You are on page 1of 14

MAKALAH

IJMA DAN QIYAS


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

DISUSUN : OLEH KELOMPOK III YOGI PRAYITNO KHOIRIN DEVI RUBAINI SITI ASIYAH ERNAYATI

Dosen Pengampu : SALMAH, S.Pd.I, M.Fil.I

SEKOLAH TINGI AGAMA ISLAM (STAI) AULIAURRASYIDIN TEMBILAHAN

2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Latar belakang dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui syarat-syarat Ijma itu bisa terjadi bila memenuhi lima kriteria 1. Yang bersepakat oleh para mujtahid 2. Seluruh Mujtahid 3. Para Mujtahid harus umat nabi Muhammad 4. Di lakukan setelah nabi Wafat 5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syarat sedangkan Qiyas adlah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan dengan yang sejenisnya. B. Tujaun Penulisan 1. Untuk memenuhi tugas 2. Untuk mengetahui Perbedaan Qiyas dan Ijma 3. Untuk membedakan Ijma dan Qiyas

BAB II PEMBAHASAN IJMA DAN QIYAS A. IJMA 1. Pengertian IJMA a. Menurut Bahasa Definisi Ijma menurut Bahasa terbagi dalam dua arti Bermaksud atau berniat sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Yunus Ayat 71

Artinya : dan

bacakanlah kepada mereka berita tentang nuh

diwaktu dia brkata kepada kaumnya, jika terasa berat bagimu tinggal (Bersamaku) dan peringatanku (Kepadamu) dengan ayatayat Allah, maka kepada Allah lah kau bertawal, kerena itu bulakanlah keputusan dan (Kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (Untuk membinasakannya), kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku (QS Yunus 71) Maksudnya, semua pengikut nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh, dan hadits Rasullah SAW artinya barang siapa yang belum brniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah kesepatakan terhadap sesuatu, suatu kaum dikatakan telah berijma bila mereka besepakat terhadap sesuatu, sebagiamana firman Allah SWT dalam Al quran Surat Yusuf

ayat 15 yang menerangkan keadaan saudara-saudara Yusuf A.s

Artinya : Maka tatkala

mereka membacanya dan sepakat

memasukkannya kedasar sumur (Lalu mereka memasukkan dia) dan (diwaktu dia sudah ada didalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf, sesungguhnya kami akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedangakan mereka tiada ingat lagi (QS. Yusuf 15) Yakni mereka bersepakat terhadap rencana tersebut adapun perbedaan antara kedua arti diatas adalah yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang sepakat dengan dirinya b. Ijma menurut Istilah ulama Ushul Para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan Ijma menurut Istilah, diantaranya : mengarang kitab Fushulul BadaI berperndapat bahwa Ijma itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari Ijma umat muhammad SAW, dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara pengarang kitab tahrir,al kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma Muhmmad SAW terhadap masalah Syara (Al Ghifari) 2. Syarat-syarat Ijma Dari defenisi Ijma diatas dapat diketahui bahwa Ijma itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria dibawah ini

Yang bersepakat adalah para mujtahid Para ulama berselisih paham tentang Istilah Mujtahid secara umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistinbath huukm dari dalil-dalil syara dalam kitab jamul Jawani, disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adlah orang yang faqih, dalam sulam Ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama ijma, sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam. Selain pendapat diatas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat al qaqih dalamkitab isbat bahwa Mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlu ahli wal addi. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma, karena Ijma itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ijma; itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid karena yang dimaksud kesepatakan ijma termasuk pula kesepatakan sebagian besar dari mereka, begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan. Para muktahid harus umat Muhammad SAW Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat muhammad SAW ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat muahmmad SAW adalah orang mukallaf dari golongan ahli wa al aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah oranng mukallaf dari golongan muhammad SAW.

Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhamma Ijma itu tidak terjadi ketika nabi Masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syariat. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syarat Maksudnya, kesepatakan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain. 3. Macam-macam Ijma Macam-macam ijma bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam Ijma bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam yaitu : a. Ijma Sharih Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya b. Ijma Sukuti Ijma Sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria dibawah ini : Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepatakan atau penolakan Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. 4. Kehujjahan Ijma menurut pandangan para ulama Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujahan ijma misalnya apakah ijma itu hujjah syarI apakah ijma

itu merupakan landasan ushul fiqih atau bukan ? blehkah kita menafikan atau mengingkari Ijma ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut para ulama berbeda pendapat al Bardawi berpendapat bahwa orang-orang hawa tidak menjadikan Ijma Mutlak. Menurut Al Ahmidi,para Ulama telah sepakat mengenai ijma sebagai hujjah yang wajib diamalkan al Hajib berkata bahwa Ijam itu hujah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij dan Syiah,adapun ar rahawi berpendapat bahwa Ijma itu pada dasarnya adalah Hujjah. 1. Kehujjahan Ijma Sharih Jumhur telah sepakat bahwa Ijma sharih itu merupakan hujjah secara aqdi wajib mengamalkannya dan haram menentangnya a. Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur Salah satu dalil yang dikeluarkan oleh jumhur yaitu itu sebagai Hujjah, bahkan dalam syarahnya dia mengatakan bahwa Ijma itu bukan hujjah secara

Artinya dan berpegang teguhnya kamu semua kepada tali(Agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai (QS. Ali Imran : 103) b. Dalil yang dikeluakan Nidzam dan para pengikutnya salah satu yang dikeluarkan Nidzam dan para pengikutnya yaitu :

