You are on page 1of 59

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Interaksi sosial antara pribadi-pribadi, kadang-kadang juga disebut sebagai hubungan interpersonal. Intinya adalah adanya hubungan antara manusia dengan manusia yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan tertentu. Kebutuhan interpersonal, yakni kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, yang apabila tidak terlaksana akan menghasilkan gangguan atau keadaan yang tidak menyenangkan bagi pribadi yang bersangkutan. Pada setiap manusia, ada tiga kebutuhan interpersonal, yang mencakup kebutuhan akan inklusi, kontrol dan afeksi. Kebutuhan akan inklusi merupakan suatu kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan hubungan yang memuaskan pihak lain. Kebutuhan akan kontrol adalah suatu kebutuhan untuk mengadakan dan mempertahankan hubungan dengan pihak lain, untuk memperoleh pengawasan atau kekuasaan. Kemudian, kebutuhan akan afeksi adalah segala kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan hubungan dengan pihak lain untuk memperoleh dan memberikan cinta, kasih sayang serta afeksi. Masing-masing kebutuhan interpersonal tersebut di atas, menghasilkan pola tertentu. Kebutuhan akan inklusi, misalnya menghasilkan perilaku yang cenderung menyesuaikan diri dengan pihak lain, sehingga ada rasa kebersamaan atau menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan akan kontrol, antara lain menghasilkan perilaku yang bertujuan untuk mempengaruhi pihak lain, memimpinnya ataupun mengaturnya serta bahkan mendominasi pihak lain tersebut. Kebutuhan akan afeksi

menimbulkan berbagai perilaku, seperti saling menyukai yang menimbulkan persahabatan, cinta dan seterusnya. Walaupun kebutuhan-kebutuhan interpersonal tersebut di atas, menghasilkan perilaku yang beraneka ragam coraknya, akan tetapi manusia pada dasarnya mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan tetapi, mengenai keteraturan yang menjadi hasratnya itu, apabila keadaan tersebut dibiarkan, maka akan timbul ketidakteratura, oleh karena masing-masing akan berpegang pada pandangannya mengenai keteraturan tersebut, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya masing-masing.1 Semua manusia pada dasarnya mempunyai kepentingan dan kebutuhan dalam hidupnya. Oleh karena itu manusia berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya dengan melakukan berbagai usaha. Usaha yang dilakukan antara pribadi yang satu dengan yang lainnya tentunya berbeda sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Namun tidak menutup kemungkinan terjadinya persaingan yang tidak sehat antar pribadi tersebut maka untuk menghindari terjadinya benturan atau kecurangan tersebut diperlukan adanya satu pedoman yang dapat menjadi pengarah dalam kehidupan manusia. Semangat ketaatan terhadap hukum itu tidak mungkin dapat ditumbuhkan tanpa dilandasi iman keagamaan dan kepatuhan terhadap norma-norma moral yang hidup dalam masyarakat. Iman dan moral mendorong manusia untuk taat terhadap hukum. Tentu, iman dan moral itu adalah iman yang sanggup menumbuhkan pambaharuan jiwa dalam memandang persoalan-persoalan hidup. Jadi, jika struktur kekuasaan cenderung mengabaikan hukum, maka masyarakat harus bergerak ke
Soerjono Soekamto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2005), hal. 63-64.
1

arah sebaliknya, yaitu mendorong ketaatan terhadap hukum. Antara iman, moral, hukum dan kedisiplinan terdapat jalinan hubungan yang erat. Iman menumbuhkan keinsafan batin. Moral membuka persepsi terhadap nilai-nilai dasariah tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang baik dan apa yang buruk. Hukum memperkuat semua itu dengan sanksi dan ancaman agar norma-norma dipatuhi. Jelaslah bahwa iman, moral dan hukum mendorong terciptanya disiplin pribadi, keluarga dan masyarakat.2 Sesuai dengan kebutuhan manusia akan suatu peraturan atau hukum, maka Allah SWT, mensyariatkan agama Islam segala rahmat bagi alam semesta ini dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan umum. Usaha mewujudkan kemaslahatan umum ini dilakukan melalui ketentuan dharuri, hajjiat, dan tahnisi. Ketentuann dharuri yaitu ketentuan hukum yang dapat memelihara kepentingan hidup manusia. Pada hakikatnya kebutuhan dharuri itu terdiri dari lima kelompok yaitu memelihara agama, nyawa, jiwa, dan keturunan.3 Dalam syariat Islam sejak awal tentang mencari harta, agar dalam mencari harta tersebut manusia tidak menenpuh cara-cara bathil seperti mencuri. Dalam Hukum Jinayat, termasuk dalam kategori jarimah/ delik yang diancam dengan hukuman potong tangan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran surat Al Maidah ayat 38:

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 58.
3

Amir Syarifuddin, Usul Fiqh 2, (Bandung: Kencana, 2008), hal. 209.

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah maha perkasa lagi bijaksana. Hukum mencuri ditegaskan di dalam Al-Quran. Nabi Muhammad SAW bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya: Demi Allah, kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya. (Riwayat Bukhari). Ketegasan aturan mengenai mencuri ini menunjukkan pengakuan Islam akan hak milik, perlindungannya, dan mengatur perpindahannya secara adil. Mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang yang dicuri secara individual, tapi juga secara sosial masyarakat luas, sebuah bangsa, atau kemanusiaan itu sendiri. Bahkan secara vertikal mencuri itu juga termasuk mendzalimi Allah SWT. Hukuman potong tangan yang dipandang tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau sebagai hukuman yang dijalankan apa adanya bagi pendukung literalnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks. Para ahli hukum Islam sering mencontoh kisah yang terjadi dalam masa Umar bin Khattab yang tidak menghukum pencuri tapi justru mengancam akan menghukum yang dicuri atau tuan sang pencuri.

Dikisahkan ketika suatu ketika terjadi paceklik, ada kasus pencurian yang dilaporkan kepada Umar untuk dihukum, tetapi Umar menolak menghukumnya, alasannya karena musim paceklik mungkin orang itu terpaksa mencuri karena takut mati kelaparan. Sebaliknya Umar malah pernah mengancam, Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya, malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini lapar.4 Pencurian secara bahasa ialah saraqa yasriqu saraqan, wasarikan wasariqatan, warasiqatan wasirkatan yang berarti mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan.5 Selain peraturan yang terdapat dalam Hukum Jinayat tersebut, terdapat pula dalam peraturan hukum pidana Indonesia, yaitu KUHP telah memberikan ketentuan-ketentuan hukum mengenai sanksi pidana pencurian yang telah diatur dalam bab XXII 362 KUHP, dengan hukuman penjara paling lama lima tahun.6 Adapun yang menjadi alasan bagi penulis untuk membahas judul Sanksi Pidana Pencurian Terpaksa dalam Perspektif Hukum Jinayat dan KUHP (Analisis Perbandingan) adalah pertama, karena sanksi pidana pencurian meskipun telah ada larangan baik dari segi agama maupun dari hukum nasional atau KUHP, namun dari dulu hingga saat ini masih terjadi pencurian, bahkan dilakukan oleh orang yang sama dan penjara pernah ia cicipi. Kedua. Untuk mengetahui berbagai pendapat dan argumentasi yang dikemukakan oleh para fuqaha

http://lispedia.blogspot.com/2010/12/pidana-pencurian-menurut-perspektif.html diakses tanggal 3 Maret 2011.


5

Mardani, Kejahatan Pencurian dalam HUkum Pidana Islam, (ind Hill Co), hal. 91. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Trinity Optima Media, 2007), hal. 112

menetapkan sanksi bagi para pelaku tindak pidana pencurian, khususnya dengan rasa keterpaksaan. Ketiga, untuk mengetahui segi pemahaman dan perbedaan antara Hukum Jinayat dan KUHP dalam masalah pencurian. B. Rumusan Masalah Adapun seabagai pembatsan penelitian yang penulis lakukan, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sanksi pidana pencurian terpaksa dalam perspektif Hukum Jinayat dan KUHP?. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ditetapkan dalam penelitian ini akan menjadi titik tolak untuk mengetahui sejauh mana penulis dapat menyelesaikan penelitian tersebut sehingga dapat diukur tingkat keberhasilannya. Adapun tujuan dari penelitian ini dapat dirumuskan yakni untuk mengetahui sanksi pidana pencurian terpaksa dalam perspektif Hukum Jinayat dan KUHP. Selain mempunyai tujuan, penelitian yang dilakukan juga harus memiliki manfaat. Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Untuk dijadikan referensi bagi pihak-pihak yang ingin meneliti lebih lanjut. 2. Sebagai tambahan wawasan bagi penulis sendiri dalam memecahkan problematika akademika khususnya dalam penyelesaian penelitian ini.

D. Kajian Kepustakaan

setelah penulusuran penulis terhadap beberapa tulisan dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang akan penulis lakukan menunjukkan bahwa ada penelitian yang serupa dengan peneltian yang akan penulis lakukan. Sehingga penulis berani mengangkat permasalahan tersebut untuk diteliti lebih lanjut. Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis mengambil atau merujuk kepada beberapa referensi yang berhubungan dengan masalah yang penulis kembangkan. E. Metode Penelitian 1. Bentuk dan Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yakni penelitian yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa, tidak lagi mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. metode deskriptif ini mencari teori, bukan menguji teori.7 Selanjutnya dianalisis secara induktif. Dalam penelitian ini penulis ingin memaparkan sanksi pidana pencurian terpaksa dalam perspektif Hukum Jinayat dan KUHP. Dalam memperoleh hasil yang maksimal dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif sebagai metode penelitian. Dimana peneliti sebagai instrumen utama yang terlibat langsung dalam proses penelitian dari awal hingga penelitian selesai. Data utama yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari refensi buku mengenai masalah yang diteliti. 2. Sumber Data

Jalaluddin Rahmat. Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1984), hal. 21.

Adapun sumber data yang penulis peroleh untuk melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: .a Data Primer adalah sumber pokok yang penulis ambil

langsung dari buku Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, yang dikarang oleh H. Mardani, M. Ag. .b Data Sekunder adalah data-data yang berhubungan dengan

kajian ini, yaitu buku, makalah, artikel serta literatur-literatur khususnya yang berhubungan dengan metode pengajaran khususnya metode menghafal. 3. Teknik Pengumpulan Data data dalam penelitian ini yaitu teknik

Adapun teknik pengumpulan

pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik sehingga memperoleh data yang lebih pasti, yaitu kumpulan buku-buku referensi mengenai masalah yang penulis teliti. 4. Metode Analisis Data Dikarenakan penelitian ini adalah penelitian pustaka (Library Research) dengan cara telaah buku. Maka teknik analisa data yang penulis gunakan adalah dengan pendekatan Content Analysis (analisis isi), yaitu data-data Textular dianalisa sehingga diperoleh kesimpulan pokok dari topik kajian.

