You are on page 1of 22

SISTEM POLITIK

Sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap di antara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan mengubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik. Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.

Sistem Politik Indonesia

Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik.

Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan.

Pemikiran Sistem Politik David Easton

Pasca Perang Dunia II, ilmuwan aneka bidang mulai menaruh perhatian pada usaha membangun suatu ilmu pengetahuan yang sistematis. Misalnya, pada tahun 1957, seorang sosiolog bernama Karl Mannheim membangun apa yang dinamakan sosiologi sistematis. Kemudian 6 tahun sesudahnya, ilmuwan politik Charles E. Merriam menulis suatu karya ilmiah mengenai perlunya membangun suatu studi politik yang sistematis. Namun, usaha membangun ilmu politik yang sistematis ini diantara telah dilakukan beberapa tahun sebelum Mannheim atau Merriam menyatakan perlunya membangun hal tersebut. Salah satu upaya membangun ilmu politik yang sistematis diantaranya dilakukan oleh David Easton. Usaha Easton untuk membangun suatu ilmu politik yang sistematis terdiri atas 2 tahap, yaitu :

Lewat karyanya The Political System (tahun 1953) pada karya ini, Easton menyatakan perlunya suatu teori umum dalam ilmu politik Lewat karyanya A Framework for Political Analysis (1965) dan A System Analysis of Political Life (1965). pada karya ini Easton mulai memperkenalkan konsepserta merinci konsep-konsep yang mendukung karya sebelumnya, lalu coba mengaplikasikan ke kegiatan politik konkrit.

Melalui kedua karya tersebut, terutama yang pertama, Easton menggariskan kerangka berpikir dasar untuk mengkaji suatu sistem politik. Sifat dari kerangka berpikir tersebut adalah adaptif dan fleksibel sehingga bisa digunakan oleh aneka struktur masyarakat maupun politik. Para pengguna teori Easton dimungkinkan untuk berimprovisasi dalam melakukan penjelasan atas fenomena sistem politik. Easton dalam The Political System (1953)

Easton menerjemahkan politik sebagai "proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif." Pengertian politik sebagai alokasi nilai yang bersifat otoritatif ini menandai 2 tahap pembentukan teori sistem politiknya. Perhatian pada nilai sebagai komoditas yang dinegosiasikan di dalam masyarakat merupakan titik awal berlangsungnya suatu proses politik. Namun, proses alokasi nilai ini tidaklah dilakukan secara sembarang atau oleh siapa saja melainkan oleh lembagalembaga masyarakat yang memiliki kewenangan untuk itu. Dalam The Political System, Easton menyatakan 4 asumsi mengenai perlunya suatu bangunan

pemikiran yang bersifat umum dalam mengkaji suatu sistem politik. Rincian dari asumsi Easton adalah berikut :

Asumsi 1 Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi yang sistematis untuk mensistematisasikan fakta-fakta yang ditemukan. Asumsi 2 Para pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai keseluruhan, bukan parsial. Asumsi 3 Riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data psikologis dan data situasional. Data psikologis terdiri atas karakteristik personal serta motivasi para partisipan politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas yang muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini muncul dari lingkungan fisik (topografi, geografis), lingkungan organis nonmanusia (flora, fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan reaksinya). Asumsi 4 Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu disequilibrium (ketidakseimbangan).

Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu penjelasan atas sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini. Selain itu, untuk menghasilkan gambaran yang menyeluruh dan padu (komprehensif), sistem politik tidak dapat dikaji secara parsial. Misalnya kita hanya mengkaji lembaga legislatif saja tanpa mengkaitkannya dengan peran lembaga eksekutif dalam melakulkan impelementasi perundang-undangan. Selain itu, Easton juga menegaskan bahwa kajian atas sistem politik harus mempertimbangan aneka pengaruh dari lingkungan. Pengaruh kondisi psikologis masyarakat, pola geografis wilayah negara, ataupun situasi yang berkembang pada level internasional harus diperhatikan pengaruhnya terhadap suatu sistem politik. Dengan kata lain, kajian atas sistem politik tidak boleh bersifat ahistoris. Terakhir, para peneliti sistem politik harus selalu menganggap sebuah sistem politik berlangsung di dalam suatu ketidakseimbangan (disequilibrium). Justru di dalam ketidakseimbangan tersebut, alur kerja sistem politik mempunyai daya dorong. Jika tidak ada persoalan ataupun kebutuhan, maka untuk apa sistem politik itu ada dan bekerja, bukan ? Setelah mengajukan 4 asumsi perlunya suatu teori politik yang menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton juga menggariskan 4 atribut yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem politik. Keempat atribut tersebut adalah : 1. Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik Di dalam kerangka kerja suatu sistem politik, terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini

adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sebagainya. 2. Input-output Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik berupa tuntutan dan dukungan. Tuntutan secara sederhana dijelaskan sebagai seperangkat kepentingan yang belum dialokasikan secara merata oleh sistem politik kepada sekelompok masyarakat yang ada di dalam cakupan sistem politik. Di sisi lain, dukungan merupakan upaya dari masyarakat untuk mendukung keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah implementari konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat. 3. Diferensiasi dalam sistem Sistem yang baik haruslah memiliki diferensiasi (pembedaan/pemisahan) kerja. Di masa modern adalah tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam pembuatan undang-undang pemilihan umum di Indonesia, tidak bisa cukup Komisi Pemilihan Umum saja yang merancang kemudian mengesahkan. DPR, KPU, lembaga kepresidenan, partai politik dan masyarakat umum dilibatkan dalam pembuatan undang-undangnya. Meskipun bertujuan sama yaitu memproduksi undang-undang partai politik, lembaga-lembaga tersebut memiliki perbedaan di dalam fungsi pekerjaannya. 4. Integrasi dalam sistem Meskipun dikehendaki agar memiliki diferensiasi (pembedaan atau pemisahan), suatu sistem tetap harus memperhatikan aspek integrasi. Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Undang-undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan, KPU, Partai Politik dan elemen-elemen masyarakat. Hasil pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut :

Dalam gambar diatas, Easton memisahkan sistem politik dengan masyarakat secara keseluruhan oleh sebab menurut Easton sistem politik adalah suatu sistem yang berupaya mengalokasikan nilai-nilai di tengah masyarakat secara otoritatif, dan ini hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan. Suatu sistem politik bekerja untuk menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan (action) yang disebut kebijakan (policy) guna mengalokasikan nilai. Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik (political actions) misalnya pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap Presiden, tuntutan elemen masyarkat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Dalam awal kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit input. Input adalah "pemberi makan" sistem politik. Input terdiri atas dua jenis: Tuntutan dan dukungan. Tuntutan dapat muncul baik dalam sistem politik maupun dari lingkungan (intra dan extrasocietal). Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan pihak-pihak di dalam sistem politik yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain, dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk melestarikan ataupun menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat disebutkan bahwa dukungan memiliki 2 corak yaitu positif (meneruskan) dan negatif (menolak) kinerja sebuah sistem politik. Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya disebut sebagai output, yang menurut Easton berkisar pada 2 bentuk yaitu keputusan (decision) dan tindakan (action). Output ini pada kondisi lebih lanjut akan memunculkan feedback (umpan balik) baik dari kalangan dalam sistem politik maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali ke dalam format tuntutan dan dukungan, dan secara lebih lanjut meneruskan kinerja sistem politik. Demikian proses kerja ini berlangsung dalam pola siklis. David Easton dalam A Framework for Political Analysis (1965)

Dalam tahap ke-2 bangunan teori sistem politik ini, Easton berusaha untuk lebih mendekatkan

teorinya dengan dunia empiris. Dalam tahap ini Easton kembali melakukan penegasan atas halhal berikut :

Masyarakat terdiri atas seluruh sistem-sistem dan bersifat terbuka. Sistem politik adalah : "Seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas perilaku sosial, dengan mana nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara otoritatif." Lingkungan terdiri atas intrasocietal dan exstrasocietal.

