You are on page 1of 24

ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang

bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun 1998, maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan. Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian Indonesia melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres No. 5 Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku putih tersebut. Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan dengan memperhatikan masukan-masukan yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun terakhir, maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan program-program kegiatan yang tercantum dalam API. Penyempurnaan program-program kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional maupun internasional. Penyempurnaan terhadap program-program API tersebut antara lain mencakup strategi-strategi yang lebih spesifik mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan sehingga API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap dan komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta pengembangan UMKM.

PEDOMAN AKUNTANSI PERBANKAN INDONESIA (PAPI)

Sehubungan dengan dilakukannya penyempurnaan oleh Ikatan Akuntan Indonesia terhadap beberapa Standar Akuntansi Keuangan yang saat ini berlaku, maka PAPI yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari PSAK yang relevan untuk industri perbankan juga perlu disesuaikan, termasuk penyesuaian terkait dengan penerbitan PSAK No. 50 (Revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan, dan PSAK No. 55 (Revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran, yang akan berlaku sejak 1 Januari 2010. PAPI disusun dengan kerjasama antara Bank Indonesia, perbankan, dan Ikatan Akuntan Indonesia. Dengan PAPI diharapkan dapat terjadi peningkatan transparansi kondisi keuangan bank sehingga laporan keuangan bank menjadi semakin relevan, komprehensif, andal, dan dapat diperbandingkan. Pemberlakuan PAPI 2008 diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/4/DPNP tanggal 27 Januari 2009 perihal Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia. Sebagai petunjuk pelaksanaan dari PSAK maka untuk hal-hal yang tidak diatur dalam PAPI tetap mengacu kepada PSAK yang berlaku. Prospek Perekonomian Indonesia 2011 Menuju Investment Grade? A.Prasetyantoko (Dimuat di Majalah InfoBank edisi Oktober 2010) Menapaki kuartal terakhir 2010, ada hawa optimis yang berhembus dalam ruang perekonomian kita. Harian The New York Times, edisi 5 Agustus 2010 menyebut: Indonesia adalah sebuah model ekonomi, setelah melewati krisis lebih dari sepuluh tahun. Sementara Financial Times (12/08/2010) mengatakan, perekonomian Indonesia merupakan macan yang tengah terbangun. Negeri ini merupakan salah satu target investasi yang menjanjikan. Tidakkah kita optimis menghadapi tahun 2011?

Tentu saja kita layak optimis. Namun, tetap harus waspada, karena ada beberapa tantangan struktural yang juga serius. Kegagalan kita mengelola persoalanpersoalan mendasar, justru akan menjebak kita. Kita hanya akan menjadi bangsa yang labil, karena hanya menjadi target investasi portofolio jangka pendek. Jika kita tengok kondisi sektor finansial kita, yang meliputi pasar modal, uang, utang dan perbankan, nampaknya tak ada yang mengkuatirkan. Secara umum, peringkat investasi Indonesia terus meningkat, seiring dengan semakin turunnya credit default swap (CDS) sebagai cermin dari risiko investasi. Bahkan, Japan Credit Rating Agency Ltd., (JCRA) telah menaikkan peringkat Indonesia ke level investment grade

atau BBB- pada bulan Juli lalu. Tidak menutup kemungkinan, lembaga pemeringkat lainnya juga akan menaikkan rating Indonesia di tahun 2011. Sementara ini, Moodys masih menempatkan Indonesia dalam 2 tingkat di bawah level investasi (Ba2) dalam evaluasinya Juni lalu. Demikian pula S&P yang pada bulan Maret mengevaluasi peringkat Indonesia dan menetapkan posisi BB+/stable. Dan, Fitch Rating juga menempatkan Indonesia pada satu tingkat di bawah investment grade, yaitu BB+. Selain bersikap optimis, nampaknya kita juga perlu bertanya: faktor-faktor apa sajakah yang akan menghambat kita masuk ke level investasi? Masih melanjutkan cerita sukses, prospek perbankan kita juga tak kalah kinclong. Di tengah ambruknya sistem perbankan global, perbankan Indonesia justru membukukan tingkat keuntungan yang tinggi, selain menunjukkan tingkat kehati-hatian. Tingkat Net-Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia yang mencapai angka sekitar 5,7 persen, merupakan angka paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara sekitar. Bandingkan dengan Singapura yang NIM nya hanya sekitar 2 persen, Malaysia 2,3 persen, Thailand 3,3 persen. Jadi, tak salah jika para bankir asing sangat berminat masuk ke Indonesia, di samping karena potensi pasarnya yang masih sangat luas. Ternyata, tingkat profitabilitas yang tinggi juga ditopang oleh tingkat kesehatan bank yang tinggi pula. Jika Basel Accord III diterapkan, dipastikan sektor perbankan di Indonesia tidak akan mengalami masalah. Menurut data Bank Indonesia yang dikeluarkan pada bulan Agustus 2010, dari 113 bank yang ada di Indonesia hanya 8 bank yang tingkat kecukupan modalnya (capital adequacy ratio) di bawah 8 persen. Sehingga, untuk mengikuti aturan Basel tentang modal utama atau Tier 1 Capital sebesar 4,5 persen yang harus tercapai pada 2013) dan 6 persen pada 2019, tidak akan menjadi persoalan. Persoalan Struktural Secara umum, prospek perekonomian Indonesia tahun 2011 sangat menjanjikan. Dan dengan demikian, potensi untuk memperolah gelar investment grade bukanlah hal yang mustahil. Tetapi, tetap saja ada persoalan-persoalan yang harus segera diatasi. Dan jika tidak, lagi-lagi kita berpotensi akan kehilangan kesempatan untuk kesekian kalinya, di berbagai bidang. Pada prinsipnya, ada dua bidang besar yang masih menjadi kendala perekonomian kita untuk masuk dalam kritria perekonomian yang kuat. Tantangan pertama terkait dengan masih relatif kecilnya proporsi sektor keuangan kita terhadap skala perekonomian kita yang sangat besar. Dengan demikian, isu financial deepening masih sangat relevan untuk direspon. Kalau perbankan kita stabil dan menguntungkan, so what? Perekonomian maju salah satunya ditandai dengan penetrasi sektor keuangan yang cukup dalam terhadap dinamika perekonomian. Dalam laporan Bank Dunia, Financial Access 2010, terlihat bahwa jumlah penabung per 1.000 orang di Indonesia masih sangat kecil, yaitu di bawah 1.000.

