You are on page 1of 37

BAB II SIFAT FISIK MINERAL

Sifat fisik suatu mineral erat hubungannya dengan struktur kristal dan komposisi kimianya, sehingga dengan mempelajari sifat fisiknya, dapat dibuat beberapa deduksi tentang struktur kristal dan komposisi kimianya. Sifat fisik suatu mineral berguna dalam segi keteknikan. Misalnya : intan dipakai sebagai pengasah karena kekerasannya yang luar biasa, dll.

Sifat fisik suatu mineral meliputi 8 aspek, yaitu : 1. Sifat optik (optical properties), 2. Kekerasan (hardness), 3. Belahan dan pecahan (cleavage and fracture), 4. Berat Jenis (BJ ; density), 5. Sifat magnet (magnetic properties), 6. Sifat listrik (electrical properties), 7. Sifat permukaan (surface properties), dan 8. Radioaktivitas (radioactivity). 2.1 Sifat Optik Mineral mempunyai 4 macam sifat optik, yaitu : 1. Pemantulan dan pembiasan (reflection and refraction), 2. Kilap (luster),

3. Warna dan goresan (color and streak), dan 4. Luminesensi (luminescence).


2.1.1 Pemantulan dan Pembiasan Jika seberkas sinar diarahkan miring ke atas permukaan sebuah benda padat non-opak, maka sebagian sinar akan dipantulkan kembali ke udara, dan sebagian lagi dibiaskan sebagai sinar bias. Arah sinar pantul mengikuti Hukum Pemantulan, yang menyatakan sudut pantul r sama dengan sudut datang i, serta sinar pantul dan sinar datang terletak pada satu bidang.

Gambar 2.1 Pemantulan dan pembiasan


Untuk sinar bias, maka hubungan antara sinar datang i dan sinar bias r, berlaku Hukum Snellius. Hukum ini menyatakan : sin i/sin r = n ;

konstanta n disebut indeks bias.

Untuk meneliti mineral yang tembus cahaya, digunakan sinar bias. Misalnya untuk mempelajari Mineral Optik, atau Petrografi. Mikroskop yang dipakai adalah Mikroskop Polarisasi.
Jika yang diteliti mineral opak (tidak tembus cahaya), maka sinar yang digunakan adalah sinar pantul. Cara ini dipakai dalam meneliti mineral-mineral bijih. Sifat optik berhubungan erat dengan struktur kristal mineral. Pada mineral-mineral isometrik dan non-kristal, kecepatan sinar pada semua arah akan sama, dengan demikian indeks bias pada semua arah tsb, akan sama pula. Mineral yang seperti ini disebut mineral isotrop. Jika sebaliknya, maka disebut mineral anisotrop (lihat Gambar 2.2 dan 2.3).

Gambar 2.2 Sifat optik isotrop pada kristal isometrik

Sifat optik anisotrop pada kristal ortorombik

Gambar 2.3 Bidang (001) yang isotrop dan (010) yang anisotrop pada kristal tetragonal

Hubungan antara indeks bias dan kristalografi, dapat digambarkan melalui sumbu-sumbu kristal dengan perbandingan panjang sumbu adalah indeks biasnya. Gambaran yang dihasilkan disebut indikatriks, yaitu gambaran 3 dimensi yang dipakai untuk menjelaskan arah getaran sinar yang berbeda dalam suatu mineral.
Indikatriks mineral-mineral non-kristal dan isometrik, berbentuk sebuah bola karena indeks bias ke semua arah sama (Gambar 2.4 a).

Untuk mineral-mineral yang berkristal tetragonal dan heksagonal, indikatriksnya berbentuk elipsoida putar, dengan setiap sayatan yang tegak lurus sumbu c akan berbentuk lingkaran. Sumbu putar berimpit dengan sumbu c kristalografi (Gambar 2.4 b).