Lingkungan intrasocietal bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak "di luar" batasan sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang sama." Lingkungan intrasocietal terdiri atas :

Lingkungan ekologis (fisik, nonmanusia) misal dari lingkungan ini adalah kondisi geografis wilayah [pegunungan, maritim, padang pasir, iklim] Lingkungan biologis (berhubungan dengan keturunan ras) Misal dari lingkungan ini adalah ras arya, semit, mongoloid, timur, barat, skandinavia, anglo saxon, melayu] Lingkungan psikologis Misal dari lingkungan ini adalah bekas negara jajahan, bekas negara penjajah, maju, berkembang, terbelakang, baru merdeka] Lingkungan sosial Misal dari lingkungan ini adalah budaya, struktur sosial, kondisi ekonomi, dan kependudukan/demografis]

Lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan sistem politik dan masyarakat tempat sistem politik berada. Lingkungan extrasocietal terdiri atas:

Sistem Sosial Internasional Misal dari sistem sosial internasional adalah kondisi pergaulan masyarakat dunia, sistem ekonomi dunia, dan sejenisnya. Sistem ekologi internasional misal dari sistem ekologi internasional adalah keterpisahan negara berdasar benua (amerika, eropa, asia, australia, afrika), berdasar lautan (asia pasifik, atlantik), isu lingkungan seperti global warming dan berkurangnya hutan/paru-paru dunia Sistem politik internasional misal dari sistem politik internasional adalah PBB, NATO, ASEAN, ANZUS, Europa Union, negara-negara Asia Afrika, dan sistem-sistem politik yang khas berlaku di masing-masing negara di dunia.

Pola pikir Easton mengenai pengaruh lingkungan ini dapat dilihat di dalam bagan berikut ini :

Model arus sistem politik di atas hendak menunjukkan bagaimana lingkungan, baik intrasocietal maupun extrasocietal, mampu mempengaruhi tuntutan dan dukungan yang masuk ke dalam sistem politik. Bagan ini sesungguhnya secara mendasar adalah mirip dengan skema kerja sistem politik seperti sudah dibahas terlebih dahulu. Namun, di model arus ini Easton hendak memperjelas bahwa lingkungan intra dan extrasocietal mampu mempengaruhi mekanisme Input (tuntutan dan dukungan). Lalu, tuntutan dan dukungan dikonversi di dalam sistem politik yang bermuara pada output yang dikeluarkan oleh Otoritas. Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan keputusan maupun tindakan dalam bentuk policy (kebijakan), bukan sembarang lembaga. Output ini kemudian masuk lagi ke dalam lingkungan dan demikian seterusnya seperti terjadi di skema terdahulu.

Fungsi sistem politik yang pernah ada

Sistem politik terdiri dari tradisional, transisi dan modern. Sistem politik itu sangat luas namun bila diringkaskan bisa dilihat dari dua sudut pandang yatu kultur (budaya) atau struktur (lembaga). Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik. Budaya politik berbeda dengan peradaban politik yang lebih dititiktekankan pada teknologi. Budaya politik dilihat dari perilaku politik masyarakat antara mendukung atau antipati juga perilaku yang dipengaruhi oleh orientasi umum atau opini publik. Tipe budaya politik: 1. Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.

2. Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. 3. Budaya partisipan yaitu budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik. 4. budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran. Politik adalah Alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Kekuasaan berarti kapasitas dalam menggunakan wewenang, hak dan kekuatan fisik. Ketika berbicara struktur politik maka yang akan diperbincangkan adalah tentang mesin politik sebagai lembaga yang dipakai untuk mencapai tujuan. Berdasarkan jenisnya mesin politik terbagi dua yaitu : 1. Mesin politik Informal - Pengelompokan atas persamaan sosial ekonomi: golongan petani merupakan kelompok mayoritas (silent majority); golongan buruh; golongan Intelegensia merupakan kelompok vocal majority - Persamaan jenis tujuan seperti golongan agama, militer, usahawan, atau seniman - Kenyataan kehidupan politik rakyat seperti partai politik, tokoh politik, golongan kepentingan dan golongan penekan. 2. Mesin politik formal Mesin politik formal berupa lembaga yang resmi mengatur pemerintahan yaitu yang tergabung dalam trias politika: legislatif; eksekutif; yudikatif. Fungsi Politik: pendidikan politik; mempertemukan kepentingan atau mengakomodasi dan beradaptasi; agregasi kepentingan yaitu menyalurkan pendapat masyarakat kepada penguasa, disini penyalurnya berarti pihak ketiga; seleksi kepemimpinan; komunikasi politik yaitu masyarakt mengemukakan langsung pendapatnya kepada penguasa demikian pula sebaliknya.