Sementara, Thailand sudah mencapai sekitar 1.500. Bahkan Malaysia sudah lebih dari 3.000. Kecenderungan yang sama juga terjadi dalam hal jumlah pinjaman per 1.000 penduduk. Kita sejajar dengan Kamboja dan Mongolia, dan tertinggal jauh dari Malaysia. Bahkan kita jauh di bawah angka rata-rata untuk negara sedang berkembang. Data lain yang juga menunjukkan dangkalnya sektor finansial di Indonesia adalah rasio jumlah uang beredar (broad money/M2) terhadap PDB yang juga masih kecil, dan bahkan ada kecenderungan semakin mengecil hingga tahun 2007 lalu. Tentu saja, hal ini perlu mendapatkan perhatian serius dari otoritas moneter dan pemerintah. Terkait dengan rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertanyaan yang layak diajukan, siapa nanti yang akan bertanggungjawab mendorong financial deepening? Persoalan struktural kedua terkait dengan tingkat daya saing sektor riil kita yang masih relatif buruk. Meski World Economic Forum (WEF) dalam World Competitiveness Report telah menaikkan indeks daya saing kita dari 54 menuju 44 untuk periode 2010-2011 ini, tetapi tidak serta-merta terjadi perubahan mendasar. Dari laporan tersebut, terlihat bahwa membaiknya tingkat daya saing kita lebih didorong oleh perbaikan faktor-faktor makro ekonomi, seperti tingkat inflasi yang terjaga, pertumbuhan yang relatif tinggi di tengah krisis global, suku bunga yang reletif rendah dsb. Namun, kalau kita tengok sisi fundamental dari daya saing, seperti ketersediaan infrastruktur, dukungan birokrasi serta kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat, kita masih terbilang buruk. Dengan demikian, masih ada banyak pekerjaan yang diselesaikan untuk benar-benar meningkatkan daya saing kita. Bisa jadi, kalau kita hanya bertumpu pada stabilitas makro, tahun depan kembali melorot, kalau terjadi goncangan pada sisi makro ekonomi. Tanpa perbaikan infrastruktur, ketersediaan sumber daya energi serta dukungan birokrasi, sektor riil pada dasarnya tidak akan bergerak cepat. Dan jika itu terjadi, stabilitas sektor finansial tidak akan berarti banyak dalam peningkatan kapasitas ekonomi. Konkritnya, tidak akan ada pergerakan sektor produksi yang meningkatkan daya beli masyarakat, dan akhirnya kemampuan membayar pajak. Jika siklus ini gagal dicapai, maka investment grade tidak akan ada artinya. Manfaat Investment Grade Jika pemerintah gagal mendinamisir sektor produksi, melalui peningkatan kapasitas investasi riil, dikuatirkan potensi investment grade yang sudah di depan mata juga tidak bisa diraih. Lembaga pemeringkat tentu tidak bisa dikelabui dengan menutup fakta-fakta riil di lapangan. Kalaupun sekarang modal asing masuk deras, itu bukan semata-mata karena alasan fundamental ekonomi domestik, tetapi juga faktor eksternal.

Dan jika perbaikan struktural gagal dicapai oleh Indonesia, sebenarnya perekonomian kita hanya layak untuk menanam modal portofolio saja, yang bisa angkat kali sewaktu-waktu ada dorongan, baik dari sisi domestik maupun global. Tahun 2011 adalah penentuan, apakah potensi ekonomi Indonesia akan benar-benar terealisasi, atau sekedar ilusi. Dan untuk tidak membuat ilusi, maka pekerjaan konkrit sudah menunggu: membangun infrastruktur, mereformasi birokrasi, merancang kebijakan energi, pengembangan industri dsb.