Analis data terlebih dahulu dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan masalah penelitian dan

akan terus berkembang sejalan dengan penelitian sampai dengan selesainya penelitian. Analisis ini terus menerus dilakukan hingga datanya jenuh. Data yang terkumpul dari studi perpustakaan kemudian dideskripsikan, diolah dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Setelah didapat hasil dari penelitian kemudian diklasifikasikan sesuai dengan makna dari variabel penelitian dan ditarik kesimpulan yang berkaitan dengan persoalan tentang sanksi pidana pencurian terpaksa dalam perspektif Hukum Jinayat dan KUHP. Untuk adanya keseragaman dalam penulisan atau penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe tahun 2008.

BAB II KAJIAN TEORITIS

10

A. Pengertian Pencurian Pencurian secara etimologis berasal dari kata saraqa yasriqu-saraqan, wa sariqun wa saraqan wa siraqatan, yang berarti mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan.8 Pengertian pencurian perlu kita bagi menjadi dua golongan, yaitu: pencurian secara aktif dan pencurian secara pasif, yakni: Pertama, pencurian secara aktif adalah tindakan mengambil hak milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik. Kedua, pencurian secara pasif yaitu bila pencurian secara aktif berarti tindakan mengambil hak milik seseorang, maka pencurian secara pasif berarti tindakan menahan apa yang seharusnya menjadi miliknya orang lain.9 Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi: "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda uang.10 Pencurian yang diancam dengan tazir pun ada dua macam: Pertama, pencurian yang diancam dengan had, namun tidak memenuhi syarat untuk dapat dilaksanakan had lantaran ada syubhat (seperti mengambil harta milik anak sendiri

Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, Menuju Pelaksanaan Hukum Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Ind Hill Co, 2008), hal. 91. http://ayumie-gone.blogspot.com/2008/12/pengertian-mencuri-merampok.html diakses tanggal 5 Maret 2011.
10 9

http://pakarhukum.site90.net/pencurian.php diakses tanggal 5 Maret 2011.

11

atau harta bersama); Kedua, mengambil harta dengan sepengetahuan pemiliknya, juga tidak menggunakan kekerasan. 11 a. Arti Sanksi Pidana Pencurian dalam Pidana Islam Dalam hukum Jinayat, sanksi pidana pencurian disebut assariqah () yang secara etimologi atau secara pengertian bahasa sariqah berarti mengambil suatu barang dengan sembunyi-sembunyi.12 Sedangkan pengertian assariqah secara istilah yaitu mengambil milik orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dan dari tempat penyimpanannya yang wajar.13 Pengertian lainnya yaitu mengambil harta milik orang lain secara sembunyi-sembunyi tanpa dipercayakan kepadanya. Unsur dipercayakan ini adalah kriteria yang membedakan antara pencurian dengan penggelapan.14 Dari rumusan tersebut di atas maka apat kita simpulkan bahwa pencurian itu ialah mengambil harta milik orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang wajar dengan tanpa dipercayakan kepadanya.

Sanksi pidana terbagi kepada dua macam yaitu: 1. Pencurian Kecil

A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Islam), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 71.
1 12

11

Mohammad Anwar, Fikih Islam (Muamalah, Munakahat, Faraid dan Jinayah), (Subang: PT. Almaarif, 1998), hal. 288.
1 13

Ibid. Ibnu Rusyd, Hidayatul Mujtahid, (Kairo: Daral Fikr), hal. 437.

1 14

12

Yaitu yang dilakukan dengan jalan sembunyi-sembunyi. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah:

Artinya: Pencurisn kecil yaitu mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi.15 2. Pencurian Besar Yaitu pencurian yang dilakukan dengna kekerasan atau terang-terangan


Artinya: Pencurian besar ialah mengambil harta orang dengan jalan kekerasan dan pensurian ini disebut juga begal.16 Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh Sayid Sabiq dalam bukunya Fikih As Sunnah.17 Dengan demikian perbedaan antara pencurian besar dengan pencurian kecil ialah bahwa dalam pencurian kecil, ketika mengambil harta tersebut dengan jalan sembunyi-sembunyi dan tanpa ada izin dari pemiliknya. Jika kedua syarat ini tidak ada maka tidak dapat dikatakan sebagai pencurian kecil. Sedangkan pencurian besar adalah cara mengambil barang tersebut dengan diketahui oleh pemiliknya (terang-terangan) dan tanpa kerelaan pemiliknya serta dengan jalan mengalahkannya. Kedua macam pencurian ini (pencurian besar dan pencurian

1 15

Abdul Qadir Audah, Tasyriu al Juna al Islam, (Kairo: Dar al Fikr, 1978), hal. 437. Ibid. Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut: Daar al Fikr), hal. 411.

1 16

1 17

13

kecil) dapat dikenakan hukuman had sebagaimana akan dibahas dalam uraian selanjutnya. Sedangkan dalam pembahasan skripsi ini yang penulis maksud dengan pencurian adalah pencurian kecil (yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). b. Arti Sanksi Pidana Pencurian dalam KUHP Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mencuri mempunyai pengertian mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum.18 Kata mengambil (wegnemen) dalam pengertian sempit terbatas hanya menggerakkan tangan dan jari-jarinya, memegang barangnya serta mengalihkannya ke tempat lain. Sudah lazim masuk istilah pencurian apabila orang yang mencuri barang cair, seperti bir, dengan membuka suatu kran dan mengalirkannya ke dalam botol tanpa menyentuh birnya. Bahkan listrik pun dapat dicuri dengan menggunakan sepotong kawat dan mengalirkannya ke suatu tempat.19 Namun dalam keadaan pengertian sehari-hari kata mengambil mempunyai beberapa pengertian yaitu: 1) Mengambil dari tempat suatu benda itu semula berada. 2) Mengambil suatu benda dari penguasaan seseorang. Para pakar pun banyak memberikan definisi tentang kata mengambil ini, diantara mereka adalah: 1) Mr. Blok

1 18

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 128.

1 19

Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Crisco, 1986), hal. 14.

14

Menurut Mr. Blok mengambil yaitu suatu prilaku yang membuat suatu benda berada dalam penguasaannya yang nyata atau berada di bawah kekuasaannya atau di bawah detensinya, terlepas dari maksudnya tentang apa yang diinginkan dengan benda tersebut.20 2) Simons Menurut Simons mengambil yaitu membawa suatu benda menjadi berada dalam penguasaannya atau membawa benda tersebut secara mutlak berada di bawah penguasaannya yang nyata, dengan kata lain, pada waktu pelaku melakukan perbuatan tersebut harus belum berada dalam penguasaannya.21 3) Van Bemmelen-Van Hattun Mengambil yaitu setiap tindakan yang membuat sebagian harta kekayaan orang lain menjadi berada dalam penguasaannya tanpa bantuan atau izin orang lain tersebut atau untuk memutuskan hubungan yang masih ada anatara orang lain itu dengan bagian harta kekayaan yang dimaksudkan.22 Namun pada hakikatnya kata mengambil itu sendiri mengalami banyak penafsiran sesuai dengan perkembangan masyarakat. Mengambil yang semula diartikan memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat lain, ini berarti membawa barang di bawah kekuasaannya yang nyata. Perbuatan mengambil berarti perbuatan yang mengakibatkan barang berada di luar kekuasaan pemiliknya. Tetapi dalam hal ini tidak selalu demikian sehingga tidak selalu disertai akibat
2 20

P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Bandung: Sinar Baru, 1986), hal. 13.
2 21

Ibid. Ibid.

2 22

15

dilepaskannya barang tersebut dari kekuasaan pemiliknya.23 Misalnya A kehilangan suatu cincin di suatu tempat, kemudian B menemukan cincin tersebut lalu

menempatkan sebuah pot di atas cincin tersebut dengan maksud diambilnya, jika A telah menghentikan pencariannya. Dalam hal tersebut perbuatan mengambil sudah dimulai sejak B meletakkan pot di atas cincin tersebut. Dan perbuatan mengambil akan terus berlangsung sampai cincin itu diambilnya. B. Rukun Pencurian 1. Rukun Pencurian Rukun pencurian adalah sesuatu yang sangat mendesak sehingga bila salah satu rukun dari pencurian tidak ada, pencurian tersebut dianggap bukan sebagai pencurian yang sempurna, maka secara otomatis hukuman had bagi pencuri yaitu potong tangan tidak akan dieksekusi. Rukun pencurian menurut Abdul Qadir Audah ada 4, yaitu: a. Mengambil secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam. b. Sesuatu yang diambil itu adalah harta. c. harta tersebut milik/kepunyaan orang lain. d. Ada maksud atau niat jahat/niat berbuat tindak pidana (mencuri).24 2. Unsur-Unsur Pencurian

2 23

H.A.K. moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, KUHP Buku II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 17.
24

Mardani, Kejahatan Pencurian , hal. 95.