B. Konsep Sistem Politik oleh Gabriel A. Almond Menurut Almond, sistem politik adalah merupakan sistem interaksi yang terjadi dalam masyarakat yang merdeka. Sistem itu menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. Almond menggunakan pendekatan perbandingan dalam menganalisa jenis sistem politik, yang mana harus melalui tiga tahap, yaitu: 1. Tahap mencari informasi tentang sobjek. Ahli ilmu politik memiliki perhatian yang fokus kepada sistem politik secara keseluruhan, termasuk bagian-bagian (unit-unit), seperti badan legislatif, birokrasi, partai, dan lembaga-lembaga politik lain. 2. Memilah-milah informasi yang didapat pada tahap satu berdasarkan klasifikasi tertentu. Dengan begitu dapat diketahui perbedaan suatu sistem politik yang satu dengan sistem politik yang lain. 3. Dengan menganalisa hasil pengklasifikasian itu dapat dilihat keteraturan (regularities) dan ubungan-hubungan di antara berbagai variabel dalam masing-masing sistem politik. Menurut Almond ada tiga konsep dalam menganalisa berbagai sistem politik, yaitu sistem, struktur, dan fungsi. Sistem dapat diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yang mempengaruhinya maupun dipengaruhinya. Sistem politik merupakan organisasi yang di dalamnya masyarakat berusaha merumuskan dan mencapai tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan kepentingan bersama. Dalam sistem politik, terdapat lembaga-lembaga atau struktur-struktur, seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu, yang selanjutnya memungkinkan sistem politik tersebut untuk merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya.

Ciri sistem politk menurut Gabriel A. Almond: 1. semua sistem politik mempunyai sturukut politik 2. semua sistem politik, baik yang modern maupun primitif, menjalankan fungsi yang sama walaupun frekuensinya berbeda yang disebabkan oleh perbedaan struktur. Kemudian sistem politik ini strukturnya dapat diperbandingkan, bagaimana fungsi-fungsi dari sistem-sistem politik itu dijalankan dan bagaimana pula cara/gaya melaksanakannya. 3. semua struktur politik mempunyai sifat multi-fungsional, betapapun terspesialisasinya sistem itu. 4. semua sistem politik adalah merupakan sistem campuran apabila dipandang dari pengertian kebudayaan.

Pemeliharaan dan adaptasi sistem politik. Sistem politik, menurut Gabriel A. Almond, memiliki mekanisme maintenance (pemeliharaan) dan adaptation (adaptasi).[1] Kedua mekanisme ini yang membuat sistem politik dapat bertahan, berjalan, dan menyempurnakan diri setelah mendapat serangkaian pengaruh dari lingkungan (environment) intrasocietal maupun extrasocietal. Masih menurut Almond, mekanisme maintenance dan adaptation sistem politik terdiri 2 fungsi input, yaitu sosialisasi politik dan rekrutmen politik. Sosialisasi politik adalah proses penanaman nilai-nilai budaya politik dari satu generasi ke generasi lain. Sementara rekrutmen politik adalah proses pergantian individu maupun kelompok yang akan menjalankan aktivitas politik di dalam sistem politik. Untuk dapat terus hidup, sistem politik butuh pemeliharaan. Ini seperti halnya mobil atau motor, yang secara berkala harus masuk bengkel untuk di'servis.' Tanpa pemeliharaan yang baik, sistem politik lambat-laun akan kehilangan daya hidup dan kemudian lenyap. Selain pemeliharaan, sistem politik pun butuh kemampuan beradaptasi.