Perekonomian Indonesia 2011 Terancam Krisis Global Baru Peringatan adanya gangguan yang berasal dari ketidakstabilan perekonomian yang mempengaruhi target nasional dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di saat pembukaan perdagangan saham di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (3/1). Dikatakannya krisis global baru perlu diwaspadai karena mampu mempengaruhi perekonomian nasional di tahun 2011. Selain itu, factor yang turut berpengaruh adalah inflasi global, dan inflasi di bidang pangan, di mana harga pangan terus merangkak naik serta harga komoditas dunia semakin hari semakin tinggi. Menurutnya yang mempengaruhi pertanian dunia berasala dari factor climate change yang turut menyebabkan cuaca ekstrim dan banjir banding yang berdampak pada ketahanan pangan dunia. Berdasarkan informasi, SBY menargetkan pertumbuhan ekonomi di 2011 mencapai angka 6,4 persen. Adapun dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan APBN 2011 telah ditetapkan sejumlah sasaran yang harus diperjuangkan. Adapun target lainnya yaitu, inflasi bisa mencapai angka 5,3 persen serta angka pengangguran menurun menjadi tujuh persen. Diketahui, saat ini angka pengangguran berada di posisi 7,15 persen. Di samping itu, SBY juga mengharapkan tingkat kemiskinan bisa turun antara 11,5-12,5 persen. Menanggapi target pencapaian tersebut, dirinya menekankan perlunya kerja keras dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Namun juga menurutnya target-target tersebut bukan hal yang mustahil untuk dicapai karena target-target tersebut menurutnya achievable.

Kasus Malinda Jadi Pelajaran untuk Dunia Perbankan Nasional Jakarta - Aksi yang dilakukan Malinda Dee menyedot perhatian publik beberapa hari ini. Lewat 'kelihaiannya', puluhan miliar rupiah dana nasabah Citibank bisa ditilep eks Senior Relationship Manager Citibank ini. Apakah hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap dunia perbankan? Bagi Kepala Riset Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, ketakutan itu masih jauh dari panggang api.

"Kalau pun ada ketakutan, itu hanya sebagian kecil," kata Purbaya saat berbincang dengan detikcom, Selasa (5/4/2011). Nasabah-nasabah yang ditangani Malinda biasanya adalah nasabah kelas kakap. Sedangkan bank-bank di Indonesia masih didominasi bukan oleh nasabah seperti itu. Hanya saja, kasus Malinda dapat menjadi pelajaran berharga bagi bank manapun di Indonesia. Citibank, dengan kualitasnya yang sudah mendunia saja, bisa kebobolan. "Setiap bank harus memperbaiki pengawasan internal mereka," imbuhnya. Pengawasan internal setiap bank, harus mutlak lebih ditingkatkan lagi. Jika ada pegawai sebuah bank yang mencurigakan, harus ada tim dari pengawasan internal yang segera melakukan investigasi. "Kalau dilihat si Malinda ini kan penampilannya ketahuan sekali, harusnya dari dulu sudah ada investigasi, tapi ini kenapa nggak ada?" keluh Purbaya. Dari informasi yang dikumpulkan, uang nasabah yang berhasil ditilep Malinda diduga melebihi puluhan miliar rupiah bahkan mencapai satu triliun rupiah lebih. Polisi menahan Malinda karena diduga menggelapkan dana nasabah. Polisi telah menyita 4 mobil mewah Malinda yakni Ferrari Scuderia F340, Ferrari California, Mercedes Benz E350, dan Hummer H3. Malinda dijerat pasal 49 ayat 1 dan 2 UU No 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan dan atau pasal 6 UU No 15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU No 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Citibank telah menyampaikan rilis mengenai kasus ini. Mereka menjamin perlindungan bagi dana milik nasabahnya terkait kasus penggelapan dana miliaran rupiah itu. Citibank menegaskan semua nasabah aman dan akan diberi penggantian bagi yang dirugikan. 8 Kasus Perbankan yang Ditangani Bareskrim Jakarta - Selama tahun 2011, Bareskrim Polri telah menangani delapan kasus perkara tindak pidana perbankan. 24 Ditetapkan sebagai tersangka, 11 di antaranya adalah pegawai bank. Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Brigjen Pol Arief Sulistyo mengatakan berbagai modus dilakukan dalam kejahatan perbankan. Total kerugian nasabah/bank juga mencapai miliaran rupiah.

"Nasabah harus cek ricek kembali. Jangan mudah mempercayai," kata Arief saat jumpa pers di Bareskrim, Senin (4/4/2011). Berikut 8 perkara yang saat ini ditangani Bareskrim: - Kasus pertama yakni terkait tindak pidana perbankan BRI Tamini Square. Tersangka AM, DZH, IW, AS, TME. Modusnya, membuka rekening atas nama tersangka lainnya yang digunakan untuk menampung dana yang ditarik dari bank secara tidak sah kemudian ditransfer ke money changer. Akibat kasus ini bank dirugikan Rp 29,5 milliar. - Kasus kedua, yakni tindak pidana pemberian kredit dengan identifikasi palsu dan jaminan fiktif pada BII. Tersangka berinisial DCB seorang account officer BII KCP Jl Pangeran Jayakarta. Kerugian bank akibat kasus ini mencapai Rp 3,6 milliar. - Kasus ketiga, tindak pidana berupa pencairan deposito nasabah dan menarik dana nasabah tanpa izin dengan memalsukan tanda tangan slip. Tersangka berjumlah 6 yakni, RS, JAM, BUD, DS, IW, DN. Bank Mandiri dirugikan Rp 18 milliar - Kasus keempat, tindak pidana perbankan berupa mengirimkan berita telex palsu yang isinya perintah membuka rekening pinjaman modal kerja. Tersangka berjumlah 5 orang yakni RM, Nur, SHP, US, AF. Terjadi di Bank BNI Cabang Margonda. - Kasus kelima, tindak pidana perbankan berupa pencairan dana deposito milik nasabah tanpa izin pemiliknya. Tersangka berjumlah 5 orang yakni DAA, AH, CID, SS, DEM, sebagian besar pengurus PT BPR Pundi Artha Sejahtera. Kerugian mencapai Rp 6 milliar. - Kasus keenam, tindak pidana perbankan dengan cara penarikan dana secara berulang-ulang dari ks Bank Danamon KCP Menara Bank Danamon tanpa izin. Tersangka berinisial RN seorang Head Teller Bank Danamon KCP Menara Bank Danamon. Kerugian mencapai Rp 1,9 milliar dan USD 110 ribu. - Kasus ketujuh, tindak pidana perbankan dengan cara mengalihkan dan nasabah ke rekening tersangka tanpa izin. Tersangka Kepala Operasional Bank Panin cabang Metro Sunter Jakarta Utara. Total kerugian mencapai Rp 2,5 milliar. - Kasus kedelapan, tindak pidana perbankan pembobolan Citibank mencapai Rp 17 milliar dengan tersangka Malinda alias Inong Melinda Dee. Malinda sebagai senior relationship manager Citibank cabang Landmark menarik dana nasabah tanpa izin ke rekening pribadi atau perusahaan tersangka.