16

Sesuai dengan definisinya unsur pencurian adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam, yang diambil berupa harta, harta yang diambil merupakan milik orang lain dan ada itikad tidak baik. a. Mengambil Harta Secara Diam-Diam Yang dimaksud dengan mengambil harta secara diam-diam adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaannya, seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang tidur. Pengambilan harta itu dapat dianggap sempurna jika: Pertama, pencuri mengeluarkan harta dari tempatnya; Kedua, barang yang dicuri itu telah berpindah tangan dari pemiliknya; Ketiga, barang yang dicuri itu telah berpindah tangan ke tangan si pencuri. b. Barang yang Dicuri Berupa Harta Disyaratkan yang dicuri itu berupa harta: Pertama, yang bergerak; Kedua, berharga; Ketiga. Memiliki tempat penyimpanan yang layak; dan Keempat, sampai nisab. Harta yang dicuri disyaratkan harus harta bergerak, karena pencurian mempunyai makna perpindahan harta yang dicuri dari pemilik kepada pencuri. Benda dianggap benda bergerak jika harta itu dapat dipindahkan karena tabiatnya atau dipindahkan. Disyaratkan pula harta itu merupakan materi kongkrit atau bendabenda yang bersifat material. Yang dimaksud dengan barang berharga adalah bahwa barang tersebut berharga bagi pemiliknya, bukan dalam pandangan pencuri. Mazhab Maliki, Syafii dan Hambali menyatakan bahwa harta itu berupa harta yang mungkin dimiliki dan diperjualbelikan, meskipun dalam penerapan

17

prinsip ini mereka berbeda pendapat dalam kasus pencurian mushaf Al-Quran. Menurut Imam Abu Hanifah tidak wajib dikenakan hukuman potong tangan pada pencurian harta dalam keluarga yang mahram karena mereka diperbolehkan keluar masuk tanpa ijin. Menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak dapat dikenai hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya dan seterusnya sampai kebawah. Demikian pula sebaliknya, anak tidak dapat dikenai sanksi hukuman potong tangan karena mencuri harta ayahnya, kakeknya dan seterusnya ke atas. Menurut Imam Abu Hanifah tidak ada hukuman potong tangan pada kasus pencurian antara suami istri. c. Harta yang Dicuri Itu Milik Orang Lain Disyaratkan dalam pidana pencurian bahwa sesuatu yang dicuri itu merupakan milik orang lain. Maksudnya adalah bahwa harta itu ketika terjadinya pencurian adalah milik orang lain dan yang dimaksud dengan waktu pencurian adalah waktu pencuri memindahkan harta dari tempat penyimpanannya. Atas dasar ini, maka tidak ada hukuman had dalam pencurian terhadap harta yang status pemilikannya bersifat syubhat. Dalam kasus ini pencuri diancam dengan hukuman tazir.

3. Alat Bukti Pencurian Ada beberapa alat bukti dalam sanksi pidana pencurian menurut Hukum Jinayat, yaitu: a. Saksi, dalam hal ini cukup dengan dua orang saksi

18

b. Pengakuan, dalam hal ini menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad cukup satu kali, meskipun demikian ulama lain ada yang mensyaratkan dua kali. c. Sumpah, dikalangan Mazhab Syafii, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pencurian dapat dibuktikan dengan sumpah, namun pendapat yang lebih rajih menyatakan bahwa alat bukti dalam sanksi pidana pencurian hanya saksi dan pengakuan. 4. Sanksi Pencurian Dalam tindak pidana pencurian, para ulama mempermasalahkan ganti rugi dan sanksi. Menurut Imam Abu Hanifah, ganti rugi dan sanksi itu tidak dapat digabungkan, artinya bila pencuri sudah dikenal sanksi hukuman had, maka baginya tidak ada keharusan untuk membayar ganti rugi. Alasannya, Al-Quran hanya menyebutkan masalah sanksi saja. Menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad, sanksi dan ganti rugi itu dapat digabungkan. Alasannya, pencuri melanggar dua hak, dalam hal ini hak Allah berupa keharaman mencuri dan hak hamba berupa pengambilan atas harta orang lain. Oleh karena itu, pencuri harus mempertanggungjawabkan akibat dua hak ini. Jadi pencuri itu harus mengembalikan harta yang dicurinya bila hartanya sudah tidak ada. Selain itu, ia harus menganggung sanksi atas perbuatannya. Inilah yang disebut dengan prinsip dhaman di kalangan ulama. Dengan demikian sesungguhnya para ulama sepakat bahwa bila harta yang dicuri itu masih ada di tangan pencuri, maka ia harus mengembalikannya. Hanya

19

mereka berbeda pendapat bila harta yang dicuri itu telah tidak ada ditangan pencuri.25 C. Pengertian Dan Dasar Hukum Pencurian dalam Hukum Jinayat dan KUHP 2. Pengertian Sanksi Pidana a. Arti Tindak Pidana Dalam Pidana Islam Dalam hukum pidana Islam istilah sanksi pidana (peristiwa pidana, delik) disebut dengan jarimah atau jinayah. Dan para fuqaha sering memakai kata jinayah untuk jarimah. Sebenarnya yang dimaksud dengan jarimah yaitu larangan-larangan syara yang diancamkan oleh Allah dengan hukuman had atau tazir.26 Sedangkan yang dimaksud dengan jinayah yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa, harta benda atau lainnya, namun mayoritas ulama hanya memakai kata-kata jinayah untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melikai, memukul, mengugurkan kandungan dan sebagainya.27 Dengan demikian pengertian jarimah lebih luas dari pada pengertian jinayah, namun keduanya dapat disamakan jika digunakan dalam membahas hukum pidana, sebagaimana Abdul Qadir Audah mengemukan hal itu sebagai berikut:

25

A. Djazuli, Fiqh Jinayah , hal. 73-86.

2 26

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 1. Ibid.

2 27

20

Larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman yang ditentukan atau hukum tazir.28 Larangan-larangan Syara tersebut ada kalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan maksud dari larangan-larangan syara adalah bahwa suatu perbuatan baru dianggap jarimah atau jinayah apabila dilarang oleh syara. Jadi berbuat atau tidak dianggap sebagai jarimah atau jinayah kecuali jika diancamkan hukuman terhadapnya.29 Dengan demikian yang menjadi tolak ukur utuk dapat mengatakan bahwa suatu perbuatan tergolong jarimah, tergantung pada ketetapan syara (yaitu dengan adanya larangan yang disertai dengan ancaman bagi orang yang melanggarnya). Dan suatu perbuatan baru dapat digolongkan kepada jarimah atau jinayah jika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur jarimah atau jinayah, adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi yaitu: 1) Unsur formil (rukun syari) yaitu adanya nash yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamkan dengan hukuman terhadapnya. 2) Unsur materil (rukun madd) yaitu adanya perbuatan yang membentuk jarimah baik berupa perbuatan nyata maupun tidak nyata. 3) Unsur moril (rukun adabi) yaitu yang pelakunya orang mukallaf yang dapat diminta pertanggungjawabannya.30

2 28

Abdul Qadir Audah, Tasyriu al Juna al Islam, (Kairo: Dar al Fikr, 1978), hal. 66. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana ..., hal. 1 Ibid, hal. 6.

2 29 3 30

21

Ketiga unsur tersebut harus terdapat pada suatu perbuatan untuk dapat digolongkan kepada jarimah. Disamping unsur-unsur umum pada setiap jarimah juga terdapat unsur-unsur khusus, seperti unsur pengambilan dengan diam-diam, bagi jarimah pencurian. Adapun perbedaan antara unsur-unsur umum dengan unsur-unsur khusus adalah apabila unsur umum itu satu macamnya pada tiap jarimah sedangkan unsur khusus itu terdapat berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut perbedaan jarimah.31 b. Sanksi Pidana dalam KUHP Istilah sanksi pidana dikalangan ahli hukum terdapat perbedaan, Moelyatno dan Ruslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana. Sedangkan Utrecht memakai istilah peristiwa pidana. Moeyatno menolak memakai istilah peristiwa pidana karena peristiwa pidana menurutnya tidak begitu dikenal.32 Moelyatno sendiri memakai istilah perbuatan pidana dengan alasan, kata perbuatan suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan kongkrit yaitu adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang berbuat.33 Dan terlepas dari perbedaan tersebut di atas, dalam skipsi ini hanya memakai istilah tindak pidana saja. Istilah sanksi pidana yang dalam bahasa Belanda yaitu delict atau strafbaar feit diterjemahkan sebagai perbuatan yang dilarang serta diancam dengan undangundang. Menurut Simons, yang dikutip oleh Andi Hamzah merumuskan bahwa strafbaar feit itu ialah kelakuan yang diancam deangan pidana yang bersifat

3 31

Ibid. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Np: Rineka Cipta, 1994), hal. 86. Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 6.

3 32

3 33

22

melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.34 Simon juga berpendapat bahwa strafbaar feit itu harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Suatu perbuatan manusia. 2. Perbuatan itu dilarang dan diancam undang-undang. 3. Pelakunya orang yang dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.35 Sedangkan menurut Moelyatno, setiap sanksi pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir yang merupakan elemen sanksi pidana, yaitu: 1. Kelakukan dan akibat. 2. Keadaan yang menyertai perbuatan. 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. 4. Unsur-unsur melawan hukum yang obyektif. 5. Unsur-unsur melawan hukum yang subyektif.36 Maka dengan adanya unsur-unsur tersebut di atas dapat diketahui perbuatan yang merupakan sanksi pidana dan perbuatan yang bukan merupakan sanksi pidana. Misalnya pencurian, dalam sanksi pidana pencurian, maka yang jadi unsur dasarnya adalah mengambil barang milik orang lain, namun tidak semua perbuatan mengambil barang milik orang lain itu termasuk mencuri, sebab ada orang yang mengambil barang orang lain untuk disimpan dan diserahkan ke pemiliknya. Jadi

3 34

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum ..., hal. 88. Satohid Kertanegara, Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa), hal. 74. Moelyatno, Asas-Asas Hukum ..., hal. 9.

3 35

3 36

23

disamping mengambil barang orang lain, harus ditambah elemen lainnya yaitu dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. D. Sanksi Pidana Pencurian dalam Hukum Jinayat dan KUHP 1. Sanksi pidana pencurian dalam Hukum Jinayat

Dalam Hukum Jinayat telah ditetapkan bahwa sanksi atau hukuman yang sesuai bagi pelaku pidana pencurian adalah hukuman potong tangan. Hal tersebut berdasarkan kepada Quran Surat Al Maidah ayat 38:

Artinya: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.37 Selanjutnya Rasulullah SAW. Bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:


3 37

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan, (Surabaya: Jaya Sakti, 1997), hal.

165.

24

Artinya: Dari Aisyah R.A sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda... apakah engkau meminta syafaat dari had Allah? Kemudian Rasulullah SAW berkhutbah lalu bersabda mahai sekalian manusia, sesungguhnya hancurnya orang-orang sebelum kamu, bahwasanya keadaan mereka apabila kamu atasan (orang terhormat) mencuri. Mereka

meninggalkannya (tidak menerapkan hukum potong tangan) dan apabila kaum dhuafa mencuri mereka menegakkan hukum potong tangan kepadanya.38 Berdasarkan kepada keumuman kedua nash tersebut maka untuk menerapkan hukuman potong tangan para fuqaha mengkatagorikan pidana pencurian itu kepada dua macam yaitu pencurian yang diancam dengan hukuman tazir dan pencurian yang diancam dengan hukuman had. Pencurian yang diancam hukuman tazir yaitu jika pencurian tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman had. Sedangkan jika pencurian tersebut memenuhi persyaratan maka hukumannya adalah had yaitu potong tangan.

