You are on page 1of 5

Kasus agrarian Lahan Pertanian Abadi Paling tidak ada dua pertimbangan utama yang dapat dikemukakan, mengapa

banyak kalangan yang menuntut adanya lahan pertanian abadi sekaligus merisaukan terjadinya alih fungsi lahan, khususnya di provinsi jawa barat dalam dua warsa terakhir. Pertama, karena alih fungsi lahan yang tidak terkendalikan dapat mengganggu citra jawa barat sebagai lumbung padi nasional. Kedua, karena alih fungsi lahan itu sendiri akan berkaitan erat dengan masalah ketahanan pangan masyarakat. Alih fungsi lahan, sudah sejak lama menjadi masalah yang tersembunyi di tatar sunda pada khususnya dan diseantero nusantara pada umumnya. Sebagai provinsi yang bebatasan langsung dengan ibu kota Negara, memang tidak heran bila di jawa barat, areal sawah yang berubah fungsi mencapai 4000 hektar setiap tahun. Pesatnya pertumbuhan industri, tentu akan berdampak pada banyaknya lahan yang berubah fungsi. Semula fungsi utama lahan yang digunakan untuk bercocok tanam padi, palawija maupun holtikultura, kini dengan gencarnya industrialisasi, maka lahan-lahan produktif pertanian berubah menjadi pabrik-pabrik, jalan tol, permukiman, perkantoran dan lain sebagainya. Jika dalam setahun alih fungsi lahan terdata sekitar 4000 hektare, maka dalam lima tahun ke depan lahan produktif yang beralih fungsi mencapai 20.000 hektar. Fenomena ini tentu sangat merisaukan dan akan mengancam posisi jawa barat sebagai gudang beras nasional. Kesan bahwa jawa barat sebagai penyokong utama swasemabada beras, mungkin sekali akan gugur dengan sendirinya. Jangankan untuk menopang tingkat nasional, untuk memenuhi kebutuhan warga masyarakatnya sendiri, kemungkinan besar masih sukar untuk diwujudkan. Masalahnya menjadi semakin mencemaskan, jika diketahui bahwa pencetakan sawah yang dilakukan pemerintah tidak lebih dari 500 hektar per tahun. Sinyal tentang kecemasan ini, sebetulnya sudah dikumandangkan sejak jauh-jauh harI. Para pengamat pertanian sendiri, terutama mereka yang kesehariannya berada di perguruan tinggi dan

lembaga penelitian dan pengkajia, telah berulang kali mengungkapkan tentang pentingnya ditempuh pilihan kebijakan yang berupaya untuk menjaga dan memelihara agar lahan produktif ini tidak tidak berubah fungsi. Bahkan pada awal tahun 2001, banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun organisasi pertain seperti HKTI dan KTNA, yang berteriak lantangagar alih fungsi lahan ini dijadikan isu utama dalam penanganan dan pengelolaan pembangunan dipada jawa barat. Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB, dengan mengambil kasus di pantai utara jawa mulai Bekasi hingga Indramayu,secara tegas mengungkapkan modus operandi terjadinya konversi lahan produktif menjadi tidak produktif. Modusnya, saluran irigasi teknis dikeringkan terlebih dahulu. Setelah berubah menjadi seperti tegalan, yang terkesan tidak produktif untuk pertanian padi, barulah proses alih fungsi lahan berlangsung dengan leluasa, mulus, aman dan terkendali. Modus operandi yang demikian, pada dasarnya disemangati untuk mensiasati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengeringkan aliran irigasi teknis merupakan cara yang secara sadar memang dilakukan. Tujuannya adalah meloloskan dari ketentuan peraturan pemerintah yang melarang keras alih fungsi lahan sawah demi swasembada pangan. Kesimpulan penting dari penelitian ini menjelaskan alih fungsi lahan persawahan di kawasan pantura bagian barat banyak terjadi antara tahun 1980-1997. Bila rata-rata alih fungsi lahan di kawasan tersebut hanya ribuan hektar sawah per tahunnya, maka rata-rata alih fungsi sawah di pulau jawa dan bali, lebih mencengangkan lagi, yakni mencapai kisaran 45.000 hektar per tahun. Tidak jauh berbeda dengan penelitian di atas, Ganjar Kurnia (2001) juga menyatakan tentang kerisauannya terhadap semakin berkurangnya lahan beririgasi karena terjadinya konversi. Lalu konversi lahan irigasi ini diperkirakan 50.000 hektar per tahun. Apabila hasil satu hektar sawah dapat menghasilkan 5 ton Gabah Kering Panen (GKP), maka hilangnya 50.000 hektar lahan irigasi ini, identik dengan sekitar 500.000 ton beras per tahun, atau apabila diuangkan sekitar 600 milyar lebih per tahun. Belum lagi apabila memperhitungkan investasi yang sudah ditanamkan untuk pembangunan irigasi teknis tersebut.