Negara Islam Indonesia

Bendera Negara Islam Indonesia Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada di masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undangundangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.[rujukan?] Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh.[1] [2] Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.[3] Apa Itu Negara Islam Indonesia? Tujuan gerakan ini menjadikan Indonesia negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar.

Cuci otak merebak di sejumlah kampus. Sejumlah mahasiswa diduga jadi korban cuci otak oleh sekelompok yang mengatasnamakan diri Negara Islam Indonesia. Apa dan bagaimana NII tersebut? Negara Islam Indonesia atau dulu dikenal dengan nama Darul Islam atau DI bermula dari gerakan politik yang diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah,

Kecamatan Ciawiligar, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 7 Agustus 1949. Tujuan gerakan ini menjadikan Indonesia negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam perkembangannya, NII menyebar di beberapa wilayah. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. Dalam laman Crisis Center disebutkan para jamaah NII menghalalkan segala cara mulai dari merampok, mencuri, menipu, memeras, merampas atau melacur demi kepentingan negara atau madinah. Hal tersebut disandarkan pada filosofi sesat atas kepemilikan wilayah teritori Indonesia oleh NII, atas dasar proklamasi NII dan kekhalifahan Kartosoewirjo. Selain itu, ditulis dalam laman ini, konsep ini juga untuk mempraktekkan ayat "Sesungguhnya bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang Shalih." Di Jawa Barat, gerakan NII diduga berpusat di Pondok Pesantren Al-Zaytun seluas 1.200 hektare di Indramayu yang didirikan Abu Toto alias Syekh Abdus Salam Panji Gumilang. NII ini dikenal dengan gerakan Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW9). Akhir-akhir ini, eksistensi gerakan ini kembali muncul dengan data sejumlah mahasiswa dilaporkan jadi korban cuci otak. Bahkan, Kepolisian Daerah Jawa Timur berusaha mengungkap gerakan ini dengan mengejar sejumlah nama yang ditengarai jadi otak perekrut dan pemberi materi doktrin kepada mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kabar terbaru, ada 15 mahasiswa UMM Jawa Timur yang dikabarkan hilang. Ada yang mengaku setelah direkrut orang tak dikenal, para korban didoktrin untuk tidak percaya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebaliknya digiring untuk meyakini dan percaya NII. Mantan pengikut NII sekaligus pendiri situs NII Crisis Center, Ken Setiawan menjelaskan metode perekrutan mereka mulai dari pertemanan, lewat teman-teman dekat. "NII punya identifikasi korban, siapa dia, apakah anak orang kaya, sudah diincar," kata Ken. Mantan anggota NII lainnya, Tikno, menjelaskan hal yang sama bahwa mahasiswa yang berhasil digiring masuk jaringan akan didoktrin untuk menghalalkan segala cara dalam mewujudkan negara Islam di Indonesia. Selain itu, Tikno mengaku didoktrin bahwa semua pimpinan di Indonesia adalah kafir. (umi)
LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI

Krisis Ekonomi 1998, Tragedi tak Terlupakan


PENGANTAR REDAKSI "KEAJAIBAN yang hilang". Itulah istilah yang paling pantas diberikan bagi perekonomian Indonesia sepanjang tahun 1998. Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Laporan akhir tahun ekonomi akan mengungkap semua persoalan itu dan mencoba menggambarkan keadaan untuk tahun mendatang. Laporan akan dituangkan dua hari berturut-turut, Senin (21/12) dan Selasa, di Rubrik

UTAMA dan Rubrik OPINI. Semua dituliskan oleh wartawan ekonomi Kompas, Andi Suruji, Banu Astono, Dedi Muhtadi, Ferry Irwanto, Ninuk M Pambudy, Pieter P Gero, Simon Saragih, Sri Hartati Samhadi, Subur Tjahjono, Tjahja Gunawan, Yosef Umar Hadi, dan Yovita Arika.

TAHUN 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise. Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga. Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha. Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layanglayang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara. Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik. Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua itu. Efek bola salju Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir. Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS. Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997. Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.

Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut. Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja. Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak. Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik. Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen. Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998. Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil. Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global. Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen. Anomali Krisis kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan akibat surutnya penerimaan. Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan konsep "IMF Plus",

yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya. Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan. Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia. Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.* LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI

Era Bank-bank Bangkrut


INDUSTRI perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Antrean panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah telapak kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua prahara perbankan itu. Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang menjadi kronis. Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah warisan dari kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah. Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah saja. Bisa dikatakan, bank-bank kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi. Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet.

Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang. Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Akan tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan perbankan. Namun pemerintah pun kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat akibat borok-borok industri perbankan. Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada peringkat perbankan yang mayoritas berkategori B (modal sudah menjadi negatif 25 persen terhadap aset) dan C (modal sudah negatif di bawah 25 persen) terhadap aset. Pemerintah memang merencanakan rekapitalisasi dengan penerbitan obligasi. Diperkirakan akan ada Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan modal perbankan. Akan tetapi angka itu dianggap terlalu moderat, jauh dari memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai kurang lebih Rp 300 trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal mudah untuk dipenuhi.

**
SEBELUM rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan. Ironisnya, kebijakan yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan perbankanseperti anak-anak bermain tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah atas perbankan. Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Ambil contoh, pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun. Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan. Maka itu, jangan heran jika masyarakat terus bingung. Sebenarnya kebingungan dan kepanikan dalam masyarakat secara tidak langsung diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui kebijakan yang tidak utuh. Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak terang dan jelas, sekarang muncul program rekapitalisasi (penambahan modal) perbankan yang merupakan bagian dari kebijakan restrukturisasi perbankan nasional. Kebijakan yang hendak dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah kebijakan pemerintah yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.

***
DI tengah kebingungan itu, kita bertanya. Bagaimana menyehatkan perbankan. Hingga kini semua itu masih menjadi tanya besar? Maka itu, tahun 1999, industri perbankan belum bisa diharapkan beroperasi seperti sediakala. Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.

Kalaupun ada yang bisa beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing atau campuran, atau bankbank swasta yang selama ini cukup berhati-hati menyalurkan dananya. Akan tetapi jumlah bank yang bisa bertindak seperti hanya dalam bilangan jari tangan. Lalu bagaimana prospektif perbankan nasional? Hingga saat ini tak ada yang bisa memberikan jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik maupun dunia internasional di berbagai seminar, juga sangat kebingungan melihat endemik penyakit perbankan. Tahun 1999, akan masih terus dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan bagaimana menyelesaikan perbankan. Namun yang jelas, likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan. Itu merupakan bagian dari reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga masih merupakan langkah sumir. Maka itu, mengamati industri perbankan sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang mereka nantikan. Sebenarnya ada hal paling urgen yang kelihatannya tak punya korelasi, tetapi untuk menyehatkan industri perbankan, hal itu mutlak diperlukan. Sebagaimana diketahui, dalam dunia yang sudah terintegrasi ini, peran aliran modal sudah menjadi penyangga perekonomian, dan sekaligus juga perbankan satu negara. Aliran modal itu, termasuk yang dalam kategori investasi portofolio-berbentuk saham obligasi atau produk di pasar uang lainnya. Aliran modal lainnya, adalah yang juga disebut sebagai foreign direct investment (aliran investasi asing langsung). Untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu sudah terjadi. Namun keunikan Indonesia, tidak bisa segera membalikkan arus modal keluar menjadi arus modal masuk. Korea Selatan dan Thailand, adalah negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari pentingnya kembali arus modal masuk itu. Untuk Indonesia, meski dipandang menarik, tetapi kerusuhan berdarah telah membuat investor ngeri untuk masuk ke Indonesia. Jangankan untuk berbinis, untuk berkunjung pun mereka sudah enggan. Karena itu, ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus didengarkan otoritas. LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI

Pemulihan Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik


PELAKSANAAN agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat. Laksamana Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang kritis. Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara kemungkinan terjadi recovery dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh. Investor bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta demokratis. Kedua hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat. Apabila demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena investor pasti akan datang kembali ke Indonesia. Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat, adanya kepastian hukum dan sistem peradilan yang independen.

Suksesnya pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja. Mulai saat ini harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat masyarakat merasa tidak aman masih sering terjadi.

***
MELIHAT pentingnya faktor penyelesaian politik, rencana pegelaran dialog nasional sangat penting. Melalui dialog nasional tersebut, diharapkan tokoh-tokoh yang terlibat menyamakan persepsi bahwa pemilu harus berhasil dan sesuai aspirasi rakyat. Kita sama-sama menghendaki, pemerintahan yang demokratis dan didukung rakyat. Pemerintah sekarang berani mengakui, bahwa dirinya bersifat transisi dan hanya mempersiapkan pemerintahan yang akan datang. Sebaliknya tokoh-tokoh nasional juga harus berani mengakui pemerintahan yang sekarang. Selain masalah politik, pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat penting, apabila kita mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus diselesaikan, yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri. Pertama, restrukturisasi perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar tidak akan berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan penutupan bank-bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal sedikit bank yang kuat dan profesional. Sebelum mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada kodal kerja dan perdagangan. Kedua, masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang LN ini bisa diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut. Bila default, maka kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke Indonesia. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan, sebagai pengusaha pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di lapangan terutama perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan gamang. Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi, apalagi nanti kalau mendekati kampanye dan pemilu. Oleh karena itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu. Investasi tidak akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan penjualan dari yang sudah ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik, tetapi luar negeri. Kalau penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak sosial akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat. Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah "kabut tebal". Kabut tebal (situasi sosial politik-Red) menyebabkan pengendara (baca: pengusaha) tidak bisa memandang jauh ke depan. Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka pengendara itu tidak punya pilihan lain kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu sampai kabut itu berlalu.*

