You are on page 1of 45

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN POTENSI HAYATI DARI KOMBINASI EKSTRAK EMPAT JENIS TANAMAN OBAT INDONESIA

ANDRI KURNIAWAN

DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

ABSTRAK ANDRI KURNIAWAN. Aktivitas Antioksidan dan Potensi Hayati dari Kombinasi Ekstrak Empat Jenis Tanaman Obat Indonesia. Dibimbing oleh MARIA BINTANG dan WARAS NURCHOLIS. Kombinasi ekstrak etanol dilakukan dari empat jenis tanaman obat di Indonesia, diantaranya temulawak, meniran, sambiloto, dan temu ireng. Hasil kombinasi tersebut ditentukan aktivitas antioksidannya menggunakan metode 2,2difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) sebagai radikal bebas, dan aktivitas potensi hayati (sitotoksisitas) ditentukan dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Nilai IC50 yang dihasilkan berkisar antara 1.92 hingga 219.29 ppm, dengan nilai terendah dimiliki oleh kombinasi ekstrak dari temulawak dan temu ireng (1:0:0:1), serta nilai tertinggi dimiliki oleh kombinasi ekstrak meniran, sambiloto, dan temu ireng (0:1:1:1). Nilai LC50 yang dihasilkan berkisar antara 31.79 hingga 620.165 ppm, dengan nilai terendah dimiliki oleh kombinasi ekstrak temulawak, meniran, sambiloto, dan temu ireng (1:1:1:1), serta nilai tertinggi dimiliki oleh kombinasi ekstrak temu ireng (0:0:0:1). Korelasi terbaik antara aktivitas antioksidan dan potensi hayati (sitotoksisitas) dimiliki oleh kombinasi (1:1:1:1), dengan nilai aktivitas antioksidan dan potensi hayati sebesar 41.875 dan 31.796 ppm.

ABSTRACT ANDRI KURNIAWAN. The Antioxidant and Biological Activities of Extract Combination of Four Indonesia Medicinal Plants. Under direction of MARIA BINTANG and WARAS NURCHOLIS. The crude ethanol extracts combination of four Indonesia medicinal plants namely Curcuma xanthorriza, Phyllanthus niruri, Andrographis paniculata, and Curcuma aeruginosa were examined for their antioxidant (radical scavenging) activity using 2,2-diphenyl-1-picrylhidrazyl (DPPH) free radical and biological activities or cytotoxicity using brine shrimp lethality test (BSLT). IC 50 values for DPPH radical scavengeing activity ranged from 1.923 to 211.127 ppm, with extract combination of Curcuma xanthorriza and Curcuma aeruginosa (1:0:0:1) having the lowest value and therefore the most potent, and extract combination of Phyllanthus niruri, Andrographis paniculata, and Curcuma aeruginosa (0:1:1:1) having the highest value. LC50 values for BSLT ranged from 31.796 to 620.165 ppm, with extract combination of Curcuma xanthorriza, Phyllanthus niruri, Andrographis paniculata, and Curcuma aeruginosa (1:1:1:1) having lowest value and therefore the most potent, and extract of Curcuma aeruginosa (0:0:0:1) having the highest value. A positive correlation between antioxidant and biological activities of extract combination was obtained from combination (1:1:1:1), with antioxidant and biological or cytotoxicity values were 41.87 and 31.79 ppm, respectively.

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN POTENSI HAYATI DARI KOMBINASI EKSTRAK EMPAT JENIS TANAMAN OBAT INDONESIA

ANDRI KURNIAWAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Judul Skripsi : Aktivitas Antioksidan dan Potensi Hayati dari Kombinasi Ekstrak Empat Jenis Tanaman Obat Indonesia Nama : Andri Kurniawan NIM : G84070018

Disetujui Komisi pembimbing

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S Ketua

Waras Nurcholis, M.Si Anggota

Diketahui

Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc. Ketua Departemen Biokimia

Tanggal lulus :

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berjudul Aktivitas Antioksidan dan Potensi Hayati dari Kombinasi Ekstrak Empat Jenis Tanaman Obat Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Uji Mutu Pusat Studi Biofarmaka IPB (PSB) dari Bulan November 2010 hingga Februari 2011. Penelitian ini merupakan bagian dari Kegiatan Penelitian Hibah Kompetitif sesuai Prioritas Nasional 2010 dengan topik Uji Tanggap Penanggulangan Avian influenza dengan Formulasi Herbal. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan karya ilmiah ini, terutama kepada Ibu Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S dan Bapak Waras Nurcholis, M.Si selaku dewan komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan waktunya selama berlangsungnya penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Latifah K Darusman selaku Kepala Pusat Studi Biofarmaka IPB yang telah mengijinkan penulis melaksanakan kegiatan penelitian di laboratorium PSB, serta seluruh staf laboratorium PSB, khususnya Bu Nunu, Mbak Wiwi, Mbak Salina, Mas Endi, Pak Zaim, dan Nio atas bantuan teknis dan saran yang diberikan selama penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf Departemen Biokimia IPB, terutama Dr.Syamsul Falah, S.Hut, M.Si, drh. Sulistyani, M.Sc, Ph.D, dan Dr. Laksmi Ambarsari, M.Si selaku tim kelayakan skripsi, yang telah memberikan waktu dan saran terbaiknya. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak, Ibu, Riska Dewi Permata, serta ketiga adik penulis tercinta atas doa, motivasi, semangat, dan dukungan moriil, maupun materi yang telah diberikan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman Biokimia 44, Nasrun Hakim, Amboro Rintoko, Mudho Saksono, dan Daniel Rolas Nainggolan atas segala doa, bantuan teknis maupun non teknis, serta dukungan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan mampu meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Tuhan pencipta alam semesta.

Bogor, Juli 2011

Andri Kurniawan

RIWAYAT HIDUP Andri Kurniawan dilahirkan di Malang pada tanggal 9 November 1988 dari Ayah Mukhlis Hidayat dan Ibu Sulis Narwati, Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan jenjang menengah atas di SMA Negeri 1 Gondanglegi Kabupaten Malang pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan jenjang tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI IPB). Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Dasar pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011, mata kuliah Pengantar Penelitian Biokimia pada tahun ajaran 2010/2011, serta mata kuliah Biokimia Akademi Keperawatan pada tahun ajaran 2010/2011. Selama menempuh program sarjana, penulis menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) sejak tahun 2007 hingga 2011. Pada tahun 2010 penulis melaksanakan kegiatan praktik lapang di PT. Nestle Indonesia Kejayan Factory, dengan karya ilmiah berjudul Pengukuran Kadar Komponen Kimiawi Fresh Milk dengan Milko Scan FT 120 Akibat Proses Termisasi. Pada tahun 2011 penulis dkk, mendapatkan dana program kreativitas mahasiswa bidang penelitian (PKMP) berjudul Gula Kristal Aren. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan di luar bidang ilmu yang ditekuni, penulis tercatat sebagai The First Winner Bogor Bussines Simulation pada tahun 2007. Di bidang olahraga, penulis pernah meraih juara II kompetisi sepak bola olimpiade mahasiswa IPB (OMI IPB) pada tahun 2008. Di bidang organisasi, penulis juga pernah menjabat sebagai pengurus himpunan profesi Community Research and Education Biochemistry Student (CREBs) pada periode 2008/2009.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... PENDAHULUAN ........................................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) .................................................................... Meniran (Phyllanthus niruri L) .................................................................................... Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ................................................................... Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) ..................................................................... Radikal Bebas ............................................................................................................. Antioksidan ................................................................................................................ Uji Antioksidan 2,2 diphenyl-1-picryl-hydrazil (DPPH) ............................................... Uji Potensi Hayati Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ................................................ ix ix x 1 1 1 3 4 5 5 6 7 8

BAHAN DAN METODE ......................................................................................... ... 10 Bahan dan Alat ....................................................................................................... .... 10 Metode Penelitian ................................................................................................. ... 10 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................ Ekstraksi Sampel .......................................................................................................... Uji Aktivitas Antioksidan DPPH ................................................................................. Uji Potensi Hayati BSLT ............................................................................................. Uji Korelasi Kapasitas Antioksidan dan Potensi Hayati .................................................. 11 11 12 13 14

SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................. 15 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 15 LAMPIRAN ................................................................................................................... 20

DAFTAR TABEL Halaman 1 Persentase rendemen masing-masing ekstrak ................................................................ 11 2 Nilai IC50 dari masing-masing formula ........................................................................... 13 3 Nilai LC50 dari masing-masing formula .......................................................................... 14

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Rimpang Temulawak ..................................................................................................... 2 2 Daun Meniran ............................................................................................................... 3 3 Daun Sambiloto ............................................................................................................. 4 4 Rimpang Temu Ireng ..................................................................................................... 5 5 Struktur kimia DPPH ..................................................................................................... 8 6 Ekstrak temulawak, meniran, sambiloto, dan temu ireng ............................................... 11 7 Efek Peredaman Warna DPPH .................................................................................... 12

8 Prinsip Penangkapan H oleh DPPH ................................................................................ 13 9 Uji Potensi Hayati BSLT ............................................................................................. 14 10 Hubungan antara Nilai IC50 dengan Nilai LC50 .............................................................. 15

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Diagram alir penelitian ................................................................................................. 21 2 Prosedur ekstraksi ........................................................................................................ 22 3 Rendemen hasil ekstraksi ............................................................................................. 23 4 Kombinasi equal formulation ....................................................................................... 23 5 Prosedur uji antioksidan DPPH ..................................................................................... 24 6 Contoh data absorbansi formula 1 dan 2 ......................................................................... 25 7 Contoh grafik hubungan konsentrasi formula 1 dan 2 ..................................................... 26 8 Nilai IC50 masing-masing formula .................................................................................. 27 9 Hasil analisis statistik IC50 dengan selang kepercayaan 95% ........................................... 28 10 Hasil Uji Duncan IC50 dengan selang kepercayaan 95% ................................................ 29 11 Prosedur uji potensi hayati BSLT ................................................................................... 30 12 Hasil perhitungan analisis probit formula 1 dan 2 ........................................................... 31 13 Analisis probit nilai LC50 masing-masing formula ........................................................ 32 14 Hasil analisis statistik LC50 dengan selang kepercayaan 95% .......................................... 33 15 Hasil Uji Duncan LC50 dengan selang kepercayaan 95% ................................................ 34 16 Hasil uji korelasi nilai IC50 dengan nilai LC50 ................................................................. 34 17 Dokumentasi Penelitian .................................................................................................. 35

PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara tropis yang dikenal dengan julukan the second mega biodiversity, memiliki berbagai jenis tanaman yang diketahui secara empirik berpotensi sebagai obat fitofarmaka. Beberapa jenis diantaranya adalah temulawak, meniran, sambiloto, dan temu ireng. Karakteristik tanaman sebagai obat fitofarmaka didasarkan pada potensi tanaman tersebut sebagai antimikroba, antioksidan, antifungi, hepatoprotektor, antiinflamasi, dan sebagainya (Nuratmi et al. 1996). Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian uji tanggap penanggulangan Avian influenza melalui formulasi herbal. Herbal yang digunakan diantaranya temulawak, meniran, sambiloto, dan temu ireng. Dasar pemilihan herbal temulawak dan temu ireng dilatarbelakangi oleh potensi faramakologis dari rimpang temulawak dan temu ireng sebagai antibakteri, antifungi, maupun antivirus. Kandungan xanthorrizol dalam temulawak, mampu membunuh Candida albicans pada dosis 5 mg/L dan Candida parasilopsis pada konsentrasi 7.5 mg/L pada waktu inkubasi 48 jam (Rukayadi et.al 2006). Selain itu, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol dari temu ireng, diketahui berpotensi menghambat pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa, Staphyllococus aureus, dan Bacillus subtilis pada konsentrasi 500 mg/mL sebesar 7.5 mm (Philip et.al 2009). Potensi farmakologis dari rimpang temulawak dan temu ireng akan di uji dengan menggunakan uji potensi hayati Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Pemilihan herbal meniran dan sambiloto didasarkan pada potensi keduanya sebagai imunomodulator. Imunomodulator adalah zat yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh akibat gangguan radikal bebas, serangan bateri ataupun virus, serta mampu membantu mencegah terjadinya influenza (Suhirman & Winarti 2010). Ekstrak daun meniran dan sambiloto diketahui berpotensi meningkatkan nilai indeks fagositosis pada mencit albino, masing-masing sebesar 0.01710.0010 dan 0.01900.0009, serta mampu meningkatkan jumlah leukosit sebesar 9.10.1 juta/mm3 untuk meniran dan 10.40.4 juta/mm3 untuk sambiloto (Choudari et.al 2010). Potensi daun meniran dan sambiloto sebagai imunomodulator akan di uji berdasarkan aktivitas antioksidan dari keduanya (pertahanan terhadap serangan radikal bebas).

