You are on page 1of 10

http://www.duniaguru.com/index.php?

option=com_content&task=view&id=314&Itemid=58 Pengantar KTSP Written by Hendra Widiana - PPPG Teknologi Bandung Feb 05, 2007 at 07:26 PM Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain dariitu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005. Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam SI dan SKL.Termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP. Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan sebagai referensi. Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk : 1. 2. 3. 4. 5. belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, belajar untuk memahami dan menghayati, belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

A. Landasan 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan dalam UU 20/2003 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3); Pasal 38 ayat (1), (2).

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Ketentuan di dalam PP 19/2005 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (5), (13), (14), (15); Pasal 5 ayat (1), (2); Pasal 6 ayat (6); Pasal 7 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8); Pasal 8 ayat (1), (2), (3); Pasal 10 ayat (1), (2), (3); Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 13 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 14 ayat (1), (2), (3); Pasal 16 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 17 ayat (1), (2); Pasal 18 ayat (1), (2), (3); Pasal 20. 3. Standar Isi SI mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam SI adalah : kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah. SI ditetapkan dengan Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006. 4. Standar Kompetensi Lulusan SKL merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan 5. 6. sebagaimana yang ditetapkan dengan Kepmendiknas No. 23 Tahun 2006. B. Tujuan Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tujuan Panduan Penyusunan KTSP ini untuk menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan. C. Pengertian Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. D. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP . KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. 2. Beragam dan terpadu 3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni 4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan 5. Menyeluruh dan berkesinambungan

6. Belajar sepanjang hayat 7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah Tantangan KTSP, Belajar dari Negeri Kanguru Written by ENDO KOSASIH, S.Pd.- Guru di SMPN 4 Pagaden dan Sekretaris Umum MGMP Bahasa Inggris, Kab. Subang Mar 16, 2007 at 05:53 PM Pemerintah pusat sebelum ini menguasai wewenang pengembangan kurikulum secara penuh. Saat ini satuan-satuan pendidikan tersebut diberikan wewenang langsung untuk mengembangkan kurikulum sendiri. BABAK aksi baru pendidikan di negara kita telah dimulai dengan di-gong-kannya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006 ini. Ini berarti satuan-satuan pendidikan harus mampu mengembangkan komponen-komponen dalam kurikulum (baca KTSP). Komponen yang dimaksud mencakup visi, misi, dan tujuan tingkat satuan pendidikan; struktur dan muatan; kalender pendidikan; silabus sampai pada rencana pelaksanaan pembelajaran. Jika dilihat dari semangat pemberian kekuasaan/wewenang pengembangan kurikulum ke satuan-satuan pendidikan (devolution), pengembangan KTSP ini mirip dengan konsep school based curriculum development (SBCD) di Australia yang mulai ditetapkan pertengahan tahun 1970-an. SBCD atau pengembangan kurikulum berbasis sekolah ini muncul diawali dengan wacana yang berkembang di kalangan pelaksana pendidikan sekolah dalam hal ini guru-guru di Australia dan negara-negara lainnya pada awal 1970an. Wacana tersebut pada intinya adalah tuntutan lebih banyak kebebasan dalam menentukan kurikulum di sekolah oleh warga sekolah. SBCD memiliki beberapa karakteristik yang secara umum mirip dengan pengembangan KTSP di Indonesia. Yaitu, adanya partisipasi guru; partisipasi keseluruhan atau sebagian staf sekolah; rentang aktivitasnya mencakup seleksi (pilihan dari sejumlah alternatif kurikulum), adaptasi (modifikasi kurikulum yang ada), dan kreasi (mendesain kurikulum baru); perpindahan tanggung jawab dari pemerintah pusat (bukan pemutusan tanggung jawab); proses berkelanjutan yang melibatkan masyarakat; dan ketersediaan struktur pendukung (untuk membantu guru maupun sekolah). Setelah hampir dua dekade, yakni sampai tahun 1990-an, pelaksanaan SBCD di Australia ternyata bukanlah tanpa hambatan. Ada sejumlah faktor yang bila tidak ditangani dengan baik dapat menghambat pelaksanaan SBCD di negeri Kanguru tersebut. Faktor-faktor ini tampaknya perlu kita perhatikan berkenaan dengan pelaksanaan KTSP di negeri kita. Pertama, keberadaan struktur-struktur pendukung pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah. Guru-guru terkadang kekurangan informasi dan juga stimulus mengenai pengembangan kurikulum berbasis sekolah. Jika guru-guru tidak memperoleh informasi yang memadai dan tidak mendapat stimulus yang sesuai, maka pengembangan kurikulum berbasis sekolah sukar terwujud apalagi sampai mencapai taraf yang standar. Tentunya keberadaan struktur pendukung yang membantu guru-guru dan warga sekolah lainnya ini sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan kurikulum berbasis sekolah/satuan pendidikan. Kedua, struktur pengambilan keputusan yang mendukung pelaksanaan pengembangan kurikulum. Partisipasi semua staf sekolah dalam pengambilan keputusan sangatlah diperlukan dalam pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan berkenaan dengan pengambilan keputusan yang menarik partisipasi semua staf di sekolah perlu ada dan dilaksanakan. Dominasi kepala sekolah yang berlebihan atas keputusan pengembangan kurikulum dapat menghambat keberhasilan pengembangan kurikulum. Ketiga, perubahan dalam persepsi peran guru terhadap pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum tingkat sekolah/satuan pendidikan menghendaki adanya perubahan persepsi peran guru dari peran sebagai penerima-pasif ke arah peran pengambilan keputusan kurikulum. Jika persepsi terhadap peran guru ini tidak berubah,

