You are on page 1of 8

Sejarah singkat lahirnya UU No.

5 Tahun 1999 mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat Undang-undang no.5 tahun 1999 mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha ( UU antimonopoli ) merupakan undang-undang yang dilahirkan atas desakan IMF sabagai syarat agar pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan dari IMF guna mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Tujuan dari UU ini adalah untuk memangkas praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, dimana pada masa itu banyak sekali terjadi praktek monopoli dan persaingan tidak sehat akibat kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan pelaku usaha tertentu saja. Sebelumnya rancangan UU antimonopoli telah dibahas oleh para ekonom Indonesia pada akhir tahun 80-an namun akibat tekanan dari pemerintah pada masa itu , rancangan UU tersebut tidak pernah dibahas oleh pemerintah dan DPR untuk menjadi UU. UU Antimonopoli ini sendiri baru diberlakukan secara efektif pada tanggal 5 maret 2000.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden no.75 tahun 1999 yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 30 ayat 1 UU antimonopoli. Untuk pertama kalianggota KPPU ditetapkan dengan Keputusan Presiden no. 162/M taun 2000 tanggal 7 juni 2000 yang terdiri dari sebelas anggota selama 5 tahun kedepan. Tugas KPPU dijabarkan dalam pasal 35 UU antimonopoli. Adapun wewenang dari KPPU dijabarkan dalam pasal 36. Berdasar pada ketentuan pasal 36, KPPU berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU antimonopoli. Bagi pelaku usaha yang tidak puas dengan keputusan KPPU dapat mengajukan keberatakan ke pengadilan negeri, dan apabila pihak-pihak tersebut tidak puas dengan putusan pengadilan negeri maka dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung . Namun, pada kenyataannya UU ini masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, terutama dalam hukum acaranya. Hal ini dikarenakan pada waktu itu pemabahan dan pembuatan UU antimonopoli ini dilakukan dalam tempo yang amat singkat berkaitan dengan tujuan pemerintah yaitu pertama , Indonesia memiliki UU antimonopoli dahulu dan apabila ada kekurangan serta kelemahan dapat diperbaiki kemudian, kedua, agar IMF segera dapat mengucurkan bantuan kepada Indonesia.

Sebelum terjadinya kasus Indomobil , penerapan UU antimonopoli ini belum menimbulkan masalah. Dalam kasus Indomobil timbul persoalan-persoalan hukum dimana pelaku usaha yang telah diperiksa oleh KPPU tidak hanya mengjukan keberatan ke pengadilan negeri namun juga menempuh upaya hukum lainnya. Dari kejadian tersebut dapat dilihat bahwa UU antimonopoli masih memerlukan perbaikan. Terlepas dari kekurangan yang ada pada UU antimonopoli KPPU tetap melaksanakan tugasnyautnuk mengawasi pelaksanaan UU antimonopoli ini.

Peraturan Mahkamah Agung no.1 Tahun 2003 mengenai tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU Setelah terjadinya kasus Indomobil dimana KPPU digugat di pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri. Akhirnya untuk menghindari kesimpangsiuran dalam lapangn hukum acara persaingan usaha , Mahkamah Agung menerbitkan Perma no.1 tahun 2003. Berdasarkan Perma no.1 ini ditetapkan bahwa putusan KPPU tidaklah termasuk di dalam pengertian putusan pejabat Tata Usaha Negara yang bisa digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (padal 3 Perma no.1 tahun 2003). KPPU juga ditetapkan sebagai pihak .

Pelaku Usaha, Saksi, dan Pihak Lain. Pelaku usaha, saksi, dan pihak lain aldah pihak-pihak yang diperiksa dan diselidiki oleh KPPU dalam kaitannya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Namun hanya pengertian pelaku saja yang terdapat dalam UU antimonopoli. Berdasarkan padal 1 ayat 5 UU antimonopoli Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha , baik berbentuk badan hukum maupun atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, naik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Pengertian saksi akan dibahas dalam pembahasan mengenai alat bukti, sedangkan istilah pihak lain UU antimonopoli tidak memberikan definisi. Definisi pihak lain ini tidak jelas karena tidak menjelaskan kapan palku usaha tertentu dapat disebut sebagai pihak lain dan kapan ditetapkan sebagai pihak lain. Ketidakjelasan ini menyulitkan KPPU dalam menyatakan pelaku usaha tertentu bersalah dan melanggar UU antimonopoli. Disatu sisi ketidakjelasan ini dipandang sebagai suatu

kelemahan dari UU antimonopoli, dan secara tidak langsung menguntungkan pelaku usaha karena KPPU akan sulit membuktikan bahwa unsur-unsur suatu pasal terpenuhi. Hal ini tentunya merupakan suatu penghalang dalam penegakan hukum persaingan usaha.