Bentuk ini adalah hasil perambatan cahaya pada arah tegak lurus sumbu c yang mempunyai kecepatan yang sama, dengan getarannya terletak pada bidang sumbu horisontal. Karena mempunyai satu sumbu optik yang sejajar dengan sumbu c kristalografi, maka mineral-mineral yang bersistem kristal tetragonal dan heksagonal disebut uniaksial.
Bagi mineral-mineral yang bersistem kristal ortorombik, monoklin dan triklin, indikatriksnya mempunyai simetri yang rendah, sesuai dengan simetri kristalografinya yang memang rendah. Indikatriksnya berbentuk elipsoida triaksial, dengan 2 sumbu optik (Gambar 2.4 c). Karenanya, mineralmineral yang bersistem kristal ortorombik, monoklin, dan triklin disebut mineral bersifat optik biaksial.

Gambar 2.4

Indikatriks optik untuk mineral (a) isotropik, (b) uniaksial, (c) biaksial. Pada (a) indikatriks berbentuk bola, yang radiusnya sebanding dengan n, yaitu indeks bias mineral. Untuk (b) indikatriksnya berbentuk elipsoida putar, yang sayatan equatorialnya berbentuk lingkaran dengan radius sebanding terhadap , salah satu indeks bias utama ; dan sumbu vertikal yang sebanding dengan , indeks bias lainnya ; dapat > atau < . Pada (c) indikatriksnya berbentuk elipsoida triaksial, dengan indeks bias terkecil pada sumbu , indeks bias menengah pada sumbu dan indeks bias terbesar pada sumbu . (d) adalah penampang elipsoida pada bidang ; AA dan BB adalah sumbu optik yang tegak lurus pada 2 penampang lingkaran yang berjari-jari .

2.1.2 Kilap Kilap adalah sifat optik yang erat hubungannya dengan pemantulan dan pembiasan. Dikenal 2 kelas kilap utama, yaitu : 1. Kilap metal atau logam, dan 2. Kilap non-metal atau non-logam. Batas yang nyata antara kedua kelas kilap, sukar untuk ditentukan ; dan mineral-mineral yang kilapnya terletak di antara kedua kelas kilap itu dikatagorikan berkilap sub-metal. 2.1.2.1 Kilap Metal/logam * Terdapat pada mineral opak, atau hampir opak. * Biasanya agak gelap, atau hampir gelap. * Indeks biasnya 3.

* Terdapat pada kebanyakan mineral-mineral logam nativ dan sulfida.


2.1.2.2 Kilap Sub-metal/sub-logam * Terdapat pada mineral yang semi opak sampai opak. * Indeks bias berkisar antara 2,6 3. * Contoh : kuprit (n = 2,85) ; sinabar (n = 2,91) ; hematit (n = 3,0). 2.1.2.3 Kilap Non-metal/non-logam Dapat dibagi menjadi beberapa jenis. 1. Kilap kaca (vitreous) # Kilap gelas, yang karakteristik pada mineral berindeks bias di antara 1,3 1,9.

# Terdapat pada hampir semua mineral silikat, sebagian besar oxysalt (karbonat, fosfat, sulfat, dll), halida, oksida dan hidroksida elemen-elemen ringan, seperti Al dan Mg. 2. Kilap adamantin # Kilap yang sangat terang, khas pada intan. # Ada pada mineral yang berindeks bias terletak di antara 1,9 2,6, seperti pada zirkon (n = 1,92 1,96) ; kasiterit (n = 1,99 2,09) ; belerang (n = 2,4). # Bila berkombinasi dengan kuning atau coklat, terbentuklah kilap damar atau resin. 3. Kilap lemak (greasy), lilin (waxy), sutera (silky), dan mutiara (pearly) adalah variasi lain dari kilap non-metal, yang semuanya disebabkan oleh karakter permukaan pantul.

Di samping warna dan sifat tembus cahaya, kilap mineral kadang-kadang mempunyai nilai ekonomi, seperti yang diperlihatkan oleh batupermata. Kilap dan indeks bias sangat menentukan apakah batupermata berkilau atau tidak. Makin tinggi indeks bias, makin berkilau dan indah batupermata itu. Misalnya ametis atau kecubung kasian, meskipun bersifat transparan dan berwarna baik, ternyata masih kurang berkilau daripada intan, atau zirkon. Hal ini disebabkan kuarsa mempunyai indeks bias << dari indeks bias intan, atau zirkon.
2.1.3 Warna dan Goresan Warna yang tampak pada mineral dihasilkan akibat terserapnya beberapa jenis panjang gelombang dari gelombang cahaya putih.