pengembangan kurikulum model ini tidak akan pernah berhasil. Keempat, persoalan keahlian pengembangan kurikulum warga sekolah. Jika warga sekolah memiliki sejumlah pengalaman dan pengetahuan yang memadai tentang pengembangan kurikulum, pelaksanaan pengembangan kurikulum akan dapat dilaksanakan dengan mudah dan tanpa kesulitan berarti. KTSP Menuju Kurikulum "Less Is More" Written by St Kartono - Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta Mar 14, 2007 at 04:19 PM "Aku pikir mereka akan berbicara tentang semangat baru sebuah kurikulum dan berbagai pendekatan kepada siswa. Ternyata, yang namanya sosialisasi kurikulum baru oleh para pengawas dari Dinas Pendidikan hanyalah bicara hal-hal administratif belaka." Itulah ungkapan kekecewaan sebagian guru sebuah SMA di Yogyakarta, ketika usai mengikuti sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pertanyaan saya, benarkah pembaruan kurikulum hanya sebatas perubahan administratif? Mestinya, sebuah kurikulum baru menghadirkan refleksi yang positif pada praksisnya. Akan tetapi, perlu disadari bahwa kurikulum bukanlah satu-satunya unsur yang penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Masih ada buku pelajaran, pengelolaan persekolahan, administrasi, biaya, guru, peranan orangtua, dan siswa sendiri. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa selalu terjadi kesenjangan antara kurikulum yang direncanakan atau diidealkan dengan pelaksanaannya di lapangan. Kritik terhadap kesenjangan implementasi kurikulum di lapangan lebih banyak ditujukan kepada guru. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan Permendiknas No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan, mengantar kemunculan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2006. Setiap satuan pendidikan dasar dan menengah diberikan peluang mengembangkan dan menetapkan KTSP. Keleluasaan dan kebebasan itu memang belum sepenuhnya mewarnai peluncuran KTSP, karena masih menyisakan sebuah paradoksal, yakni keharusan menempuh ujian nasional. Meski dihadang ujian nasional, toh ada semangat pembaruan terhadap kurikulum sebelumnya. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berlangsung selama ini dinilai sebagian kalangan sebagai overloaded dan para siswa dibawa untuk "tahu sedikit tentang hal yang banyak". Secara sentralistis, muatan pelajaran dan jam pelajaran ditentukan seragam untuk seluruh negara. Sebagai guru, saya menilai KTSP akan mendorong upaya kontekstualisasi pendidikan. Sekolah tak dilarang mengembangkan kurikulum sendiri. Kecenderungan KTSP mengarah pada kurikulum pendidikan yang menekankan less is more, yaitu jumlah bahan mengajar dikurangi supaya siswa dapat meneliti secara mendalam. Pengurangan jumlah bahan pelajaran dilakukan agar siswa mempunyai banyak waktu luang untuk lebih mendalami bahan itu (Suparno, dkk, 2002). Siswa tak diburu waktu, tetapi mempunyai kesempatan untuk berpikir kritis dan berefleksi. Model kurikulum less is more adalah menghilangkan substansi pelajaran yang berulangulang; menghilangkan pokok bahasan yang tak esensial yaitu pokok bahasan yang sekadar "kosmetik"; menawarkan ketuntasan belajar; menyediakan materi terapan yang dapat digunakan siswa untuk meningkatkan mutu kehidupannya; membiasakan pola berbudi pekerti, disiplin, tertib, menerapkan hak asasi manusia, kewajiban serta kepedulian sosial; menyajikan kurikulum pilihan yang sesuai dengan kemampuan sumber daya daerah. Dalam kerangka less is more, penting ada kerja sama-sekurang- kurangnya ada komunikasi-dengan sesama guru pengampu mata pelajaran serumpun dalam satu sekolah. KTSP dapat dielaborasi oleh daerah dan/atau sekolah sesuai kondisi dan kepentingan daerah atau sekolah. Elaborasi oleh daerah atau sekolah dapat berupa silabus yang cocok dengan kondisi serta kepentingan daerah atau satuan pendidikan. Kesiapan guru