Pemeliharaan dan adaptasi ini berlangsung melalui fungsi sosialisasi politik dan rekrutmen politik. Mekanisme pemeliharaan dan adaptasi sistem politik berlangsung melalui 2 jalur. Jalur pertama melalui fungsi input seperti telah disebutkan oleh Gabriel A. Almond. Jalur kedua melalui stabilitas seperti diutarakan Samuel P. Huntington melalui 3 pilar stabilitas sistem politik, berupa perimbangan antara : pembangunan ekonomi, pelembagaan politik, dan partisipasi politik.[2] Namun, sebelum masalah pemeliharaan dan adaptasi sistem politik ini dikaji lebih lanjut, perlu kiranya dilakukan kategorisasi mengenai tipe-tipe sistem politik. Kategorisasi ini akan lebih mempermudah analisis mengenai proses pemeliharaan dan adaptasi sistem politik. Demikian pula, kita akan relatif mampu secara garis besar menggambarkan tipe sistem politik jenis apa yang berlaku di Indonesia. Tipe-tipe Sistem Politik Dalam Encyclopedia of Government and Politics, Mary Hawkesworth and Maurice Kogan membagi tipe sistem politik menjadi 4 jenis, yaitu : Demokrasi Liberal, Sistem Komunis dan Post-Komunis, Rezim Otoritarian Kontemporer, dan Kediktatoran Militer.[3] Keempat tipe sistem politik ini memiliki ciri yang tentu saja tidak sama persis ketika diperhadapkan dengan realitas, tetapi memiliki kegunaan untuk memberi penjelasan umum.

Demokrasi Liberal. Demokrasi Liberal merupakan sebuah sistem politik yang ditandai dengan adanya bargaining (tawar-menawar) yang tegas antara warganegara dengan pemerintahnya.[4] Pemerintah hanya dapat memerintah selama itu tidak melupakan kesepakatan yang sudah dibuat dengan warga negara. Kesepakatan tersebut ada di dalam konstitusi. Sistem politik juga mengizinkan berdirinya partai-partai politik yang saling berkompetisi ---sesuai kesepakatan antara mereka sendiri--- di dalam pemilu periodik. Komunis dan Post-Komunis. Komunis dan Post-Komunis merupakan sebuah sistem politik yang ditandai oleh 4 faktor, yaitu :[5] 1. Negara mendasarkan diri pada ideologi resmi, yaitu Marxisme-Leninisme. 2. Sistem ekonomi ditandai oleh ketiadaan pemilihan pribadi, inovasi ekonomi tersentralisir 3. Negara diperintah oleh satu partai, atau sekurangnya satu partai yang dominan dengan sistem sentralisme demokratik 4. Organisasi-organisasi yang ada di dalam negara dikontrol secara langsung oleh negara.

Hingga tahun 1989, terdapat sekurangnya 25 negara yang menggunakan sistem politik Komunis, di antaranya adalah : Afghanistan, Albania, Angola, Benin, Bulgaria, Cambodia (Kampuchea until 1989), China (RRC), Kongo, Kuba, Cekoslowakia, Jerman Timur, Ethiopia, Hungaria, Korea Utara, Laos, Mongolia, Mozambiq, Polandia, Rumania, Yaman Selatan, Uni Sovyet, Vietnam, dan Yugoslavia. Setelah 1989, kini tinggal 4 negara saja yang menganut sistem tersebut, yaitu Cina (RRC), Kuba, Korea Utara, dan Vietnam. Negara-negara "bekas" komunis disebut dengan "post-komunis" oleh sebab mereka menghadapi dilema antara membentuk sistem politik baru (misalnya demokrasi liberal), atau kembali ke masa lalu, yaitu sistem politik komunis. Rezim Otoritarian Kontemporer. Rezim otoritarian kontemporer adalah rezim yang biasanya berdiri setelah kegagalan demokrasi liberal. Rezim otoritarian mengambil kekuasaan setelah kondisi negara mengalami kebuntuan politik, kemerosotan ekonomi, konflik, dan sejenisnya. Rezim otoritarian kontemporer tetap mengakui kemajemukan politik, tetapi sifatnya terbatas. Demikian pula, organisasi-organisasi masyarakat sipil tetap boleh berdiri, akan tetapi tetap