Mineral yang berwarna gelap ialah mineral yang secara merata dapat menyerap seluruh panjang gelombang pembentuk cahaya putih. Warna mineral bergantung pada : 1. Komposisi kimia. Contoh : warna biru dan hijau pada mineral tembaga sekunder (mineral azurit dan malakhit). 2. Struktur kristal dan ikatan atom. Contoh : polimorf dari karbon, yaitu intan (isometrik ; C), tidak berwarna dan transparan, sedangkan grafit (heksagonal ; C) berwarna hitam dan opak. 3. Pengotoran pada mineral. Contoh : kalsedon yang berwarna.

Berdasarkan warna, mineral-mineral dapat dibagi menjadi 2 golongan : 1. Mineral-mineral idiokhromatik : Mineral yang memperlihatkan warna yang tetap dan karakteristik. 2. Mineral-mineral alokhromatik : Mineral yang memperlihatkan warna yang dapat berubahubah.
Warna mineral yang berhubungan langsung dengan komposisi dikarakteristik oleh unsur-unsur Ti, V, Cr, Mn, Fe, Ni, Co, dan Cu.

Ion-ion atau kelompok ion yang dapat menimbulkan warna khas pada mineral disebut khromofor. Contoh : ion-ion Cu2 yang terhidrasi, adalah khromofor dalam mineral tembaga sekunder yang berwarna hijau dan biru ; ion-ion Cr3 adalah khromofor dalam garnet hijau uvarovit, muskovit hijau, dan zamrud.
Banyak mineral-mineral tak-berwarna memperlihatkan warna yang kuat karena adanya pengotoran, baik oleh ion-ion asing atau butiran mineral halus. Contoh : warna pada ametis atau kecubung kasian, dan kuarsa ros, disebabkan oleh sedikit Ti atau Mn ; warna merah pada feldspar karena adanya hematit yang sangat halus di dalamnya. Ada juga warna mineral yang bersifat pseudokhromatik, yaitu warna yang bukan warna sebenarnya (warna palsu).

Warna yang timbul karena efek fisik saja. Contoh : warna cemerlang pada opal, ternyata dihasilkan oleh pemantulan dan pembiasan cahaya dari lapisan-lapisan yang terdapat di dalam mineral, yang indeks biasnya berbeda. Selain itu dapat juga karena pemantulan dari inklusi halus suatu mineral lain (biasanya ilmenit).
Efek fisik lain adalah berubahnya permukaan mineral karena oksidasi. Semula permukaannya halus, kemudian berubah menjadi kasar. Contoh : bornit (Cu5FeS4) yang baru dipecahkan akan berwarna bronz atau perunggu, tetapi kemudian berubah menjadi violet-ungu karena oksidasi. Goresan (streak) adalah warna yang muncul pada saat mineral berupa bubuk halus. Warna ini diperoleh jika mineral digoreskan pada suatu keping gores porselin (streak plate)

berwarna putih yang permukaannya kasar. Warna hanya diperoleh jika kekerasan mineral lebih rendah daripada kekerasan keping gores. Goresan mineral-mineral transparan dan translusen, berwarna putih ; goresan mineral-mineral yang berkilap nonmetal dan berwarna gelap, pada umumnya lebih terang daripada warnanya ; dan goresan mineral-mineral yang berkilap metal, sering lebih gelap daripada warna mineralnya.
2.1.4 Luminesensi Luminesensi ialah gejala emisi cahaya yang dihasilkan oleh semua proses, kecuali pemijaran. Peristiwa ini umumnya karena penyinaran, biasanya oleh sinar ultraviolet.

Fluoresensi adalah emisi cahaya pada saat yang bersamaan dengan penyinaran. Gejala ini diperlihatkan oleh fluorit (CaF2). Fosforesensi ialah emisi cahaya yang kontinyu (terusmenerus), walaupun penyinaran telah dihentikan. Diperlihatkan oleh unsur P.
Sifat luminesensi berguna dalam prospeksi mineral dan mineral dressing, yaitu untuk mengenal mineral bijih berharga yang bersifat fluoresensi, seperti wilemit (Zn2SiO4), skhelit (CaWO4), dan beberapa mineral uranium. Sifat luminesensi dipakai pula dalam teknik penerangan moderen, yaitu dengan memakai senyawa anorganik yang bersifat fluoresensi, seperti CaWO4, CaCO3, dan ZnSiO4.