Dampak Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi Global


Tinggalkan komentar Go to comments

7 Votes

BAB 1 PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang Masalah

Tanggal 15 September 2008 menjadi catatan kelam sejarah perekonomian Amerika Serikat, kebangkrutan Leman Brothers yang merupakan salah satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior dan terbesar ke 4 di Amerika serikat menjadi awal dari drama krisis keuangan di negara yang mengagung-agungkan sistem kapitalis tanpa batas. Siapa yang menyangka suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia akan runtuh .Celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan menjalar keseluruh dunia. Hanya beberapa saat setelah informasi runtuhnya pusat keuangan dunia di Amerika, transaksi bursa saham diberbagai belahan dunia seperti Hongkong, China, Australia, Singapura, Korea Selatan, dan Negara lainnya mengalami penurunan drastis, bahkan Bursa Saham Indonesia (BEI) harus disuspend selama beberapa hari, pemerintah Indonesia pun kelihatan panik dalam menyikapi permasalahan ini, peristiwa ini menandai fase awal dirasakannya dampak krisis ekonomi global yang pada mulanya terjadinya di Amerika dirasakan oleh negara Indonesia. Dilihat dari faktor penyebabnya, krisis Ekonomi global pada saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih kurang satu dasawarsa lalu, yang mana pada saat itu krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih disebabkan oleh ketidakmampuan Indonesia menyediakan alat pembayaran luar negeri, dan tidak kokohnya struktur perekonomian Indonesia, tetapi krisis keuangan global pada tahun 2008 ini berasal dari faktor-faktor yang terjadi di luar negeri. Tetapi kalau kita tidak hati-hati dan waspada dalam menyikapi permasalahan ini, tidak mustahil dampak krisis keuangan global pada tahun 2008 ini akan sama atau bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan dampak dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi. Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negaranegara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara.

Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN). Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.
1. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimasksud dengan krisis ekonomi global? 2. Apakah penyebab krisis ekonomi global? 3. Apakah dampak krisis ekonomi global terhadap Indonesia? 4. Bagimanakah cara mengatasi krisis ekonomi global tersebut? 5. Bagaimanakah Perekonomian di Indonesia?

BAB 2 PEMBAHASAN
1. A. KRISIS EKONOMI GLOBAL

Seluruh dunia telah diliputi oleh krisis financial (krisis ekonomi global), seluruh negara-negara di dunia baik itu negara maju maupun negara berkembang telah terjebak dalam kesulitan yang sangat rumit. Beberapa negara yang sebelumnya menikmati kondisi ekonomi yang kuat yang mempunyai teknologi yang canggih dalam hal ilmu pengetahuan, pangan, senjata, obat-obatan terlihat hancur perekonomiannnya. Fakta dari masalah tersebut adalah bahwa ekonomi negaranegara tersebut ditopang oleh kebijakan yang sangat rapuh yang meyebabkan collaps terkena dampak krisis ekonomi global. Krisis finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia secara drastis pada tahun 2008 diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan akan meningkat intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging

markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi. Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negaranegara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN). Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global. Krisis keuangan Amerika Serikat menyebabkan masalah global keuangan dunia, untuk mengatasi hal tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan sepuluh arahan: (1) semua kalangan tetap optimis, dan bersinergi menghadapi krisis keuangan, (2) tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam persen, (3) optimalisasi APBN 2009, (4) dunia usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak, (5) semua pihak agar cerdas menangkap peluang, (6) galakkan kembali penggunaan produk dalam negeri, (7) tingkatkan sikap profesionalisme, (8) kerja sama dalam menghadapi masalah, (9) tidak melakukan langkah non partisan, (10) komunikasi yang bijak. Sementara itu Mudrajad Kuncoro (2008) mengatakan bahwa setidaknya ada dua langkah strategis dalam mengatasi dampak krisis keuangan global, yaitu Demand pull strategy dan supply push strategy. Demand pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan dengan perbaikan iklim bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi pemasaran domestik dan luar negeri dan menyediakan peluang pasar. Langkah strategis lainnya adalah supply push strategy yang mencakup strategy pendorong sisi penawaran, ini bisa dilakukan dengan ketersediaan bahan baku, dukungan permodalan, bantuan teknologi/mesin/alat, dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
1. B. PENYEBAB KRISIS EKONOMI GLOBAL

Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi. Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter beberapa waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat tambal-sulam, ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar. Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema. Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat dianak-tirikan, sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia. Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan. Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan. Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu. Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar

pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998. Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.
1. C. DAMPAK YANG DITIMBULKAN OLEH KRISIS EKONOMI GLOBAL 1. Dampak Perekonomian Global terhadap APBNP 2008

Asumsi inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut Adiningsih (Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-08), dapat melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi perekonomian global yang berada di luar kendali pemerintah. Adiningsih mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah menyusun APBN secara konsevatif , karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia usaha juga tergantung pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak konsisten, dipastikan dunia usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP, menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari raya yang sudah pasti akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga minyak mentah yang masih akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket. Hal ini akan mempengaruhi harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua komoditas dapat dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang impor termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya Amerika Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan dikhawatirkan inflasi akan melebihisatudigit. Dalam menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede (salah satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya bahwa pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi. Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel, total subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata lebih dri U$$ 100 per barel, diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis untuk subsidi, bagaimana dengan sektro yang lain, katanya. Berkaitan dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui pembiayaan yang salah satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN) disesuaikan dengan melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi, investor akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam melakukan pembayaran. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN.