Pencurian yang diancam dengan hukuman tazir itu ada dua macam, yaitu: 1. Semua pencurian yang belum mencukupi syarat untuk dikenakan hukuman had. Misalnya orang yang mencuri harta anaknya sendiri. 2. Mengambil harta orang lain dengan tidak sembunyi-sembunyi (terang-terangan) diketahui oleh pemiliknya namun tidak ada izin

3 38

Nawawi, Syariah Muslim, (Mesir: Mat Baah Misriyah, 1934), hal. 186.

25

(kerelaan) dari pemiliknya serta dengan jalan tidak mengalahkannya, misalnya ghasab dan ikhtilas.39 Demikian pula dengan pencurian yang diancam dengan hukuman had, pencurian ini terbagi kepada dua macam pula, yaitu: 1. Sariqah suqra () 2. Sariqah kubra () Sariqah suqra atau pencurian kecil yaitu pencurian yang pengambilannya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan menurut Sayid Sabiq, pencurian yang wajib dikenakan hukuman potong tangan adalah:

Artinya: pencurian kecil adalah pencurian yang wajib divonis dengan hukuman potong tangan.40 Dengan demikian hukuman dalam pencurian kecil adalah potong tangan. Dan yang dimaksud dengan pencurian besar disini adalah begal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun mengenai hukuman terhadap pelakunya, maka ia dapat dikenakan hukuman mati, yaitu berupa dibunuh dengan salib, jika ia melakukan pencurian dengan membunuh pemiliknya. 2. Sanksi Pidana Pencurian dalam KUHP

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur tentang sanksi atau hukuman terhadap tindak pidana pencurian biasa, pencurian
39

Abdul Qadir Audah, Tasyriu al Juna al Islam, (Kairo: Dar al Fikr, 1978), hal. 515. Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut: Daar al Fikr), hal. 411.

40

26

dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan, pencurian ringan dan pencurian dalam lingkup keluarga. Adapun yang berkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini adalah pencurian biasa yaitu pasal 362 KUHP, yang memberikan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun, bagi para pelaku tindak pidana pencurian, sebagaimana bunyi pasal tersebut, yaitu: barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.41 Adapun jenis-jenis pemidanaan yang berlaku di Indonesia adalah pidana penjara, pidana denda dan pidana mati. Untuk jenis yang ketiga ini jarang sekali terjadi atau dilakukan eksekusi. Karena meskipun terpidana dan dituntut hukuman mati, jarang sekali hakim memvonis dengan hukuman mati, biasanya hanya dituntut dengan hukuman penjara seumur hidup atau 20 tahun.

BAB III SANKSI PIDANA PENCURIAN TERPAKSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM JINAYAT DAN KUHP A. Syarat Penjatuhan Hukuman Pidana Pencurian 1. Syarat Penjatuhan Sanksi Pidana Pencurian dalam Hukum Jinayat

Mengambil harta orang lain atau perbuatan mencuri baru dapat dikenakan hukuman potong tangan bila pencurian itu telah memenuhi rukun dan syaratnya, selama rukun dan syaratnya belum terpenuhi, maka hukum potong tangan belum
4 41

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 128.

27

dapat dilaksanakan. Adapun rukun pencurian itu Abdul Qadir Audah ada empat macam, yaitu: a. Mengambil secara sembunyi-sembunyi. b. Sesuatu yang diambil itu berupa harta yang dinilai harganya. c. Harta yang dicuri itu milik orang lain. d. Adanya maksud (niat) berbuat jahat (mencuri).42 Keempat rukun ini harus terdapat agar hukuman potong tangan dapat dilaksanakan. Dan penjelasan keempat rukun pencurian tersebut adalah sebagai berikut: a. Mengambil secara sembunyi-sembunyi Mengambil barang tersebut tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa izin darinya. Seperti seorang yang mencuri perhiasan orang ketika pemiliknya sedang pergi atau sedang tidur. Oleh karena itu jika mengambilnya dengan cara terangterangan atau kekerasan maka perbautan tersebut tidak dapat dikatakan pencurian melainkan pencopetan (ikhtilas) atau begal (hirabah). Mengambil secara sembunyisembunyi pun dianggap tidak sempurna bila tidak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Pencurian harus mengeluarkan harta tersebut dari tempat penyimpanan yang terjaga. 2. Sesuatu (harta) orang dicuri harus dikeluarkan dari kekuasaan orang kecurian. 3. sesuatu yang dicuri harus sudah berada di dalam kekuasaan pencuri.

4 42

Abdul Qadir Audah, Tasyriu al Juna al Islam, (Kairo: Dar al Fikr, 1978), hal. 518.

28

Ketiga syarat ini harus terpenuhi jika tidak terpenuhi maka mengambil tersebut tidak dianggap sempurna maka hukumannya bukannya had tetapi hukuman tazir, demikian menurut ulama Hanabilah dan jumhur fuqaha. Sedangkan secara teknis, mengambil secara diam-diam itu ada dua macam,yaitu: 1. Mengambil dengan cara langsung ( )pencuri mengambil barang dan mengeluarkan dari tempat penyimpanan tanpa menggunakan perantara. 2. Mengambil dengan cara tidak langsung atau ada sebab ( )yaitu pencuri mengambil barang dari tempat penyimpanan dengan

menggunakan perantara, misalnya pencuri menaruh barang curiannya di atas binatang, lalu menghalau binatang tersebut keluar dari tempat penyimpanan barang.43

Menurut pendapat Abu Hanifah mengambil secara tidak langsung ini tidak dianggap sebagai pencurian yang sempurna sebab tangan pencuri itu tidak membawa keluar barang tersebut dari tempat penyimpanannya. Tapi menurut pendapat ulama Hanabilah yang penting barang yang dicurinya itu keluar dari tempat penyimpanannya, baik secara langsung maupun dengan perantara.44 b. Sesuatu yang dicuri berupa yang dapat dinilai dengan harga dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

4 43 4 44

Ibid. Ibid, hal 522.

29

1)

Harta tersebut dapat dipindahkan artinya

barang yang dicuri adalah benda bergerak yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Karena yang dinamakan mencuri yaitu mengambil memindahkan suatu benda atau mengeluarkan dari tempat penyimpanannya. 2) Harta tersebut dapat dinilai harganya

(mempunyai nominal) Mizabihul Arbaah telah sepakat bahwa tidak dikenakan potong tangan orang yang mencuri barang yang tidak berharga. 3) Harta tersebut berada ditempat penyimpanan

yang terjaga, Mizabihul Arbaah juga sepakat bahwa sanksi potong tangan tidak akan dijatuhkan jika barang yang dicuri itu tidak tersimpan di tempat yang terjaga. Hal ini tersebut berdasarkan kepda hadis Rasulullah SAW: Artinya: Dari Abdullah bin Amru bin ash r.a Rasulullah SAW, sesungguhnya beliau ditanya tentang kurma yang masih bergantung, lalu beliau bersabda: barang siapa mengambilnya dengan mulutnya karena dia butuh makan, tanpa mengambilnya dengan kain, maka tidak hukuman sediktpun atasnya, barangsiapa mengambilnya dengan cara demikian, maka wajib atasnya tanggungan denda dan hukuman. Dan barangsiapa mengambil kurma itu setelah di dalam gudang (tempat pengeringan kurma itu) dan pencurian mencapai seharga.45
4 45

Muhammad bin Ismail, Subulussalam, (Bandung: Maktabah Dahlan), hal. 4.

30


Diriwayatkan oleh Abu Daud dan An Nasai serta dinilai shahih oleh Al Hakim. Dari hadis tersebut diatas, maka dapat diambil pengertian adanya persyaratan gudang atau tempat penyimpanan sebagai syarat wajib dikenakan hukuman potong tangan bagi pencuri. Itu berdasarkan kepada prkataan Rasulullah SAW. setelah dimasukkan ke dalam gudang tempat pengeringan. Alasan bahwa persyaratan pencurian barang dalam gudang-gudang itu diambil mahfum pencurian. Karena sesungguhnya pencurian itu ialah orang yang datang sembunyi-sembunyi dalam keadaan sepi untuk mengambil harta orang lain dalam gudang atau tempat penyimpanannya, oleh karena itu tidak disebut sebagai pencuri bagi orang yang menghianati amanah atau titipan orang kepadanya. Ini menurut pendapat mayoritas ulama.46 Namun ulama juga berbeda pendapat tentang tempat penyimpanan. Menurut pendapat iman Syafii dan Malik, sesungguhnya setiap harta memiliki tempat penyimpanan khusus. Tempat pemeliharaan ternak misalnya tidak sama dengan penyimpanan emas dan perak. Tetapi menurut Hanafiyah, bahwa apapun yang menjadi tempat penyimpanan harta benda, maka itu pula yang menjadi tempat pemeliharaan yang lainnya. Karena sesungguhnya tempat pemeliharaan ialah sesuatu yang dibuat untuk mencegah orang yang ingin masuk agar tidak dapat masuk kedalamnya dan mencegah orang yang hendak keluar agar dapat keluar. Jiak
4 46

Ibid, hal. 106.

31

tidak demikian keadaannya maka tiadak dapat disebut sebagai tempat pemeliharaan, baik menurut pengertian bahasa maupun istilah.47 Sampai pada akhirnya mereka juga berbeda pendapat mengenai pencurian kain kapan di kubur. Menurut pendapat Imam Syafii dan Imam Malik, bahwa orang yang mengeluarkan kain kapan dari mayat dalam kubur itu termasuk pencurian, dan dapat dikenakan hukum potong tangan. Tetapi menurut Abu Hanifah, tidak boleh potong tangan terhadap orang yang mengeluarkan kain kafan dalam kubur karena kubur bukan tempat penyimpanan kain kafan tersebut.48 4) Harta tersebut mencapai nishabnya.

Untuk dapat dikenakan hukuman potong tangan jumlah harta curian tersebut harus mencapai nisabnya. Diantara hadist yang menjelaskan tentang nisab harta curian yang dapat hukuman potong tangan yaitu:

Artinya: Dari Aisyah, bersabda Rasulullah SAW: dipotong tangan (pencuri yang mencuri) pada seperempat dinar atau lebih.49


Artinya: Dari Nabi SAW bersabda: tidak dikenakan sanksi potong tangan pencuri pada pencurian yang kurang seharga perisai. Lalu Aisyah bertanya:
4 47

Ibid, hal. 109. Ibid, hal. 110. Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Asy Syun), hal. 199.

4 48

4 49

32

berapakah harga sebuah perisai? Lalu beliau menjawab, seperempat dinar atau lebih.50 Namun jika yang dicuri itu bukanlah emas atau perak, maka menurut Imam Malik kadarnya diukur kepada harga perak, yaitu tiga dirham.