Macam pemerikasaan 1. Pemerikasaan atas dasar inisiatif. Pemerikasaan ini dilakukan atas dasar inisiatif fari KPPU sendiri. Dalam perkara inisiatif ini , pemerikasaan oleh KPPU tidak didasarkan pada adanya laporan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Pertama-tama KPPU akan membentuk suatu majelis komisi untuk melakukan pemerikasaan terhadap pelaku usaha dan saksi, majelis komisi dibantu oleh beberapa staf komisi dalam melaksanakan tugasnya. Dengan surat penetapan majelis komisi menetapkan dimulainya suatu pemeriksaan pendahuluan. 2. Pemerikasaan atas dasar laporan Pemeriksaan ini merupakan pemerikasaan yang dilakukan oleh KPPU karena adanya laporan yang disampaikan oleh masyarakat maupun pihak-pihak pelaku usaha yang merasa dirugikan oleh tindakan pelaku usaha yang dilaporkan. Segara setalah dianggap laporan sudah lengkap, KPPU segera menetapkan majelis komisi yang akan melakukan pemerikasaan dan penyelidikan kepada pelaku uasaha yang dilaporkan dengan surat keputusan. Kemudian majelis komisi akan mengeluarkan suatu penetapan untuk dimulainya suatu pemerikasaan atas dasar laporan.

Pengaturan Hukum Acara untuk kasus persaingan usaha di KPPU UU antimonopoli memberikan wewenang kepada KPPU berdasar ketentuan pasal 35 UU antimonopoli, untuk menyusun pedoman maupun publikasi yang berkaitan dengan UU antimonopoli. Ketentuan tersebut juga diartikan oleh KPPU termasuk didalamnya membuat dan menentukan hukum acaranya sendiri. Pada tanggal 6 sepetember 2000, KPPU menerbitkan keputusan KPPU no.5/Kep/IX/2000 tentang cara penyampaian laporan dan penanganan dugaan pelanggaran. Keputusan ini meruapakn hukum acara dan pedoman bagi KPPU dalam melaksanakan fungsi penyelidikan dan pemerikasaan.

Tahap-tahap pemeriksaan 1. Pemerikasaan pendahuluan, dimana dalam jangka waktunya adalah 30 hari sejak tanggal surat penetapan dimulainya suatu pemerikasaan pendahuluan. Pengertian dari pemerikasaan pendahuluan ini terdapat dalam pada 1(9) kep no.5. pemeriksaan pendahuluan merupakan suatu tindakan KPPU guna meneliti atau memeriksa laporan guna menilai perlu atau tidaknya pemerikasaan lanjutan. 2. Pemeriksaan Lanjutan, yang disebutkan dalam ketentuan pasal 39 ayat 2 UU antimonopoli dan dijelaskan secara detail dalam kep no.5 padal 1 ayat 10 yang mana menjelaskan bahwa pemerikasaan lanjutan merupakan serangkaian pemeriksaan lain dan atau penyelidikan yang dilakukan oleh majelis KPPU sebagai tindak lanjut pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan oleh KPPU apabila telah menemukan indikasi adanya praktek monopoli atau persaingan tidak sehat. Sedangkan status bagi pelaku usaha yang diperiksa oleh KPPU atas dasar adanya laporan akan ditetapkan sebagai terlapor, dan pelaku usaha yang diperiksa oleh KPPU atas dasar inisiatif status awalnya kan ditetapkan sebagai saksi. Pengertian penyelidikan dan pemeriksaan oleh KPPU sebagaimana diatur dalam kep no.05 Pengertian dari penyelidikan diatur dalam pasal 1 ayat 11 kep no.05 adalah : Kegiatan anggota majelis KPPU dan atau tim penyelidik untuk mendapatkan bukti dan atau informasi di lokasi atau tempat tertentu yang diduga atau patut diduga sevbagai tempat disimpannya atau beradanya alat bukti. Sedangkan pengerian pemerikasaan berdasar ketentuan pasal 1 ayat 8 kep no.05 adalah : tindakan yang dilakukan majelis KPPU untuk memeriksa pelapor , terlapor, saksi, saksi ahli, serta pihak lain di kantor KPPU dan atau tempat lain yang ditentukan oleh KPPU sebagai tempat pemeriksaan untuk memperoleh keterangan dan atau bukti yang diperlukan dalam pengambilan keputusan . Pemeriksaan dalam sidang KPPU 1. Prosedur administratif yang meliputi kegiatan sebagai berikut : a. Pemeriksaan identitas bagi pelaku usahan, saksi dan pihak lain yang diperiksa oleh majelis komisi. b. Pembacaan hak dari pelaku usaha, saksi, atau pihak lain yaitu berhak didampingi oleh kuasa hukumnya.