Luminesensi yang disebabkan peremukan, penggoresan/pencakaran, atau penggosokan disebut triboluminesensi. Gejala ini diperlihatkan oleh beberapa varitas sfalerit [(Zn,Fe)S], fluorit dan lepidolit [KLi2Al(Si4O10)(OH)2].
2.2 Kekerasan (hardness) Kekerasan mineral adalah daya tahannya terhadap goresan. Untuk menentukan kekerasan digunakan skala kekerasan relatif yang dibuat oleh Mohs pada tahun 1822. Skala ini kemudian dikenal sebagai Skala Mohs (Tabel 2.1). Kekerasan mineral dapat diukur dengan alat-alat sederhana, seperti : kuku (H = 2,5), pisau lipat (H = 5,5), kaca jendela (H = 5,0 5,5), dan jarum baja (jara ; H = 6,5).

Tabel 2.1 Skala Mohs ----------------------------------------------------------------------------------Skala Kekerasan (H) Mineral ----------------------------------------------------------------------------------1 Talk 2 Gipsum 3 Kalsit 4 Fluorit 5 Apatit 6 Ortoklas 7 Kuarsa 8 Topas 9 Korundum 10 Intan -----------------------------------------------------------------------------------

Jika ditinjau hubungannya dengan struktur kristal, maka kekerasan adalah daya tahan struktur kristal terhadap deformasi mekanik. Hubungan tsb dinyatakan sbb, yaitu kekerasan akan bertambah besar bila : 1. Atom-atom atau ion-ion semakin kecil. 2. Valensi atau muatan makin besar, dan 3. Densitas paking (packing density) makin besar. Contoh hubungan ini dapat dilihat dalam diktat pada h. 17.
2.3 Belahan dan pecahan (cleavage and fracture) Jika mineral ditekan melampaui daya elastik dan plastiknya, maka mineral akan pecah. Bila bidang pecahnya teratur dan sejajar dengan bidang kristalnya, maka mineral dikatakan mempunyai belahan (cleavage). Tetapi jika bidang pecahnya tak-teratur, maka mineral disebut mempunyai pecahan (fracture).

Sifat belahan dinyatakan dalam istilah : sempurna (perfect), baik (good), jelas (distinct), dan tidak-jelas (indistinct). Belahan sempurna jika bidang belahnya licin berkilau. Mineral yang berbelahan baik, dapat terbelah dengan mudah melalui bidang belahnya dan juga memotong bidang belahnya. Mineral dikatakan berbidang belah jelas, jika pecah pada sepanjang bidang belah, tetapi dapat pula dengan mudah pecah pada arah-arah yang lain. Mineral disebut berbelahan tidak-jelas, karena mempunyai kemungkinan yang sama untuk pecah dan membelah, sehingga sukar membedakan antara bidang pecah dan bidang belah.

2.4 Berat Jenis (density) Berat jenis (BJ atau G) atau densitas (density) mineral terutama ditentukan oleh struktur kristal dan komposisi kimianya. Berat Jenis (G) dapat berubah jika T dan P berubah, karena kedua faktor itu menyebabkan mineral memuai, atau mengerut. Oleh karena itu, mineral yang berkomposisi kimia dan struktur kristal tertentu, akan mempunyai G yang tetap pada suatu T dan P yang tertentu pula.
Mineral yang komposisi kimianya sama tetapi berbeda struktur kristalnya, mempunyai G yang berbeda. Contoh : G kristobalit (SiO2 ; isometrik) = 2,32, sedangkan tridimit (SiO2 ; heksagonal) = 2,26. G dapat pula berbeda pada mineral yang komposisinya bervariasi, walaupun struktur kristalnya sama. Contoh :