Ketika KTSP bergulir, yang ingin saya temukan adalah semangat apa yang dihadirkannya? Kalau tidak demikian, saya pasti akan terjebak dalam arus kebiasaan sosialisasi atau seminar kurikulum baru, lantas membawa segepok dokumen ke sekolah, ujung- ujungnya sibuk dengan urusan administratif perubahan kurikulum. Memang, guru acap kali dihadapkan pada bahasa kedinasan yang serba- harus, tanpa diperhitungkan profesionalitasnya. Hal ini bisa berdampak negatif dan menjadikan guru sekadar robot dalam pelaksanaan kurikulum, sekadar menunggu petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. Betapa mudah para penatar dalam sosialisasi mengatakan seharusnya begini atau seharusnya begitu, tapi setelah dikonfrontasikan dengan pelaksanaan di lapangan terbukti ada kesenjangan asumsi pengembang kurikulum pusat dengan situasi riil para pelaksana. Jadi, mendesak untuk para guru dikembangkan sikap "kekinian" terhadap kurikulum, baik mengenai pemikiran pedagogis maupun arus zaman di sekitar siswa. Jika demikian yang terjadi, mendesak untuk disampaikan kepada para kepala sekolah dan guru di lapangan agar terus-menerus berani mencoba dan kreatif dalam mengimplementasikan KTSP. Kepala sekolah mesti mendorong para guru untuk mempertimbangkan penjabaran materi dengan mendahulukan materi yang sangat esensial. Guru mesti memerhatikan kompetensi dasar minimum yang disyaratkan para siswanya. Penyesuaian materi secara kuantitatif memungkinkan memberi perhatian pada dimensi nilai-nilai kehidupan yang ada pada setiap pelajaran. Satu hal yang perlu dilakukan adalah kontekstualisasi materi pelajaran. Guru diandaikan memiliki penguasaan bahan pelajaran, lebih dari sekadar materi dalam buku pelajaran. Ia perlu mengetahui karakteristik siswa-siswi sebagai orang yang belajar beserta lingkungan mereka. Karakteristik siswa dan lingkungan perlu dijadikan pertimbangan dalam menyusun proses belajar mengajar. Sumber: Harian Kompas Tafsir Konstruktif atas KTSP Written by A. CHAEDAR ALWASILAH - Penulis, Dosen Universitas Pendidikan Indonesia. Mar 04, 2007 at 11:17 AM APA kurikulum yang pernah berlaku selama ini adalah Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan mulai tahun ajaran 2006/2007 diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kebijakan ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Peraturan Menteri No. 22/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada tahun 2010 seluruh sekolah harus sudah melaksanakan KTSP. Pelaksananan KTSP secara penuh diharapkan mulai tahun ajaran 2007. Permendiknas KTSP ditandatangani pada 23 Mei 2006 dan berlaku bagi sekolah standar nasional maupun sekolah nasional berstandar internasional. Perlu ditegaskan bahwasanya standar pendidikan tidak sama dengan kurikulum. Standar nasional itu meliputi delapan hal, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kini masing-masing sekolah bisa membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri, bahkan kepala dinas tidak boleh ikut campur dalam pengembangan KTSP sekolah. Beberapa ciri terpenting dari KTSP adalah sebagai berikut. Pertama, KTSP menganut prinsip fleksibilitas. Setiap sekolah diberi kebebasan menambah empat jam pelajaran tambahan per minggu, yang bisa diisi dengan apa saja baik yang wajib atau muatan lokal. Namun fleksibilitas ini mesti diimbangi dengan potensi sekolah masing-masing serta pemenuhan standar isi seperti digariskan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Standar adalah kualitas minimum yang mesti dicapai. Sementara itu, potensi adalah tersedianya SDM dan (pra)sarana yang memadai untuk menyelenggarakan