Artinya: Imam Malik Berkata dalam perkataannya yang masyhur, ditentukan dalam beberapa dirham bukan dengna seperempat dinar.51 Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Imam Syafii, menurutnya kadar tersebut ditentukan harga dinarnya, karena pada waktu itu menjadi ukuran. Sebagaiman beliau berkata:

Artinya: pencuri tidak dipotong (tangannya), sehingga ia mencuri sama dengan seperempat dinar paling sedikit.52 Disini memang terjadi perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafii, menurut pendapatan Imam Malik yang terkenal, barang tersebut harus dinilai dengan dirham, bukan dengan harga seperempat dinar karena perbedaan harga pasaran. Misalnya saja harga seperempat dinar itu nilainya sama dengan setengah dirham. Sedangkan Imam Syafii berpendapat bahwa pokok penilaian suatu barang itu dengan seperempat dinar dan seperempat dinar itu pulalah yang dipakai untuk menilai dirham. Oleh karenanya imam Syafii berpendapat bahwa
5 50

Imam Nasai, Sunan Nasai, (Mesir: Mustafa Babil Halabi, 1964), hal. 74. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: Darul Fikr), hal. 335. Idris as SyafiI, Al Umm, (Mesir: Al Faiyah Muttahidah, 1961), hal. 147.

5 51

5 52

33

pada pencurian tiga dirham itu tidak dikenakan potong tangan kecuali jika tiga dirham itu senilai dengan seperempat dinar. Jalan tengah dari kedua pendapat di atas adalah sebagai yang dilakukan oleh segolongan fuqaha Bagdad yang meriwayatkan Imam Malik, bahwa dalam menilai barang harus memperhatiakan mata uang yang banyak dipakai di negeri setempat. Jika yang banyak dipakai adalah dirham maka barang tersebut harus dinilai dengan dirham. Sedangkan jika banyak dipakai dinar maka barang tersebut harus dinilai dengan dinar. c. Harta yang dicuri itu milik orang lain Terjadinya tindak pidana pencurian jika harta yang diambil itu adalah milik orang lain. Jika harta tersebut adalah miik pencuri maka tidak disebut pencurian walaupun mengambilnya dengan sembunyi. Tidak pula dikenakan hukuman potong tangan jika yang dicuri itu harta anaknya sendiri, demikian menurut pendapat Imam Malik. Dan Imam Syafii mengatakan bahwa keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah tidak dipotong tangannya. Yakni ayah, anak dan cucu. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa dzawi arham yang haram dikawin tidak dipotong tangan.53 d. Ada niat atau maksud untuk mencuri Pencurian yang dilakukan oleh seseorang haruslah disertai niat untuk mencuri. Jika seseorang menemukan suatu benda dan ia berniat berniat untuk mengembalikan kepada pemiliknya, namun akhirnya ia berubah pikiran dan menjadikan benda itu sebagai miliknya, inipun bukanlah pencurian. Demikian pula
53

Asef Saefullah, Panduan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), hal 19.

34

ketika mengambil barang yang dicurinya ia mempunyai niat jahat untuk memilikinya. Jika niat jahatnya untuk menghancurkan, maka ini adalah tindakan pengrusakan, kecuali jika pengrusakannya dilakukan setelah barang tersebut dibawa keluar dari tempat penyimpanannyamaka yang demikian itu tetap dianggap pencurian. Demikian menurut pendapat jumhur fuqaha.54 Selain itu sebagai pelaku tindak pidana pencurian untuk dapat dikenakan had potong tangan, selain hal-hal yang telah disebutkan diatas juga haruslah kemauan sendiri bukan atas ancaman atau tekanan orang lain. 2. Syarat Penjatuhan Sanksi Pidana Pencurian dalam KUHP

Sebagaimana dalam pidana Hukum Jinayat, di dalam KUHP pun hukuman baru dijatuhkan terhadap pencuri jika telah terpenuhi semua unsur-unsur pencurian. Dan untuk mengetahui lebih lanjut tentang unsur-unsur pencurian sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 362 KUHP, maka pertama kali diketahui unsur dari perbuatan mencuri tersebut dan melihat dari pasal 362 KUHP yang merupakan pokok dari pencurian, maka pencurian itu mengandung dua unsur pokok, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur obyektif dalam pencurian yaitu: a. Mengambil / perbuatan mengambil. b. Suatu benda / barang. c. Seluruh atau sebagian milik orsng lain. Adapun unsur subyektif adalah: a. Adanya maksud / niat dari pelaku pencurian. b. Untuk memiliki. c. Secara melawan hukum.
5 54

Abdul Qadir Audah, Tasyriu al Juna al Islam, (Kairo: Dar al Fikr, 1978), hal. 608.

35

Agar seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan sanksi pidana pencurian sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 362 di atas, maka orang tersebut harus terbukti telah memenuhi semua undur dari sanksi pidana pencurian yang terdapat dalam rumusan pasal tersebut. Untuk lebih jelasnya, penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: Unsur-unsur obyektif pencurian: a. Mengambil /perbuatan mengambil Unsur pertama dari tindak pidana pencurian adalah mengambil barang. Dan perbuatan mengambil harus dilihat dari macam kasusnya. Selanjutnya ada tiga buah teori yang mengemukakan bahwa perbuatan mengambil itu dkatakan telah terjadi atau dianggap telah selesai yaitu:

1)

Teori kontrektasi

Menurut teori ini untuk adanya sesuatu operbuatan mengambil disyaratkan dengan sentuhan badaniyah dan pelaku telah memindahkan benda yang dicurinya tersebut dari tempatnya semula. 2) Teori ablasi

Teori ini mengatakan untuk selesainya perbuatannya mengambil tersebut disyaratkan benda yang bersangkutan harus telah diamankan oleh pelaku. 3) Teori aprehensi

36

Menurut teori aprehensi, untuk adanya perbuatan mengambil disyaratkan pelaku harus membuat benda yang bersangkutan dalam penguasaan yang nyata. Tetapi menurut Van Bamelen-Van Hattun tidak satupun dari teori-teori teori diatas yang sepenuhnya benar, karena menurutnya perbuatan mengambil itu telah dimulai sejak pelaku melakukan perbuatan yang membuat suatu benda tersebut dijauhkan dari orang yang menguasainya atau sejak pelaku memutuskan hubungan antara benda tersebut dengan orang yang berhak atasnya.55 Hubungan antara benda yang hilang dengan pemiliknya masih tetap ada selama benda yang hilang berada si tempat hilangnya benda tersebut. Dengan tidak menutup kemungkinan bahwa benda tersebut telah berpindah tempat karena tindakan manusia yang tidak disengaja atau karena ditiup oleh angin, dengan alsan bahw orang tersebut masih dapat berusaha untuk menemukan kembali barangnya, dan jika ada orang lain yang berusaha untuk memilikinya secara melawan hukum, maka orang tersebut dipandang telah mengambil benda tersebut.56 b. Suatu benda Unsur obyektif kedua dari sanksi pidana pencurian yaitu bahwa sesuatu yang dicuri merupakan suatu benda. Pengertian benda menurut R. Susilo yaitu segala sesuatu yang berwujud termasuk binatang (tidak termasuk manusia) dan merupakan benda bergerak, karena di dalam pencurian benda itu harus

5 55

P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Bandung: Sinar Baru, 1986), hal. 15.
5 56

Ibid.

37

dipindahkan.57 Oleh karena itu sifat tindak pidana pencurian itu dapat merugikan kekayaan korban, maka yang diambil harus barang berharga dan harga ini tidak selalu bersifat ekonomis, misalnya barang tidak mungkin terjual kepada orang tetapi bagi korban sangat berharga, misalnya sebagai kenang-kenangan atau lainnya. Menurut H.A.K. Moch. Anwar pengertian barang atau benda itu sendiri mengalami perkembangan. Yang semula ditafsirkan ssebagai barang yang mempunyai wujud dan dapat dipindahkan, lalu ditafsirkan menjadi setiap bagian dari harta kekayaan. Jadi benda harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai di dalam kehidupan ekonomi seseorang.58 Bahkan listrik pun sebagai benda tidak berwujud dapat dimasukkan ke dalam pasal 362 KUHP atau dapat menjadi obyek sanksi pidana pencurian, maka melihat kenyataan-kenyataan tersebut, Profesor Simons memberikan pengertian tentang obyak pencurian, yaitu bahwa segala sesuatu yang menjadi bagian dari harta kekayaan yang dapat diambil (oleh orang lain) itu dapat menjadi obyek pidana pencurian. Selain benda-benda yang dapat dijadikan onyek tindak pidana pencurian, terdapat pula benda-benda tidak dapatdijadikan onyek tindak pidana pencurian, yaitu benda-benda yang telah dilepaskan oleh pemiliknya atau telah dibuang.59 c. Barang yang dicuri sebagian atau seluruhnya milik orang lain Barang yang menjadi obyek pencurian tidaklah harus selalu seluruhnya ,milik orang lain, tetapi dapat juga barang yang dicurinya itu sebagian adalah milik
5 57

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, (Bogor: Politeia), hal 177.
5 58

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, KUHP Buku II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 18-19. 5 59 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Bandung: Sinar BAru, 1986), hal. 21.

38

pencuri. Sebab dapat terjadi suatu barang dimiliki dua orang atau lebih, lalu salah satu diantaranya mencuri barang tersebut. Sedangkan unsur subyektif dalam pencurian adalah sebagai berikut: a. Adanya maksud untuk memiliki secara melawan hukum Adanya maksud dari sipelaku pencurian untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum berarti pencuri mempunyai suatu niat untuk menjadikan barang tersebut menjadi miliknya, dan cara yang ditempuh adalah cara melanggar hukum dan melanggar hak orang lain. Adanya berbagai pendapat mengenai pengertian melawan hak atau mealwan hukum. Menurut Simons melawan hukum itu adalah suatu yang bertentengan dengan hukum pada umumnya. Profesor Novon mengartikan sebagai bertentangan dengan hak seseorang dan pembuat undangundang. Sedangkan Profesor Van Hammal mengartikan sebagai tanpa hak dan kekuasaan sendiri.60 Dari semua pendapat tersebut pada dasarnya mempunyai pemahaman yang sama yaitu suatu perbuatan yang tidak sah secara hukum. B. Hapusnya Sanksi Pidana Pencurian 1. Hapusnya Sanksi Pidana Pencurian dalam Hukum Jinayat

Dalam hukum Jinayat ada beberapa hal yang mengecualikan terhadap pelaksanaan hukum sehingga seseorang yang melakukan sanksi pidana dapat lepas dari tindakan hukum. Abdul Wahab Khalaf dalam ushul fiqhnya mengatakan bahwa hukum-hukum yang dibebani oleh Syafii hanyalah orang mukalaf yang mampu

6 60

Ibid, hal. 103.