Radikal bebas sebagai pengganggu sistem kekebalan tubuh, merupakan pemicu beberapa penyakit degeneratif seperti kanker, katarak, aterosklerosis, diabetes melitus, penyakit jantung koroner, dan gangguan imunodefisiensi. Data WHO (World Health Organization) tahun 2005 menunjukkan bahwa, penyakit degeneratif telah menyebabkan kematian hampir 17 juta orang di seluruh dunia. Hal ini menempatkan penyakit degeneratif sebagai penyakit pembunuh manusia terbesar di dunia. Data WHO menyatakan sekitar satu milyar orang diseluruh dunia, saat ini menderita resiko penyakit degeneratif dan diperkirakan akan naik menjadi 1.5 milyar pada tahun 2015 (Komnas Lansia 2010). Solusi dari masalah yang ditimbulkan radikal bebas adalah dengan menggunakan antioksidan. Antioksidan memiliki potensi untuk menetralisir radikal bebas dan memutus reaksi berantai radikal bebas, sehingga dapat meminimalisir resiko yang ditimbulkan oleh oksidasi radikal bebas. Perlakuan kombinasi (formulasi) ekstrak dari keempat jenis tanaman obat Indonesia tersebut, diharapkan mampu meningkatkan potensi bioaktivitas antioksidan dan efek farmakologis dari masing-masing ekstrak tunggal tanaman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil kombinasi antara rimpang temulawak, daun meniran, daun sambiloto, dan rimpang temu ireng yang memiliki nilai Inhibition Concentration (IC50) dan Lethal Concentration (LC50) terbaik (hasil kombinasi dengan nilai IC50 dan LC50 yang rendah). Hipotesis penelitian ini adalah melalui perlakuan kombinasi keempat jenis ekstrak tersebut, diharapkan berpengaruh terhadap potensi bioaktivitas yang dihasilkan. Potensi bioaktivitas dilihat berdasarkan hasil uji antioksidan dan uji potensi hayati pada sejumlah kombinasi sampel yang dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai kombinasi yang memiliki hubungan terbaik antara potensi antioksidan dan potensi hayati yang dihasilkan. TINJAUAN PUSTAKA Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan tanaman obat berupa rumpun berbatang semu. Di Indonesia, temulawak dikenal dengan berbagai nama daerah, misalnya koneng gede (Jawa Barat),

temulawak (Sumatera dan Jawa Timur), dan temo lobak (Madura). Berdasarkan taksonominya, temulawak termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorriza Roxb (Supriadi 2008). Tanaman ini sering kali ditemukan dalam semak-semak hutan jati, tetapi ada juga yang ditanam atau dibudidayakan, khususnya di daerah pulau Jawa. Temulawak tumbuh liar di hutan-hutan beberapa pulau di Indonesia, antara lain Jawa, Maluku, dan Kalimantan (Supriadi 2008). Temulawak merupakan tanaman terna berbatang semu berwarna hijau atau coklat gelap, dengan ketinggian mencapai 1 m hingga 2 m. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, serta berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2-9 helai, dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset. Daun temulawak berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun berukuran 31-84 cm dan lebar daun 10-18 cm, panjang tangkai daun (termasuk helaian daun) mencapai 43-80 cm. Pembungaan tanaman temulawak, termasuk pembungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis. Panjang tangkai bunga berukuran 9-23 cm dan lebarnya 4-6 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, dengan panjang antara 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk tabung, dengan panjang keseluruhan 4.5 cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang, berwarna putih dan ujung helaian berwarna merah dadu atau merah, dengan panjang 1.252 cm dan lebar sebesar 1cm (Priamboro 2001 dalam Afifah 2003). Rimpang temulawak berukuran paling besar, bila dibandingkan rimpang tanaman marga curcuma lainnya. Rimpang temulawak, dapat dipanen setelah memasuki usia 8-12 bulan. Tanaman yang siap dipanen memiliki daun dan bagian tanaman yang telah menguning dan mengering, serta memiliki rimpang besar berwarna kuning kecoklatan (Liza 2010). Rimpang induk temulawak berbentuk bulat dan berukuran lebih besar dibandingkan rimpang cabang. Rimpang cabang temulawak memiliki bentuk memanjang dan terletak pada bagian samping rimpang induk. Warna rimpang cabang umumnya lebih muda daripada rimpang induk. Kulit rimpang

berwarna kuning kecoklatan, sedangkan warna daging rimpang adalah jingga tua. Rimpang terbentuk dalam tanah pada kedalaman 16 cm. Setiap rumpun temulawak, umumnya memiliki enam buah rimpang tua dan lima buah rimpang muda (Afifah 2003). Temulawak merupakan salah satu tanaman dengan daya adaptasi yang tinggi terhadap beberapa cuaca di daerah tropis. Syarat pertumbuhan temulawak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya iklim, media tanam, dan ketinggian tempat. Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan teduh dan terlindung dari terik sinar matahari. Di habitat alami, rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu atau jati. Namun, temulawak juga dapat dengan mudah ditemukan di tempat terik, seperti ladang (tegalan). Suhu udara yang baik untuk budidaya tanaman ini, berkisar antara 19-30 0 C. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1.000-4.000 mm/tahun (Afifah 2003). Perakaran temulawak, beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah (media tanam), baik tanah berkapur, berpasir, maupun tanah liat. Namun, untuk memproduksi rimpang yang optimal diperlukan tanah yang subur, gembur, dan berdrainase baik. Oleh karena itu, dibutuhkan pemupukan organik dan anorganik untuk memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur. Tanah dengan kandungan bahan organic yang tinggi, diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air (Afifah 2003). Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian 5-1.000 m/dpl (di atas permukaan laut) dengan ketinggian tempat optimum 750 m/dpl. Kandungan pati tertinggi di dalam rimpang, diperoleh pada ketinggian tanam 240 m/dpl. Temulawak yang ditanam di dataran tinggi menghasilkan kadar minyak atsiri yang kecil pada rimpangnya. Tanaman ini lebih cocok dibudidayakan di dataran sedang dibandingkan dataran tinggi maupun rendah (Afifah 2003). Rimpang temulawak sering dimanfaatkan untuk pengobatan alternatif. Rimpang temulawak, mengandung 48-59.64% zat tepung, 1.6-2.2% kurkumin, dan 1.48-1.63% minyak atsiri, serta dipercaya dapat meningkatkan kinerja ginjal dan antiinflamasi. Manfaat lain temulawak secara medis, diantaranya sebagai hepatoprotektor, antikanker, antidiabetes, antimikroba, antilipidemia, antijamur, obat jerawat,

penambah nafsu makan, dan antioksidan (Nurcholis 2008). Menurut Sugiharto (2004), rimpang temulawak (Gambar 1) mengandung senyawa metabolit aktif, seperti kurkumin, xanthorrizol, minyak atsiri, zat pati, flavonoid, kamfer, turmerol, phellandrene, myrcene, isofuranogermacen, p-tolymetilkarbitol, kation Fe, Ca, Na, dan K. Sedangkan menurut Hwang et.al (2000), kandungan pati dalam temulawak dapat berkhasiat sebagai senyawa imunomodulator. Kurkuminoid dan xanthorrizol memiliki potensi sebagai zat antioksidan dan hepatoprotektor. Antioksidan secara alami terdapat dalam tubuh sebagai sistem perlindungan terhadap radikal bebas. Kurkuminoid, secara kuat dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 di hati. Enzim ini merupakan isoenzim yang berperan dalam bioaktivasi beberapa toksin, termasuk benzopirena (Irawati 2008). Kurkumin juga dapat mencegah pembentukan ikatan kovalen antara sitokrom P450 dengan DNA, serta mampu memodulasi fungsi sitokrom P450 untuk menghambat karsinogenesis oleh senyawa kimia. Selain itu, kurkuminoid juga mampu menjadi hepatoprotektor terhadap toksisitas alkohol, dan mampu untuk menghambat proses replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Liza 2010). Berdasarkan hasil penelitian Liza (2010), kurkuminoid mampu menghambat fusion sel virus, pada siklus replikasi HIV.

Gambar 1 Rimpang temulawak. Meniran (Phyllanthus niruri L.) Meniran merupakan tumbuhan terna musiman, dengan ketinggian mencapai 1 m. Batang pohon meniran, berbentuk bulat, liat, masif, tidak berbulu, bercabang, licin, berwarna hijau keunguan, dan memiliki diameter 3 mm. Daun meniran tersusun majemuk dengan warna hijau, dan berbentuk bulat telur. Karakteristik daun meniran lainnya yaitu memiliki 15-24 helai anak daun, bagian tepi daun rata, pangkal daun

membulat, berujung tumpul, dan pada bagian bawah tulang daun sering dijumpai butiran kecil menggantung. Bunga pohon meniran bersifat tunggal, dengan kelopak daun berbentuk bintang, dan mahkota berwarna putih. Buah meniran berbentuk bulat, berwarna hijau keunguan. Bijinya berukuran kecil, keras, berbentuk ginjal, dan berwarna coklat tua (Widayati 2008). Tanaman ini juga dikenal dengan nama dukung anak (Malaka), meniran ijo atau meniran (Jawa, Sunda), dan gossau ma dugi (Ternate). Di India tanaman ini dijuluki dengan nama chanca-piedra, sementara di Amerika Selatan disebut sebagai stone breaker. Berdasarkan taksonominya, meniran termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dycotyledonae, ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Phyllanthus, dan spesies Phyllanthus niruri Linn. Daun meniran mengandung senyawa kimia turunan flavonoid, antara lain kuersetin, kuersetrin, isokuersetrin, astragalin, rutin kamferol-4-ramnopiranosida, eridiositol-7ramnopiranosida, fisetin-4-O-glikosida, dan irurin. Bagian akar meniran, mengandung senyawa kimia 3,5,7-trihidroksiflavon-4-O-ramnosida yang merupakan suatu senyawa glikosida flavonoid dengan kamferol sebagai aglikon, dan ramnosida sebagai glikon. Selain itu, terdapat juga senyawa turunan lignin seperti, norsekurinin, sekurinin, alosekurinin, ignan, nirfilin, isolintetrain, hipofilantin, nirtetralin, nirantin, filantin, hinikinin, ligtetralin, filantostatin, trans-fitol, dan senyawa alkaloid etnosekurinin (Widayati 2008). Akar tumbuhan meniran, sering digunakan untuk pengobatan peradangan, infeksi saluran kencing, diuretikum, penyembuhan diare, busung air, infeksi saluran pencernaan, dan gangguan fungsi hati. Buah meniran berasa pahit, dan banyak digunakan untuk obat luka dan scabies. Akar segar meniran, dapat juga digunakan untuk pengobatan penyakit kuning, penambah nafsu makan, dan obat antidemam. Meniran banyak disalahgunakan sebagai obat penggugur kandungan, dan pemakaian berlebih dari herba Phyllanthi tersebut, dapat menyebabkan impoten. Widayanti (2008), menjelaskan senyawa turunan flavonoid yang terkandung dalam meniran, dapat menghambat kinerja enzim xantin oksidase, sehingga dapat dimanfaatkan dalam pengobatan batu ginjal dan asam urat. Senyawa turunan flavonoid dalam tanaman

meniran dilaporkan memiliki potensi sebagai imunomodulator, sehingga mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan mampu menangkal serangan virus, bakteri, atau mikrob lainnya (Suhirman dan Winarti 2010). Thyagarajan et al. (1988), telah berhasil mengisolasi tiga senyawa aktif dari genus Phyllanthus amarus, yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap perkembangbiakan virus hepatitis B, meningkatkan sistem imun, dan melindungi sel hati. Selain itu, menurut Maat dalam Tjandrawinata et al. (2005), melaporkan bahwa ekstrak P.niruri dapat meningkatkan aktivitas dan fungsi komponen sistem imun, baik humoral maupun selular. Tjandrawinata et al (2005), telah melakukan uji pra-klinis untuk menguji aktivitas ekstrak daun meniran (Gambar 2). Uji pra-klinis dilakukan terhadap tikus dan mencit, untuk menentukan keamanan dan karakteristik imunomodulasi dari ekstrak daun meniran. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ekstrak P.niruri dapat memodulasi sistem imun melalui proliferasi dan aktivasi limfosit T & B, sekresi sitokin spesifik (gama interferon, interleukin, tumor nekrosis, dan faktor alfa), aktivasi sistem komplemen, dan aktivasi sel fagosit (makrofag dan monosit). Selain itu, juga terjadi peningkatan sel sitotoksik, seperti Natural Killer cell (NK sel).

