Professional Documents
Culture Documents
html
nelayan melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir. Semua akses sumberdaya kelautan praktis akan dikuasai pemilik modal. Sebab, hanya merekalah yang mampu memenuhi segala persyaratan yang diatur dalam UU itu. Masyarakat pesisir hanya menjadi penonton karena tidak mempunyai modal besar dan teknologi untuk bersaing dengan para pemilik modal. Hal ini mengakibatkan kemiskinan masyarakat pesisir akan bertambah parah. Bukan hanya itu, sumberdaya kelautan dan perikanan serta lingkungan pesisir juga akan mengalami degradasi akibat eksploitasi yang tak terkendali. Kita tidak pernah belajar dari kegagalan menerapkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) di masa Orde Baru yang akhirnya menghancurkan sumberdaya hutan Indonesia di Kalimantan, Sumatera maupun Sulawesi. Dampak Diberlakukannya peraturan perundangan tersebut memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat pesisir yang dominan miskin. Dampaknya, pertama, akses masyarakat pesisir terhadap sumberdaya ekonomi wilayah pesisir seperti sumberdaya ikan, air, lahan, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan mineral di dasar lautan. Sekalipun, UU Perikanan pasal 61 memberi kekebasan pada nelayan kecil dan UU PWP3K pasal 61 mengakui hak-hak masyarakat adat, kearifan lokal, namun hal itu hanya retorika semata. Sejatinya masyarakat miskin pesisir ini tidak mungkin dapat bersaing dengan pemilik modal besar. Kedua, implementasi keempat UU ini berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) antara pemilik modal dan pejabat berwenang dalam proses perizinan, pengendalian dan pengawasan baik di pusat maupun daerah. Bukan tidak mungkin para pemodal yang telah mengeksploitasi sumberdaya ekonomi wilayah pesisir secara tidak bertanggungjawan akan dengan mudah menghindar dari hukuman akibat berkolusi dengan pejabat berwenang. Ketiga, sumberdaya ekonomi wilayah pesisir dapat diperjualbelikan (tranferabillity) dan dikuasai sekaligus dikontrol untuk bidang usaha tertentu, sehingga hanya segelintir pemilik modal yang mengelola dan memanfaatkannya. Sangat mustahil hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat miskin di wilayah pesisir. Keempat, terjadnya eksploitasi berlebihan atas sumberdaya ekonomi wilayah pesisir. Masalahnya, adalah siapa yang menjamin pemilik modal untuk mengontrol eksploitasi sumberdaya ekonomi wilayah pesisir sementara sumberdaya itu sudah kuasai dan kontrol penuh? Apalagi era otonomi daerah yang memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan pemilik modal baik asing maupun domestik. Kelima, semakin meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran pada masyarakat pesisir akibat terbatasnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi di wilayah ini. Berkembangnya aktivitas usaha ekonomi skala besar berbasiskan sumberdaya ekonomi wilayah pesisir belum tentu akan menggunakan tenaga kerja lokal karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kualitas SDM. Kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi wilayah pesisir tidak bisa dirampas begitu saja dengan dalih pengaturan dan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Negara wajib melindungi dan mengakui kedaulatan masyarakat pesisir atas sumber-sumber ekonomi di wilayah tersebut karena amanat konstitusi. Pemerintah dan DPR wajib melakukan judical review terhadap semua UU di atas karena sumber-sumber ekonomi yang diatur berupa barang publik (public goods) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan sebaliknya, mempertahankan semangat neo-liberalisme yang menunggangi kepentingan asing dibalik semua peraturan perundangan tersebut. Apapun alasannya kedaulatan masyarakat pesisir atas sumbersumber ekonomi di wilayah pesisir harus dikembalikan agar mereka tetap dapat memberdayakan diri dan meningkatkan kesejahteraannya.