39

memahami ketentuan hukum serta mempunyai kewenangan dan kecakapan hukum.61 Banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hapusnya hukuman potong tangan. Di antara hal yang dapat menghapuskan adalah: a. Terbukti bahwa dua orang saksinya itu dusta dalam persaksiannya. b. Pencuri menarik kembali pengakuannya. c. Mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan ke sidang. Pendapat ini khusus disampaikan oleh Imam Abu Hanifah. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bahwa mengembalikan harta yang dicuri itu tidak menyebabkan hapusnya hukuman pencurian karena ancaman had itu terwujud etika terjadinya pengembalian harta. Dimilikinya harta yang dicuri itu dengan sah oleh pencuri sebelum diajukan ke pengadilan demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah, sedangkan menurut Imam lainnya, hal ini tidak menyebabkan hapusnya hukuman sebagaimana di atas. Pertanggungjawaban pidana dapat dihapus karena hal-hal yang berkaitan dengan keadaan diri pembuat. Dalam keadaan pertama pembuat yang dikerjakan menjadi mubah (tidak dilarang). Sedangkan pada keadaan kedua perbuatan yang dikerjakan tetap dilarang tetapi tidak dijatuhi hukuman. Hal-hal yang mengakibatkan keblehan melakukan suatu perbuatan jarimah, yaitu pembelaan yang sah, pengajaran, pengobatan, permainan olah raga, hapusnya jaminan keselamatan jiwa dan harta, dan memakai wewenang dalam melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib. Sedangkan mengenai hapusnya hukuman yang
6 61

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Beirut: Daar al Fikr, 1978), hal. 134.

40

berkaitan dengan keadaan diri pelaku, yaitu, paksaan, mabuk, gila, kelaparan (sebagai riwayat Umar bin Khatab) dan belum dewasa. Pada masing perkara ini pembuat meakukan perbuatan yang dilarang syara dan seharusnya dijatuhi hukuman, tetapi syara menghapuskannya dari hukuman karena ada hal-hal yang terdapat pada diri pelaku, bukan pada perbuatannya itu sendiri. Jadi pembebasan dari hukuman adalah karena keadaan diri pembuat dan hal ini berbeda dengan kebolehan melakukan perbuatan yang dilarang, karena dasar kebolehannya adalah karena adanya sifat pada perbauatan yang mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi tidak dilarang.62 Dan pada dasarnya setiap jarimah itu dijatuhi hukuman karena perbuatannya, akan tetapi terdapat keadaan seperti diatas maka pelaku tidak dipidana. Hal ini juga sebagaimana hadis Rasulullah SAW:


Artinya: Suatu perbuatan tidak akan dicatat karena tiga hal, orang yan sedang tidur sehingga terbangun, anak kecil sehingga dewasa dan oranggila sehingga berakal. 2. Hapusnya Sanksi Pidana dalam KUHP

Sebagaimana Hukum Jinayat, dalam KUHP pun terdapat hal-hal yang dapat menghapuskan pelaksanaan hukuman terhadap pelaku sanksi pidana. Dalam hal ini beberapa alasan yang dapat menghapus pengenaan pidana, yaitu:
6 62

A. hanafi. M.A, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 201-

209.

41

a.

Alasan pembenaran, yaitu alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar, seperti pembelaan diri dari seorang penjahat.

b.

Alasan pemaaf, yaitu alasan menghapus terdakwa. Artinya perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap melawan hukum dan tetap merupakan perbuatan pidana, namun ia tidak di pidana karena tidak ada kesahalan.

c.

Alasan menghapus tuntutan, yaitu apabila pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat sebaiknya tidak diadakan penuntutan.63

Sementara dalam M.V.T. menyebutkan ada dua alasan yang dapat menghapuskan tindak pidana, yaitu alasan yang terapat dalam diri orang itu sendiri (pelaku) dan alsan yang terdapat pada orang lain: a. Alasan yang terdapat pada diri pelaku antara lain: 1) Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu

karena sakit. 2) Umur yabg masih muda.

b. Alasan yang terdapat pada orang lain atau diluar keadaan diri pelaku (dipakai berbuat pidana). Di dalam KUHP, pasal-pasal yang menjelaskan tentang hal-hal yang dapat menghapus pengenaan pidana aadalah: a.
6 63

Tak mampu bertanggung jawab

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 128.

42

(pasal 44 KUHP ayat 1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (grebrekkige ontwikkwling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. b. Belum berumur 16 tahun

(pasal 45 KUHP) Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (menderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum berumur 16 tahun, hakim dapat menentukan: memerintah supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa pidana apapun, yaitu jika perbuatan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, dan putusannya menjadi tetap, ayau menjatuhkan pidana. c. Daya paksa

(pasal 48 KUHP) Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. d. Pembelaan terpaksa

(pasal 49 KUHP ayat 1 dan 2) (1) Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang mlawan hukum,

43

terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan, kesusilaan (eebaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. (2) Pembebasan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

e.

Ketentuan undang-undang

(Pasal 50 KUHP) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undangundang, tidak dipidana. f. Perintah jabatan

(Pasal 51 KUHP ayat 1 dan 2) (1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. (2) Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. C. Sanksi Pidana Pencurian Terpkasa Dalam Perspektif Hukum Jinayat dan KUHP 1. Sanksi Pidana Pencurian Terpkasa Dalam Perspektif Hukum Jinayat

44

Hukum mencuri ditegaskan di dalam Al-Quran. Nabi Muhammad SAW bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya: Demi Allah, kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya. (Riwayat Bukhari). Ketegasan aturan mengenai mencuri ini menunjukkan pengakuan Islam akan hak milik, perlindungannya, dan mengatur perpindahannya secara adil. Mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang yang dicuri secara individual, tapi juga secara sosial masyarakat luas, sebuah bangsa, atau kemanusiaan itu sendiri. Bahkan secara vertikal mencuri itu juga termasuk mendzalimi Allah SWT. Hukuman potong tangan yang dipandang tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau sebagai hukuman yang dijalankan apa adanya bagi pendukung literalnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks. Para ahli hukum Islam sering mencontoh kisah yang terjadi dalam masa Umar bin Khattab yang tidak menghukum pencuri tapi justru mengancam akan menghukum yang dicuri atau tuan sang pencuri. Dikisahkan ketika suatu ketika terjadi paceklik, ada kasus pencurian yang dilaporkan kepada Umar untuk dihukum, tetapi Umar menolak menghukumnya, alasannya karena musim paceklik mungkin orang itu terpaksa mencuri karena takut mati kelaparan. Sebaliknya Umar malah pernah mengancam, Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya, malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini lapar. Pencurian dengan tegas dilarang oleh Syara di dalam surat Al-Maidah ayat 38 dengan diancam hukuman potong tangan.

45

Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.

Selain itu, terdapat dalam hadits:

Artinya: Dari Aisyah, bersabda Rasulullah SAW: dipotong tangan (pencuri yang mencuri) pada seperempat dinar atau lebih.64 Akan tetapi tidak ada satu riwayat pun yang mengatakan bahwa nash tersebut ditetapkan atas pencurian yang terjadi sebelum dikeluarkannya. Dengan kata lain, nash yang melarang pencurian tidak mempunyai kekuatan berlaku surut. Dari nash-nash tersebut kita mengetahui bahwa sebagian nash ada yang tegas menyatakan tidak adanya kekuatan berlaku surut, tetapi ada juga nash lain yang tidak tegas menyatakan demikian. Perbedaan cara tersebut tidak telalu penting karena pernyataan tentang pengampunan terhadap hal-hal yang lewat artinya apa yang telah terjadi sebelum turunnya nash-nash yang berisi larangan, dianggap sebagai nash yang umum dan berlaku sebagai aturan yang umum, meskipun terdapat tengah-tengah nash yang khusus. Oleh karena itu, pernyataan tentang
6 64

Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Asy Syun), hal. 199.

46

pengampunan berlaku pada semua nash-nash pidana, bukan hanya pada nash-nash yang khusus dari pernyataan itu. Keterangan ini sesuai benar dengan aturan pokok dalam syariat yang berbunyi: Menurut syara tidak ada yang dibebankan (ditaklifkan) kecuali perbuatan yang mungkin terjadi disanggupi oleh mukallaf dan diketahuinya sedemikian rupa sehingga cukup membawa dia untuk

mengerjakannya. Di kalangan Fuqaha sudah sepakat bahwa di dalam pengertian kata tangan (yad) termasuk juga kaki. Apabila seseorang melakukan pencurian untuk pertama kalinya, maka tangan kanannya yang dipotong, sedangkan apabila pencurian tersebut diulangi, maka kaki kirinya yang dipotong. Seseorang pencuri ketika meniatkan perbuatannnya maka sebenarnya ia menginginkan agar usahanya (kekayaannya) ditambah dengan kekayaan orang lain, dan ia meremehkan usaha-usaha halal. Ia tidak mencukupkan dengan hasil usahanya sendiri, agar demikian ia bertambah daya nafkahnya atau tidak bersusahsusah bekerja atau dapat terjamin hari depannya. Dengan kata lain, tambahnya usaha atau kekayaan itulah yang menjadi faktor pendorong adanya pencurian. Sebagai imbangan dari faktor tersebut, syariat Islam menetapkan hukuman potongan tangan (dan kaki), karena terpotongnya tangan atau kaki sebagai alat kerja penyambung kerja yang utama akan mengurangi usaha dan kekayaan, serta mengakibatkan hari depannya terancam. Hasil dari penetapan hukuman potong tangan tersebut terbukti di negeri Saudi Arabia di mana sesudah diterapkannya hukuman-hukuman Islam maka