Gambar 2 Daun meniran. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Sambiloto merupakan tanaman liar yang banyak tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tinggi tanaman dapat mencapai 1 m, dengan batang berbentuk persegi empat. Sambiloto memiliki daun tunggal, terletak berhadapan, tangkai daun pendek, berbentuk lanset, berukuran 12 x 13 cm, bertepi rata, dan permukaan atas berwarna hijau tua. Sambiloto memiliki bunga majemuk, berbentuk malai, berukuran kecil, berwarna putih, terdapat di bagian ketiak dan ujung tangkai. Buah kecil memanjang, berukuran 0.30-0.40 cm x 1.501.90 cm, berlekuk, memiliki dua rongga, berwarna hijau, biji kecil, gepeng, dan

berwarna hitam (Aji 2009). Berdasarkan taksonominya, sambiloto termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dycotyledonae, ordo Solanales, famili Achantaceae, genus Andrographis, spesies Andrographis paniculata Ness. Sambiloto (Gambar 3) juga dikenal dengan nama yang berbeda pada tiap daerah, yaitu sambilata (Sumatra), Ki Oray (Sunda), sambiloto (Jawa), papaitan (Maluku), dan ampadu tanah (Minang). Sambiloto mengandung metabolit sekunder turunan lakton, yang terdiri dari andrografolid, deoksiandrografolid, saponin, tannin, flavonoid, homoanografolid, 14-deoksi-11,12didehidroandrografolid (Syamsuhidayat & Hutapea 1994 diacu dalam Aji 2009). Komponen aktif dari sambiloto yang diisolasi dari ekstrak metanol mempunyai efek imunomodulator dan dapat menghambat induksi sel penyebab HIV. Komponenkomponen tersebut, dapat meningkatkan proliferasi dan induksi IL-2 limfosit perifer darah manusia (Kumar et al. 2005 diacu dalam Elfahmi 2006). Hasil penelitian Cahyaningsih et al. (2003), menunjukkan bahwa melalui pemberian sambiloto pada dosis bertingkat dengan koksidiostat (preparat sulfa) akan meningkatkan heterofil darah ayam. Penambahan dosis sambiloto akan menaikkan heterofil darah ayam, kenaikan tersebut diduga berkaitan erat dengan fungsi ganda sambiloto sebagai imunosupresan dan imunostimulan (Deng 1978; Puri et al. 1993). Heterofil merupakan salah satu komponen sistem imun, yaitu sebagai penghancur sel asing yang masuk ke dalam tubuh (Tyzard 1987). Sambiloto, juga dapat digunakan sebagai obat demam, gatal-gatal pada kulit, peradangan, gigitan ular berbisa, kencing manis, disentri, masuk angin, malaria, tifus, penambah nafsu makan, antioksidan, dan obat keracunan makanan (Aji 2009). Mekanisme kerja dari herba sambiloto sebagai imunosupresan sangat terkait dengan keberadaan dari kelenjar adrenal (Yin dan Guo 1993). Hal ini dikarenakan, sambiloto dapat merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar ptutiari anterior, yang berada di dalam otak. Selanjutnya, kelenjar adrenal bagian korteks akan terangsang untuk memproduksi kortisol. Kortisol yang dihasilkan ini, kemudian akan bertindak sebagai imunosupresan (West 1995). Efek imunosupresan akan

mengakibatkan timbulnya penurunan respon imun. Menurut Puri et al. (1993) sambiloto dapat merangsang sistem imun tubuh, baik berupa respon antigen spesifik, maupun respon imun non spesifik yang kemudian akan menghasilkan sel fagosit. Respon antigen spesifik yang dihasilkan akan menyebabkan diproduksinya limfosit dalam jumlah besar, terutama limfosit B. Limfosit B akan menghasilkan antibodi yang merupakan plasma glikoprotein dan akan mengikat antigen, serta merangsang proses fagositosis (Decker 2000).

famili Zingiberaceae, genus Curcuma, spesies Curcuma aeruginosa Roxb. Rimpang temu ireng (Curcuma aeruginosa) merupakan salah satu tanaman obat tradisional yang dimanfaatkan sebagai obat cacing (antihelmintik), penambah nafsu makan, peluruh dahak, dan obat demam berdarah (Gambar 4). (Planthus 2008). Subekti (1990), menyatakan salah satu bahan alam yang sering digunakan adalah rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza) dan temu ireng (Curcuma aeruginosa). Kedua bahan tersebut berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan antihelmintik. Selain itu, temu ireng juga dapat dimanfaatkan secara empiris untuk mengobati kerusakan sel hati. Rimpang temu ireng mengandung senyawa kimia berupa turunan kurkuminoid, saponin, flavonoid, minyak atsiri, dan polifenol (Damayanti 2009).

Gambar 3 Daun sambiloto. Gambar 4 Rimpang temu ireng. Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) Temu ireng merupakan tanaman semak, dengan ketinggian berkisar 1.5 m. Temu ireng memiliki batang semu, yang terdiri dari pelepah daun dan rimpang. Temu ireng memiliki daun tunggal, berbentuk bulat telur, berujung runcing, bagian tepi rata, bagian pangkal tumpul, permukaannya licin, tulang daun menyirip, dan terdapat garis-garis coklat membujur. Temu ireng memiliki bunga majemuk, berambut, memiliki tangkai berukuran 20-35 cm, panjang mahkota 2.5 cm, lebar 1.5 cm, berwarna kuning, kelopak berbentuk silindris, bercangap tiga, dan pangkal bunga berwarna putih. Temu ireng memiliki bentuk perakaran serabut, dan berwarna coklat muda. Temu ireng, dikenal dengan nama berbeda pada tiap daerah, diantaranya temu itam (Melayu), temu hitam (Minangkabau), koneng hideung (Sunda), temu ireng (Jawa), temo ireng (Madura), dan temu lotong (Bugis). Berdasarkan taksonominya, temu ireng termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu molekul atau atom yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat menyebabkan kerusakan pada biomolekul (Halliwel dan Gutteridge 1989). Hal tersebut menyebabkan radikal bebas bersifat sangat reaktif dan mampu mengambil elekron dari molekul lain, seperti protein, DNA, dan peroksidasi lipid (Hafidz 2003). Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada jaringan biologis, kerusakan tersebut dapat menyebabkan penyakit kronis, seperti iskemia, katarak, kanker, diabetes melitus, penuaan, dan jantung koroner (Hiriguchi et al. 1995). Radikal bebas terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen dan eksogen. Secara endogen, radikal bebas dihasilkan melalui reaksi biokimia di dalam tubuh, contohnya oksidasi enzimatis, fagositosis, transport elektron, dan oksidasi logam transisi melalui ischemic. Secara eksogen, radikal bebas dihasilkan dari lingkungan sekitar, seperti polusi udara, bahan tambahan pangan, dan

radiasi ultraviolet (UV). Radikal eksogen tersebut, selanjutnya akan masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, pencernaan, dan absorbsi kulit (Amelia 2006). Radikal bebas diproduksi secara endogen di dalam sel oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, peroksisom, retikulum endoplasma, dan inti sel (Langseth 1995). Radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh, biasanya terdiri dari spesies oksigen reaktif (ROS) dan spesies nitrogen reaktif (RNS). Contoh turunan kedua spesies tersebut, diantaranya radikal superoksida (O2.), hidroksil (.OH), peroksil (ROO.), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (O.), nitrit oksida (NO.), peroksi nitrit (NOO.), dan asam hipoklorit (HOCl.) (Murray et al. 2003). Atom atau molekul dengan elektron bebas ini, dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis seperti kemampuan untuk membunuh virus dan bakteri. Menurut Gordon (1991) diacu dalam Marpaung (2008), mekanisme reaksi pembentukan radikal bebas terdiri atas tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Tahap inisiasi, merupakan tahap awal pembentukan radikal bebas. Tahap kedua adalah propagasi, yaitu perubahan suatu molekul radikal bebas menjadi radikal bentuk lain (pembentukan radikal bebas baru). Tahap yang terakhir adalah terminasi. Terminasi adalah tahap dimana terjadi penggabungan dua molekul radikal bebas dan membentuk produk yang stabil. Mekanisme reaksi ketiga tahapan tersebut dapat ditulis sebagai berikut: Inisiasi: RH + OH R* + H2O Propagasi: R* + O2 ROO* ROO* + RH ROOH + R* Terminasi: ROO* + ROO* ROOR + O2 ROO* + R* ROOR R* + R* RR Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang memiliki kemampuan untuk menetralisir radikal bebas dengan cara menyumbangkan elektronnya pada molekul radikal bebas. Senyawa antioksidan dapat mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, lemak, dan DNA. Berdasarkan sumbernya, antioksidan dikelompokkan ke dalam antioksidan endogen

dan antioksidan eksogen (Kumalaningsih 2007). Antioksidan endogen merupakan antioksidan enzimatis yang dihasilkan oleh tubuh, melalui proses metabolisme sel. Contoh antioksidan endogen, antara lain superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT), peroksidase, dan glutathione peroksidase (GPX). Superoksida dismutase merupakan antioksidan endogen yang dapat mengkatalisis radikal superoksida (O2.) menjadi hidrogen peroksida (H2O2), sehingga SOD disebut sebagai scavenger atau pembersih superoksida (O2.). Katalase sebagai salah satu antioksidan endogen, merupakan senyawa hemotetramer dengan besi (Fe) sebagai kofaktornya. Katalase adalah suatu hemoprotein yang mengandung empat gugus heme, dan banyak ditemukan pada hewan maupun tumbuhan. Katalase berfungsi untuk mengkatalisis berbagai radikal peroksida menjadi H2O dan O2 (Kumalaningsih 2007). Peroksidase merupakan enzim turunan hemeprotein yang terdapat pada organisme prokariot dan eukariot. Sedangkan GPX adalah salah satu jenis enzim peroksidase yang memiliki gugus prostetik berupa logam selenium (Se). Enzim GPX bekerja dengan cara memecah H2O2 dan berbagai lipid peroksida, dengan mereduksinya menjadi H2O. Proses tersebut melibatkan reaksi redoks dari glutathione tereduksi (GSH) (Kumalaningsih 2007). Antioksidan eksogen merupakan antioksidan yang diperoleh dari luar tubuh. Antioksidan eksogen kerap kali diperoleh dari makanan sehari-hari, terutama sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin (vitamin A, C, dan E) serta mineral (seperti Zn dan Se) (Kumalaningsih 2007). Berdasarkan fungsinya, antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan primer, antioksidan sekunder, antioksidan tersier, oxygen scavenger, dan chelator. Antioksidan primer adalah antioksidan yang berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru, karena memiliki kemampuan untuk menonaktifkan radikal bebas sebelumnya. Contoh antioksidan primer adalah enzim SOD, enzim tersebut dapat melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Kinerja enzim SOD dipengaruhi oleh beberapa mineral, seperti Zn, Mn, Cu, dan Se (Kumalaningsih 2007). Antioksidan sekunder adalah senyawa antioksidan yang mampu memotong reaksi berantai (propagasi) yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Sehingga dapat mencegah

terjadinya kerusakan yang lebih besar. Contoh antioksidan sekunder adalah betakaroten, vitamin C, dan vitamin E. Sedangkan antioksidan tersier merupakan antioksidan yang mampu memperbaiki kerusakan sel atau jaringan akibat oksidasi radikal bebas. Metionin sulfoksidan merupakan contoh antioksidan tersier yang mampu memperbaiki kerusakan DNA akibat oksidasi radikal bebas. Oxygen scavenger adalah antioksidan yang mampu mengikat radikal oksigen, sehingga tidak mendukung terjadinya reaksi oksidasi. Asam askorbat (vitamin C) merupakan contoh dari oxygen scavenger. Sedangkan chelator berfungsi mengikat kofaktor logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi, misalnya asam sitrat dan asam amino (Percival 1998). Berdasarkan sumbernya, antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami dalam makanan, dapat berasal dari satu atau beberapa komponen makanan. Senyawa antioksidan tersebut dapat berupa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan sebagai bahan tambahan pangan, maupun antioksidan yang terbentuk selama proses pengolahan (Pratt 1992 diacu dalam Amelia 2006). Antioksidan alami umumnya memiliki gugus hidroksil dalam struktur molekulnya (Sunarni 2005, diacu dalam Kuncahyono & Sunardi 2007). Menurut Pratt dan Hudson (1990) diacu dalam Amelia (2006), senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami, berasal dari bagian tumbuhan seperti kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, rimpang, dan serbuk sari. Selain antioksidan alami, terdapat juga antioksidan sintetik. Jenis-jenis antioksidan sintetik yang sering dijumpai, diantaranya tokoferol, butylatedhydroxytoluene (BHT), butylatedhydroxyanysole (BHA), propylgalate (PG), tert-butyl hydroxyquinone (TBHQ), dan noredihidroquairetic acid (NDGA). Senyawa BHT dan BHA adalah antioksidan yang paling banyak digunakan sebagai bahan tambahan pangan (Buck 1991 diacu dalam Amelia 2006). Namun, antioksidan tersebut bersifat karsinogen terhadap sistem reproduksi, menyebabkan pembengkakan organ hati, mempengaruhi aktivitas enzim dalam hati, bahkan dalam jangka waktu lama tidak terjamin keamanannya. Berdasarkan uji toksisitas akut dan kronik pada hewan coba, pemakaian zat antioksidan maksimal yang diperbolehkan dalam campuran makanan adalah sebesar 200 ppm (Hernani & Rahardjo 2005).