Yang lebih menarik adaslah apa yang telah di sampaikan oleh Irawan (2004) sehubung dengan konversi lahan sawah negri ini. Ditegaskan konversi lahan yang terjadi selama ini di yakini sebagai salah satu faktor yang mengurangi atau memperlambat peningkatan kapasitas produksi beras nasional, sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan beras dalam negri yang terus meningkat sebagai akibat jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi beras per kapita. Data biso pusat statistik 1981 1999 menyimpulkan bahwa neraca laha sawah nasional pada periode tersebut mengalami peningkatan seluas 1,6 juta hektar, yakni berupa neto penambah luas sawah di luar jawa (2,1 juta hektar) dan pengurangan luas sawah di jawa (0,5 juta hektar). Sekalipun ada peningkatan luas sawah di luar jawa yang cukup luas, kapasitas produksi beras nasional pada periode tersaebut masih lebih kecil dari pada kebutuhan beras dalam negri, sehingga pemerintah harus mengimpor beras sebesar 1,7 juta ton (1990 1999). Hal ini menunjukan bahwa dari segin produktivitas, konversi satu hektar lahan sawah di jawa tidak dapat digantikan oleh empat hektar lawan sawah di luar jawa. Neraca lahan sawah pada periode 1992 2002 menunukan penciutan lahan sawah secara nasional, yaitu 64.444 hektar/tahun konversi lahan sawah yag terjadi pada periode tersebut secara umum adalah burapa alih guna menjadi lahan pertanian non sawah atau lahan kering (41,1%), perumahan (28,9) kawasan industri (4,9%), perkantoran (8,3%) dan penggunaan lainya (16,8%). Perkembangan luas lahan sawah di indonesia tahun 1992 2002 Pulau Luas lahan sawah (Ha) 1992 Sumatera Jawa, Bali dan NTB Pulau lainya Indonesia* 2.353.109 3.715.502 2.324.679 8.393.290 2002 2.104.462 3.617.311 2.027.075 7.748.84 Perubahan /10 th ha - 248.647 - 98.191 -297.604 - 644.442 % - 10,57 - 2,64 -12,80 - 7,68

Belum termasuk maluku dan papua Sumber : irawan (2004)

Konversi lahan sawah di sumatra dan papua lainya, sebagian besar (50,6%) berupa alih guna menjadi lahan pertanian non sawah, sedangkan di jawa sebagian besar (58,3%) adalah berupa alih guna menjadi kawasan pemukiman. Tanpa ada upaya untuk mengurangi laju konversi lahan sawah, potensi kehilangan produksi beras nasional di perkirakan mencapai 231.000 270.000 ton/tahun. Hasil penelitian ini, jelas memberi gambaran bahwa ahli pungsi lahan merupakan dilema yang harus di carikan solusi terbaiknya. Alih fungsi lahan yang semena-mena dan hanya memilkirkan keuntungan ekonomis, denderunga akan memberi beban yang cukup berat bagi generasi yang akan datang. Sekalipun adanya desakan industrialisasi, alih fungsimlahan harus tetap dikelola secara benar dan bertanggung jawab. Jawaban atas industrialisasi bukanlah hanya sekedar menyulap lahan produktif pertanian menjadi pabrik pabrik berskala raksasa. Tidak bijaksana pula kalau industrialisasi yang kita lakukan harus menelan korban. Industrialisasi yang di kembangkan mestilah tetap memandang mestilah tetap memandang nilai nilai kemanusian yang selama ini tumbuh dan berkembang dalam kehidupan dalam masyarakat. Industialisasi tetap mesti mempertimbangkan kearifan lokal yang kita miliki. Industrialisasi bukan meminggirkan kaum tani. Bukan juga menjadi alat kepentingan kapitalis atau mereka yang tergolong sebagai kaum bermodal. Justru yang cukup esensial untuk direnungkan adalah sampai sejauh mana para elit negeri ini mampu melahirkan pikiran pikiran terbaiknya tentang skenario industialisasi yang akan di kembangkan? Mampukah para pejabat di negara kita meluncurkan pilihan pilihan kebijakan yang senantiasa mengemas harmonisasi antara sektor industri dan pertanian? Atau masih belum, dimana banyak diantara mereka itu yang masih memiliki pandangan bahwa industrialisasi itu, mestilah diukur dengan tumbuhnya pabrik, berkembangnya real estate, terbangunnya super mall, hadirnya apartement yang menjulang tinggi, terbentangnya jalan tol yang sejenis dengan itu. Yang lebih mengerikan lagi, jika di tengah tengah globalisasi, ternyata benyak para pengambil kebijakan di negeri ini yang tidak menunjukan keberpihakkannya kepada sektor pertanian.

Itu sebabnya, mengapa dalam mencari solusi cerdas terhadap dilema alih fungsi lahan, khususnya di pantura jawa, sangat diperlukan adanya kearifan lokal dan keseriusan berkiprah.\ Sebab, apapun alasanya dan bagaimana rumitnya persoalan yag harus dihadapi, bagi bangsa ini, yang namanya lahan sawah sudah tentu akana terkait linier dengan nasib dan kehidupan kaum tani, yang nota bene juga sebagai anak bangsa terbesar di republik yang kita cintai ini.

You might also like