47

ketenteraman dan keamanan dapat tercapai, sedangkan sebelumnya negara tersebut menjadi contoh buruk bagi kekacauan dan ketidakamanan. Hukuman potong tangan didasarkan atas penyelidikan mental dan kejiwaan manusia. Oleh karena itu, hukuman tersebut adalah hukuman yang sesuai untuk perseorangan maupun untuk masyarakat, dan oleh karena itu merupakan hukuman yang paling baik, sebab bisa mengurangi bilangan jarimah dan bisa menjamin ketentraman masyarakat. Akan tetapi keadaan tersebut tidak diterima oleh mereka yang mengatakan bahwa hukuman potong tangan adalah hukuman yang kejam. Pandangan ini kurang tepat karena kalau tidak berisi kekejaman dan hanya berisi kelemahan serta kelunakan, maka namanya bukan hukuman lagi. Dalam hukum positif itu sendiri beberapa macam pencurian dihukum dengan kerja berat seumur hidup atau hukuman kerja berat sementara. Tentunya hukuman pemotongan tangan pembuat lebih ringan dari pada kalau dia diletakkan dalam selnya selama umurnya, bagaikan hewan dalam kandangnya atau bagaikan mayat dalam kuburnya, dengan terampas kemerdekaannya dan jauh pula dari keluarga serta sanak kelauarganya. Kalau hukuman mati berakibat hilangnya nyawa dan hancurnya seluruh badan, sedangkan hukuman mati diterima hampir seluruh negara di dunia, maka tentunya hukuman potong tangan harus dapat diterima kalau ia hanya berakibatnya hilangnya sebagian anggota badan. Apa yang dianggap kekejaman oleh sementara orang tidak lain adalah kekuatan dan ketegasan yang menjadi ciri khas syariat

48

Islam dalam soal kepidanaan sebagaimana halnya dalam bagian-bagian hukum Islam yang lain. Jarimah tentang pencurian diatur dalam QS al-maidah: 38 sebagaimana yang dijelaskan di atas. Hadis nabi mengajarkan bahwa batas pemotongan tangan adalah pada pergelangan tangan dan pada tangan kanan. Syarat atau ketetapan hukuman potong tangan atas adalah:

a. Pencurinya telah baligh, berakal sehat dan ikhtiyar. Dengan demikian anak-anak dibawah umur yang melakukan pencurian tidak memenuhi syarat hukuman potong tangan tetapi walinya dapat dituntut untuk mengganti harga harta yang dicuri anak dibawah perwaliannya sedangkan si anak dapat diberi pelajaran seperlunya. Orang gila yang mencuri juga tidak dapat dijatuhi hukuman potong tangan demikian juga orang dewasa sehat akal yang melakukan pencurian atas dasar desakan ataupun daya paksa tidak dapat dijatuhi hukuman had potong tangan khalifah Umar pernah tidak menjatuhkan hukuman potong tangan terhadap pencuri yang melakukan pencurian pada musim penceklik karena dirasakan adanya unsur keterpaksaan. b. Pencuri benar-benar mengambil harta orang yang tidak ada syubhat milik bagi orang tersebut. Dengan dengan demikian, jika seorang anggota suatu perseroan dagang mencuri harta milik perseorannya, ia tidak dijatuhi hukuman had potong tangan karena ia adalah orang yang ikut memiliki harta perseroan yang dicurinya.

49

c. Pencuri mengambil harta dari tempat simpanan yang semestinya, sesuai dengan harta yang dicuri. Dengan demikian, orang yang mencuri buah pohon yang tidak dipagar tidak memenuhi syarat hukuman potong tangan. orang yang mencuri sepeda di halaman rumah pada malam hari juga tidak dapat dijatuhi hukuman had potong tangan. Orang yang mencuri cincin emas yang terletak diatas meja makan juga tidak dapat dihukum had potong tangan. Namun, pencuri sapi di kandang di luar rumah memenuhi syarat dijatuhi hukuman had potong tangan sebab sapi tidak pernah dikandangkan di dalam rumah. Pencuri yang tidak memenuhi syarat hukuman had dijatuhi hukuman tazir. d. Harta yang dicuri memenuhi nisab. Nisab harta curian yang dapat mengakibatkan hukuman had potong tangan ialah seperempat dinar (seharga emas 1,62 gram). Dengan demikian, pencurian harta yang tidak mencapai nisab hanya dapat dijatuhi hukuman tazir. Nisab harta curian itu dapat dipikirkan kembali, disesuaikan dengan keadaan ekonomi suatu waktu dan tempat. Sesuai keadaan ekonomi pada masa nabi, harta seharga seperempat dinar itu sudah cukup besar. Meskipun dapat pula dipahamkan bahwa kecenderunan untuk menetapkan nisab harta curian dalam jumlah amt kecil itu dimaksudkan untuk menghilangkan kejahatan pencurian yang amat merugikan ketenteraman masyarakat, jangan sampai hak milik seseorang tidak dilindungi keselamatannya. e. Pencurian tidak terjadi karena desakan daya paksa, seperti wabah kelaparan yang orang mencuri untuk menyelamatkan jiwanya. Umar bin

50

Khatthab pernah tidak melaksanakan hukuman had potong tangan terhadap pencuri unta pada saat terjadi wabah kelaparan. Pencuri yang demikian itu jika akan dijatuhi hukuman hanya dapat berupa hukuman tazir, atau dapat dibebaskan sama sekali, bergantung pada

pertimbangan hakim. Dapat ditambahkan bahwa keadaan memaksa ini dapat terjadi juga dalam masyarakat yang keadaan sosialnya belum terlaksana dengan baik. Misalnya dalam masyarakat yang jarak antara kaum kaya dan kaum miskin terlalu jauh, jurang pemisah antara dua golongan itu amat dalam. di satu pihak terdapat orang kaya yang membelanjakan hartanya dengan cara bermewah-mewah, di lain pihak tersapat kaum miskin yang untuk memperoleh pekerjaan amat susah, untuk memperoleh rezeki sehari-hari amat sukar. Dengan demikian, dapat kita peroleh kepastian bahwa pencurian yang terjadi dalam masyarakat yang belum mencerminkan keadilan sosial itu tidak memenuhi syarat untuk dilaksanakan hukuman had potong tangan. yang dapat dilaksanakan adalah hukuman tazir. Dari hasil analisis teori menurut hukum jinayat diatas maka penulis mendapatkan penambahan teori baru yang dapat disimpulkan bahwasanya pencurian merupakan salah satu tindakan jarimah yang ditegaskan dalam syara yaitu Al-Quran dan al-Hadits (asas legalitas) dimana sanksi hududnya adalah pemotongan tangan. Ada yang mengatakan bahwa sanksi pemotongan tangan yang ditetapkan adalah suatu tindakan yang kejam dan tidak manusiawi, akan tetapi

51

hukum Islam tidak serta merta demikian, karena bisa diterapkan secara kontekstual sebagaimana yang diterapkan Umar bin Khattab. Umar bin Khatthab pernah tidak melaksanakan hukuman had potong tangan terhadap pencuri unta pada saat terjadi wabah kelaparan. Pencuri yang demikian itu jika akan dijatuhi hukuman hanya dapat berupa hukuman tazir, atau dapat dibebaskan sama sekali, bergantung pada pertimbangan hakim. Dapat ditambahkan bahwa keadaan memaksa ini dapat terjadi juga dalam masyarakat yang keadaan sosialnya belum terlaksana dengan baik. 2. Sanksi Pidana Pencurian Terpakasa Dalam Perspektif KUHP Hukum yang kita kenal saat ini sebagai hukum perundang-undangan yang positif baik pada tataran nasional maupun pada tingkat daerah adalah sesungguhnya merupakan produk yang dihasilkan para pembuatnya di badan-badan legislatif untuk dapat memfungsikan hukum di tengah kehidupan yang sedang berubah. Hukum perundang-undangan yang kita kenal saat ini adalah sesungguhnya juga hasil reformasi, rekonseptualisasi dan restrukturisasi untuk merespon kebutuhan bangsa dan Negara yang bertumbuh kembang sebagai Negara demokratis yang mendambakan kepastian hak bagi warga Negara. Setiap orang sama kedudukannya di hadapan hukum (equality before the law), kalimat indah ini bukanlah sekedar puisi yang diciptakan oleh ahli hukum guna menyenangkan hati orang yang membacanya. Frasa ini telah menjadi salah satu asas hukum terpenting dari sekian banyak asas hukum universal yang berlaku, dikukuhkan di dalam konstitusi, UUD maupun di berbagai peraturan perundangundangan. Hukum yang positif harus mengandung perintah, sanksi, kewajiban dan

52

kedaulatan. Sedangkan ketentuan di luar unsur tersebut bukanlah positive law, namun dikategorikan sebagai positive morality. Adapun kesenjangan antara nilai dengan fakta bukanlah persoalan hukum, karena itu semata-mata karena persoalan perilaku manusianya (aparatur hukumnya) bukan persoalan normanya.

Asas praduga tidak bersalah seolah tidak berlaku baginya karena ia hanya seorang sampah masyarakat, miskin, dan buta hukum. Bahkan terkadang penasihat hukum pun tidak tertarik jika diminta untuk mendampinginya. Pandangan masyarakat terhadap mereka pun sangat buruk. Masyarakat tidak pernah peduli, mengapa mencuri? Meskipun terkadang itu terpaksa ia lakukan demi membayar biaya berobat istrinya yang sedang melahirkan atau hanya untuk membayar biaya sekolah anaknya yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat juga seakan tidak mau peduli seberapa banyak harta yang telah ia curi (seekor ayam atau sebuah sepeda motor). Jika tertangkap tangan, risiko yang mereka terima sama, sekurang-kurangnya dipukuli, bahkan terkadang dibakar hidup-hidup. Coba bandingkan bagaimana perlakuan terhadap tersangka kasus korupsi. Baginya berlaku ketentuan sebelum diperiksa, penyidik diharuskan terlebih dahulu memperoleh izin dari atasan pelaku bukan sekedar pemberitahuan saja. Kalaupun diperiksa, ia diperlakukan dengan sepatutnya. Hak-haknya sebagai tersangka seperti hak penangguhan penahanan; hak dikunjungi keluarga; hak untuk berobat ke rumah sakit jika ia sakit; hak memberikan keterangan secara bebas (tanpa disiksa) dapat terjamin, karena ia mampu menyewa jasa pengacara yang terkenal. Bahkan sesaat

53

keluar dari ruang pemeriksaan, sambil tersenyum ia bersama penasihat hukumnya memberikan keterangan pers guna mempengaruhi opini publik.