2. Pemeriksaan terhadap pokok permasalahan, dilakukan oleh majelis komisi, baik pada pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan yang dibagi menjadi 2 tahap yaitu pemeriksaan oleh KPPU dan pemberian kesempatan kepada pelaku usaha untuk menyampaikan keterangan atau dokumen tambahan kepada majelis KPPU, sebelum sidang pemeriksaan ditutup. Segera setelah jangka waktu pemeriksaan pendahuluan dan lanjutan berakhir, KPPU mempunyai jangka waktu 30 hari kerja untuk memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap UU antimonopoli, setelah jangka waktu 30 hari tersebut KPPU berkewajiban membacakan putusan yang disampaikan dalam suatu sidang terbuka untuk umum dan putusan tersebut diberitahukan kepada pelaku usaha. Alat-alat bukti. Alat-alat bukti yang digunakan oleh KPPU terdiri dari : 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat dan atau dokumen 4. Petunjuk 5. Keterangan pelaku usaha Adapun pemeriksaan tambahan (pasal 6 Perma no.01 tahun 2003) yang juga memberikan hak kepada pengadilan negeri apabila dipandang perlu memerintahkan KPPU untuk melakukan pemeriksaan tambahan dengan menjatuhkan putusan sela. Pemeriksaan tambahan dijatuhkan apabila dipandang perlu oleh majelis hakim setelah memeriksa perkara persaingan usaha yang diajukan keberatan. Pengajuan keberatan sebagai upaya hukum Setelah pembacaan keputusan KPPU secara terbuka kepada palku usaha, salinan putusan harus diberikan kepada pelaku usaha, yang memungkinkan pelaku usaha membaca secara layak dan dapat mempertimbangkan apakah putusan KPPU perlu diajukan keberatan atau tidak. Dalam mengajukan keberatan pelaku usaha harus mengajukan sanggahan-sanggahannya terhadap pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh KPPU , baik menyangkut fakta hukum maupun penerapan hukum. Dasar hukum pengajuan keberatan ditentukan dalam pasal 44 ayat (2) UU antimonopoli yang berbunyi : pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada

pengadilan negeri selambat-lambatnya 14 hari setalah menerima pemberitahuan putusan tersebut . Sifat dan isi keberatan dari putusan KPPU dalam UU antimonopoli termasuk dalam ketegori peradilan kontentius, yaitu peradilan yang mengandung sengketa. Keberatan mengandung ciri-ciri peradilan kontentius karena alasan-alasan berikut : 1. Kata keberatan itu sendiri sudah mengandung adanya sengketa atau perbedaan pendapat antara pelaku usaha dan KPPU . KPPU berpendapat adanya pelanggaran UU monopoli dan mengenakan sanksi administratif sebaliknya pelaku usaha berpendapat tidak terjadi pelanggaran sehingga mangjukan keberatan ke pangdilan negeri. Terdapat perbedaan pendapat atau adanya sengketa atau perselisihan hak anatara pelaku usaha dan KPPU harus diperiksa,diputus dan diadili oleh pengadilan negeri. 2. Pasal 45 ayat (2) UU antimonopoli menentukan bahwa pengdilan negeri harus memberikan putusannya dalam waktu tenggang 30 hari sejak dimulainy keberatan. 3. Pasal 45 ayat (3) UU antimonopoli menentukan bahwa pihak yang keberatan terhadap keputusan pengadilan negeri dapat mengjukan kasasi ke mahkamah agung . Upaya hukum kasasi dan eksekusi putusan. Pihak yang keberatan terhadap putusan pengdilan negeri dapat mengajukan kasasi ke mahkamah agung republik Indonesia yang ditentukan dalam pasal 45 ayat (3) UU antimonopoli. Ketentuan tersebut menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah mengajukan upaya hukum banding. Pengajuan untuk permohonan kasasi diajukan dalam tenggang waktu 14 hari dihitung sejak tanggal keputusan dibacakan. Pembetukan UU antimonopoli mengharapkan proses pemeriksaan dan pemberian putusan oleh pengadilan berjalan cepat untuk mencapai ke[astian hukum. Berdasar pasal 45 ayat (4) UU antimonopoli menentukan bahwa mahkamah agung harus memberikan putusan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohona kasasi diterima. Permohonan kasasi wajib diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan diberitahukan kepada pemohon, dengan akibat hukum, apabila pemohon tidak mengjukan permohonan dalam tenggang waktu tersebut, pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan tersebut. Pemohon kasasi wajib