Artinya : hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul(nya), dan ulil amri diantara kamu (QS An NIsa : 59)

2. Kehujjahan Ijma sukuti Al Kurhi dari golongan hanafi dan al amdi dari golongn syafii menytakan bahwa Ijma suku adalah Hujjah yang bersifat Zhanni. 3. Kemungkinan adanya Ijma Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma dan kewajiban melaksanakannya, jumhur berkata Ijma itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana Sedangkan pengikut nizam dan golongan syiah mengatakan Ijma itu tidak mungkin terjadi dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain : Sesungguhnya ijma yang dimaksud oleh jumhur tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa. Ijma Itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qathi atau pun yang zhunni. B. QIYAS 1. Pengertian Qiyas Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran seuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya, ulama uhul fqih memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalam istinbath

huukm dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua golongan berikut ini. Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia yakin pandangan mujtahid sebaliknya menurut golongan kedua qiyas merupakan ciptaan syari yakni merupakan dalil huum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahyah yang dibuat syari sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum

2. Operasional Qiyas Operasional penggunaan qiyas dimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang memiiki nash memerlukan kerja nalar yang dengan pemahaman makna Lafazh saja. 3. Rukun Qiyas Dari pengertian qiyas yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas 4 unsur yaitu a. Ashl (pokok) yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-Nya yang dijadikan tempat mengqiyaskan ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha sedangkan ashl mernutu hukumteologi adalah suatu nash syara yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. b. Faru (Cabang) yaitu pristiwa yang tidak ada nashnya c. Hukum ashl, yaitu hukum syara yang ditetapkan oleh suatu nash d. Illat, yaitu suatu sifat yang tedapat pada ashl 4. Qiyas sebagai sandaran Ijma Para ulama berbeda pendapat tentang qiyas apabila dijadikan sandaran ijma diantara mereka ada yang mengatakan bahwa qiyas itu tidak sah dijadikan dasar ijma dengan demikian bahwa Ijma itu qathI, sedangkan dalil qiyas adalah zhunni, menurut kaidah, yang qath, itu tidak sah didasarkan pada yang zhunni Pada ulama yang menyatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijma beragumen bahwa hal itu telah sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama, juga dikarenakan qiyasitu termasuk salah satu dalil syara maka sah dijadikan sandaran ijma cara ini luar biasa dan tidak cukup hanya

5. Kehujaahan Qiyas dan pendapat para Ulama Telah terjadi perbedaan pendapat dalma berhujjah dengan qiyas, ada yang membolehkannya ada yang melarangnya, diantara contohnya adalha kifarat bagi yang berbuka puasa dengan sengaja di bulan ramadhan. Bagi mereka yang sengaja berbuka puasa pada bulan ramadhan apakah diwajibkan kifarat sebagaimana diwajibkan kifarat bagi yang sengaja berbuka puasa dengan Ijma Menurut perndapa malik, abu Hanifah dan para penganut keduanya, tsuri, serta sebagian jemaah, bahwa perbuatan tersebut wajib diganti dengan qadha dan kifarat. Imam syafii telah membahasnya dalam kitab al umm tidak wajib berkifarat bagi mereka yang sengaja berbuka puasa selain karena dengan berjima, baik itu minum, makan, dan sebagainya.

10

DAFTAR PUSTAKA SyafiI, Rahmat. 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia : Bandung

11

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

...................................................................................................

i ii

KATA PENGANTAR .................................................................................................. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ................................................................................... 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. BAB II PEMBAHASAN IJMA dan QIYAS A1. Ijma ................................................................................................... 1.1. Pengertian Ijma .......................................................................... 1.2. Pengertian Ijma Menurut Bahasa ............................................... 1.3. Pengertian Ijma Menurut Istilah ................................................ 2. Syarat-Syarat Ijma ........................................................................... 3. Macam-Macam Ijma......................................................................... 3.1. Ijma Syarih ................................................................................ 3.2. Ijma Sukuli .................................................................................. 4. Kehujahan menurut pandangan para ulama ...................................... 4.1. Kehujjahan Ijma Syarih .............................................................. 4.2. Dalil yang dikeluarkan Nazam dan para pengikutnya ................ 4.3. Kehujahan Ijma sukuti ............................................................... 4.4. Kemungkinan adanya Ijma B. Qiyas .................................................................................................. 1. Pengertian Qiyas .......................................................................... 2. Operasional Qiyas ........................................................................ 3. Rukun Qiyas................................................................................ 4. Qiyas Sebagai Sandaran Ijma ..................................................... 5. Kehujjahan qiyas dan pendapat para Ulama ................................

1 1

DAFTAR PUSTAKA

12

KATA PENGANTAR


Syukur Al hamdulillah, segala puji syukur bagi Allah SWT, yang

telah mengsyariatkan Hukum Islam kepada manusia, sholawat dan salam semoga Allah SWT melimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembacwa syariat Islam untuk diimani, di peljjari dan di hayati, serta di amalkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dan kami sebagai penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak mempunyai kekurangan, baik dalam isi maupun sistematika, oleh karena itu, kami sangat berterima kasih apabila ada kritik dan saran membangun untuk perbaikan dan kemaslahatan buku ini. Harapan kami semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca.

Tembilahan, Oktober 2009 Penulis

ii 13

You might also like