pelajaran tambahan itu. Kedua, KTSP membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama yakni kebergantungan pada birokrat. Peluang bagi sekolah untuk mengurus sendiri tidak hanya untuk manajemen sekolah, tetapi juga rutinitas akademis. Ini perlu waktu lama, karena selama ini sekolah terbiasa diatur oleh pemerintah. KTSP dikembangkan melalui beberapa hal, antara lain sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. Ketiga, guru kreatif dan siswa aktif. Kurikulum 1994 menghendaki guru lebih kreatif, namun aktivitas guru sebatas mengajarkan apa yang sudah ditetapkan dalam kurikulum. Sementara dalam Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), siswa dituntut lebih kreatif. Guru harus bisa "memaksa" siswa untuk memberi feedback dalam setiap pembelajaran. KTSP menggabungkan keduanya. Wajar jika mereka yang belum sempat melaksanakan KBK mendapat kesulitan dalam melaksanakan KTSP. Keempat, KTSP dikembangkan dengan menganut prinsip diversifikasi. Artinya, dalam kurikulum ini standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dibuat BSNP itu dijabarkan dengan memasukkan muatan lokal, yakni lokal provinsi, lokal kabupaten/kota, dan lokal sekolah. Dengan demikian, sekolah akan berperan sebagai makelar kearifan lokal. Kegagalan kurikulum selama ini antara lain karena penyeragaman dari Sabang sampai Merauke, padahal masing-masing daerah berbeda potensinya, sehingga kurikulum nasional tidak operasional. Dengan kata lain, melalui KTSP diharapkan adanya keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kelima, KTSP sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah (school-based management). Komite sekolah kini harus 'turun gunung' bersama guru dalam mengembangkan kurikulum. Selama ini guru patuh pada petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang disiapkan oleh birokrat Depdiknas. Sekolah dapat bermitra dengan berbagai pemangku peran (stakeholders) pendidikan, seperti industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, dan organisasi atau profesi lainnya. Para pemangku peran ini lazimnya lebih merasakan tantangan dunia sekitar yang memerlukan respon kurikuler. Keenam, KTSP tanggap terhadap perkembangan iptek dan seni. Inilah tantangan abad sekarang ini. Tanpa antisipasi cerdas terhadap perkara ini, kurikulum menjadi lunglai mengahadapi teknologi yang serba canggih ini. Walhasil, KTSP berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungan, relevan dengan kebutuhan dan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, dan mestinya sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat. Ketujuh, KTSP beragam dan terpadu. Walaupun sekolah diberi otonomi dalam pengembangannya, ujung-ujungnya ada ujian nasional (UN) juga. Seyogyanya tidak ada persoalan bagi sekolah karena yang diujikan adalah kompetensi dasar. Dalam semangat desentralisasi pendidikan, UN penting demi pemetaan kemampuan, bukan penentu kelulusan siswa. Biarkan sekolah menentukan kriteria kelulusan masing-masing, yakni dengan menggabungkan hasil UN dengan ujian sekolah masing-masing. Perlu ditegaskan bahwa ada sejumlah fungsi UN, antara lain: (1) diagnosis, yakni untuk mengetahui 'penyakit' yang diderita anak didik untuk menentukan resep yang paling mujarab, (2) diferensiasi, yakni membeda-bedakan kelompok siswa demi penentuan kebijakan yang layak ditempuh, dan (3) uji kompetensi, yakni untuk mengetahui sejauh mana materi ajar dikuasai siswa. Fungsi pertama dan kedua selama ini belum betul-betul dilaksanakan dalam penyelenggaraan UN, sehingga selama ini belum jelas langkah korektif pemerintah sebagai respons terhadap hasil UN yang sangat beragam dari kota ke kota, bahkan dari sekolah ke sekolah. Tafsir konstruktif Niat pemerintah lewat BSNP memang luhur dan cerdas, namun berdasarkan kenyataan di lapangan, tidaklah mudah untuk memberdayakan para guru lewat KTSP ini. Ada anggapan bahwa apa pun kurikulumnya, selama guru, sekolah, dan pengembang kurikulumnya