menyerahkan memori kasasi dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi diajukan. Dalam kerangka UU antimonopoli , putusan KPPU yang menyatakan pelaku usaha melanggar UU antimonopoli , mempunyai kekuatan eksekusi. Termasuk juga keputusan KPPU yang dimintakan keberatan kepada pengadilan negeri atau kasasi ke mahkamah agung, tetapi keberatan dan kasasi tersebut ditolak. Karena keputusan yang dibuat oleh pengadilan negeri atau mahkamah agung tidak memiliki kekuatan eksekusi , maka ciri putusan yang mempunyai eksekusi , yaitu : 1. Hanya berlaku terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap 2. Putusan yang bersifat menghukum Pada prinsipnya ada 3 faktor yang mengakibatkan putusan KPPU mempunyai kekuatan hukum tetap , yaitu : 1. Apabila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU dalam tenggang waktu yang ditentukan 2. Apabila pengdilan negeri menolak alasan-alasan keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha, dan tidak ada permohonan kasasi dalam tenggang waktu yang ditentukan 3. Apabila mahkamah agung dalam tingkat kasasi menolak alasan-alasan keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan bersifat kondemnator wajib dilaksanakan oleh pelaku usaha . ada dua cara melaksanakan putusan yaitu secara sukarela atau dengan cara upaya paksa. Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan putusan secara sukarela , maka akan menimbulkan akibat hukum lebih lanjut , yaitu pelaksaan putusan KPPU secara paksa. KPPU dapat menempuh dua upaya hukum yaitu sebagia berikut : 1. KPPU meminta penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri (pasal 46 ayat2 ) 2. KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan (pasal 44 ayat 4) Pembentukan UU memandang UU antimonopoli memiliki 2 aspek yaitu aspek perdata dan pidana dimana kedua upaya hukum tersebut mempunyai akibat hukum yang berbeda bagi pelaku usaha.

Eksekusi perdata terbagi menjadi 2 jenis yaitu : 1. Eksekusi riil (nyata) , yang merupakan jenis eksekusi putusan menghukum pelaku usaha untuk melakukan suatu perbuatan tertentu bukan berupa pembayaran sejumlah uang 2. Eksekusi pembayaran uang, adalah jenis eksekusi yang menghukum pelaku usaha untuk membayar sejumlah uang tertentu. Disamping upaya hukum diatas, KPPU menyerahkan putusan KPPU kepada penyidik untuk melakukan penyidikan lebih lanjut sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Penyelenggaraan ini berlaku karena KPPU tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku usaha, tetapi hal itu merupakan wewenang pengadilan. Tujuan penyerahan kepada penyidik adalah untuk menerapkan sanksi pidana yaitu : 1. Pidana pokok (pasal 48 ), yaitu pidana denda atau pidana kurungan pengganti denda 2. Pidana tambahan (pasal 49) , yaitu : a. Pencabutan izin usaha b. Larangan menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya 5 tahun c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan kerugian timbulnya kerugian pada pihak lain. Putusan pengadilan negeri yang mengabulkan keberatan pelaku usahan berakibat putusan KPPU batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Sebaliknya, hakim perdata dapat menguatkan putusan KPPU. Oleh karena itu, putusan wajib dilaksanakan oleh pelaku usaha. Jika pelaku usaha terbukti melakukan pelanggaran UU antimonopoli sehingga sanksi administratif dijatuhkan kepada pelaku usaha. Jika pelaku usaha tidak melaksanakannya secara sukarela sehingga memberikan hak kepada KPPU untuk memberikan putusan keputusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai padal 44 ayat (4) UU antimonopoli , dan akhirnya hakim pidana menjatuhkan hukuman pidana kepada pelaku usaha.

Wibowo, Destivano & Sinaga, Harjon. 2005. Hukum Acara Persaingan Usaha, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

You might also like