diawasi secara penuh oleh pemerintah.[6] Sukarno, hadir selaku pimpinan rezim otoritarian kontemporer Indonesia, setelah Dewan Konstituante mengalami kebuntuan politik di tahun 1959. Sukarno menerapkan Demokrasi Terpimpin untuk menggantikan "demokrasi liberal" yang sarat kompetisi partai-partai, untuk kemudian "menggandeng" elemen NU, Nasionalis, PKI, dan militer untuk mendukung kekuasaanya. Setelah Sukarno digulingkan oleh "junta militer Suharto", Indonesia beranjak ke arah Kediktatoran Militer, hingga dilaksanakannya Pemilu Pertama Orde Baru tahun 1971. Kediktatoran Militer. Kediktatoran militer adalah junta militer yang mengambil alih kekuasaan negara melalui coup d'etat secara militer, untuk selanjutnya memerintah tanpa batas waktu yang ditentukan dan bergantung pada seberapa besar dukungan yang diberikan angkatan perang kepadanya.[7] Contoh negara yang menerapkan kediktatoran militer adalah Myanmar dan Pakistan di bawah pimpinan Jenderal Pervez Musharraf. Tipe Sistem Politik Indonesia. Sistem politik Indonesia, ditinjau dari sisi kesejarahan, tidak bercorak tunggal. Ketika awal merdeka tahun 1945-1955, Indonesia disibukkan oleh revolusi fisik, pemberontakan, dan hendak kembalinya kekuasaan asing. Mulai Pemilu Pertama 1955, Indonesia menganut sistem politik bercorak Demokrasi Liberal.

Sistem ini bertahan hingga tahun 1959, ketika Sukarno membubarkan Dewan Konstituante dan memberlakukan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin Sukarno ini bertahan hingga tahun 1966, ketika Indonesia jatuh ke tangan junta militer pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, dan Indonesia mengalami Kediktatoran Militer. Kediktatoran militer ini bertahan hingga 1971, ketika Indonesia mengadakan Pemilu Pertama. Untuk selanjutnya, Indonesia mengalami masa berlakunya sistem politik bertipe Rezim Otoritarian Kontemporer di bawah pimpinan Suharto. Rezim ini pun jatuh pada tahun 1998 dan kembali Indonesia memasuki tipe sistem politik yang bercorak Demokrasi Liberal. Sosialisasi Politik Sosialisasi politik mengacu pada proses belajar, dalam mana norma dan perilaku politik yang berlaku di dalam sebuah sistem politik ditransfer dari satu generasi ke generasi lain.[8] Selain norma dan perilaku, nilai-nilai politik juga merupakan komoditi yang "diajarkan" dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Norma dan perilaku politik yang dimaksud disesuaikan dengan tipe sistem politik yang berlangsung. Norma politik adalah perilaku politik yang bisa diterima di dalam suatu sistem politik, sementara perilaku adalah cara bertindak individu tatkala menghadapi suatu persoalan. Nilai, adalah sesuatu yang dipandang tinggi oleh individu, kelompok, atau sistem politik. Sebab itu, sosialisasi politik yang berlangsung di tiap sistem politik berbeda. Pada tipe sistem politik Demokrasi Liberal, nilai-nilai individualitas, kebebasan, kemajemukan, dan sejenisnya merupakan hal yang diteruskan dari generasi ke generasi. Ini berbeda dengan di tipe sistem politik Komunis, misalnya, yang menekankan pada kepatuhan, kebersamaan, dan terkadang ketakutan, yang hampir tanpa syarat dari warganegaranya. Agen Sosialisasi Politik. Agen sosialisasi politik, adalah orang atau kelompok yang melakukan pentransferan nilai, norma, dan perilaku politik. Agen ini, baik langsung ataupun tidak langsung, melakukan hubungan dengan individu dan menanamkan komoditi yang terkandung dalam sosialisasi politik. Agen sosialisasi politik dapat dibedakan menjadi primary groups dan secondary groups. Masuk ke dalam kategori agen primary groups adalah keluarga dan teman. Keluarga merupakan organisasi sosial terkecil dan paling dekat dengan individu. Intensitas hubungan antara individu dengan keluarga mereka, terutama orang tua, sangat tinggi. Seorang anak cenderung meniru apa yang disampaikan orang tua kepada dirinya. Teman sebaya (peer groups) juga menempati posisi primary groups, oleh sebab pengaruh yang diberikan oleh seorang teman biasanya punya pengaruh yang besar kepada individu. Contoh dari secondary groups adalah sekolah, partai politik, media massa, dan pemerintah. Sekolah mengajarkan nasionalisme (lagu kebangsaan, ideologi, wilayah) sejak dini kepada individu. Selain itu, sekolah juga menjadi agen untuk memperkenalkan sistem politik yang berlaku di suatu negara. Partai politik merupakan agen, yang upayanya menarik dukungan dari warganegara sesuai visi dan misi partai tersebut. Jika sekolah lebih bercorak nasional, maka partai lebih bercorak primordial (agama, kelas sosial, dan sejenisnya). Namun, visi dan misi partai tidak boleh bertentangan dengan aspek nasionalisme suatu sistem politik. Media massa kini merupakan agen sosialisasi politik yang menempati posisi penting. Bayangkan, berapa lama seorang individu ada di depan pesawat televisi setiap harinya ? Selain televisi, jenis media massa lain seperti surat kabar, radio, spanduk/poster, juga memberi efek sosialisasi politik yang cukup tinggi. Pemerintah tentunya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dan berkepentingan untuk