berpikiran tradisional, kurikulum itu tidak akan berdampak besar. Pengembang kurikulum menggonggong, guru-guru berlalu dengan kulturnya. Aliran konstruktif menawarkan solusi untuk menyulap suasana belajar secara 'berani' dan mendobrak kejumudan kurikulum lewat tujuh ayat pendidikan sebagai berikut. Pertama, kurikulum disajikan secara utuh, yakni menekankan konsep besar, lalu diikuti konsepkonsep kecil. Artinya, guru berpegang pada tujuan instruksional umum atau TIU, dan tidak terjebak oleh hal-hal kecil, atau keterampilan-keterampilan dasar, atau tujuan instruksional khusus atau TIK. Dalam konteks KTSP, pemahaman guru akan standar kompetensi dan standar isi adalah sebuah niscaya. Kedua, kegiatan kurikuler mengandalkan sumber-sumber data primer dan juga materimateri buatan yang bermakna. Alam sekitar adalah data-data primer yang memiliki potensi untuk dibermaknakan. Dengan begitu, buku teks tidak lagi menjadi sumber utama sebagimana terbiasa pada kurikulum tradisional. Jadi wajar, jika KTSP tidak mesyaratkan adanya buku teks baru. Singkatnya, untuk KTSP, bukunya yang ada saja. Ketiga, siswa diperlakukan sebagai 'pemikir' muda yang belajar merumuskan teorinya sendiri ihwal dunia (baca: materi ajar). Keberanian siswa untuk bertanya dan berdebat adalah indikator keberhasilan belajar. Ini berbeda dengan kelas tradisional yang cenderung menempatkan siswa sebagai 'botol kosong' untuk diisi informasi oleh guru. Keempat, guru mengajar secara interaktif, yakni antara lain dengan kepandaian menerjemahkan lingkungan sekitar sehingga dapat dipahami siswa. Ini berbeda dari guru tradisional yang cenderung berlagak didaktik dalam menyebarkan informasi kepada siswa. Kebiasaan guru untuk mengejar target kurikuler sesuai dengan GBPP jelas tidak sejalan dengan prinsip konstruktif, sebab sebuah informasi belum tentu materi ajar yang bermakna (meaningful) dan terajarkan (teachable). Kelima, guru mencari tahu sudut pandang siswa untuk memahami kadar pengetahuan siswa saat ini untuk dijadikan pijakan bagi pelajaran yang akan datang. Ini berbeda dari kelas tradisional, di mana guru mencari jawaban yang benar untuk memvalidasi pembelajaran siswa. Pembelajaran konstruktivis membangun ketersambungan antara pelajaran sebelumnya dengan pelajaran selanjutnya. Dan ini hanya mungkin jika guru mengetahui sudut pandang siswa. Keenam, siswa bekerja dalam kelompok. Ini berbeda dari kelas-kelas tradisional di mana siswa belajar secara mandiri. Justru dalam kelompoklah mereka bersosialisasi dan berkolaborasi, sehingga secara kolektif memperoleh pencerahan lewat social reconstructivism. Bila siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, guru dan pengembang kurikulum pun berkolaborasi dengan para pemangku peran dalam merumuskan KTSP. Jadi, siswa, guru, bahkan manajemen sekolah mengamalkan ajaran social reconstructivism. Ketujuh, penilaian pembelajaran siswa dilakukan secara terintegrasi dalam pengajaran dan dilakukan lewat observasi guru terhadap proses belajar siswa dalam kelompoknya dan dengan mencermati portofolio siswa. Mekanisme ini berbeda dengan pendidikan tradisional yang memisahkan penilaian dari pembelajaran, dan terlembaga secara formal lewat tes. Dengan demikian, keberadaan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa memang tidak relevan dengan semangat konstruktif.*** KTSP Membuat Guru Kreatif Feb 05, 2007 at 09:31 AM Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) di setiap sekolah setingkat SD, SMP dan SMA, akan membuat guru semakin pintar, karena mereka dituntut harus mampu merencanakan sendiri materi pelajarannya untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Kurikulum yang selama ini dibuat dari pusat, menyebabkan kreativitas guru kurang terpupuk, tetapi dengan KTSP, kreativitas guru bisa berkembang.