G olivin [(Mg,Fe)2SiO4, ortorombik] berkisar antara 3,22 (untuk Mg2SiO4) 4,41 (untuk Fe2SiO4). Hal ini disebabkan adanya penggantian atom-atom Mg yang ringan oleh atom-atom Fe yang lebih berat. Contoh lain diperlihatkan oleh sekelompok mineral isomorf, seperti pada kelompok aragonit (lihat Tabel 2.2, h. 21).
2.4.1 Penentuan BJ Mineral BJ mineral dapat ditentukan melalui 4 cara, yaitu : 1. Dengan sinar x. 2. Berdasarkan Prinsip Archimedes. Rumus yang digunakan adalah : G = W1.L/(W1 W2)

dengan : W1 = berat fragmen di udara, W2 = berat fragmen dalam cairan, L = BJ cairan (biasanya air), G = BJ fragmen. Agar penentuan BJ langsung dan cepat, digunakan alat Timbangan BJ Kraus-Jolly (Gambar 2.5), atau Timbangan BJ Berman (Gambar 2.6). 3. Dengan Piknometer. Rumus : G = L.(W2 W1)/[(W4 W1) (W3 W2)], dengan : G = BJ fragmen (benda padat), L = BJ cairan yang dipakai, W1 = Berat Piknometer kosong, W2 = Berat Piknometer berisi fragmen,

W3 = Berat Piknometer berisi cairan dan fragmen, W4 = Berat Piknometer berisi cairan. 4. Dengan menggunakan cairan berat atau disebut juga Metode Suspensi. Dalam metode ini, cairan berat yang biasa dipakai adalah : a. Bromoform, CHBr3 ; G = 2,9. b. Asetilen tetrabromida (tetrabrometan), C2H2Br4 ; G = 2,96. c. Metilen iodida, CH2I2 ; G = 3,3. d. Larutan Klerici, yaitu suatu larutan yang terdiri dari larutan pekat talous malonat dan talous format dalam jumlah yang sama ; G = 4,2. Untuk mengencerkan larutan organik tsb digunakan aseton, sedangkan untuk larutan Klerici dipakai air.

2.4.2 Pemisahan Mineral Berdasarkan Perbedaan BJ Pemakaian lain dari cairan berat adalah pemisahan individu atau kelompok mineral dari suatu campuran mineral. Hal ini penting dalam petrologi batuan sedimen, karena mineral-mineral yang BJ-nya >> daripada BJ kuarsa, feldspar, kalsit, dan dolomit, dapat memberikan keterangan tentang sumber dan lingkungan pengendapan suatu batuan sedimen.
Pemisahan mineral berdasarkan perbedaan BJ dipakai juga dalam ore dressing, yaitu untuk menyiapkan konsentrat mineral berharga. Bila dalam suatu sampel terdapat campuran 2 macam mineral dengan BJ yang telah diketahui, maka komposisi mineral yang terdapat di dalamnya dapat dihitung.

Misalnya : Dari suatu vein diambil sampel yang terdiri atas x% berat kuarsa (G = 2,65) dan (100 x)% berat pirit (G = 5,01) ; BJ sampel = 3,8. Persentase kuarsa dan pirit dapat dihitung sbb : ----------------------------------------------------------------------------------M (% berat) G V ----------------------------------------------------------------------------------Pirit 100 x 5,01 (100 x)/5,01 Kuarsa x 2,65 x/2,65 Sampel vein 100 3,8 100/3,8 ----------------------------------------------------------------------------------(100 x)/5,01 + (x/2,65) = 100/3,8 ; x = 35,8% kuarsa = 35,8% dan pirit = 64,2%. Dengan diketahuinya komposisi kedua mineral, maka komposisi kimia campuran dapat dihitung.

