You are on page 1of 3

Masalah BBM Yang Dilematis

Beberapa Opsi Jangka Pendek Berita utama (headline news) pada berbagai media masa akhir-akhir ini masih berkisar pada rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Memang, Pasal 14 ayat 2 dari UU APBN-P 2008 telah memberi keluwesan bertindak pemerintah untuk mengambil langkah ini tanpa lagi harus melalui proses pembahasan APBN-P yang kesekian kalinya, mengingat harga minyak dunia yang sangat fluktuatif. Di lain pihak, Pasal ini juga memberi catatan bahwa andai kata keputusannya adalah menaikkan harga BBM maka jalan yang ditempuh ini harus menjadi opsi terakhir setelah berbagai opsi alternatif dipertimbangkan secara tuntas. Beberapa opsi alternatif atau yang komplementer atas kenaikan harga BBM yang dikemukakan (dan seberapa jauh alternatif tersebut realistis atau tidak) antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, menaikkan produksi minyak bumi Indonesia. Alternatif ini tidak realistis karena produksi minyak bumi Indonesia, sebagaimana halnya pada sebagian besar negara produsen minyak bumi saat ini, telah melewati tingkat puncaknya sehingga cenderung untuk terus menurun. Jumlah produksi yang pada APBN 2008 dipatok sebesar 1,034 juta barrel/hari bahkan harus direvisi ke bawah menjadi hanya 927 ribu barrel/hari pada APBN-P 2008. Kedua, sebagai anggota OPEC meminta organisasi ini untuk mengupayakan penurunan harga minyak dunia. Walaupun Indonesia dapat menghimbau sebagai suatu sikap moral suasion, dari sudut kekuatan ekonomi Indonesia mempunyai pangsa suara yang kecil dan bahkan ada kemungkinan untuk keluar dari lembaga ini. Ketiga, mensubstitusi penggunaan minyak tanah rumah tangga dengan gas tabung. Opsi ini juga tidak akan banyak membantu APBN karena langkah ini lebih banyak tertuju pada peralihan pola penggunaan energi masyakat daripada sebagai suatu jalan keluar atas terjadinya ketidakseimbangan keuangan negara. Keempat, adalah mencari dana pinjaman negara donor untuk membiayai pengeluaran subsisi BBM dan subsidi listrik yang membengkak. Opsi ini juga kurang realistis, karena para donor, terutama dari kalangan donor kelompok Bank Dunia dan ADB, cenderung tidak bersedia memberi pinjaman dengan syarat lunak apabila akan digunakan untuk membiayai subsidi APBN. Kelima, meminta Bank Indonesia untuk membiayai defisit APBN (seigniorage). Opsi ini juga sulit dilaksanakan karena kebijakan ini akan meningkatkan ekspektasi inflasi yang tinggi pada masyarakat yang akan menimbulkan perilaku masyarakat yang lebih cenderung memegang barang daripada uang sehingga secara nyata akan mewujudkan tingkat inflasi yang tinggi. Dalam proses kebijakan publik, hal ini juga akan tidak mudah dilaksanakan pada keadaan status Gubernur Bank Indonesia tidak lagi, bersama-sama dengan Menteri Keuangan, menjadi bagian dari suatu Dewan Moneter. Keenam, meningkatkan penerimaan negara dari hasil minyak dengan meningkatkan pangsa hasil penjualan minyak dalam kontrak bagi hasil dengan para perusahaan minyak. Hal ini dapat dilakukan melalui kemungkinan menurunkan unsur cost recovery yang merupakan faktor pengurang atas hasil penjualan bruto untuk sampai pada hasil penjualan neto (lihat Diagram I). Opsi ini, walaupun lebih mungkin daripada berbagai opsi sebelumnya, akan sulit dicapai dalam jangka pendek mengingat akan memerlukan terjadinya perubahan institusional, misalnya perlunya lagi dibentuk dewan komisaris untuk mengawasi jalannya good corporate governance perusahaan negara maupun perusahaan minyak bagi hasil asing di bidang minyak. Ketujuh, lebih menurunkan lagi alokasi APBN untuk lembaga pemerintah. Opsi ini telah ditempuh sehingga penurunan lebih lanjut dapat menganggu jalannya roda pemerintahan.

DIAGRAM I Pengaruh Faktor Cost Recovery

Gross Income

80 % Bagian Pemerintah Net Income

Cost Recovery

20 % Bagian KPS

Keterangan : - Penerimaan negara dari minyak bumi merupakan pangsa pemerintah (yang 80%) atas hasil penjualan minyak netto; - Pangsa pemerintah yang 80% ini memang lebih besar dari pangsa yang 20% yang diterima perusahaan KPS (Kontrak Production Sharing); - Dilain pihak, rasio 80:20 ini menjadi kurang berarti keuntungannya bagi pemerintah kalau faktor cost recovery mengandung berbagai pembebanan yang pada dasarnya menjadi penghasilan bagi KPS dan mengurangi hasil penjualan neto secara tidak proporsional. Semua opsi alternatif sulit dilaksanakan Berbagai opsi di atas menunjukkan bahwa hanya opsi ke-5, ke-6, dan ke-7 merupakan alternatif yang mungkin tetapi sulit dilaksanakan. Pilihan yang dilematis ini menyangkut pertimbangan yang berada di luar pertimbangan ekonomi dan memerlukan konsensus di bidang politik. Artinya, setiap opsi yang tersedia, termasuk opsi pokok, yaitu menaikkan harga BBM, harus ditempuh melalui kesadaran bersama bahwa di masa lalu sampai sekarang ini, telah secara berlarut ditempuh kebijakan harga BBM yang tidak sesuai dengan nilai kelangkaannya, yang telah menyebabkan berlangsungnya konsumsi minyak yang berlebihan. Pada Grafik II.A dan Grafik II.B digambarkan perkembangan produksi dan konsumsi minyak dalam dua skenario. Kedua skenario mempunyai pola perkembangan produksi minyak bumi yang sama, yaitu yang semula meningkat sampai titk puncak (ta) untuk kemudian menurun. Bedanya, pada skenario pertama, pertumbuhan konsumsi jauh lebih tinggi daripada di skenario kedua. Akibatnya, titik temu antara garis konsumsi dengan garis produksi pada skenario pertama terjadi lebih awal (pada tb) sedangkan pada skenario kedua terjadi lebih kemudian (pada tc yang lebih ke kanan daripada tb).

GRAFIK II.A Prd Kns Kns

Prd ta waktu GRAFIK II.B Prd Kns tb

Prd ta waktu Keterangan : Prd Kns ta tb tc = = = = = tc

Kns

Produksi Konsumsi saat titik puncak produksi saat titik temu produksi dan konsumsi skenario satu saat titik temu produksi dan konsumsi skenario dua

Karena Indonesia telah menempuh skenario satu (Kns meningkat cepat karena harga BBM tidak mencerminkan nilai kelangkaannya), maka titik impas datangnya lebih awal. Andai kata telah ditempuh skenario dua, maka tersedia waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan jenis energi lain. Karenanya, pada saat ini tidak ada opsi lain kecuali menaikkan harga BBM. Penundaannya hanya akan terus menaikkan Kns ketika Prd semakin menurun, bersamaan dengan meningkatnya harga minyak dunia yang diperkirakan akan mencapai USD 140 per barrel masih pada tahun 2008 ini, sehingga akan semakin mempersulit posisi APBN 2008. (Biro Humas dan TU Pimpinan)

You might also like