Demikian pendapat dari pakar kurikulum, Dr Karnadi dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Prof Dr Ansyar dari Universitas Negeri Padang (Unan). Pendapat kedua pakar itu dilontarkan berkaitan dengan munculnya KTSP 2006 sebagai pengganti kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004. Karnadi yang ditemui Pembaruan di Jakarta, pekan lalu mengatakan, dengan semangat otonomi dan desentralisasi, KTSP memberi keleluasaan sekolah untuk mengembangkan kurikulum sendiri. KTSP sebenarnya positif, sebab sekolah diberikan otonomi untuk berdiskusi terkait dengan standar kompetensi yang dikembangkan. Hanya saja, sebagian besar guru belum terbiasa untuk mengembangkan model-model kurikulum. Selama ini mereka diperintah untuk melaksanakan kewajiban yang sudah baku, yakni kurikulum yang dibuat dari pusat. Karnadi menambahkan, implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. "Guru dapat melakukan upaya-upaya kreatif serta inovatif dalam bentuk penelitian tindakan terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten," tuturnya. Beban Bertambah Karnadi mengakui, penerapan KTSP tersebut berimplikasi pada bertambahnya beban bagi guru. Penerapan KTSP mengandaikan guru bisa membuat kurikulum untuk tiap mata pelajaran, padahal, selama ini guru sudah terbiasa mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah. ''Belum lagi mengingat kualitas guru yang kurang merata di setiap daerah. "Ini artinya, KTSP menghadapi kendala daya kreativitas dan beragamnya kapasitas guru untuk membuat sendiri kurikulum," katanya. Dikatakan Karnadi, pemberdayaan guru belum dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah (pemda). Misalnya, pemda belum melakukan evaluasi pendidikan yang baik dan benar, termasuk evaluasi guru. "Ini yang kerap terjadi, sehingga penerapan KTSP pun bisa melambat. Karena itu, pemda sebaiknya agresif dalam melakukan percepatan penerapan KTSP," katanya. Namun, menurut Prof Ansyar seperti dilansir Antara, Minggu (28/1), pemberdayaan guru dalam KTSP ini akan lebih baik, karena guru harus memikirkan perencanaan penyampaian materinya, setelah selama ini hanya mengajar sesuai kurikulum yang diturunkan pusat. Menurutnya, penerapan KTSP memberikan peluang bagi setiap sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, dan untuk itu tiap guru yang akan mengajar di kelas dituntut memiliki kemampuan menyusun kurikulum yang tepat bagi peserta didiknya. KTSP yang dibuat sekolah itu, kata dia, harus tetap mengacu pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP), dan disusun sebagai kurikulum operasional sekolah berdasarkan standar isi dan kompetensi lulusan yang dikembangkan dengan prinsip diversivikasi. Kurikulum harus disesuaikan dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. "Meski sekolah memiliki kewenangan luas, acuan tetap pada BSNP sesuai standar isi dan kompetensi lulusan," katanya. Lebih lanjut dijelaskannya, KTSP merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004, yang sebelumnya masih disusun pemerintah pusat, dan sekolah tinggal menggunakannya. Dalam KTSP, sekolah memiliki kewenangan menentukan muatan lokal, yang dapat