melakukan sosialisasi politik. Ini terbukti, misalnya di Indonesia, pemerintah tetap mewajibkan kurikulum Pendidikan Kewarganegaan atau Pancasila untuk dipelajari sejak jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Upaya ini merupakan bukti pemerintah memiliki kepentingan untuk melakukan sosialisasi politik. Teknik Sosialisasi Politik. Ada beragam teknik yang digunakan oleh individu di dalam sosialisasi politik. Teknik-teknik tersebut adalah Imitasi dan Instruksi. Teknik imitasi berlangsung tatkala satu individu meniru apa yang dilakukan orang terdekatnya. Gus Dur, sebagai misal, merupakan "peniru" nilai-nilai politik kakeknya (Hasyim Asy'ari) dan ayahnya (Wahid Hasyim).[9] Kakek dan ayahnya adalah tokoh Nahdlatul Ulama yang terbuka, luas jaringan pertemanannya, dan ketat dalam mempertahankan budaya Islam bercorak pesantren. Dengan ayahnya, Gus Dur cuma kenal hingga usia 12 tahun (Wahid Hasyim meninggal mendadak akibat kecelakaan mobil). Apa yang kemudian dilakukan Gus Dur dalam "meniru" ayahnya adalah mengikuti apa yang diperbincangkan teman-teman ayahnya seputar tindak-tanduk Wahid Hasyim, kepada dirinya. Teknik instruksi, merupakan teknik di mana agen sosialisasi "mendiktekan" apa yang harus dipahami dan dilakukan individu. Contoh paling mudah adalah sekolah. Bagaimana sekolah mengharuskan siswa menghormat bendera di saat upacara, bagaimana menjadi warganegara yang baik, bagaimana siswa memajang foto lambang negara, presiden, dan wakil presiden, merupakan contoh dari teknik instruksi ini.