Pendapat dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai informasi untuk mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini sedang bergolak penuh ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat inflasi, alokasi anggaran untuk subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan deficit APBN. Namun demikian, apabila dalam perjalanannya asumsiasumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya semata-mata menyalahkan pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau APBNP 2008 harus direvisi kembali. 1. 2. Dampak Krisis Keuangan Global terhadap Perekonomian Indonesia
Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat sudah terlihat tanda-tandanya beberapa waktu yang lalu, Tetapi baru dianggap serius oleh pemerintah Indonesia sejak tanggal 8 Oktober 2008 saat IHSG di BEI turun tajam sampai 10,38 % dan mengharuskan pemerintah menghentikan kegiatan di pasar bursa modal beberapa hari.

Sebenarnya banyak akibat yang dirasakan oleh Indonesia dengan adanya krisis keuangan di Amerika serikat , baik akibat positif seperti turunnya harga minyak dunia yang menembus $ 61 per barel dan akibat negative seperti turunnya nilai rupiah, berkurangnya nilai export, turunnya investasi atau terjadi flyingout , namun demikian akibat negatif lebih banyak dirasakan bagi perekonomian Indonesia terutama bagi sektor riil yang mempunyai pangsa export, pemerintah harus sungguh-sungguh menangani masalah ini karena pada akhirnya apabila tidak tertangani dengan benar akan mengakibatkan distabilitas negara atau sering orang bilang akan terjadi Krisis seri kedua. Lebih lanjut Ridwan (dosen Ek. Pembangunan UJB)menegaskan , bahwa harus ada langkahlangkah antisipasi menghadapi krisis keuangan global anatara lain, tetap menjaga independensi pengambil keputusan, sebisa mungkin mempertahankan tingkat suku bunga yang ada saat ini, peningkatan pagu jaminan simpanan pada Lembaga Keuangan Nasional, Penginjeksian secara besar-besaran likuiditas ke dalam perbankan nasioanal, pemberlakuan kontrol devisa terbatas , pembentukan lembaga procurement untuk mengatur transaksi devisa BUMN, keharusan izin bank sentral bagi transaksi arus ke luar modal dalam jumlah tertentu. Disamping itu diskusi juga merekomendasiakan : Penyiapan satu skema social safety net yang komprehensif untuk mengantisipasi full-blown crisis , pemerintah daerah secara lebih erat sebagai mitra dan pelaksana berbagai kebijakan yang ditetapkan, mewaspadai politik dumping , menyiapakan insentif bagi pengusaha lokal untuk menggarap pasar domestik, dan merekomendasikan untuk mengkaji ulang sistem ekonomi yang selama ini mengekor pada sistem ekonomi kapitalis.

Susunan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 Final


Posted by rvsdi Oct 21

Setelah dinanti-nanti dan diprediksi oleh beberapa media massa dan seluruh Rakyat Indonesia, maka pada tgl 21 Oktober 2009 pukul 22 WIB Presiden SBY mengumumkan tentang Susunan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 sebagai berikut: MENTERI KOORDINATOR 1. Menko Politik Hukum dan Keamanan : Marsekal (Purn) Djoko Suyanto 2. Menko Perekonomian : Hatta Rajasa 3. Menko Kesra : R Agung Laksono 4. Sekretaris Negara : Sudi Silalahi MENTERI DEPARTEMEN 1. Menteri Dalam Negeri : Gamawan Fauzi 2. Menteri Luar Negeri : Marty Natalegawa 3. Menteri Pertahanan : Purnomo Yusgiantoro 4. Menteri Hukum dan HAM : Patrialis Akbar 5. Menteri Keuangan : Sri Mulyani 6. Menteri ESDM: Darwin Saleh 7. Menteri Perindustrian : MS Hidayat 8. Menteri Perdagangan : Mari E. Pangestu 9. Menteri Pertanian : Suswono 10. Menteri Kehutanan : Zulkifli Hasan 11. Menteri Perhubungan : Freddy Numberi 12. Menteri Kelautan dan Perikanan : Fadel Muhammad 13. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi : Muhaimin Iskandar 14. Menteri Pekerjaan Umum : Djoko Kirmanto 15. Menteri Kesehatan : Endang Rahayu Setianingsih 16. Menteri Pendidikan Nasional : Mohammad Nuh 17. Menteri Sosial : Salim Segaf Al Jufri 18. Menteri Agama : Suryadharma Ali 19. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata : Jero Wacik 20. Menteri Komunikasi dan Informasi : Tifatul Sembiring MENTERI NEGARA 1. Menteri Riset dan Teknologi : Suharna Suryapranata 2. Menteri Koperasi dan UKM : Syarifudin Hasan

