis dan pada usia lanjut. Tapi dosis harus disesuaikan pada gangguan fungsi hepar. Efek samping dan perhatian. Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin tinggi seperti hipovolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskular dan sirosis hepatis. Hiperkalemia biasanya terjadi dalam keadaan tertentu seperti insufisiensi ginjal atau bila dikombinasi dengan obat-obat yang cenderung meretensi kalium seperti diuretik hemat kalium dan AINS. Fetotoksik, seperti ACE-inhibitor, antaggonis reseptor angiotensin II potensial bersifat fetotoksik sehingga harus dihentikan bila pemakainya ternyata hamil. Seperti ACE-inhibitor, ARB dikontraindikasikan pada kehamilan trimester 2 dan 3 dan ibu menyusui. Selain itu juga dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis pada satu-satunya ginjal yang masih berfungsi. 5. Antagonis Kalsium Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot pplos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium menimbulkan relaksasi arteriol sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh refleks takikardia dan vasokontriksi, terutama bila menggunakan golongan dihidropiridin kerja pendek (nifedipin). Sedangkan diltiazem dan verapamil tidakm menimbulkan takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Bila refleks takikardia kurang baik, seperti pada orang tua, maka pemberian antagonis kalium dapat menimbulkan hipotensi yang berlebihan. Sebagai monoterapi antagonis kalsium memberikan efektivitas yang sama dengan obat AH lain. Antagonis kalsium terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang rendah seperti pada usia lanjut. Kombinasi dengan ACE-inhibitor, metildopa atau beta bloker. Bila kombinasi dengan betabloker sebaiknya dipilih antagonis yang bersifat vaskuloselektif. Nifedipin oral sangat bermanfaat untuk mengatasi hipertensi darurat. Dosis awal 10 mg akan menurunkan tekanan darah dalam waktu 10 menit dan dengan efek maksimal setelah 30-40 menit. Untuk mempercepat absorpsi, obat sebaiknya dikunyah lalu ditelan. Pemberian sublingual tidak mempercepat pencapaian efek maksimal. Antagonis kalsium tidak mempunyai efek samping metabolik, baik terhadap lipid, gula darah maupun asam urat. Pada pasien dengan PJK, pemakaian nifedipin kerja singkat dapat meninggikan risiko infark miokard dan stroke iskemik dan dalam janggka panjang terbukti mempertinggi mortalitas.

Page | 16

Oleh karenanya antagonis kalsiumkerja singkat tidak boleh diberikan pada pasien hipertensi dengan PJK. Pemakaian dosis tinggi sebaiknya dihindarkan untuk semua hipertensi. Nifedipin kerja singkat sering menyebabkan hipotensi dan menyebabkan iskemia miokard atau serebral. Refleks takikardia dan palpitasi mempermudah terjadinya serangan angina pada pasien dengan PJK. Hipotensi sering terjadi pada pasien usia lanjut, keadaan deplesi cairan dan yang mendapat antihipertensi lain. amlodipin dan nifedipin lepas lambat dengan mula kerja yang lambat dapat menimbulkan efek samping yang lebih jarang dan lebih ringan. Sakit kepala, muka merah terjadi karena vasodilatasi arteri meningeal dan di daerah muka. Edema perifer terutama terjadi oleh dihidropiridin dan yang paling sering adalah Nifedipin. Edema terjadi akibat dilatasi arteriol yang melebihi dilatasi vena, sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik yang mendorong cairan ke luar ke ruang interstitial tanpa adanya retensi cairan dan garam. Bradiaritmia dan gangguan konduksi terjadi akibat verapamil, kurang dengan diltiazem dan tidak terjadi dengan dihidropiridin. Oleh karena itu verapamil dan diltiazem tidak boleh diberikan pada pasien dengan bradikardi, blok AV derajat 2 dan 3 dan sick sinus syndrome. Efek inotropik negatif, terutama oleh verapamil dan diltiazem dan minimal oleh dihidropiridin. Hal ini dapat berbahaya jika diberikan pada pasien dengan gagal jantung. Pada gagal jantung kongestif akut, pemberian nifedipin masih dapat dibenarkan bila tidak tersedia vasodilator yang lain, dan amlopidin dianggap aman. Verapamil menyebabkan konstipasi, retensi urin akibat relaksasi otot dan kadang-kadang terjadi refluks esofagus. Hiperplasia gusi dapat terjadi dengan semua antagonis kalsium. Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah : Nifedipin, Diltiasem dan Verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah : sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah.

Page | 17

You might also like