Antioksidan memiliki fungsi utama untuk memutus reaksi berantai radikal bebas. Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan mampu menyebabkan kerusakan oksidatif pada asam nukleat, protein, dan lipid yang mampu meng-inisiasi terjadinya penyakit degeneratif. Senyawa antioksidan seperti fenol, polifenol, dan flavonoid dapat menghambat mekanisme oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas seperti superoksida, hidroksiperoksida, atau lipid peroksida (Shahidi 1997 diacu dalam Nurcholis 2008). Secara umum antioksidan bereaksi dengan menghambat oksidasi lipid atau autooksidasi melalui beberapa tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Uji Antioksidan 2,2 diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH) Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, diantaranya adalah metode Ferric thiocyanate (FTC), asam tiobarbiturat (TBA), Cupric Ion Reducing Antioxidant (CUPRAC), Ferric Reducing Ability of Plasma (FRAP), 2,2 diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH), dan sebagainya. Pemilihan metode DPPH untuk penentuan aktivitas antioksidan, didasarkan pada beberapa keunggulannya, diantaranya mudah, sederhana, cepat, reprodusibel, baik untuk sampel dengan polaritas tertentu, sensitif, dan hanya membutuhkan sedikit sampel (Koleva et al. 2002). Reagen DPPH ditemukan pertama kali oleh Goldschmidt dan Renn pada tahun 1922. DPPH merupakan seyawa radikal bebas berwarna ungu, dan pada awalnya digunakan sebagai reagen kolorimetri. Selain itu, reagen DPPH juga berfungsi untuk investigasi reaksi inhibisi polimerisasi, uji antioksidan (amina, fenol, dan vitamin), serta inhibisi reaksi homolitik (Ionita 2003). Karakter dari DPPH diantaranya, DPPH merupakan senyawa hidrofobik (tidak larut air). Namun, dapat berubah menjadi hidrofilik dengan melekatkan gugus CO maupun SO2 pada DPPH. Menurut Ionita (2003), DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, pada kondisi penyimpanan yang baik (kering). Prinsip metode uji antioksidan DPPH didasarkan pada reaksi penangkapan atom hidrogen oleh DPPH (reduksi DPPH) dari senyawa antioksidan. Reagen DPPH berperan sebagai radikal bebas yang diredam oleh senyawa antioksidan yang terkandung dalam sampel. Selanjutnya DPPH akan tereduksi

menjadi senyawa diphenyl picryl hidrazine (DPPH-H). Reduksi DPPH menjadi DPPH-H menyebabkan perubahan warna pada reagen DPPH (Gambar 5), dari ungu menjadi kuning (Lupea et al. 2006). Metode DPPH dapat memberikan informasi mengenai reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal bebas yang stabil. Penangkapan radikal bebas DPPH oleh antioksidan menyebabkan elektron menjadi berpasangan, serta terjadi perubahan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil oleh radikal bebas. Reagen DPPH hanya dapat mengukur senyawa antioksidan yang terlarut dalam pelarut organik, khususnya golongan alkohol. Secara luas, reagen DPPH digunakan untuk mengukur dan membandingkan aktivitas antioksidan senyawa turunan fenolik dan mengevaluasi aktivitas antioksidan melalui perubahan serapan yang terjadi. Pengujian aktivitas antioksidan DPPH harus dilakukan secara cepat dan hati-hati, karena reagen DPPH dapat dengan mudah didegradasi oleh cahaya, oksigen, Point of Hydrogen (pH), dan jenis pelarut. Metode DPPH secara umum, digunakan untuk screening berbagai sampel dalam penentuan aktivitas antioksidan. Pengukuran serapan DPPH berkisar pada panjang gelombang 515-520 nm. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel padatan maupun larutan, dan tidak spesifik untuk komponen antioksidan partikular, tetapi dapat digunakan untuk pengukuran kapasitas antioksidan secara keseluruhan pada suatu sampel (Molyneux 2004).

Gambar 5 Struktur kimia DPPH. Uji Potensi Hayati Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Analisis Probit Uji potensi hayati dapat dilakukan dengan menggunakan metode BSLT. Metode ini sering digunakan untuk menentukan nilai sitotoksisitas dari suatu bahan alam. Melalui uji BSLT dapat diketahui nilai Lethal Concentration (LC50) senyawa bioaktif pada

sampel terhadap larva udang. Nilai LC50 adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan 50% dari populasi larva udang total (Frank 1995). Nilai LC50 dari suatu populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: umur, suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur (Finney 1971). Selain dengan metode BSLT, uji potensi hayati dapat ditentukan dengan menggunakan inhibisi sel tumor pada kentang, inhibisi pertumbuhan daun Lemna minor L, dan toksisitas terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti (Mc Laughlin & Rogers 1998). Salah satu metode analisis statistika yang digunakan untuk menghitung nilai LC50 adalah dengan menggunakan analisis probit. Analisis tersebut diperkenalkan oleh Finney pada tahun 1971. Metode regresi linier digunakan untuk mendapatkan grafik garis lurus apabila probit kematian ditransformasikan terhadap konsentrasi. Konsentrasi yang dapat mengakibatkan 50% kematian populasi hewan diperoleh dengan menarik garis dari 50% probit kematian (Finney 1971). Meyer et al (1982) telah mengembangkan metode ini untuk menemukan senyawa bioaktif baru pada tumbuhan tingkat tinggi. Metode ini telah banyak digunakan untuk uji potensi hayati dalam analisis residu pestisida, anestetik, dan zat pencemaran air. Metode ini sering digunakan untuk mendeteksi senyawa bioaktif yang memiliki efek farmakologis. Data yang diperoleh dari hasil pengujian dengan menggunakan larva udang, kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS untuk menentukan nilai LC50 dan LC90 (Finney 1971). Data yang diperoleh dapat dianalisis apabila mortalitas pada kontrol 20% (Abott 1925 diacu dalam Setiarto 2009). Uji beda nyata antar nilai LC50 atau LC90 ditentukan dengan nilai selang kepercayaan 95%. Senyawa dengan nilai LC50 < 1000 ppm dikatakan memiliki potensi bioaktivitas hayati (Mc Laughlin et al 1991). Metode uji potensi hayati BSLT memiliki beberapa keunggulan, diantaranya: waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah, sederhana, tidak memerlukan teknik aseptis, tidak memerlukan peralatan khusus, dan hanya membutuhkan sedikit sampel uji (Meyer et al 1982). Larva udang Artemia salina Leach Artemia merupakan kelompok udangudangan (Crustaceae) dari filum Arthropoda, kingdom animalia. Artemia hidup di lingkungan danau berair asin. Udang tersebut

toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari kondisi perairan tawar hingga kondisi garam jenuh. Kadar garam perairan sangat berpengaruh pada proses penetasan udang, kadar garam < 6% menyebabkan telur udang tenggelam dan tidak bisa menetas. Jika kadar garam > 25%, telur akan berada pada kondisi tersuspensi, sehingga telur udang dapat menetas dengan normal (Purwakusumah 2007). Siklus hidup Artemia dimulai dari saat penetasan telur atau embrio. Setelah 15-20 jam, pada suhu 25 0C kista akan menetas menjadi embrio. Selama kisaran waktu 20-24 jam, embrio tersebut akan berubah menjadi naupli (larva udang) yang dapat berenang bebas. Siklus hidup Artemia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pH, cahaya, suhu, kadar garam, dan aerasi O2. Selang pH terbaik untuk siklus hidup Artemia adalah sebesar 8-9, pH di bawah 5 atau di atas 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya sangat diperlukan untuk proses penetasan dan pertumbuhan mereka. Selain itu, kadar oksigen harus tetap dijaga dengan baik untuk mendukung pertumbuhan Artemia. Saat faktor-faktor tersebut dapat diperoleh dengan optimal, Artemia akan tumbuh dan beranak-pinak dengan cepat. Apabila kadar oksigen dalam air rendah, air mengandung polutan organik, atau salinitas perairan meningkat, Artemia akan memakan bakteri, plankton, dan sel khamir. Pada kondisi tersebut, Artemia akan memproduksi hemoglobin sehingga tampak berwarna jingga kemerahan (Purwakusumah 2007). Selama proses inkubasi selama 24 jam, larva udang membutuhkan proses aerasi dengan menggunakan aerator (Lampiran 14). Aerasi merupakan proses terjadinya kontak antara air dan udara, sehingga terjadi perpindahan seyawa yang bersifat volatile. Proses aerasi dapat meningkatkan jumlah O2 di dalam air, menghilangkan CO2, H2S, dan menghilangkan rasa serta bau yang disebabkan oleh zat-zat organik. Aerasi juga dapat meningkatkan pH dan menurunkan suhu termal air laut (Setiarto 2009). Proses aerasi dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan memompakan udara atau oksigen ke dalam air, sehingga dihasilkan gelembung udara yang berkontak langsung dengan air. Cara yang kedua adalah dengan menekan air ke atas untuk berkontak langsung dengan udara, proses tersebut dilakukan dengan bantuan pemutaran baling-baling pada permukaan air (Moss 1990).

Pertimbangan pemilihan larva udang sebagai hewan uji didasarkan karena telur Artemia memiliki daya tahan yang lama (dapat tetap hidup dalam kondisi kering, selama beberapa tahun). Disamping itu, telur Artemia lebih cepat dan mudah menetas dalam waktu 48 jam, sehingga dapat dihasilkan naupli dalam jumlah besar yang siap untuk diuji (Carballo et al. 2002). Selain itu, larva udang memiliki kemampuan untuk mengatasi perubahan tekanan osmotik dan regulasi ionik yang tinggi (Croghan 1957). Alasan lain yang menyebabkan dipilihnya larva udang (naupli) sebagai hewan uji adalah, karena larva udang memiliki membran kulit yang tipis, sehingga kematian suatu larva akibat efek sitotoksik dari senyawa bioaktif dapat dianalogikan dengan kematian sebuah sel dalam organisme (Fenton 2002; Gad 2007). Disamping itu, larva udang juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap selang salinitas yang luas, mulai dari air tawar hingga air yang bersifat jenuh garam (Dyah 1991). Prinsip penetasan telur udang dilakukan di dalam media air laut buatan selama 24 jam. Larva udang yang dihasilkan akan berenang bebas di dalam media air laut buatan. Air laut buatan terdiri atas klorin, sulfat, natrium, kalium, magnesium, dan kalsium (Priyotomo 2007). Selanjutnya sebanyak 10 ekor naupli dimasukkan ke dalam masing-masing sumur pada plate uji. Kemudian ditambahkan setetes Tween 80 dan ekstrak dari masing-masing formula dengan konsentrasi 10, 100, 500, dan 1000 ppm pada masing-masing sumur (Gambar 9). Tujuan penambahan Tween 80 pada uji potensi hayati BSLT adalah untuk membantu melarutkan ekstrak hasil maserasi yang berbentuk pasta (Sanubari 2010). Persen kematian Artemia salina dapat dihitung setelah periode inkubasi selama 24 jam, akibat pemberian sejumlah larutan uji pada media hidupnya. Kematian tersebut disebabkan, karena larva udang mengalami keracunan (toxicity) akibat keberadaan senyawa bioaktif yang masuk ke dalam tubuhnya. Selain itu, sistem pertahanan tubuh (imunitas) yang dibentuk larva udang masih belum mampu untuk menghambat dan menoleransi senyawa bioaktif yang terdapat pada media hidupnya. Kematian larva udang dinyatakan berdasarkan hasil pengamatan menggunakan kaca pembesar dan ditunjukkan dengan tidak adanya motilitas (pergerakan) dari larva udang. Selanjutnya dapat dihitung