dijadikan satu keunggulan sekolah itu sendiri. Tetapi, untuk mengoptimalkan pemberdayaan guru dalam menyusun kurikulum tersebut, harus didukung sejumlah sarana dan fasilitas seperti ketersediaan buku teks yang beragam. "Setiap guru butuh banyak pengetahuan untuk penyempurnaan kurikulum yang disusunya, dan memerlukan banyak sumber seperti buku, dan internet," katanya. Kontekstual Karnadi juga menjelaskan, sebetulnya, keluarnya Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 mengenai KTSP atau Kurikulum 2006 ini tidak hanya menyempurnakan kurikulum sebelumnya, namun memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada daerah untuk mengembangkan pendidikan yang kontekstual. "Sebagai pembaruan kurikulum, KTSP coba memberi ruang lebih luas bagi otonomi sekolah. Pemerintah hanya menetapkan standar minimal kurikulum yang harus dipenuhi, selebihnya bergantung pada masing-masing sekolah," katanya. Sementara itu, Kepala Pusat Informasi dan Humas Bambang Wasito Adi mengatakan, KTSP memberi hak penuh pada sekolah-sekolah untuk menentukan sendiri kurikulumnya. Tujuannya adalah agar potensi tiap-tiap sekolah dapat menonjol, sehingga tercipta kompetisi antarsekolah. "Dengan KTSP ini, masing-masing sekolah bisa membuat silabus, kurikulum, dan indikatorindikatornya sendiri," katanya. Meski menentukan silabus sendiri, kata Bambang, namun standar kompetensi dan isinya harus sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. Bambang menambahkan meski masih dibebaskan memakai kurikulum lama, namun pada 2009 seluruh sekolah harus sudah memakai KTSP. Terbuka, Peluang Muatan Lokal Lingkungan Hidup dalam KTSP Feb 05, 2007 at 09:29 PM Peluang dimasukkannya materi lingkungan hidup sebagai pelajaran muatan lokal sangat dimungkinkan dengan diberlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP. Kurikulum baru ini mengatur, setiap satuan tingkat pendidikan atau sekolah diberi kebebasan menambah empat jam pelajaran tambahan per minggu. Materi lingkungan hidup sebaiknya masuk di sini. Permendiknas (Permendiknas Nomor 22 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan) memperbolehkan, setiap satuan tingkat pendidikan menambah jam pelajaran maksimal empat jam per minggunya. Jam pelajaran ini bisa diisi pelajaran apa saja, baik yang wajib atau sifatnya hanya muatan lokal, ujar anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Furqon, Jumat (13/10). Menurut Furqon, jam pelajaran tambahan ini berlaku baik untuk satuan tingkat pendidikan dasar maupun menengah. Sesuai prinsip fleksibilitas KTSP, tiap-tiap sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri. Termasuk, dalam hal pemilahan kurikulum wajib maupun lokal. Meski demikian, pemberlakuannya tetap harus diimbangi dengan potensi sekolah masingmasing serta pemenuhan standar minimum isi seperti yang telah digariskan BSNP. Jadi, bisa saja empat jam waktu tambahan ini diisi mulok LH sekaligus. Namun, tentunya kan tidak ujug-ujug demikian. Melainkan, harus diimbangi dengan potensi dan kebutuhan masing-masing sekolah, ucap ahli pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini. Jadi, tambah Furqon, sekolah tidak perlu lagi kebingungan mencari celah untuk memasukkan mulok LH ini ke dalam kurikulum masing-masing. Termasuk, mengenai opsi penggunaan jatah jam pelajaran pengembangan diri yang marak diwacanakan sebelumnya.

Penggunaan opsi yang disebut terakhir ini dikhawatirkan justru berpotensi bermasalah. Sebabnya, alokasi jam pengembangan diri ini khusus dipergunakan hal-hal yang sifatnya konsuler, yaitu tentang penelusuran minat, bakat maupun perencanaan pengembangan studi siswa. Budaya sekolah Secara terpisah, Ketua Musyarawarah Kerja Kepala Sekolah SMP Negeri se-Kota Bandung, Nandi Supriyadi, menyambut gembira rencana diberlakukannya mulok LH di Kota Bandung. Keberadaan mulok LH diyakini bakal lebih komprehensif meningkatkan pengetahuan maupun pengalaman siswa tentang permasalahan lingkungan hidup. Kebijakan ini merupakan hal yang paling kami tunggu-tunggu. Saya yakin, setidaknya dengan mewujudkan lingkungan hidup yang sehat di sekitar sekolah, secara tidak langsung ini bakal mendorong prestasi akademik siswa. Anak jadi dibiasakan betah di sekolah, ujar Kepala SMAN 7 Kota Bandung yang pernah mendapatkan penghargaan penerapan manajemen sekolah berwawasan lingkungan ini. Meski demikian, ia mengingatkan, efektivitas pendidikan lingkungan hidup nantinya tidaklah terlepas dari upaya mewujudkan budaya sekolah yang berperspektif lingkungan. Untuk mewujudkannya, diperlukan komitmen dan kesadaran seluruh stakeholder sekolah maupun orangtua siswa. Komitmen ini sangat penting. Misalnya, mengenai penyediaan sarana mulai dari tong sampah. Berbicara tentang pemilahan sampah, tentunya tidak lucu jika sekolah sendiri tidak menyediakan tong sampah yang mendukung. Serta, banyak contoh lainnya. Pokoknya, pola pembiasaan cinta lingkungan ini harus mulai digalakkan sejak tingkat sekolah, ucapnya kemudian.

You might also like