Pirit (FeS2) mengandung Fe = 46,6% ; dan S = 53,4% ; dengan demikian komposisi campuran di atas adalah : SiO2 = 35,8% ; Fe = 30,0% ; dan S = 34,4%.
2.5 Sifat Magnet (magnetic properties) Hanya beberapa mineral yang bersifat feromagnetik, yaitu mineral-mineral yang dapat ditarik oleh magnet sederhana. Seperti : magnetit (Fe3O4) ; pirotit (pyrrhotite, Fe1-nS) ; dan suatu polimorf Fe2O3, yaitu magemit (maghemite). Magnetit dan magemit dapat juga bersifat magnet alam, yang dikenal dengan sebutan lodestone. Berdasarkan sifat magnetnya, maka mineral-mineral dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Diamagnetit, yaitu mineral-mineral yang ditolak magnet. 2. Paramagnetit, yaitu mineral-mineral yang dapat ditarik oleh suatu magnet.
Mineral yang mengandung besi akan bersifat paramagnetit, tetapi ada juga mineral yang tidak mengandung besi bersifat paramagnetit, yaitu beril (beryl, Be3Al2Si6O18). Sifat magnet pada mineral dapat digunakan dalam pemisahan mineral, yaitu memisahkan suatu konsenrasi murni dari campuran mineral-mineral lainnya. Alat yang digunakan ialah elektromagnet yang menghasilkan medan magnet berintensitas tinggi. Selain itu, sifat ini dipakai juga dalam eksplorasi geofisika, yaitu dengan menggunakan magnetometer.

2.6 Sifat Listrik (electrical properties) Berdasarkan sifat listrik, mineral-mineral dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu : 1. Mineral-mineral konduktor, dan 2. Mineral-mineral non-konduktor.
Mineral-mineral konduktor adalah mineral yang berikatan logam, terdiri dari mineral-mineral nativ dan beberapa sulfida. Pada beberapa mineral non-konduktor, sifat listriknya dapat dibangkitkan dengan jalan mengubah temperatur, dan mineral yang seperti ini disebut mineral piroelektrik (pyroelectric) ; atau dengan mengubah tekanan, dan mineral yang bersifat seperti ini disebut mineral piezoelektrik (piezoelectric).

Contoh mineral piroelektrik : turmalin [tourmaline, Na(Mg,Fe)3Al6(BO3)3(Si6O18)(OH)4], dan mineral piezoelektrik adalah kuarsa (SiO2). 2.7 Sifat Permukaan (surface properties) Sifat permukaan mineral yang penting dalam keteknikan ialah wetabilitas (wettability), yaitu sifat kebasahan relatif permukaan suatu mineral terhadap air. Berdasarkan sifat di atas, mineral-mineral dapat dikelompokkan menjadi : 1. Mineral-mineral liofil (lyophile), yaitu mineral-mineral yang mudah dibasahi air. 2. Mineral-mineral liofob (lyophobe), yaitu mineral-mineral yang sukar dibasahi air.

Pada umumnya mineral berikatan ion bersifat liofil, sedangkan yang berikatan metal, atau kovalen bersifat liofob. Sifat permukaan di atas dipakai dalam teknik pemisahan mineral bijih, yang dikenal sebagai teknik flotasi (flotation). Teknik ini digunakan untuk memisahkan mineralmineral sulfida dari mineral-mineral geng (gangue), seperti kuarsa, kalsit, dll. Dalam hal ini, mineral sulfida umumnya bersifat liofob, sedangkan mineral geng bersifat liofil.
2.8 Radioakitivitas (radioactivity) Radioaktivitas mineral berhubungan dengan adanya unsur uranium (U) dan torium (Th, thorium) dalam mineral tsb. Unsur lain yang dapat memperlihatkan radioaktivitas suatu mineral adalah kalium (K) dan rubidium (Rb), namun sangat lemah, sehingga harus diukur dengan alat yang peka.

Atom uranium dan torium pada mineral akan terurai (disintegrasi) secara spontan dengan kecepatan yang tetap, tanpa dipengaruhi temperatur, tekanan, atau sifat persenyawaan atom-atom itu. Pada saat disintegrasi, disertai oleh 3 tipe radiasi, yaitu : 1. Radiasi alfa, 2. Radiasi beta, dan 3. Radiasi sinar gamma.
Radioaktivitas dapat diketahui dari hasil radiasinya terhadap film fotografi, dengan alat Geiger Counter, atau Scintillometer. Hasil akhir disintegrasi uranium dan torium adalah timah hitam (timbal, Pb). Persamaan reaksinya :

U238 Pb206 + 8He4 U235 Pb207 + 7He4 Th232 Pb208 + 6He4


Beberapa mineral radioaktif : Autunit, Ca(UO2)2(PO4)2.10-12H2O, Monasit, (Ce,La,Y,Th)PO4 , Torit, ThSiO4 , Uraninit, UO2.

You might also like