10

efek farmakologis, berdasarkan nilai LC50 dengan parameter analisis probit. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya rimpang temulawak, rimpang temu ireng, daun sambiloto, daun meniran, etanol 96%, akuades, telur udang, air laut buatan, DMSO (dimetil sulfoksida), DPPH, dan Tween 80. Alat yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya gelas piala, gelas ukur, tabung reaksi, gelas arloji, sudip, spatula, pipet tetes, pipet volumetrik, pipet mohr, pipet mikro, tip, lampu neon, Erlenmeyer, aerator, jerigen, botol vial, labu takar, vorteks, mikro plate, oven, rotavapour, sonikator, penggiling 100 mash, freezer, neraca digital, dan Elisa reader EPOCH. Metode Penelitian Pengeringan Sampel Sampel basah diambil dari kebun Biofarmaka IPB, terdiri atas 20 kg rimpang temulawak, 18 kg daun meniran, 11 kg daun sambiloto, dan 6 kg rimpang temu ireng. Jumlah bobot yang dipanen didasarkan pada jumlah tanaman yang tersedia. Tujuannya adalah untuk menghindari kekurangan ekstrak pada penelitian uji klinis yang akan dilakukan pada penelitian lanjutan. Masing-masing sampel dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 40-50 0C, selama 4 s.d 5 hari. Kemudian setiap simplisia kasar dari masingmasing sampel digiling, dengan ukuran 100 mash. Ekstraksi Sampel (BPOM 2005) Setiap simplisia dimaserasi dengan pelarut etanol 96%, dengan perbandingan simplisia dan pelarut (b/v) sebesar 1:10 untuk setiap kilogram sampel. Selanjutnya simplisia dimasukkan ke dalam maserator, dan direndam sambil sambil sesekali diaduk selama 6 jam. Maserat yang diperoleh kemudian dipisahkan, dan proses yang sama diulang selama dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Selanjutnya, didiamkan selama 24 jam dan ekstrak yang diperoleh dipekatuapkan dengan rotavapor pada suhu 50 0C, sehingga diperoleh ekstrak kasar dari masing-masing sampel, kemudian masing-masing sampel disimpan di dalam freezer pada suhu 20 0C sebelum dikombinasikan (Lampiran 2).

Kombinasi Sampel Kombinasi ekstrak dilakukan secara equal formulation, sebagaimana pada Lampiran 4. Selanjutnya ditambahkan 2 mL etanol 96% untuk membantu proses homogenisasi. Setiap sampel kemudian disonikasi dengan sonikator selama 10 menit, dan dirotavapor pada suhu 50 0C. Kombinasi dilakukan secara triplo. Uji Aktivitas Antioksidan DPPH (Batubara 2009) Aktivitas antioksidan dari masing-masing kombinasi ditentukan dengan menggunakan metode DPPH, menurut Batubara 2009. Sampel dalam DMSO (konsentrasi 10 mg/mL) dilarutkan dalam etanol 96%. Kemudian didilusi dengan menggunakan etanol 96% dengan konsentrasi akhir 0, 0.16, 3.3, 6.7, 10, 13.3, dan 16.7 g/mL pada mikroplate. Selanjutnya, ditambahkan 11.8 mg DPPH dalam 100 mL etanol 96% sebanyak 100 L, pada setiap lubang mikroplate. Setelah diinkubasi selama 30 menit, nilai absorban diukur pada panjang gelombang 517 nm (ungu) dengan Elisa reader EPOCH (Lampiran 5). Aktivitas inhibisi ditentukan berdasarkan persamaan berikut: % inhibisi = A DPPH A sampel x 100% A DPPH Keterangan: A DPPH : serapan DPPH A sampel : serapan sampel dan DPPH Uji Potensi Hayati BSLT (Mc Laughlin 1998) Potensi hayati dari masing-masing kombinasi ditentukan dengan menggunakan metode BSLT, melalui pengamatan nilai persen kematian dari larva udang Artemia salina Leach (Lampiran 10). Telur udang dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang berisi air laut buatan untuk ditetaskan. Selama proses penetasan, wadah diberi penerangan dengan lampu neon 40-60 watt untuk menjaga kisaran suhu penetasan (25 0C-30 0C), serta diaerasi menggunakan aerator. Selanjutnya, 0.02 gr sampel dilarutkan dalam 10 mL air laut buatan sebagai larutan induk dengan konsentrasi 2000 ppm. Kemudian larutan induk diencerkan dengan konsentrasi akhir 10, 100, 500, dan 1000 ppm. Setiap sampel yang disiapkan ditambahkan setetes Tween 80 sebagai emulsifier (membantu melarutkan ekstrak hasil maserasi yang berbentuk pasta).

11

Sepuluh ekor larva udang, kemudian dimasukkan ke dalam setiap lubang vial uji dan ditambahkan 1000 L sampel. Setelah itu, diinkubasi selama 24 jam, nilai LC50 ditentukan melalui metode analisis probit dengan software SPSS 17. Uji potensi hayati dilakukan secara triplo untuk setiap kombinasi. Analisis Statistik (Mattjik & Sumertajaya 2006) Analisis data statistik dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA), sedangkan rancangan percobaan yang digunakan adalah model RAL (Rancangan Acak Lengkap). Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan Test terhadap parameter yang dianalisis. Parameter yang dianalisis meliputi hubungan perlakuan terhadap nilai IC50, serta hubungan perlakuan terhadap LC50. Adapun model dari RAL tersebut adalah sebagai berikut: Yij = + i + ij Dengan : Yij = respon pengamatan formulasi ke-i, ulangan ke-j = rataan umum i = pengaruh rataan ke-i ij = galat atau komponen acak dengan i = 1 untuk formula 1:0:0:0 i = 2 untuk formula 1:1:0:0 i = 3 untuk formula 1:1:1:0 i = 4 untuk formula 1:1:1:1 i = 5 untuk formula 1:1:0:1 i = 6 untuk formula 1:0:1:1 i = 7 untuk formula 1:0:0:1 i = 8 untuk formula 0:1:0:0 i = 9 untuk formula 0:1:1:0 i = 10 untuk formula 0:1:1:1 i = 11 untuk formula 0:1:0:1 i = 12 untuk formula 0:0:1:0 i = 13 untuk formula 0:0:1:1 i = 14 untuk formula 0:0:0:1 Selanjutnya akan ditentukan hubungan korelasi bivariate antara nilai IC50 dan LC50. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Sampel Hasil maserasi dari 20 kg rimpang temulawak, 18 kg daun meniran, 11 kg daun sambiloto, dan 6 kg rimpang temu ireng, masing-masing dihasilkan maserat (ekstrak) sebesar 200, 150, 150, dan 75 gram. Berdasarkan hasil tersebut, diperoleh rendemen masing-masing ekstrak sebesar

3.333%, 4.285%, 8.823%, dan 3.409% (Tabel 1). Berdasarkan hasil tersebut, sambiloto memiliki persentase rendemen tertinggi dibandingkan ketiga jenis ekstrak lainnya, yaitu sebesar 8.823%, sedangkan persentase rendemen terendah dimiliki oleh temulawak, dengan nilai sebesar 3.33%. Senyawa bioaktif yang terlarut dalam etanol 96% tersebut diharapkan memiliki aktivitas antioksidan dan potensi hayati yang akan diuji pada tahap selanjutnya. Perbedaan jumlah rendemen pada setiap ekstrak tersebut dikarenakan pada ekstrak dengan rendemen tertinggi mengandung lebih banyak senyawa yang mudah larut dalam etanol 96%, sedangkan ekstrak dengan rendemen yang lebih rendah mengandung sejumlah senyawa yang kurang larut dalam etanol 96%. Ekstrak hasil maserasi dapat dilihat sebagaimana Gambar 6. Tabel 1 Persentase rendemen masing-masing ekstrak Jenis ekstrak Rendemen (%) Temulawak 3.333 Meniran 4.285 Sambiloto 8.823 Temu ireng 3.409

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 6 Ekstrak temulawak (a), meniran (b), sambiloto (c), dan temu ireng (d).

12

Proses ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis pelarut yang digunakan, dan luas permukaan simplisia. Jenis pelarut yang digunakan tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak. Pemilihan etanol 96% sebagai pelarut organik, didasarkan pada kemampuannya untuk mengisolasi sejumlah bahan bioaktif yang lebih optimal dibandingkan beberapa jenis pelarut lainnya. Pemilihan etanol 96% sebagai pelarut memiliki beberapa keuntungan, diantaranya dapat menyebabkan komponen senyawa yang terkandung di dalam sampel dapat terekstrak lebih banyak, karena dapat mengekstrak komponen kimia yang tahan panas dan tidak tahan panas (Harborne 1987). Etanol 96% dapat melarutkan secara keseluruhan semua zat aktif yang terkandung di dalam simplisia, baik yang bersifat polar, semi polar, maupun kurang polar. Menurut Harborne (1996), etanol dapat menarik senyawa alkaloid, steroid, saponin, flavonoid, antakuinon, dan glikosida. Luas permukaan dari simplisia, juga memengaruhi kelarutan sampel di dalam pelarut etanol 96%. Hal tersebut disebabkan karena, semakin kecil ukuran bahan, atau dengan kata lain semakin tinggi luas permukaannya maka peluang interaksi dengan pelarut akan semakin besar (Haryadi 2008). Uji Aktivitas Antioksidan DPPH Senyawa bioaktif yang terkandung pada setiap sampel, akan bereaksi dengan menyumbangkan satu atom hidrogennya, sehingga akan menghasilkan senyawa DPPHH yang berwarna kuning (Gambar7). Baris atas pada gambar menunjukkan reagen DPPH sebagai standar (tidak bereaksi dengan sampel), sedangkan baris bawah adalah DPPH-H yang merupakan hasil reaksi antara reagen DPPH dengan senyawa bioaktif. Daya inhibisi dari masing-masing sampel diukur pada serapan (absorban) 517 nm. Daya inhibisi (IC50) dihitung berdasarkan pengurangan absorban DPPH sebagai standar terhadap absorban sampel uji (Lampiran 6). Nilai IC50 sebagai parameter aktivitas antioksidan, merupakan konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat aktivitas radikal bebas (serapan radikal bebas) sebanyak 50% (Molyneux 2004). Nilai IC50 dari masing-masing sampel diperoleh berdasarkan persamaan garis yang dihasilkan dari hubungan antara persen inhibisi terhadap konsentrasi (Lampiran 7). Hasil pengukuran aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel ditunjukkan pada

Tabel 2. Semakin rendah nilai IC50 suatu bahan, maka semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Hal tersebut disebabkan, karena hanya dibutuhkan sejumlah kecil konsentrasi sampel untuk meredam 50% radikal bebas DPPH. Hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan bahwa, kombinasi dari keseluruhan ekstrak pada formula 4 (1:1:1:1) memiliki nilai IC50 sebesar 41.875 g/mL (setara 41.875 ppm). Sedangkan nilai kombinasi IC50 terendah dimiliki oleh formula 7 (1:0:0:1) yang merupakan kombinasi antara rimpang temulawak dan temu ireng, yakni sebesar 1.923 g/mL. Formula 7 memiliki nilai IC50 yang lebih rendah dibandingkan nilai IC50 ekstrak tunggal temulawak dan temu ireng. Ekstrak tunggal temulawak (formula 1) dan temu ireng (formula 14), masing-masing memiliki nilai IC50 sebesar 41.699 g/mL dan 2.507 g/mL. Penurunan nilai IC50 tersebut diduga disebabkan oleh peningkatan kadar senyawa antioksidan terlarut pada setiap sampel, akibat perlakuan formulasi. Meskipun formula 7 memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi, namun parameter tersebut belum memenuhi kriteria sebagai obat fitofarmaka yang ditargetkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran efek farmakologis dari masingmasing sampel uji melalui uji potensi hayati. Hasil kombinasi antara ekstrak daun meniran dan daun sambiloto menghasilkan nilai IC50 sebesar 23.788 g/mL. Nilai IC50 tersebut, lebih rendah apabila dibandingkan nilai IC50 ekstrak daun sambiloto tunggal (formula 12), namun tidak lebih rendah dibandingkan nilai IC50 ekstrak daun meniran tunggal (formula 8). Ekstrak tunggal daun sambiloto (formula 12) memiliki nilai IC50 sebesar 86.864 g/mL, sedangkan ekstrak tunggal daun meniran (formula 8) memiliki nilai IC50 sebesar 4.801 g/mL. Peningkatan nilai IC50 tersebut diduga disebabkan oleh peningkatan jumlah senyawa bioaktif di dalam sampel akibat perlakuan kombinasi dari masing-masing ekstrak.

Gambar 7 Efek peredaman warna DPPH.

13

Tabel 2 Nilai IC50 dari masing-masing formula Formulasi Nilai IC50 (g/mL) 1 41.699c 2 177.089e 3 170.997e 4 41.875c 5 6.714b 6 5.897a,b 7 1.923a 8 4.801a,b 9 23.788c 10 211.127e 11 24.671c 12 86.864d 13 47.295c 14 2.507a,b
Keterangan: Perlakuan yang memiliki variabel yang sama berarti tidak berbeda nyata (p = 0.05).