Rekrutmen Politik Rekrutmen politik merupakan suatu proses penempatan individu ke dalam struktur-struktur sistem politik. Proses penempatan tersebut dapat bersifat mengisi kekosongan maupun melakukan pergantian. Rekrutmen politik ini dilakukan oleh partai politik, pemerintah, ataupun

lembaga-lembaga lain yang memiliki kegiatan politik. Proses rekrutmen politik ini paling jelas terlihat tatkala berlangsung pemilihan umum. Di Indonesia, proses ini berlangsung bertingkat-tingkat : Ada pemilihan presiden, anggota DPR Tingkat I, II dan DPD, serta pemilihan kepala daerah. Pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai upaya sistem politik memperbaharui diri. Umumnya, partai-partai politik dan presiden yang bertarung di Pemilu membawakan isu-isu yang populer di tengah masyarakat. Umpamanya kesejahteraan sosial, keamanan, pendidikan, dan lain sebagainya. Stabilitas Sistem Politik Stabilitas sistem politik merupakan kondisi yang perlu diciptakan agar sistem politik ---tipe apapun--- dapat terus bertahan. Kondisi stabil memungkinkan pemerintah mampu mengelola sistem politik ke arah yang diinginkan. Agar stabilitas sistem politik dapat tercapat, Huntington mensyaratkan 3 kondisi, yaitu perimbangan antara pembangunan ekonomi, partisipasi politik, dan pelembagaan politik. Pembangunan ekonomi menempati posisi yang cukup penting. Pembangunan ekonomi yang diartikan sebagai proses dalam mana kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa, baik bersifat primer, sekunder, maupun tersier terus dipenuhi, akan menjamin sistem politik mendapat pengakuan dari warganegaranya. Dapat dibayangkan jika suatu negara dilanda kekurangan kebutuhan pokok, atau sulit mendapatkannya, maka gejala protes akan muncul di sana-sini. Peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, atau Suharto ke Habibie, selalu diawali dengan terbelakangnya masalah pembangunan ekonomi ini. Sistem politik yang dilangsungkan keduanya, Rezim Otoritarian Kontemporer, berakhir. Partisipasi politik adalah keterlibatan warganegara di dalam kegiatan-kegiatan politik. Kegiatan ini berkisar antara ikut pemilu, berorganisasi yang berefek politik, lobbying, bahkan aktivitas teroris. Partisipasi politik ini sulit untuk dapat dicegah, oleh sebab berkenaan secara langsung dengan kondisi warganegara. Partisipasi politik di negara-negara Demokrasi Liberal relatif lebih tinggi ketimbang di negara dengan Rezim Otoritarian Kontemporer, Kediktatoran Militer, terlebih lagi Komunis. Namun, partisipasi politik yang tinggi ini, jika tidak diimbangi dengan pembangunan ekonomi yang relatif mencukupi, akan berakibat pada tidak lestarisnya sistem politik. Pelembagaan politik adalah proses dalam mana kepentingan, konflik, tuntutan, maupun dukungan warganegara terhadap sistem politik disalurkan melalui lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk mendistribusikannya. Dalam negara Demokrasi Liberal, saluran yang dimaksud tersebut adalah Parlemen, Pemilu, Partai Politik, ataupun organisasi-organisasi kemasyarakatan. Lembaga-lembaga inilah yang kemudian mendistribusikan kepentingan

warganegara ke dalam sistem politik untuk diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan negara. Tanpa pelembagaan politik yang cukup, sistem politik akan mengalami kondisi anarkisme sosial (masing-masing membuat peraturan sendiri tanpa ada kesepakatan antarpihak). Ketiga unsur stabilitas sistem politik (pembangunan ekonomi, pelembagaan politik, dan partisipasi politik), merupakan faktor yang harus dipelihara perimbangannya oleh sistem politik. Jika pembangunan ekonomi rendah, pelembagaan politik rendah, tetapi partisipasi politik tinggi, maka berakibat pada tumbangnya sistem politik. Ini terjadi di Indonesia menjelang 1998, dalam mana tingkat partisipasi politik (demonstrasi) sangat tinggi, pembangunan ekonomi rendah (langka dan mahalnya kebutuhan pokok), sementara pelembagaan politik di tingkat DPR dan Pemerintah tersendat. Akibatnya adalah implosi politik, suatu kondisi di mana rakyat berhadapan secara berseberangan dengan pemerintah.

You might also like