3. Menteri Lingkungan Hidup : Gusti Muhammad Hatta 4. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Amalia Sari 5. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara : E.E Mangindaan 6. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal : Ahmad Helmy Faishal Zaini 7. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional : Armida Alisjahbana 8. Menteri BUMN : Mustafa Abubakar 9. Menteri Pemuda dan Olahraga : Andi Alfian Mallarangeng 10. Menteri Perumahan Rakyat : Suharso Manoarfa PEJABAT SETINGKAT MENTERI 1. Kepala BIN: Jenderal (Purn) Sutanto 2. Kepala BKPM: Gita Wirjawan 3. Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan Pengedalian Pembangunan: Kuntoro Mangkusubroto Jepang tampaknya akan mengalami kerugian ekonomi cukup besar dari bencana ini. Lihat saja Japan Airlines Corp, yang mengalihkan 22 penerbangan ke bandara lain. Secara total, 27 penerbangan terkena dampak gempa, dan mempengaruhi 5.290 orang. Bandara Narita juga ditutup untuk inspeksi landasan pacu. Pihak Bandara membatalkan semua penerbangan dan menelantarkan 13.800 orang. Sedangkan Bandara di Sendai, kota dari 1 juta orang yang terletak di 310 kilometer utara Tokyo, dibanjiri tsunami. Haneda, bandara utama lainnya juga ditutup. Tak hanya itu, East Japan Railway Co, operator kereta api terbesar di Jepang, menghentikan layanan kereta api di daerah Tokyo bersamaan dengan operasi kereta peluru, Shinkansen. Tokyo Metro Co, operator kereta bawah tanah terbesar di ibukota, mengatakan menghentikan kereta dan memaksa penumpangnya mengantri untuk taksi. NTT DoCoMo Inc, operator ponsel terbesar Jepang pun mengatakan, koneksi nirkabel sangat buruk di seluruh negara. Jubir Atsuko Suzuki mengatakan hal tersebut usai gempa. Gempa juga memaksa Cosmo Oil Co, untuk menutup 220 ribu barel per hari di kota Chiba, 40 kilometer (25 mil) di timur Tokyo. Hal ini dilakukan setelah terlihat nyala api pada tangki penyimpanan fasilitas, kata Yusuke Kanada, juru bicara perusahaan. Tiga pabrik JX Nippon yang ditutup, memiliki kapasitas pengolahan gabungan sekitar 600 ribu barel sehari. Jepang mengkonsumsi 4,42 juta barel per hari minyak pada 2010, menurut data bulanan Laporan Pasar Minyak yang dirilis 10 Februari oleh International Energy Agency. Sedangkan China menggunakan sebanyak 9,39 juta dan AS 19,25 juta. Pemerintah Jepang pun mengeluarkan peringatan berbahaya untuk reaktor nuklirnya dan menghentikan segala aktivitas nuklir, karena masalah pada sistem pendinginnya. Setelah menyatakan situasi darurat, pemerintah menyiapkan satuan tugas khusus untuk waspada.

Pabrik Fukushima Daiichi milik Tokyo Electric Power menutup tiga reaktornya, sebab gempa menyebabkan genset diesel yang digunakan untuk mendinginkan reaktor berhenti. Tiga reaktor ini berkapasitas 2,03 juta kilowatt. Tiga reaktor lainnya milik Tohoku Electric Power Co di Miyagi yang dekat dengan titik pusat gempa, juga otomatis menghentikan kegiatannya. Beberapa jam kemudian, perusahaan ini melaporkan adanya asap dari pabrik tempat reaktor nomor satu berada. Sementara perusahaan nuklir Areva milik Prancis, masih menantikan laporan dari Jepang. Tsunami dan gempa berkekuatan 8,9 skala richter telah meluluhlantakkan Jepang. Badan Meteorologi Jepang memperingatkan gempa susulan lebih lanjut dan menyarankan orang-orang menghindari wilayah pesisir dan mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Gempa susulan terus terjadi sampai 5 sore waktu Jepang. Gempa hari ini adalah yang terbesar sejak gempa 9.1 SR memicu tsunami dari Sumatera Utara, Indonesia pada Desember 2004 yang menewaskan sekitar 220 ribu orang tewas atau hilang di 12 negara sekitar Samudera Hindia. Toyota Motor Corp., raksasa Jepang yang saat ini menjadi perusahaan otomotif terbesar di dunia, telah menghentikan produksi sebuah pabrik suku cadang dan dua pabrik perakitan mobilnya di kawasan itu, Sementara itu, Nissan Motor Co. juga menghentikan produksi empat pabriknya di lokasi bencana. Dua karyawan Honda Motor Co. dilaporkan tewas akibat tertimpa reruntuhan atap pabrik di Tochigi, utara Jepang. Raksasa elektronik Sony Corp, salah satu eksporter terbesar di Jepang, juga terpaksa menutup enam pabriknya di seantero negara itu. Banyak pula pabrik mobil dan semikonduktor di utara Jepang yang tidak beroperasi akibat gempa dan tsunami. "Kerusakan pabrik-pabrik tersebut akan berdampak besar pada perekonomian Jepang," ujar Yasuo Yamamoto, ekonom senior Mizuho Research Institute di Tokyo. Menurutnya, sejauh ini memang belum diketahui secara pasti skala kerusakan dan kerugian akibat gempa dan tsunami. Namun, gempa kali ini akan mendorong pemerintah menyusun anggaran darurat. "Pemerintah bakal harus menjual lebih banyak obligasi. Ini memang keadaan darurat sehingga tidak dapat dihindari," tutur Yamamoto. Sementara Tom Byrne dari Moody's Singapura mengatakan bahwa dalam ekonomi besar seperti Jepang, dampak dari bencana alam dapat diserap secara ekonomi oleh pemerintah dan asuransi swasta, sehingga tidak akan ada dampak terhadap anggaran pemerintah dan rating Jepang". [mdr][bersambung]

You might also like