Perlakuan formulasi 3 taraf (melibatkan 3 ekstrak) terdapat pada formula 2 (1:1:0:0), formula 3 (1:1:1:0), formula 5 (1:1:0:1), formula 6 (1:0:1:1), formula 10 (0:1:1:1), formula 11 (0:1:0:1), dan formula 13 (0:0:1:1) dengan nilai IC50 masing-masing sebesar 177.089, 170.997, 6.714, 211.127, 24.671, dan 47.295 g/mL. Beberapa aktivitas antioksidan formula 3 taraf memiliki nilai IC50 yang lebih besar dibandingkan formula ekstrak tunggal maupun formula kombinasi 2 taraf. Peningkatan nilai IC50 tersebut, dapat disebabkan oleh adanya interaksi berbagai senyawa bioaktif ketika proses formulasi, sehingga menghasilkan suatu produk tertentu yang tidak memiliki kemampuan sebagai donor elektron pada radikal bebas DPPH. Hasil analisis statistik ANOVA menunjukkan nilai p-value sebesar 0.025 atau bernilai lebih kecil dibandingkan nilai 5% (Lampiran 8), sehingga dapat diintrepertasikan bahwa, perlakuan formulasi berpengaruh terhadap nilai IC50 yang dihasilkan. Pengambilan intrepertasi tersebut didasarkan pada hipotesis awal yang menyebutkan bahwa perlakuan formulasi berpengaruh pada nilai IC50 yang dihasilkan. Blois (1958) diacu dalam Hanani et al. (2005) mengatakan bahwa suatu bahan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat apabila memiliki nilai IC50 kurang dari 200 ppm (setara 200 g/mL). Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, menunjukkan bahwa kombinasi yang dilakukan menghasilkan aktivitas antioksidan yang tinggi, kecuali pada formula10 (0:1:1:1) yang memiliki nilai IC50 sebesar 211.127 g/mL.

Nilai aktivitas antioksidan yang tinggi disebabkan oleh banyaknya senyawa kimia yang berfungsi sebagai zat antioksidan, seperti flavonoid, kurkumin, xanthorrizol, polifenol, dan lignin yang terkandung di dalam ekstrak masing-masing sampel. Perbedaan nilai IC50 pada masing-masing formula, diduga disebabkan oleh perbedaan jumlah atau kadar senyawa bioaktif terlarut pada setiap formula. Senyawa bioaktif pada masing-masing tanaman yang diduga berperan sebagai antioksidan diantaranya kurkuminoid, xanthorrizol (pada temulawak), turunan flavonoid, lignin, alkaloid (pada meniran), lakton, saponin, tanin, deoksiandrografolid (pada sambiloto), dan turunan kurkuminoid lainnya (pada temu ireng). Masing-masing senyawa tersebut akan berperan sebagai donor proton pada reagen DPPH, dan menghasilkan produk berupa DPPH-H. Atom hidrogen yang disumbangkan oleh masingmasing senyawa bioaktif akan berikatan dengan atom nitrogen yang terdapat pada cincin hidrazin (Ionita 2003). Reaksi penangkapan atom H oleh reagen DPPH dapat dilihat pada Gambar 8. Senyawa bioaktif (RH) melepaskan atom H (hidrogen) membentuk produk (R ). Atom hidrogen terlepas akan bereaksi dengan radikal bebas DPPH membentuk produk turunan DPPH-H, atom H akan terikat pada cincin hidrazin yang semula memiliki elektron bebas, sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa bioaktif tersebut memiliki aktivitas antioksidan.

Gambar 8 Prinsip penangkapan H oleh DPPH. Uji Potensi Hayati BSLT Nilai LC50 dari uji potensi hayati masingmasing formula, ditunjukkan pada Tabel 3. Penentuan nilai LC50 dilakukan dengan menggunakan analisis probit pada software SPSS 17. Melalui perangkat tersebut dapat ditentukan hubungan linearitas antara konsentrasi formula terhadap probit kematian dari larva udang. Jumlah letalitas larva udang dihitung secara manual dengan menggunakan

14

kaca pembesar. Kematian larva udang, disebabkan oleh perlakuan pemberian formula pada konsentrasi 10, 100, 500, dan 1000 ppm (Gambar 9). Hasil perhitungan nilai LC50 masing-masing formula dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil uji potensi hayati menunjukkan bahwa efek farmakologis tertinggi dimiliki oleh formula 4 (1:1:1:1) dengan nilai LC50 sebesar 31.796 ppm. Efek farmakologis terendah dimiliki oleh formula 14 (0:0:0:1) dengan nilai LC50 sebesar 620.165 ppm. Rendahnya nilai LC50 pada formula 4 di duga disebabkan oleh peningkatan jumlah senyawa bioaktif pada sampel, akibat perlakuan kombinasi. Semakin rendah nilai LC50 akan menunjukkan efek farmakologis yang tinggi, sedangkan semakin tinggi LC50 menunjukkan bahwa sampel tersebut memiliki efek farmakologis yang rendah. Nilai potensi hayati dari masing-masing ekstrak tunggal diperoleh sebesar 458.912 ppm untuk temulawak, 472.767 ppm untuk meniran, 569.002 ppm untuk sambiloto, dan 620.165 ppm untuk temu ireng. Menurut Juniarti (2009), menyatakan bahwa suatu zat dikatakan memiliki potensi hayati bila memiliki nilai LC50 1000 ppm untuk ekstrak, sedangkan untuk senyawa murni memiliki nilai LC50 30 ppm, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh sampel memiliki potensi hayati, namun potensi hayati terbaik dimiliki oleh formula 4 (1:1:1:1) dengan nilai LC50 sebesar 31.796 ppm. Hasil analisis statistik ANOVA, menunjukkan bahwa nilai p-value lebih kecil dibandingkan nilai 0.05. Nilai p-value diperoleh sebesar 0.018 dan menunjukkan hasil yang lebih kecil dibandingkan nilai sebesar 0.05 (Lampiran 12). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlakuan dari masing-masing formula berpengaruh nyata terhadap nilai LC50 yang dihasilkan. Menurut Meyer et al. (1982) suatu ekstrak turunan dari bahan alam bersifat toksik apabila memiliki nilai LC50 < 1.0 mg/mL. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Syahmi et al. (2010) yang menunjukkan bahwa rentang nilai LC50 ekstrak metanol daun kelapa sawit (Elaeis guineensis) antara 3.87 mg/mL hingga 9.00 mg/mL, tidak berkorelasi terhadap pembentukan lesi pada studi histopatologi hati, jantung, paru-paru, dan limfa mencit. Kematian mencit terjadi akibat toksisitas secara akut ekstrak daun kelapa sawit pada konsentrasi 0.195 mg/mL. Sehingga secara keseluruhan hasil formulasi memiliki rentang

nilai LC50 yang aman untuk uji klinis pada penelitian lanjutan. Tabel 3 Nilai LC50 dari masing-masing formula Formula Nilai LC50 (ppm) 1 458.912e,f 2 333.170c,d 3 170.768b 4 31.796a 5 173.941b 6 316.561c,d 7 383.948d,e 8 472.767e,f 9 218.444b,c 10 105.227a,b 11 461.264e,f 12 569.002f,g 13 501.960e,f 14 620.165g
Keterangan: Perlakuan yang memiliki variabel yang sama berarti tidak berbeda nyata (p = 0.05).

Gambar 9 Uji potensi hayati BSLT. Uji Korelasi Kapasitas Antioksidan dan Potensi Hayati Setelah diketahui aktivitas antioksidan dan potensi hayati dari masing-masing sampel, kemudian dilakukan uji korelasi bivarian melalui software SPSS 17. Tujuan dari uji korelasi bivarian adalah untuk mengaitkan dan mengetahui seberapa besar hubungan antara aktivitas antioksidan terhadap efek farmakologis (potensi hayati) dari masingmasing sampel. Syarat dari obat fitofarmaka yang ditargetkan adalah memiliki korelasi yang baik antara aktivitas antioksidan dan efek farmakologis dari sejumlah sampel yang diuji. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa sampel uji yang memiliki nilai IC50 yang rendah, ternyata belum tentu memiliki nilai LC50 yang rendah pula. Formula 4 (1:1:1:1) memiliki hubungan nilai IC50 dan LC50 terbaik dibandingkan

15

dengan formula lainnya. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 10, yang menunjukkan bahwa formula 4 (1:1:1:1) memiliki nilai IC50 dan LC50 yang sama rendahnya. Nilai IC50 dan LC50 dari formula 4 masing-masing sebesar 41.875 ppm dan 31.796 ppm. Secara garis besar nilai IC50 dan LC50 tidak memiliki korelasi, seperti yang ditunjukkan oleh nilai IC50 dan LC50 dari masing-masing ekstrak tunggal, yaitu formula 1, 8, 12, dan 14, namun, perlakuan formulasi menyebabkan beberapa formula memiliki hubungan korelasi pada taraf yang seragam, yakni memiliki nilai pada titik yang hampir sama (Gambar 10). Berdasarkan hasil uji korelasi secara bivariate, diketahui bahwa nilai IC50 dan LC50 memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0.328, serta signifikan secara statistik dengan nilai p-value sebesar 0.34. Koefisien korelasi adalah angka yang menggambarkan tingkat keeratan hubungan antara dua peubah atau lebih, sehingga melalui nilai tersebut dapat diintrepertasikan bahwa nilai IC50 tidak berkorelasi dengan baik, terhadap nilai LC50. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa jumlah senyawa bioaktif yang terdapat pada suatu sampel, belum tentu berpotensi atau memiliki aktivitas antioksidan yang baik.

Saran Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut, untuk mengetahui secara spesifik senyawa bioaktif apa saja yang terkandung pada setiap formula melalui karakterisasi secara kimia pada masing-masing formula, serta perlu dilakukan pengukuran kadar fenol total pada setiap formula dan dikorelasikan dengan aktivitas antioksidan yang dihasilkan. serta perlu juga dilakukan analisis terhadap aktivitas antioksidan dan efek farmakologis secara in vivo. Selain itu, perlu dilakukan pengukuran nilai absorban dari etanol 96% dan DMSO sebagai kontrol pada analisis aktivitas antioksidan secara DPPH. DAFTAR PUSTAKA [BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Gerakan Nasional Minum Temulawak. Jakarta : BPOM RI. [Komnas Lasia] Komisi Nasional Lanjut Usia. 2010. Penyakit degeneratif [terhubung berkala]. http://www. Komnaslansia.org. id./penyakit degeneratif.html [25 Desember 2010]. Afifah E. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Jakarta: Agromedia. Aji W. 2009. Uji aktivitas antioksidan tablet effervescent kombinasi ekstrak etanol daun dewandaru (Egenia uniflora L) dan herba sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dengan metode DPPH [skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Amelia G. 2006. Potensi rumput mutiara (Hedyotis corimbosa Lam.) sebagai antioksidan alami [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Batubara I. 2009. Anti-acne potency of Indonesian medicinal plants [thesis]. Gifu: United Graduate School, Gifu University. Blois MS. 1958. Antioxidant determination by the use of stable free radical. Nature 181: 1191-1200. Cahyaningsih UK, Setiawan, dan Ekastuti DR. 2003. Health-promoting properties of common herbs. Am J of Clinical Nutrition 70: 491-499.

Gambar 10 Hubungan antara nilai IC50 dengan nilai LC50. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Formula 4 (1:1:1:1) memiliki hubungan nilai IC50 dan LC50 yang sama rendahnya, yaitu sebesar 41.875 ppm dan 31.796 ppm. Formula 4 merupakan formula yang memiliki aktivitas antioksidan dan efek farmakologis terbaik dibandingkan formula lainnya. Hal tersebut didasarkan pada hubungan nilai IC50 dan LC50 yang sama rendahnya.