Pandangan masyarakat terhadap mereka pun sangat berbeda dengan pelaku tindak pidana pencurian. Meskipun koruptor telah mengkorupsi uang negara hingga triliunan rupiah, namun mereka tetap terhormat, tidak pernah dikucilkan karena ia bukanlah sampah masyarakat. Menurut Friedman, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), yakni menyangkut isi dari norma/aturan hukumnya; Struktur Hukum (legal structure), yakni menyangkut sarana dan prasarana hukumnya, termasuk sumber daya aparatur hukumnya; dan Kultur Hukum (legal culture), yakni menyangkut perilaku budaya sadar dan taat hukum, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure. Orang-orang miskin yang harus bergelut dengan kesulitan hidup dari hari kehari hanya menginginkan pangan, sandang dan papan. Semua itu diinginkan agar mereka dapat bertahan hidup, untuk memperoleh martabat yang layak sebagai

54

manusia. Selain itu sesungguhnya mereka juga menginginkan tidak sekedar untuk menegakkan hidup yang sesaat, namun juga keinginan untuk mendapatkan jaminan pekerjaan yang layak, pendidikan dan jaminan hak-hak untuk tidak ada diskriminasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Maka sangat tepat apabila dikatakan bahwa demi terjaminnya kepentingan memenuhi kebutuhan jangka panjang maka kebutuhan orang miskin akan hak-hak sosial ekonomi dapat dijamin. Jaminan hukum ini tentunya tidak cukup hanya terwujud dalam bentuk kalimat-kalimat normatif sebagaimana dituliskan dalam perundang-undangan saja, jaminan ini harus terwujud dalam realisasinya sehingga dengan serta merta akan membuktikan adanya reformasi hukum (legal reform). Reformasi hukum ini tidak hanya berhenti pada proses dilegislatif saja melainkan juga pada tahap pelaksanaannya. Hal tersebut akan tampak dalam wujud keterpihakan para eksekutif dan para pejabat yudisial kepada para kaum miskin atau kaum dhuafa pada saat mereka harus mengambil keputusan-keputusan hukum. Kalau kita mengamati beberapa kasus di media massa tentang praktek peradilan, masih banyak ditemukan adanya penegakan hukum yang tidak berpihak pada kaum miskin sehingga pada muaranya menimbulkan persepsi bahwa praktek penegakan hukum yang dilakukan para aparat penegak hukum sama sekali tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Keterpihakan terhadap kaum miskin yang hanya menginginkan untuk bertahan hidup dari aparat penegak hukum pada saat mengambil keputusan hukum sama sekali tidak terlihat. Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya dengan aturan-aturan didalamnya yang harus dipatuhi oleh setiap warga Negara, hal ini

55

akan menyalahi konstitusionalismenya apabila hukum tersebut bersifat represif dimana hukum akan berhakikat sebagai instrument-instrumen legal dengan sanksisanksi yang memaksa meskipun mempunyai rujukan yang formal dari pasal-pasal konstitusi akan tetapi tetap saja tidak bisa melindungi kepentingan kaum miskin untuk sekedar bertahan hidup. Kasus pencurian terhadap barang-barang yang tidak berharga atau tindak pencurian ringan hendaknya dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan rasa kemanusiaan dengan berlandaskan hukum adat, agar kasus pencurian terhadap barang-barang yang tidak berharga atau tindak pencurian ringan jangan dilaporkan ke penyidik hukum, tapi selesaikan secara kekeluargaan dengan rasa kemanusiaan dengan berlandaskan hukum adat, kadang mereka melakukan pencurian hanya terpaksa, seperti membiayai pengobatan keluarga yang sakit atau juga untuk biaya makan, hukuman memang bermaksud memberi efek jera bagi pelaku tetapi bagi pelaku pencuri ringan tidak harus berlama-lama di penjara. Memang benar KUHP hanya mengatur tindak pidana pencurian dalam dua kategori, yakni pencurian ringan dan pencurian biasa. Pencurian biasa adalah nilai kerugiannya di atas Rp 250,-. Sedang pencurian ringan di bawah Rp 250,-, nilai kerugiannya tersebut sudah tercantum secara tegas dalam KUHP dan tidak dapat diganggu gugat. Namun nilai ekonomis dalam kerugian pencurian saat itu sudah tidak sesuai dengan kondisi kekinian. KUHP kita terakhir direvisi tahun 1960. Pencuri pada hukum positif adalah dihukum dengan hukuman penjara. Hukuman ini sebenarnya tidak banyak hasilnya dalam memberantas jarimah pada umumnya dan jarimah pencurian pada khususnya, sebab hukuman tersebut tidak

56

cukup menimbulkan faktor psikologis pada diri pembuatnya yang cukup menjauhkannya dari jarimah tersebut. Hukuman penjara hanya bisa menjauhkan pembuat dari perbuatannya selama berada dalam penjara, sedangkan hilangnya tangan bisa menjauhkannya dari perbuatan-perbuatan jarimah sepanjang hidupnya. Dari hasil analisis teori menurut hukum KUHP diatas maka penulis mendapatkan penambahan teori baru yang dapat disimpulkan bahwasanya Lembaga resmi yang disediakan oleh negara dalam menyelesaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan sengketa perdata dan pidana adalah Pengadilan, sedangkan yang disediakan oleh lembaga swasta adalah Arbitrase. Dalam kasus pencurian ringan sebagaimana tercantum dalam pasal 364 KUHP dan pasal 362 KUHP, dengan melihat kondisi sosial ekonomi tersangka yang tergolong orang miskin, hendaknya kepolisian dapat mengambil kebijakan penyelesaian kasus tersebut melalui jalan alternatif penyelesian sengketa atau Alternatif Dispute Resolution dengan tehnik mediasi. Mediasi memang digunakan dalam menyelesaikan kasus perdata dan tidak pernah digunakan dalam kasus pidana. Payung hukum untuk mediasi dalam kasus perdata adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No 02 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Pencurian adalah pidana murni, apabila banyak kasus pencurian ringan yang diselesaikan melalui mediasi tentunya akan banyak kasus pencurian yang dilaporkan kepada kepolisian tidak selesai secara hukum, sehingga hal ini tentunya akan menambah jumlah tindak pidana (crime total) yang terjadi, ini merupakan sebuah dampak dari penerapan mediasi yang perlu dipecahkan.

57

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan tulisan yang telah penulis uraikan, ungkapkan dan jelaskan di atas maka penulis berkesimpulan tentang Sanksi pidana pencurian terpaksa dalam perspektif Hukum Jinayat dan KUHP sebagai berikut: 1. Bahwasanya pencurian merupakan salah satu tindakan jarimah yang ditegaskan dalam syara yaitu Al-Quran dan al-Hadits (asas legalitas) dimana sanksi hududnya adalah pemotongan tangan. Ada yang mengatakan bahwa sanksi pemotongan tangan yang ditetapkan adalah suatu tindakan yang kejam dan tidak manusiawi, akan tetapi Hukum Jinayat tidak serta merta demikian, karena bisa diterapkan secara kontekstual sebagaimana yang diterapkan Umar bin Khattab. Umar bin Khatthab pernah tidak melaksanakan hukuman had potong tangan terhadap pencuri unta pada saat terjadi wabah kelaparan. Pencuri yang demikian itu jika akan dijatuhi hukuman hanya dapat berupa hukuman tazir atau dapat dibebaskan sama sekali, bergantung pada pertimbangan hakim. Dapat ditambahkan bahwa keadaan memaksa ini dapat terjadi juga dalam masyarakat yang keadaan sosialnya belum terlaksana dengan baik. 2. Dalam kasus pencurian ringan sebagaimana tercantum dalam pasal 364 KUHP dan pasal 362 KUHP, dengan melihat kondisi sosial ekonomi tersangka yang tergolong orang miskin, hendaknya kepolisian dapat

58

mengambil kebijakan penyelesaian kasus tersebut melalui jalan alternatif penyelesian sengketa atau Alternatif Dispute Resolution dengan tehnik

mediasi. Mediasi memang digunakan dalam menyelesaikan kasus perdata dan tidak pernah digunakan dalam kasus pidana. Payung hukum untuk mediasi dalam kasus perdata adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Pencurian adalah pidana murni, apabila banyak kasus pencurian ringan yang diselesaikan melalui mediasi tentunya akan banyak kasus pencurian yang dilaporkan kepada kepolisian tidak selesai secara hukum, sehingga hal ini tentunya akan menambah jumlah tindak pidana (crime total) yang terjadi, ini merupakan sebuah dampak dari penerapan mediasi yang perlu dipecahkan. B. Saran - saran 1. Sebagai bangsa Indonesia kita sudah buta hati tidak membantu

sesama yang berkekurangan dalam hidup mereka. Bukankah kita sebagai warga negara Indonesia, bangsa timur mempunyai sikap saling tolong menolong satu sama lain. Bila kita punya hidup yang berlebihan tentu kita akan menolong mereka yang berkekurangan. Dengan begitu, maka tidak akan ada hukum yang menyengsarakan rakyat kecil yang buta hukum. Dan biarlah hukum menjerat mereka yang tahu tentang hukum dan masih juga melakukan pelanggaran ataupun kejahatan yang merugikan bangsa dan negara. 2. Peraturan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Negara

Indonesia baik hukum Islam (jinayat) maupun hukum positif (KUHP) diterapkan dan dijalankan tanpa harus adanya memandang jabatan, status

59

kehidupan, sehingga peraturan itu benar-benar dapat dijalankan dan ditegakkan oleh terhadap setiap manusia dengan adil. Pada akhirnya harus pula kita sadari, bahwa mayoritas dari para legislator, polisi, jaksa, hakim, pengacara yang selama ini di cemooh, di caci-maki karena mereka dianggap tidak patut (adil) menegakan hukum, tidak bermoral, serta berperilaku koruptif. Mayoritas dari mereka adalah para sarjana hukum hasil produksi dari fakultas-fakultas hukum di Indonesia yang mayoritas dididik oleh para dosen hukum yang berpaham positivisme hukum itu. Dan meskipun norma hukum itu tidak akan mungkin dengan sendirinya menciptakan persamaan dan keadilan hukum, namun setiap orang akan terus berharap agar suatu saat cita-cita hukum itu terwujud seperti apa yang diimpikan oleh para ahli hukum itu. Karena sudah menjadi tugas dari para ahli hukum untuk terus memberikan harapan melalui mimpi indah, dan sekaligus mengawalnya. 3. Kalau hukuman mati berakibat hilangnya nyawa dan hancurnya

seluruh badan, sedangkan hukuman mati diterima hampir seluruh negara di dunia, maka tentunya hukuman potong tangan harus dapat diterima kalau ia hanya berakibatnya hilangnya sebagian anggota badan. Apa yang dianggap kekejaman oleh sementara orang, tidak lain adalah kekuatan dan ketegasan yang menjadi ciri khas syariat Islam dalam soal kepidanaan sebagaimana halnya dalam bagian-bagian hukum Islam yang lain

You might also like