16

Choudari A, Rangari V, Darvekar V. 2010. Formulation development for treatment and management HIV-AIDS. Int J Pharm Sci 3: 105-108. Croghan PC. 1957. The osmotic and ionic regulation of Artemia salina. Zoology Journal 10: 219-232. Damayanti K. 2009. Efek rimpang temu ireng (Curcuma aeruginosa) terhadap derajat kerusakan hati ayam petelur yang diinduksi cacing Ascaridia galli [skripsi]. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Decker JM. 2000. Introduction to Immunology 11th. Blackwell Science: 1-2. Deng WL. 1978. Preliminary studies on the andrographis product sodium succinate. Newsletter of Chinese Herb Med 8: 26-28. terhubung http://www. Altcancer.com. Diah SH. 1991.Pembenihan udang galah Macrobrahium rosenbergi de Man [laporan kerja praktik]. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Elfahmi. 2006. Phytochemical and biosynthetic studies of lignands with a focus on Indonesian medicinal plants [thesis]. Nedherlands: Facilitas Beddrif of Gronigen. Fenton J. 2002. Toxicology : A Case Oriental Approach. Boca Raton; ORC Pr. Finney DJ. 1971. Probit Analysis 3rd Ed. England: Cambridge University Press. Frank CL. 1995. Toksikologi Dasar. Edi, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari Basic of Toxicology Gad SC. 2007. Animal Modeling in Toxicology: 2nd Edition. Boca Raton: ORC Pr. Hafidz AF. 2003. Aktivitas anti-radikal bebas DPPH fraksi metanol Fagreaea auriculata dan Fagreaea ceilanica. Majalah Farmasi Airlangga III: 1 April 2003. Halliwell B, Gutteridge JMC. 1989. Free Radical In Biology and Medicine. Ed ke-2. New York: Oxford University Press.

Hanani E, Munim A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian 3: 127133. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: ITB Press. Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia. Ed ke2. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: ITB Press. Terjemahan dari: Phytochemical Method. Haryadi Y. 2008. Pengaruh jenis pelarut, nisbah bahan baku pelarut dan waktu ekstraksi pada bioaktivitas ekstrak daun Aglia elliptica [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Heldt W. 2005. Plant Biochemistry. London: Elsevier.Inc. Hernani, Rahardjo M. 2005. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Penebar Swadaya. Hiriguchi H, Saito T, Okamura N, Yagi A. 1995. Inhibition of lipid peroxidation and superoxide generation by diterpenoid from Rasamarinus officinalis. Planta Medica 61: 333-336. Hwang JK, Shim JS, Pyun YR. 2000. Antibacterial activity of xanthorrizol from Curcuma Xanthorriza againts oral pathogens. Fitotherapia 71: 321-323. Ionita P. 2003. Is DPPH stable free radical a good scavenger for oxygen active species. Chem Pap 59: 11-16. Irawati I. 2008. Perbandingan metode penentuan aktivitas antioksidan rimpang temulawak [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Jarukamjorn K, Nemoto N. 2008. Pharmacological aspect of Andrographis paniculata on health and its major diterpenoid constituent. Journal of Health Science 54 (4): 370-381. Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test) dan

17

antioksidan DPPH dari ekstrak daun Abrus precatorius. Makara Sains 13: 50-54. Kardian A, Kusuma FR. 2004. Meniran Penambah Daya Tahan Tubuh Alami. Jakarta: Agri Pustaka. Koleva I, van Beek T, Linnssen JPH, de Groot A, Evstarieva LN. 2002. Screening of plant extracts for antioxidant activity: a comparative study on three testing methods: Phytochem Anal 13: 494-500. Kumalaningsih S. 2007. Antioksidan sumber dan manfaatnya. Antioxidant Centre. [terhubung berkala]. http://www.antioxidant centre.com. Kuncahyono I, Sunardi. 2007. Uji aktivitas antioksidan ekstrak belimbing wuluh (Averhoa bilimbi. L) terhadap 1,1diphenyl-2- picrilhidrazyl (DPPH). Seminar Nasional Teknologi:1-9. Langseth L. 1995. Antioxidant and Their Effect on Health. Di dalam: Schmidl MK, P Labuza, editor. Essentials of Functional Food. Maryland: An Aspen Publication. Liza. 2010. Temulawak, dari uji empiris hingga uji klinis. Mitra Sehat Alami Keluarga. [terhubung berkala]. http//www. Lizaherbal.com/main. Lestari TA. 2010. Profil kimiawi ekstrak ramuan kunyit, temulawak, dan meniran berdasarkan aktivitas antioksidan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Lupea AX, Chambire D, Iditoiou C, Szabro MR. 2006. Short communication improved DPPH determination for antioxidant activity spectrophotometric Assay. Chem Pap 3: 214-216. Marpaung IM. 2008. Potensi aktivitas antioksidan pada kulit kayu dan daun tanaman akway (Drymis sp) [skripsi]. Bogor: Fakultas matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Mattjik A dan Sumertajaya I. 2006. Rancangan Percobaan. Bogor: IPB Press.

McLaughlin et al. 1991. Bench top bioassay for the discovery of bioactive natural product: An update. Di dalam Atta-UrRahman (Ed). Studies in Natural Product Chemistry. Elsevier: Amsterdam. Mc Laughlin, Rogers L. 1998. The use of biological assays to evaluate botanicals. Drug Information Journal. Vol 32: 513524. Meyer BN, Ferrigni NR, Putman JE, Jacobson LB, Nichol DE, Mc Laughin JL. 1982. Brine Shrimps: A convenient general bioassay for active plant constituent. Planta Medica 45: 31-34. Molyneux P. 2004. The use of stable free radical dyphenilpicryl-hydrazil (DPPH) for estimating antioxidant activity. J. Sci. Technol: 211-219. Moss B. 1937. Ecology of Fresh Waters. Norwich: Anglia. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwel VW. 2003. Biokimia Harper. Andry Hartono, penerjemah. Anna P Bani & Tiara MN, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Harpers Biochemistry. Nuratmi B, Adjirni, Paramitha DL. 1996. Penelitian farmakologis sambiloto (Andrographis paniculata). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3: 23. Jakarta: Pokjanas. Nurcholis W. 2008. Profil senyawa penciri bioaktivitas tanaman temulawak pada agrobiofisik berbeda [tesis]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Percival M. 1998. Antioxidants. Clinical Nutrition Insight : 1-4. Philip K, Nurestry S, Sani W, Shin KS, Kumar S, Lai HS, Serm LG, Rahman S. 2009. Antimicrobial activity of some medicinal plants from Malaysia. American of Journal Applied Science 6: 1613-1617. Planthus. 2008. Temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.). terhubung http://www. iptek.net.id/html.

18

Priyototmo G. 2007. Kandungan umum air laut [terhubung berkala]. http://gudange-bookformaterialscience. Puri A, Saxena RP, Saxena KC, Srivastava V, Tanden JS. 1993. Immunostimulant agent from Andrographis paniculata. J Nat Prod July 56 (7): 995-999. http://www.rechnature.com/products/her bal/articles/Aleanson.html. Purwakusumah W. 2007. Artemia Salina (Brine Shrimp). [terhubung berkala]. http://www. O-fish.com/artemia/php. Puspita MDA. 2009. Pengoptimuman fase gerak KLT menggunakan desain campuran untuk pemisahan komponen ekstrak meniran (Phyllanthus niruri) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Rahman F, Logawa ED, Hegartika H, Simanjutak P. 2008. Aktivitas antioksidan ekstrak tunggal dan kombinasinya dari tanaman Curcuma spp. J Ilmu Farmasi Indonesia 6: 69-74. Rukayadi Y, Yong D, Hwang JK. 2006. In vitro Anticandidal of xanthorrizol isolated from Curcuma xanthorriza Roxb. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 57: 1231-1234. Sanubari T. 2010. Toksisitas dan profil kimiawi ekstrak ramuan meniran, kunyit, dan temulawak [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Sari Y. 2007. Kajian proses pengayaan virgin oil dengan ekstrak zat pigmen dari temulawak, kunyit, dan angkak serta aplikasinya pada penggorengan bahan pangan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Setiarto HB. 2009. Deteksi dan uji toksisitas LC50 senyawa aflatoksin B1, B2, G1, G2 pada kacang tanah (Arachis hypogeal L) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan IPA, Institut Pertanian Bogor. Subekti S. 1990. Khasiat pemberian rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza

Roxb.) terhadap ascaridiasis pada ternak ayam. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Sugiharto. 2004. Pengaruh infus rimpang temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb.) terhadap kadar hemoglobin dan jumlah eritrosit tikus putih yang diberi larutan timbal nitrat [Pb(NO3)2]. Jurnal Hayati Berkala 10: 53-57. Suhirman S dan Winarti C. 2010. Prospek dan fungsi tanaman obat sebagai imunomodulator. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik & Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Sunarni T. 2005. Aktivitas antioksidan penangkap radikal bebas beberapa kecambah dari biji tanaman familia papilanoceae. Jurnal Farmasi Indonesia 2: 53-61. Supriadi D. 2008. Optimalisasi ekstraksi kurkuminoid temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Syahmi M, Vijayarathna S, Sasidharan S, Latha Y, Kwan P, Lau L, Shin N, Chen Y. Acute oral toxicity and brine shrimp lethality of Elais guinnesis Jacq (Oil Palm Leaf) methanol exctract. J Molecules 10: 8111-8121. Thyagarajan SP, Subramanian T, Venkateswaran, dan Blumberg BS. 1988. Effect of Phyllantus amarus on chronic cariers of hepatitic B virus. The Lancet. 764-766. Tjandrawinata RR, Maat S, dan Noviyanty D. 2005. Effect of standarized Phyllantus niruri extract on changes in immunologic parameters: corelation between pre-clinical and clinic studies. Medika XXI (6): 367-371. Tyzard I. 1987. Pengantar Imunologi Veteriner. Soehardjo Harjosworo, penerjemah. Terjemahan dari: Inttroduction to Veterinary Immunology 3: 18-25.

19

West G. 1995. Black Veterinary Dictionary 18th Ed. London: A & C Black. Widyastuti N. 2010. Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode Cuprac, DPPH, dan Frap serta korelasinya dengan fenol dan flavonoid pada enam tanaman [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan IPA, Institut Pertanian Bogor. Yin J dan Guo l. 1993. Contemporary traditional Chinese medicine. Beijing: Xie Yuan. [terhubung berkala] http://www. Altcancer.com.

LAMPIRAN

21

Lampiran 1 Diagram alir penelitian


Sampel basah rimpang temulawak, daun meniran, daun sambiloto, dan rimpang temu ireng

Dikeringkan dengan oven padasuhu 40500C selama 4 s.d 5 hari

Simplisiadigiling dengan ukuran 100 mash

Ekstraksi dengan Et 96%

Equal formulation

Sonikasi selama 10 menit dan dirotavapour pada suhu 500C

Uji antioksidan DPPH

Uji potensihayati BSLT

Analisis nilai IC50

Analisis nilai LC50

Korelasi nilai IC50dengan nilai LC50

22

Lampiran 2 Prosedur ekstraksi (BPOM 2005)


Simplisiadari masing-masing rimpang temulawak, daun meniran, daun sambiloto, dan rimpang temu ireng

Dilarutkan dalam pelarut etanol 96% dengan perbandingan (1:10)

Direndam dan diadukdalam maserator selama 6 jam

Diamkan selama 24 jam

Rotavapor pada suhu 500C

Simpan di dalam freezer

23

Lampiran 3 Rendemen hasil ekstraksi


Jenis sampel Temulawak Meniran Sambiloto Temuireng Bobot sampel (gr) 20.000 18.000 11.000 6.000 Bobot ekstrak (gr) 200 150 150 75 Rendemen (%) 3.333 4.285 8.823 3.409

Contoh perhitungan: Persen rendemen sambiloto (%) = bobot ekstrak (gr) x 100% Bobot sampel (gr) = 150 gram x 100% 11.0000 gram = 8.823 % Lampiran 4 Kombinasi equal formulation
Formula 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Temulawak 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 Kombinasi ekstrak Meniran Sambiloto 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 Temuireng 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1

Keterangan: 1 : mengandung ekstrak 0: tidak mengandung ekstrak

24

Lampiran 5 Prosedur uji antioksidan DPPH (Batubara 2009)


1. Stock samples Prepare stock samples to concentration 10.000 g/ml in DMSO 2. Prepare DPPH 11.8 mg DPPH In 100 ml ethanol (need fresh). Note: 1 plate need 10 ml 3. Prepare sample Put 4 l stock sample and add 396 l ethanol: dilution 100x Note: 1 series need minimal 400 l In 96 well plates put the reagents in each well (all in l): Concentration Sample 0.1mg/ml ethanol DPPH 0 0 100 100 1.6 5 95 100 3.3 10 90 100 6.7 20 80 100 10 30 70 100 13.3 40 60 100 16.7 50 50 100 4. Test the activity Sample 1 A 0 Sample 2 B 1.6 Sample 3 C 3.3 Sample 4 D 6.7 Sample 5 E 10 Sample 6 F 13.3 Sample 7 G 16.7 H No 5. Make reaction for 30 min and read in plate reader 517 nm 6. Calculate the data % inhibition = (N- A)/(N) x 100% A: Absorbance for sample N: absorbance for blank

25

Lampiran 6 Contoh data absorbansi formula 1 dan 2


Formula 1 Ulangan 1 Konsentrasi (g/mL) 0 1.67 3.3 6.7 10 13.3 16.7 0 1.67 3.3 6.7 10 13.3 16.7 0 1.67 3.3 6.7 10 13.3 16.7 0 1.67 3.3 6.7 10 13.3 16.7 0 1.67 3.3 6.7 10 13.3 16.7 0 1.67 3.3 6.7 10 13.3 16.7 Absorbansi 0.839 0.242 0.204 0.229 0.296 0.359 0.419 0.688 0.113 0.156 0.163 0.181 0.196 0.369 0.929 0.226 0.209 0.245 0.298 0.333 0.488 0.929 0.104 0.151 0.193 0.210 0.248 0.307 0.943 0.102 0.170 0.189 0.213 0.258 0.325 0.859 0.106 0.169 0.196 0.214 %inhibisi IC50 Rataan IC50 (g/mL)

71.156 75.685 72.706 64.720 57.211 50.060 83.576 77.326 76.308 73.692 71.512 46.366 75.673 77.503 73.628 67.922 64.155 47.470 88.805 83.746 79.225 77.395 73.305 66.954 89.183 81.972 79.958 77.413 72.641 65.536 87.660 80.326 77.183 75.087

36.814

48.049

41.699

40.232

202.504

172.127

177.089

156.574

0.260 0.287

69.732 66.589

26

Lampiran 7 Contoh grafik hubungan konsentrasi formula 1 dan 2


%inhibisi %inhibisi 100 50 0 0 5 10 konsentrasi Grafik formula 1 ulangan 1. %inhibisi 100 50 0 0 5 10 konsentrasi Grafik formula 1 ulangan 2. 100 50 0 0 5 10 konsentrasi Grafik formula 1ulangan 3. 15 20 y = -9.76ln(x) + 86.06 R = 0.62 15 20 y = -10.8ln(x) + 91.82 R = 0.561 15 20 y = -8.83ln(x) + 81.84 R = 0.632 100 50 0 0 5 10 konsentrasi Grafik formula 2 ulangan 1. 100 50 0 0 5 10 konsentrasi Grafik formula 2 ulangan 2. 100 80 60 40 20 0 0 15 20 15 20

y = -8.23ln(x) + 93.71 R = 0.921

%inhibisi

%inhibisi

y = -8.50ln(x) + 93.76 R = 0.883

%inhibisi

y = -8.22ln(x) + 91.54 R = 0.953

20 konsentrasi Grafik formula 2 ulangan 3.

27

Lampiran 8 Nilai IC50 masing-masing formula


Formula 1 Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Persamaangaris y = -8.83 ln(x) + 81.84 y = -10.80 ln (x) + 91.82 y = -9.76ln(x) + 86.06 y = -8.23ln(x) + 93.71 y = -8.50ln(x) + 93.76 y = -8.22ln(x) + 91.54 y = -7.33ln(x) + 91.12 y = -8.98ln(x) + 91.20 y = -8.30ln(x) + 91.11 y = -8.78ln(x) + 86.09 y = -11.8ln(x) + 91.33 y = -12.4ln(x) + 92.76 y = -13.7ln(x) + 77.25 y = -14.1ln(x) + 76.89 y = -17.7ln(x) + 82.01 y = -19.9ln(x) + 84.37 y = -19.5ln(x) + 85.64 y = -21.1ln(x) + 81.26 y = -8.58ln(x) + 50.48 y = -19.5ln(x) + 62.36 y = -22.6ln(x) + 73.48 y = -23.7ln(x) + 90.46 y = -29.5ln(x) + 92.52 y = -26.6ln(x) + 90.95 y = -8.65ln(x) + 78.37 y = -8.80ln(x) + 77.18 y = -8.77ln(x) + 77.44 y = -6.69ln(x) + 87.62 y = -7.32ln(x) + 91.24 y = -9.31ln(x) + 90.42 y = -11.9ln(x) + 89.47 y = -12.1ln(x) + 90.83 y = -14.9ln(x) + 92.42 y = -7.86ln(x) + 85.99 y = -8.43ln(x) + 87.46 y = -8.10ln(x) + 85.30 y = -10.8ln(x) + 91.82 y = -10.2ln(x) + 91.87 y = -11.8ln(x) + 91.33 y = -14.8ln(x) + 64.99 y = -22.1ln(x) + 73.34 y = -19.5ln(x) + 62.45 Nilai IC50 (ppm) 36.814 48.049 40.232 202.504 172.127 156.574 273.096 98.295 141.601 60.976 33.200 31.450 7.309 6.733 6.101 5.625 6.220 5.848 1.058 1.885 2.826 5.513 4.226 4.662 26.570 21.947 22.848 276.806 279.745 76.828 27.572 29.206 17.236 97.405 85.085 78.103 48.049 60.637 33.200 2.753 2.875 1.894 Rataan IC50 (ppm) 41.699

177.089

170.997

41.875

6.714

5.897

1.923

4.801

23.788

10

211.127

11

24.671

12

86.864

13

47.295

14

2.507

28

Lampiran 9 Hasil analisis statistik IC50dengan selang kepercayaan 95%


Probability Plot of RESI4
Normal
99 Mean StDev N KS P-Value 1,057355E-17 0,2000 42 0,130 0,072

95 90 80

Percent

70 60 50 40 30 20 10 5

-0,75

-0,50

-0,25

0,00 RESI4

0,25

0,50

H0 : data stasioner H1 : data tidak stasioner Karena p-value lebih besar darialpha 5% maka tidaktolak H0 artinya data stasioner
Hasil ANOVA ANOVA IC50 Sum of Squares Between Groups Within Groups Total 30.547 1.640 32.187 df 13 28 41 Mean Square 2.350 .059 F 40.128 Sig. .025

H0 : perlakuan formulasi tidak berpengaruh terhadap nilai IC50 H1 : perlakuan formulasi berpengaruh terhadap nilai IC50 Karena p-value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 artinya perlakuan formulasi berpengaruh terhadap nilai IC50

29

Lampiran10 Hasil Uji Duncan IC50 dengan selang kepercayaan 95%


IC50 Duncan
perlakuan 7.00 14.00 8.00 6.00 5.00 9.00 11.00 4.00 1.00 13.00 12.00 3.00 2.00 10.00 Sig. Subset for alpha = 0.05 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 a 1.16100000 1.25433333 1.47833333 1.55800000 b 1.25433333 1.47833333 1.55800000 1.60900000 2.20666667 2.21800000 2.52066667 2.53833333 2.60800000 3.05066667 3.55466667 3.64400000 3.71000000 1.000 .466 c d e

.075

.111

.078

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

30

Lampiran 11 Prosedur uji potensi hayati BSLT (Mc Laughlin 1998)


Telur udang ditetaskan dalam media air laut buatan selama 24 jam

Media diaerasi dengan aerator

0.02 gr sampel dari masing-masing sampel di encerkan dengan 10 mL air laut buatan

Ditambahkan setetes Tween 80

vorteks
Sebanyak 10 ekor nauphli dimasukkan ke dalam setiap sumur pada plate uji

Pada setiap sumur ditambahkan larutan sampel dengan konsentrasi 1000, 500, 100, dan 10 ppm

Inkubasi selama 24 jam

Hitung persen kematian larva udang pada masing-masing sumur

31

Lampiran 12 Hasil perhitungan analisis probit formula 1 dan 2


Formula 1 Ulangan 1 konsentrasi (ppm) 10 100 500 1000 10 100 500 1000 10 100 500 1000 2 10 100 500 1000 10 100 500 1000 10 100 500 1000 udang mati 2 4 5 8 1 3 6 9 2 3 6 9 1 4 5 9 2 3 6 8 2 4 6 9 kontrolmat i 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Kematian (%) 10 30 40 70 0 20 50 80 10 20 50 80 0 30 40 80 10 20 50 70 10 30 50 80 412.279 LC50 (ppm) Rataan

399.434

458.912

32

Lampiran 13 Analisis probit nilai LC50 masing-masing formula


Formula 1 Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Persamaangaris y = -0.79ln(x) + 0.0019 y = -0.74ln(x) + 0.0018 y = -0.99ln(x) + 0.0017 y = -0.54ln(x) + 0.0019 y = -0.50ln(x) + 0.0017 y = -0.69ln(x) + 0.0016 y = -0.17ln(x) + 0.0017 y = -0.25ln(x) + 0.0015 y = -0.38ln(x) + 0.0015 y = -0.08ln(x) + 0.0015 y = -0.08ln(x) + 0.0015 y = -0.14ln(x) + 0.0017 y = -0.20ln(x) + 0.0010 y = -0.20ln(x) + 0.0017 y = -0.19ln(x) + 0.0013 y = -0.48ln(x) + 0.0012 y = -0.42ln(x) + 0.0012 y = -0.37ln(x) + 0.0015 y = -0.53ln(x) + 0.0012 y = -0.44ln(x) + 0.0013 y = -0.55ln(x) + 0.0014 y = -0.76ln(x) + 0.0015 y = -0.62ln(x) + 0.0013 y = -0.75ln(x) + 0.0016 y = -0.28ln(x) + 0.0012 y = -0.34ln(x) + 0.0012 y = -0.17ln(x) + 0.0010 y = -0.06ln(x) + 0.0009 y = -0.21ln(x) + 0.0013 y = -0.09ln(x) + 0.0011 y = -0.67ln(x) + 0.0014 y = -0.72ln(x) + 0.0014 y = -0.55ln(x) + 0.0013 y = -0.69ln(x) + 0.0011 y = -0.77ln(x) + 0.0011 y = -0.52ln(x) + 0.0011 y = -0.92ln(x) + 0.0015 y = -0.70ln(x) + 0.0013 y = -0.42ln(x) + 0.0010 y = -0.79ln(x) + 0.0013 y = -0.94ln(x) + 0.0014 y = -0.73ln(x) + 0.0012 Nilai LC50 (ppm) 412.279 399.434 565.022 284.277 298.883 416.351 101.277 165.696 245.330 5.570 5.570 84.249 199.086 177.233 145.503 377.260 338.453 233.971 434.212 325.114 392.517 505.528 464.563 448.209 226.143 265.835 163.353 73.687 159.465 82.528 481.308 492.213 410.270 597.026 653.327 456.653 588.909 519.537 397.339 569.276 677.905 613.313 Rataan LC50 (ppm) 458.912

333.170

170.768

31.796

173.941

316.561

383.948

472.767

218.444

10

105.227

11

461.264

12

569.002

13

501.960

14

620.165

33

Lampiran 14 Hasil analisis statistik LC50 dengan selang kepercayaan 95%


Probability Plot of RESI5
Normal
99 Mean StDev N KS P-Value -6,76707E-15 54,39 42 0,090 >0,150

95 90 80

Percent

70 60 50 40 30 20 10 5

-150

-100

-50

0 RESI5

50

100

H0 : data stasioner H1 : data tidakstasioner Karena p-value lebih besar dari alpha 5% maka tidak tolak H0 artinya data stasioner
Hasil ANOVA ANOVA LC50 Sum of Squares Between Groups Within Groups Total 1281069.006 121286.321 1402355.327 df 13 28 41 Mean Square 98543.770 4331.654 F 22.750 Sig. .018

H0 : perlakuan formulasi tidak berpengaruh terhadap nilai LC50 H1 : perlakuan formulasi berpengaruh terhadap nilai LC50 Karena p-value kurang darialpha 5% maka tolak H0 artinya perlakuan formulasi berpengaruh terhadap nilai LC50

34

Lampiran 15 Hasil Uji Duncan LC50 dengan selang kepercayaan 95%


LC50 Duncan
Subset for alpha = 0.05 Perlakuan 4 10 3 5 9 6 2 7 1 11 8 13 12 14 Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0.183 0.062 0.052 0.247 0.057 0.076 a 31.7967 105.2300 b 105.2300 170.7700 173.9400 218.4433 218.4433 316.5600 333.1700 316.5600 333.1700 383.9467 383.9467 458.9100 461.2633 472.7667 501.9600 458.9100 461.2633 472.7667 501.9600 569.0033 569.0033 620.1667 0.349 c d e f g

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Lampiran 16Hasil uji korelasi nilai IC50dengan nilai LC50


Correlations LC50 LC50 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N IC50 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) 42 -.328
*

IC50 1 -.328* .034 42 1 42

.034

N 42 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2tailed).

H0 : tidakadakorelasi H1 : adakorelasi Karena p-value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 artinya ada korelasi.Terlihat koefisien negative jadi ada korelasi/hubungan negatif.

35

Lampiran 17 Dokumentasi Penelitian

Sampel hasil formulasi

rotavapor

Sonikator

elisa reader EPOCH

aerator

You might also like